(1) UN tidak dapat dijadikan ukuran kualitas pendidikan karena hanya menguji pengetahuan kognitif dan memori, bukan kualitas pendidikan secara holistik atau kemampuan siswa dalam kehidupan nyata. (2) Perbandingan kualitas pendidikan antarnegara melalui tes standar internasional juga tidak relevan dengan perubahan sosial yang dihasilkan. (3) UN tidak dapat memastikan siswa mampu menerapkan pengetah
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
Diskusi 7 mei 2013 tapalbatas tentang un
1. Page | 1
Press Release
Forum “Rasan-rasan” Rumah Buku tapalbatas
Refleksi Hari Pendidikan Nasional 2 Mei
Selasa, 7 Mei 2013
Diskusi forum “Rasan-rasan” dalam rangka hari pendidikan (2 Mei) pada 7 Mei 2013
kemarin pada akhirnya memang banyak mendiskusikan tentang Ujian Nasional (UN)—
sebagaimana arah dari moderator diskusi. Kami tidak bisa menyarikan semuanya, namun
di sini kami kemukakan beberapa pokok gagasan yang bisa kami sampaikan berdasarkan
pada diskusi yang terjadi. Dalam forum diskusi tersebut ada yang pro UN dengan berbagai
argumentasinya dan ada yang kontra. Nah, di sini kami sajikan beberapa argumentasi
yang pro UN dan kemudian dijawab melalui komentar dari pihak yang kontra UN.
1. UN sangat diperlukan untuk mengetahui tingkat kualitas pendidikan Indonesia,
tingkat kecerdasan rakyat, jika ditanya sampai di mana kualitas pendidikan
Indonesia dibandingkan negara lain.
Jawab:
(I) Kualitas pendidikan amat naif jika dilihat dari kualitas UN, karena UN
hanya menguji analisis kognitif dan asah memori saja. Kualitas pendidikan
itu bisa dilihat dari beberapa elemen dasarnya, yaitu: (1) tujuan substansial,
(2) guru, (3) fasilitas dan lingkungan belajar, (4) metode dan proses
pembelajaran, (5) penilaian dan hasil pendidikan. Dari sisi “tujuan
substansial” bisa dinilai tujuan pendidikan kita apa? Tentu saja tujuannya
bukan UN, kalau tujuannya UN maka bubarkan saja sekolah dan ganti
dengan Bimbingan Belajar (Bimbel) yang sering menyelenggarakan tryout
lulus UN. Dari sisi “guru” dapat dinilai kualitas pemahamannya mengenai
content materi dan kualitas pedagogiknya dalam mendampingi anak-anak
belajar. Dari sisi “fasilitas dan lingkungan belajar” dapat dinilai kelayakan
ruang kelas, bangunan, fasilitas, media belajar, dll. Dari sisi “metode dan
proses pembelajaran” dapat dilihat dari kualitas praktik pembelajaran,
variasi metode yang digunakan, apakah metode tersebut tepat untuk
menunjang tujuan substansial pendidikan atau tidak. Nah, dari sisi
“penilaian dan hasil pendidikan” dapat dilihat dari kualitas riil anak didik
itu sendiri, yaitu perubahan cara pandang, pola pikir, menjadi lebih
bijaksana, dewasa, dan pada akhirnya bermuara pada perubahan sosial,
antara lain kesejahteraan, tidak ada konflik, tawuran, korupsi, dan lainnya.
Ini “ukuran” paling riil dari keberhasilan pendidikan, UN bukan ukuran riil
kualitas pendidikan pada elemen/dimensi “penilaian dan hasil pendidikan”
karena UN sekadar menguji kognitif dengan stress tingkat tinggi. Kalau
mau “mengukur” kualitas anak didik lihatlah perubahan cara berpikir,
2. Page | 2
kedewasaan, kematangan emosional dan lain-lainnya, dan hal ini tidak ada
di UN, dan beberapa hal ini (cara berpikir, kedewasaan, kebijaksanaan)
jelas sangat berkaitan langsung dengan kehidupan sosial riil anak didik, di
sisi lain UN tidak ada hubungannya dengan kehidupan riil. Dalam
kehidupan riil yang dibutuhkan adalah kemampuan hidup yang mesti
kreatif dan kritis didasari oleh kesadaran, tanggungjawab dll, memecahkan
problem hidup tidak butuh keterampilan mengerjakan soal-soal UN yang
fokus pada hafalan soal yang kira-kira akan keluar di UN. Intinya: segala
kemampuan menyelesaikan soal tingkat tinggi sekalipun dalam UN itu
hanya berguna untuk UN itu sendiri, bukan untuk kehidupan riil di
masyarakat, dan mampu menyelesaikan soal tingkat tinggi sekalipun tidak
ada jaminan anak tersebut mampu menyelesaikan problem ekonomi
keluarga dan masyarakat tempat ia tinggal, juga problem politik, budaya,
agama dan lainnya. Sudah seharusnya keberhasilan pendidikan dilihat dari
apakah anak tersebut riilnya mempraktikkan empati sosial pada kalangan
menengah ke bawah atau tidak, melakukan tawuran atau tidak, korupsi
atau tidak, bukan dari nilai tinggi di atas kertas buah dari mengerjakan UN.
