SlideShare a Scribd company logo
1 of 8
Download to read offline
Page | 1
Press Release
Forum “Rasan-rasan” Rumah Buku tapalbatas
Refleksi Hari Pendidikan Nasional 2 Mei
Selasa, 7 Mei 2013
Diskusi forum “Rasan-rasan” dalam rangka hari pendidikan (2 Mei) pada 7 Mei 2013
kemarin pada akhirnya memang banyak mendiskusikan tentang Ujian Nasional (UN)—
sebagaimana arah dari moderator diskusi. Kami tidak bisa menyarikan semuanya, namun
di sini kami kemukakan beberapa pokok gagasan yang bisa kami sampaikan berdasarkan
pada diskusi yang terjadi. Dalam forum diskusi tersebut ada yang pro UN dengan berbagai
argumentasinya dan ada yang kontra. Nah, di sini kami sajikan beberapa argumentasi
yang pro UN dan kemudian dijawab melalui komentar dari pihak yang kontra UN.
1. UN sangat diperlukan untuk mengetahui tingkat kualitas pendidikan Indonesia,
tingkat kecerdasan rakyat, jika ditanya sampai di mana kualitas pendidikan
Indonesia dibandingkan negara lain.
Jawab:
(I) Kualitas pendidikan amat naif jika dilihat dari kualitas UN, karena UN
hanya menguji analisis kognitif dan asah memori saja. Kualitas pendidikan
itu bisa dilihat dari beberapa elemen dasarnya, yaitu: (1) tujuan substansial,
(2) guru, (3) fasilitas dan lingkungan belajar, (4) metode dan proses
pembelajaran, (5) penilaian dan hasil pendidikan. Dari sisi “tujuan
substansial” bisa dinilai tujuan pendidikan kita apa? Tentu saja tujuannya
bukan UN, kalau tujuannya UN maka bubarkan saja sekolah dan ganti
dengan Bimbingan Belajar (Bimbel) yang sering menyelenggarakan tryout
lulus UN. Dari sisi “guru” dapat dinilai kualitas pemahamannya mengenai
content materi dan kualitas pedagogiknya dalam mendampingi anak-anak
belajar. Dari sisi “fasilitas dan lingkungan belajar” dapat dinilai kelayakan
ruang kelas, bangunan, fasilitas, media belajar, dll. Dari sisi “metode dan
proses pembelajaran” dapat dilihat dari kualitas praktik pembelajaran,
variasi metode yang digunakan, apakah metode tersebut tepat untuk
menunjang tujuan substansial pendidikan atau tidak. Nah, dari sisi
“penilaian dan hasil pendidikan” dapat dilihat dari kualitas riil anak didik
itu sendiri, yaitu perubahan cara pandang, pola pikir, menjadi lebih
bijaksana, dewasa, dan pada akhirnya bermuara pada perubahan sosial,
antara lain kesejahteraan, tidak ada konflik, tawuran, korupsi, dan lainnya.
Ini “ukuran” paling riil dari keberhasilan pendidikan, UN bukan ukuran riil
kualitas pendidikan pada elemen/dimensi “penilaian dan hasil pendidikan”
karena UN sekadar menguji kognitif dengan stress tingkat tinggi. Kalau
mau “mengukur” kualitas anak didik lihatlah perubahan cara berpikir,
Page | 2
kedewasaan, kematangan emosional dan lain-lainnya, dan hal ini tidak ada
di UN, dan beberapa hal ini (cara berpikir, kedewasaan, kebijaksanaan)
jelas sangat berkaitan langsung dengan kehidupan sosial riil anak didik, di
sisi lain UN tidak ada hubungannya dengan kehidupan riil. Dalam
kehidupan riil yang dibutuhkan adalah kemampuan hidup yang mesti
kreatif dan kritis didasari oleh kesadaran, tanggungjawab dll, memecahkan
problem hidup tidak butuh keterampilan mengerjakan soal-soal UN yang
fokus pada hafalan soal yang kira-kira akan keluar di UN. Intinya: segala
kemampuan menyelesaikan soal tingkat tinggi sekalipun dalam UN itu
hanya berguna untuk UN itu sendiri, bukan untuk kehidupan riil di
masyarakat, dan mampu menyelesaikan soal tingkat tinggi sekalipun tidak
ada jaminan anak tersebut mampu menyelesaikan problem ekonomi
keluarga dan masyarakat tempat ia tinggal, juga problem politik, budaya,
agama dan lainnya. Sudah seharusnya keberhasilan pendidikan dilihat dari
apakah anak tersebut riilnya mempraktikkan empati sosial pada kalangan
menengah ke bawah atau tidak, melakukan tawuran atau tidak, korupsi
atau tidak, bukan dari nilai tinggi di atas kertas buah dari mengerjakan UN.
(II) Dalam konteks negara, sering kualitas pendidikan Indonesia
diperbandingkan dengan kualitas pendidikan negara lain dengan mengacu
pada pemeringkatan dari PISA, TIMSS, PIRLS, juga peringkat world class
university dari THESS, dll. Faktanya tidak ada hubungan dan relevansi
peringkat-peringkat tersebut dengan perubahan sosial ekonomi,budaya,
dan lainnya jadi lebih baik di masyarakat. Adakah fakta banyaknya juara
olimpiade tingkat dunia bidang akademik (fisika, kimia, biologi,
matematika) yang dicapai anak-anak Indonesia berimbas pada perbaikan
kesejahteraan ekonomi, perdamaian hidup tanpa konflik & kekerasan?
Tidak ada. Anak-anak yang bisa menjawab soal tingkat tinggi dari PISA,
TIMSS, dan PIRLS tidak ada jaminan bisa menyelesaikan problem
masyarakat sekitarnya. Indonesia sebagai bangsa dan negara punya problem
riil yang harus diatasi dan tidak bisa diatasi dengan cara mengejar peringkat
PISA, TIMSS, PIRLS dan lainnya yang dipahami oleh awam sebagai alat
ukur kualitas pendidikan. Dengan demikian yang paling penting & perlu
dilakukan adalah: menjadikan pendidikan Indonesia secara riil & faktual
dapat menyelesaikan problem anak didik, keluarganya, lingkungannya, dan
masyarakatnya, bukan mengejar peringkat PISA, PIRLS, dan TIMSS, bukan
juga mengejar skor nilai tinggi melalui UN. Ada yang berargumen bahwa:
bukannya memang pendidikan tujuannya hanya untuk memberi bekal
pengetahuan dan keterampilan hidup (skill) saja, bukan untuk mengatasi
problem riil di masyarakat. Barulah ketika mereka lulus nanti bisa
berkontribusi dalam mengatasi problem riil dirinya, keluarganya,
masyarakat dan lingkungannya. Argumentasi ini didasari oleh cara pandang
yang melihat pendidikan (terutama sekolah dan kampus) sebagai lembaga
tempat belajar & pencetak tenaga kerja dan warganegara, bukan
Page | 3
pendidikan sebagai pusat pengembangan budaya dan transformasi sosial.
Pendidikan yang model korporasi inilah yang menjauhkan anak didik dari
realitas sosial dan sekadar disiapkan untuk mengantisipasi dan menghadapi
masa depan, bukan masa kini. Padahal riil anak didik juga anggota
masyarakat dan ikut menghadapi problem riil kehidupan, fakta pendidikan
formal yang sekadar memberi pengetahuan untuk masa depan setelah lulus
sekolah jelas tidak tepat, karena justru anak didik tidak diberi pengetahuan
dan keterampilan hidup riil untuk kehidupan sehari-hari mereka.
(III) Dus, pendidikan mesti berguna untuk (1) meningkatkan kualitas diri anak
didik (intelektual, emosional, spiritual, perilaku, kedewasaan,
kebijaksanaan) dan (2) mengatasi problem sosial, kultural, ekonomi, politik,
dan lainnya. Tanpa diarahkan ke situ maka pendidikan tidak berguna, tidak
bermanfaat, dan tidak bermakna secara faktual, aktual, dan riil. Jadi,
pendidikan tidak patut dilihat kualitasnya dari skor nilai tinggi UN dan
peringkat-peringkat PIRLS, TIMSS, PISA, dan sejenisnya, karena
menganggap penting dan menjadikan UN dan sejenisnya sebagai ukuran
kualitas dan keberhasilan pendidikan artinya menafikan tujuan akhir
pendidikan, yaitu perubahan diri anak didik dan sosial masyarakat ke arah
yang lebih baik secara faktual, aktual, dan riil. Sekali lagi kalau dipahami
bahwa kualitas pendidikan Indonesia mau ditingkatkan dan caranya adalah
dengan meningkatkan nilai UN menjadi 99 pun, maka itu adalah nilai UN,
