Makalah ini membahas konsep sekolah yang baik dari perspektif filosofis pendidikan. Sekolah telah ada sejak zaman kuno untuk memfasilitasi proses pembelajaran. Filsafat pendidikan memberikan landasan untuk memahami tujuan, kurikulum, dan proses pembelajaran di sekolah. Prinsip-prinsip metafisika, epistemologi, dan aksiologi dalam filsafat penting untuk menentukan arah pendidikan.
Konsep Sekolah yang Baik: Tinjauan Filosofis Pendidikan
1. Universitas Pendidikan Indonesia
Sekolah Pasca Sarjana
Program Studi Administrasi Pendidikan
Tugas Makalah:
“Konsep Sekolah yang Baik:
Tinjauan Filosofis Pendidikan”
Kuliah: Filsafat Administrasi Pendidikan
(AP801)
Dosen: Prof. DR.H. Akdon, M.PD
Mahasiswa: Djadja Sardjana - 0907904
18 November 2009
2. Konsep Sekolah yang Baik:
Tinjauan Filosofis Pendidikan
Menurut Wikipedia, Sekolah berasal dari bahasa Yunani σχολή (schole), yang aslinya
berarti "kesenangan", atau juga "Tempat yang menyenangkan" (Gambar-1). Sekolah adalah
sebuah lembaga yang dirancang untuk memungkinkan dan mendorong siswa (atau "murid")
untuk belajar di bawah pengawasan guru. Sebagian besar negara memiliki sistem pendidikan
formal, yang umumnya wajib. Dalam sistem ini, siswa mengalami kemajuan melalui
serangkaian tingktan sekolah. Nama-nama untuk sekolah berbeda di setiap negara, tetapi
umumnya termasuk sekolah dasar untuk anak-anak dan sekolah menengah bagi remaja yang
telah menyelesaikan pendidikan dasar.
Selain sekolah-sekolah inti ini, siswa di negara tertentu mungkin juga memiliki akses ke
dan menghadiri sekolah-sekolah sebelum dan sesudah pendidikan dasar dan menengah. TK
atau pra-sekolah memberikan beberapa sekolah untuk anak-anak yang masih sangat kecil
(biasanya usia 3-5). Universitas, sekolah kejuruan, perguruan tinggi atau seminari mungkin akan
tersedia setelah (atau sebagai pengganti) sekolah menengah. Sebuah sekolah mungkin juga
didedikasikan untuk satu bidang tertentu, seperti sekolah ekonomi atau sekolah tari. Sekolah
dapat menyediakan Alternatif kurikulum dan metode non-tradisional.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai landasan filosofis penyelenggaraan sekolah
yang baik , konsep dan karakteristiknya.
Gambar-1 Sekolah Zaman Plato di Athena-Yunani
Tugas Makalah “Kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional: Tantangan dan Peluang”
Kuliah: Kebijakan Pendidikan (AP702) Hal 2
3. A. Sejarah dan perkembangan sekolah
Konsep pengelompokan siswa bersama-sama dalam sebuah lokasi terpusat untuk
belajar telah ada sejak zaman klasik. Sekolah formal telah ada setidaknya sejak Yunani kuno,
India kuno dan Cina kuno. Kekaisaran Bizantium memiliki sistem pendidikan yang mapan yang
dimulai pada tingkat dasar. Menurut Tradisi dan Encounters, pendirian sistem pendidikan dasar
dimulai pada tahun 425 AD dan "... personil militer biasanya memiliki setidaknya pendidikan
dasar ...". Efisien dan yang kadang-kadang sering pemerintah besar Kekaisaran berarti bahwa
warga negara yang terdidik suatu keharusan. Meskipun Byzantium kehilangan banyak
kemegahan budaya Romawi dan pemborosan karena kebutuhan untuk bertahan hidup,
kekaisaran menekankan efisiensi dalam perang. Sistem pendidikan Bizantium berlanjut hingga
runtuhnya kekaisaran pada tahun 1453 AD.
Islam adalah kebudayaan lain untuk mengembangkan sistem pendidikan dalam
pengertian modern. Penekanan diletakkan pada pengetahuan, karena itu cara yang sistematis
mengajar dan penyebaran pengetahuan dikembangkan dalam s tujuan truktur yang dibangun.
Pada awalnya, masjid menggabungkan kinerja keagamaan dan kegiatan belajar. Pada abad
kesembilan, Madrasah diperkenalkan, sekolah yang dibangun secara independen dari masjid.
Mereka juga yang pertama membuat sistem Madrasah milik umum di bawah kendali khalifah.
Madrasah Nizamiyya dianggap secara konsensus oleh para ahli menjadi awal sekolah yang
masih bertahan, dibangun menuju 1066 Masehi oleh Emir Nizam Al-Mulk.
Dibawah Dinasti Utsmani, kota Bursa dan Edirne menjadi pusat-pusat belajar utama.
Sistem Ottoman Kulliye, sebuah bangunan yang berisi kompleks masjid, rumah sakit, madrasah,
dan dapur umum dan area makan, merevolusi sistem pendidikan, membuat pembelajaran yang
dapat diakses publik yang lebih luas melalui makanan gratis, perawatan kesehatan dan kadang-
kadang gratis akomodasi.
Sejarawan abad kesembilan belas, Scott menyatakan bahwa korespondensi yang luar
biasa ada antara prosedur yang ditetapkan oleh lembaga-lembaga dan metode-metode masa
kini. Mereka memiliki kursus perguruan tinggi mereka, mereka hadiah untuk kecakapan dalam
beasiswa, mereka kontes pidato dan puitis, tanggal-tanggal mereka dan derajat mereka. Di
departemen kedokteran, yang parah dan berkepanjangan pemeriksaan, yang dilakukan oleh
dokter yang paling terkemuka ibukota, yang dituntut dari semua kandidat berkeinginan
mempraktekkan profesi mereka, dan seperti tidak mampu bertahan dalam ujian kompeten
diucapkan secara resmi.
Tugas Makalah “Kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional: Tantangan dan Peluang”
Kuliah: Kebijakan Pendidikan (AP702) Hal 3
4. Di Eropa selama Abad Pertengahan dan sebagian besar periode Modern Awal, tujuan
utama sekolah (sebagai lawan dari universitas) adalah untuk mengajar bahasa Latin. Hal ini
menyebabkan istilah tata bahasa yang sekolah di Amerika Serikat digunakan secara informal
untuk mengacu ke sekolah dasar tetapi di Kerajaan Inggris berarti sekolah yang memilih
pendatang pada kemampuan atau bakat mereka. Setelah ini, kurikulum sekolah secara
bertahap diperluas dengan memasukkan keaksaraan dalam bahasa daerah serta teknis, artistik,
ilmiah dan praktis mata pelajaran.
Sebelumnya banyak dari sekolah umum di Amerika Serikat adalah sekolah dengan
hanya satu guru mengajar tujuh anak laki-laki dan perempuan di kelas yang sama. Dimulai pada
tahun 1920-an, sekolah-sekolah itu digabungkan dalam beberapa fasilitas ruang.
Gambar-2 Sejarah Perkembangan Sekolah
Tugas Makalah “Kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional: Tantangan dan Peluang”
Kuliah: Kebijakan Pendidikan (AP702) Hal 4
5. B. Tinjauan Umum tentang Filsafat Pendidikan
Dilihat dari pengertian praktisnya, filsafat berarti alam pikiran atau alam berpikir.