(II) Dalam konteks negara, sering kualitas pendidikan Indonesia
diperbandingkan dengan kualitas pendidikan negara lain dengan mengacu
pada pemeringkatan dari PISA, TIMSS, PIRLS, juga peringkat world class
university dari THESS, dll. Faktanya tidak ada hubungan dan relevansi
peringkat-peringkat tersebut dengan perubahan sosial ekonomi,budaya,
dan lainnya jadi lebih baik di masyarakat. Adakah fakta banyaknya juara
olimpiade tingkat dunia bidang akademik (fisika, kimia, biologi,
matematika) yang dicapai anak-anak Indonesia berimbas pada perbaikan
kesejahteraan ekonomi, perdamaian hidup tanpa konflik & kekerasan?
Tidak ada. Anak-anak yang bisa menjawab soal tingkat tinggi dari PISA,
TIMSS, dan PIRLS tidak ada jaminan bisa menyelesaikan problem
masyarakat sekitarnya. Indonesia sebagai bangsa dan negara punya problem
riil yang harus diatasi dan tidak bisa diatasi dengan cara mengejar peringkat
PISA, TIMSS, PIRLS dan lainnya yang dipahami oleh awam sebagai alat
ukur kualitas pendidikan. Dengan demikian yang paling penting & perlu
dilakukan adalah: menjadikan pendidikan Indonesia secara riil & faktual
dapat menyelesaikan problem anak didik, keluarganya, lingkungannya, dan
masyarakatnya, bukan mengejar peringkat PISA, PIRLS, dan TIMSS, bukan
juga mengejar skor nilai tinggi melalui UN. Ada yang berargumen bahwa:
bukannya memang pendidikan tujuannya hanya untuk memberi bekal
pengetahuan dan keterampilan hidup (skill) saja, bukan untuk mengatasi
problem riil di masyarakat. Barulah ketika mereka lulus nanti bisa
berkontribusi dalam mengatasi problem riil dirinya, keluarganya,
masyarakat dan lingkungannya. Argumentasi ini didasari oleh cara pandang
yang melihat pendidikan (terutama sekolah dan kampus) sebagai lembaga
tempat belajar & pencetak tenaga kerja dan warganegara, bukan
3. Page | 3
pendidikan sebagai pusat pengembangan budaya dan transformasi sosial.
Pendidikan yang model korporasi inilah yang menjauhkan anak didik dari
realitas sosial dan sekadar disiapkan untuk mengantisipasi dan menghadapi
masa depan, bukan masa kini. Padahal riil anak didik juga anggota
masyarakat dan ikut menghadapi problem riil kehidupan, fakta pendidikan
formal yang sekadar memberi pengetahuan untuk masa depan setelah lulus
sekolah jelas tidak tepat, karena justru anak didik tidak diberi pengetahuan
dan keterampilan hidup riil untuk kehidupan sehari-hari mereka.
