1. PERAN FILSAFAT ILMU DALAM
PENGEMBANGAN METODE PENDIDIKAN
A. Abstrak
Filsafat ilmu menjelaskan tentang duduk perkara ilmu atau science itu, apa
yang menjadi landasan asumsinya, bagaimana logikanya (doktrin netralistik etik),
apa hasil-hasil empirik yang dicapainya, serta batas-batas kemampuannya.
Metodologi penelitian menjelaskan tentang upaya pengembangan ilmu
berdasarkan tradisi-tradisinya, yang terdiri dari dua bagian, yaitu deduktif maupun
induktif. Demikian pula tentang hasil-hasil yang dicapai, yang disebut
pengetahuan atau knowledge, baik yang bersifat deskriptif (kualitatif dan
kuantitatif) maupun yang bersifat hubungan (proporsi tingkat rendah, proporsi
tingkat tinggi, dan hukum-hukum).
Filsafat ilmu maupun metodologi penelitian bersifat mengisi dan
memperluas cakrawala kognitif tentang apa yang disebut ilmu, yang diharapkan
akan menimbulkan pengertian untuk berdisiplin dalam berkarya ilmiah, sekaligus
meningkatkan motivasi sebagai ilmuwan untuk melaksanakan tugas secara
sungguh-sungguh.
B. Pendahuluan
Upaya manusia manusia untuk mengetahui tentang Tuhan, alam semesta,
lingkungan (baik alamiah maupun sosial), dan dirinya (baik fisik maupun
perilakunya) dilakukan melalui kegiatan berfikir, baik secara deduktif maupun
induktif. Sudah menjadi kodrat manusia ingin mengetahui segala-galanya. Oleh
karena itu manusia selalu bertanya untuk mendapatkan jawabannya. Mengetahui
merupakan kenikmatan atau kebahagiaan. Karena manusia bisa mengetahui
(dalam arti kata yang lebih dalam: memahami, mengerti, menghayati), maka
derajat manusia lebih tinggi daripada binatang, bahkan lebih tinggi daripada
malaikat.
Apa yang dipelajari sejauh ini adalah „‟ilmu-ilmu barat‟‟, yaitu ilmu yang
lahir dan berkembang di dunia barat, yang akar-akarnya digali dari filsafat Yunani
kuno. Tidak ada salahnya melanjutkan tradisi itu, namun bila hanya itu saja dan
2. begitu saja, maka belum konsekuen terhadap Pancasila. Begitu mengakui
Pancasila sebagai Dasar Negara dan sebagai pandangan hidup bangsa (Ways of
Life), maka quest for knowledge harus “diturunkan” dari Pancasila yang
menyatakan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertamanya. Maka dari satu
kekhususan dibandingkan dengan ilmu-ilmu barat itu, niscaya akan membawa
pada kebenaran yang lebih benar daripada yang telah diraih oleh ilmu-ilmu barat
itu. Kekhususan itu adalah bahwa the quest for knowledge tak lain merupakan
upaya untuk menemukan dan mengerti ilmu Tuhan, yang sangat luas dan dalam,
yang tidak akan habis-habisnya ditulis dengan tinta sebanyak tujuh samudera.
Ilmu itu telah ada, telah diciptakan oleh Tuhan, dan berjalan dengan
ketetapan-ketetapan yang abadi (sunatullah), yang tunduk pada penciptaNya tanpa
membangkang sedikitpun. Bila diperbolehkan meminjam Istilah Kant, dikatakan
bahwa ilmu itu a priori. Tuhan telah memberikan kemampuan kepada manusia
untuk menemukan, mengerti dan menghayati ilmu, suatu kemampuan yang tidak
diberikanNya kepada ciptaanNya yang lain. Al Qur‟an mengisahkan ketika
diadakan “kompetisi” di antara para malaikat dan Adam, hanya Adam yang
sanggup menyebutkan nama berbagai hal (menjelaskan sifat dari hal-hal tersebut),
sementara malaikat tidak sanggup. Kemampuan untuk mengetahui inilah yang
menjadikan manusia terunggul dan termulia di antara ciptaan Tuhan, sehingga
manusia mendapat tugas dan kedudukan untuk menegakkan “kekhilafahan di atas
bumi”.
