Dokumen tersebut membahas tentang deponirnya kasus Bibit-Chandra oleh Kejaksaan Agung dengan alasan kepentingan umum. Ada berbagai pendapat yang mendukung dan menentang keputusan tersebut. Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa keputusan ini bertentangan dengan putusan pengadilan dan berpotensi menimbulkan masalah hukum.
6. Darmono selanjutnya mengatakan, apabila diajukan ke pengadilan, Bibit dan Chandra harus non-aktif sebagai Pimpinan KPK. Akibatnya, pimpinan KPK harus diberhentikan. Kondisi ini secara teknis dan manajerial dapat mengganggu kinerja pemberantasan korupsi. Atas dasar pertimbangan ini, tim kejaksaan berkesimpulan bahwa upaya pemberantasan korupsi adalah agenda bangsa Indonesia yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
9. Pembahasan kasus ini muncul sejak awal terjadinya, lalu pembentukan dan rekomendasi Tim 8 yang dipimpin pengacara senior Adnan Buyung Nasution yang merekomendasikan perkara harus dihentikan. Rekomendasi mana bergulir dengan perintah Presiden kepada kejaksaan untuk menyelesaikan perkara ini diluar pengadilan. Perjalanan perkara ini terus bergulir dengan pengesampingan perkara oleh Kejaksaan yang digugat oleh Anggodo, pihak yang mengaku telah mengeluarkan uang milyaran rupiah untuk menghentikan kasus ini di KPK. Anggodo menggugat kejaksaan di pengadilan dan sampai dengan tingkat peninjauan kembali di Mahkamah Agung dimenangkan oleh Anggodo.
10. Atas keputusan Plt. JAGUNG Tersebut diatas sebelumnya, muncullah berbagai reaksi baik pro maupun kontra .
11. Prof.Dr.Edi Setiadi, Guru besar Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung mengatakan bahwa Bibit dan Chandra adalah orang yang bernasib malang. Mereka mengalami ketidakpastian hukum selama 2 tahun. Dalam hubungan deponer yang dilakukan Plt. JAGUNG, setiadi mempersoalkan:
12. Sejauhmana telah ditakar kepentingan umum, dalam hal ini kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar dengan menghentikan perkara.
13. Apakah kebijakan ini benar-benar akan membantu pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK.
14. Alasan ini agak kontradiktif dan tidak mempunyai ratio legis yang didukung oleh alasan yang kuat :
15. Bagaimana jika seandainya ternyata bahwa Bibit-Chandra memang benar-benar melakukan hal yang disangkakan ? Jika hal ini yang terjadi, maka kejaksaan dapat dituduh melindungi pelaku korupsi, selain itu diskriminatif dalam menangani suatu kasus.
16. Keputusan pendeponiran ini, dapat diartikan bahwa Kepolisian adalah merupakan pihak yang merekayasa kasus yang dituduhkan.
17. Bibit-Chandra tidak dilepaskan dari kasus penyalahgunaan wewenang dan upaya pemerasan, hanya saja tidak dilanjutkan ke pengadilan.
18. Putusan Mahkamah Agung yang menolak peninjauan kembali`gugatan pra-peradilan surat ketetapan penghentian penyidikan penuntutan ( SKPPP ), menyebabkan kejaksaan agung harus membentuk tim untuk melakukan upaya tindak lanjut. Guliran dari berbagai pembahasan yang dilakukan tim, memunculkan 3 opsi langkah hukum yakni :
22. Selaku Plt. JAGUNG Darmono menutup pintu opsi penerbitan SKPP Baru, alasannya SKPPP dapat kembali di praperadilankan.
23.