bukan nilai dan/atau kualitas seseorang itu seutuhnya yang berguna untuk
hidup, yaitu kebijaksanaan, kedewasaan, intelektualitas, problem solving,
dan lainnya. Oleh karenanya amat naif jika pemerintah terobsesi
meningkatkan kualitas manusia Indonesia namun caranya adalah
meningkatkan skor nilai UN yang tidak berguna untuk kehidupan riil anak
didik di masyarakat. UN lagi-lagi tak berguna.
2. Kalau memang kualitas pendidikan di Indonesia dilihat dari tiadanya
pengangguran, tidak adanya konflik, korupsi, kemampuan produksi pengetahuan,
terampil merakit mobil, dan lainnya, bukankah adanya pengangguran itu terjadi
karena mereka tidak terstandar pengetahuannya, dan UN membuat standarisasi
pengetahuan yang nantinya pengetahuan itu menjadi bekal anak didik berkarya
dan bekerja yang baik dan berkualitas.
Jawab: memang seseorang bisa bekerja dengan baik dan berkualitas, mampu
mengatasi problem diri, keluarga, masyarakat berkaitan dengan ekonomi, sosial,
budaya, dan lainnya harus dengan terlebih dahulu punya bekal pengetahuan dan
keterampilan hidup yang memadai. Namun jika mendasarkan pada UN jelas tidak
tepat. Mengapa? Karena dalam UN yang dipelajari adalah soal-soal di atas kertas,
bahkan dalam persiapan UN sekadar di-drill and practice soal-soal yang kira-kira
akan keluar ketika UN saja, dalam UN tidak dinilai secara riil, faktual, dan aktual
mengenai implementasi/aplikasi ilmu pengetahuan dan keterampilan hidup anak
Page | 4
didik, padahal soal pengangguran, keterampilan merakit mobil, tidak terlibat
konflik sosial dan justru mencoba mencegah atau mengatasi konflik dan lainnya
adalah dimensi implementasi/praktik/aplikasi pengetahuan dan keterampilan
hidup. UN jelas-jelas tidak menilai implementasi riil dari pengetahuan dan
keterampilan hidup anak didik, tapi sekadar ujian memori dan kognitif di atas
kertas saja. Dengan demikian UN tidak dapat jadi bekal bagi anak didik untuk
secara riil mengimplementasikan pengetahuan dan keterampilan hidup mereka.
Seandainya orang seluruh Indonesia dapat distandarisasi kemampuan pengetahuan
dan keterampilan hidup mereka melalui UN, maka dengan karakteristik UN yang
“menguji” di atas kertas (bukan “menilai” implementasi riil kemampuan anak
didik), UN tidak dapat menjadi alat untuk menjadikan anak-anak didik dapat
mengimpelmentasikan pengetahuan dan keterampilan hidup mereka secara
faktual, aktual, dan riil. Bukankah mestinya yang mesti dilakukan adalah: melihat
langsung implementasi/aplikasi/praktik pengetahuan dan keterampilan hidup anak
didik? Dan ini bisa dilakukan dengan cara sederhana, yaitu menggunakan metode
belajar proyek sosial, produksi suatu metode atau alat tertentu, portofolio, dan
sejenisnya, bukan melalui UN. Dus, lagi-lagi tidak ada jaminan anak punya
pengetahuan dan keterampilan hidup tingkat tinggi dalam penilaian versi UN akan
otomatis dapat mempraktikkan pengetahuan dan keterampilan hidupnya di
masyarakat atau dalam kehidupan sehari-harinya. Sudah seharusnya langsung saja
agar punya daya kemandirian dan kreativitas untuk bekerja (tidak jadi
pengangguran) ya dilihat secara riil aktivitas kemandirian dan kreativitasnya
secara aktual melalui proyek sosial wirausaha dan sejenisnya, demikian agar dapat
berpartisipasi mencegah konflik juga dapat dilihat langsung dari model
pembelajaran sosial tertentu, soal agar tidak korupsi juga demikian. UN lagi-lagi
tak berguna.
3. Negara harus punya standarisasi yang jelas pendidikannya dan warganya. Dilihat
dari standar kelulusan yang terus naik, jadi kualitas manusia Indonesia lulusan
pendidikan formal makin baik kualitasnya seiring meningkatnya standar kelulusan
via UN.
Jawab: ini jenis pertanyaan yang relatif sama dengan pertanyaan sebelumnya,
yakni masih melihat UN tepat sebagai tolok ukur keberhasilan dan mutu
pendidikan, padahal jelas—sebagaimana argumentasi sebelumnya—UN tidak
dapat jadi ukuran kualitas pendidikan secara esensial dan substansial. Kalau
mengikuti logika UN sebagai alat standarisasi kualitas pendidikan, maka: UN
dijadikan alat ukur kualitas pendidikan dan sekaligus alat ukur kualitas manusia,
padahal pendidikan berbeda dari manusia. Mekanisme dan sistem penilaian
(assessment) adalah bagian dari pendidikan, penilaian dikatakan berkualitas jika
dan hanya jika ia tepat (appropriate) untuk menilai sesuai dengan tujuan
pendidikan yang juga tepat, ketika tujuan pendidikan adalah perubahan cara
pandang dan kualitas orang jadi lebih dewasa, bijaksana, religius, dan juga
perubahan sosial, maka UN jelas tidak tepat karena UN hanya menilai kognitif dan
Page | 5
asah memori disertai stress. Dengan demikian, ketika seorang anak didik lulus UN
artinya ia lulus ujian kemampuan kognitif di atas kertas dengan didahului asah
memori terus-terusan, jadi ketika standar kelulusan dinaikkan dan dikatakan itu
meningkatkan kualitas manusia Indonesia, maka yang dimaksud adalah naiknya
kemampuan analisis kognitif di atas kertas dari manusia Indonesia, bukan kualitas
implementasi pengetahuan dan keterampilan hidup secara aktual, faktual, dan riil.
Inikah kualitas manusia Indonesia yang diinginkan? Tentu saja tidak bukan? Kalau
ingin meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang sungguh-sungguh dan serius,
ya tinggal pendidikan dan pembelajaran serta penilaian difokuskan pada bukan
hanya penguasaan pengetahuan saja, tapi pada implementasi riilnya di dalam
sekolah dan masyarakat luas. UN lagi-lagi tak berguna.
4. UN menjadi motivasi guru untuk “greget” mengajar dan siswa belajar, apalagi
menjelang detik-detik UN.
Jawab: memang sudah semestinya guru dan siswa punya greget untuk belajar, tapi
yang terjadi ketika ada UN adalah greget latihan (training) soal-soal prediksi yang
kira-kira akan keluar diujikan dalam UN, bukan belajar (learning) pengetahuan
dan keterampilan hidup secara sungguh-sungguh, serius, dan betulan. Dalam
dunia pendidikan jelas ada perbedaan antara “latihan” (training) dan “belajar”
(learning), dan jelas pendidikan persekolahan formal modern dari jenjang
pendidikan dasar hingga menengah bukanlah lembaga pelatihan, melainkan
tempat belajar serius pengetahuan dan keterampilan hidup. Apakah latihan
dengan metode drill & practice soal-soal itu disebut sebagai belajar? Tentu tidak.
Apakah tepat gairah “belajar” melalui metode drill & practice menjadi ukuran
antusiasme belajar pengetahuan dan keterampilan hidup yang sungguh-sungguh,
serius, dan betulan? Tentu saja tidak. Lebih dari itu justru perlu dipertanyakan—
untuk konteks problem pendidikan lain—mengapa anak didik dan guru tidak
antusias belajar? Bisa jadi karena memang substansi kurikulum selama ini tidak
menyentuh kebutuhan dan persoalan hidup yang dihadapi oleh anak-anak di
sekolah. Baru ketika UN jadi persoalan/problem hidup (karena jadi penentu lulus
& tidak lulus anak didik), maka ia dianggap penting. Ini pekerjaan rumah lain yang
harus dituntaskan dan nanti kaitannya dengan problem Kurikulum 2013, yaitu
relevansi pengetahuan dan keterampilan hidup yang dipelajari di sekolah selama
ini yang tidak banyak menyentuh kebutuhan dan persoalan hidup yang dihadapi
oleh anak-anak. UN lagi-lagi tak berguna.
5. Siswa stress karena tidak siap dan tidak dimotivasi oleh para guru, guru hanya