Upaya quest for knowledge itu manusia menggunakan segala
kemampuannya, yaitu akal budinya. Bila ilmu barat hanya menyandarkan pada
akal atau rasio saja dan kurang menempatkan budi dan rasa, sedangkan ilmu-ilmu
timur menekankan pada budi atau rasa dan sedikit atau tidak menggunakan rasio,
maka Pancasila menghendaki untuk menggunakan rasio dan rasa secara seimbang
pada “tempat” dan “takaran” yng benar. Dalam hal ini doktrin netralistik etik
(Weber) mampu diterapkan pada tempatnya yang benar, dengan takaran yang
tepat. Rasio dan rasa merupakan kemampuan yang dilimpahkan oleh Tuhan
kepada manusia, yang kedua-duanya mempunyai kemampuan dan keunggulan
masing-masing untuk digunakan pada tempat masing-masing dan tidak boleh
dicampur-adukkan.
3. Kemampuan rasio terletak pada kemampuan membedakan dan atau
menggolongkan, menyatakan secara kuantitatif maupun kualitatif, dan
menyatakan hubungan-hubungan dan mereduksi hubungan-hubungan. Semua
kemampuan itu berdasarkan ketentuan atau patokan yang sangat terperinci. Rasio
tidak berdusta. Dalam keadaan murni di menyatakan secara tegas “ya” atau
“tidak”. Kemampuan rasa menurut Soetriono dan SRDm Rita Hanafie (2007:100)
terletak pada kreativitas, yang merupakan kegaiban, karena itu langsung
berhubungan dengan Tuhan.
Kreativitas inilah yang merupakan pemula di segala bidang, nalar, ilmu,
etika, dan estetika. Sebagai pemula, kemampuan ini disebut intuisi. Etika (love)
dan estetika (beauty) seluruhnya terletak pada rasa sehingga tiadanya rasa tak
mungkin ada etika maupun estetika. Rasa tidak mempunyai patokan. Rasa adalah
media kontak antara manusia dengan yang Ilahi yang juga menjadikan manusia
berderajat lebih tinggi dari malaikat, sedangkan rasa yang tidak terjaga dari
godaan setan (setan tidak bisa tergoda rasio) menjadikan manusia jatuh
martabatnya.
Manusia, dengan bersenjatakan pengetahuannya, dapat memilih, untuk
menjalani roda kehidupan yang diridloi Allah dan tetap pada kemuliannya, atau
untuk menyimpang dari jalan itu dan terbenam ke dalam kenistaan yang lebih
rendah dari binatang sekalipun. Dalam hal ini guidance bagi manusia adalah
moral (yang bersemayam di dalam rasa). Rasio menghasilkan ilmu dan ilmu
menemukan atau mengungkapkan sunatullah, yang lebih kita kenal dengan istilah
“hukum-hukum nomologis”, bersifat kekal abadi dan “netral” yasng menghasilkan
etika atau moral, dengan hukum-hukumnya yang disebut hukum-hukum normatif
dan bersifat “imperatif”. Sehubungan dengan tidak adanya patokan, manusia
sangat mungkin sesat dalam menghasilkan hukum-hukum normatif yang imperatif
itu. Karena itu Tuhan menurunkan petunjuk bagi manusia berupa wahyu yang
disampaikan kepada para nabi, yang kemudian dicatat dan dikumpulkan dalam
kitab suci.
Rasio, dengan patokan-patokannya yang sangat terperinci, mampu
menjaga diri untuk tidak terkena godaan setan. Rasa yang tidak berpatokan itu
dijaga dengan petunjuk Tuhan, dan dengan kebesaran Tuhan. Setan diijinkanNya
4. untuk menggoda manusia agar manusia lengah dan menyimpang dari petunjuk itu
sehingga terjerumuslah manusia ke dalam lembah kenistaan dalam usahanya
mencapai kebahagiaan dan kemuliaan, baik di dunia maupun di akhirat. Karena
itu, di dalam upaya quest for knowledge setiap hari, pertama-tama harus kuat
memahami ilmu maupun humanitas, dan kedua: dalam mencapai “kebenaran”,
tidak cukup dengan verifikasi seperti dalam ilmu barat, akan tetapi verifikasi yang
dibarengi dengan validasi. Adapun landasan validasi tak lain firman Allah Swt.