Berfilsafat artinya berpikir, namun tidak semua berpikir berarti berfilsafat. Berfilsafat adalah
berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh. Tegasnya, filsafat adalah karya akal manusia
yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Filsafat merupakan
ilmu atau pendekatan yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala
sesuatu. Menurut Immanuel Kant (1724-1804) yang seringkali disebut sebagai raksasa pemikir
Barat, filsafat adalah ilmu pokok yang merupakan pangkal dari segala pengetahuan.
Karena luasnya lapangan filsafat, orang sepakat mempelajari filsafat dengan dua cara,
yaitu mempelajari sejarah perkembangannya (metode historis) dan mempelajari isi atau
pembahasannya dalam bidang-bidang tertentu (metode sistematis). Dalam metode historis
orang mempelajari sejarah perkembangan aliran-aliran filsafat sejak dahulu kala sehingga
sekarang. Di sini dikemukakan riwayat hidup tokoh-tokoh filsafat di segala masa, bagaimana
timbulnya aliran filsafatnya tentang logika, tentang metafisika, tentang etika, dan tentang
keagamaan. Dalam metode sistematis orang membahas isi persoalan ilmu filsafat itu dengan
tidak mementingkan sejarahnya. Orang membagi persoalan ilmu filsafat itu dalam bidang-
bidang yang tertentu. Misalnya, dalam bidang logika dipersoalkan mana yang benar dan yang
salah menurut pertimbangan akal, bagaimana cara berpikir yang benar dan mana yang salah.
Dalam bidang etika dipersoalkan tentang manakah yang baik dan yang buruk dalam perbuatan
manusia. Dalam metode sistematis ini para filsuf dikonfrontasikan tanpa mempersoalkan
periodasi masing-masing.
Filsafat itu sangat luas cakupan pembahasannya, yang ditujunya adalah mencari hakihat
kebenaran atas segala sesuatu yang meliputi kebenaran berpikir (logika), berperilaku (etika),
serta mencari hakikat atau keaslian (metafisika). Sejak zaman Aristoteles hingga dewasa ini
lapangan-lapangan yang paling utama dalam filsafat selalu berputar di sekitar logika,
metafisika, dan etika. Dengan memperhatikan sejarah serta perkembangannya, filsafat
mempunyai beberapa cabang yaitu: (1) Metafisika: filsafat tentang hakikat yang ada di balik
fisika, hakikat yang bersifat transenden dan berada di luar jangkauan pengalaman manusia; (2)
Logika: filsafat tentang pikiran yang benar dan yang salah; (3) Etika: filsafat tentang perilaku
yang baik dan yang buruk; (4) Estetika: filsafat tentang kreasi yang indah dan yang jelek; (5)
Epistomologi: filsafat tentang ilmu pengetahuan; (6) Filsafat-filsafat khusus lainnya: filsafat
agama, filsafat manusia, filsafat hukum, filsafat sejarah, filsafat alam, filsafat pendidikan, dan
sebagainya.
Tugas Makalah “Kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional: Tantangan dan Peluang”
Kuliah: Kebijakan Pendidikan (AP702) Hal 5
6. Filsafat akan memberikan kepuasan kepada keinginan manusia akan pengetahuan yang
tersusun dengan tertib, tentang kebenaran. Fungsi filsafat adalah kreatif, menetapkan nilai,
menetapkan tujuan, menentukan arah dan menuntun pada jalan baru serta membangun
keyakinan atas dasar kematangan intelektual. Filsafat tidak hanya cukup diketahui, tetapi dapat
dipraktekkan dalam hidup sehari-sehari. Filsafat akan memberikan dasar-dasar pengetahuan
yang dibutuhkan untuk hidup secara baik, bagaimana hidup secara baik dan bahagia. Dengan
kata lain, tujuan filsafat adalah mencari hakikat kebenaran sesuatu, baik dalam logika
(kebenaran berpikir), etika (berperilaku), maupun metafisik (hakikat keaslian).
Pendekatan filosofis untuk menjelaskan suatu masalah dapat diterapkan dalam aspek-
aspek kehidupan manusia, termasuk dalarn pendidikan. Filsafat tidak hanya melahirkan
pengetahuan banu, melainkan juga melahirkan filsafat pendidikan. Filsafat pendidikan adalah
filsafat terapan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang dihadapi. John Dewey
(1964) berpendapat bahwa filsafat merupakan teon umum tentang pendidikan. Filsafat sebagai
suatu sistem berpikir akan menjawab persoalan-persoalan pendidikan yang bersifat filosofis
dan memerlukan jawaban filosofis pula.
Setiap praktik pendidikan atau pembelajaran tidak terlepas dari sejumlah masalah
dalam mencapai tujuannya. Upaya pemecahan masalah tersebut akan memerlukan landasan
teoretis-filosofis mengenai apa hakikat pendidikan dan bagaimana proses pendidikan
dilaksanakan. Henderson dalam Sadulloh (2004) mengemukakan bahwa filsafat pendidikan
adalah filsafat yang diaplikasikan untuk menelaah dan memecahkan masalah-masalah
pendidikan. Peranan filsafat yang mendasari berbagai aspek pendidikan merupakan suatu
sumbangan yang berharga dalam pengembangan pendidikan, baik pada tataran teoretis
maupun praktis. Filsafat sebagai suatu sistem berpikir dengan cabang-cabangnya (metafisika,
epistemologi, dan aksiologi) dapat mendasari pemikiran tentang pendidikan.
Menurut Brubacher (1959), terdapat tiga prinsip filsafat yang berkaitan dengan
pendidikan, yaitu: (1) persoalan etika atau teori nilai; (2) persoalan epistemologi atau teori
pengetahuan; dan (3) persoalan metafisika atau teoni hakikat realitas. Untuk menentukan
tujuan pendidikan, memotivasi belajar, mengukur hasil, pendidikan akan berhubungan dengan
tata nilai. Persoalan kuriikulum akan berkaitan dengan epistemologi. Pembahasan tentang
hakikat realitas, pandangan tentang hakikat dunia dan hakikat manusia khususnya, diperlukan
untuk menentukan tujuan akhir pendidikan.
Metafisika memberikan sumbangan pemikiran dalam membahas hakikat manusia pada
umumnya, khususnya yang berkaitan dengan hakikat anak, yang bermanfaat dalam
Tugas Makalah “Kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional: Tantangan dan Peluang”
Kuliah: Kebijakan Pendidikan (AP702) Hal 6
7. menentiikan tujuan akhir pendidikan. Mempelajari metafisika perlu sekali untuk mengontrol
tujuan pendidikan dan untuk mengetahui bagaimana dunia anak. Epistemologi sebagai teori
pengetahuan, tidak hanya menentukan pengetahuan mana yang harus dipelajari tetapi juga
menentukan bagaimana seharusnya siswa belajar dan bagaimana guru mengajar. Pendidikan
perlu mengetahui persoalan belajar untuk mengembangkan kurikulum, proses dan metode
belajar. Aksiologi akan menentukan nilai-nilai yang baik dan yang buruk yang turut menentukan
perbuatan pendidikan. Aksiologi dibutuhkan dalam pendidikan, karena pendidikan harus
menentukan nilai-nilai mana yang akan dicapai melalui proses pendidikan. Disadari atau tidak,
pendidikan akan berhubungan dengan nilai, dan pendidikan harus menyadari kepentingan nilai-
nilai tersebut.
