Kedua jurnal ini membahas pengolahan limbah cair tepung tapioka dengan metode klorinasi untuk menurunkan kadar zat pencemar seperti KOK, COD, BOD, dan sianida. Jurnal pertama meneliti penggunaan kaporit untuk mengurangi KOK dan sianida, sedangkan jurnal kedua meneliti pengaruh preklorinasi dan sistem ABR terhadap pengurangan TSS, COD, BOD, dan sianida. Kedua penelitian menunjukkan has
Proses Klorinasi untuk Menurunkan Kandungan Sianida dan Nilai KOK pada Limbah Cair Tepung Tapioka
1. TUGAS
KIMIA ANORGANIK I
REVIEW JURNAL ILMIAH
1. PROSES KLORINASI UNTUK MENURUNKAN KANDUNGAN SIANIDA DAN
NILAI KOK PADA LIMBAH CAIR TEPUNG TAPIOKA
2. PENGARUH PREKLORINASI TERHADAP PROSES START UP
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR TAPIOKA SISTEM ANAEROBIC BAFFLED
REACTOR
DISUSUN OLEH
MUHLISUN AZIM
G1C 011 025
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS MATARAM
2013
2. Proses Klorinasi untuk Menurunkan Kandungan Sianida dan Nilai
KOK pada Limbah Cair Tepung Tapioka
Fahma Riyanti, Puji Lukitowati, Afrilianza
Jurusan Kimia FMIPA, Universitas Sriwijaya, Sumatera Selatan, Indonesia
September 2010
Pesatnya perkembangan industri di berbagai daerah memberikan dampak bagi
lingkungan, baik dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif dapat dirasakan
dari terpenuhinya kebutuhan hidup sehari-hari, sedangkan dampak negatif berupa limbah
buangan industri yang dapat menimbulkan pencemaran lingkungan. Salah satu industri yang
erat hubungannya dengan masalah lingkungan adalah industri tepung tapioka. Industri ini
sangat bermanfaat bagi masyarakat, karena banyak makanan yang berahan dasar tepung
tapioka.
Limbah yang dihasilkan dari industri tepung tapioka ada dua diantaranya limbah
padat dan limbah cair. Limbah padat masih dapat digunakan untuk keperluan lain misalnya
makanan ternak dan asam cuka, tapi limbah cair dibuang begitu saja ke lingkungan. Limbah
cair dari industri tepung tapioka mengandung senyawa-senyawa organik tersuspensi seperti
protein, lemak, karbohidrat yang mudah membusuk dan menimbulkan bau tak sedap maupun
senyawa anorganik yang berbahaya seperti CN, nitrit, ammonia, dan sebagainya. Limbah cair
dari industri ini juga memberi dapak negatif terhadap sumber air di sekitar industri seperti
sumur-sumur penduduk terkontaminasi oleh senyawa sianida yang sifatnya beracun yang
dapat merusak hepar dan mengganggu proses sintesis ATP menjadi ADP. Terkontaminasinya
sumur penduduk disebabkan oleh limbah industri yang dibuang ke perairan sehingga
mengalami infiltrasi dan perkolasi yang dapat mencemarai air tanah.
Industri tepung tapioka sangat memberi dampak negatif terhadap lingkungan
perairan, dimana limbah industri tepung tapioka ini memproduksi limbah cair yang
mengandung sianida dan KOK (kebutuhan oksigen kimia). Dimana limbah industri tepung
tapioka mengandung KOK 9953,01 mg/L dan kandungan sianida sebesar 51,77 mg/L.
Berdasarkan ketetapan pemerintah bahwa kadar KOK tetetapkan sebesar 400 mg/L dan kadar
limbah sianida sebesar 0,5 mg/L, dari keputusan pemerintah tersebut maka dikatakan bahwa
kadar tersebut sangat berpotensi mencemari lingkungan.
Upaya untuk mengurangi pencemaran lingkungan dari limbah industri tepung
tapioka ini, digunakan kaporit (Ca(OCl)2) dalam proses klorinasi, dimana dalam kaporit ini
mengandung 60 % klorin. Klorin dalam kaporit ini sangat berpotensi untuk membunuh
bakteri-bakteri yang terdapat dalam limbah cair industri tepung tapioka ini, dengan cara
merusak struktur sel pada bakteri yang menimbulkan bau tidak sedap dari proses penguraian
senyawa yang mengandung nitrogen, dan fosfor yang dapat mencemari lingkungan perairan
bagi masyrakat sekitar industri. Sehingga diperlukan penanganan limbah industri ini
menggunakan proses klorinasi yang dapat mengurangi kadar limbah buangan industri
tersebut.