“yang penting saya sudah mengajar”. Media saja yang “lebay” membesar-besarkan
kesulitan UN.
Jawab: Nah, ini berarti problem kualitas guru yang memang perlu diatasi. Kalau
soal memotivasi siswa yang dianggap akan dapat mengurangi stress, itu bisa jadi
memang dapat mengurangi stress, namun tetap tidak dapat jadi argumentasi
Page | 6
pembenar bahwa UN itu tepat dilaksanakan. Soal media juga tidak terlalu terkait
dengan substansi UN, karena bagi media seringkali berlaku agadium “bad news is
good news”. UN lagi-lagi tak berguna.
6. Generasi sekarang kok “rempong” (atau “kempong), menghadapi UN saja takut,
padahal dalam kehidupan penuh dengan ujian, hidup ini keras, butuh mental baja,
khan sudah jadi tradisi bahwa sekolah ya pasti ada ujiannya, kenapa kok sekarang
pada stress, dulu-dulu tidak ada yang stress, intinya: generasi sekarang manja, dan
memang butuh dikerasi sedikit agar kuat mentalitasnya.
Jawab: Ya, memang dalam kehidupan tidak mungkin kita tidak berhadapan
dengan tekanan yang seringkali membuat kita jadi stress atau tertekan. Namun
layakkah anak didik di sekolah stress untuk sesuatu yang tidak ada gunanya (yaitu
UN) alias mubazir? Tentu saja tidak. Mengapa tidak hadapkan saja anak didik
dengan pengalaman belajar riil (learning by doing) menghadapi masalah riil
melalui metode proyek sosial di masyarakat dan sejenisnya, yang dengan begitu
mereka akan secara riil mengalami “stress” untuk hal-hal yang riil dan berguna,
yaitu realitas kehidupan faktual dan aktual (bukan soal kognitif di atas kertas,
bukan UN yang tidak ada korelasinya dengan realitas kehidupan faktual dan
aktual). Cara menempa menjadi generasi yang kuat mentalnya, bagus perilakunya,
tegas sikapnya, dan lainnya adalah dengan menggunakan pembelajaran
kontekstual, berbasis masalah (problem-solving), berbasis proyek sosial, dan
sejenisnya yang jelas merupakan bagian dari persoalan hidup sosial riil, bukan UN
yang sejatinya tidak ada gunanya dan mubazir tersebut. UN lagi-lagi tak berguna.
7. UN sudah jadi tradisi, jadi harus dilaksanakan, mudharat-nya karena UN untuk
kelulusan, jadi jangan dijadikan untuk penentu kelulusan, jadi UN untuk
pemetaan pendidikan di Indonesia saja sebagai dasar perbaikan kualitas
pendidikan. Atau kalau tidak begitu, UN dibuat gampang saja soal-soalnya (standar
minimal), jadi UN adalah alat ukur minimal anak didik.
Jawab: Sebuah tradisi bukan berarti mesti diikuti secara membuta, tradisi tidak
selalu baik dan tepat, oleh karena itu ketika analisis teoretis dan empiris mendapati
bahwa UN tidak tepat maka tiada pilihan lain kecuali meniadakan UN dalam
sistem pendidikan formal modern di Indonesia. Kalaupun UN dijadikan sebagai
cara untuk memetakan pendidikan di Indonesia, maka yang didapat adalah “peta
buta”, yaitu peta mengenai kemampuan kognitif anak-anak saja, bukan peta
kemampuan anak didik secara substansial. Pun UN sejatinya merupakan hasil
aktivitas drill & practice, juga peran serta banyak Bimbel penyelenggaran les
private dan tryout UN, jadi sekali lagi UN juga tidak dapat dijadikan alat untuk
pemetaan pendidikan, ada variabel latihan soal-soal prediksi UN, ada juga peran
lembaga Bimbel di situ, belum lagi ditambah kecurangan sistematis dan sejenisnya.
Usul UN hanya jadi alat ukur minimal juga tidak tepat, karena begitu banyaknya
Page | 7
dana yang dikeluarkan kok ternyata hanya untuk sebuah alat ukur minimal, jelas
tidak relevan.
8. Kurikulum yang sedang dirancang sekarang adalah kurikulum yang membekali
anak didik dengan pengetahuan dan keterampilan hidup untuk hidup di masa
depan, katakanlah generasi 2045?
Jawab: kalau kurikulum untuk mengatasi dan bekal hidup di masa depan, maka
persoalan yang ada sekarang dan dihadapi serta dialami riil oleh anak didik tidak
diatasi, dan anak didik tidak diberi pengetahuan dan keterampilan hidup yang
justru teramat mendesak dibutuhkan untuk hidup di masa sekarang, bukan masa
depan. Anak didik jelas hidup di masa sekarang, bukan di masa depan. Dengan
demikian teramat penting sekali anak didik sekarang dibekali pengetahuan dan
keterampilan hidup untuk dapat menjawab persoalan hidup sekarang ini,
sedangkan untuk “masa depan” bekalnya adalah kemampuan learning how to
learn, karena begitu cepatnya perubahan terjadi dan tidak ada yang bisa
memprediksi masa depan dengan tepat.
Dua dasar utama pertimbangan penolakan UN:
1. Hal penting yang dibutuhkan oleh Indonesia sekarang ini adalah generasi
pemberani yang produktif, kreatif, dan kritis. Nah, karakteristik UN bukanlah
mengarahkan anak didik menjadi produsen pengetahuan, melainkan sekadar
konsumen dan penghafal pengetahuan saja. Kalau ingin menghasilkan generasi
produsen pengetahuan tinggal merubah metode dan pendekatan belajarnya serta
evaluasinya saja, yakni dengan berbasis proyek, problem solving, dan sejenisnya.
Sekadar contoh, kalau pengetahuan Bahasa Indonesia, maka bentuk produksi
pengetahuan paling sederhana adalah: anak didik harus dapat membuat naskah
pidato dan dapat juga berpidato dengan baik dan lancar, dapat membuat surat,
iklan, cerita pendek, puisi, kalau perlu novel—bagi yang minat & bakat di sastra.
Hal ini tidak ada di UN, karena UN kalaupun soal novel justru diuji-uji mengenai
“teori-teori novel”, bukan memproduksi sesuatu, lagi-lagi karena sekadar memilih
satu di antara beberapa jawaban baku, dengan demikian tidak ada juga ruang
untuk kreativitas anak didik. Demikian juga untuk bidang keilmuan dan
keterampilan hidup lainnya.
2. Anak didik punya bakat & minat yang berbeda, bagaimana mungkin bakatnya
berbeda, minatnya berbeda, kok diuji dengan satu alat ukur yang sama, yaitu UN.
Hal ini sama saja analoginya dengan meminta seekor ikan yang bakat, minat, &
kehidupannya di air, hingga sudah pasti ia lihai berenang, menyelam, kok hendak
diuji dengan cara memanjat pohon yang cocok dengan si monyet yang memang
bakat, minat, & kehidupannya ya memanjat pohon? Saya berbakat & minat sepak
bola kok diuji matematika, saya suka matematika kok diuji cara menggiring bola
dan memasukkannya ke gawang lawan? Saya berbakat dan minat main bola basket
kok alat ukur untuk mengatakan saya bisa dibilang cerdas adalah bahasa Indonesia,
Page | 8
matematika, dan bahasa Inggris? Kalau begitu caranya, maka hanya anak-anak
yang berbakat & minat bidang akademik saja yang dilabeli sebagai cerdas, dan ini
tiada lain adalah bukti arogansi dunia akademik atas bidang aktivitas kehidupan
lainnya yang non-akademik (praktisi misalnya). Sudah seharusnya alat evaluasi
dan ujian disesuaikan dengan bakat & minat anak didik. Ingat prinsip dasarnya:
bahwa mekanisme dan sistem penilaian harus dapat ikut menunjang tujuan
pendidikan dan pembelajaran, dan tiada lain tujuan pendidikan secara substansial
kecuali memfasilitasi pengembangan bakat & minat anak dan diarahkan juga
untuk transformasi sosial di masyarakat.
Demikian hasil diskusi forum “Rasan-rasan” tanggal 7 Mei 2013 di Rumah Buku
tapalbatas (Sekaran, Gunungpati, Semarang). Tentu saja di seluruh penjuru Indonesia ada
banyak pakar & ahli pendidikan, oleh karena itu sudilah kiranya turut berkomentar
mengenai dokumen release ini dari sari diskusi yang telah kami lakukan. Terima kasih.
Rumah Buku tapalbatas

