1. 1)
Mahasiswa Jurusan Geografi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang
2)
Dosen Geografi Universitas Negeri Malang
3)
Dosen Geografi Universitas Negeri Malang
PROFIL DAN PEMBERDAYAAN ANAK JALANAN DI KOTA MALANG
1)
Gabrela Sabatini, 2)
Marhadi Slamet Kistiyanto, dan 3)
Satti Wagistina
S1 Pendidikan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang
Jl Semarang No. 5 Malang
E-mail: gabrela.91b@gmail.com
Abstract
This study aims to describe the demand profile and empowerment of street
children in the Malang city. This study used a descriptive research design with a
quantitative approach. Research instruments such as interview guides. Data was
collected through observation, interviews, and documentation. Data analysis was
done with a single tabulation. The results showed that the street children in the
Malang city is at most age groups 10 - 13 years (38,24%), male sex (77,94%),
amounting to 69,12% had a low educational level ( level the last level is just to
Junior High School ), working as a street musician (80,88%), the reasons become
street children because of a desire to help parents (52,94%), and has office hours
between 6 - 8 hours per day (45,59%). Groups of street children in the Malang
city is dominated by groups of children who are vulnerable to street children
(67,65 %). Empowerment of the most demanding automotive skills training
(25%).
Keywords: profile, empowerment, street children.
Anak jalanan merupakan salah satu bentuk masalah sosial yang kompleks dan
berkaitan erat dengan masalah sosial lain, terutama kemiskinan. Pusdatin Kesos
Departemen Sosial RI sebagaimana dikutip oleh Zulfadli (2004) menjelaskan
bahwa anak jalanan adalah anak yang sebagian besar waktunya dihabiskan di
jalanan atau di tempat-tempat umum, berusia antara 6 - 21 tahun, melakukan
kegiatan di jalan atau di tempat umum, seperti: pedagang asongan, pengamen,
peminta-minta, dan lain sebagainya. Fenomena anak jalanan belakangan ini
menjadi masalah sosial yang sangat penting dalam kehidupan perkotaan.
Keberadaan mereka seringkali menimbulkan berbagai masalah lalu lintas,
ketertiban, keamanan dan kenyamanan kota. Munculnya anak jalanan pada
umumnya dipengaruhi oleh rendahnya perekonomian keluarga. Sebagai pekerja
anak, mereka melakukan segala jenis pekerjaan yang memiliki sifat atau intensitas
yang dapat mengganggu pendidikan karena sebagian besar waktu mereka
dihabiskan di jalanan dan dapat membahayakan keselamatan, kesehatan serta
tumbuh kembangnya.
2. Setiap anak, termasuk anak jalanan berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. Sesuai dengan Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak isinya menyatakan bahwa setiap anak memiliki hak untuk
hidup layak, berkembang, mendapat perlindungan, berperan serta, dan
memperoleh pendidikan. Oleh sebab itu, diperlukan upaya untuk mengentaskan
anak-anak dari dunia jalanan dan merubah sikap mereka untuk tidak kembali ke
jalanan.
