Ilmu Pengetahuan Sosial sebagai Hakikat Pendidikan
MEMBUMIKAN PENDIDIKAN HOLISTIK
1. 1
MEMBUMIKAN PENDIDIKAN HOLISTIK
Oleh Jejen Musfah, dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Jejenjuni02@gmail.com
A. Pendahuluan
Persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) dan keadilan di setiap negara tidak
menunjukkan perkembangan yang positif. Konflik horizontal dan kekerasan kerap
menghiasi media. Kemajuan ekonomi dan Teknologi Informasi (TI) tidak berbanding lurus
dengan terciptanya masyarakat beradab yang menerapkan nilai-nilai luhur dalam
kehidupan, seperti bersikap jujur, adil, sederhana, toleran, disiplin, dan bertanggung jawab.
Sebagai contoh, perilaku kekerasan dilakukan oleh banyak lapisan mulai dari siswa,
mahasiswa, hingga masyarakat. Berdasarkan data dari Polda Metro Jaya, sejak Januari
hingga awal Juli lalu terjadi 36 tawuran di lima wilayah kota di Jakarta dan Bekasi. Paling
banyak terjadi di Jakarta Pusat, yaitu 24 kejadian, lalu Jakarta Selatan 5 kejadian, Jakarta
Barat 3 kejadian, Bekasi 2 kejadian, serta Jakarta Utara dan Jakarta Timur masing-masing 1
kejadian (Kompas, 21 Juli 2011).
Kekerasan terjadi di kalangan masyarakat akademik (academic society), dari pelajar
hingga mahasiswa. Pemberitaan tentang pelajar dan mahasiswa memunculkan sederet diksi
yang tidak relevan dengan kultur akademik (academic culture), seperti—pada level
mahasiswa—parang, kampus rusuh, gedung terbakar, botol bom Molotov, pisau, pedang,
mahasiswa luka, dan—pada level pelajar—gir sepeda motor, golok, tongkat bambu, dan
celurit.
Generasi saat ini merupakan hasil dari pendidikan masa lalu—10 hingga 15 tahun ke
belakang. Pendidikan di mana pun sejatinya berorientasi pada pembentukan manusia
seutuhnya yang mencakup penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan sikap; manusia
yang tidak hanya cerdas dan terampil, tetapi juga menjalankan keluhuran budi pekerti
dalam menjalankan hidup ini—utamanya terhadap sesama. Tegasnya, pendidikan selalu
berorientasi pada pembentukan manusia yang beradab dan terampil serta cerdas.
Proses pendidikan perlu ditinjau ulang, karena dianggap belum berhasil melahirkan
generasi yang holistik atau utuh sebagai pembawa kedamaian, ketentraman, dan
ketenangan bagi sesama dan alam ini. Pendidikan tidak saja perlu merevisi kurikulum,
meningkatkan mutu pendidik, mengembangkan sarana-prasana, akan tetapi harus juga
memerhatikan bagaimana pengetahuan itu disampaikan, bagaimana budaya sekolah dan
perguruan tinggi, dan bagaimana kepemimpinan lembaga pendidikan. Kecuali itu, penting
juga mempertanyakan bagaimana kontribusi masyarakat dalam bidang pendidikan.
Pendidikan harus mengenalkan peserta didik tentang isu-isu penting yang dihadapi
oleh kemanusiaan, sekaligus harus mampu memberikan pemecahan atas masalah-masalah
kemanusiaan tersebut. Dengan demikian, peserta didik memiliki kesadaran tentang hakikat
dirinya, yaitu: siapa, untuk apa, dan bagaimana. Kehidupan seorang manusia bermakna
manakala ia mampu memberikan kedamaian, kebahagiaan, dan pencerahan bagi orang-
2. 2
orang di sekitarnya. Pendidikan dengan gambaran seperti itu dinamakan dengan pendidikan
Holistik.
Kecuali itu, agenda pendidikan bukan hanya terfokus pada level sekolah dan
kampus, tetapi harus turun menyentuh lapisan masyarakat, seperti organisasi masyarakat,
partai politik, kalangan pengusaha, dan masyarakat bawah (grass root) yang rawan konflik
kekerasan.
Tentu banyak variabel penting yang terkait dengan gagasan perlunya pendidikan
holitik dirumuskan. Sebut saja misalnya dari visi dan misi, kurikulum, budaya, sumber
belajar, pendidik dan tenaga kependidikan, metode, hingga pada kebijakan pemerintah. Ini
dari segi praktik pendidikan, sedangkan dari segi sudut pandang yang lain, pendidikan
holistik bisa dianalisis dari perspektif hukum, sejarah, ekonomi, sosiologi, dan antropologi—
baik teoritis maupun praksis. Semua harus dirancang sedemikian rupa sehingga mewujud
menjadi satu kesatuan utuh sebagai sebuah konsep yang dalam pelaksanaannya
membutuhkan sinergi dan konsistensi, serta tentu saja evaluasi yang menyeluruh.
Makalah ini berisi tinjauan selintas tentang pendidikan holistik dari sudut pandang
teoritis (konsep [?]) pendidikan dan pelaku pendidikan—sebagai guru dan dosen. Karena
itu, isi makalah ini lebih tepat disebut sebagai pengantar. Tidak juga semua aspek
pendidikan dibahas, karena pertimbangan waktu dan kemampuan yang dimiliki penulis.