More Related Content

Similar to Diskusi 7 mei 2013 tapalbatas tentang un

Pendidikan modal utama membangun karakter bangsa
Pendidikan modal utama membangun karakter bangsaPendidikan modal utama membangun karakter bangsa
Pendidikan modal utama membangun karakter bangsaHilman Latief
 
9 PILAR MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN.docx
9 PILAR MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN.docx9 PILAR MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN.docx
9 PILAR MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN.docxsoparidah
 
Sekali Lagi Tentang Ujian Nasional
Sekali Lagi Tentang Ujian NasionalSekali Lagi Tentang Ujian Nasional
Sekali Lagi Tentang Ujian NasionalDenny Kodrat
 
Makalah tawuran pelajar
Makalah   tawuran pelajarMakalah   tawuran pelajar
Makalah tawuran pelajarzulvamunayati
 
Lingkungan dan Lembaga Pendidikan
Lingkungan dan Lembaga PendidikanLingkungan dan Lembaga Pendidikan
Lingkungan dan Lembaga PendidikanHoshi Hikaru
 
Faktor yang Mempengaruhi Permasalahan Pendidikan
Faktor yang Mempengaruhi Permasalahan PendidikanFaktor yang Mempengaruhi Permasalahan Pendidikan
Faktor yang Mempengaruhi Permasalahan PendidikanHariyatunnisa Ahmad
 
Makalah penanganan tawuran di kalangan Siswa
Makalah penanganan tawuran di kalangan Siswa Makalah penanganan tawuran di kalangan Siswa
Makalah penanganan tawuran di kalangan Siswa SMPN 1 Cikidang
 
Digital Skill Education Concept:
Digital Skill Education Concept: Digital Skill Education Concept:
Digital Skill Education Concept: VincentElfran
 
E book antologi opini, puisi, dan cerpen mahasiswa penerima bidikmisi um tahu...
E book antologi opini, puisi, dan cerpen mahasiswa penerima bidikmisi um tahu...E book antologi opini, puisi, dan cerpen mahasiswa penerima bidikmisi um tahu...
E book antologi opini, puisi, dan cerpen mahasiswa penerima bidikmisi um tahu...anjarmath
 
Pendidikan karakter melalui eq
Pendidikan karakter melalui eqPendidikan karakter melalui eq
Pendidikan karakter melalui eqFajar Najiha
 
nyokaptoto slot gacor terbaik dan terpercaya.pdf
nyokaptoto slot gacor terbaik dan terpercaya.pdfnyokaptoto slot gacor terbaik dan terpercaya.pdf
nyokaptoto slot gacor terbaik dan terpercaya.pdfNyokap Toto
 
Pendidikan di Indonesia
Pendidikan di IndonesiaPendidikan di Indonesia
Pendidikan di IndonesiaAliffanin
 
11885999.ppt
11885999.ppt11885999.ppt
11885999.pptginamoina
 
Paper Landasan Pendidikan: Landasan Psikologi dalam Pendidikan//Nurul Hasanah...
Paper Landasan Pendidikan: Landasan Psikologi dalam Pendidikan//Nurul Hasanah...Paper Landasan Pendidikan: Landasan Psikologi dalam Pendidikan//Nurul Hasanah...
Paper Landasan Pendidikan: Landasan Psikologi dalam Pendidikan//Nurul Hasanah...Nurul Hazanah
 
11_pend_holistik
11_pend_holistik11_pend_holistik
11_pend_holistikdede Umar
 

Similar to Diskusi 7 mei 2013 tapalbatas tentang un (20)

Pendidikan modal utama membangun karakter bangsa
Pendidikan modal utama membangun karakter bangsaPendidikan modal utama membangun karakter bangsa
Pendidikan modal utama membangun karakter bangsa
 
9 PILAR MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN.docx
9 PILAR MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN.docx9 PILAR MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN.docx
9 PILAR MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN.docx
 
Sekali Lagi Tentang Ujian Nasional
Sekali Lagi Tentang Ujian NasionalSekali Lagi Tentang Ujian Nasional
Sekali Lagi Tentang Ujian Nasional
 
Makalah tawuran pelajar
Makalah   tawuran pelajarMakalah   tawuran pelajar
Makalah tawuran pelajar
 
Lingkungan dan Lembaga Pendidikan
Lingkungan dan Lembaga PendidikanLingkungan dan Lembaga Pendidikan
Lingkungan dan Lembaga Pendidikan
 
Faktor yang Mempengaruhi Permasalahan Pendidikan
Faktor yang Mempengaruhi Permasalahan PendidikanFaktor yang Mempengaruhi Permasalahan Pendidikan
Faktor yang Mempengaruhi Permasalahan Pendidikan
 
Makalah penanganan tawuran di kalangan Siswa
Makalah penanganan tawuran di kalangan Siswa Makalah penanganan tawuran di kalangan Siswa
Makalah penanganan tawuran di kalangan Siswa
 
Digital Skill Education Concept:
Digital Skill Education Concept: Digital Skill Education Concept:
Digital Skill Education Concept:
 
E book antologi opini, puisi, dan cerpen mahasiswa penerima bidikmisi um tahu...
E book antologi opini, puisi, dan cerpen mahasiswa penerima bidikmisi um tahu...E book antologi opini, puisi, dan cerpen mahasiswa penerima bidikmisi um tahu...
E book antologi opini, puisi, dan cerpen mahasiswa penerima bidikmisi um tahu...
 