Dalam arti luas filsafat pendidikan mencakup filsafat praktek pendidikan dan filsafat
ilmu pendidikan (Mudyahardjo, 2001). Filsafat praktek pendidikan membahas tentang
bagaimana seharusnya pendi-dikan diselenggarakan dan dilaksanakan dalam kehidupan
manusia mencakup filsafat praktek pendidikan dan filsafat sosial pendidikan. Filsafat ilmu
pendidikan adalah analisis kritis komprehensif tentang pendidikan sebagai bentuk teori
pendidikan. Aspek filsafat dalam ilmu pendidikan dapat dilihat berdasarkan empat kategori
sebagai berikut: (1) Ontologi ilmu pendidikan yang membahas tentang hakekat substansi dan
pola organisasi ilmu pendidikan; (2) Epistemologi ilmu pendidikan yang membahas tentang
hakekat objek formal dan material ilmu pendidikan; (3) Metodologi ilmu pendidikan yang
membahas tentang hakekat cara-cara kerja dalam menyusun ilmu pendidikan; (4) Aksiologi
ilmu pendidikan, membahas tentang hakekat nilai kegunaan teoritis dan praktis ilmu
pendidikan.
Kajian terhadap fisafat pendidikan akan memadukan keempat aspek tersebut di atas
sebagai landasan dalam menjawab tiga masalah pokok, yaitu sebagai berikut: (1) Apakah
sebenarnya pendidikan itu? (2) apakah tujuan pendidikan sebenarnya? dan (3) Dengan cara apa
tujuan pendidikan itu dapat dicapai? (Henderson, 1959). Jawaban masalah pokok tersebut
tertuang dalam: (1) Tujuan pendidikan: (2) Kurikulum, (3) Metode pendidikan, (4) Peranan
peserta didik; dan (5) Peran tenaga pendidik.
Dalam sejarah perkembangan filsafat telah lahir sejumlah aliran filsafat. Dengan adanya
aliran-aliran filsafat, maka konsepsi mengenai filsafat pendidikan telah dipengaruhi oleh aliran-
aliran tersebut. Dengan memperhatikan obyek filsafat dan masalah pokok pendidikan,
selanjutnya akan dibahas aliran filsafat idealisme dan realisme dalam melandasi
pengembangan teori pendidikan.
Tugas Makalah “Kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional: Tantangan dan Peluang”
Kuliah: Kebijakan Pendidikan (AP702) Hal 7
8. C. Konsep Sekolah yang Baik dari Tinjauan Filosofis Pendidikan
Penyelenggaraan sekolah yang baik perlu didasari filosofi pendidikan. Filosofi ini harus
menyuburkan dan mengembangkan eksistensi peserta didik seoptimal mungkin melalui fasilitas
yang dilaksanakan melalui proses pendidikan yang bermartabat, pro-perubahan, kreatif,
inovatif, dan eksperimentif), menum-buhkan dan mengembangkan bakat, minat, dan
kemampuan peserta didik. Filosofi itu juga harus berpandangan bahwa dalam proses belajar
mengajar, peserta didik harus diberi perlakuan secara maksimal untuk mengaktualkan,
mengeksiskan, menyalurkan semua potensinya, baik potensi (kompetensi) intelektual (IQ),
emosional (EQ), dan Spiritual (SQ).
Filosofi itu juga harus menekankan bahwa pendidikan berfungsi dan relevan dengan
kebutuhan, baik kebutuhan individu, keluarga, maupun kebutuhan berbagai sektor dan sub-sub
sektornya, baik lokal, nasional, maupun internasional. Terkait dengan tuntutan globalisasi,
pendidikan harus menyiapkan sumber daya manusia Indonesia yang mampu bersaing secara
internasional. Dalam mengaktualkan kedua filosofi tersebut, empat pilar pendidikan, yaitu:
learning to know, learning to do, learning to live together, and learning to be merupakan
patokan berharga bagi penyelarasan praktek-praktek penyelenggaraan pendidikan di
Indonesia, mulai dari kurikulum, guru, proses belajar mengajar, sarana dan prasarana, hingga
sampai kepada integritas penyelenggaranya.
1. Filsafat Pendidikan Progresivisme
Progresivisme bukan merupakan suatu bangunan filsafat atau aliran filsafat yang
berdiri sendiri, melainkan suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918.
Selama dua puluh tahunan merupakan suatu gerakan yang kuat di Amerika Serikat. Banyak
guru yang ragu-ragu terhadap gerakan ini, karena guru telah mempelajari dan memahami
filsafat Dewey, sebagai reaksi terhadap filsafat lainnya. Kaum progresif sendiri mengkiritik
filsafat Dewey. Perubahan masyarakat yang dilontarkan oleh Dewey adalah perubahan
secara evolusi, sedangkan kaum progresif mengharapkan perubahan yang sangat cepat,
agar lebih cepat mencapai tujuan.
Gerakan progresif terkenal luas karena reaksinya terhadap formalisme dan sekolah
tradisional yang membosankan, yang menekankan disiplin keras, belajar pasif dan banyak
hal-hal yang tidak bermanfaat dalam pendidikan. Lebih jauh gerakan ini dikenal karena
Tugas Makalah “Kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional: Tantangan dan Peluang”
Kuliah: Kebijakan Pendidikan (AP702) Hal 8
9. dengan imbauannya kepada guru-guru : “Kami mengharapkan perubahan serta kemajuan
yang lebih cepat setelah perang dunia pertama”. Banyak guru yang mendukungnya, sebab
gerakan pendidikan progeresivisme merupakan semacam kendaraan mutahhir, untuk
digelarkan.
Orang-orang progresif merasa bahwa kehidupan itu berkembang dalam suatu arah
positif dan bahwa umat manusia, muda maupun tua, baik dan dapat dipercaya untuk
bertindak dalam minat-minat terbaik mereka sendiri. Berkenaan dengan ini, para pendidik
(ahli pendidikan) yang memiliki suatu orientasi progresif memberi kepada para siswa
sejumlah kebebasan dalam menentukan pengalaman-pengalaman sekolah mereka.
Sekalipun demikian, pendidikan progresif tidak berarti bahwa para guru tidak memberi
struktur atau para siswa bebas melaksanakan apapun yang mereka inginkan. Guru-guru
progresif memulai dengan posisi di mana keberadaan siswa dan, melalui interaksi
keseharian di kelas, mengarahkan siswa untuk melihat bahwa mata pelajaran yang akan
dipelajari dapat meningkatkan kehidupan mereka.
Peran guru dalam suatu kelas yang berorientasi secara progresif adalah berfungsi
sebagai seorang pembimbing atau orang yang menjadi sumber, yang pada intinya memiliki
tanggung jawab untuk memfasilitasi pembelajaran siswa. Orang berhubungan dengan
membantu para siswa mempelajari apa yang penting bagi mereka bukannya memberikan
sejumlah kebenaran yang dikatakan abadi. Terhadap tujuan ini, guru progresif berusaha
untuk memberi siswa pengalaman-pengalaman yang mereplikasi/meniru kehidupan
keseharian sebanyak mungkin. Para siswa diberi banyak kesempatan untuk bekerja secara
kooperatif di dalam kelompok, seringkali pemecahan masalah yang dipandang penting oleh
kelompok ini, bukan oleh guru.