24. Prof.Dr.Gayus lumbuun, anggota DPR RI mengatakan bahwa putusan deponir terhadap perkara Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah bertentangan dengan putusan MA dan dinilai sangat berpotensi menimbulkan masalah hukum ( ViVAnews,29/10/2010). Alasan dari pendapat Gayus adalah bahwa : “ Deponir ini bertentangan dengan keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang isinya melanjutkan perkara ini ke Pengadilan “. Gayus juga mempersoalkan tentang ketentuan Pasal 35 UU Kejaksaan yang harus terlebih dahulu memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah ini, barulah berhak untuk mengambil keputusan .Permasalahan lainnya yang juga menghadang menurut gayus adalah bahwa Plt tidak berhak mengambil keputusan deponering, karena Plt JAGUNG ditunjuk sebatas delegasi kewenangan sedangkan jabatan JAGUNG adalah jabatan negara yang diberikan berdasarkan undang-undang karenanya mempunyai kewenangan yang bersifat atribusi. Dengan dasar pemikiran itu, Gayus menganggap kebijakan deponir ini akan sangat berpotensi menimbulkan permasalahan dan melanggar tatanan hukum dan perundang-undangan yang berlaku, bertentangan dengan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap , yang berarti memerintahkan agar melanjutkan perkara ini ke pengadilan.
25. Dosen Hukum Pidana Universitas Indonesia, Rudy Satrio berpendapat : “ Deponering dari sisi hukum membutuhkan suatu pembuktian yang kuat, sudah tepat keduanya menjadi terdakwa “ ( Diskusi Drama Bibit-Chandra Jilid II, Jakarta, 24-4-2010). Akan tetapi dalam kasus ini, dinilai oleh Rudy terdapat bukti yang tidak terungkap dan menjadi missing link. Tidak ada bukti yang menunjukkan aliran uang dari Ari Muladi ke pejabat KPK, siapa penyampainya, siapa orang KPK yang menerimanya, hal ini adalah bukti yang penting. Pada sisi lainnya Rudy berpendapat bahwa , Anggodo Widjojo tidak mempunyai posisi hukum ( legal standing) untuk mengajukan gugatan praperadilan atas SKPP Bibit-Chandra. Posisi tersebut dimiliki oleh Anggoro karena dialah yang merupakan korban dalam perkara ini. Dalam hubungan ini, kuasa hukum Bibit-Chandra justru menantang Anggoro untuk datang ke Indonesia, menempuh proses hukum, mengajukan praperadilan sendiri.
26. Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia, Dr.Otto Hasibuan,S.H ( Jakarta, 24-4-2010) berpendapat bahwa justru kebijakan Kejaksaan menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara ( SKPP) atas Bibit-Chandra yang tidak tepat. Seharusnya deponering atau mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum . Jadi dalam hal ini kejaksaan menggunakan asas oportunitas, karena kejaksaan telah menyatakan berkas ini P21 dan terbukti. Mengesampingkan suatu perkara demi kepentingan umum harus dianggap bahwa kepentingan semua pihak sudah diakomodir di dalamnya. Ketika ternyata putusan banding ( kemudian MA, note) menyatakan memenangkan gugatan Anggodo, maka kasus Bibit-Chandra harus dibawa ke pengadilan.
27. Koordinator Divisi hukum dan monitoring peradilan Indonesian Corruption Watch ( ICW) Febri Diansyah, dalam sebuah diskusi di Jakarta tanggal 10 Oktober 2010 mengatakan bahwa sebaiknya dilakukan SKPP jilid 2 atau Deponering. Dalam SKP jilid 2, kejaksaan seharusnya melakukan koreksi dari isi SKPP jilid 1, alasan penerbitannya adalah tidak ada bukti hukum dalam kasus Bibit-Chandra. Putusan pengadilan tindak pidana korupsi atas perkara Anggodo yang menyatakan bahwa Anggodo berinisiatif menyuap, maka sekaligus menghapuskan tuduhan upaya pemerasan terhadap Bibit-Chandra. Opsi kedua adalah Deponering, namun deponering harus dikonsultasikan dengan berbagai pihak antara lain Dewan Perwakilan Rakyat dan Mahkamah Agung.