B. Pembahasan
1. Beberapa Pengertian
Berikut ini beberapa pengertian pendidikan holistik menurut tokoh. Menurut Ron
Miller—pendiri Jurnal Holistic Education Review, “Holistic education is a philosophy of
education based on the premise that each person finds identity, meaning, and purpose in
life through connections to the community, to the natural world, and to humanitarian
values such as compassion and peace. Holistic education aims to call forth from people an
intrinsic reverence for life and a passionate love of learning,” (www.eng.wikipedia.com).
Karena praktik pendidikan selama ini dianggap gagal menjawab tantangan dan
kemelut zaman, maka pendidikan holistik sering dianggap sebagai pendidikan alternatif.
Robin Ann Martin (2003) menjelaskan, “At its most general level, what distinguishes holistic
education from other forms of education are its goals, its attention to experiential learning,
and the significance that it places on relationships and primary human values within the
learning environment,” (www.eng.wikipedia.com).
Pendidikan holistik adalah pendidikan yang memberikan pemahaman terhadap
permasalahan global seperti HAM, keadilan sosial, multikultural, agama, dan pemanasan
global, sehingga mampu melahirkan peserta didik yang berwawasan dan berkarakter global
serta mampu memberikan solusi terhadap permasalahan kemanusiaan dan perdamaian.
Dengan demikian, pendidikan holistik bertujuan membentuk peserta didik yang setia
memahami persoalan lingkungannya dan berusaha ikut terlibat langsung dalam upaya
pemecahan masalah-masalah lokal dan global. Hal ini meniscayakan kompetensi dan
3. 3
militansi yang memadai dari setiap peserta didik tentang diri, lingkungan sosial, dan
Teknologi, Informasi, dan Komunikasi (TIK).
Tanpa kata holistik di belakangnya, pendidikan—secara teoritis—sejak dulu
sebenarnya telah komprehensif atau utuh. Utuh dalam pengertian bahwa ia bertujuan
melahirkan murid yang memiliki kecerdasan pengetahuan, emosional, dan spiritual, serta
terampil. Demikian juga dengan kurikulum, metode, media, dan evaluasinya. Ini terbaca
misalnya dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 1 Pasal 1
Poin 1, bahwa: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan Negara.
Hanya saja dalam praktiknya sering menyimpang, terutama di sekolah/madrasah
yang tanpa kepemimpinan yang kuat dan visi yang jelas. Bahkan, pendidikan, jika ingin
berhasil, membutuhkan perencanaan, eksekusi, dan penilaian/evaluasi yang matang. Jadi
bukan proses yang serba instan, asal jalan, apalagi dikelola dan dijalankan oleh tenaga-
tenaga tidak profesional. Sebagai contoh, bagaimana menjamin mutu madrasah jika para
gurunya tidak memenuhi standar semisal S1, dan tidak pernah mengikuti serangkaian
pelatihan profesional.
Sama dengan saat ramai ide pentingnya pendidikan anti korupsi dan pendidikan
karakter, pendidikan holistik tidak harus menjadi tambahan mata pelajaran baru di
sekolah/madrasah. Persoalannya bagaimana para pendidik mengintegrasikan pembelajaran
di kelas dengan persoalan-persoalan sosial, keagamaan, ekonomi, dan hukum. Pendidikan
holistik adalah pendidikan yang memahamkan peserta didik pada persoalan-persoalan yang
terjadi di sekitarnya, plus menerampilkan mereka pemecahan masalah tersebut. Minimal,
murid aware dengan persoalan-persoalan tersebut.
Jadi pendidikan holistik tidak semata utuh dari segi tujuan pendidikan. Lebih dari
itu, murid harus mampu memahami diri dan lingkungannya; kurikulum, metode, dan
pendidik harus pula diarahkan sesuai karakter dan prinsip-prinsip, serta core pendidikan
holistik.
2. Tujuan Pendidikan
Di atas telah dijelaskan bahwa tujuan pendidikan harus mengembangkan potensi
manuusia secara utuh, yaitu: kognitif, psikomor, dan afektif. Beberapa pemetaan dan istilah
muncul dalam konteks pengembangan kompetensi manusia yang menjadi tanggung jawab
dan atau tujuan pendidikan, mulai dari perspektif agama hingga psikologi (lihat bagan 1).
Bagan 1, Tujuan Pendidikan
No Aspek
1 Jasmani dan Ruhani
4. 4
2 Tubuh, Jiwa, Akal, Otak, dan Hati/Kalbu
3 Kognitif, Psikomotorik, dan Afektif
4 IQ, EQ, SQ, dan SQ
(Kecerdasan Intelektual, Emosional, Sosial, dan Spiritual)
5 Multiple Intelligence
(Kecerdasan Kinestetik, Bahasa, Musik, Logika, Intrapersonal,
Interpersonal, Naturalis, dan Visual)
Pertama, jasmani atau tubuh. Sistem pendidikan Indonesia menyadari pentingnya
kesehatan jasmani bagi generasi muda. Dari Pendidikan Usia Dini (PAUD), Taman Kanak-
kanak (TK)/RA, Sekolah Dasar (SD)/MI, SLTP/MTS, hingga SMA/MA ada mata pelajaran
olahraga dan kesehatan, tentu berikut kewajiban membeli dan memakai seragam olahraga
di hari tertentu. Entah bagaimana sejarahnya, di perguruan tinggi, mahasiswa tidak
diwajibkan berolahraga seperti di level atas, menengah, dan dasar tersebut. Olahraga atau
olahtubuh penting untuk kesehatan fisik. Dalam tubuh yang sehat ada pikiran yang jernih.
