1. Konsili Vatikan II tentang:
IMAN – WAHYU
Manusia menyerahkan Diri (kepada)
Allah (yang) menyatakan Diri dalam Sejarah
Y.B. Prasetyantha, MSF
2. Konsili Vatikan II tentang Iman
• Dei Verbum art. 5:
– Kepada Allah yang menyampaikan wahyu manusia
wajib menyatakan “ketaatan iman” (Rom 16:26; lih.
Rom 1:5; 2Kor 10:5-6). Demikianlah manusia dengan
bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah,
dengan mempersembahkan “kepatuhan akalbudi
serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah yang
mewahyukan” [Konsili Vatikan I, Konstitusi dogmatis
tentang iman katolik, bab 3 tentang iman: Denz.
1789 (3008)], dan dengan secara sukarela menerima
sebagai kebenaran wahyu yang dikaruniakan oleh-
Nya.
3. – Supaya orang dapat beriman seperti itu, diperlukan
rahmat Allah yang mendahului dan menolong, pun
juga bantuan batin Roh Kudus, yang menggerakkan
hati dan membalikkannya kepada Allah, membuka
mata budi, dan menimbulkan “pada semua orang
rasa manis dalam menyetujui dan menpercayai
kebenaran” [Konsili Orange II, kanon 7, Denz. 180
(377); Konsili Vatikan I, dalam konstitusi itu juga;
Denz. 1791 (3010)]. Supaya semakin mendalamlah
pengertian akan wahyu, Roh Kudus itu juga
senantiasa menyempurnakan iman melalui kurnia-
kurnia-Nya.”
4. • Konsili Vatikan II bicara tentang Paham Iman
dengan istilah “Ketaatan iman”:
– “Dengan bebas [manusia] menyerahkan diri seutuhnya
kepada Allah” → lebih biblis dan personalistis dan bukan
kesetujuan intelektual semata
– “Kepatuhan akalbudi serta kehendak yang sepenuhnya
kepada Allah yang mewahyukan” → KV I unsur
intelektual dari iman
– “Dengan secara sukarela menerima sebagai kebenaran
wahyu yang dikaruniakan oleh-Nya” → “formula magis
technica” (rumusan yang lebih teknis) → iman secara
hakiki berarti kesetujuan (assensus) dengan ajaran →
unsur kebebasan dalam iman
5. • Konsili Vatikan II bicara tentang rahmat
sebagai syarat untuk iman:
– Satu peristiwa iman dengan tiga unsur:
• Akal budi (bukan suatu gerakan jiwa yang
buta)
• Kehendak (bukan kesimpulan matematis
tetapi suatu kesetujuan pribadi yang bebas)
• Rahmat (anugerah dan bantuan Allah)
7. • Beriman adalah Perjumpaan Dinamis
– Pengalaman perjumpaan yang menantang orang
menyerahkan hidup seluruhnya (ultimate concern)
kepada Allah yang memanggil untuk berbagi Hidup
– Keterlibatan dinamik dari segenap kemampuan dan
seluruh kemerdekaan manusia yang aktif-hidup (R.