Proses belajar terpusat kepada anak, namun hal ini tidak berati bahwa anak akan
diizinkan untuk mengikuti semua keinginannya, karena ia belum cukup matang untuk
menentukan tujuan yang memadai. Anak memang banyak berbuat dalam menentukan
proses belajar, namun ia bukan penentu akhir. Siswa membutuhkan bimbingan dan arahan
dari guru dalam melaksanakan aktivitasnya.
Pengalaman anak adalah rekontruksi yang terus-menerus dari keinginan dan
kepentingan pribadi. Mereka aktif bergerak untuk mendapatkan isi mata pelajaran yang
logis. Guru mempengaruhi pertumbuhan siswa, tidak dengan menjejalkan informasi kepada
Tugas Makalah “Kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional: Tantangan dan Peluang”
Kuliah: Kebijakan Pendidikan (AP702) Hal 9
10. anak, melainkan dengan pengawasan lingkungan di mana pendidikan berlangsung.
Pertumbuhan diartikan sebagai peningkatan intelegensi dalam pengelolaan hidup dan
adaptasi yang intelegen (cerdas) terhadap lingkungan.
Peranan guru adalah membimbing siswa-siswa dalam kegiatan pemecahan masalah
dan kegiatan proyek. Mungkin akan banyak guru yang kurang senang terhadap peran ini,
karena didasarkan atas suatu anggapan bahwa siswa mampu berpikir dan mengadakan
penjelajahan terhadap kebutuhan dan minat sendiri.
Guru harus menolong siswa dalam menentukan dan memilih masalah-masalah yang
bermakna, menemukan sumber-sumber daya yang relevan, menafsirkan dan menilai
akurasi data, serta merumuskan kesimpulan. Guru harus mampu mengenali siswa,
terutama pada saat apakah ia memerlukan bantuan khusus dalam suatu kegiatan, sehingga
ia dapat meneruskan pendidikannya.
2. Filsafat Pendidikan Perenialisme
Perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua
puluh. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perenialisme
menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru.
Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidak pastian, dan
ketidak teraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual, dan sosio-kultural. Oleh
karena itu, perlu ada usaha untuk mengamankan ketidak beresan tersebut.
Jalan yang ditempuh oleh kaum perenialis, adalah dengan jalan mundur ke
belakang, dengan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah
menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat pada zaman kuno dan abad pertengahan.
Peradaban kuno (Yunani Purba) dan abad pertengahan dianggap sebagai dasar budaya
bangsa-bangsa di dunia dari masa ke masa, dari abad ke abad.
Pandangan-pandangan yang telah jadi dasar budaya manusia tersebut, telah teruji
kemampuan dan kekukuhannya oleh sejarah. Pandangan-pandang Plato dan Aristoteles
mewakili peradaban Kaum perenialis percaya bahwa ajaran-ajaran dari tokoh-tokoh
tersebut memiliki kualitas yng dapat dijadikan tuntunan hidup dan kehidupan manusia pada
abad kedua puluh ini.
Tugas Makalah “Kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional: Tantangan dan Peluang”
Kuliah: Kebijakan Pendidikan (AP702) Hal 10
11. Dalam pendidikan, kaum perenialis berpadangan bahwa dalam dunia yang tidak
menentu dan penuh dengan kekacauan serta membahayakan, seperti kita rasakan dewasa
ini, tidak ada satu pun yang lebih bermafaat dari pada kepastian tujuan pendidikan, serta
kestabilan dalam perilaku pendidik.
Beberapa prinsip pendidikan perenialisme secara umum, yaitu:
a. Walaupun perbedaan lingkungan, namun pada hakikatnya manusia dimana pun dan
kapan pun ia berada adalah sama. Robert M. Hutckin sebagai pelopor perenialilsme
di Amerika Serikat, mengemukakan bahwa manusia pada hakikatnya adalah hewan
rasional (ini adalah pandangan Aritoteles). Tujuan pendidikan adalah sama dengan
tujuan hidup, yaitu untuk mencapai kebajikan dan kebajikan. Pendidikan harus sama
bagi semua orang, dimana pun dan kapan pun ia berada, begitu pula tujuan
pedidikan harus sama, yaitu memperbaiki manusia sebagai manusia. Hal diatas
dikemukakan oleh Hutckin sebagai berikut : “Man may very from society to
society,…..but the function of man, is the same in every age and every socienty,
since it results from his nature as a man. The aims of educational system can exist :
it is to improve man as man”.
b. Rasio merupakan atribut manusia yang paling tinggi. Manusia harus
menggunakannya untuk mengarahkan sifat bawaannya, sesui dengan tujuan yang
ditentukan. Manusia adalah bebas, namun mereka harus belajar, untuk
memperhalus pikiran dan mengontrol pikirannya. Apabila anak gagal dalam belajar,
guru tidak boleh dengan cepat meletakan kesalahan pada lingkungan yang tidak
menyenangkan. Guru harus mampu meengatasi semua gangguan tersebut, dengan
melakukan pendekatan secara intelektual yang sama bagi semua siswa. Tidak ada
anak yang diizinkan untuk menentukan pengalaman pendidikannya yang ia
inginkan.
c. Tugas pendidikan adalah memberikan pengetahuan tentang kebenaran yang pasti,
dan abadi. Kurikulum diorganisasi dan ditentukan terlebih dahulu oleh orang
dewasa, dan ditunjukan untuk melatih aktivitas akal, untuk mengembangkan akal.
Anak harus diberi pelajaran yang pasti, yang akan memperkenalkannya dengan
keabadian dunia. Anak tidak boleh dipaksa untuk mempelari pelajaran yang
tampaknya penting suatu saat saja. Begitu pula kepada anak janga memberikan
pelajaran yang hanya menarik pada saat-saat tertentu yang khusus. Yang
Tugas Makalah “Kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional: Tantangan dan Peluang”
Kuliah: Kebijakan Pendidikan (AP702) Hal 11
12. dipentingkan dalam kurikulum adalah mata pelajaran “general education”, yang
meliputi bahasa, sejarah, matematika, IPA, filsafat dan seni, dan 3 Rs (membaca,
menulis, berhitung). Mata-mata pelajaran tersebut merupakan esensi dari general
education.
d. Pendidikan bukan merupakan peniruan dari hidup, melainkan merupakan suatu
persiapan untuk hidup. Sekolah tidak pernah menjadi situasi kehidupan yang nyata.
Sekolah bagi anak merupakan peraturan-peraturan yang artifisial di mana ia
berkenalan dengan hasil yang terbaik dari warisan sosial budaya.
e. Siswa seharusnya mempelajari karya-karya besar dalam literatur yang menyangkut
sejarah, filsafat, seni, begitu juga dalam literatur yang berhubungan dengan
kehuidupan sosial, terutama politik dan ekonomi. Dalam literatur-literatur tersebut
manusia sepanjang masa telah melahirkan hasil yang maha besar.
Mohammad Noor Syam mengemukakan pandangan bahwa pendidikan harus
lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya pada kebudayaan ideal yang telah teruji
dan tangguh. Perenialisma memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses
mengembalikan keadaan manusia sekaranng seperti dalam kebudayaan ideal.
Perenialisme tidak melihat jalan yang meyakinkan, selain kembali pada prinsip-prinsip
yang telah sedemikian rupa membentuk sikap kebiasaan, bahwa kepribadian manusia
yaitu kebudayaan dahulu (Yunani Kuno) dan kebudayaan abad pertengahan.