(III) Dus, pendidikan mesti berguna untuk (1) meningkatkan kualitas diri anak
didik (intelektual, emosional, spiritual, perilaku, kedewasaan,
kebijaksanaan) dan (2) mengatasi problem sosial, kultural, ekonomi, politik,
dan lainnya. Tanpa diarahkan ke situ maka pendidikan tidak berguna, tidak
bermanfaat, dan tidak bermakna secara faktual, aktual, dan riil. Jadi,
pendidikan tidak patut dilihat kualitasnya dari skor nilai tinggi UN dan
peringkat-peringkat PIRLS, TIMSS, PISA, dan sejenisnya, karena
menganggap penting dan menjadikan UN dan sejenisnya sebagai ukuran
kualitas dan keberhasilan pendidikan artinya menafikan tujuan akhir
pendidikan, yaitu perubahan diri anak didik dan sosial masyarakat ke arah
yang lebih baik secara faktual, aktual, dan riil. Sekali lagi kalau dipahami
bahwa kualitas pendidikan Indonesia mau ditingkatkan dan caranya adalah
dengan meningkatkan nilai UN menjadi 99 pun, maka itu adalah nilai UN,
bukan nilai dan/atau kualitas seseorang itu seutuhnya yang berguna untuk
hidup, yaitu kebijaksanaan, kedewasaan, intelektualitas, problem solving,
dan lainnya. Oleh karenanya amat naif jika pemerintah terobsesi
meningkatkan kualitas manusia Indonesia namun caranya adalah
meningkatkan skor nilai UN yang tidak berguna untuk kehidupan riil anak
didik di masyarakat. UN lagi-lagi tak berguna.
2. Kalau memang kualitas pendidikan di Indonesia dilihat dari tiadanya
pengangguran, tidak adanya konflik, korupsi, kemampuan produksi pengetahuan,
terampil merakit mobil, dan lainnya, bukankah adanya pengangguran itu terjadi
karena mereka tidak terstandar pengetahuannya, dan UN membuat standarisasi
pengetahuan yang nantinya pengetahuan itu menjadi bekal anak didik berkarya
dan bekerja yang baik dan berkualitas.
Jawab: memang seseorang bisa bekerja dengan baik dan berkualitas, mampu
mengatasi problem diri, keluarga, masyarakat berkaitan dengan ekonomi, sosial,
budaya, dan lainnya harus dengan terlebih dahulu punya bekal pengetahuan dan
keterampilan hidup yang memadai. Namun jika mendasarkan pada UN jelas tidak
tepat. Mengapa? Karena dalam UN yang dipelajari adalah soal-soal di atas kertas,
bahkan dalam persiapan UN sekadar di-drill and practice soal-soal yang kira-kira
akan keluar ketika UN saja, dalam UN tidak dinilai secara riil, faktual, dan aktual
mengenai implementasi/aplikasi ilmu pengetahuan dan keterampilan hidup anak
4. Page | 4
didik, padahal soal pengangguran, keterampilan merakit mobil, tidak terlibat
konflik sosial dan justru mencoba mencegah atau mengatasi konflik dan lainnya
adalah dimensi implementasi/praktik/aplikasi pengetahuan dan keterampilan
hidup. UN jelas-jelas tidak menilai implementasi riil dari pengetahuan dan
keterampilan hidup anak didik, tapi sekadar ujian memori dan kognitif di atas
kertas saja. Dengan demikian UN tidak dapat jadi bekal bagi anak didik untuk
secara riil mengimplementasikan pengetahuan dan keterampilan hidup mereka.
Seandainya orang seluruh Indonesia dapat distandarisasi kemampuan pengetahuan
dan keterampilan hidup mereka melalui UN, maka dengan karakteristik UN yang
“menguji” di atas kertas (bukan “menilai” implementasi riil kemampuan anak
didik), UN tidak dapat menjadi alat untuk menjadikan anak-anak didik dapat
mengimpelmentasikan pengetahuan dan keterampilan hidup mereka secara
faktual, aktual, dan riil. Bukankah mestinya yang mesti dilakukan adalah: melihat
langsung implementasi/aplikasi/praktik pengetahuan dan keterampilan hidup anak
didik? Dan ini bisa dilakukan dengan cara sederhana, yaitu menggunakan metode
belajar proyek sosial, produksi suatu metode atau alat tertentu, portofolio, dan
sejenisnya, bukan melalui UN. Dus, lagi-lagi tidak ada jaminan anak punya
pengetahuan dan keterampilan hidup tingkat tinggi dalam penilaian versi UN akan
otomatis dapat mempraktikkan pengetahuan dan keterampilan hidupnya di
masyarakat atau dalam kehidupan sehari-harinya. Sudah seharusnya langsung saja
agar punya daya kemandirian dan kreativitas untuk bekerja (tidak jadi
pengangguran) ya dilihat secara riil aktivitas kemandirian dan kreativitasnya
secara aktual melalui proyek sosial wirausaha dan sejenisnya, demikian agar dapat
berpartisipasi mencegah konflik juga dapat dilihat langsung dari model
pembelajaran sosial tertentu, soal agar tidak korupsi juga demikian. UN lagi-lagi
tak berguna.