28. Alexander Lay , kuasa hukum Bibit-Chandra ( jakarta, 24-4-2010) mengatakan bahwa polemik untuk melanjutkan kasus Bibit-Chandra hingga ke pengadilan tidak bisa hanya dilihat dari faktor keberanian untuk melanjutkan ke pengadilan atau menghentikannya, namun ini juga bisa dilihat sebagai salah satu bentuk pelanggaran HAM, apalagi Bibit-Chandra ini telah menjadi manusia yang terbebas dari jeratan hukum. Pernyataan ini disetujui oeh Febri Diansyah ( ICW) yang menyatakan bahwa apabila kasus Bibit-Chandra dibawa ke pengadilan maka sejumlah kasus korupsi yang sedang ditangani KPK terancam tidak tuntas KPK harus membuktikan bahwa deponir bukanlah barter dengan kasus-kasus yang sedang ditangani. Harus pula dilakukan upaya untuk mengungkap adanya rekayasa dalam kasus ini, untuk itu mantan KAPOLRI Bambang Hendarso Danuri dan Hendarman Supandji harus diperiksa. Juga harus diperiksa sejumlah penyidik di MABES POLRI dan juga jaksa yang ada di KEJAGUNG.
29. Sebelumnya Ketua Komisi III Benny K Harman dan pengamat hukum tata negara Margarito Kamis juga mendesak agar KPK memeriksa Jenderal Bambang Hendarso Danuri dan Hendarman Supandji. Selanjutnya Febri menyatakan bahwa KPK tidak boleh menganggap putusan Deponir hanya sebatas hadiah, akan tetapi merupakan suatu dorongan agar lebih kuat lagi dalam menuntaskan kasus-kasus yang sedang ditangani saat ini .
30. Nasir Jamil, anggota Komisi III DPR RI ( Jakarta, 24/4/2010) mengatakan bahwa kemenangan Anggodo di Pengadilan Negeri Jakart a Selatan justru membuat bingung masyarakat. Hal ini adalah bagian dari upaya pihak tertentu untuk melemahkan KPK. Komisi III DPR RI menginginkan agar KPK tetap eksis, jangan sampai dikerdilkan dengan cara dikriminalisasikan kembali anggotanya.
31. Jimly Asshiddiqie, mantan ketua mahkamah konstitusi dan dewan pertimbangan presiden ( jakarta, juni 2010) mengatakan bahwa deponering adalah pilihan terbaik agar bangsa dan negara tidak lagi tersandera oleh persoalan kasus Bibit-Chandra yang begitu menyedot perhatian publik sejak akhir tahun 2009. Menurutnya deponering adalah resiko terkecil yang bisa dilakukan oleh Jaksa Agung dengan menimbang kepentingan umum serta penhyelamatan institusi KPK. Hal ini sejalan dengan ketentuan pasal 35 huruf c undang undang nomor 16 tahun 2004 tentang kejaksaan yang memberikan wewenang Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Untuk menemukan alasan kepentingan umum, Jaksa Agung dapat terlebih dahulu berkonsultasi dengan pihak berkepentingan seperti kepolisian dan KPK. Jimly berpendapat DPR tidak perlu dilibatkan karena dikhawatirkan justru memperumit keadaan dan bertambah berlarut-larut. Menurut Jimly, ia telah berdiskusi dengan banyak ahli hukum seperti Adnan Buyung Nasution, Saldi Isra, Bambang Widjoyanto kesemuanya menyuarakan lebih baik dilakukan deponering. Kita tutup saja masalah Bibit-Chandra, yang penting KPK tidak dikoyak-koyak. Jimly yang sebelumnya berpendapat bahwa sebaiknya kasus ini dibawa ke pengadilan kini telah mengubahnya. Kasus ini berlarut-larut karena kejaksaan keliru menafsirkan rekomendasi tim 8 yang meminta agar kasus ini dihentikan. Penghentian kasus ini semakin mendapatkan pembenaran ketika terbukti dalam pengadilan Anggodo Widjojo terbukti bahwa tuduhan pemerasan oleh Bibit-Chandra adalah rekayasa dan tidak didukung oleh bukti. Selain itu Jimly juga berpendapat tidak harus menunggu jaksa agung definitif untuk mengeluarkan keputusan deponir.