3. Filsafat Pendidikan Esensialisme
Gerakan esensialisme muncul pada awal tahun 1930, dengan beberapa orang
pelopornya, seperti William C. Bagley, Thomas Briggs, Frederick Breed, dan Isac L. Kandell.
Pada tahun 1939 mereka membetuk suatu lembaga yang disebut “The esensialist Commite
for the Advancement of American University”. Bagley sebagai pelopor esensialisme adalah
seorang guru besar pada “Teacher College”, Columbia University. Ia yakin bahwa fungsi
utama sekolah adalah menyampaikan warisan budaya dan sejartah pada generasi muda.
Tujuan pendidikan adalah untuk merumuskan warisan budaya dan warisan sejarah
melalui pengetahuan inti yang terakumulasi dan telah bertahan dalm kurun waktu dan
dikenal oleh semua orang pengetahuan tersebut bersama dengan skill, sikap, dan nilai-nilai
yang memadai, akan mewujudkan elemen-elemen pendidikan yang esensial. Tugas siswa
adalah menginternalisasikan atau menjadikan milik pribadi elemen-elemen tersebut.
Tugas Makalah “Kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional: Tantangan dan Peluang”
Kuliah: Kebijakan Pendidikan (AP702) Hal 12
13. Selain merupakan warisan budaya, tujuan pendidikan esensialisme adalah
“mepersiapkan manusia untuk hidup”. Namun, hidup tersebut sangat kompleks dan luas,
sehingga kebutuhan-kebutuhan untuk hidup tersebut berada diluar wewenang sekolah.
Hal ini tidak berarti bahwa sekolah tidak dapat memberikan kontribusi terutama
bagaimana merancang sasaran mata pelajaran sedemikian rupa, terutama tujuan pelajaran
yang dapat mempertanggung jawabkan, yang pada akhirnya memadai untuk
mempersiapkan manusia hidup.
Ahli pendidikan esensialis tidak memandang anak sebagai orang jahat, dan tidak pula
memandang anak sebagai orang yang secara almiah baik. Anak-anak tersebut tidak akan
menjadi anggota masyarakat yang berguna, kecuali kalau anak-anak secara aktif dan penuh
semangat diajarkan nilai disiplin, kerja keras, dan rasa hormat pada pihak berwenang punya
otoritas. Kemudian, peran guru adalah membentuk para siswa, menangani insting-insting
alamiah dan noproduktif mereka (seperti, agresi, kepuasan indera tampa nalar, dll) dibawah
pengawasan sampai pedidikan mereka selesai.
Prinsip-prinsip pendidikan esensialisme dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Pendidikan harus dilakukan melalui usaha keras, tidak begitu saja timbul dari dalam
diri siswa.
b. Inisiatif dalam pendidikan ditentukan pada guru, bukan pada siswa. Peranan guru
adalah menjembatani antara dunia orang dewasa dengan dunia anak. Guru
disiapkan secara khusus untuk melaksanakan tugas diatas, sehingga guru lebih
berhak untuk membimbing pertumbuhan siswa-siswanya.
c. Inti proses pendidikan adalah asmilasi dari mata pelajaran yang telah ditentukan.
Kurikulum diorganisasi dan direncanakan dengan pasti oleh orang dewasa.
Pandangan ini sesuai dengan filsafat realisme bahwa secara luas lingkungan material
dan sosial, adalah manusia yang menentukan bagaimana seharusnya ia hidup.
Esensialisme mengakui bahwa pendidikan akan mendorong individu merealisasikan
potensiatisnya. Namun, realisasinya harus berlangsung dalam dunia yang bebas dari
perorangan. Oleh karena itu, sekolah yang baik adalah sekolah yang berpusat
kepada masyarakat “society centered school”, sebab kebutuhan dan minat sosial
diutamakan. Minat individu dihargai, namun diarahkan agar siswa tidak menjadi
orang yang mementingkan dirinya sendiri. (egoistis, selfish).
Tugas Makalah “Kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional: Tantangan dan Peluang”
Kuliah: Kebijakan Pendidikan (AP702) Hal 13
14. d. Sekolah harus mempertahankan metode-metode tradisional yang bertautan dengan
disiplin mental. Ensensialisme mengakui bahwa metode pemecahan masalah
(problem solving) ada faedahnya, namun bukan suatu prosedur untuk dilaksanakan
bagi seluruh proses belajar. Pendapat tersebut disadari oleh pandangan bahwa
kebanyakan pengetahuan adalah abstrak dan tidak dapat dipecahkan ke dalam
masalah-masalah yang konkrit.
e. Tujuan akhir pendidikan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan umum
merupakan tuntutan demokrasi yang nyata.
Selanjutnya mengenai peranan guru banyak persamaannya dengan perenilisme. Guru
dianggap sebagai seseorang yang menguasai lapangan subjek khusus, dan merupakan
model contoh yang sangat baik untuk ditiru dan digugu. Guru merupakan orang yang
menguasai pengetahuan, dan kelas berada dibawah pengaruh dan pengawasan guru.
4. Filsafat Pendidikan Rekontruksionisme
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Caroline Pratt (1948), seorang rekonstruksionis
sosial yang berpengaruh periode itu. “nilai terbesar suatu sekolah harus menghasilkan
manusia-manusia yang dapat berpikir secara efektif dan bekerja secara konstruktif, yang
saat bersamaan dapat membuat suatu dunia yang lebih baik dibandingkan dengan sekarang
ini untuk hidup di dalamnya”. Singakatnya, sekolah-sekolah tidak hanya harus
mentrasmisikan pengetahuan mengenai tatanan sosial yang ada, melainkan juga harus
berusaha merekontruksi-nya.
Rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini
lahir di dasari atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan
melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada pada saat sekarang ini.
Rekontruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, ingin
membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil.
Sekolah merupakan agen utama untuk perubahan sosial, politik, dan ekonomi di
masyarakat. Tugas sekolah adalah mengembangkan. “rekayasa sosial”, dengan tujuan
mengubah seara radikal wajah masyarakat dewasa ini dan masyarakat yang akan datang.
Sekolah memelopori masyarakat ke arah masyarakat baru yang diinginkan memecahkan
Tugas Makalah “Kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional: Tantangan dan Peluang”
Kuliah: Kebijakan Pendidikan (AP702) Hal 14
15. masalah-masalah kemasyarakatan secara sendiri-sendiri sebagai pengaruh dari
progresivisme.
Teori pendidikan rekontruksionisme yang dikemukakan oleh Brameld terdiri atas 5
tesis, yaitu :
a. Pendidikan harus dilaksanakan di sini dan sekarang dalam rangka menciptakan tata
sosial yang baru yang akan mengisi nilai-nilai dasar budaya kita, dan selaras dengan
yang mendasari kekuatan-kekuatan ekonomi, dan sosial masyarakat modern.
