Dokumen ini membahas tentang industri kelapa sawit di Indonesia yang merupakan produsen terbesar di dunia. Namun, industri ini juga dikritik karena praktik pembukaan lahan dan penggunaan bahan kimia yang berdampak negatif pada lingkungan dan sosial. Untuk itu, diperlukan kajian akademik tentang keberlanjutan industri sawit, khususnya untuk mengatasi masalah lingkungan dan sosial. Program studi magister lingkungan diharapkan
MODUL AJAR SENI MUSIK KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdf
Pendahuluan
1. Pendahuluan
Dalam rangka mewujudkan visi sebagai negara maju dan sejahtera pada tahun 2025,
Indonesia bertekad mempercepat transformasi ekonomi. Untuk itu disusun Masterplan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang mengedepankan
pendekatan not business as usual, melibatkan seluruh pemangku kepentingan dan
terfokus pada prioritas yang konkrit dan terukur. Namun demikian, MP3EI tetap
merupakan bagian yang integral dalam sistem perencanaan pembangunan
nasional yang telah ada.
Oleh sebab itu disusun fokus dari pengembangan MP3EI ini yang diletakkan pada 8 program
utama, yaitu pertanian, pertambangan, energi, industri, kelautan, pariwisata, dan telematika, serta
pengembangan kawasan strategis. Kedelapan program utama tersebut terdiri dari 22 kegiatan ekonomi utama,
yaitu pertanian/pangan, pariwisata, perikanan, bauksit, tembaga, nikel, batu bara, minyak dan
gas, perkayuan, peternakan, kakao, karet, kelapa sawit, alutsista, besi baja, makanan-
minuman, tekstil, perkapalan, telematika, peralatan transportasi, dan KSN Selat Sunda, serta
wilayah Jabodetabek
Selanjutnya dibentuk enam koridor ekonomi yang dinamkan dengan koridor Sumatera
Timur, Pantai Utara Jawa, Kalimantan, Sulawesi Barat, Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara
Barat dan Papua. Koridor Ekonomi Sumatera mempunyai tema Sentra Produksi dan Pengolahan Hasil
Bumi dan Lumbung Energi Nasional. Secara geostrategis, Sumatera diharapkan menjadi “Gerbang ekonomi
nasional ke Pasar Eropa, Afrika, Asia Selatan, Asia Timur, serta Australia”. Secara umum, Koridor
Ekonomi Sumatera berkembang dengan baik di bidang ekonomi dan sosial dengan kegiatan ekonomi utama
seperti perkebunan kelapa sawit, karet serta batubara
Permintaan dunia untuk minyak nabati saat ini terus meningkat. Pada 2013,
permintaan dunia untuk minyak ini adalah 162.800.000 ton dan diproyeksikan mencapai
315.200.000 ton pada tahun 2030 sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk dunia dan
pergeseran permintaan dari bahan bakar fosil ke biofuel (Dewan Minyak Sawit Indonesia,
2014). Hari ini, untuk memenuhi kebutuhan dunia akan biofuel, minyak nabati yang berasal
dari minyak sawit (36,1%), minyak kedelai (27,4%), minyak rapeseed (15,2%), dan sembilan
jenis minyak nabati lainnya sebanyak (21,4%).
Pada 2013, produksi minyak sawit dunia adalah 55.700.000 ton. Indonesia dan
Malaysia memproduksi sebanyak 85% dari total kebutuhan dunia yaitu sebany 26,70 dan
21,70 juta ton. Pada tahun yang sama, Indonesia memiliki volume ekspor minyak sawit dan
produk turunannya sebanyak 21,2 juta ton dengan nilai US $ 19,1 milyar (47% dari
perdagangan minyak sawit internasional) sementara Malaysia memiliki 19,8 juta ton (44%
dari minyak sawit internasional perdagangan) (Dewan Minyak Sawit Indonesia, 2014).
Sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia, pangsa ekspor minyak sawit Indonesia
dan produk turunannya kurang kompetitif dibandingkan dengan Malaysia. Dari total minyak
sawit mentah nasional (CPO) yang di produksi pada 2013, hanya 4 juta ton dikonsumsi
sebagai minyak goreng, 7,7 juta ton digunakan untuk produk oleokimia dan biodiesel, dan
sisanya diekspor dalam bentuk CPO. Di sisi lain, Malaysia mengekspor produk turunan
minyak sawit lebih banyak sehingga memperoleh nilai tambah yang lebih tinggi. Menurut
Dewan Minyak Sawit Malaysia (MPOB), pada tahun 2013, Malaysia hanya mengekspor 3,8
juta ton CPO dan 17,9 juta ton turunan CPO. Kondisi ini sangat berbeda dengan Indonesia
yang megekspor 40,34% dalam bentuk CPO dan hanya 59,38% dalam bentuk produk turunan
minyak sawit.
Sementara minyak sawit menawarkan manfaat yang keberlanjutan dengan
meningkatnya kondisi sosial ekonomi masyarakat, industri ini telah dikritik oleh lembaga
internasional, termasuk greenpeace, World Wide Fund for Nature (WWF) dan lain
sebagainya. Selanjutnya adanya permintaan dari konsumen untuk memberi jaminan produksi
2. “hijau” secara terus menerus. Praktek-praktek pembukaan lahan pertanian secara intensif dan
penggunaan lahan yang tidak direncanakan telah menyebabkan deforesitasi, hilangnya
spesies dan konflik sosial antara masyarakat dan perusahaan perkebunan setempat.
Pengunaan bahan kimia sintetis (misalnya pestisida dan herbisida) telah menyebabkan polusi
pencemaran tanah dan air, sedangkan peningkatan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil
untuk pembukaan dan pengolahan industri pertanian mengakibatkan emisi atmosfer dan
kelangkaan bahan bakar, dan emisi metana dari proses anaerobik sampah organik dari limbah
pabrik kelapa sawit akan menghasilkan pemanasan global (POME).
Dengan demikian, hal itu menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana caranya
membangun industri kelapa sawit yang berkelanjutan di Indonesia yang memiliki dampak
lingkungan yang minimal. Dalam rangka untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dilakukan
kajian secara akademik untuk keberlanjutan industri sawit di Indonesia terutama untuk
mengatasi masalah sosial dan lingkungan. Program Studi Magister Teknik Lingkungan
dengan Konsentrasi Pengolahan Limbah Industri Sawit di rencanakan akan mempelajari
masalah-masalah yang berhubungan dengan alat-alat, standars yang digunakan, konsep-
konsep pengolahan dan pengelolaan limbah sawit, penelitian tentang masalah pada industri
sawit akan mengidentifikasi kesenjangan dan hambatan untuk mencapai tujuan ramah
lingkungan, peningkatan taraf ekonomi dan sosial yang baik pada masyarkat serta industri
minyak sawit yang terus berkembang.