32. Plt.JAGUNG Darmono mengatakan bahwa deponir kasus Bibit-Chandra sudah didasarkan pada pertimbangan matang, baik teknis maupun sosial, mempertimbangkan segala aspek untuk kepentingan penegakan hukum maupun kepentingan sosial. Jika dalam sebulan mendatang, empat lembaga negara, yakni Presiden, DPR, Mahkamah Agung dan Kepolisian tidak kunjung memberikan pertimbangan, Kejaksaan Agung akan rapat untuk membahas ini kembali.
33. Prof.Dr.Indriyanto Seno Adji, Guru besar pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia ( Tempo,24-10-2010 hal 101) mengatakan, sebenarnya dengan inkracht ( berkekuatan pastinya) putusan pengadilan atas diri Anggodo Widjojo membuka kesempatan kepada kejaksaan untuk menerbitkan SKPP baru yang berbeda dengan SKPP sebelumnya, karena kali ini telah ada bukti baru. Opsi untuk melimpahkan perkara ke pengadilan juga bisa menjadi pilihan menurut Indriyanto jika hal ini tidak menimbulkan polemik yang lebih besar. Selanjutnya Indriyanto berpendapat bahwa deponering adalah kurang tepat karena harus meminta saran sejumlah lembaga negara terkait. Selain itu menurut Indriyanto, sebenarnya kejaksaan sendiri tidak berniat untuk melakukan tindakan deponering yang sebenarnya bisa dilakukannya sejak awal. Setelah proses berjalan seperti ini, tindakan deponir hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung definitif.
34. Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa sebaiknya bawa saja masalah ini ke pengadilan agar jelas siapa yang berbohong dalam kasus ini .
39. Akan terdapat kelemahan khusus, yakni menimbulkan ketidakpastian hukum, karena sudah pernah dilakukan ditolak, lantas diulangi lagi walapun dengan tambahan alat bukti. Tentu saja , walaupun hal ini tetap akan didukung oleh publik, namun memunculkan kerawanan tersendiri.
40.
41. Tidak pernah ada kejelasan tentang badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah Bibit-Chandra ini.Jika Darmono mengatakan Mahkamah Agung, berarti harus melalui persidangan atau bersifat fatwa juga tidaklah jelas. Jika DPR, maka apakah legislatif cocok untuk mencampuri urusan yudikatif. Selain itu akan terjadi mekanisme yang lama dan berlarut-larut serta dikaitkan dengan kualitas dan mentalitas anggotanya, tidak ada jaminan ada keputusan objektif yang mendahulukan kepentingan umum dan kepentingan negara diatas kepentingan pribadi atau golongan. Ketika disebutkan pula Presiden, menurut penulis sebenarnya kejaksaan adalah unsur pemerintah yang berarti dipimpin oleh presiden, dengan demikian maka sifatnya bukanlah pertimbangan , tetapi petunjuk dan eksekutornya adalah kejaksaan mewakili pemerintah yang justru akan meminta pula pertimbangan kejaksaan ketika akan mengambil keputusan. Berdasarkan hal yang diuraikan diatas penulis sependapat bahwa :
42. Pengambil keputusan Deponering adalah Jaksa Agung Definitif. Jika tenyata sampai saat keputusan diambil Jaksa Agung definitif belum ditetapkan oleh Presiden, maka hal ini merupakan kesalahan dalam pengambilan keputusan. Pelaksana tugas adalah pejabat yang menggantikan untuk sebatas mengelola administrasi. Penulis tidak setuju dengan pendapat yang mengatakan tidak ada bedanya Jaksa Agung definitif dengan pelaksana tugas. Tentang hal ini, sebenarnya presiden mempunyai peranan yang sangat penting dalam kecepatan dan ketepatannya mengambil keputusana dan segera menetapkan Jaksa Agung definitif.