Keberhasilan pendidikan kesehatan harus mewujud dalam fakta masyarakat yang
tidak saja menyadari pentingnya berolahraga secara rutin sesuai pilihan dan kemampuan
ekonomi masing-masing, tetapi menghindari kebiasaan buruk yang mengganggu kesehatan
tubuh dalam jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang, seperti kebiasaan
merokok, mengkonsumsi narkoba, dan minuman keras. Sebaliknya, masyarakat sadar
pentingnya mengkonsumsi makanan dan minuman yang seimbang kandungan gizi, nutrisi
dan vitaminnya (dulu, apa yang disebut dengan empat sehat lima sempurna), seperti susu,
nasi, tahu, tempe, daging, sayur-mayur, dan buah-buahan. Kadar makan tidak boleh
berlebihan; berhenti sebelum kenyang. Minum air putih yang cukup dan istirahat atau tidur
yang cukup.
Apakah masyarakat kita sudah memilih hidup sehat atau sebaliknya? Di sinilah
pentingnya pendidikan kesehatan. Pendidikan yang mampu menanamkan kesadaran
kepada generasi muda, bahwa sampai kapan pun mereka harus meluangkan waktunya
untuk kepentingan kesehatan tubuh. Mengejar karir dan bekerja penuh loyalitas dan
dedikasi tinggi penting, tetapi tidak boleh sampai meninggalkan olahraga dan istirahat yang
seimbang. Dengan demikian, usia panjang dan sehat bisa diraih.
Kedua, akal dan atau otak. Pendidikan mengisi akal atau otak manusia dengan
pengetahuan. Pengetahuan yang mendalam mengantar manusia pada kecerdasan dan
keterampilan yang sangat bermanfaat untuk modal bekerja pada beragam bidang.
Kecerdasan dan keterampilan mengantar manusia pada kesejahteraan ekonomi, sehingga ia
mampu memenuhi kebutuhan dasarnya sebagai manusia, seperti rumah, makanan,
kendaraan, rasa aman, cinta, diakui, aktualisasi diri, dan seterusnya.
5. 5
Perubahan dunia yang tampak pada kemajuan pendidikan, peradaban, ekonomi,
budaya, teknologi dan informasi, sains, menunjukkan kemajuan akal manusia yang mana
pintu utamanya adalah pendidikan. Pendidikan lah—dalam bentuknya yang beragam—
yang memungkinkan ide-ide kreatif dan inovatif muncul di tengah-tengah kehidupan kita.
Kecerdasan dan kecemerlangan akal manusia memungkinkan hidup manusia menjadi lebih
mudah dan simpel. Jarak yang jauh menjadi terasa dekat. Beban yang berat menjadi terasa
ringan. Masalah yang sulit menjadi terasa mudah. Bahkan sesuatu yang mahal menjadi
terasa murah. Contoh yang mudah diberikan adalah kehadiran internet dan telepon
genggam, serta pesawat terbang. Untuk pergi keluar kota selama seminggu seseorang tidak
harus membawa uang cash 5 hingga 10 juta, cukup dengan membawa kartu ATM.
Demikian juga pada saat membeli tiket pesawat. Cukup memesan melalui telepon, satu jam
kemudian tiket diantar ke kantora. Di bidang kesehatan ditemukan banyak cara atau
metode penyembuhan penyakit, baik penyembuhan a la modern maupun tradisional
(herbal). Di bidang agama, penghafal Al-Quran dan Hadis tidak sedikit.
Tentu banyak contoh lainnya yang sangat dekat dengan kehidupan kita yang
membuktikan pentingnya pendidikan akal atau otak manusia. Otak manusia menyimpan
potensi yang tak terbatas untuk memecahkan beragam problem kehidupan di dunia ini.
Kuncinya pendidikan. Kita memiliki beberapa tokoh cerdas seperti RA Kartini, Zakiyah
Darajat, Buya Hamka, KH. Ahmad Dahlan, Ki Hajar Dewantara, Ir. Soekarno, Muhammad
Hatta, M. Quraish Shihab, Bj. Habibie, Abdurrahman Wahid, KH Hasyim As‟ari, Goenawan
Muhammad, Nurcholish Majid, Emha Ainun Najib, Harun Nasution, Haidar Baghir,
Azyumardi Azra, Imam Suprayogo, Komaruddin Hidayat, Moeslim Abdurrahman,
Jalaluddin Rahmat, dan seterusnya. Kepada penguasaan aspek apa sebuah generasi akan
diarahkan tergantung pada political and good will pemimpin bangsa dan pendidikan saat
ini.
Ketiga, ruhani dan hati. Pendidikan menyentuh pula sisi terdalam dalam manusia,
yaitu ruhani dan hatinya. Ini bertujuan melahirkan generasi yang mampu membuat pilihan
yang terbaik dalam hidupnya. Baik untuk diri dan lingkungannya. Perbuatan yang
membawa manfaat. Phenix menulis (1964: 215), “Esensi makna etik, atau pengetahuan
moral, adalah perbuatan yang benar, yaitu, apa yang seharusnya seseorang lakukan”.
Pintar dan cerdas intelektual seperti digambarkan di atas harus diimbangi kecerdasan
emosional, sosial, dan spiritual agar manusia menemukan makna hidupnya, yaitu
kebahagiaan dunia dan akhirat. Desain gedung yang kokoh, tinggi, megah, dan indah;
mobil mewah, rumah megah, pakaian yang necis, dan telepon genggam yang canggih,
itulah yang dibanggakan oleh generasi sekarang, namun melupakan pentingnya
pembangunan karakter. Menurut Husain dan Ashraf (1979: 107), “Dalam dunia
6. 6
kontemporer saat ini perhatian lebih ditujukan pada bangunan, peralatan, perlengkapan,
dan materi, dibandingkan pada kepribadian dan karakter… ”.