Sekarang peradaban menghadapi kemungkinan penghancuran diri. Pendidikan
harus menseponsori perubahan yang benar dalam nurani manusia. Oleh karena itu,
kekuatan teknologi yang sangat hebat harus dimanfaatkan untuk membangun umat
manusia, bukan untuk menghancurkannya. Masyarakat harus diubah bukan melalui
tindakan politik, melainkan dengan cara yang sangat mendasar, yaitu melalui
pendidikan bagi para warganya, menuju suatu pandangan baru tentang hidup dan
kehidupan mereka bersama.
b. Masyarakat baru harus berada dalam kehidupan demokrasi sejati, di mana sumber
dan lembaga utama dalam masyarakat dikontrol oleh warganya sendiri. Semua yang
mempengaruhi harapan dan hajat masyarakat, seperti sandang, pangan, papan,
kesehatan, industri, dan sebagainya, semuanya akan menjadi tanggung jawab
rakyat, melalui wakil-wakil yang dipilih. Masyarakat ideal adalah masyarakat
demokratis, dan harus direalisasikan secara demokrasi. Struktur, tujuan, dan
kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan tata aturan baru harus diakui
merupakan bagian dari pendapat masyarakat.
c. Anak, sekolah, dan pendidikan ini sendiri dikondisikan oleh kekuatan budaya dan
sosial. Menurut Brameld, kaum progresif terlalu sangat menekankan bahwa kita
semua dikondisikan secara sosial. Perhatikan kaum progresif hanya untuk mencari
cara di mana individu dapat merealisasikan dirinya dalam masyarakat, dan
mengabaikan derajat di mana masyarakat telah menjadikan dirinya. Menurut
rekontruksionisme, hidup beradap adalah hidup berkelompok, sehingga kelompok
akan memainkan peran yang penting di sekolah. Pendidikan merupakan realisasi
dan sosial (social self realization). Melalui pendidikan, individu tidak hanya
mengembangkan aspek-aspek sifat sosialnya melainkan juga belajar bagaimana
keterlibatannya dalam perencanaan sosial.
Tugas Makalah “Kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional: Tantangan dan Peluang”
Kuliah: Kebijakan Pendidikan (AP702) Hal 15
16. d. Guru harus meyakini terhadap validitas dan urgensi dirinya dengan cara bijaksana
dengan cara memperhatikan prosedur yang demokratis. Guru harus melaksanakan
pengujian secara terbuka terhadap fakta-fakta, walaupun bertentangan dengan
pandangannya. Guru menghadirkan beberapa pemecahan alternatif dengan jelas,
dan ia memperkenankan siswa-siswanya untuk mempertahankan pandangan-
pandangan mereka sendiri.
e. Cara dan tujuan pendidikan harus diubah kembali seluruhnya dengan tujuan untuk
menemukan kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan krisis budaya dewasa ini,
dan untuk menyesuaikan kebutuhan dengan sains sosial. Yang penting dari sains
sosial adalah mendorong kita untuk menemukan nilai-nilai, di mana manusia
percaya atau tidak bahwa nilai-nilai itu bersifat universal.
f. Kita harus meninjau kembali penyusunan kurikulum, isi pelajaran, metode yang
dipakai, struktur administrasi, dan cara bagaimana guru dilatih. Semua itu harus
dibangun kembali bersesuaian dengan teori kebutuhan tentang sifat dasar manusia
secara rasional dan ilmiah. Kita harus menyusun kurikulum di mana pokok-pokok
dan bagiannya dihubungkan secara integral, tidak disajikan sebagai suatu sekuensi
komponen pengetahuan.
Mengenai peranan guru, paham rekontruksionisme sama dengan paham
progresivisme. Guru harus menyadarkan si terdidik terhadap masalah-masalah untuk
dipecahkannya, sehingga terdidik memiliki kemampuan memecahkan masalah tersebut.
Guru harus mendorong terdidik untuk dapat berpikir alternatif dalam memecahkan
masalah serta mampu menciptakan aktivitas belajar yang berbeda.
Gambar-3 Salah satu contoh Filosofis Pendidikan Sekolah di Korea - KID'S COLLEGE
Tugas Makalah “Kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional: Tantangan dan Peluang”
Kuliah: Kebijakan Pendidikan (AP702) Hal 16
17. D. Pentingnya Filsafat Pendidikan Bagi Pendidik
Dalam bentuk yang paling sederhana, filsafat pendidikan terdiri dari apa yang diyakini
seseorang mengenai pendidikan, merupakan kumpulan prinsip yang membimbing tindakan
profesional seseorang. Lebih jauh lagi, filsafat pendidikan berkaitan dengan “penetapan hakikat
dari tujuan, alat pendidikan, dan kemudian menerjemahkan prinsip-prinsip ini ke dalam
kebijakan-kebijakan untuk meng-implementasikannya.
Setiap guru apakah mengetahuinya ataupun tidak, memiliki suatu filsafat pendidikan,
yaitu seperangkat keyakinan mengenai bagaimana manusia belajar dan tumbuh serta apa yang
harus manusia pelajari agar dapat tinggal dalam kehidupan yang baik. Tentu saja para guru
berbeda berkenaan dengan banyaknya usaha yang mereka curahkan pada perkembangan
filsafat pribadi atau platform pendidikan. Sebagian dari mereka merasa bahwa refleksi-refleksi
filosofis tidak memiliki kontribusi apa-apa pada tindak pengajaran aktual (pendirian ini, tentu
saja, merupakan suatu filsafat pendidikan tersendiri). Guru-guru lainnya mengetahui bahwa
pengajaran, karena berkaitan dengan apa yang seharusnya, pada dasarnya merupakan suatu
urusan filsafat. Sebagaimana yang dikemukakan oleh John Dewey, berhubungan dengan
pendidikan berarti berhubungan dengan filsafat: “Jika kita mau membayangkan pendidikan
sebagai suatu proses membentuk disposisi (watak) fundamental, intelektual dan emosional
terhadap alam raya dan sesama manusia, filsafat dapat didenfinisikan sebagai teori umum
pendidikan”.
Filsafat pendidikan juga secara vital berhubungan dengan pengembangan semua aspek
pengajaran. Dengan menempatkan filsafat pendidikan pada tataran praktis, para guru dapat
menemukan berbagai pemecahan pada banyak permasalahan pendidikan. Lima tujuan filsafat
pendidikan dapat mengklarifikasi bagaimana dapat berkontribusi pada pemecahan-pemecahan
tersebut:
1. Filsafat pendidikan terkait dengan peletakan suatu perencanaan, apa yang dianggap
sebagai pendidikan terbaik secara mutlak.
2. Filsafat pendidikan berusaha memberikan arah dengan merujuk pada macam
pendidikan yang terbaik dalam suatu konteks politik, sosial, dan ekonomi.
3. Filsafat pendidikan dipenuhi dengan koreksi pelanggaran-pelanggaran prinsip dan
kebijakan pendidikan.
Tugas Makalah “Kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional: Tantangan dan Peluang”
Kuliah: Kebijakan Pendidikan (AP702) Hal 17
18. 4. Filsafat pendidikan memusatkan perhatian pada isu-isu dalam kebijakan dan praktek
pendidikan yang mensyaratkan resolusi, baik dengan penelitian empiris maupun
pemeriksaan ulang yang rasional.
Filsafat pendidikan melaksanakan sutatu inkuiri dalam keseluruhan urusan pendidikan
dengan suatu pandangan terhadap penilaian, pembenaran, dan pembaharuan sekumpulan
pengalaman yang tunggang-tungging untuk pembelajaran yang tinggi. Terdapat suatu
hubungan yang kuat antara perilaku seseorang merupakan keyakinannya mengenai pengajaran
dan pembelajaran, kehidupan pengetahuan, dan apa yang bermanfaat untuk diketahui.