43. Permintaan pertimbangan seharusnya dilakukan sebelum deponir ditetapkan dan diumumkan. Dalam kasus Bibit-Chandra, ketentuan ini juga menghadapkan kejaksaan pada posisi yang sangat sulit. Jika meminta dan menunggu saran, maka memerlukan waktu yang cukup panjang dan berliku, karena selain lembaga/badan yang dimaksudkan belum jelas, dilengkapi pula dengan iktikad para pelaksananya yang belum dapat dijamin benar-benar ingin menegakkan keadilan dan kebenaran.
44. Berhubung undang-undang menyebutkan badan-badan kekuasaan negara yang ada hubungannya dengan masalah tersebut namun tidak tegas dan mengambang, maka penulis berpendapat bahwa yang dimintakan pendapatnya justru pendapat publik yakni rakyat yang bila perlu mengadakan referendum tentang masalah ini, karena sangat diperlukan upaya kalibrasi terhadap niat para pihak yang dapat menentukan jalannya proses pencarian keadilan di negeri ini. Jika tidak dianggap berlebihan, justru penulis sangat setuju apabila Bibit dan Chandra yang meminta supaya tuduhan upaya pemerasan yang mereka lakukan di periksa di pengadilan . Jika memang mereka tidak berbuat kesalahan, maka segala sesuatu yang berkembang di pengadilan akan langsung menjadi bentuk klarifikasi paling objektif yang pernah terjadi di negeri ini.
46. Prof.Dr.H.Suwarma Al Muchtar, S.H, MPd guru besar mata kuliah hubungan legislatif-Eksekutif-Yudikatif pada program pasca sarjana U niversitas Pendidikan Indonesiamengatakan bahwa undang-undang tidak mungkin dapat membuat pengaturan yang menjangkau semua kebutuhan . Ketika undang-undang berhenti pada titik tertentu seperti undang-undang nomor 16 tahun 2004 ini, seyogyanya etika yang harus tampil menyelesaikan permasalahan. Jika pendapat tersebut dihubungkan dengan kasus Bibit-Chandra , maka tidaklah patut jika yang diminta untuk menyelesaikan permasalahan kasus Bibit-Chandra ini bertumpu pada Plt. Jaksa Agung Darmono. Selayaknya Presiden harus aktif dan tidak terkesan membiarkan Plt Jaksa Agung menyelesaikannya sendiri, karena Plt Jaksa Agung adalah aparatnya presiden. Sangatlah tepat kiranya jika presiden memprakarsai suatu dengar pendapat dan musyawarah penyelesaian polemik ini sehingga tidak terus berkepanjangan. Secara etika pula, seharusnya kasus ini harus benar-benar ditelusuri, setelah pengadilan Anggodo Widjojo tidak dapat membuktikannya, maka sudah selayaknya mengusut lebih jauh kenapa KAPOLRI dan jajarannya sangat bersemangat untuk menjerat Bibit-Chandra. Telah banyak kejanggalan yang terjadi baik berupa pernyataan Jenderal Bambang Hendarsono Danuri selaku KAPOLRI berkata dengan lantang bahwa mereka mempunyai banyak bukti termasuk rekaman pembicaraan antara Anggodo, Ari mulyadi dengan pejabat KPK yang ternyata hanyalah isapan jempol belaka. Sangatlah tidak layak perkataan pejabat setingkat KAPOLRI yang asal ucap dan digaungkan dengan nyaring oleh Hendarman Supandi yang Jaksa Agung pada waktu itu.Sangatlah tidak pantas mengumandangkan pernyataan ingin menegakkan kebenaran, akan tetapi membiarkan suatu misteri menjadi serpihan yang seolah-olah tidak berhubungan satu dengan lainnya, yakni Kasus Bibit-Chandra yang terpotong dengan kasus komisaris jenderal Susno Duaji pada potongan lainnya dan membiarkan tidak terungkap tindakan yang dilakukan oleh Bambang Hendarso Danuri pada serpihan lainnya.
47. Demikian tulisan yang sangat bersahaja ini dibuat, dengan harapan mendapatkan tambahan pencerahan dari Prof.Dr.H.Suwarma Al Muchtar, S.H, MPd.