C. Pembahasan
Peran Filsafat Ilmu
Filsafat Ilmu menurut Beerling (1988:1-4) adalah penyelidikan tentang
ciri-ciri mengenai pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperoleh
pengetahuan. Filsafat ilmua erat kaitannya dengan filsafat pengetahuan atau
epistemologi, yang secara umum menyelidiki syarat-syarat serta bentuk-bentuk
pengalaman manusia, juga mengenai logika dan metodologi.
Untuk menetapkan dasar pemahaman tentang filsafat ilmu maka Cony (M.
Zainuddin 2006:21-22) menjelaskan empat titik pandang dalam filsafat ilmu:
(1) Filsafat ilmu adalah perumusan world view yang konsisten dengan
teori-teori ilmiah yang penting. Menurut pandangan ini, adalah
merupakan tugas filsuf ilmu untuk mengelaborasi implikasi yang
lebih luas dari ilmu;
(2) Filsafat ilmu adalah eksposisi dari presupposition dan pre-disposition
dari para ilmuwan;
(3) Filsafat ilmu adalah suatu disiplin ilmu yang di dalamnya terdapat
konsep dan teori tentang ilmu yang dianalisis dan diklasifikasikan;
(4) Filsafat ilmu merupakan suatu patokan tingkat kedua, filsafat ilmu
menuntut jawaban terhadap pertanyaan sebagai berikut: (a)
karakteristik apa yang membedakan penyelidikan ilmiah dari tipe
penyelidikan lain; (b) kondisi yang bagaimana yang patut dituruti
oleh para ilmuwan dalam penyelidikan alam; (c) kondisi yang
bagaimana yang harus dicapai bagi suatu penjelasan ilmiah agar
5. menjadi benar; (d) status kognitif yang bagaimana dari prinsip dan
hukum ilmiah.
Pada masa renaissance dan aufklarung ilmu telah memperoleh
kemandiriannya. Sejak itu pula manusia merasa bebas, tidak terikat dengan dogma
agama, tradisi maupun sistem sosial. Pada masa ini perombakan secara
fundamental di dalam sikap pandang tentang apa hakikat ilmu dan bagaimana cara
perolehannya telah terjadi. Ilmu yang kini telah mengelaborasi ruang lingkupnya
yang menyentuh sendi kehidupan umat manusia yang paling dasariah, baik
individual maupun sosial memiliki dampak yang amat besar, setidaknya menurut
Koento (1988:5) ada tiga hal. Pertama, ilmu yang satu sangat terkait dengan yang
lain, sehingga sulit ditarik batas antara ilmu dasar dan ilmu terapan, antara teori
dan praktik. Kedua, semakin kaburnya garis batas tadi sehingga timbul
permasalahan sejauhmana seorang ilmuwan terlibat dengan etika dan moral.
Ketiga dengan adanya implikasi yang begitu luas terhadap kehidupan umat
manusia, timbul pula permasalahan akan makna ilmu itu sendiri sebagai sesuatu
yang membawa kemajuan atau malah sebaliknya.
Filsafat ilmu pengetahuan (theory of knowledge) di mana logika, bahasa,
matematika termasuk menjadi bagiannya lahir pada abad ke-18. Dalam filsafat
ilmu pengetahuan diselidiki apa yang menjadi sumber pengetahuan, seperti
pengalaman (indera), akal (verstand), budi (vernunft) dan intuisi. Diselidiki pula
arti evidensi serta syarat-syarat untuk mencapai pengetahuan ilmiah, batas
validitasnya dalam menjangkau apa yang disebut sebagai kenyataan atau
kebenaran itu. Dari sini lantas muncul teori empirisme (John Lock), rasionalisme
(Rene Descartes), Kritisisme (Immanuel Kant). Positivisme (Auguste Comte),
Fenomenologi (Husserl), Kontruktivisme (Feyeraband) dan seterusnya. Sejalan
dengan itu, masing-masing aliran ini atau disebut juga school of thought, memiliki
metodenya sendiri, sehingga metodologi menjadi bagian yang sangat menarik
perhatian.
Filsafat ilmu menurut Roento Wibisono (1988:6) sebagai kelanjutan dari
perkembangan filsafat pengetahuan, adalah juga merupakan cabang filsafat. Ilmu
yang objek sasarannya adalah ilmu, atau secara populer disebut dengan ilmu
tentang ilmu. Dalam perkembangan selanjutnya pada tahap sekarang ini filsafat
6. ilmu juga mengarahkan pandangannya pada strategi pengembangan ilmu, yang
menyangkut juga etik dan heuristic, bahkan sampai pada dimensi kebudayaan
untuk menangkap arti dan makna bagi kehidupan umat manusia.