Pada proses klorinasi untuk penanganan limbah industri tepung tapioka ini dilakukan
tiga perlakuan diantaranya penentuan berat optimum Ca(OCl)2, Penentuan PH optimum dan
penentuan waktu kontak optimum. Untuk penentuan berat Ca(OCl)2 optimum, dilakukan
3. perlakuan dengan menambahkan 1, 2, 3, 4, 5 mg Ca(OCl)2 ke dalam 100 mL limbah cair
tepung tapioka dalam 5 erlenmeyer yang berbeda, kemudian diaduk dengan kecepatan 120
rpm selama 60 menit sampai terjadi endapan, kemudian ditentukan kandungan sianida dan
nilai KOK setiap perlakuan. Sedangkan untuk penentuan PH optimum, dilakukan perlakuan
dengan menambahkan Ca(OCl)2 ke dalam 100 mL limbah cair tepung tapioka dalam 5
erlenmeyer yang berbeda dengan PH yang berbeda yaitu 7, 8, 9, 10 dan 11, PH diatur dengan
menambahkan NaOH ke dalam campuran dan diaduk dengan kecepatan 120 rpm selama 60
menit sampai terjadi endapan, kemudian ditentukan kandungan sianida dan nilai KOK setiap
perlakuan. Dan untuk penentuan waktu kontak Optimum, dilakukan perlakuan dengan
menambahkan berat optimumCa (OCl)2 ke dalam 100 mL limbah cair tepung tapioka dalam
5 erlenmeyer yang berbeda, kemudian diatur PH tertentu (PH Optimum) dengan penambahan
NaOH, kemudian campuran diaduk dengan waktu yang berbeda-beda yaitu (0; 0,5; 1; 1,5;
dan 2 jam). kemudian ditentukan kandungan sianida dan nilai KOK setiap perlakuan.
Dari hasil percobaan di atas, didapatkan kondisi optimum dalam ketiga perlakuan
yaitu berat optimum Ca(OCl)2 sebesar 5 mg, PH optimum sebesar 8 dan waktu kontak
optimum selama 1 jam.
Penggunaan kaporit ini sangat berpengaruh terhadap penurunan kadar limbah
industri tepung tapioka. Dimana dengan penambahan kaporit yang optimal yaitu 5 mg/L,
dengan PH 8 dan waktu kontak 1 jam pada limbah industri tepung tapioka, dapat
menurunkan kadar KOK sebesar 89,02 % dengan kadar 1092,09 mg/L. Meskipun hasil
tersebut masih di atas standar keputusan menteri lingkungan hidup yaitu sebesar 400 mg/L,
namun setidaknya bisa menurunkan tingkat pencemaran lingkungan. Sedangakan dengan
penambahan kaporit yang optimal yaitu 5 mg/L, dengan PH 8 dan waktu kontak 1 jam pada
limbah industri tepung tapioka, dapat menurunkan kadar sianida sebesar 41,88 % dengan
kadar 30,08 mg/L. Meskipun hasil tersebut masih di atas standar keputusan menteri
lingkungan hidup yaitu sebesar 0,5 mg/L, namun setidaknya bisa menurunkan tingkat
pencemaran lingkungan.
4. Pengaruh Preklorinasi Terhadap Proses Start Up
Pengolahan Limbah Cair Tapioka
Sistem Anaerobic Baffled Reactor
H. Mulyani, S. B. Sasongko, D. Soetrisnanto
Magister Teknik Kimia Universitas Diponegoro Semarang Jl Prof Sudarto SH Tembalang
April 2012
Air limbah proses ekstraksi pati industri tapioka mengandung 5000 - 20000 mg/L
Biologycal Oxygen Demand (BOD) terlarut (Sofyan dkk., 1994) dengan rasio BOD/COD 0,6
- 0,8 (Seejuhn, 2002). Kadar sianida (CN-
) 10 - 40 mg/L juga dapat dihasilkan industri
tapioka berkapasitas produksi 400 ton ubi kayu (Mai, 2006). Tingginya kadar sinada dalam
limbah tapioka dapat menjadi inhibitor bagi proses pengolahan biologi.