Upaya mengatasi masalah anak jalanan di Kota Malang dilakukan oleh
Dinas Sosial di bawah naungan Seksi Rehabilitasi Sosial Anak dan Lanjut Usia,
dengan menerapkan “3 fungsi utama penanganan anak jalanan”. 3 fungsi utama
tersebut antara lain yaitu: fungsi pencegahan, fungsi rehabilitasi, dan fungsi
pemberdayaan. Implementasi dari kebijakan tersebut belum menunjukkan hasil
yang signifikan ditandai dengan semakin meningkatnya jumlah anak jalanan yang
ada di Kota Malang. Pada tahun 2007 hingga tahun 2010 sebelum
diimplementasikan-nya kebijakan tersebut, data dari BPS menyebutkan terjadi
penurunan jumlah anak jalanan sebesar 76,77%, dari 465 anak pada tahun 2007
hingga hanya tersisa 105 anak pada tahun 2010. Sementara itu, setelah
implementasi kebijakan tersebut pada tahun 2011 hingga tahun 2013, anak jalanan
di Kota Malang justru semakin meningkat persentasenya sebesar 76, 54%
menjadi 277 anak pada tahun 2013. Peningkatan jumlah anak jalanan setelah
implementasi kebijakan tersebut diduga hal ini juga disebabkan oleh kurang
maksimalnya penerapan 3 (tiga) fungsi penanganan anak jalanan yang ada di Kota
Malang, khususnya pada fungsi pemberdayaan. Oleh sebab itu, agar fungsi
pemberdayaan bisa dilakukan secara maksimal, maka diperlukan tahapan
pengkajian secara mendalam terhadap kebutuhan, potensi, serta faktor-faktor yang
melatarbelakangi anak turun ke jalanan. Kebutuhan, potensi, serta faktor-faktor
yang melatarbelakangi anak turun ke jalanan dapat diketahui dari gambaran profil
anak jalanan.
Profil anak jalanan dapat diketahui melalui karakteristik dan kelompok
anak jalanan. Karakteristik anak jalanan yakni suatu sifat khas yang melekat pada
anak jalanan, yang meliputi: usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan,
3. alasan menjadi anak jalanan, dan jam kerja anak jalanan. Usia dalam sensus
penduduk dinyatakan dalam tahun dibulatkan ke bawah atau usia ulang tahun
terakhir. Berdasarkan hasil penelitian Budijanto, dkk., (2005: 57), diperoleh hasil
bahwa usia anak jalanan di Kota Malang cukup bervariasi mulai dari < 5 tahun
sampai 21 tahun dengan persentase terbesar pada usia 13 – 15 tahun yakni
33,33%.
Jenis kelamin merupakan salah salah satu variabel demografi yang
biasanya dikaitkan dengan gender. Anak jalanan lebih dominan berjenis kelamin
laki-laki. Berbagai penelitian (Irwanto, 1993, Asra, 1993, Manurung, 1998,
PKPM Unika Atmajaya, dan Imawan, 1999 dalam Suyanto, 2004: 107)
menunjukkan bahwa jumlah anak laki-laki yang bekerja lebih banyak jika
dibandingkan anak perempuan. Salah satu faktor yang menyebabkan kondisi
tersebut yakni adanya pandangan orang tua bahwa anak laki-laki perlu dilatih
untuk bekerja, karena anak laki-laki mempunyai tanggung jawab lebih besar
terhadap keluarga.
Tingkat pendidikan yang dimaksud dalam penelitian ini yakni tingkat
pendidikan formal terakhir yang dilalui oleh anak jalanan. Tingkat pendidikan
berpengaruh terhadap keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Budijanto, dkk., (2005: 61) diperoleh
hasil bahwa sebagian besar (55, 58%) anak jalanan yang ada di Kota Malang
tergolong rendah, yakni hanya berpendidikan SD.
Umumnya anak-anak jalanan bekerja di sektor informal karena rendahnya
pendidikan dan keterampilan yang dimiliki. Ada 5 (lima) jenis pekerjaan anak
jalanan di Kota Malang, yaitu: pengamen, penjual koran, pedagang asongan,
pengemis, dan makelar mikrolet. Jenis pekerjaan sebagai pengamen banyak
dipilih oleh anak jalanan yang ada di kota Malang dengan persentase terbesar
mencapai 48,33% karena dianggap lebih cepat mendatangkan uang, tidak berat
dan tidak terikat waktu kadaluarsa barang seperti halnya penjual koran (Budijanto,
dkk., 2005: 54). Dari hasil penelitian tersebut didapatkan fakta bahwa anak jalanan
di Kota Malang paling banyak memiliki jenis pekerjaan jasa, yakni sebagai
pengamen.