Tiap-tiap pengetahuan memiliki tiga komponen yang merupakan tiang
penyangga tubuh pengetahuan yang disusunnya. Komponen tersebut adalah
ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ontologi menjelaskan mengenai pertanyaan
apa, epistemologi menjelaskan pertanyaan bagaimana dan aksiologi menjelaskan
pertanyaan untuk apa. Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan-lapangan
penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Sejak dini pikiran barat sudah
menunjukkan munculnya perenungan ontologisme, sebagaiamana Thales ketika ia
merenungkan dan mencari apa sesungguhnya hakikat “yang ada” (being) itu, yang
pada akhirnya ia berkesimpulan, bahwa asal usul dari segala sesuatu (yang ada)
itu adalah air.
Ontologi menurut Jujun (1986:2) merupakan azas dalam menetapkan batas
ruang lingkup wujud yang menjadi objek penelaahan serta penafsiran tentang
hakikat realitas (metafisika). Ontologi meliputi permasalahan apa hakikat ilmu itu,
apa hakekat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan itu, yang
tidak terlepas dari pandangan tentang apa dan bagaimana yang ada (being) itu.
Paham idealism atau spiritualisme, materialism, pluralism dan seterusnya
merupakan paham ontologism yang akan menentukan pendapat dan bahkan
keyakinan kita masing-masing tentang apa dan bagaimana kebenaran dan
kenyataan yang hendak dicapai oleh ilmu itu.
Aliran monoisme, berpendapat bahwa yang ada itu hanya satu. Bagi yang
berpendapat bahwa yang ada itu serba spirit, ideal, serba roh, maka
dikelompokkkan dalam aliran monoisme-idealisme. Plato adalah tokoh filsuf yang
bisa dikelompokkan dalam aliran ini, karena ia menyatakan bahwa alam ide
merupakan kenyataan yang sebenarnya. Aliran dualism, menggabungkan antara
idealism dan materialism dengan mengatakan bahwa alam wujud ini terdiri dari
dua hakikat sebagai sumber, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani. Descartes
bisa digolongkan dalam aliran ini. Aliran pluralism, manusia adalah makhluk
yang tidak hanya terdiri dari jasmani dan rohani, tetapi juga tersusun dari api,
tanah dan udara yang merupakan unsur substansial dari segala wujud. Aliran
7. agnotisime mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat materi
maupun hakikat rohani. Mereka juga menolak suatu kenyataan yang mutlak yang
bersifat transenden.
Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal muasal,
metode-metode dan sahnya ilmu pengetahuan. Menurut Harold Titus et.l.,
(1984:187-188) terdapat tiga persoalan pokok dalam bidang epistemologi antara
lain: (1) apakah sumber pengetahuan itu? Dari manakah datangnya pengetahuan
yang benar itu? Dan bagaimana cara mengetahuinya?; (2) Apakah sifat dasar
pengetahuan itu? Apa ada dunia yang benar-benar di luar pikiran kita? Dan kalau
ada, apakah kita bisa mengetahuinya?; (3) apakah pengetahuan itu benar (valid)?
Bagaimana kita dapat membedakan yang benar dan yang salah?.
Secara umum pertanyaan epistemologi menyangkut dua macam, yakni
epistemologi kefilsafatan yang erat hubungannya dengan psikologi dan
pertanyaan semantik yang menyangkut hubungan antara pengetahuan dengan
objek pengetahuan tersebut. Epistemologi meliputi tata cara dan sarana untuk
mencapai pengetahuan. Perbedaan mengenai pilihan ontologik akan
mengakibatkan perbedaan sarana yang akan digunakan yaitu: akal, pengalaman,
budi, intuisi atau sarana yang lain. Ditunjukkan bagaimana kelebihan dan
kelemahan suatu cara pendekatan dan batas validitas dari suatu yang diperoleh
melalui suatu cara pendekatan ilmiah.
