1. Indonesia adalah produsen dan eksportir minyak kelapa sawit terbesar di dunia, memproduksi sekitar 33 juta ton pada 2014 dan mengekspor sebagian besar produksinya.
2. Industri minyak kelapa sawit merupakan industri penting bagi perekonomian Indonesia karena menyumbang devisa namun juga dikritik karena berdampak lingkungan.
3. Pemerintah Indonesia berupaya meningkatkan nilai tambah minyak kelapa sawit melalui subsidi biodiesel
1. Minyak Kelapa Sawit
Minyak sawit adalah salah satu minyak yang paling banyak dikonsumsi dan diproduksi di dunia.
Minyak yang murah, mudah diproduksi dan sangat stabil ini digunakan untuk berbagai variasi
makanan, kosmetik, produk kebersihan, dan juga bisa digunakan sebagai sumber biofuel atau
biodiesel. Kebanyakan minyak sawit diproduksi di Asia, Afrika dan Amerika Selatan karena
pohon kelapa sawit membutuhkan suhu hangat, sinar matahari, dan curah hujan tinggi untuk
memaksimalkan produksinya. Efek samping yang negatif dari produksi minyak sawit - selain
dampaknya kepada kesehatan manusia karena mengandung kadar lemak yang tinggi - adalah
fakta bahwa bisnis minyak sawit menjadi sebab kunci dari penggundulan hutan di negara-negara
seperti Indonesia dan Malaysia. Indonesia adalah penghasil gas emisi rumah kaca terbesar
setelah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Amerika Serikat (AS).
Produksi minyak sawit dunia didominasi oleh Indonesia dan Malaysia. Kedua negara ini secara
total menghasilkan sekitar 85-90% dari total produksi minyak sawit dunia. Pada saat ini,
Indonesia adalah produsen dan eksportir minyak sawit yang terbesar di seluruh dunia.
Dalam jangka panjang, permintaan dunia akan minyak sawit menunjukkan kecenderungan
meningkat sejalan dengan jumlah populasi dunia yang bertumbuh dan karenanya meningkatkan
konsumsi produk-produk dengan bahan baku minyak sawit.
Ekspektasi Produksi Minyak Kelapa Sawit 2014:
1. Indonesia 33,000,000
2. Malaysia 19,800,000
3. Thailand 2,000,000
4. Kolombia 1,108,000
5. Nigeria 930,000
dalam ton metrik
Sumber: IndexMundi
Minyak Kelapa Sawit di Indonesia
Produksi dan Ekspor Minyak Kelapa Sawit di Indonesia
Hanya beberapa industri di Indonesia yang menunjukkan perkembangan secepat industri minyak
kelapa sawit dalam 15 tahun terakhir. Pertumbuhan ini tampak dalam jumlah produksi dan
ekspor dari Indonesia dan juga pertumbuhan luas area perkebunan sawit. Didorong oleh
permintaan global yang terus meningkat dan keuntungan yang juga naik, budidaya kelapa sawit
telah ditingkatkan secara signifikan baik oleh petani kecil maupun para pengusaha besar di
Indonesia (dengan imbas negatif pada lingkungan hidup dan penurunan jumlah produksi hasil-
hasil pertanian lain karena banyak petani beralih ke budidaya kelapa sawit).
2. Mayoritas hasil produksi minyak kelapa sawit Indonesia diekspor (lihat di tabel di bawah).
Negara-negara tujuan ekspor yang paling penting adalah RRT, India, Malaysia, Singapura, dan
Belanda.
Produksi dan Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia:
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Produksi
(juta ton)
19.2 19.4 21.8 23.5 26.5 30.0 31.5 32.5 32.0¹
Export
(juta ton)
15.1 17.1 17.1 17.6 18.2 22.4 21.7 26.4 27.0¹
Export
(dollar AS)
15.6 10.0 16.4 20.2 21.6 20.6 21.1 18.6 18.6¹
¹ menunjukkanprognosis
Sumber: Indonesian Palm Oil Producers Association (Gapki) & Indonesian Ministry ofAgriculture
Industri perkebunan dan pengolahan sawit adalah industri kunci bagi perekonomian Indonesia:
ekspor minyak kelapa sawit adalah penghasil devisa yang penting dan industri ini
memberikan kesempatan kerja bagi jutaan orang Indonesia. Hampir 70% perkebunan kelapa
sawit terletak di Sumatra, tempat industri ini dimulai sejak masa kolonial Belanda. Sebagian
besar dari sisanya - sekitar 30% - berada di pulau Kalimantan.
1. Sumatra
2. Kalimantan
Menurut data dari Kementerian Pertanian Indonesia, jumlah total luas area perkebunan sawit di
Indonesia pada saat ini mencapai sekitar 8 juta hektar; dua kali lipat dari luas area di tahun 2000
3. ketika sekitar 4 juta hektar lahan di Indonesia dipergunakan untuk perkebunan kelapa sawit.