4. Banyak faktor yang menyebabkan seorang anak memutuskan menjadi
anak jalanan. Hening Budiyanto, dkk., (dalam Siregar, dkk., 2008: 23) dalam hasil
penelitiannya menyebutkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan anak
memutuskan untuk bekerja di jalanan, yaitu: karena alasan kekerasan dalam
keluarga, dorongan ekonomi keluarga, ingin bebas, dan ingin memiliki uang
sendiri karena pengaruh teman. Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa ada
banyak faktor yang mendorong anak memutuskan untuk turun ke jalan. Namun
demikian, faktor yang paling dominan menyebabkan anak untuk turun ke jalan
ialah faktor ketidakmampuan ekonomi keluarga (Siregar, dkk., 2008: 29).
Berdasarkan hasil penelitian Budijanto, dkk., (2005: 64) didapatkan fakta bahwa
sebesar 56,30% anak jalanan di Kota Malang turun ke jalan dengan alasan ingin
membantu orang tua untuk membantu mencukupi kebutuhan keluarga. Sementara
itu, sisanya sebesar 39,19% beralasan untuk memperoleh penghasilan sendiri dan
4,51% lainnya untuk membiayai sekolah sendiri dan saudara.
Jam kerja anak jalanan ialah lama kerja anak di jalanan per harinya.
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 1 tahun 1987, memberikan batasan jam
kerja anak maksimal 4 jam sehari. Namun fakta di lapangan mendapati banyaknya
pekerja anak, termasuk di dalamnya anak jalanan yang bekerja lebih dari 4 jam
per harinya. Panjangnya jam kerja tentunya akan membawa berbagai dampak
buruk bagi anak jalanan, baik secara fisik maupun mental Sehubungan dengan itu,
Irwanto dalam Suyanto, 2004: 33) menyebutkan bahwa panjangnya jam kerja
mempunyai efek negatif terhadap kognitif anak. Dengan kata lain, keterlibatan
anak dalam bekerja di jalanan dapat mengganggu perkembangan kognitif mereka,
terutama bila pekerjaan tersebut menyita waktu belajar mereka.
Anak jalanan bukanlah suatu kelompok yang homogen. Mereka cukup
beragam dan dapat dibedakan atas dasar pekerjaannya, hubungan dengan orang
tua, waktu, jenis kegiatannya di jalanan, serta jenis kelaminnya (Farid dalam
Budijanto, dkk., 2005: 14). Berdasarkan pedoman yang dipakai oleh Departemen
Sosial dan UNDP (United Nations Development Programme) di Jakarta (dalam
Yanti, 2012: 16), anak jalanan dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: (1) Anak
jalanan yang hidup di jalanan (children of the street), memiliki ciri-ciri: putus
hubungan dengan orang tuanya; meluangkan waktu 8-10 jam untuk bekerja;
5. bertempat tinggal di jalanan dan tidur di sembarang tempat; serta tidak bersekolah
lagi, (2) Anak jalanan yang bekerja di jalanan (children on the street), memiliki
ciri-ciri: berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya; umumnya berasal dari
luar kota yang bekerja di jalanan; berada di jalanan sekitar 8 – 12 jam untuk
bekerja; bertempat tinggal dengan cara mengontrak sendiri atau bersama teman;
dengan orang tua, saudara; atau di tempat kerjanya di jalan; dan tidak bersekolah
lagi, (3) Anak yang rentan menjadi anak jalanan, memiliki ciri-ciri: setiap harinya
bertemu dengan orang tuanya (teratur); berada di jalanan sekitar 4 – 6 jam untuk
bekerja; tinggal dan tidur bersama orang tua atau wali; dan masih bersekolah.
Pengelompokkan anak jalanan dapat menunjukkan tingkat kesulitan
penanganannya.
Dari uraian mengenai karakteristik dan kelompok anak jalanan, nantinya
dapat diketahui pemberdayaan yang sesuai dengan minat dan potensi anak
jalanan. Substansi pemberdayaan yang seutuhnya ialah memandirikan dan
memampukan masyarakat” (Bagong dalam Astutik, 2004: 56). Pemberdayaan
anak jalanan bisa dilakukan apabila telah melalui tahapan pengkajian secara
mendalam terhadap kebutuhan, potensi, serta faktor-faktor yang melatarbelakangi
anak turun ke jalanan. Setelah tahapan pengkajian tersebut, selanjutnya dapat
diketahui potensi yang melekat pada diri anak jalanan.