Pendidikan karakter melalui eq
Pendidikan karakter melalui eqPendidikan karakter melalui eq
Pendidikan karakter melalui eq
 
BMP MKDU4109
BMP MKDU4109BMP MKDU4109
BMP MKDU4109
 
Makalah pendidikan karakter
Makalah pendidikan karakterMakalah pendidikan karakter
Makalah pendidikan karakter
 
isi
isiisi
isi
 
nyokaptoto slot gacor terbaik dan terpercaya.pdf
nyokaptoto slot gacor terbaik dan terpercaya.pdfnyokaptoto slot gacor terbaik dan terpercaya.pdf
nyokaptoto slot gacor terbaik dan terpercaya.pdf
 
Hhhh
HhhhHhhh
Hhhh
 
Lala
LalaLala
Lala
 
Pendidikan di Indonesia
Pendidikan di IndonesiaPendidikan di Indonesia
Pendidikan di Indonesia
 
11885999.ppt
11885999.ppt11885999.ppt
11885999.ppt
 
Paper Landasan Pendidikan: Landasan Psikologi dalam Pendidikan//Nurul Hasanah...
Paper Landasan Pendidikan: Landasan Psikologi dalam Pendidikan//Nurul Hasanah...Paper Landasan Pendidikan: Landasan Psikologi dalam Pendidikan//Nurul Hasanah...
Paper Landasan Pendidikan: Landasan Psikologi dalam Pendidikan//Nurul Hasanah...
 
11_pend_holistik
11_pend_holistik11_pend_holistik
11_pend_holistik
 

Recently uploaded

Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genap
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genapDinamika Hidrosfer geografi kelas X genap
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genapsefrida3
 
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5ssuserd52993
 
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docxTugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docxmawan5982
 
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdfTUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdfElaAditya
 
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CModul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CAbdiera
 
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxtugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxmawan5982
 
tugas karya ilmiah 1 universitas terbuka pembelajaran
tugas karya ilmiah 1 universitas terbuka pembelajarantugas karya ilmiah 1 universitas terbuka pembelajaran
tugas karya ilmiah 1 universitas terbuka pembelajarankeicapmaniez
 
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdfAksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdfDimanWr1
 
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfModul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfSitiJulaeha820399
 
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptxPerumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptxadimulianta1
 
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptxPEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptxsukmakarim1998
 
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SD
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SDtugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SD
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SDmawan5982
 
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptxBab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptxssuser35630b
 
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptxBAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptxJamhuriIshak
 
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docxTugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docxmawan5982
 
Latihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajat
Latihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajatLatihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajat
Latihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajatArfiGraphy
 
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ikabab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ikaAtiAnggiSupriyati
 
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdf
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdfBab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdf
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdfbibizaenab
 
Kontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptx
Kontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptxKontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptx
Kontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptxssuser50800a
 
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdfREFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdfirwanabidin08
 

Recently uploaded (20)

Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genap
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genapDinamika Hidrosfer geografi kelas X genap
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genap
 
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
 
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docxTugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
 
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdfTUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
 
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CModul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
 
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxtugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
 
tugas karya ilmiah 1 universitas terbuka pembelajaran
tugas karya ilmiah 1 universitas terbuka pembelajarantugas karya ilmiah 1 universitas terbuka pembelajaran
tugas karya ilmiah 1 universitas terbuka pembelajaran
 
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdfAksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
 
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfModul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
 
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptxPerumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
 
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptxPEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
 
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SD
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SDtugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SD
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SD
 
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptxBab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
 
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptxBAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
 
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docxTugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
 
Latihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajat
Latihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajatLatihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajat
Latihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajat
 
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ikabab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
 
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdf
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdfBab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdf
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdf
 
Kontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptx
Kontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptxKontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptx
Kontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptx
 
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdfREFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
 