Haight)
– Hubungan eksistensial-aktual pribadi (disebut
“wahyu” kalau dilihat dari sudut Allah, diberi nama
“iman” jika dilihat dari sudut manusia)
8. • Beriman adalah Opsi Fundamental
– Pengalaman Iman sepantasnya dibedakan dari
“pengalaman religius” (kerinduan terdalam manusia
akan Yang Mutlak yang mengerakkannya untuk
melampaui pengalaman yang aktual dan yang
mengarahkan diri pada yang tak terjangkau)
– Iman adalah pilihan mendasar untuk menjawab sapaan
Allah yang menyapa manusia untuk berbagi hidup
– Dengan berpengalaman religius, kita membenahi
kemampuan kita sendiri, tidak lebih, tetapi Hidup kita
menjadi lain, saat Allah berbagi Hidup Hidup
menggetarkan Hidup
9. Lima ciri Pilihan Dasar:
Otonom: bebas dari dan bebas untuk
Menyelamatkan: mendukung penghargaan untuk manusia
Suci: tidak konformistis tetapi transformatif
Mutlak: berupa permohonan untuk menghargai hidup
Kristiani: mengikuti Kristus lebih sungguh
10. • Beriman adalah Praksis Hidup Moral
– Beriman nyata kalau orang memperjuangkan
hidupnya, kalau orang setia pada cita-cita
hidupnya, kalau orang tidak mengkhianati orang
lain
– Beriman nyata kalau orang mengusahakan
kesejahteraan dan kebahagiaan sesama
(bertindak-bertanggungjawab demi kepentingan
bersama)
– Beriman nyata kalau orang BERBUAT MORAL
11. Penghayatan Iman:
– Ungkapan iman:
tindakan orang beriman
untuk menampakkan
imannya lebih eksplisit
(segi kelihatan)
– Perwujudan iman:
tindakan orang beriman
untuk menyatakan
imannya lebih sungguh
(segi pembatinan)
12. – Dibedakan dengan ungkapan iman (tindakan
keagamaan yang membuat iman kentara),
perbuatan moral menjadi perwujudan iman
– Dalam perbuatan keagamaan, arah hubungan
manusia dengan Allah biasanya terungkap
dengan lebih eksplisit; sedangkan dalam
perbuatan moral, relasi manusia dengan Allah
biasanya dihayati dengan lebih sungguh
– Iman menjadi fides formata dalam perbuatan
kasih dan harapan (sekular)
13. – Perbuatan moral adalah perbuatan bebas dan sadar
demi kepentingan keseluruhan hidup manusia,
menurut suara hati (GS 16) berupa pertimbangan/
pengakuan nilai dan keputusan untuk bertindak
• bagaimanapun, supaya dapat bermoral, tidak
perlu orang beriman (bdk. pengalaman religius)
• tetapi dengan berbuat sesuai dengan suara hati,
orang beriman mewujudkan imannya
• dengan transendensi diri/taat pada hukum suara
hati, orang kristiani berjumpa dengan Allah
14. – Bagi orang beriman kristiani, iman menjadi motivasi
moral :
• Kalau orang beriman “mempunyai hidup dan
mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Yoh
10:10), orang tertantang untuk berjerih payah
agar kelimpahan hidup sampai pada semakin
banyak orang (bdk. Mat 5:13-16)
• Motivasi utama Moral kristiani: Cinta Allah yang
tanpa syarat (aku mencinta tanpa syarat karena aku
telah dicinta tanpa syarat): Indikatif keselamatan
mengerakkan imperatif moral → moral menjadi
ibadah sejati (Rom 12:1-2)
• Bersama-sama, ungkapan iman (doa) dan perwujudan
iman (moral) merupakan keutuhan hidup ber-iman
15. “Katakan cinta dengan bunga, nyatakan cinta
dengan setia. Ungkapkan iman dalam doa,
wujudkan iman dalam perbuatan baik terhadap
sesama.”
16. Konsili Vatikan II tentang Wahyu
• Hakekat Wahyu (DV 2)
“Dalam kebaikan dan kebijaksanaan-Nya Allah
berkenan mewahyukan diri-Nya dan memaklum-kan
rahasia kehendak-Nya (lih. Ef 1:9); berkat rahasia itu
manusia dapat menghadap Bapa melalui Kristus
Sabda yang menjadi daging, dalam Roh Kudus, dan
ikut serta dalam kodrat ilahi (lih. Ef 2:18; 2Ptr 1:4).
Maka dengan wahyu itu Allah yang tidak kelihatan
(lih. Kol 1:15; 1Tim 1:17) dari kelimpahan cinta kasih-
Nya menyapa manusia sebagai sahabat-sahabat-Nya
(lih. Kel 33:11; Yoh 15:14-15), dan bergaul dengan
mereka (lih. Bar 3:38), untuk mengundang mereka ke
dalam persekutuan dengan diri-Nya dan menyambut
mereka di dalamnya.