Pendidikan berhasil jika mampu melahirkan murid yang mampu melakukan
kebaikan di tengah pilihan yang sulit. Misalnya, ia mampu mencontek tetapi tidak
melakukannya; ia mampu berbohong pada orang tua tetapi tidak melakukannya; kelak, ia
mampu korupsi tapi tidak melakukannya; dan seterusnya. Phenix menulis (1964: 215), “The
essence of ethical meanings, or of moral knowledge, is right deliberate action, that is, what
a person ought voluntarily to do.” Berkenaan dengan pengembangan akhlak dalam
pendidikan, Miller dan Seller (1985: 47), menjelaskan bahwa, “Education should teach
children to restrain and control themselves.”
Pendidikan bertujuan mengembangkan kecerdasan intelektual, emosional, sosial,
dan spiritual peserta didik. Dalam diri manusia diharapkan muncul kesalehan spiritual
sekaligus kesalehan sosial. Dengan demikian, wujud kehidupan masyarakat dan bangsa
diwarnai dengan nilai-nilai kasih sayang, ketulusan, tanggung jawab, kejujuran,
pengorbanan, kepatuhan, kedisiplinan, rasa malu, penghormatan, penghargaan, kemuliaan,
rendah hati, cinta lingkungan, dan nasionalisme. Nilai-nilai tersebut seharusnya menjadi
budaya dan karakter bangsa. Whitehead (1957: 26) menulis, “The essence of education is
that it be religious.” Menurut Muhammad Qutb (1967: 50), “Tujuan pendidikan Islam
adalah membimbing manusia sedemikian rupa, sehingga ia selalu tetap berada dalam
hubungan dengan Allah Swt.”. Merasa dekat dengan Allah akan membimbing manusia ke
arah perilaku yang semata baik.
Apakah pendidikan nasional dengan demikian bisa dikatakan gagal? Tidak
sepenuhnya gagal. Di atas telah disebutkan sejumlah nama tokoh putra-putri bangsa hasil
dari pendidikan nasional. Persoalannya, melahirkan generasi yang berkarakter sekelas
Mahatma Ghandi, Nelson Mandela, Arif Rahman, Kak Seto Mulyadi, Ratna Megawangi,
dan Munir, memerlukan tokoh teladan—untuk tidak mengatakan membutuhkan keajaiban
atau takdir sejarah. Singkatnya, apakah tokoh berkarakter itu merupakan hasil dari proses
pendidikan atau keharusan sejarah—karena dunia memerlukan tokoh-tokoh inspiratif untuk
pembelajaran bagi penguasa lalim dan generasi mendatang.
Jadi kalau kita percaya asumsi pertama, bahwa pendidikan karakter memerlukan
teladan, apakah kita memilikinya? Presiden, menteri, wakil menteri, anggota legislatif,
hakim, jaksa, polisi, pengusaha, politisi, guru besar, dosen, guru, kepala sekolah/madrasah,
pegawai pemerintah, apakah merupakan sosok ideal yang layak ditiru sisi intelektual,
emosional, sosial, dan spiritualnya oleh generasi muda?
Dan kalau kita sudah menggeleng kepala tanda ragu, apakah bangsa kita memiliki
sistem yang bisa membuat masyarakat menjadi hidup lebih teratur, disiplin, taat hukum,
hidup bersih, mau sekolah, taat membayar pajak, tidak korupsi, tidak menyogok, dan tidak
7. 7
segan berobat ke rumah sakit? Kehadiran sistem yang memihak rakyat hanya akan lahir dari
pemimpin-pemimpin yang tegas dan berjiwa besar. Pemimpin yang berkarakter. Pemimpin
yang dalam bekerja dilandasi nurani dan hati bukan pertimbangan akal semata.
Di sinilah peran pendidikan yang utama, yaitu melahirkan generasi pemimpin yang
memiliki karakter yang kuat. Tegas dan siap menanggung resiko sepahit apa pun, karena
yang diperjuangkannya adalah kebenaran, kemanusiaan, dan keadilan.
Pengembangan moral peserta didik harus menjadi pijakan dasar pelaku pendidikan
dalam menjalankan proses belajar mengajar. Menurut Henson (1995: 84), “Guru tidak
dapat menolak mengajarkan etik. Alasan lain mengapa guru harus memperhatikan etik
adalah bahwa, di setiap masyarakat, pendidikan menginisiasikan para pemuda ke dalam
budayanya, dan kepercayaan moral merupakan bagian besar budaya”. Hadis Rasulullah
yang diriwayatkan Thabrani dari Ibnu Amr menunjukkan bahwa, “seorang mukmin yang
paling utama imannya adalah yang paling baik akhlaknya,” (Bek, t.th.: 30).
***
Manusia lahir dengan membawa potensi jamak. Potensi dan atau kecerdasan yang
mungkin muncul dalam diri manusia adalah Kinestetik, Bahasa, Musik, Logika,
Intrapersonal, Interpersonal, Naturalis, dan Visual. Dalam pribadi seseorang bisa muncul
lebih dari satu kecerdasan. “Tujuan pendidikan harus menyentuh kecerdasan jamak yang
ada pada setiap murid,” (Armstrong, 1994; Goleman, 2006).
Sekolah harus menjadi tempat tumbuh kembangnya potensi peserta didik seraya
mengapresiasi keragaman kecerdasan yang dimiliki anak. Dalam praktik, sekolah memberi
penghargaan berdasarkan prestasi anak dalam ragam kecerdasan—seperti per bidang studi
atau mata pelajaran, bukan akumulasi nilai akhir raport, semisal Juara I, II, III, dan
seterusnya.
