Dokumen tersebut membahas tentang pengukuran beda tinggi permukaan bumi menggunakan alat penyipat datar. Ia menjelaskan definisi, tujuan, komponen, konsep, dan jenis pengukuran beda tinggi dengan alat tersebut, termasuk perhitungan dan perataan hasil pengukuran. Dokumen ini juga menyebutkan sumber potensial kesalahan dalam pengukuran beda tinggi di lapangan menggunakan alat penyipat datar.
2. Definisi
Tujuan :
menentukan beda tinggi antara titik – titik di
atas permukaan bumi secara teliti.
Tinggi suatu obyek di atas permukaan bumi
mengacu pada suatu bidang referensi yaitu
bidang yang ketinggiannya dianggap nol.
3. Definisi
Bidang ini disebut sebagai bidang geoid, yaitu
bidang ekuipotensial yang berhimpit dengan
permukaan air laut rerata (mean sea level)
bidang nivo bidang yang selalu tegak lurus
dengan arah gaya berat dimana saja di
permukaan bumi.
5. Alat Penentu Beda tinggi
Penentuan beda tinggi :
a. Sipat datar (spirit levelling)
b. Takhimetrik (tachymetric levelling)
c. Trigonometrik (trigonometric levelling)
d. Barometrik (barometric levelling)
6. Komponen Dasar Alat Sipat Datar
Alat sipat datar terdiri atas :
a. statip agar alat tegak berdiri
b. rambu ukur membaca tinggi garis bidik pada
titik yang akan diukur beda tingginya di lapangan.
Bahan bisa terbuat dari aluminium, besi, kayu atau
invar. Rambu memilki nivo rambu dan statip rambu
agar dapat membantu rambu tegak berdiri.
Panjang rambu 3, 4 atau 5 m.
7. Konsep Pengukuran Beda Tinggi
Pengukuran beda tinggi antara dua buah titik
1.Konsep Penentuan beda tinggi.
Gambar 3 Penentuan beda tinggi
Sipat datar merupakan konsep penentuan beda tinggi antar dua buah
titik atau lebih dengan garis bidik mendatar / horisontal yang diarahkan
pada rambu – rambu yang berdiri tegak / vertikal.
8. Konsep Pengukuran Beda Tinggi
Beda tinggi antar A dan B dapat dirumuskan sebagai berikut ini.
∆HAB = a – b ,
dengan
A dan B : titik di atas permukaan bumi yang akan diukur beda
tingginya,
a dan b : bacaan rambu atau tinggi garis mendatar / garis bidik
di titik A dan B
HA dan HB
: ketinggian titik A dan B di atas bidang referensi (m)
∆HAB : beda tinggi antara A dan B (m)
Apabila ∆HAB > 0, maka Posisi titik B lebih tinggi daripada
titik A.
Apabila ∆HAB < 0, maka Posisi titik B lebih rendah daripada
titik A
9. Tipe Pengukuran Beda Tinggi
2. Tipe pengukuran beda tinggi antara dua buah titik.
Jarak bidik optimum alat penyipat datar berkisar antara
40 – 60 m, sehingga bila jarak antar dua buah titik
yang akan diukur cukup dekat, maka tipe
pengukuran dengan alat penyipat datar dapat
dilakukan dengan beberapa kemungkinan cara
sebagai berikut.
10. Tipe Pengukuran Beda Tinggi
Gambar 4 Kemungkinan tipe pengukuran beda tinggi di lapangan
11. Tipe Pengukuran Beda Tinggi
Slag : jarak antara dua buah rambu, dimana
posisi alat berada di tengahnya, sehingga
terjadi bidikan ke rambu muka dan ke rambu
belakang.
12. Pengukuran Sipat Datar Berantai
3. Pengukuran sipat datar berantai.
Pengukuran ini dilakukan apabila jarak antara
dua buah titik yang akan diukur berjauhan (melebihi
batas optimum) dan dinamakan differential levelling.
Pengukuran beda tinggi tidak cukup dilakukan
satu kali jalan melainkan dilakukan pengukuran pergipulang dengan pelaksanaan salam satu hari
(dinamakan seksi/section) yang dimulai dan diakhiri
pada titik tetap.
Gabungan beberapa seksi dinamakan trayek.
14. Pengukuran Sipat Datar Berantai
Pada gambar di atas, titik A dan B adalah titik yang
akan dicari beda tingginya.
Karena jarak cukup jauh, maka dibuat beberapa slag.