3. Negara harus punya standarisasi yang jelas pendidikannya dan warganya. Dilihat
dari standar kelulusan yang terus naik, jadi kualitas manusia Indonesia lulusan
pendidikan formal makin baik kualitasnya seiring meningkatnya standar kelulusan
via UN.
Jawab: ini jenis pertanyaan yang relatif sama dengan pertanyaan sebelumnya,
yakni masih melihat UN tepat sebagai tolok ukur keberhasilan dan mutu
pendidikan, padahal jelas—sebagaimana argumentasi sebelumnya—UN tidak
dapat jadi ukuran kualitas pendidikan secara esensial dan substansial. Kalau
mengikuti logika UN sebagai alat standarisasi kualitas pendidikan, maka: UN
dijadikan alat ukur kualitas pendidikan dan sekaligus alat ukur kualitas manusia,
padahal pendidikan berbeda dari manusia. Mekanisme dan sistem penilaian
(assessment) adalah bagian dari pendidikan, penilaian dikatakan berkualitas jika
dan hanya jika ia tepat (appropriate) untuk menilai sesuai dengan tujuan
pendidikan yang juga tepat, ketika tujuan pendidikan adalah perubahan cara
pandang dan kualitas orang jadi lebih dewasa, bijaksana, religius, dan juga
perubahan sosial, maka UN jelas tidak tepat karena UN hanya menilai kognitif dan
5. Page | 5
asah memori disertai stress. Dengan demikian, ketika seorang anak didik lulus UN
artinya ia lulus ujian kemampuan kognitif di atas kertas dengan didahului asah
memori terus-terusan, jadi ketika standar kelulusan dinaikkan dan dikatakan itu
meningkatkan kualitas manusia Indonesia, maka yang dimaksud adalah naiknya
kemampuan analisis kognitif di atas kertas dari manusia Indonesia, bukan kualitas
implementasi pengetahuan dan keterampilan hidup secara aktual, faktual, dan riil.
Inikah kualitas manusia Indonesia yang diinginkan? Tentu saja tidak bukan? Kalau
ingin meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang sungguh-sungguh dan serius,
ya tinggal pendidikan dan pembelajaran serta penilaian difokuskan pada bukan
hanya penguasaan pengetahuan saja, tapi pada implementasi riilnya di dalam
sekolah dan masyarakat luas. UN lagi-lagi tak berguna.
4. UN menjadi motivasi guru untuk “greget” mengajar dan siswa belajar, apalagi
menjelang detik-detik UN.
Jawab: memang sudah semestinya guru dan siswa punya greget untuk belajar, tapi
yang terjadi ketika ada UN adalah greget latihan (training) soal-soal prediksi yang
kira-kira akan keluar diujikan dalam UN, bukan belajar (learning) pengetahuan
dan keterampilan hidup secara sungguh-sungguh, serius, dan betulan. Dalam
dunia pendidikan jelas ada perbedaan antara “latihan” (training) dan “belajar”
(learning), dan jelas pendidikan persekolahan formal modern dari jenjang
pendidikan dasar hingga menengah bukanlah lembaga pelatihan, melainkan
tempat belajar serius pengetahuan dan keterampilan hidup. Apakah latihan
dengan metode drill & practice soal-soal itu disebut sebagai belajar? Tentu tidak.
Apakah tepat gairah “belajar” melalui metode drill & practice menjadi ukuran
antusiasme belajar pengetahuan dan keterampilan hidup yang sungguh-sungguh,
serius, dan betulan? Tentu saja tidak. Lebih dari itu justru perlu dipertanyakan—
untuk konteks problem pendidikan lain—mengapa anak didik dan guru tidak
antusias belajar? Bisa jadi karena memang substansi kurikulum selama ini tidak
menyentuh kebutuhan dan persoalan hidup yang dihadapi oleh anak-anak di
sekolah. Baru ketika UN jadi persoalan/problem hidup (karena jadi penentu lulus
& tidak lulus anak didik), maka ia dianggap penting. Ini pekerjaan rumah lain yang
harus dituntaskan dan nanti kaitannya dengan problem Kurikulum 2013, yaitu
relevansi pengetahuan dan keterampilan hidup yang dipelajari di sekolah selama
ini yang tidak banyak menyentuh kebutuhan dan persoalan hidup yang dihadapi
oleh anak-anak. UN lagi-lagi tak berguna.
