Tiga kalimat ringkasan dokumen tersebut adalah:
Dokumen tersebut membahas tentang penyebab dan penanganan terlambat bangun pasca anestesi umum, yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti overdosis obat, durasi anestesi yang lama, gangguan metabolik, dan komplikasi neurologis. Langkah diagnosis dan terapi yang disarankan adalah memastikan stabilitas pasien, mengevaluasi sejarah medis dan manajemen anestesi, serta melakuk
2. Pendahuluan
• Pada akhir anestesi dan pembedahan pasien
harus terjaga atau mudah dibangunkan,
melindungi jalan napas, mempertahankan
ventilasi yang memadai dan dengan mengontrol
atau meminimalkan rasa sakit pasien.
• Waktu untuk terbangun dari anestesi sangat
bervariasi dan tergantung pada banyak faktor
yang berhubungan dengan pasien, jenis
anestesi yang diberikan dan panjang operasi.
Sarangi S. Delayed Awakening From Anaesthesia. The Internet
Journal of Anaesthesiology.2009; 19(1).
3. Definisi
• Tidak ada definisi tunggal tentang terlambat
bangun atau tertunda munculnya kesadaran
setelah anestesi umum.
• Dengan menggunakan obat-obatan dan agen
inhalasi dengan masa kerja sangat cepat seperti
propofol dan desflurane, pasien umumnya
terbangun dalam beberapa menit. Bahkan
setelah operasi lama, respon terhadap
rangsangan harus terjadi dalam 60-90 menit.2
Sarangi S. Delayed Awakening From Anaesthesia. The Internet
Journal of Anaesthesiology.2009; 19(1).
4. Skala Pengukuran
• Tabel 1. Glasgow Coma Scale
Pada awalnya dikembangkan sebagai alat untuk menilai prognosis setelah
trauma kepala, juga telah digunakan untuk tren tingkat kesadaran
5. • 6 domain; fisiologis, nosiseptif, emosi, kegiatan hidup sehari-
hari, kognitif dan perspektif pasien.
• Pemulihan fisiologis memerlukan waktu 40 menit pada 40%
pasien. Hanya 11% dari pasien memerlukan satu hari di
semua domain untuk pemulihan lengkap .
Tabel 2. Skala Pemulihan Pasca Operasi
(Post Operative Recovery Scale/PQRS
Radhakrishnan J, Jesudasan S, Jacob R. Delayed awakening or emergence from anaesthesia. Update in anaesthesia
7. Penyebab
• Overdosis.
– Terlalu banyak obat yang diberikan atau pasien terlalu
rentan.
– Pasien lemah, kecil atau lansia umumnya memerlukan
dosis yang lebih rendah daripada orang yang sehat, orang
dewasa normal.
– Metabolisme obat tertunda terjadi pada gagal ginjal atau
hati, dan dosis yang lebih kecil mungkin diperlukan.
– Peningkatan kepekaan terhadap agen tertentu. Misalnya
sensitivitas sangat meningkat terhadap obat relaksan otot
non-depolarisasi pada pasien myasthenia gravis.
8. • Durasi dan jenis anestesi yang diberikan.
– Untuk agen anestesi inhalasi kecepatan timbul secara
langsung berhubungan dengan ventilasi alveolar
– Ketika durasi anestesi berkepanjangan,mula kerja
obat tergantung pada penyerapan jaringan total obat
yang berhubungan dengan kelarutan obat,
konsentrasi rata-rata yang digunakan dan durasi
paparan.
– Agen anestesi intravena, pemulihan segera terutama
tergantung pada redistribusi dari darah dan otak ke
otot dan lemak.
9. • Potensiasi oleh obat lain.
– Konsumsi obat sedatif seperti benzodiazepin atau
alkohol sebelum premedikasi akan mempotensiasi
efek depresan sistem saraf pusat obat bius dan
analgesik, dan dapat menunda mula kerja obat
anestesi.
• Blokade neuromuskular berkepanjangan.