Terlepas di mana seseorang berdiri berkenaan dengan kelima dimensi pengajaran
tersebut, guru harus tahu perlunya merefleksikan (memikirkan) secara berkelanjutan pada apa
yang ia sangat yakini dan kenapa ia meyakininya. Pengaruh keyakinan guru terhadap perilaku
mengajar itu adalah :
1. Keyakinan Mengenai Pengajaran dan Pembelajaran
Salah satu dari komponen yang paling penting dari filsafat pendidikan seorang guru
adalah bagaimana ia memandang pengajaran dan pembelajaran, dengan kata lain, apa
peran pokok guru? Apakah guru merupakan seorang ahli subyek ajar yang dapat secara
efesien dan efektif memberikan pengetahuan pada para siswa? Apakah guru adalah orang
yang berguna yang membangun hubungan-hubungan kepedulian bersama siswa dan
memelihara perkembangan dalam bidang-bidang yang diperlukan? Atau apakah guru
adalah seorang teknisi terampil yang dapat mengelola pembelajaran dari banyak siswa
sekaligus?
Terdapat beberapa pandangan mengenai konsepsi dasar pengajaran. Sebagian
orang memandang pengajaran sebagian sains, merupakan suatu aktivitas kompleks, namun
dapat direduksi ke dalam sekumpulan perilaku tertentu yang terpisah-pisah dan yang
secara objektif ditentukan. Bagi orang lain, pengajaran dipandang sebagai suatu seni,
merupakan suatu pertemuan yang spontan, tidak berulang dan kreatif antara guru dan
siswa. Bagi yang lainnya, pengajaran adalah suatu aktivitas yang merupakan sains dan seni,
aktivitas ini mensyaratkan implementasi artistik (atau intuitif) dari prosedur-prosedur yang
ditentukan secara ilmiah.
Tugas Makalah “Kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional: Tantangan dan Peluang”
Kuliah: Kebijakan Pendidikan (AP702) Hal 18
19. Berkenan dengan pembelajaran, sebagian guru menekankan pengalaman-
pengalaman dan kognisi individual siswa, dan yang lainnya menekankan perilaku siswa.
Pembelajaran menurut sudut pandang pertama dipandang sebagai perubahan-perubahan
dalam pikiran dan tindakan yang berasal dari pengalaman pribadi, yakni pembelajaran yang
sebagian besar merupakan hasil dan kekuatan-kekuatan internal pada diri individu.
Pandangan kedua mendefinisikan pembelajaran sebagai asosiasi antara beragam stimulus
dan respon. Di sini, pembelajaran berasal dari kekuatan-kekuatan yang bersifat eksternal
pada individu.
2. Keyakinan Mengenai Siswa
Keyakinan seorang guru mengenai siswa akan memiliki suatu pengaruh besar pada
bagaimana guru tersebut mengajar. Setiap guru merumuskan suatu citra dalam benaknya
mengenai seperti apakah siswa, kecenerungan, keterampilan, tingkatan motivasi, dan
pengharapan mereka. Seperti apakah siswa yang guru yakini itu didasarkan pada
pengalaman kehidupan unik guru tersebut, khususnya observasi-observasi guru terhadap
orang-orang muda dan pengetahuan guru tentang pertumbuhan dan perkembangan
manusia.
Pandangan-pandangan negatif terhadap siswa dapat menampilkan hubungan guru
siswa yang didasarkan pada ketakutan dan penggunaan kekerasan bukannya didasarkan
pada kepercayaan dan kemanfaatan. Pandangan yang benar-benar positif (ekstrim) dapat
beresiko tidak memberikan kepada para siswa struktur dan arah yang memadai dan tidak
mengkomunikasikan secara memadai terhadap pengharapan-pengharapan yang tinggi.
Dalam analisis akhirnya, guru yang benar-benar profesional, yaitu guru yang memiliki suatu
pemikiran yang cermat tentang filsafat pendidikan, mengetahui bahwa anak-anak berbeda
dalam kecenderungan-kecenderungan untuk belajar dan tumbuh. Berkenan dengan
keyakinan-keyakinan mengenai siswa, penting bagi guru membawa sikap-sikap positif
terhadap para siswa mereka dan suatu keyakinan yang dapat mereka pelajari.
3. Keyakinan Mengenai Pengetahuan
Pandangan seorang guru tentang pengetahuan secara langsung berkaitan dengan
bagaimana ia melaksanakan pengajaran. Jika pengetahuan dipandang sebagai sekumpulan
keseluruhan potongan-potongan kecil subyek ajar atau fakta yang terpisah-pisah, para
Tugas Makalah “Kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional: Tantangan dan Peluang”
Kuliah: Kebijakan Pendidikan (AP702) Hal 19
20. siswa sangat dimungkinkan akan menghabiskan sejumlah besar waktunya/ mempelajari
informasi itu dalam suatu cara hapalan langsung.
4. Keyakinan Mengenai Apa yang perlu diketahui
Guru menginginkan para siswanya belajar sebagai hasil dari usaha mereka,
sekalipun para guru berbeda berkenaan dengan apa yang mereka yakini apa yang harus
diajarkan.20 Guru A merasa bahwa yang paling penting, siswa mempelajari keterampilan-
keterampilan dasar membaca, menulis, menghitung dan berkomunikasi lisan.
Keterampilan-keterampilan ini akan mereka perlukan agar sukses dalam pekerjaan-
pekerjaan yang mereka perlukan agar sukses dalam pekerjaan-pekerjaan yang mereka pilih,
dan merupakan tanggung jawab sekolah mempersiapkan para siswanya untuk dunia kerja.
Guru B yakin bahwa muatan yang paling berharga akan ditemukan dalam buku-buku klasik
atau buku-buku besar. Melalui penguasaan gagasan-gagasan besar dari sains, matematika,
literatur dan sejarah, para siswa akan siap untuk berurusan dengan dunia masa depan.
Guru C yang paling berhubungan dengan pembelajaran siswa bagaimana harus bernalar,
berkomunikasi secara efektif, dan memecahkan permasalahan. Para siswa yang menguasai
proses-proses kognitif ini akan belajar bagaimana belajar, dan ini merupakan persiapan
yang paling realistis untuk masa depan yang tidak diketahui. Guru D berhubungan dengan
pengembangan anak secara keseluruhan, mengajar siswa menjadi orang-orang yang
mengaktualisasikan diri. Jadi, muatan kurikulum harus bermakna bagi siswa, yang
memberikan kontribusi sebanyak mungkin pada usaha-usaha siswa untuk menjadi orang
yang matang dan utuh (well-integrated). Keyakinan-keyakinan guru mengenai pengajaran
dan pembelajaran, siswa, pengetahuan, dan pengetahuan apakah yang paling berharga,
merupakan landasan filsafat pendidikannya.
Ali Saifullah dalam pembahasannya tentang pentingnya mempelajari filsafat pendidikan
bagi setiap pendidik atau guru seperti :
a. Memberi kesempatan kepada setiap pendidik untuk membiasakan diri mengadakan
perenungan mendalam, atau berteori, betapapun kurang atau belum sempurnanya
teori tersebut.
b. Akan memberikan pengertian yang mendalam akan problema esensial dan dasar-dasar
pertimbangan mana yang harus kita gunakan dalam menyelesaikan problema
pendidikan.