5. Siswa stress karena tidak siap dan tidak dimotivasi oleh para guru, guru hanya
“yang penting saya sudah mengajar”. Media saja yang “lebay” membesar-besarkan
kesulitan UN.
Jawab: Nah, ini berarti problem kualitas guru yang memang perlu diatasi. Kalau
soal memotivasi siswa yang dianggap akan dapat mengurangi stress, itu bisa jadi
memang dapat mengurangi stress, namun tetap tidak dapat jadi argumentasi
6. Page | 6
pembenar bahwa UN itu tepat dilaksanakan. Soal media juga tidak terlalu terkait
dengan substansi UN, karena bagi media seringkali berlaku agadium “bad news is
good news”. UN lagi-lagi tak berguna.
6. Generasi sekarang kok “rempong” (atau “kempong), menghadapi UN saja takut,
padahal dalam kehidupan penuh dengan ujian, hidup ini keras, butuh mental baja,
khan sudah jadi tradisi bahwa sekolah ya pasti ada ujiannya, kenapa kok sekarang
pada stress, dulu-dulu tidak ada yang stress, intinya: generasi sekarang manja, dan
memang butuh dikerasi sedikit agar kuat mentalitasnya.
Jawab: Ya, memang dalam kehidupan tidak mungkin kita tidak berhadapan
dengan tekanan yang seringkali membuat kita jadi stress atau tertekan. Namun
layakkah anak didik di sekolah stress untuk sesuatu yang tidak ada gunanya (yaitu
UN) alias mubazir? Tentu saja tidak. Mengapa tidak hadapkan saja anak didik
dengan pengalaman belajar riil (learning by doing) menghadapi masalah riil
melalui metode proyek sosial di masyarakat dan sejenisnya, yang dengan begitu
mereka akan secara riil mengalami “stress” untuk hal-hal yang riil dan berguna,
yaitu realitas kehidupan faktual dan aktual (bukan soal kognitif di atas kertas,
bukan UN yang tidak ada korelasinya dengan realitas kehidupan faktual dan
aktual). Cara menempa menjadi generasi yang kuat mentalnya, bagus perilakunya,
tegas sikapnya, dan lainnya adalah dengan menggunakan pembelajaran
kontekstual, berbasis masalah (problem-solving), berbasis proyek sosial, dan
sejenisnya yang jelas merupakan bagian dari persoalan hidup sosial riil, bukan UN
yang sejatinya tidak ada gunanya dan mubazir tersebut. UN lagi-lagi tak berguna.
7. UN sudah jadi tradisi, jadi harus dilaksanakan, mudharat-nya karena UN untuk
kelulusan, jadi jangan dijadikan untuk penentu kelulusan, jadi UN untuk
pemetaan pendidikan di Indonesia saja sebagai dasar perbaikan kualitas
pendidikan. Atau kalau tidak begitu, UN dibuat gampang saja soal-soalnya (standar
minimal), jadi UN adalah alat ukur minimal anak didik.
Jawab: Sebuah tradisi bukan berarti mesti diikuti secara membuta, tradisi tidak
selalu baik dan tepat, oleh karena itu ketika analisis teoretis dan empiris mendapati
bahwa UN tidak tepat maka tiada pilihan lain kecuali meniadakan UN dalam
sistem pendidikan formal modern di Indonesia. Kalaupun UN dijadikan sebagai
cara untuk memetakan pendidikan di Indonesia, maka yang didapat adalah “peta
buta”, yaitu peta mengenai kemampuan kognitif anak-anak saja, bukan peta
kemampuan anak didik secara substansial. Pun UN sejatinya merupakan hasil
aktivitas drill & practice, juga peran serta banyak Bimbel penyelenggaran les
private dan tryout UN, jadi sekali lagi UN juga tidak dapat dijadikan alat untuk
pemetaan pendidikan, ada variabel latihan soal-soal prediksi UN, ada juga peran
lembaga Bimbel di situ, belum lagi ditambah kecurangan sistematis dan sejenisnya.
Usul UN hanya jadi alat ukur minimal juga tidak tepat, karena begitu banyaknya
7. Page | 7
dana yang dikeluarkan kok ternyata hanya untuk sebuah alat ukur minimal, jelas
tidak relevan.
8. Kurikulum yang sedang dirancang sekarang adalah kurikulum yang membekali
anak didik dengan pengetahuan dan keterampilan hidup untuk hidup di masa
depan, katakanlah generasi 2045?