– Sisa hasil blokade neuromuskuler berupa
kelumpuhan mungkin dianggap sebagai tidak respon
meskipun pasien mungkin sepenuhnya sadar dan
menyadari. Ini dapat terjadi sekunder karena
overdosis atau tidak lengkapnya pembalikan
(reverse) obat relaksan otot non-depolarisasi
10. • Gagal ginjal
– terdapat pengurangan eliminasi obat
• Gagal Nafas.
– Pasien yang tidak bernapas secara efektif selama atau
setelah anestesi dapat menjadi hyperkarbia
(mengangkat CO2) ke tingkat yang dapat menghasilkan
sedasi atau bahkan tidak sadar. Faktor risiko meliputi
penyakit pernafasan yang telah terjadi, terutama pasien
dengan retensi CO2 sebelum operasi, opioid dosis
tinggi, obstruksi napas dan obat-obatan pembalik
(reverse) pelumpuh otot.
11. • Gangguan metabolik.
– Hipoglikemia.
– Hiperglikemia berat.
– Ketidakseimbangan elektrolit.
– Hipotermia.
– Sindrom antikolinergik sentral mungkin dapat terjadi
walau jarang, mengikuti penggunaan obat
antikolinergik terutama hiosin, juga antihistamin,
antidepresan, fenotiazin dan petidin.
12. • Komplikasi neurologis.
– Hipoksia serebral dari setiap penyebab akan
mengakibatkan berkurangnya tingkat sadar yang
mungkin pertama hadir sebagai lambatnya pulih
sadar dari anestesi, terutama jika keadaan hipoksia
telah terjadi selama anestesi.
– Gangguan intraserebral seperti perdarahan, emboli
atau trombosis, sangat jarang terjadi kecuali pada
bedah saraf, bedah jantung, serebrovaskular dan
operasi karotis.
14. Langkah Penegakkan Diagnosis
1. Riwayat harus ditinjau, terutama dalam hal konsumsi obat, termasuk
terapi herbal.
2. Pastikan semua agen inhalasi telah dimatikan.
3. Pencatatan pre- dan durante anestesi harus ditinjau, terutama dalam hal
konsentrasi,dosis obat dan lama kerja obat/ terakhir diberikan.
4. Jumlah pemberian cairan harus diperhatian. Kelebihan cairan dapat
tertarik ke paru-paru, menyebabkan penurunan pertukaran oksigen dan
hiperkarbia dan hipoksia.
5. Tanda-tanda vital harus menunjukkan stabilitas kardiopulmoner .
6. Suhu tubuh harus mendekati normal.
7. Hypo dan hiperventilasi harus dikecualikan oleh pemeriksaan analisa gas
darah.
8. Asidosis metabolik harus dikeluarkan sebagai penyebab lambat bangun.
9. Residu obat pelumpuh otot harus dikecualikan dengan monitoring dan
meminta pasien mengangkat kepala lebih dari 5 detik.
10. Pemeriksaan neurologis harus mencakup pemeriksaan pupil , gerakan
motorik simetris, adanya reflek muntah atau batuk.
11. CT scan, konsultasi neurologis ataupun bedah saraf diindikasikan jika
penyebab lain telah disingkirkan.
15. Terapi
• Tergantung penyebabnya
• Pastikan jalan nafas aman. Perbaiki kesulitan jalan nafas napas,
dengan cara jaw thrust, pemasangan guedel atau nasofaring airway,
reintubation, pemberian tekanan positif kontinue pada jalan nafas.
Berikan oksigen untuk mengobati hipoksi
• Pastikan respirasi adekuat. Jika diindikasikan, ventilasi pasien
melalui tube endotrakheal
• Nilai tingkat kesadaran, denyut jantung, tekanan darah, EKG,
perfusi perifer, dan output urin. Resusitasi bila ada indikasi.
Pemantauan intensif dari semua parameter hemodinamik, ETCO2,
SpO2, CVP, input dan output adalah wajib.
• Lakukan penilaian ulang mengenai riwayat penyakit, investigasi dan
manajemen perioperatif, termasuk grafik anestesi dan waktu
pemberian obat, untuk mencari kemungkinan penyebab terlambat
bangun post anestesi.