3. Kurikulum
Kurikulum adalah materi pelajaran, praktik, kegiatan, dan seluruh pengalaman
peserta didik di sekolah yang didesain secara matang agar peserta didik cerdas intelektual,
emosional, dan spiritual. Kurikulum sekolah mencakup kebiasaan, tata tertib, ektra
kurikuler, dan teladan dari pendidik, staf, dan kepala sekolah.
Eisner (2002: 26) menjelaskan makna kurikulum, yaitu “all of the experience the
child has under the aegis of the school.” Ia juga menjelaskan bahwa, “the curriculum of a
school, or a course, or a classroom can be conceived of as a series of planned events that
are intended to have educational consequences for one or more students.” Ronald C. Doll
(1974: 22) menyatakan, “The commonly accepted definition of the curriculum has changed
from content of course of study and list of subjects and courses to all the experiences which
are offered to learners under the auspices or direction of the school…”
8. 8
Karena pendidikan bertujuan mengembangkan potensi manusia yang holistik,
jasmani-ruhani, akal-hati, dan intelektual-emosional-sosial-spiritual, maka kurikulum
pendidikan pun mestinya berisi materi, aturan, kegiatan, dan program yang dapat dan
terkait dengan pencapaian tujuan beragam aspek tersebut.
Kurikulum pendidikan harus berlandaskan norma agama, disamping budaya.
Muhammad Qutb (Al-Attas, 1979: 48-9) dalam The Role of Religion in Education, tiga
puluh tahun yang silam menulis, “Agama telah terisolasi dan teralienasi dari kehidupan dan
perasaan kita karena kita tidak menjalankannya dalam kehidupan nyata…Hidup kita, dalam
segala aspek, bukanlah contoh dari kurikulum Allah yang terdiri dari kepercayaan, tugas-
tugas ibadah, bekerja, perasaan, tingkah-laku, politik, ekonomi, sosial, dan seterusnya”.
Budaya mutu sekolah sebagai hidden curriculum harus terpelihara dengan baik
karena ia akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan intelektual dan keterampilan
serta sikap murid. Bruner (1973: 52) menulis, “For the limits of growth depend on how a
culture assist the individual to use such intellectual potential as he may posses.”
Di era modern masih kokoh tiang penindasan terhadap yang lemah oleh pihak yang
kuat dan berkuasa dan subur benih pembelaan terhadap yang jelas salah. Inilah yang harus
diajarkan kepada para murid, bahwa realitas dunia ini penuh dengan hal-hal yang tidak
semestinya. Oleh karena itu, kelak mereka harus menjadi penegak keadilan dan
kebebasan—sesuai dengan kapasitas masing-masing. Menurut Kohlberg, “Wanted to see
people advance to the highest possible stage of moral thought. The best possible society
would contain individuals who not only understand the need for social order, but can
entertain visions of universal principles, such as justice and liberty,” (Crain, 2000: 165).
Krisis ekonomi, lingkungan, politik, kekerasan, korupsi, suap, nepotisme, dan kolusi
terjadi karena lemahnya etika dan karakter. Karena itu, pendidik perlu mendapat wawasan
karakter yang mungkin bisa diajarkan dan dicontohkan kepada peserta didik, tanpa kecuali.
Pendidikan karakter tidak harus menjadi mata pelajaran, karena inti pendidikan adalah
pembentukan karakter dan setiap mata pelajaran yang sudah ada mengandung nilai-nilai
utama. Persoalannya adalah para guru/pendidik telah kehilangan legitimasi sebagai teladan,
karena sikap dan perbuatannya tidak sesuai dengan apa yang diucapkan. Henson (1995: 89)
menulis, “Teachers cannot avoid teaching ethics. Teachers must be concerned with ethics is
that, in any society, education serves to help initiate its young into its culture, and certainly
moral beliefs are a large part of any culture.”
Sulit mengembangkan karakter jika guru kehilangan kepercayaan diri, dan apalagi
tidak sadar bahwa ia adalah harapan masyarakat dan bangsa. Guru adalah kurikulum bagi
pembentukan karakter peserta didik. Kepala sekolah merupakan kurikulum bagi sikap guru.
Pemimpin ialah kurikulum bagi peningkatan budaya bawahannya. Presiden adalah
kurikulum bagi pengembangan karakter dan jiwa rakyatnya. Demikianlah, penegakkan
9. 9
karakter sebuah generasi akan sia-sia tanpa keteladanan dari guru, masyarakat, dan
pemimpin.
Kurikulum mencakup semua hal yang bisa mencerahkan dan memberi pelajaran
kepada peserta didik, langsung maupun tak langsung. Kurikulum pendidikan adalah buku
pelajaran, interaksi guru-murid, murid dengan murid, murid dengan karyawan,
perpustakaan, kantin, taman, program, tata tertib, suasana dan kondisi kelas dan sekolah.
Karena itu, semua hal tersebut harus dirancang (by design) dengan matang untuk
pembelajaran.
Program rutin sekolah bisa berupa workshop tentang tema-tema krusial seperti
korupsi, anak jalanan, banjir, narkoba, tawuran, terorisme, krisis ekonomi, pemanasan
global, perdagangan manusia, dan Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Di samping workshop,
sekolah bisa membuat program yang langsung menyentuh komunitas-komunitas yang
terkait masalah-masalah tersebut. Dengan demikian, peserta didik mengetahui akar
persoalan, dan berkontribusi terhadap pemecahan masalah tertentu. Dari kegiatan semacam
ini peserta didik diharapkan belajar tentang problem sosial, mengetahui posisinya di tengah
persoalan tersebut, serta membuatnya semakin dewasa.