17. – Tata pewahyuan itu terlaksana melalui perbuatan
dan perkataan yang amat erat terjalin, sehingga
karya, yang dilaksanakan oleh Allah dalam sejarah
keselamatan, memperlihatkan dan meneguhkan
ajaran serta kenyataan-kenyataan yang diungkap-
kan dengan kata-kata, sedangkan kata-kata
menyiarkan karya-karya dan menerangkan rahasia
yang tercantum di dalamnya. Tetapi melalui wahyu
itu kebenaran yang sedalam-dalamnya tentang Allah
dan keselamatan manusia nampak bagi kita dalam
Kristus, yang sekaligus menjadi pengantara dan
kepenuhan seluruh wahyu.”
18. • Dei Verbum bicara mengenai wahyu yang berawal dari
Allah, “Dalam kebaikan dan kebijaksanaan-Nya …” (bdk.
KV I yang bicara tentang wahyu berawal dari
pengetahuan manusia akan Allah) → Subyek wahyu
adalah Allah sendiri → wahyu adalah gerak hidup ilahi.
• Demikian juga obyek wahyu adalah Pribadi Allah sendiri
dan rahasia kehendak-Nya → misteri (Y. mysterion = L.
sacramentum) kehendak Allah: semua manusia “punya
jalan masuk” pada Allah dan ambil bagian dalam Hidup-
Nya
• Pewahyuan diri Allah terjadi dalam Kristus oleh Roh
Kudus → triniter (suatu dinamika kehidupan yang tidak
bisa tidak melibatkan semua)
19. • Wahyu adalah peristiwa
perjumpaan aktual yang
melibatkan hidup aktual
kita dengan hidup Allah
yang tak kelihatan; kita
bertemu dengan Allah
Yang Serba Lain (transen-
den) yang senyatanya
menyapa, bergaul, dan
mengundang manusia
masuk dalam persekutuan
→ wahyu menciptakan
keterpaduan dalam ke-
merdekaan
20. • Wahyu terlaksana dalam
karya dan sabda yang terjalin
mendalam:
→ Suatu karya hidup, yakni
peristiwa yang terjadi dalam
kehidupan manusia sungguh-
nyata-manusiawi (bukan
wahyu yang infoteoretik atau
kejadian yang dikomando
oleh perintah)
→ Sabda mengungkapkan
misteri realitas yang
mendalam yang terkandung
dalam peristiwa (peristiwa
menjadi simbol Allah)
21. • DV → menggemakan pembaharuan wacana teologi
(40 tahun) sebelumnya antara:
– Mereka yang mengerti perjumpaan Allah dan manusia
sebagai “sejarah keselamatan” (O. Cullmann & W.
Pannenberg) dan
– Mereka yang menekankan pokok perjumpaan adalah
“Sabda Allah yang menegur manusia” (K. Barth & G.
Ebeling)
• Wahyu triniter itu berpusat pada Kristus
→ Pengantara di mana Allah dan manusia seluruhnya
berjumpa
→ Kepenuhan dalam mana perjumpaan antara Allah dan
manusia menjadi penuh, sehingga selanjutnya dapat
berkembang dalam seluruh kekayaan sejarah manusia
22. • Kristus adalah jaminan
bahwa peristiwa wahyu
bukan semacam ilham
dari atas yang di bawah
terik matahari menguap
entah ke mana, tetapi
sesuatu yang nyata →
dalam Kristus perjumpaan
Allah dan manusia
menjadi hidup
23. Rene Latourelle (The Theology of Revelation)
menyebut 4 aspek/sifat hakiki dari wahyu:
• Tindakan
Allah
yang
transen-
den
Misteri
• Peristiwa
sejarah
Historis
• Kesaksian,
pewartaan
& ajaran
Pengetahuan
• Pertemu
-an
pribadi
antara
Allah
dan
manusia
Personal
24. • Kristus Kepenuhan Wahyu → Sabda Allah +
Simbol Allah (DV 4):
– “Setelah berulang kali dan dengan berbagai cara Allah
bersabda dengan perantaraan para Nabi, “akhirnya pada
zaman sekarang Ia bersabda kepada kita dalam Putera”
(Ibr1:1-2). Sebab Ia mengutus Putera-Nya, yakni sabda
kekal, yang menyinari semua orang, supaya tinggal
ditengah umat manusia dan menceritakan kepada
mereka hidup Allah yang terdalam (lih. Yoh1:1-18). Maka
Yesus Kristus, Sabda yang menjadi daging, diutus sebagai
“manusia kepada manusia”, “menyampaikan sabda
Allah” (Yoh3:34), dan menyelesaikan karya
penyelamatan, yang diserahkan oleh Bapa kepada-Nya
(lih. Yoh5:36 ; Yoh17:4).