Diskusi 7 mei 2013 tapalbatas tentang un

  • 1. Page | 1 Press Release Forum “Rasan-rasan” Rumah Buku tapalbatas Refleksi Hari Pendidikan Nasional 2 Mei Selasa, 7 Mei 2013 Diskusi forum “Rasan-rasan” dalam rangka hari pendidikan (2 Mei) pada 7 Mei 2013 kemarin pada akhirnya memang banyak mendiskusikan tentang Ujian Nasional (UN)— sebagaimana arah dari moderator diskusi. Kami tidak bisa menyarikan semuanya, namun di sini kami kemukakan beberapa pokok gagasan yang bisa kami sampaikan berdasarkan pada diskusi yang terjadi. Dalam forum diskusi tersebut ada yang pro UN dengan berbagai argumentasinya dan ada yang kontra. Nah, di sini kami sajikan beberapa argumentasi yang pro UN dan kemudian dijawab melalui komentar dari pihak yang kontra UN. 1. UN sangat diperlukan untuk mengetahui tingkat kualitas pendidikan Indonesia, tingkat kecerdasan rakyat, jika ditanya sampai di mana kualitas pendidikan Indonesia dibandingkan negara lain. Jawab: (I) Kualitas pendidikan amat naif jika dilihat dari kualitas UN, karena UN hanya menguji analisis kognitif dan asah memori saja. Kualitas pendidikan itu bisa dilihat dari beberapa elemen dasarnya, yaitu: (1) tujuan substansial, (2) guru, (3) fasilitas dan lingkungan belajar, (4) metode dan proses pembelajaran, (5) penilaian dan hasil pendidikan. Dari sisi “tujuan substansial” bisa dinilai tujuan pendidikan kita apa? Tentu saja tujuannya bukan UN, kalau tujuannya UN maka bubarkan saja sekolah dan ganti dengan Bimbingan Belajar (Bimbel) yang sering menyelenggarakan tryout lulus UN. Dari sisi “guru” dapat dinilai kualitas pemahamannya mengenai content materi dan kualitas pedagogiknya dalam mendampingi anak-anak belajar. Dari sisi “fasilitas dan lingkungan belajar” dapat dinilai kelayakan ruang kelas, bangunan, fasilitas, media belajar, dll. Dari sisi “metode dan proses pembelajaran” dapat dilihat dari kualitas praktik pembelajaran, variasi metode yang digunakan, apakah metode tersebut tepat untuk menunjang tujuan substansial pendidikan atau tidak. Nah, dari sisi “penilaian dan hasil pendidikan” dapat dilihat dari kualitas riil anak didik itu sendiri, yaitu perubahan cara pandang, pola pikir, menjadi lebih bijaksana, dewasa, dan pada akhirnya bermuara pada perubahan sosial, antara lain kesejahteraan, tidak ada konflik, tawuran, korupsi, dan lainnya. Ini “ukuran” paling riil dari keberhasilan pendidikan, UN bukan ukuran riil kualitas pendidikan pada elemen/dimensi “penilaian dan hasil pendidikan” karena UN sekadar menguji kognitif dengan stress tingkat tinggi. Kalau mau “mengukur” kualitas anak didik lihatlah perubahan cara berpikir,
  • 2. Page | 2 kedewasaan, kematangan emosional dan lain-lainnya, dan hal ini tidak ada di UN, dan beberapa hal ini (cara berpikir, kedewasaan, kebijaksanaan) jelas sangat berkaitan langsung dengan kehidupan sosial riil anak didik, di sisi lain UN tidak ada hubungannya dengan kehidupan riil. Dalam kehidupan riil yang dibutuhkan adalah kemampuan hidup yang mesti kreatif dan kritis didasari oleh kesadaran, tanggungjawab dll, memecahkan problem hidup tidak butuh keterampilan mengerjakan soal-soal UN yang fokus pada hafalan soal yang kira-kira akan keluar di UN. Intinya: segala kemampuan menyelesaikan soal tingkat tinggi sekalipun dalam UN itu hanya berguna untuk UN itu sendiri, bukan untuk kehidupan riil di masyarakat, dan mampu menyelesaikan soal tingkat tinggi sekalipun tidak ada jaminan anak tersebut mampu menyelesaikan problem ekonomi keluarga dan masyarakat tempat ia tinggal, juga problem politik, budaya, agama dan lainnya. Sudah seharusnya keberhasilan pendidikan dilihat dari apakah anak tersebut riilnya mempraktikkan empati sosial pada kalangan menengah ke bawah atau tidak, melakukan tawuran atau tidak, korupsi atau tidak, bukan dari nilai tinggi di atas kertas buah dari mengerjakan UN. (II) Dalam konteks negara, sering kualitas pendidikan Indonesia diperbandingkan dengan kualitas pendidikan negara lain dengan mengacu pada pemeringkatan dari PISA, TIMSS, PIRLS, juga peringkat world class university dari THESS, dll. Faktanya tidak ada hubungan dan relevansi peringkat-peringkat tersebut dengan perubahan sosial ekonomi,budaya, dan lainnya jadi lebih baik di masyarakat. Adakah fakta banyaknya juara olimpiade tingkat dunia bidang akademik (fisika, kimia, biologi, matematika) yang dicapai anak-anak Indonesia berimbas pada perbaikan kesejahteraan ekonomi, perdamaian hidup tanpa konflik & kekerasan? Tidak ada. Anak-anak yang bisa menjawab soal tingkat tinggi dari PISA, TIMSS, dan PIRLS tidak ada jaminan bisa menyelesaikan problem masyarakat sekitarnya. Indonesia sebagai bangsa dan negara punya problem riil yang harus diatasi dan tidak bisa diatasi dengan cara mengejar peringkat PISA, TIMSS, PIRLS dan lainnya yang dipahami oleh awam sebagai alat ukur kualitas pendidikan. Dengan demikian yang paling penting & perlu dilakukan adalah: menjadikan pendidikan Indonesia secara riil & faktual dapat menyelesaikan problem anak didik, keluarganya, lingkungannya, dan masyarakatnya, bukan mengejar peringkat PISA, PIRLS, dan TIMSS, bukan juga mengejar skor nilai tinggi melalui UN. Ada yang berargumen bahwa: bukannya memang pendidikan tujuannya hanya untuk memberi bekal pengetahuan dan keterampilan hidup (skill) saja, bukan untuk mengatasi problem riil di masyarakat. Barulah ketika mereka lulus nanti bisa berkontribusi dalam mengatasi problem riil dirinya, keluarganya, masyarakat dan lingkungannya. Argumentasi ini didasari oleh cara pandang yang melihat pendidikan (terutama sekolah dan kampus) sebagai lembaga tempat belajar & pencetak tenaga kerja dan warganegara, bukan
  • 3. Page | 3 pendidikan sebagai pusat pengembangan budaya dan transformasi sosial. Pendidikan yang model korporasi inilah yang menjauhkan anak didik dari realitas sosial dan sekadar disiapkan untuk mengantisipasi dan menghadapi masa depan, bukan masa kini. Padahal riil anak didik juga anggota masyarakat dan ikut menghadapi problem riil kehidupan, fakta pendidikan formal yang sekadar memberi pengetahuan untuk masa depan setelah lulus sekolah jelas tidak tepat, karena justru anak didik tidak diberi pengetahuan dan keterampilan hidup riil untuk kehidupan sehari-hari mereka. (III) Dus, pendidikan mesti berguna untuk (1) meningkatkan kualitas diri anak didik (intelektual, emosional, spiritual, perilaku, kedewasaan, kebijaksanaan) dan (2) mengatasi problem sosial, kultural, ekonomi, politik, dan lainnya. Tanpa diarahkan ke situ maka pendidikan tidak berguna, tidak bermanfaat, dan tidak bermakna secara faktual, aktual, dan riil. Jadi, pendidikan tidak patut dilihat kualitasnya dari skor nilai tinggi UN dan peringkat-peringkat PIRLS, TIMSS, PISA, dan sejenisnya, karena menganggap penting dan menjadikan UN dan sejenisnya sebagai ukuran kualitas dan keberhasilan pendidikan artinya menafikan tujuan akhir pendidikan, yaitu perubahan diri anak didik dan sosial masyarakat ke arah yang lebih baik secara faktual, aktual, dan riil. Sekali lagi kalau dipahami bahwa kualitas pendidikan Indonesia mau ditingkatkan dan caranya adalah dengan meningkatkan nilai UN menjadi 99 pun, maka itu adalah nilai UN, bukan nilai dan/atau kualitas seseorang itu seutuhnya yang berguna untuk hidup, yaitu kebijaksanaan, kedewasaan, intelektualitas, problem solving, dan lainnya. Oleh karenanya amat naif jika pemerintah terobsesi meningkatkan kualitas manusia Indonesia namun caranya adalah meningkatkan skor nilai UN yang tidak berguna untuk kehidupan riil anak didik di masyarakat. UN lagi-lagi tak berguna. 