1. Nama : Muhamad Anugrah, NIM : 20010015002, Program Pasca Sarjana U
METODE KRITIK HADITS BAB I S/D BAB III
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
.............................................................................................................................
METODE KRITIK HADITS BAB I S/D BAB III
A. Pendahuluan
Pada masa permulaan islam, Rasulullah saw tidak merestui para penulis wahyu mencatat
sabda-sabdanya selain Al-Quran
berhubungan dengan tulisan selain
adanya kecenderungan bahwa larangan Rasulullah saw tidak mutlak. Oleh karena itu, ulama
menyimpulkan beberapa kemungkinan sebab timbulnya mukhtalaf tersebut, yaitu :
• Pencatatan hadits dilarang pada permulaan islam, tetapi ketika islam sudah me
para sahabat diperbolehkan mencatatnya.
• Pencatatan hadit dilarang bagi mereka yang belum bisa membedakan antara
dan hadits.
• Pencatatan hadit dilarang bagi sahabat yang dapat memahami hadits dengan mudah,
dan diperbolehkan bagi yang sulit me
• Pencatatan hadits dilarang jika dicampuradukan dengan
• Pencatatan hadits dilarang jika para sahabat lebih mengutamakan mempelajari hadits
dari pada Al-Quran
Hadits yang pernah dicatat oleh sahabat pada zaman Rasulullah saw ada dua bent
• Al-Shahifah Al-Shadiqah
shahifah al-shahihah ditulis oleh Hammam Bin Munabih.
• Al-Majmuah, merupakan hadits yang dikumpulkan oleh Ali Bin Abi Thalib, Ibn Abbas
dan Ibn Mas’ud.
Pada masa tabi’in besar dan berakhirnya sahabat generasi terakhir, pegkodifikasian hadits
mendapat perhatian secara resmi dari pemerintahan waktu itu Umar Bin Abdul Aziz (99
menjadi khalifah. Peletak batu pertama mengumpulkan hadits nabi saw dalam satu kitab
Muhamad Anugrah, NIM : 20010015002, Program Pasca Sarjana Universitas Islam Bandung, 2015
1
RANGKUMAN
METODE KRITIK HADITS BAB I S/D BAB III
Oleh
Nama : Muhamad Anugrah
NIM : 20010015002
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2015
.............................................................................................................................
RANGKUMAN
METODE KRITIK HADITS BAB I S/D BAB III
Pada masa permulaan islam, Rasulullah saw tidak merestui para penulis wahyu mencatat
Quran, Rasulullah saw memerintahkan menghapus segala catatan yang
berhubungan dengan tulisan selain Al-Quran, tetapi pada beberapa peristiwa lainn
adanya kecenderungan bahwa larangan Rasulullah saw tidak mutlak. Oleh karena itu, ulama
menyimpulkan beberapa kemungkinan sebab timbulnya mukhtalaf tersebut, yaitu :
Pencatatan hadits dilarang pada permulaan islam, tetapi ketika islam sudah me
para sahabat diperbolehkan mencatatnya.
Pencatatan hadit dilarang bagi mereka yang belum bisa membedakan antara
Pencatatan hadit dilarang bagi sahabat yang dapat memahami hadits dengan mudah,
dan diperbolehkan bagi yang sulit memahaminya.
Pencatatan hadits dilarang jika dicampuradukan dengan Al-Quran.
Pencatatan hadits dilarang jika para sahabat lebih mengutamakan mempelajari hadits
Quran.
Hadits yang pernah dicatat oleh sahabat pada zaman Rasulullah saw ada dua bent
Shadiqah ialah pencatatan hadits oleh Abdullah Bin Amr Bin Ash, al
shahihah ditulis oleh Hammam Bin Munabih.
, merupakan hadits yang dikumpulkan oleh Ali Bin Abi Thalib, Ibn Abbas
bi’in besar dan berakhirnya sahabat generasi terakhir, pegkodifikasian hadits
mendapat perhatian secara resmi dari pemerintahan waktu itu Umar Bin Abdul Aziz (99
menjadi khalifah. Peletak batu pertama mengumpulkan hadits nabi saw dalam satu kitab
2015
......................................................................................................................................................