Jika bahan organik berkonsentrasi tinggi yang belum diolah dibuang ke badan air,
maka bakteri akan menggunakan oksigen terlarut dalam air untuk proses pembusukannya
sehingga dapat mematikan kehidupan dan menimbulkan bau busuk dalam air (Sugiharto,
1987). Selain itu, kehadiran 1 mg/L CN- sudah dapat bersifat fatal pada ikan (Mai, 2006).
Kebanyakan mikroorganisme pada proses pengolahan air limbah secara biologi pun sudah
tidak mampu beradaptasi dengan adanya kehadiran 30 mg/L CN- (Sugiharto, 1987).
Sementara air tanah di dekat industri tapioka tercatat ada yang mengandung 1,2-1,6 mg/L
CN-
(Mai, 2006).
Proses aerasi lumpur aktif dapat menghasilkan penurunan kadar Chemical Oxygen
Demand (COD) tinggi dalam waktu singkat. Limbah cair tapioka dengan kisaran kadar COD
965-2355 mg/L yang diolah dalam bak aerasi lumpur aktif selama 24 jam menjadi turun
konsentrasinya hingga hanya menjadi 29-70 mg/L (Mai, 2006). Namun, supply udara sebesar
43-123 m3
diperlukan untuk menguraikan 1 kg BOD dalam proses aerasi (Sugiharto, 1987).
Besarnya keperluan nutrien dan tingginya produksi lumpur juga membuat metode aerasi
lumpur aktif tidak sesuai untuk menangani air limbah berkadar COD tinggi (Mai, 2006).
Maka dari itu penelitian ini sangat penting untuk mengurangi kadar limbah cair dari tepung
tapioka ini.
Penelitian ini dilakukan perlakuan pre-klorinasi fresh feed dengan mencampur dan
mengaduk limbah cair tapioka dengan larutan kaporit 0,1 %, kemudian ditambahkan CaO 1%
untuk membuat PH menjadi 8 dan didiamkan hingga endapan terjadi. Kemudian dilakukan
proses inokulasi dan aklimatisasi dimana proses ini dilakukan sebagai berikut.
Proses inokulasi dilakukan dengan memasukkan benih lumpur yang diambil dari IPAL
industri tahu sistem ABR di daerah Lamper, Semarang sampai mencapai 1/3 volume ABR.
Setelah itu, dilakukan penambahan limbah cair tapioka hingga mencapai total volume kerja
bioreaktor 79 L. Sebelum dilakukan proses pengolahan limbah, proses aklimatisasi secara batch
perlu dilakukan sampai diperoleh kondisi steady state. Hal ini dimaksudkan agar mikroorganisme
dapat hidup secara stabil di dalam reaktor yang dalam penelitian ini ditandai dengan stabilnya
nilai COD cairan dalam bioreaktor. Sampel untuk analisa COD, BOD, TSS, CN- dan pH
merupakan cairan yang diambil dari tiap kompartemen dengan volume sama. Sementara hasil
5. pengadukan campuran cairan-lumpur dengan motor pengaduk sampai diperoleh suspensi
tercampur sempurna diambil dari tiap kompartemen dengan volume sama untuk sampel Mixed
Liquor Suspended Solid (MLSS) dan Mixed Liquor Volatile Suspended Solid (MLVSS). Supaya
hasil analisa akurat, total sampel diambil tiap run penelitian tidak boleh melebihi 5 % volume
kerja bioreaktor. Pengambilan sampel selama proses aklimatisasi dilakukan tiap interval 1 hari
untuk analisa kadar COD, MLSS, CN- dan pH. Sementara analisa kadar BOD dan MLVSS hanya
dilakukan tiap interval 3 hari mengingat kelemahan analisa BOD dan MLVSS yang memerlukan
waktu lama. Pada saat tercapai kondisi steady state, pengambilan sampel cairan dalam tiap
kompartemen ABR dilakukan untuk analisa pH, BOD, COD, TSS dan CN-
. Uji MLVSS dan
MLSS dalam penelitian ini dilakukan dengan metode gravimetri. Uji MLVSS dilakukan karena
nilai kadar parameter ini merupakan pendekatan konsentrasi mikroorganisme untuk perhitungan
nilai parameter kinetika reaksi.