2. Kalau memang kualitas pendidikan di Indonesia dilihat dari tiadanya pengangguran, tidak adanya konflik, korupsi, kemampuan produksi pengetahuan, terampil merakit mobil, dan lainnya, bukankah adanya pengangguran itu terjadi karena mereka tidak terstandar pengetahuannya, dan UN membuat standarisasi pengetahuan yang nantinya pengetahuan itu menjadi bekal anak didik berkarya dan bekerja yang baik dan berkualitas. Jawab: memang seseorang bisa bekerja dengan baik dan berkualitas, mampu mengatasi problem diri, keluarga, masyarakat berkaitan dengan ekonomi, sosial, budaya, dan lainnya harus dengan terlebih dahulu punya bekal pengetahuan dan keterampilan hidup yang memadai. Namun jika mendasarkan pada UN jelas tidak tepat. Mengapa? Karena dalam UN yang dipelajari adalah soal-soal di atas kertas, bahkan dalam persiapan UN sekadar di-drill and practice soal-soal yang kira-kira akan keluar ketika UN saja, dalam UN tidak dinilai secara riil, faktual, dan aktual mengenai implementasi/aplikasi ilmu pengetahuan dan keterampilan hidup anak
  • 4. Page | 4 didik, padahal soal pengangguran, keterampilan merakit mobil, tidak terlibat konflik sosial dan justru mencoba mencegah atau mengatasi konflik dan lainnya adalah dimensi implementasi/praktik/aplikasi pengetahuan dan keterampilan hidup. UN jelas-jelas tidak menilai implementasi riil dari pengetahuan dan keterampilan hidup anak didik, tapi sekadar ujian memori dan kognitif di atas kertas saja. Dengan demikian UN tidak dapat jadi bekal bagi anak didik untuk secara riil mengimplementasikan pengetahuan dan keterampilan hidup mereka. Seandainya orang seluruh Indonesia dapat distandarisasi kemampuan pengetahuan dan keterampilan hidup mereka melalui UN, maka dengan karakteristik UN yang “menguji” di atas kertas (bukan “menilai” implementasi riil kemampuan anak didik), UN tidak dapat menjadi alat untuk menjadikan anak-anak didik dapat mengimpelmentasikan pengetahuan dan keterampilan hidup mereka secara faktual, aktual, dan riil. Bukankah mestinya yang mesti dilakukan adalah: melihat langsung implementasi/aplikasi/praktik pengetahuan dan keterampilan hidup anak didik? Dan ini bisa dilakukan dengan cara sederhana, yaitu menggunakan metode belajar proyek sosial, produksi suatu metode atau alat tertentu, portofolio, dan sejenisnya, bukan melalui UN. Dus, lagi-lagi tidak ada jaminan anak punya pengetahuan dan keterampilan hidup tingkat tinggi dalam penilaian versi UN akan otomatis dapat mempraktikkan pengetahuan dan keterampilan hidupnya di masyarakat atau dalam kehidupan sehari-harinya. Sudah seharusnya langsung saja agar punya daya kemandirian dan kreativitas untuk bekerja (tidak jadi pengangguran) ya dilihat secara riil aktivitas kemandirian dan kreativitasnya secara aktual melalui proyek sosial wirausaha dan sejenisnya, demikian agar dapat berpartisipasi mencegah konflik juga dapat dilihat langsung dari model pembelajaran sosial tertentu, soal agar tidak korupsi juga demikian. UN lagi-lagi tak berguna. 3. Negara harus punya standarisasi yang jelas pendidikannya dan warganya. Dilihat dari standar kelulusan yang terus naik, jadi kualitas manusia Indonesia lulusan pendidikan formal makin baik kualitasnya seiring meningkatnya standar kelulusan via UN. Jawab: ini jenis pertanyaan yang relatif sama dengan pertanyaan sebelumnya, yakni masih melihat UN tepat sebagai tolok ukur keberhasilan dan mutu pendidikan, padahal jelas—sebagaimana argumentasi sebelumnya—UN tidak dapat jadi ukuran kualitas pendidikan secara esensial dan substansial. Kalau mengikuti logika UN sebagai alat standarisasi kualitas pendidikan, maka: UN dijadikan alat ukur kualitas pendidikan dan sekaligus alat ukur kualitas manusia, padahal pendidikan berbeda dari manusia. Mekanisme dan sistem penilaian (assessment) adalah bagian dari pendidikan, penilaian dikatakan berkualitas jika dan hanya jika ia tepat (appropriate) untuk menilai sesuai dengan tujuan pendidikan yang juga tepat, ketika tujuan pendidikan adalah perubahan cara pandang dan kualitas orang jadi lebih dewasa, bijaksana, religius, dan juga perubahan sosial, maka UN jelas tidak tepat karena UN hanya menilai kognitif dan
  • 5. Page | 5 asah memori disertai stress. Dengan demikian, ketika seorang anak didik lulus UN artinya ia lulus ujian kemampuan kognitif di atas kertas dengan didahului asah memori terus-terusan, jadi ketika standar kelulusan dinaikkan dan dikatakan itu meningkatkan kualitas manusia Indonesia, maka yang dimaksud adalah naiknya kemampuan analisis kognitif di atas kertas dari manusia Indonesia, bukan kualitas implementasi pengetahuan dan keterampilan hidup secara aktual, faktual, dan riil. Inikah kualitas manusia Indonesia yang diinginkan? Tentu saja tidak bukan? Kalau ingin meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang sungguh-sungguh dan serius, ya tinggal pendidikan dan pembelajaran serta penilaian difokuskan pada bukan hanya penguasaan pengetahuan saja, tapi pada implementasi riilnya di dalam sekolah dan masyarakat luas. UN lagi-lagi tak berguna. 4. UN menjadi motivasi guru untuk “greget” mengajar dan siswa belajar, apalagi menjelang detik-detik UN. Jawab: memang sudah semestinya guru dan siswa punya greget untuk belajar, tapi yang terjadi ketika ada UN adalah greget latihan (training) soal-soal prediksi yang kira-kira akan keluar diujikan dalam UN, bukan belajar (learning) pengetahuan dan keterampilan hidup secara sungguh-sungguh, serius, dan betulan. Dalam dunia pendidikan jelas ada perbedaan antara “latihan” (training) dan “belajar” (learning), dan jelas pendidikan persekolahan formal modern dari jenjang pendidikan dasar hingga menengah bukanlah lembaga pelatihan, melainkan tempat belajar serius pengetahuan dan keterampilan hidup. Apakah latihan dengan metode drill & practice soal-soal itu disebut sebagai belajar? Tentu tidak. Apakah tepat gairah “belajar” melalui metode drill & practice menjadi ukuran antusiasme belajar pengetahuan dan keterampilan hidup yang sungguh-sungguh, serius, dan betulan? Tentu saja tidak. Lebih dari itu justru perlu dipertanyakan— untuk konteks problem pendidikan lain—mengapa anak didik dan guru tidak antusias belajar? Bisa jadi karena memang substansi kurikulum selama ini tidak menyentuh kebutuhan dan persoalan hidup yang dihadapi oleh anak-anak di sekolah. Baru ketika UN jadi persoalan/problem hidup (karena jadi penentu lulus & tidak lulus anak didik), maka ia dianggap penting. Ini pekerjaan rumah lain yang harus dituntaskan dan nanti kaitannya dengan problem Kurikulum 2013, yaitu relevansi pengetahuan dan keterampilan hidup yang dipelajari di sekolah selama ini yang tidak banyak menyentuh kebutuhan dan persoalan hidup yang dihadapi oleh anak-anak. UN lagi-lagi tak berguna. 5. Siswa stress karena tidak siap dan tidak dimotivasi oleh para guru, guru hanya “yang penting saya sudah mengajar”. Media saja yang “lebay” membesar-besarkan kesulitan UN. Jawab: Nah, ini berarti problem kualitas guru yang memang perlu diatasi. Kalau soal memotivasi siswa yang dianggap akan dapat mengurangi stress, itu bisa jadi memang dapat mengurangi stress, namun tetap tidak dapat jadi argumentasi