Pada masa permulaan islam, Rasulullah saw tidak merestui para penulis wahyu mencatat
, Rasulullah saw memerintahkan menghapus segala catatan yang
, tetapi pada beberapa peristiwa lainnya terungkap
adanya kecenderungan bahwa larangan Rasulullah saw tidak mutlak. Oleh karena itu, ulama
menyimpulkan beberapa kemungkinan sebab timbulnya mukhtalaf tersebut, yaitu :
Pencatatan hadits dilarang pada permulaan islam, tetapi ketika islam sudah menyebar
Pencatatan hadit dilarang bagi mereka yang belum bisa membedakan antara Al-Quran
Pencatatan hadit dilarang bagi sahabat yang dapat memahami hadits dengan mudah,
Pencatatan hadits dilarang jika para sahabat lebih mengutamakan mempelajari hadits
Hadits yang pernah dicatat oleh sahabat pada zaman Rasulullah saw ada dua bentuk yaitu :
ialah pencatatan hadits oleh Abdullah Bin Amr Bin Ash, al-
, merupakan hadits yang dikumpulkan oleh Ali Bin Abi Thalib, Ibn Abbas
bi’in besar dan berakhirnya sahabat generasi terakhir, pegkodifikasian hadits
mendapat perhatian secara resmi dari pemerintahan waktu itu Umar Bin Abdul Aziz (99 – 110 H)
menjadi khalifah. Peletak batu pertama mengumpulkan hadits nabi saw dalam satu kitab adalah
2. Nama : Muhamad Anugrah, NIM : 20010015002, Program Pasca Sarjana Universitas Islam Bandung, 2015
2
Muhammad Bin Syihab Az-Zuhri. Pada masa ini hadits nabi masih tercampur dengan fatwa sahabat
dan fatwa tabi’in. Kitab al-muwatha imam malik dipandang sebagai kitab tertua yang sampai ke
tangan umat islam, karena karya al-Zuhri tidak diketemukan.
Pada masa imam Bukhari terjadilah puncak ilmu hadits dan penilaian hadits secara kritis
karena beliaulah yang mula-mula menghimpun hadits shahih, pada zaman beliaulah diklasifikasikan
hadits secara marfu’, mauquf, mursal. Imam Syafi’i sebagai Nashir Al-Sunah yang sekaligus sebagai
peletak dasar epistemologi hadits, yang tersusun dalam kitabnya ar-Risalah. Pembagian hadits
secara eksplisit antara hadits shahih, hasan dan dhaif terjadi pada zaman al-tirmidzi (w. 279 H).
Adapun kriteria keshahihan suatu hadits adalah sebagai berikut, yaitu :
1. Itishal Al-Sanad
Bersambungnya sanad merupakan langkah pertama dalam meyakinkan penisbatan suatu
hadits kepada nabi saw. Setelah itu baru dibicarakan mengenai rawi yang meriwayatkannya.
Beberapa langkah dalam mengetahui bersambung tidaknya suatu sanad, diantaranya sebagai
berikut :
• Mencatat semua rawi dalam sanad yang akan diteliti.
• Mempelajari masa hidup masing-masing rawi.
• Mempelajari shigat tahammul wal ‘ada, yaitu bentuk lafal ketika menerima atau
mengajarkan hadits.
• Meneliti guru dan murid.
2. Adalat Al-Rawi
Menurut al-Razi, Adil didefinisikan sebagai kekuatan rohani (kualitas spiritual) yang
mendorong untuk berbuat takwa, yaitu mampu menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan
melakukan dosa-dosa kecil dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mubah yang menodai muruah,
seperti makan sambil berdiri, buang air kecil bukan pada tempatnya, serta bergurau secara
berlebihan.
3. Dhabit Al-Rawi
Dhabit ialah kemampuan rawi memelihara hadits, baik melalui hafalan maupun catatan, yaitu
mampu meriwayatkan hadits sebagaimana diterimanya.
4. Tidak Syadzdz
Syadzdz ialah apabila rawi yang tsiqat (terpercaya) dalam suatu hadits menyalahi hadits lain
yang rawinya lebih tsiqat dibandingkan rawi pada hadits pertama.