Jumlah ini diduga akan bertambah menjadi 13 juta hektar pada tahun 2020.
Perkebunan milik pemerintah memiliki peran yang menengah dalam industri minyak sawit
sementara perusahaan-perusahaan besar (seperti Wilmar Group dan Sinar Mas) memproduksi
sekitar setengah dari total produksi minyak kelapa sawit Indonesia. Para petani skala kecil
memproduksi sekitar 35% dan kebanyakan petani kecil ini sangat rentan keadaannya apabila
terjadi penurunan harga minyak kelapa sawit dunia.
Perusahaan-perusahaan sawit di Indonesia berencana untuk melakukan investasi-investasi besar
untuk meningkatkan kapasitas penyulingan minyak sawit. Hal ini sesuai dengan ambisi
Pemerintah untuk mendapatkan lebih banyak penghasilan dari sumber daya dalam negeri.
Indonesia selama ini berfokus pada ekspor minyak sawit mentah (dan bahan baku mentah
lainnya) namun telah mengubah prioritasnya untuk mengolah produk-produknya supaya
memiliki harga jual yang lebih tinggi. Untuk meningkatkan perkembangan di industri hilir, pajak
ekspor untuk produk minyak sawit yang telah disuling telah dipotong dalam beberapa tahun
belakangan ini. Sementara itu, pajak ekspor minyak sawit mentah (CPO) berada di antara 0%-
22,5% tergantung pada harga minyak sawit internasional. Indonesia memiliki 'mekanisme
otomatis' sehingga ketika harga CPO acuan Pemerintah (berdasarkan harga CPO lokal dan
internasional) jatuh di bawah 750 dollar Amerika Serikat (AS) per metrik ton, pajak ekspor
dipotong menjadi 0%. Karena harga acuan ini jatuh di bawah 750 dollar AS per metrik ton di
September 2013, Indonesia telah menetapkan pajak ekspor CPO 0% sejak Oktober 2014.
Karena hal ini berarti Pemerintah kehilangan pendapatan pajak ekspor yang sangat dibutuhkan
dari industri minyak sawit, Pemerintah memutuskan untuk memperkenalkan pungutan ekspor
minyak sawit di pertengahan 2015. Pungutan sebesar 50 dollar Amerika Serikat (AS) per metrik
ton diterapkan untuk ekspor minyak sawit mentah dan pungutan senilai 30 dollar AS per metrik
ton ditetapkan untuk ekspor produk-produk minyak sawit olahan. Pungutan-pungutan ekspor
minyak sawit ini hanya perlu dibayar oleh para eksportir ketika harga CPO acuan Pemerintah
jatuh di bawah batasan 750 dollar AS per metrik ton (secara efektif memotong pajak ekspor
minyak sawit menjadi 0%). Pendapatan dari pungutan baru ini akan digunakan untuk mendanai
program subsidi biodiesel Pemerintah yang ambisius (di tahun 2014, Pemerintah meningkatkan
persyaratan kandungan campuran minyak sawit di dalam diesel dari 7,5% menjadi 10%, dan
memerintahkan pembangkit-pembangkit listrik untuk menggunakan campuran 20%).
Pada Februari 2015, Pemerintah mengumumkan kenaikan subsidi biofuel dari Rp 1.500 per liter
menjadi Rp 4.000 per liter dalam usaha melindungi para produsen biofuel domestik. Melalui
program biodiesel ini, Pemerintah ini mengkompensasi para produsen karena perbedaan harga
antara diesel biasa dan biodiesel yang terjadi akibat rendahnya harga minyak mentah dunia
(sejak pertengahan 2014). Selain untuk mendanai subsidi-subsidi ini, hasil dari pungutan ekspor
ini akan disalurkan untuk penanaman kembali, penelitian, dan pengembangan sumberdaya
manusia dalam industri minyak sawit Indonesia. Saat harga minyak sawit acuan Pemerintah
melebihi batasan 750 dollar AS per metrik ton maka pajak ekspor kembali, kemudian Pemerintah
akan menggunakan sebagian dari pajak ekspor minyak sawit untuk membiayai program biodiesel
ini.
4. Kapasitas penyulingan di Indonesia diketahui telah melompat menjadi 45 juta ton per tahun pada
akhir 2014, naik dari 30,7 juta ton pada 2013, dan lebih dari dua kali lipat kapasitas di tahun
2012 yaitu 21,3 juta ton.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyatakan bahwa Indonesia memiliki
target jangka panjang untuk memproduksi 40 juta ton CPO per tahun mulai dari tahun 2020.