Pada dasarnya metode ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh dan
menyusun tubuh pengetahuannya berdasarkan pertama, kerangka pemikiran yang
bersifat logis dengan argumentasi yang bersifat konsisten dengan pengetahuan
sebelumnya yang telah berhasil disusun; kedua,imenjabarkan hipotesis yang
merupakan deduksi dari kerangka pemikiran tersebut, dan ketiga melakukan
verifikasi terhadap hipotesis tersebut untuk menguji kebenaran pernyataannya
secara faktual. Secara akronim metode ilmiah terkenal sebagai logico-hypotetico-
verificative atau deducto-hypotetico-verificative.
Kerangka pemikiran yang logis adalah argumentasi yang bersifat rasional
dalam mengembangkan penjelasan terhadap fenomena alam. Verifikasi secara
empirik berarti evaluasi secara objektif dari suatu pernyataan hipotesis terhadap
kenyataan faktual. Ini berarti bahwa ilmu terbuka untuk kebenaran lain, selain
8. yang terkandung dalam hipotesis. Demikian juga verifikasi faktual terbuka atas
kritik terhadap kerangka pemikiran yang mendasari pengajuan hipotesis. Befikir
ilmiah berbeda dengan kepercayaan religius yang memang didasarkan atas
kepercayaan dan keyakinan, tetapi dalam cara berfikir ilmiah didasarkan atas
dasar prosedur ilmiah.
Secara garis besar terdapat dua aliran pokok dalam epistemologi, yaitu
rasionalisme dan empirisme, yang pada gilirannya kemudian muncul beberapa
isme lain, misalnya: rasionalisme kritis (kritisisme), fenomenalisme, intuitisme
dan positivisme.
Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang
pada umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Aksiologi meliputi nilai-
nilai, parameter bagi apa yang disebut sebagai kebenaran kita yang menjelajahi
berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan fisik materil dan kawasan
simbolik yang masing-masing menunjukkan aspeknya sendiri-sendiri. Lebih dari
itu, aksiologi juga menunjukkan kaidah-kaidah apa yang harus kita perhatikan di
dalam menerapkan ilmu di dalam menerapkan ilmu ke dalam praksis.
Pertanyaan mengenai aksiologi menurut Kattsoff (1987:331) dapat
dijawab melalui tiga cara. Pertama, nilai sepenuhnya berhakikat subjektif.
Ditinjau dari sudut pandang ini, nilai-nilai itu merupakan reaksi-reaksi yang
diberikan oleh manusia sebagai pelaku dan keberadaannya tergantung kepada
pengalaman mereka. Kedua, nilai-nilai merupakan kenyataan ditinjau dari segi
ontologisme namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Nilai-nilai tersebut
merupakan esensi logis dan diketahui melalui akal. Pendirian ini dinamakan
objektivisme logis. Ketiga, nilai-nilai merupakan unsur-unsur objektif yang
menyusun kenyataan, yang demikian ini disebut objektivisme metafisik.
Dalam pendekatan aksiologis ini, Jujun (1986:60) menyebutkan, bahwa
pada dasarnya ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan
manusia. Dalam hal ini maka ilmu menurutnya dapat dimanfaatkan sebagai sarana
atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat
dan martabat manusia serta kelestarian atau keseimbangan alam. Untuk
kepentingan manusia tersebut maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan
disusun dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal berarti, bahwa
9. ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, setiap orang berhak
memanfaatkan ilmu menurut kebutuhannya sesuai dengan komunisme. Universal
berarti bahwa ilmu tidak mempunyai konotasi parokial seperti ras, ideologi atau
agama. Tidak ada ilmu Barat dan tidak ada ilmu Timur.
D. Metode Penelitian
Metode ilmiah merupakan prosedur atau langkah-langkah sistematis dalam
mendapatkan pengetahuan ilmiah atau ilmu. Ilmu merupakan pengetahuan yang
didapatkan melalui metode ilmiah. Metode adalah suatu prosedur atau cara untuk
mengetahui sesuatu dengan langkah-langkah yang sistematis. Garis besar langkah-
langkah sistematis keilmuan menurut Soetriono dan SRDm Rita Hanafie
(2007:157) sebagai berikut:
1. Mencari, merumuskan, dan mengidentifikasi masalah.
2. Menyusun kerangka pemikiran (logical construct).
3. Merumuskan hipotesis (jawaban rasional terhadap masalah).
4. Menguji hipotesis secara empirik.
5. Melakukan pembahasan.
6. Menarik kesimpulan.
Tiga langkah pertama merupakan metode penelitian, sedangkan langkah-
langkah selanjutnya bersifat teknis penelitian. Dengan demikian maka
pelaksanaan penelitian menyangkut dua hal, yaitu hal metode dan hal teknis
penelitian. Namun secara implisit metode dan teknik melarut di dalamnya.