5. Tidak Ada Illat
Illat artinya penyakit atau sesuatu yang menyebabkan keshahihan hadits ternodai. Illat yang
ada pada suatu hadits tidak tampak suatu jelas melainkan samar-samar, sehingga sulit ditemukan,
3. Nama : Muhamad Anugrah, NIM : 20010015002, Program Pasca Sarjana Universitas Islam Bandung, 2015
3
kecuali oleh ahlinya. Oleh karenanya, hadits semacam ini akan banyak ditemukan pada tiap rawi
yang tsiqat sekalipun.
Ilmu jarh dan ta’dil mulai muncul sejak abad pertama dan berkembang pada abad kedua
hijriah, yaitu ketika banyak terjadi peristiwa besar dalam sejarah yang melibatkan para politisi,
sehingga carut marut politik dan perebutan kekuasaan dikhawatirkan memicu pembuatan hadits
palsu.
Kualifikasi para sahabat lebih difokuskan pada ke-dhabit-annya daripada keadilannya. Ilmu
hadits menyebut mereka sebagai adil secara keseluruhan. Para jarrih dan muaddil berbeda-beda
dalam memandang ke-tsiqat-an seorang rawi, ada yang tasahul, lebih longgar dan yang tasyaddud
lebih ketat. Sebagai contoh al-Hakim tasyahul dalam hadits yang berkaitan dengan keutamaan amal,
dan tasyaddud dalam hadits yang berkaitan dengan hukum.
Dhabit dan ‘adil tidak difahami sebagai syarat ilahiyah dalam diri seorang rawi dalam bentuk
kemaksuman, tetapi ukuran manusia biasa. Seorang perawi dikatakan marjuh apabila memiliki aib
sebagai berikut :
• Ia seorang bid’ah
• Mukhalafah, menyalahi periwayatannya dengan orang yang lebih tsiqat darinya.
• Ghalath, banyak keliru dalam periwayatan.
• Jahalah al-hal, keadaannya tidak diketahui.
• Da’wa al-inqitha, dituduh sanadnya tak bersambung.
B. Kualifikasi Rawi Dalam Sudut Tinjau Ke-Tsiqat-An
1. Kualifikasi Rawi Dalam Keadilannya
Pengertian adil adalah sifat yang tertanam kuat dalam diri yang membawa pelakunya pada
ketetapan takwa dan muru’ah. Adapun yang dimaksud takwa adalah menjauhnya seseorang
terhadap perbuatan buruk berupa kefasikan dan kebid’ahan, sedangkan yang dimaksud muru’ah
adalah terpeliharanya manusia dari hal-hal yang tercela secara adat kebiasaan.
Syarat-yarat adil menurut Nur al-din ‘Itir, yaitu :
• Hendaklah ia seorang muslim
• Hendaklah ia seorang balig
• Hendaklah ia seorang berakal
• Hendaklah ia seorang yang bertakwa
• Hendaklah ia menjaga muru’ah
a. Keadilan Sahabat
• Menurut khawarij mereka menolak pandangan mengenai seluruh sahabat itu adil
• Murjiah menganggap para sahabat merupakan orang-orang yang dapat dipercaya
dan tidak perlu dipertimbangkan tentang apa yang diperbuatnya.
• Mu’tazilah tidak sepakat dengan keadilan sahabat. Kaum mu’tazilah tidak
mengakui keberadaan sunah, karena mereka mergukan keorisinalannya dari Nabi
Muhammad saw.
4. Nama : Muhamad Anugrah, NIM : 20010015002, Program Pasca Sarjana Universitas Islam Bandung, 2015
4
• Syi’ah, mereka berpendapat tidak semua sahabat adil, terutama adalah para
sahabat yang mereka anggap merebut kekuasaan dari Ali Bin Abi Thalib.
• Ahli sunnah, ahli sunnah mengganggap semua sahabat adil, dan menyerahkan
persoalan pertentangan para sahabat kepada Allah SWT.
b. Keadilan Selain Sahabat
Para rawi terdiri atas sahabat, tabi’in, muhadramin, al-mawali dan tabiy tabi’in.
Pada periode setelah sahabat tidak berlaku lagi adanya kaidah keadilan secara menyeluruh,
karena pada periode ini aktivitas untuk meneliti keadilan rawi sangat efektif. Muncul dan
menjamurnya hadits-hadits palsu yang disebarkan atas dasar kepentingan kelompok masing-masing,
menyebabkan gencarnya para muhaditsin melakukan penelitian atas keadilan para rawi yang
meriwayatkan hadits.
