1. Dokumen tersebut membahas tentang kemiskinan dalam pandangan Islam, termasuk pengertian orang miskin dan orang faqir menurut pandangan syariah.
2. Islam memandang bahwa kemiskinan adalah ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan primer seperti sandang, pangan, dan papan.
3. Orang faqir didefinisikan sebagai orang yang tidak punya harta dan penghasilan, sementara orang miskin masih punya sedikit pen
1. Keberuntung orang Miskin
Aisyah pernah mendengar Rasulullah SAW berdoa, ” Ya Allah, jadikanlah aku
hidup sebagai seorang yang miskin. Cabutlah nyawaku dalam keadaan
miskin. Lalu kumpulkanlah aku pada hari Kiamat nantibersama kelompok
orang-orang miskin”.
Mendengar doa itu, Aisyah bertanya, “Mengapa engkau berdoa seperti itu
wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Orang-orang miskin masuk surga lebih awal 40 tahun (1
hari = 1000 tahun dunia) daripada orang-orang kaya. Wahai Aisyah, jangan
pernah menolak orang miskin meski engkau hanya memberinya separuh biji
kurma” (HR Tirmidzi).
2. Maka, disaat orang-orang kaya penuh kekhawatiran, cemas, ketakutan
menghadapi nasib yang akan menimpa mereka, orang-orang miskin sudah
menikmati kenikmatan istana surga 14.600.000 tahun lebih awal.
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat
sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan
dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia
itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (Ali „Imran: 185)
Kemiskinan adalah fenomena yang begitu mudah dijumpai di mana-mana.
Tak hanya di desa-desa, tapi juga di kota-kota. Di balik kemegahan
gedung-gedung pencakar langit di Jakarta, misalnya, tidak terlalu sulit kita
jumpai rumah-rumah kumuh berderet di bantaran sungai, atau para
pengemis yang berkeliaran di perempatan-perempatan jalan.
Harus diakui, Kapitalisme memang telah gagal menyelesaikan problem
kemiskinan. Alih-alih dapat menyelesaikan, yang terjadi justru menciptakan
kemiskinan
3. Pengertian Kemiskinan Menurut Islam
Menurut bahasa, miskin berasal dari bahasa Arab yang sebenarnya
menyatakan kefakiran yang sangat. Allah Swt. menggunakan istilah itu dalam
firman-Nya:
] [
“..atau orang miskin yang sangat fakir” (QS al-Balad [90]: 16)
Dalam pengertian yang lebih definitif, Syekh An-Nabhani mengategorikan
yang punya harta (uang), tetapi tak mencukupi kebutuhan pembelanjaannya
sebagai orang fakir. Sementara itu, orang miskin adalah orang yang tak
punya harta (uang), sekaligus tak punya penghasilan. (Nidzamul Iqtishadi fil
Islam, hlm. 236, Darul Ummah-Beirut). Pembedaan kategori ini tepat untuk
4. menjelaskan pengertian dua pos mustahiq zakat, yakni al-fuqara (orang-
orang faqir) dan al-masakiin (orang-orang miskin), sebagaimana firman-Nya
dalam QS at-Taubah [9]: 60.
Kemiskinan atau kefakiran adalah suatu fakta, yang dilihat dari kacamata
dan sudut mana pun seharusnya mendapat pengertian yang sesuai dengan
realitasnya. Sayang peradaban Barat Kapitalis, pengemban sistem ekonomi
Kapitalis, memiliki gambaran/fakta tentang kemiskinan yang berbeda-beda.
Mereka menganggap bahwasannya kemiskinan adalah ketidakmampuan
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan atas barang ataupun jasa secara
mutlak. Karena kebutuhan berkembang seiring dengan berkembang dan
majunya produk-produk barang ataupun jasa, maka –mereka menganggap–
usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan atas barang dan jasa itu pun
mengalami perkembangan dan perbedaan.
Akibatnya, standar kemiskinan/kefakiran di mata para Kapitalis tidak
memiliki batasan-batasa yang fixed. Di AS atau di negara-negara Eropa
Barat misalnya, seseorang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan-
kebutuhan sekundernya sudah dianggap miskin. Pada saat yang sama, di
Irak, Sudan, Bangladesh misalnya, seseorang yang tidak dapat memenuhi
kebutuhan sekundernya, tidak dikelompokkan dalam kategori fakir/miskin.
Perbedaan-perbedaan ini–meski fakta tentang kemiskinan itu sama saja di
mana pun–akan mempengaruhi mekanisme dan cara-cara pemecahan
masalah kemiskinan.