4. Metode
Tujuan yang baik dan benar harus dilakukan dengan cara yang benar dan baik pula.
Metode pendidikan memengaruhi keberhasilan pendidikan. Di antara metode pendidikan
yang bisa digunakan adalah perumpamaan, kisah, targhib-tarhib, dialog, teladan, praktik,
dan nasihat, (Musfah, 2009). Dalam metode praktik, peserta didik hendaknya dilatih untuk
memecahkan masalah seputar kehidupan dan lingkungannya. Dengan demikian ia telah
belajar bagaimana cara memecahkan masalah (problem solving) dan pembelajaran sesuai
konteks (Contextual Teaching Learning [CTL]).
Menurut Ibnu Khaldun, ilmu-ilmu pengetahuan dalam kaitannya dengan proses
pendidikan, sangat tergantung pada guru dan bagaimana mereka mempergunakan berbagai
metode yang tepat dan baik. Oleh karena itu, guru wajib mengetahui faidah dari metode
yang digunakan (Ahmad, 1975: 300).
Dalam mendidik guru harus pertama, sabar. Peltz (2007: xv) menyatakan,
“Mengajarkan keterampilan merupakan kerja sulit; itu membutuhkan kesabaran yang besar,
keuletan, dan kepekaan. Kita butuh kesadaran bahwa betapa sulit mengubah perilaku”.
Kedua, menghindari hukuman fisik. Ketaatan yang lahir karena hukuman fisik hanya
bersifat semu. Sebaliknya, kepatuhan harus lahir dari kesadaran diri pribadi (inner self)
karena memahami kebaikan dan manfaat dari perbuatannya tersebut. Brumbaugh dan
Lawrence (h. 114) menulis, “If we wish to establish morality, we must abolish punishment,”
10. 10
Ketiga, berusaha menjadi teladan. Ormord menulis, “Beberapa aspek pemikiran dan
perilaku moral rupanya dipengaruhi oleh pengamatan dan teladan,” (2003: 136). Karena
guru juga manusia, maka menjadi teladan baik di depan peserta didik dan masyarakat
merupakan usaha tanpa henti dan penuh perjuangan serta rintangan.
Pendidik harus menguasai metode pendidikan dan tidak boleh putus asa dalam
mendidik. Tidak ada metode yang lebih baik dari metode yang lainnya. Setiap metode
memiliki pengaruhnya masing-masing. Yang perlu diperhatikan pendidik adalah
kemampuannya memilih metode yang sesuai dengan materi dan situasi saat pendidikan
berlangsung, juga fasilitas yang tersedia.
Pemilihan metode yang tepat akan menentukan keberhasilan pendidikan,
menyenangkan dan tidaknya proses pendidikan. Penerapan metode yang kurang tepat
membuat proses pembelajaran dan pendidikan akan terasa membosankan, sehingga siswa
sulit menerima pelajaran. Bahkan materi yang mudah akan terasa sulit. Mendidik dengan
cara salah sering menimbulkan penolakan. Sebaliknya, ketepatan memilih metode akan
membuat transfer ilmu dan sikap terasa mudah dan menyenangkan (Musfah, 2009).
Karena itu, seorang pendidik harus sering berlatih dan berlatih, praktik dan praktik,
disamping menguasai metode pengajaran dan pendidikan secara teoritis. Keterbatasan
fasilitas sekolah—yang sering terjadi—tidak boleh menghambat kreatifitas guru dalam
menyampaikan metode tertentu yang menyenangkan.
5. Pendidik
Tidak ada yang dapat menggantikan posisi guru dalam pendidikan. Keberhasilan
pendidikan ada pada kompetensi guru. Seorang guru harus memiliki kompetensi pedagogik,
kepribadian, sosial, profesional, kepemimpinan, dan spiritual. Menjadi guru harus
menguasai materi yang akan disampaikan; memilih metode yang tepat; memahami peserta
didik; dan mampu menyampaikan ide dengan baik, sehingga peserta didik benar-benar
belajar dan mendapatkan sesuatu yang bermakna.
Guru penting memahami peserta didik, karena ia harus membantu murid memahami
jati dirinya, sehingga ia mampu menjadi orang yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat
dan bangsanya. Henderson (1960: 114) menulis, “We can find the basis for morality in our
own natures, in the conduct necessary to realize our best potentialities and the kind of
society in which man could live as man.”
Inti sosok guru ada pada kepribadian atau karakternya. Karena itu, tidak semua
orang bisa menjadi guru. Menjadi guru sejati harus lahir dari panggilan jiwa. Guru harus
berusaha baik agar menjadi teladan. Beberapa aspek penting pendidikan dalam teladan
ditulis Ajami (2006: 131), ”1) Manusia saling mempengaruhi satu sama lain melalui ucapan,
perbuatan, pemikiran, dan keyakinan; 2) Perbuatan lebih besar pengaruhnya dibanding
ucapan; 3) Metode teladan tidak membutuhkan penjelasan.” Menurut Husain dan Ashraf
(1979: 106), “Jika disepakati bahwa pendidikan bukan hanya melatih manusia untuk hidup,
maka karakter guru merupakan hal yang sangat penting”.
11. 11
Kompetensi guru paling tinggi adalah kepribadiannya. Artinya, ia harus menjadi
teladan dalam segala aspek. Guru di sini diposisikan sebagai manusia sempurna (insan
kamil). Tugas guru adalah membentuk dan memengaruhi kepribadian murid agar tumbuh
dan cenderung pada kebaikan. Ormord menulis, “Many aspects of moral thinking and
moral behavior are apparently influenced by observation and modeling,” (2003: 136).