Mencari, merumuskan dan mengidentifikasi masalah, yaitu menetapkan
masalah penelitian, apa yang dijadikan masalah penelitian dan apa obyeknya.
Menyatakan obyek penelitian saja masih belum spesifik, baru menyatakan pada
ruang lingkup mana penelitian akan bergerak. Sedangkan mengidentifikasi atau
menyatakan masalah yang spesifik dilakukan dengan mengajukan pertanyaan
penelitian (research question), yaitu pertanyaan yang belum dapat memberikan
penjelasan (explanation) yang memuaskan berdasarkan teori (hukum atau dalil)
yang ada. Misalnya menurut teori dinyatakan bahwa tidak semua orang akan
bersedia menerima suatu inovasi, sebab ada golongan penolak inovasi (laggard).
Tetapi pada kenyataannya (faktual) terdapat inovasi yang mudah diterima
10. sehingga tidak mungkin ada golongan yang menolaknya (laggard). Oleh karena
itu pertanyaan penelitiannya dapat diidentifikasikan pada situasi mana atau pada
kondisi mana tidak ada golongan laggard. Dengan mengidentifikasi situasi atau
kondisi yang memungkinkan atau tidak memungkinkan secara lebih lanjut berarti
telah merumuskan masalah penelitian.
Cara yang paling sederhana untuk menemukan pertanyaan penelitian (research
question) adalah melalui data sekunder. Wujudnya berupa beberapa kemungkinan
misalnya:
a. Melihat suatu proses dari perwujudan teori.
b. Melihat linkage dari proposisi suatu teori, kemudian bermaksud
memperbaikinya.
c. Merisaukan keberlakuan suatu dalil atau model di tempat tertentu atau
pada waktu tertentu.
d. Melihat tingkat informative value dari teori yang telah ada. Kemudian
bermaksud meningkatkannya.
e. Segala sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan teori yang telah ada
atau belum dapat dijelaskan secara sempurna.
Menyusun kernagka pemikiran yaitu mengalirkan jalan pikiran menurut
kerangka yang logis atau menurut logical construct. Hal ini tidak lain dari
mendudukperkarakan masalah yang diteliti (diidentifikasi) dalam kerangka
teoretis yang relevan dan mampu menangkap, menerangkan, serta menunjukkan
perspektif terhadap masalah itu. Upaya ditujukan untuk menjawab atau
menerangkan pertanyaan peneltian yang diidentifikasi.
Cara berpikir (nalar) kearah memperoleh jawaban terhadap masalah yang
diidentifikasi ialah dengan penalaran deduktif. Cara penalaran deduktif ialah cara
penalaran yang berangkat dari hal yang umum (general) kepada hal-hal yang
khusus (spesifik). Hal-hal yang umum ilah teori/dalil/hukum, sedangkan hal yang
bersifat khusus (spesifik) tida lain adalah masalah yang diidentifikasi.
Merumuskan hipotesis. Hipotesis adalah kesimpulan yang diperoleh dari
penyusunan kerangka pemikiran, berupa proposisi deduksi. Merumuskan berarti
membentuk proposisi yang sesuai dengan kemungkinan-kemungkinan serta
tingkat-tingkat kebenarannya. Bentuk-bentuk proposisi menurut tingkat keeratan
11. hubungannya (linkage) serta nilai-nilai informasinya (informative value). Jika
dikaji kembali kalimat-kalimat proposisi, baik berupa teori maupun hipotesis,
ternyata kalimat-kalimat itu mengandung juga komponen, yaitu komponen
antiseden, konsekuen, dan depedensi.
Menguji hipotesis ialah membandingkan atau menyesuaikan (matching)
segala yang terkandung dalam hipotesis dengan data empirik. Pembandingan atau
penyesuaian itu pada umumnya didasarkan pada pemikiran yang beranggapan
bahwa di alam ini suatu peristiwa mungkin tidak terjadi secara tersendiri. Dengan
kata lain, suatu sebab mungkin akan menimbulkan beberapa akibat, atau mungkin
pula suatu akibat ditimbulkan oleh beberapa penyebab.