2. Kualifikasi Rawi Dalam Ke-Dhabit-Annya
Kedhabitan rawi ditunjukan dalam kapasitias pemahaman, kecerdasan, dan dalam
penerimaan serta periwayatan hadits.
Seorang perawi mutlak menduduki maqam ini agar ia mampu menyampaikan kembali
secara baik dan benar apa yang dimaksud rasul saw, baik secara lafal atau makna. Seorang rawi
memiliki kesadaran dalam mengambil hadits. Setelah itu ia berjanji setia untuk menyampaikannya
dengan baik seperti ia mengambil dalam permulaan. Kemudian ke-dhabit-an rawi dalam memelihara
hadits itu bisa dengan mengingatnya atau menuliskannya.
Syarat Dhabit, yaitu :
• Rawi harus sadar, dalam arti dia harus mengetahui apa yang didengar dan dikatakannya.
• Rawi itu harus hafiz terhadap haditsnya, dalam arti ia tidak tertuduh dalam pemalsuan
(terhadap hadits yang diriwayatkannya)
Seorang perawi dalam memelihara hafalannnya harus memperhatiakan hal-hal sebagai
berikut, yaitu :
• Berusaha mempelajari hadits yang shahih, menerimanya dengan baik, baik dengan
mendengarnya ataupun dengan yang lainnya.
• Memelihara hadits yang sudah diterima dari gurunya, baik dengan mengingatnya atau
dengan menuliskannya. Dhabi shadr, meriwayatkan hadits yang dihafalkannya, dhzbit
kitab, meriwayatkan hadits melalui kitabnya.
Gelar keahlian para rawi
• Amir al-mukminin fi al-hadits,
• Al-hakim, gelar bagi yang menguasai hadits-hadits yang diriwayatkannya baik secara
matan, sifat rawi, ta’dil dan tarjih, sejarah hidup rawi dan guru-gurunya. Mereka yang
menghafal lebih dari 300.000 hadits. Ex. Ibnu Dinar, Al-Laits Bin Sa’ad, Imam Malik Bin
Anas, Imam Syafi’i
5. Nama : Muhamad Anugrah, NIM : 20010015002, Program Pasca Sarjana Universitas Islam Bandung, 2015
5
• Al-Hujjah, yang menghafal 300.000 hadits lengkap dengan sanad, rawi, jarh dan
ta’dilnya. Ex, Hisyam Bin Urwah, Muhammad Abdullah Bin Amr
• Al-hafizh, mereka yang hafal 100.000 hadits lengkap dengan sanad, rawi, jarh dan
ta’dilnya. Ex. Al-Iraqi, Syarifudin Al-Dimyati, Ibnu Hajar Al-Asqalani dan Ibnu Daqiqil ‘Ied
• Al-muhaddits, mereka yang hafal 1000 hadits lengkap dengan sanad, rawi, jarh dan
ta’dilnya, tingkatan hadits, mampu memahami al-kutub as-sitah, musnad ahmad, sunan
baihaqi, u’jam al-thabrani. Ex. Atha’ Bin Abi Rabah dan Al-Zabidi.
• Al-musnid, mereka yang memiliki keahlian meriwayatkan hadits lengkapdengan
sanadnya, baik menguasai ilmunya ataupun tidak. Mereka ini disebut juga dengan al-
thalib, al-mubtadi dan al-rawi.
C. Sejarah Perkembangan Ilmu Jarh Wa Ta’dil
1. Pengertian Jarh Wa Ta’dil
a. Pengertian Jarh Wa Ta’dil Secara Harfiah
Jarh atau tajrih menurut bahasa berarti luka atau melukai dan dapat juga diartikan sebagai aib
atau mengaibkan. Sedangkan ta’dil berarti lurus, meluruskan; ta’dil berarti pula tazkiyah yaitu
membersihkan atau menganggap bersih.
b. Pengertian Jarh Wa Ta’dil Menurut Istilah
Jarh secara istilah artinya tersifatinya seorang rawi dengan sifat tercela sehingga tertolak
riwayatnya. Sedangkan ta’dil artinya tersifatinya seorang rawi yang mengarah pada diterimanya
periwayatan. Orang yang dinilai adil adalah yang tidak cacat urusan agama dan muruahnya, sehingga
kabar dan persaksiannya dapat diterima sepanjang syarat-syarat terpenuhi. Ilmu jarh dan ta’dil
artinya ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah mencela perawi dan mengadilkannya.