Jawab: kalau kurikulum untuk mengatasi dan bekal hidup di masa depan, maka
persoalan yang ada sekarang dan dihadapi serta dialami riil oleh anak didik tidak
diatasi, dan anak didik tidak diberi pengetahuan dan keterampilan hidup yang
justru teramat mendesak dibutuhkan untuk hidup di masa sekarang, bukan masa
depan. Anak didik jelas hidup di masa sekarang, bukan di masa depan. Dengan
demikian teramat penting sekali anak didik sekarang dibekali pengetahuan dan
keterampilan hidup untuk dapat menjawab persoalan hidup sekarang ini,
sedangkan untuk “masa depan” bekalnya adalah kemampuan learning how to
learn, karena begitu cepatnya perubahan terjadi dan tidak ada yang bisa
memprediksi masa depan dengan tepat.
Dua dasar utama pertimbangan penolakan UN:
1. Hal penting yang dibutuhkan oleh Indonesia sekarang ini adalah generasi
pemberani yang produktif, kreatif, dan kritis. Nah, karakteristik UN bukanlah
mengarahkan anak didik menjadi produsen pengetahuan, melainkan sekadar
konsumen dan penghafal pengetahuan saja. Kalau ingin menghasilkan generasi
produsen pengetahuan tinggal merubah metode dan pendekatan belajarnya serta
evaluasinya saja, yakni dengan berbasis proyek, problem solving, dan sejenisnya.
Sekadar contoh, kalau pengetahuan Bahasa Indonesia, maka bentuk produksi
pengetahuan paling sederhana adalah: anak didik harus dapat membuat naskah
pidato dan dapat juga berpidato dengan baik dan lancar, dapat membuat surat,
iklan, cerita pendek, puisi, kalau perlu novel—bagi yang minat & bakat di sastra.
Hal ini tidak ada di UN, karena UN kalaupun soal novel justru diuji-uji mengenai
“teori-teori novel”, bukan memproduksi sesuatu, lagi-lagi karena sekadar memilih
satu di antara beberapa jawaban baku, dengan demikian tidak ada juga ruang
untuk kreativitas anak didik. Demikian juga untuk bidang keilmuan dan
keterampilan hidup lainnya.
2. Anak didik punya bakat & minat yang berbeda, bagaimana mungkin bakatnya
berbeda, minatnya berbeda, kok diuji dengan satu alat ukur yang sama, yaitu UN.
Hal ini sama saja analoginya dengan meminta seekor ikan yang bakat, minat, &
kehidupannya di air, hingga sudah pasti ia lihai berenang, menyelam, kok hendak
diuji dengan cara memanjat pohon yang cocok dengan si monyet yang memang
bakat, minat, & kehidupannya ya memanjat pohon? Saya berbakat & minat sepak
bola kok diuji matematika, saya suka matematika kok diuji cara menggiring bola
dan memasukkannya ke gawang lawan? Saya berbakat dan minat main bola basket
kok alat ukur untuk mengatakan saya bisa dibilang cerdas adalah bahasa Indonesia,
8. Page | 8
matematika, dan bahasa Inggris? Kalau begitu caranya, maka hanya anak-anak
yang berbakat & minat bidang akademik saja yang dilabeli sebagai cerdas, dan ini
tiada lain adalah bukti arogansi dunia akademik atas bidang aktivitas kehidupan
lainnya yang non-akademik (praktisi misalnya). Sudah seharusnya alat evaluasi
dan ujian disesuaikan dengan bakat & minat anak didik. Ingat prinsip dasarnya:
bahwa mekanisme dan sistem penilaian harus dapat ikut menunjang tujuan
pendidikan dan pembelajaran, dan tiada lain tujuan pendidikan secara substansial
kecuali memfasilitasi pengembangan bakat & minat anak dan diarahkan juga
untuk transformasi sosial di masyarakat.
Demikian hasil diskusi forum “Rasan-rasan” tanggal 7 Mei 2013 di Rumah Buku
tapalbatas (Sekaran, Gunungpati, Semarang). Tentu saja di seluruh penjuru Indonesia ada
banyak pakar & ahli pendidikan, oleh karena itu sudilah kiranya turut berkomentar
mengenai dokumen release ini dari sari diskusi yang telah kami lakukan. Terima kasih.
Rumah Buku tapalbatas