Beda tinggi antara A dan B adalah kumulatif dari
beda tinggi setiap slag, yaitu :
∆hA1 = a1 – b1
dengan,
Σa
: jumlah pembacaan rambu belakang
∆hA2 = a2 – b2
Σb
: jumlah pembacaan rambu muka
∆hA3 = a3 – b3
Σ ∆h
: beda tinggi setiap slag
- = - ∆hAB = Σ ∆ h = Σ a – Σ b
15. Perataan Beda Tinggi
4. Perataan beda tinggi ukuran sipat datar
Apabila jarak antara dua buah titik sangat jauh,
dilakukan pengukuran pergi – pulang. Beda tinggi
yang diperoleh pun ada dua yaitu beda tinggi pergi
(∆hpg) dan beda tinggi pulang (∆hpl).
Beda tinggi definitif yang digunakan adalah
rerata antara ∆hpg dan ∆hpl sebagai berikut.
∆h rerata (∆hr) = 0,5 x (∆hpg + ∆hpl)
16. Perataan Beda Tinggi
• Pengukuran pergi – pulang akan menghasilkan beda tinggi
(∆h) yang tidak sama (∆hpg ≠ ∆hpl ), oleh karena dalam
pengukuran di lapangan banyak ketidak sempurnaan. Selisih
antara hasil pengukuran pergi dan pulang serta jarak
antaranya akan menentukan diterima atau tidaknya hasil
pengukuran tersebut.
• Angka penentu diterima atau tidaknya perbedaan hasil
pengukuran pergi dan pulang (∆hpg dan ∆hpl) disebut toleransi.
Apabila selisih ∆hpg dan ∆hpl ≤ toleransi pengukuran
tersebut diterima. Apabila selisih ∆hpg dan ∆hpl > toleransi
pengukuran tersebut ditolak.
17. Perataan Beda Tinggi
• Apabila hasil pengukuran diterima (selisih ∆hpg dan
∆hpl ≤ toleransi ), maka beda tinggi definitif antara A
dan B adalah rerata ∆hpg dan ∆hpl.
• Selisih antara ∆hr dan ∆hpg dinamakan penyimpangan
pengukuran pergi sedangkan selisih antara ∆hr dan
∆hpl penyimpangan pengukuran pulang.
• Simbol untuk penyimpangan pengukuran pergi atau
pulang adalah fh.
18. Perataan Beda Tinggi
Apabila akan dicari beda tinggi antar slag secara definitif
maka ∆hpg atau ∆hpl dikoreksi sebanding dengan jarak –
jaraknya, atau :
εΗi = fH x (di / Σd)
dengan
εΗi : koreksi beda tinggi slag ke i
fH : kesalahan atau penyimpangan pengukuran
di : jarak slag ke i
Σd : jumlah jarak dalam seksi
19. Perataan Beda Tinggi
Apabila pengukuran terdiri atas beberapa seksi dan berbentuk tertutup
(loop/circuit) persyaratan untuk setiap seksi harus ≤ toleransi.
Pengukuran tertutup (loop/circuit) juga harus ≤ toleransi, selain itu jumlah
beda tinggi rerata loop seksi harus sama dengan nol (Σ∆hRS = 0 ).
Apabila Σ∆hRS ≠ 0 dinamakan fH (kesalahan penutup beda tinggi).
Apabila fh ≤ toleransi pengukuran tertutup diterima.
Agar dapat memenuhi persyaratan Σ∆hRS = 0, maka beda tinggi rerata setiap
seksi dikoreksi sebesar berikut.
εHi = fH x ( Di / ΣD )
dengan
εHi : koreksi beda tinggi seksi ke i
fH : kesalahan penutup beda tinggi
Di : jarak seksi ke i (jarak rerata pergi – pulang)
ΣD : jumlah jarak pengukuran tertutup
20. Sumber Kesalahan yang umumnya terjadi dalam Pengukuran dengan
menggunakan Alat Penyipat Datar di Lapangan
Bersumber dari alat ukur
a.
b.
c.
d.
garis bidik tidak sejajar garis arah nivo
kesalahan titik nol rambu
rambu tidak betul - betul vertikal
penyinaran pada alat tidak merata
a.
b.
c.
d.
kurang paham tentang pembacaan rambu
mata cacat atau lelah
kondisi fisik yang lemah
pendengaran yang kurang
a.
b.
c.
kelengkungan permukaan bumi
refraksi sinar
Undulasi
Bersumber dari si pengukur
Bersumber dari alam
Kondisi tanah tidak stabil