16. Terapi
• Carilah tanda-tanda overdosis opioid berupa pupil
pinpoint dan laju pernapasan lambat.
• Balikkan efek obat pelumpuh otot non depolarisasi
• Mengukur suhu dan persiapkan langkah-langkah
yang diperlukan bila suhu hipotermia
• Periksa glukosa darah, berikan infus dekstrosa jika
GDS < 150 mg/dl
• Pastikan tekanan darah normal, sesuai dengan
keadaan preop, berikan vasopressor jika diperlukan.
17. • Ukur analisa gas darah, glukosa dan elektrolit
pasien, lakukan koreksi bila terdapat kelainan.
• Lakukan hitung darah lengkap dan lakukan transfusi
jika diindikasikan.
• Periksa EKG 12 lead, lakukan konsultasi bila
diperlukan
• Jika tidak ada penyebab lain dapat ditemukan pada
lambat bangun post anestesi, gangguan intra
serebral dapat diduga dan pemeriksaan neurologis
harus dilakukan, terutama untuk mencari tanda-
tanda lokal gangguan neurologis. Diperlukan CT
pencitraan radiologi atau MRI untuk mengkonfirmasi
diagnosis. Lakukan konsultasi dengan neurologi
atau bedah saraf sesuai dengan indikasi.
18. DAFTAR PUSTAKA
1. Reason JT, Carthey J, and de Leval, MR. Diagnosing “Vulnerable System Syndrome”: An Essential Prerequisite to
Effective Risk Management. Qual Health Care. 2001;10:ii21-ii25.
2. Sarangi S. Delayed Awakening From Anaesthesia. The Internet Journal of Aaesthesiology.2009; 19(1).
3. Razavi M, Bameshki AR, TaghaviGilani M. Delayed Awakening from Anaesthesia Following Electrolyte and Acid
Base Disorders, Two Cases. Patient Saf Qual Improv.2014; 2(1):65-68.
4. Rhona C F, Sinclair B, Faliero R J. Delayed recovery of consciousness after anaesthesia. Continuing Education in
Anaesthesia, Critical Care & pain. 2006; 6(3):114-118.
5. Deuri A, Goswami D, Samplay M, Das J. Nonawakening following general anaesthesia after ventriculo-peritoneal
shunt surgery: An acute presentation of intracerebral haemorrhage. Indian J Anaesth 2010 Nov-Dec;54(6):569-
571.
6. Radhakrishnan J, Jesudasan S, Jacob R. Delayed awakening or emergence from anaesthesia. Update in
anaesthesia 2001; 13:4-6.
7. Context Sensitive Elimination Times. Chris Thompson, Royal Prince Alfred Hospital, Sydney, Australia, 2000.
8. Miller RD, Roderick LL. Diuretic-induced hypokalaemia, pancuronium neuromuscular blockade and its antagonism
by neostigmine. Br J Anaesth1978; 50(6):786-792.
9. Muscle relaxants and anticholinesterases; Peck TE, Williams M, editors. Pharmacology for Anaesthesia and
Intensive Care. Greenwich Medical Media Ltd; 2000. p. 137-157
10. Millers RD. Millers, Anaesthesia.7th Edition, United States of America, Elsevier Churchill, 2010.P 2722-2723.
11. Kalra S, Wadhwa R. Role of amino acid infusion in delayed recovery from neuromuscular blockers. Indian J
Anaesth 2010; 54:166-168.
12. Grati L, Toumi S, Gahbiche M. Failure to recover after anaesthesia for surgery of a liver hydatid cyst assigned to
hypernatremia. Ann Fr Anaesth Reanim 2009; 28(3):261-262.
13. Moon HS, Lee SK, Chung JH, In CB. Hypocalcemia and hypokalemia due to hyperventilation syndrome in spinal
anaesthesia.- A case report. Korean J Anaesthesiol 2011; 61(6):519-523.
14. Daniel I. Sessler. Temperature Monitoring and Perioperative Thermoregulation. Ananesthesiology 2008;
109(z):318-338.
15. Brown DV, Heller F, Barkin R. Anticholinergic syndrome after anaesthesia: a case report and review. Am J Ther
2004; 11:144-153.