5. Berbeda halnya dengan pandangan Islam, yang melihat fakta
kefakiran/kemiskinan sebagai perkara yang sama, baik di Eropa, AS maupun
di negeri-negeri Islam. Bahkan, pada zaman kapan pun, kemiskinan itu sama
saja hakikatnya. Oleh karena itu, mekanisme dan cara penyelesaian atas
problem kemiskinan dalam pandangan Islam tetap sama, hukum-hukumnya
fixed, tidak berubah dan tidak berbeda dari satu negeri ke negeri lainnya.
Islam memandang bahwa kemiskinan adalah fakta yang dihadapi umat
manusia, baik itu muslim maupun bukan muslim.
Islam memandang bahwa masalah kemiskinan adalah masalah tidak
terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primer secara menyeluruh. Syariat Islam
telah menentukan kebutuhan primer itu (yang menyangkut eksistensi
manusia) berupa tiga hal, yaitu sandang, pangan, dan papan. Allah Swt.
berfirman:
] [
“Kewajiban ayah adalah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu
dengan cara yang makruf” (QS al-Baqarah [2]:233).
] [
6. “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal, sesuai
dengan kemmpuanmu” (QS ath-Thalaaq [65]:6).
Rasulullah saw. bersabda:
“Ingatlah, bahwa hak mereka atas kalian adalah agar kalian berbuat baik
kepada mereka dalam (memberikan) pakaian dan makanan” (HR Ibnu Majah).
Dari ayat dan hadis di atas dapat di pahami bahwa tiga perkara (yaitu
sandang, pangan, dan papan) tergolong pada kebutuhan pokok (primer),
yang berkait erat dengan kelangsungan eksistensi dan kehormatan manusia.
Apabila kebutuhan pokok (primer) ini tidak terpenuhi, maka dapat berakibat
pada kehancuran atau kemunduran (eksistensi) umat manusia. Karena itu,
Islam menganggap kemiskinan itu sebagai ancaman yang biasa
dihembuskan oleh setan, sebagaimana firman Allah Swt.“Setan menjanjikan
(menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan” (TQS al- Baqarah [2]:268).
Dengan demikian, siapa pun dan di mana pun berada, jika seseorang tidak
dapat memenuhi kebutuhan pokok (primer)nya, yaitu sandang, pangan, dan
papan, dapat digolongkan pada kelompok orang-orang yang fakir ataupun
miskin. Oleh karena itu, setiap program pemulihan ekonomi yang ditujukan
mengentaskan fakir miskin, harus ditujukan kepada mereka yang tergolong
pada kelompok tadi. Baik orang tersebut memiliki pekerjaan, tetapi tetap
tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya dengan cara yang makruf, yakni
fakir, maupun yang tidak memiliki pekerjaan karena PHK atau sebab lainnya,
yakni miskin.
7. Jika tolok ukur kemiskinan Islam dibandingkan dengan tolok ukur lain, maka
akan didapati perbedaan yang sangat mencolok. Tolok ukur kemiskinan
dalam Islam memiliki nilai yang jauh lebih tinggi dari tolok ukur lain. Sebab,
tolok ukur kemisknan dalam Islam mencakup tiga aspek pemenuhan
kebutuhan pokok bagi individu manusia, yaitu pangan, sandang, dan
pangan. Adapun tolok ukur lain umumnya hanya menitikberatkan pada
pemenuhan kebutuhan pangan semata. Tolok ukur kemiskinan dari berbagai
versi dan perbandingannya dapat dilihat pada tabel berikut.
Kemiskinan Versi PBS
Biro Pusat Statistik (BPS)menggunakan batas garis kemiskinan berdasarkan data
konsumsi dan pengeluaran komoditas pangan dan non pangan. Komoditas pangan
terpilih terdiri dari 52 macam, sedangkan komoditas non pangan terdiri dari 27
jenis untuk kota dan 26 jenis untuk desa. Garis kemiskinan yang telah ditetapkan
BPS dari tahun ketahun mengalami perubahan.
Menurut Indonesian Nutrition Network (INN) tahun 2003 adalah Rp 96.956 untuk
perkotaan dan Rp 72.780 untuk pedesaan.
Kemudian menteri sosial menyebutkan berdasarkan indikator BPS garis kemiskinan
yang diterapkannya adalah keluarga yang memilki penghasilan di bawah Rp
150.000 perbulan. Bahkan Bappenas yang sama mendasarkan pada indikator BPS
8. tahun 2005 batas kemiskinan keluarga adalah yang memiliki penghasilan di bawah
Rp 180.000 perbulan.
Dalam penanggulangan masalah kemiskinan melalui program bantuan langsung
tunai (BLT) BPS telah menetapkan 14 (empat belas) kriteria keluarga miskin, seperti
yang telah disosialisasikan oleh Departemen Komunikasi dan Informatika (2005),
rumah tangga yang memiliki ciri rumah tangga miskin, yaitu:
1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang
2. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.
3. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas
rendah/tembok tanpa diplester.
4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga
lain.
5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan.
7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah.
8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu.
9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.
10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari.
11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik.
12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 0, 5
ha. Buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan
lainnya dengan pendapatan di bawah Rp 600.000 per bulan.
13. Pendidikan tertinggi kepala kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat
SD/hanya SD.
14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp 500.000,
seperti: sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau
barang modal lainnya.
Ada satu kriteria tambahan lagi, hanya tidak terdapat dalam leaflet bahan sosialisasi
Departemen Komunikasi dan Informatika tentang kriteria rumah tangga miskin,
yaitu rumah tangga yang tidak pernah menerima kredit usaha UKM/KUKM setahun
lalu.
9. Kemiskinan dalam Pandangan Syariah
Kalau anda bertanya kepada kami, maka jawabannya adalah jawaban yang bersifat
fiqhiyah, sebagaimana yang ditulis oleh para ulama sepanjang zaman.
Namun sifatnya tidak sedetail apa yang sudah dibuat oleh BPS di atas. Sifatnya
masih terlalu umum, dan tidak ada salahnya para ulama bekerja sama dengan BPS
dalam menetapkan detail kriteria orang miskin.
Ambillah Al-Quran, di sana akan kita temukan kata miskin diulang-ulang. Kalau
kita rajin menghitungnya, kita akan menemukan paling tidak 11 kali kali kata itu
disebut di dalamnya. Selain miskin, ada juga istilah yang sangat berdekatan dan
nyaris tumpang tindih dengannya, yaitu faqir.
Bahkan dalam bahasa Indonesia, keduanya sering dijadikan dua kata yang melekat,
fakir miskin. Padahal masing-masing kata itu punya makna sendiri yang spesifik.
Orang-orang Faqir (Fuqara')
Mazhab Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah memandang bahwa yang dimaksud
dengan faqir adalah orang yang tidak punya harta serta tidak punya penghasilan
yang mencukupi kebutuhan dasarnya. Atau mencukupi hajat paling asasinya.
Termasuk di antaranya adalah seorang wanita tidak punya suami yang bisa
menafkahinya.
Hajat dasar itu sendiri berupa kebutuhan untuk makan yang bisa meneruskan
hidupnya, pakaian yang bisa menutupi sekedar auratnya atau melindungi dirinya
dari udara panas dan dingin, serta sekedar tempat tinggal untuk berteduh dari
panas dan hujan atau cuaca yang tidak mendukung.
Orang-orang Miskin (Masakin)
Sedangkan miskin adalah orang yang tidak punya harta yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, namun masih ada sedikit kemampuan untuk
10. mendapatkannya. Dia punya sesuatu yang bisa menghasilkan kebutuhan dasarnya,
namun dalam jumlah yang teramat kecil dan jauh dari cukup untuk sekedar
menyambung hidup dan bertahan.
Dari sini bisa kita komparasikan ada sedikit perbedaan antara faqir dan miskin,
yaitu bahwa keadaan orang faqir itu lebih buruk dari orang miskin. Sebab orang
miskin masih punya kemungkian pemasukan meski sangat kecil dan tidak
mencukupi. Sedangkan orang faqir memang sudah tidak punya apa-apa dan tidak
punya kemampuan apapun untuk mendapatkan hajat dasar hidupnya.
Pembagian kedua istilah ini bukan sekedar mengada-ada, namun didasari oleh
firman Allah SWT berikut ini:
Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan
aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja
yang merampas tiap-tiap bahtera.(QS. Al-Kahfi: 79)
Di ayat ini disebutkan bahwa orang-orang miskin itu masih bekerja di laut. Artinya
meski mereka miskin, namun mereka masih punya hal yang bisa dikerjakan, masih
punya penghasilan dan pemasukan, meski tidak mencukupi apa yang menjadi hajat
kebutuhan pokoknya.
11. Namun Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah menyatakan sebaliknya, bahwa orang miskin
itu lebih buruk keadaannya dari orang faqir. Hal ini didasarkan kepada makna
secara bahasa dan juga nukilan dari ayat Al-Quran juga.
atau kepada orang miskin yang sangat fakir.(QS. Al-Balad: 16)
Maka tidak ada salahnya buat para ulama untuk duduk bersama dengan para
umara' serta para ahli di bidang kemiskinan untuk menetapkan ambang batas
kemiskinan itu.
Kesepakatan ini mutlak diperlukan, karena dari sisi tataran dalil syariah, kita hanya
mendapatkan kriteria yang sangat umum, kurang detail dan kurang bisa langsung
diterapkan untuk masalah distribusi penanggulangan kemiskinan.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,