Dalam kerangka jarh dan ta’dil, maka para perawi hadits adalah mereka yang memiliki
persyaratan berikut :
• Islam, riwayat orang kafir tidak boleh diterima.
• Baligh, orang yang meriwayatkan hadits disyaratkan dewasa karena kedewasaan ini
seseorang akan mendapat taklif, tuntutan pertanggungjawaban terhadap yang
perkataan dan perbuatannya.
• Adil, suatu sifat yang mendorong untuk berbuat takwa secara terus menerus dan
selalu terpelihara kehormatan pribadinya (muruah).
• Dhabi, kuat hafalan dan daya tangkapnya.
Menurut imam malik, tidak boleh diterima hadits dari empat kelompok di bawah ini, yaitu :
• Jangan diterima dari orang yang diktehui kebodohannya.
• Jangan diterima dari pendusta.
• Jangan diterima dari pelaku hawa nafsu.
• Seorang ahli ibadah, apabila dia tidak memahami dan mengetahui yang
diriwayatkannya.
6. Nama : Muhamad Anugrah, NIM : 20010015002, Program Pasca Sarjana Universitas Islam Bandung, 2015
6
2. Hukum Men-Jarh Dan Men-Ta’dil
Menurut Ibnu Daqiqi al-Ied jika tidak sangat mendesak tidak dibenarkan mencerca seseorang ,
mencela dibutuhkan jika terpaksa, walaupun tetap dalam batas-batas wajar.
Dengan demikian, pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut, yaitu :
• Mencela seseorang diperbolehkan bila diperlukan dalam periwayatan hadits.
• Tidak dibenarkan mengungkapkan bebagai macam keaiban jika sudah cukup dengan
satu macam saja.
• Mencela orang yang meriwayatkan hadits termasuk keadaan memaksa.
Al-Hafizh An-Nawawi mengatakan bahwa hukum men-tarjih seseorang yang meriwayatkan
hadits bukan hanya sekedar boleh, tetapi juga wajib; ini dilakukan tidak lain untk membela
kepentingan syariat Islam.
3. Latar Belakang Terjadinya Jarh Wa Ta’dil
Pertumbuhan ilmu jarh dan ta’dil dimulai sejak adanya periwayatan hadits; ini adalah sebagi
usaha ahli hadits dalam memilih dan menentukan hadits shahih dan dhaif. Berikut adalah tujuh
periode perkembangan hadits, yaitu :
• Masa turun wahyu
• Masa khulafaur rasyidin, masa pembatasan dan penyedikitan riwayat.
• Masa perkembangan dan perlawanan ke kota-kota untuk memberi hadits.
• Masa pembukuan hadits.
• Masa pen-tashih-an hadits.
• Masa menafis dan menyaring kitab-kitab hadits
• Masa membuat syarah dan menyusun kitab-kitab takhrij, mengumpulkan hadits
hukum dan menyusun dalam kitab-kitab jami’.
a. Masa Turunnya Wahyu
Pada periode pertama hanya Rasulullah saw yang menjadi pusat perhatian umat islam, baik
mengenai lisan maupun perbuatannnya. Para sahabat langsung menanyakan persoalan itu kepada
Rasulullah atau menyuruh orang lain yang dipercaya. Rasulullah saw menyampaikan risalah melalui
berbagai cara, yaitu :
• Mengajar secara bertahap, dari tauhid ke hukum, gamapang ke sulit, dsb.
• Medan pengajaran, Rasulullah saw selalu memilih tempat yang sesuai untuk
mengajar. Contoh Darul Arqam di Mekah.
• Variasi waktu, waktu diatur agar tidak membosankan.
• Penerapan ilmu, bukan hanya teori tetapi praktek juga.
• Keluwesan dalam mendidik dan mengajar, mempergunakan bahasa yang lembut
dan berbagai contoh.
• Memelihara kebersamaan dari masyarakat yang heterogen, mengajar dengan
memperhatikan audience.
7. Nama : Muhamad Anugrah, NIM : 20010015002, Program Pasca Sarjana Universitas Islam Bandung, 2015
7
• Memudahkan dan tidak bertindak kasar, Rasulullah saw menyediakan waktu dan
tempat khusus untuk mengajar bagi wanita.