Isu-Isu Lingkungan Hidup Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia
Pemerintah Indonesia telah sering dikritik kelompok-kelompok pencinta lingkungan hidup
karena terlalu banyak memberikan ruang untuk perkebunan kelapa sawit (berdampak pada
penggundulan hutan dan penghancuran lahan bakau). Maka, sejalan dengan semakin banyaknya
perusahaan internasional yang mencari minyak sawit ramah lingkungan sesuai dengan kriteria
Roundtable on Sustainable Palm Oil (di Malaysia), perkebunan-perkebunan di Indonesia dan
Pemerintah perlu mengembangkan kebijakan-kebijakan ramah lingkungan. Para pemerintah
negara-negara Barat telah membuat aturan-aturan hukum yang lebih ketat mengenai produk-
produk impor yang mengandung minyak sawit, dan karena itu mendorong produksi minyak
sawit yang ramah lingkungan.
Pada tahun 2011, Indonesia medirikan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang bertujuan
untuk meningkatkan daya saing global dari minyak sawit Indonesia dan mengaturnya dalam
aturan-aturan ramah lingkungan yang lebih ketat. Semua produsen minyak sawit di Indonesia
didorong untuk mendapatkan sertifikasi ISPO.
Moratorium Mengenai Konsesi Baru Hutan Perawan
Pemerintah Indonesia menandatangani moratorium berjangka waktu dua tahun mengenai hutan
primer yang mulai berlaku 20 Mei 2011 dan selesai masa berlakunya pada Mei 2013. Setelah
habis masa berlakunya, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono memperpanjang
5. moratorium ke dua tahun selanjutnya. Moratorium ini mengimplikasikan pemberhentian
sementara dari pemberian izin-izin baru untuk menggunakan area hutan hujan tropis dan lahan
bakau di Indonesia. Sebagai gantinya Indonesia menerima paket 1 milyar dollar AS dari
Norwegia. Pada beberapa kesempatan, media internasional melaporkan bahwa moratorium ini
telah dilanggar oleh perusahaan-perusahaan Indonesia. Kendati begitu, moratorium ini berhasil
membatasi - untuk sementara - ekspansi perkebunan-perkebunan sawit. Pihak-pihak yang skeptis
terhadap moratorium tersebut menunjukkan bahwa sebelum penerapannya Pemerintah Indonesia
telah memberikan konsesi tanah seluas 9 juta hektar untuk lahan baru. Selain itu, perusahaan-
perusahaan besar minyak sawit masih memiliki lahan luas yang baru setengahnya ditanami,
berarti masih banyak ruang untuk ekspansi. Pada Mei 2015, Presiden Joko Widodo kembali
memperpanjang moratorium ini untuk periode 2 tahun.
Prospek Masa Depan Industri Minyak Sawit di Indonesia
Era Boom Komoditi 2000-an membawa berkat bagi Indonesia karena berlimpahnya sumberdaya
alam negara ini. Harga minyak sawit naik tajam setelah tahun 2005 namun krisis global
menyebabkan penurunan tajam harga CPO di tahun 2008. Terjadi rebound yang kuat namun
setelah tahun 2011 harga CPO telah melemah, terutama karena permintaan dari RRT telah
menurun, sementara rendahnya harga minyak mentah (sejak pertengahan 2014) mengurangi
permintaan biofuel berbahan baku minyak sawit. Karena itu, prospek industri minyak sawit
suram dalam jangka waktu pendek, terutama karena Indonesia masih terlalu bergantung pada
CPO dibandingkan produk-produk minyak sawit olahan.
Pada saat permintaan global kuat, bisnis minyak sawit di Indonesia menguntungkan karena
alasan-alasan berikut:
• Margin laba yang besar, sementara komoditi ini mudah diproduksi
• Permintaan internasional yang besar dan terus berkembang seiring kenaikan jumlah penduduk
global
• Biaya produksi minyak sawit mentah (CPO) di Indonesia adalah yang paling murah di dunia
• Tingkat produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan produk minyak nabati
• Penggunaan biofuel diduga akan meningkat secara signifikan, sementara penggunaan besin
diperkirakan akan berkurang
Masalah-masalah apa yang menghalangi perkembangan industri minyak sawit dunia?
• Kesadaran bahwa penting untuk membuat lebih banyak kebijakan ramah lingkungan
• Konflik masalah tanah dengan penduduk lokal karena ketidakjelasan kepemilikan tanah
• Ketidakjelasan hukum dan perundang-undangan
• Biaya logistik yang tinggi karena kurangnya kualitas dan kuantitas infrastruktur
Apa Lima Faktor yang Mempengaruhi Harga Minyak Kelapa Sawit?
(1) supply & demand
(2) prices of competing vegetable oils
(3) cuaca
6. (4) kebijakan impor negara2 yang mengimpor minyak kelapa sawit
(5) perubahan dalam kebijakan pajak dan pungutan ekspor/impor