Tugas Makalah “Kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional: Tantangan dan Peluang”
Kuliah: Kebijakan Pendidikan (AP702) Hal 20
21. c. Membiasakan para pendidik dan guru agar mengutamakan berpikir kritis dan reflektif
dalam menyelesaikan problema-problema kehidupan dan penghidupan manusia, dan
terutama problema yang mendasar dalam pendidikan.
d. Memberikan kesempatan pada pendidik dan guru untuk selalu berusaha meninjau
kembali pandangan dasar-dasar filsafat pendidikan yang selama ini diyakini
kebenarannya.
e. Bahwa berdasar atas kenyataan keragaman aliran-aliran filsafat pendidikan, dalam
pengertian betapa banyaknya pandangan tentang dasar-dasar dan tujuan pendidikan,
maka dituntut kepada mereka para pendidik dan guru untuk meninjau segala
perbedaan tersebut secara kritis, reflektif, bebas dan terbuka.21
Seorang guru, baik sebagai pribadi maupun sebagai pelaksana pendidikan, perlu
mengetahui dan memahami filsafat dan filsafat pendidikan. Tidak boleh buta terhadapnya,
karena tujuan pendidikan senantiasa berhubungan langsung dengan tujuan hidup dan
kehidupan individu maupun masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan. Pendidikan tidak
dapat dimengerti sepenuhnya tanpa mengetahui tujuan akhirnya. Tujuan akhir pendidikan
perlu dipahami dalam kerangka hubungannya dengan tujuan hidup tersebut, baik tujuan
individu maupun tujuan kelompok.
Gambar-3 Filosofis Pendidikan penting bagi guru agar mengetahui sasaran dari aktifitasnya
Tugas Makalah “Kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional: Tantangan dan Peluang”
Kuliah: Kebijakan Pendidikan (AP702) Hal 21
22. KESIMPULAN
Pengertian filsafat pendidikan ialah ilmu yang pada hakikatnya merupakan jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan dalam bidang pendidikan. Karenanya, dengan bersifat filosofis,
bermakna bahwa filsafat pendidikan merupakan aplikasi sesuatu analisa filosofis terhadap
bidang pendidikan.
Dalam filsafat terdapat berbagai mazhab, aliran-aliran, seperti materialisme, idealisme,
realisme, pragmatisme, dan lain-lainnya. Karena filsafat pendidikan merupakan terapan dari
filsafat, sedangkan filsafat beraneka ragam alirannya, maka dalam filsafat pendidikan pun kita
akan temukan berbagai aliran, sekurang-kurangnya sebanyak aliran dalam filsafat itu sendiri.
Penulis kemukakan “sekurang-kurangnya”, karena masih terdapat filsafat pendidikan, yang
merupakan suatu elektik dari berbagai pandangan filsafat pendidikan yang telah ada. Akan
tetapi aliran pemikiran filosofis itu dapat diklasifikasikan dalam empat aliran utama yaitu
Progresivisme, Essensialisme, Prenialisme, dan Kontruksionisme.
Sekolah yang baik perlu mempunyai filosofis pendidikan yang baik pula. Filosofi ini
harus menyuburkan dan mengembangkan eksistensi peserta didik seoptimal mungkin melalui
fasilitas yang dilaksanakan melalui proses pendidikan yang bermartabat, pro-perubahan,
kreatif, inovatif, dan eksperimentif), menum-buhkan dan mengembangkan bakat, minat, dan
kemampuan peserta didik. Filosofi itu juga harus berpandangan bahwa dalam proses belajar
mengajar, peserta didik harus diberi perlakuan secara maksimal untuk mengaktualkan,
mengeksiskan, menyalurkan semua potensinya, baik potensi (kompetensi) intelektual (IQ),
emosional (EQ), dan Spiritual (SQ).
Seorang pendidik, baik sebagai pribadi maupun sebagai pelaksana pendidikan, penting
mengetahui filsafat dan filsafat pendidikan, karena tujuan pendidikan senantiasa berkaitan
langsung dengan tujuan hidup dan kehidupan individu maupun masyarakat yang
menyelenggarakan pendidikan. Pendidikan tidak dapat dimengerti sepenuhnya tanpa
mengetahui tujuan akhirnya pendidik sebagai pribadi memiliki tujuan dan pandangan
hidupnya. Pendidik sebagai warga masyarakat atau warga negara mempunyai tujuan hidup
bersama, tujuan akhir pendidikan penting dipahami dalam kerangka hubungannya dengan
tujuan hidup tersebut baik tujuan individu maupun tujuan kelompok.
Tugas Makalah “Kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional: Tantangan dan Peluang”
Kuliah: Kebijakan Pendidikan (AP702) Hal 22
23. Daftar Pustaka
http://en.wikipedia.org/wiki/School
* Dodge, B. (1962). ‘Muslim Education in the Medieval Times’, The Middle East Institute,
Washington D.C.
* Education as Enforcement: The Militarization and Corporatization of Schools, edited by
Kenneth J. Saltman and David A. Gabbard, RoutledgeFalmer 2003.review
* Makdisi, G. (1980). ‘On the origin and development of the college in Islam and the West’, in
Islam and the Medieval West, ed. Khalil I. Semaan, State University of New York Press
* Nakosteen, M. (1964). ‘History of Islamic origins of Western Education AD 800-1350’,
University of Colorado Press, Boulder, Colorado,
* Ribera, J. (1928). ‘Disertaciones Y Opusculos’, 2 vols. Madrid
* Spielhofer, Thomas, Tom Benton, Sandie Schagen. “A study of the effects of school size and
single-sex education in English schools.” Research Papers in Education Jun. 2004:133
159, 27.
* Toppo, Greg. "High-tech school security is on the rise." USA Today 9 Oct 2006.
* Traditions and Encounters, by Jerry H. Bentley and Herb F. Ziegler
Anonim, 2006. Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
WIPRESS
Anonim, 2006. Rencana Startegis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005-2009.
Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.
Ali Saifullah. Pengantar Filsafat Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional, 1989
Burhanuddin Salam. Pengantar Pedagogik. Jakarta: Rineka Cipta, 1997
Hasan Langgulung. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1979
Jalaluddin, Filsafat Pendidikan, Jakarta: Gaya Media, 1997
Kneler George F. Introduction to the Philosophy of Education. New York: John Willey Sons Inc,
1971
Mohd. Labib Al-Najihi. Pengantar pada Falsafah Pendidikan. Kaherah: Maktabah Al-Englo Al
Masriyah, 1967
Muhammad Noor Syam. Filsafat Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional, 1988
Prasetya. Filsafat Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia, 1997
Sadiq Sama’an. Al-Falsafah Wattarbiyah : Muhawalah Litahdid Maidan falsafah at-tarbiyah.
Kaherah: Dar Al-Nahdah Al-Arabiya, 1962
S. Nasution. Asas-asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara, 1995
Tugas Makalah “Kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional: Tantangan dan Peluang”
Kuliah: Kebijakan Pendidikan (AP702) Hal 23
24. Uyoh Sadullah, M.Pd. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Al Fabeta, 2004.
Warul Walidin. “Landasan Filosofis Pengembangan Kurikulum” Jurnal Ilmiah No. 74.
Darussalam: IAIN Ar-Raniry, 1999.
Tugas Makalah “Kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional: Tantangan dan Peluang”
Kuliah: Kebijakan Pendidikan (AP702) Hal 24