Karakter guru adalah pertama, pembelajar. Menurut Al-Zarnuji (Afandi, 1993: 92),
“Seorang guru harus seorang pembelajar, saleh, dan berpengalaman”.
Kedua, bijak. “Guru bukan hanya menjadi seorang manusia pembelajar tapi menjadi
pribadi bijak, seorang saleh yang bisa memengaruhi pikiran generasi muda,” tulis Husain
dan Ashraf (1979: 104).
Ketiga, rela berkorban. Seorang guru harus sampai pada derajat—apa yang disebut
Peck dan Havighurst (Cronbach, 1954: 578-587)—rational altruistic, bahwa ia
mengembangkan sistem moral yang tinggi sehingga rela berkorban bagi kepentingan orang
lain.
Apakah mudah mencari guru teladan? Tidak mudah menjawab pertanyaan ini.
Hanya saja, ketika tawuran siswa dan mahasiswa masih terus terjadi dan tidak menunjukkan
gejala akan berakhir, di manakah peran guru yang semestinya bisa digugu dan ditiru.
Kekerasan yang dilakukan oleh pelajar dan mahasiswa seolah menegaskan bahwa arahan
dan bimbingan guru sudah tidak diindahkan oleh anak didiknya.
Pertanyaannya, mengapa guru diabaikan? Bisa jadi peserta didik selama ini melihat
sesuatu yang serba paradoks di dalam praktik pendidikan, seperti sekolah. Guru
mengajarkan kejujuran tetapi saat Ujian Nasional memaklumi kecurangan; guru
mengajarkan disiplin tetapi lingkungan sekolah tidak bersih; guru mengajarkan pentingnya
kreatif tetapi buku-buku sumber yang dibaca murid bukan karya gurunya; dan seterusnya.
Hadis yang diriwayatkan Thabrani dari Jundub menyatakan, “Perumpamaan seorang guru
yang mengajarkan kebaikan pada manusia, namun melupakan dirinya, seperti lilin yang
menyinari manusia, namun membakar dirinya,” (Bek, t.th.: 157).
6. Evaluasi
Hal penting yang tidak boleh dilewatkan oleh lembaga pendidikan adalah evaluasi
dan tindak lanjut. Evaluasi berguna untuk mengetahui seberapa besar tujuan sekolah
tercapai, dan mengetahui kekurangannya untuk perbaikan di masa datang. Melalui hasil
evaluasi juga pelaksana dapat menentukan tindakan-tindakan yang perlu dilakukan di masa
mendatang.
Evaluasi adalah perbandingan hasil yang diharapkan dengan hasil yang nyata.
Menurut Mike Scriven (Madaus, et al., 1985: 291), “Evaluasi adalah sebuah pengamatan
nilai-nilai dibandingkan dengan beberapa standar”. Wand dan Brown (1957: 1) menulis,
“Evaluasi adalah tindakan atau proses untuk menentukan nilai sesuatu.” Stone, et al. (1956:
3-4) berpendapat bahwa, “Evaluasi adalah penilaian yang lebih menitikberatkan pada
perubahan kepribadian secara luas dan terhadap sasaran-sasaran umum program
kependidikan, sedangkan pengukuran lebih menekankan pada aspek-aspek kemajuan bahan
pelajaran atau keterampilan khusus dan kemampuan spesifik”.
12. 12
Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa evaluasi adalah proses
untuk menilai sesuatu, baik itu sebuah kegiatan atau pencapaian aspek kognitif,
keterampilan, dan afektif seseorang atau kelompok, yang bertujuan untuk peningkatan
mutu kegiatan atau orang di masa mendatang.
Demikian pula penilaian tidak sama dengan umpan balik. “Umpan balik hanya
dimaksudkan untuk mencari informasi sampai di mana murid mengerti bahan yang telah
dibahas,” (Rooijakkers, 2003: 11). Caranya adalah dengan guru bertanya kepada murid atau
melakukan ujian singkat, semacam kwis.
Tujuan paling penting dari evaluasi program adalah bukan untuk membuktikan tapi
untuk meningkatkan. Menurut Alex Astin dan Bob Panos, “Tujuan yang prinsip dari evaluasi
adalah untuk menghasilkan informasi yang dapat menuntun keputusan mengenai adopsi
atau modifikasi program pendidikan,” (Madaus, et al., 1985: 293).
Lembaga pendidikan sering mengabaikan evaluasi, padahal evaluasi penting untuk
mengetahui apakah kinerja lembaga sudah sejalan dengan tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya. Evaluasi penting untuk memperbaiki kinerja, memperbaharui motivasi, dan
mengatasi kekurangan dan kelemahan lembaga, baik aspek sarana-prasarana, tenaga
pendidik dan kependidikan, kerjasama dengan pihak lain, kepemimpinan, dan lain
sebagainya. Akhirnya, evaluasi harus dilakukan secara sadar, dan harus lahir dari keinginan
yang tulus untuk meraih tujuan dan mewujudkannya menjadi kenyataan. Lembaga
pendidikan yang mengabaikan evaluasi akan menuai keterbelakangan dan berjalan di
tempat, karena meriah tujuan lembaga adalah kerja kolektif dan sistematis. Masalahnya,
setiap unsur dalam lembaga pendidikan, baik SDM maupun pendukung lainnya, sering
mengalami disorientasi karena bekerja sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Dalam
hal ini dibutuhkan kepemimpinan yang sadar pentingnya melihat ke dalam tubuh lembaga,
bukan ikut mengalamai disorientasi kepemimpinan.