  • 6. Page | 6 pembenar bahwa UN itu tepat dilaksanakan. Soal media juga tidak terlalu terkait dengan substansi UN, karena bagi media seringkali berlaku agadium “bad news is good news”. UN lagi-lagi tak berguna. 6. Generasi sekarang kok “rempong” (atau “kempong), menghadapi UN saja takut, padahal dalam kehidupan penuh dengan ujian, hidup ini keras, butuh mental baja, khan sudah jadi tradisi bahwa sekolah ya pasti ada ujiannya, kenapa kok sekarang pada stress, dulu-dulu tidak ada yang stress, intinya: generasi sekarang manja, dan memang butuh dikerasi sedikit agar kuat mentalitasnya. Jawab: Ya, memang dalam kehidupan tidak mungkin kita tidak berhadapan dengan tekanan yang seringkali membuat kita jadi stress atau tertekan. Namun layakkah anak didik di sekolah stress untuk sesuatu yang tidak ada gunanya (yaitu UN) alias mubazir? Tentu saja tidak. Mengapa tidak hadapkan saja anak didik dengan pengalaman belajar riil (learning by doing) menghadapi masalah riil melalui metode proyek sosial di masyarakat dan sejenisnya, yang dengan begitu mereka akan secara riil mengalami “stress” untuk hal-hal yang riil dan berguna, yaitu realitas kehidupan faktual dan aktual (bukan soal kognitif di atas kertas, bukan UN yang tidak ada korelasinya dengan realitas kehidupan faktual dan aktual). Cara menempa menjadi generasi yang kuat mentalnya, bagus perilakunya, tegas sikapnya, dan lainnya adalah dengan menggunakan pembelajaran kontekstual, berbasis masalah (problem-solving), berbasis proyek sosial, dan sejenisnya yang jelas merupakan bagian dari persoalan hidup sosial riil, bukan UN yang sejatinya tidak ada gunanya dan mubazir tersebut. UN lagi-lagi tak berguna. 7. UN sudah jadi tradisi, jadi harus dilaksanakan, mudharat-nya karena UN untuk kelulusan, jadi jangan dijadikan untuk penentu kelulusan, jadi UN untuk pemetaan pendidikan di Indonesia saja sebagai dasar perbaikan kualitas pendidikan. Atau kalau tidak begitu, UN dibuat gampang saja soal-soalnya (standar minimal), jadi UN adalah alat ukur minimal anak didik. Jawab: Sebuah tradisi bukan berarti mesti diikuti secara membuta, tradisi tidak selalu baik dan tepat, oleh karena itu ketika analisis teoretis dan empiris mendapati bahwa UN tidak tepat maka tiada pilihan lain kecuali meniadakan UN dalam sistem pendidikan formal modern di Indonesia. Kalaupun UN dijadikan sebagai cara untuk memetakan pendidikan di Indonesia, maka yang didapat adalah “peta buta”, yaitu peta mengenai kemampuan kognitif anak-anak saja, bukan peta kemampuan anak didik secara substansial. Pun UN sejatinya merupakan hasil aktivitas drill & practice, juga peran serta banyak Bimbel penyelenggaran les private dan tryout UN, jadi sekali lagi UN juga tidak dapat dijadikan alat untuk pemetaan pendidikan, ada variabel latihan soal-soal prediksi UN, ada juga peran lembaga Bimbel di situ, belum lagi ditambah kecurangan sistematis dan sejenisnya. Usul UN hanya jadi alat ukur minimal juga tidak tepat, karena begitu banyaknya
  • 7. Page | 7 dana yang dikeluarkan kok ternyata hanya untuk sebuah alat ukur minimal, jelas tidak relevan. 8. Kurikulum yang sedang dirancang sekarang adalah kurikulum yang membekali anak didik dengan pengetahuan dan keterampilan hidup untuk hidup di masa depan, katakanlah generasi 2045? Jawab: kalau kurikulum untuk mengatasi dan bekal hidup di masa depan, maka persoalan yang ada sekarang dan dihadapi serta dialami riil oleh anak didik tidak diatasi, dan anak didik tidak diberi pengetahuan dan keterampilan hidup yang justru teramat mendesak dibutuhkan untuk hidup di masa sekarang, bukan masa depan. Anak didik jelas hidup di masa sekarang, bukan di masa depan. Dengan demikian teramat penting sekali anak didik sekarang dibekali pengetahuan dan keterampilan hidup untuk dapat menjawab persoalan hidup sekarang ini, sedangkan untuk “masa depan” bekalnya adalah kemampuan learning how to learn, karena begitu cepatnya perubahan terjadi dan tidak ada yang bisa memprediksi masa depan dengan tepat. Dua dasar utama pertimbangan penolakan UN: 1. Hal penting yang dibutuhkan oleh Indonesia sekarang ini adalah generasi pemberani yang produktif, kreatif, dan kritis. Nah, karakteristik UN bukanlah mengarahkan anak didik menjadi produsen pengetahuan, melainkan sekadar konsumen dan penghafal pengetahuan saja. Kalau ingin menghasilkan generasi produsen pengetahuan tinggal merubah metode dan pendekatan belajarnya serta evaluasinya saja, yakni dengan berbasis proyek, problem solving, dan sejenisnya. Sekadar contoh, kalau pengetahuan Bahasa Indonesia, maka bentuk produksi pengetahuan paling sederhana adalah: anak didik harus dapat membuat naskah pidato dan dapat juga berpidato dengan baik dan lancar, dapat membuat surat, iklan, cerita pendek, puisi, kalau perlu novel—bagi yang minat & bakat di sastra. Hal ini tidak ada di UN, karena UN kalaupun soal novel justru diuji-uji mengenai “teori-teori novel”, bukan memproduksi sesuatu, lagi-lagi karena sekadar memilih satu di antara beberapa jawaban baku, dengan demikian tidak ada juga ruang untuk kreativitas anak didik. Demikian juga untuk bidang keilmuan dan keterampilan hidup lainnya. 2. Anak didik punya bakat & minat yang berbeda, bagaimana mungkin bakatnya berbeda, minatnya berbeda, kok diuji dengan satu alat ukur yang sama, yaitu UN. Hal ini sama saja analoginya dengan meminta seekor ikan yang bakat, minat, & kehidupannya di air, hingga sudah pasti ia lihai berenang, menyelam, kok hendak diuji dengan cara memanjat pohon yang cocok dengan si monyet yang memang bakat, minat, & kehidupannya ya memanjat pohon? Saya berbakat & minat sepak bola kok diuji matematika, saya suka matematika kok diuji cara menggiring bola dan memasukkannya ke gawang lawan? Saya berbakat dan minat main bola basket kok alat ukur untuk mengatakan saya bisa dibilang cerdas adalah bahasa Indonesia,
  • 8. Page | 8 matematika, dan bahasa Inggris? Kalau begitu caranya, maka hanya anak-anak yang berbakat & minat bidang akademik saja yang dilabeli sebagai cerdas, dan ini tiada lain adalah bukti arogansi dunia akademik atas bidang aktivitas kehidupan lainnya yang non-akademik (praktisi misalnya). Sudah seharusnya alat evaluasi dan ujian disesuaikan dengan bakat & minat anak didik. Ingat prinsip dasarnya: bahwa mekanisme dan sistem penilaian harus dapat ikut menunjang tujuan pendidikan dan pembelajaran, dan tiada lain tujuan pendidikan secara substansial kecuali memfasilitasi pengembangan bakat & minat anak dan diarahkan juga untuk transformasi sosial di masyarakat. Demikian hasil diskusi forum “Rasan-rasan” tanggal 7 Mei 2013 di Rumah Buku tapalbatas (Sekaran, Gunungpati, Semarang). Tentu saja di seluruh penjuru Indonesia ada banyak pakar & ahli pendidikan, oleh karena itu sudilah kiranya turut berkomentar mengenai dokumen release ini dari sari diskusi yang telah kami lakukan. Terima kasih. Rumah Buku tapalbatas