Pengujian hipotesis dalam penelitian mutakhir mempergunakan metode
matematika/statistika, dengan mempergunakan rancangan uji hipotesis yang telah
tersedia. Dengan kata lain, peneliti tinggal memilih rancangan uji mana yang tepat
dengan hipotesisnya. Meskipun demikian jika peneliti tidak memahami sifat-sifat
data/informasi (variabel) yang akan diukur maka akan sulit baginya untuk
memilih rancangan uji statistik.
Membahas dan menarik kesimpulan. Dalam membahas sudah termasuk
pekerjaan interpretasi terhadap hal-hal yang ditemukan dalam penelitian. Dalam
interpretasi, pikiran kita diarahkan pada dua titik pandang. Pertama, kerangka
pemikiran yang telah disusun, bahkan ini harus merupakan frame of work
pembahasan penelitian. Kedua, pandangan diarahkan ke depan, yaitu mengaitkan
kepada variabel-variabel dari topic aktual. Pembahasan tidak lain adalah
mencocokkan deduksi dalam kerangka pemikiran dengan induksi dari empiric
(hasil pengujian hipotesis), atau pula kepada induksi yang diperoleh orang lain
(hasil penelitian orang lain) yang relevan. Bagaimana hasil dari mencocokkan ini,
apakah cocok (parallel atau analog), atau sebaliknya (bertentangan atau
kontradiktif). Apabila ternyata bertentangan atau tidak cocok maka perlu dilacak
di mana letak perbedaan atau pertentangan itu dan apa kemungkinan
penyebabnya.
Hasil pembahasan tidak lain ialah kesimpulan. Kesimpulan penelitian
adalah penemuan-penemuan dari hasil interpretasi dan pembahasan. Penemuan
dari interpretasi dan pembahasan harus merupakan jawaban terhadap pertanyaan
12. penelitian sebagai masalah, atau sebagai bukti dari penerimaan terhadap hipotesis
yang diajukan. Pernyataan-pernyataan dalam kesimpulan dirumuskan dalam
kalimat yang tegas dan padat, tersusun dari kata-kata yng baik dan pasti,
sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan tafsiran yang berbeda (apa yang
dimaksud oleh peneliti harus ditafsirkan sama oleh orang lian). Pernyataan
tersusun sesuai dengan identifikasi masalah tau dengan susunan hipotesisnya.
E. Kesimpulan
Berdasarkan beberapa uraian dan penjelasan di atas maka dapat
disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Filsafat ilmu perlu didekati secara historis-kronologis untuk menagkap
struktur prosesialnya dan secara sistematik-filosofis untuk menagkap
struktur esensialnya.
2. Struktur prosesial mencakup Sembilan langkah sistematik yaitu: Tahap
Pra Penelitian (identifiksi masalah, penetapan tujuan
penelitian/tercapainya ilmu, instrospeksi dan skeptif). Tahap Proses
Penelitian (tahap ontologisme dasar/asumsi dasar). Tahap
Epistemologis (metodologi/sarana dan cara mencapai ilmu,
penyimpulan, aplikasi ilmu praksis dan tercapainya sebagai pembuktian
dan ilmu final). Tahap Akhir (tercapainya kebahagiaan abadi)
3. Metode penelitian menurut metode ilmiah sebagai prosedur atau
langkah-langkah teratur yang sistematis dalam menghimpun
pengetahuan untuk dijadikan ilmu yang meliputi masalah, kerangka
pemikiran, hipotesis, uji hipotesis, pembahasan dan kesimpulan.
13. DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Saeful. 2007. Filsafat Ilmu Al-Ghazali: Dimensi Ontologi dan
Aksiologi. Bandung: Pustaka Setia.
Beerling. 1988. Filsafat Dewasa Ini. Terj. Hasan Amin. Jakarta: Balai
Pustaka.
Kattsof, Louis. 1987. Element of Pholosophy. Terj.Soemargono.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Suriasumantri, Jujun S. 1986. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Soetriono dan SRDm Rita Hanafie. 2007. Filsafat Ilmu dan Metodologi
Penelitian. Yogyakarta: Andi
Zainuddin, M. 2006. Filsafat Ilmu: Perspektif Pemikiran Islam. Jakarta:
Lintas Pustaka.