Dengan menggunakan metode tersebut di atas, dapat mengurangi kadar limbah
tapioka yang sangat signifikan, dimana dengan penggunaan proses preklorinasi, dan
pengaturan PH 8 serta penggunaan reaktor sistem ABR dapat mengurangi kadar TSS, COD,
BOD dan sianida, masing-masing sebesar 268 mg/L, 878 mg/L, 1332 mg/L, 2,4 mg/L.
Dimana sebelum dilakukannya perlakuan di atas kadar limbah tapioka TSS, COD, BOD dan
sianida masing-masing sebesar 1200 mg/L, 7867 mg/L, 3870 mg/L, dan 51,2 mg/L. Dari
hasil tersebut, dikatakan bahwa penelitian ini berhasil dalam mengurangi kadar limbah cair
tapioka.
6. Perbandingan Antara Kedua Jurnal
Dalam kedua jurnal tersebut, perbedaannya cukup banyak diantaranya dari segi
metode penelitian dan dari hasil penelitian masing-masing, namun tujuan dari kedua jurnal
ini sama yaitu untuk mengurangi kadar limbah cair tepung tapioka. Dari jurnal Proses
Klorinasi untuk Menurunkan Kandungan Sianida dan Nilai KOK pada Limbah Cair
Tepung Tapioka bertujuan untuk mengurangi kadar KOK/COD dan sianida dari limbah
tepung tapioka sedangkan di jurnal Pengaruh Preklorinasi Terhadap Proses Start Up
Pengolahan Limbah Cair Tapioka Sistem Anaerobic Baffled Reactor bertujuan untuk
mengurangi kadar limbah cair tapioka diantaranya TSS, COD, BOD dan sinida.
Dari jurnal Proses Klorinasi untuk Menurunkan Kandungan Sianida dan Nilai KOK
pada Limbah Cair Tepung Tapioka menggunakan bahan-bahan yang cukup sederhana untuk
pengolahan limbah cair tepung tapioka. Bahan-bahan yang digunakan diantaranya Kaporit
(Ca(OCl)2) untuk mengurangi kadar limbah cair tepung tapioka dan NaOH untuk mengatur
PH optimum untuk pengolahan limbah cair tepung tapioka. Dari jurnal ini hasil yang
didapatkan cukup bagus yaitu dapt mengurangi kadar KOK/COD dan Sianida masing-masing
sebesar 1092,09 mg/L dan 30,08 mg/L. Yang semula limbah yang dihasilkan oleh industri
tepung tapioka sebesar 9953,01 mg/L untuk KOK dan 51,77 mg/L untuk sianida.
Sedangkan dari jurnal Pengaruh Preklorinasi Terhadap Proses Start Up
Pengolahan Limbah Cair Tapioka Sistem Anaerobic Baffled Reactor menggunakan bahan-
bahan seperti Kaporit (Ca(OCl)2) namun konsentrasinya 0,1%, dan CaO 1 % untuk mengatur
PH serta penggunaan reaktor sistem ABR, sedikit berbeda dengan jurnal Proses Klorinasi
untuk Menurunkan Kandungan Sianida dan Nilai KOK pada Limbah Cair Tepung Tapioka
yang mengutamakan berat kaporit 5 mg, dan NaOH untuk mengatur PH. Dari jurnal
Pengaruh Preklorinasi Terhadap Proses Start Up Pengolahan Limbah Cair Tapioka Sistem
Anaerobic Baffled Reactor, hasil yang diperoleh lebih baik yaitu dapat mengurangi kadar
COD/KOK hingga 1332 mg/L dan kadar sianida hingga 2,4 mg/L, kadar BOD hingga 878
mg/L dari 3870 mg/L, dan kadar TSS 268 mg/L dari 1200 mg/L.
Dari deskripsi tersebut dapat disimpulkan bahwa penangan limbah cair tepung
tapioka lebih baik menggunakan metode yang ada pada jurnal Pengaruh Preklorinasi
Terhadap Proses Start Up Pengolahan Limbah Cair Tapioka Sistem Anaerobic Baffled
Reactor untuk mendapatkan hasil yang lebih optimum.