Cara-cara shahabat menerima ajaran Rasulullah saw, yaitu :
• Majelis Rasulullah, Rasulullah saw membuat majelis khusus, kemudian shahabat
mendatanginya.
• Kasus-kasus yang dialami sendiri oleh Rasulullah saw, apabila Rasulullah saw
menjumpai suatu persoalan yang kiranya penting, maka akan disampaikan
kepada para shahabat.
• Peristiwa-peristiwa yang terjadi terhadap kaum muslimin. Manakala sahabat
menemukan suatu persoalan, maka hal tersebut akan disampaikan kepada
Rasulullah saw.
• Peristiwa-peristiwa yang disaksikan para sahabat bagaimana Rasulullah saw
melakukannnya.
b. Masa Khulafa Al-Rasyidin
• Masa Abu Bakar dan Umar, pada masa ini yang diutamakan dipelajari dan
disebarluaskan adalah al-Quran; sedangkan mengenai hadits tidak menjadi
pengajarn khusus sebagaimana al-Quran.
• Masa Utsman dan Ali Bin Abi Thalib, pada masa ini bepergian dari satu kota ke
kota lain dalam rangka mencari ilmu dan informasi tentang hadits banyak
dilakukan oleh para shahabat dan thabi’in besar.
c. Masa Perkembangan Riwayat
Pada masa ini marak pembuatan hadits palsu, dikarenakan fitnah yang melanda umat islam,
kelompok-kelompk yang dicuragai membuat hadits palsu adalah sebagai berikut, yaitu :
• Syiah (pembela Ali), kelompok ini banyak membuat hadits palsu yang memuji Ali
dan ahli bait, imamah dan wilayah yang hanya untuk Ali karena beliau adalah wali
Nabi.
• Ahli sunnah wal jama’ah, bersifat netral, hanya mengikuti pemerintahan yang
sedang berkuasa.
• Khawarij, golongan ini mencela Utsaman bin Affan, Ali bin Abi Thali dan
Muawiyah.
• Murjiah, tidak menyetujui pemahaman khawarij yang mengkafirkan orang
berdosa besar.
• Mu’tazilah, golongan yang menggap fasik orang yang berdosa besar.
Adapun alasan banyak orang yang mebuat hadits palsu adalah sebagai berikut, yaitu :
• Perbedaan pandangan politik, demi mempertahankan keutuhan dan kelestarian
politik masing-masing, umat islam pada masa itu membuat hadits palsu dan
mengatasnamakan Rasulullah saw dlam fatwa-fatwanya.
• Kaum zindiq, orang-orang kafir dan membenci islam. Mereka sengaja membuat
hadits palsu, agar mat islam ragu kepada agamanya.
• Ta’ashub kebangsaan, qabilah, bahasa, negara, dan imam madzhab.
8. Nama : Muhamad Anugrah, NIM : 20010015002, Program Pasca Sarjana Universitas Islam Bandung, 2015
8
• Pendongeng dan orator, untuk menyemarakan susana mereka menambah-
nambah hadits dan dongeng-dongeng atas nama Rasulullah saw.
• Perbedaan fiqih dan kalam,
• Orang yang mencintai kebaikan, tetapi tidak melengkapi dirinya dengan
pengetahuan agama. Sengaja membuat hadits palsu sesuai ibadah yang mereka
sukai (taghrib) dan dorongan untuk membenci suatu amal (tarhrb)
Menurut Ibn Sirrin menjadi jelas bahwa fitnah, bid’ah dan tersebarluasnya hadits palsu
merupakan pendorong utama dari muhadditsin untuk membicarakan hadits dari segala seginya,
termasuk didalamnya membicarakan sanad dan matannya sekaligus.
4. Para Perintis Ilmu Jarh Wa Ta’dil
Para sahabat yang pernah memperkatakan sanad adalah IbnAbbas (w. 96 H) dan Anas bin
Malik (w. 93 H). Dilakalangan thabi’in adalah Al-Syu’bi (104 H), Ibn Sirin (110 H), dikalangkan thabi’it
thabi’in adalah Ibn Ma’in (233 H), Ahmad Bin Hambal (241 H) dsb.
Referensi
Abdurrahman, M, Metode Kritik Hadits, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2013)