25. – Oleh karena itu Dia – barang siapa melihat Dia, melihat
Bapa juga (lih. Yoh14:9) – dengan segenap kehadiran dan
penampilan-Nya, dengan sabda maupun karya-Nya,
dengan tanda-tanda serta mukjizat-mukjizatnya, namun
terutama dengan wafat dan kebangkitan-Nya penuh
kemuliaan dari maut, akhirnya dengan mengutus Roh
Kebenaran, menyelesaikan wahyu dengan memenuhinya,
dan meneguhkan dengan kesaksian ilahi, bahwa Allah
menyertai kita, untuk membebaskan kita dari kegelapan
dosa serta maut, dan untuk membangkitkan kita bagi
hidup kekal.
– Adapun tata keselamatan kristiani, sebagai perjanjian
baru dan tetap, tidak pernah akan lampau; dan sama
sekali tidak boleh dinantikan lagi wahyu umum yang
baru, sebelum Tuhan kita Yesus Kristus menampakkan
Diri dalam kemuliaan-Nya (lih. 1Tim6:14 dan Tit2:13).”
26. • Konsili Vatikan II, dengan mengutip Ibrani 1:1-
2, menegaskan bahwa pernyataan Diri Allah
dalam sejarah menjadi penuh dalam pribadi
Kristus → peristiwa Kristus bukan pewahyuan
baru melainkan langkah pewahyuan definitif:
– Yesus Kristus adalah Sabda Allah yakni
pernyataan Allah kepada manusia dan
– Simbol Allah yakni tanda kehadiran Allah
beserta kita
• pernyataan dan kehadiran Kristus, sabda dan
karya-Nya, wafat dan kebangkitan-Nya, adalah
kepenuhan dan peneguhan wahyu Allah bagi
keselamatan manusia
27. • “Adapun tata keselamatan kristiani, sebagai
perjanjian baru dan tetap, tidak pernah akan lampau;
dan sama sekali tidak boleh dinantikan lagi wahyu
umum yang baru, sebelum Tuhan kita Yesus Kristus
menampakkan Diri dalam kemuliaan.”
→ Wahyu dalam Kristus, menurut Konsili, di satu sisi, punya
arti mendasar -- tak tergantikan -- bagi hubungan kita
dengan Allah (sejarah keselamatan) dan, di sisi lain,
sejarah keselamatan itu tetap terbuka serta terarah ke
masa depan, yakni pada penampakan kemuliaan Allah
dalam kedatangan Kristus kembali
→ Dari inkarnasi sampai parousia, terbentang peristiwa
pewahyuan Allah, yang oleh manusia dialami sebagai
saat pengharapan
28. • Dalam Teologi Katolik:
– Wahyu dijelaskan sebagai komunikasi Diri Allah ke
dalam hidup manusia dan komunikasi itu
menggugah dan menggugat ciri hakiki manusia
untuk melampaui diri (transendensi) (K. Rahner; H.U.
von Balthasar):
→ Manusia adalah ‘mampu dan terarah untuk
mendengarkan’ dan ia menemukan dan
mewujudkan hidupnya kalau ia menanggapi
wahyu
→ Wahyu dan iman bersama-sama merupakan satu
peristiwa hidup, unik pada setiap hidup
29. • “Adalah wahyu, bahwa Allah ternyata ‘hadir’ pada
kedalaman hidup manusia, dan wahyu menjadi nyata dan
berlaku, setiap kali manusia menjangkau hidupnya dalam
mencari dan menemukan arti bagi hidupnya, dan terutama
setiap kali manusia mewujudkan hidupnya, dengan setia dan
bertanggung jawab” (Kieser)
30. • Bagaimana Anda
menjelaskan,
dengan pasti dan
sungguh,
pemberian diri
Allah dalam
Yesus Kristus
untuk zaman kini
yang senyatanya
ditandai oleh
kemiskinan,
sekularisasi,
pluralitas budaya
dan iman?