C. Penutup
1. Pendidikan holistik adalah pendidikan yang memberikan pemahaman terhadap
permasalahan global seperti HAM, keadilan sosial, multikultural, agama, dan
pemanasan global, sehingga mampu melahirkan peserta didik yang berwawasan
dan berkarakter global serta mampu memberikan solusi terhadap permasalahan
kemanusiaan dan perdamaian.
2. Pendidikan bertujuan mengembangkan kecerdasan intelektual, emosional,
sosial, dan spiritual peserta didik.
3. Kurikulum adalah materi pelajaran, praktik, kegiatan, dan seluruh pengalaman
peserta didik di sekolah yang didesain secara matang agar peserta didik cerdas
intelektual, emosional, dan spiritual. Kurikulum sekolah mencakup kebiasaan,
tata tertib, ektra kurikuler, dan teladan dari pendidik, staf, dan kepala sekolah.
4. Metode pendidikan memengaruhi keberhasilan pendidikan. Di antara metode
pendidikan yang bisa digunakan adalah perumpamaan, kisah, targhib-tarhib,
dialog, teladan, praktik, dan nasihat. Dalam mendidik guru harus sabar,
menghindari hukuman fisik, dan berusaha menjadi teladan.
13. 13
5. Seorang guru harus memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial,
profesional, kepemimpinan, dan spiritual. Menjadi guru harus menguasai materi
yang akan disampaikan; memilih metode yang tepat; memahami peserta didik;
dan mampu menyampaikan ide dengan baik, sehingga peserta didik benar-
benar belajar dan mendapatkan sesuatu yang bermakna. Karakter guru adalah
pembelajar, bijak, dan rela berkorban.
6. Evaluasi adalah proses untuk menilai sesuatu, baik itu sebuah kegiatan atau
pencapaian aspek kognitif, keterampilan, dan afektif seseorang atau kelompok,
yang bertujuan untuk peningkatan mutu kegiatan atau orang di masa
mendatang.
14. 14
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, M. (1993). The Method of Muslim Learning as Illustrated in Al-Zarnuji‟s Ta‟lim Al-
MUta‟allim Tariq Al-Ta‟allum. Thesis. Institute of Islamic Studies. McGill University.
Ahmad, Sa‟ad Mursa, Tathawwur Al-Fikry Al-Tarbawy, (Kairo: Matabi‟ Sabjal Al-Arabi,
1975).
Ajami, Al-, M.A. (2006). Al-Tarbiyah al-Islâmiyah: Al-Ushûl wa al-Tathbîqât. Riyadh: Dâr
Al-Nâsyir Al-Daulî. Cet. I.
Al-Attas, S.M.A. (Editor). (1979). Aims and Objectives of Islamic Education. Jeddah: King
Abdulaziz University.
Armstrong, T., Multiple Intelligences in the Classroom, USA: Association for Supervision and
Curriculum Development (ASCD), 1994.
Bek, A.H. (t.th.). Mukhtâr Al-Ahâdîts Al-Nabawiyyah wa Al-Hikam Al-Muhammadiyyah.
Indonesia: Maktabah Dâr Ihyâ‟ Al-Kutub Al-„Arabiyyah. Cet. VI.
Brumbaugh, R. S. dan Lawrence, N.M., Philosophers on Education: Six Essays on the
Foundations of Western Thought, USA: Houghton Mifflin Company.
Bruner, J.S., The Relevance of Education, New York: The Norton Library.
Cronbach, L.J., Educational Psychology, USA: Harcourt, Brace, and Company, 1954.
Doll, R. C., Curriculum Improvement, Decision Making and Process, Boston: Allyn & Bacon,
Inc. 1974.
Eisner, E. W., The Educational Imagination on the Design and Evaluation of School
Program, Third Edition, New Jersey: Merril Prentice Hall, 2002.
Goleman, D., Social Intelligence: The New Science of Human Relationship, New York: A
Bantam Books, 2006.
Husain, S.S. dan Ashraf, S.A. (1979). Crisis in Muslim Education. Jeddah: King Abdulaziz
University.
Madaus, G.F., et al. (Eds). (1985). Evaluation Models: Viewpoints on Education and Human
Services Evaluation. Boston: Kluwer-Nijhoff Publishing.
Phenix, P.H. (1964). Realm of Meaning: A Philosophy of the Curriculum for General
Education. USA: McGraw-Hill.
Henderson, S.V.P., Introduction to Philosophy of Education, Chicago: The University of
Chicago Press, 1960.
Henson, K.T. (1995). Curriculum Development for Education Reform. New York: Longman.
Musfah, J. 2009. “Metode Pendidikan dalam Perspektif Islam”, dalam Jurnal Tahdzib;
Jurnal Pendidikan Agama Islam. Jurusan PAI FITK UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Ormrod, J.E. (2003). Human Learning. (Fourth Edition). New York: Pearson Prentice Hall.
Peltz, W.H. (2007). Dear Teacher; Expert Advice for Effective Study Skills. California:
Corwin Press.
Stone, J.W. et al. (1956). Evaluation in Modern Education. New York: American Book
Company.
Qutb, M. (1967). Manhaj Al-Tarbiyyah Al-Islamiyah. Kairo: Dar Al-Qalam.
Wand, E. dan Brown, G. W. (1957). Essential of Educational Evaluation. New York: Rincart
and Winston.
15. 15
Whitehead, A.N. (1957). The Aims of Education and Other Essays. England: William and
Norgate, Ltd.
www.eng.wikipedia.com