METODE
Penelitian anak jalanan ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif
dengan pendekatan kuantitatif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah
metode survei dengan instrumen pedoman wawancara. Hasil dari penelitian ini
berupa angka-angka yang disajikan dalam tabel frekuensi untuk kemudian
diinterpretasi dengan diberi kata-kata. Data yang dihasilkan dalam penelitian ini
merupakan data dasar (data based) yang nantinya dipakai sebagai bahan pemetaan
karakteristik anak jalanan, kelompok anak jalanan, dan pemberdayaan yang
diminati sesuai dengan potensi anak jalanan.
Populasi dalam penelitian ini yakni semua anak jalanan yang ada di Kota
Malang yang berjumlah 227 anak. Teknik penarikan sampel dalam penelitian ini
6. menggunakan accidental sampling. Jumlah sampel yang diteliti dalam penelitian
ini sebanyak 68 orang.
Pengumpulan data dilakukan pada awal bulan Februari 2014 dengan
melibatkan 4 orang tenaaga pengumpul data termasuk di dalamnya peneliti.
Penelitian ini dilakukan di 8 titik lokasi yang dijadikan tempat bekerjanya anak
jalanan di kota Malang. Alasan pemilihan lokasi tersebut yakni karena tempat-
tempat tersebut merupakan pusat keramaian sehingga banyak terdapat anak
jalanan yang berkumpul. Kondisi ini memudahkan peneliti untuk melakukan
pendekatan dan interaksi dengan anak jalanan.
HASIL
Tabel 1 Jumlah dan Persentase Anak Jalanan di Kota Malang Tahun 2014
No. Alamat Frekuensi (f) Persentase (%)
1. Kedungkandang 12 17,65
2. Sukun 47 69,12
3. Klojen 3 4,41
4. Blimbing 2 2,94
5. Lowokwaru 4 5,88
Jumlah 68 100
Anak jalanan di Kota Malang paling banyak berasal dari Kecamatan
Sukun dengan persentase 69,12%. Anak
jalanan dari Kecamatan Blimbing
jumlahnya paling rendah (2,94%).
Rendahnya jumlah tersebut karena di
kecamatan tersebut terdapat Sanggar
Kegiatan Belajar (SKB). Dari
keseluruhan responden, tentunya mereka
memiliki karakteristik yang berbeda
antara anak jalanan satu dengan yang
lain.
7. Tabel 2 Jumlah dan Persentase Usia Anak Jalanan di Kota Malang Tahun 2014
No. Golongan Usia (tahun) Frekuensi (f) Persentase (%)
1. 6 - 9 10 14,71
2. 10 - 13 26 38,24
3. 14 - 17 24 35,29
4. ≥ 18 8 11,76
Jumlah 68 100
Anak Jalanan yang ada di Kota Malang
memiliki distribusi golongan usia yang sebagian
besar berusia 10 – 13 tahun yakni 38,24%. Jika
dilihat dari usianya, maka anak jalanan tersebut
termasuk dalam usia sekolah sehingga rentan putus
sekolah. Anak jalanan yang berusia ≥ 18 tahun
jumlahnya paling sedikit dengan persentase hanya
11,76%. Rendahnya persentase anak jalanan yang
berusia ≥ 18 tahun disebabkan karena mereka
berpendapat pada usia tersebut, mereka sudah
menginjak usia dewasa.
Tabel 3 Jumlah dan Persentase Jenis Kelamin Anak Jalanan di Kota Malang Tahun 2014
No. Jenis Kelamin Frekuensi (f) Persentase (%)
1. Laki-laki 53 77,94
2. Perempuan 15 22,06
Jumlah 68 100
Anak jalanan di Kota Malang sebagian
besar (77,94%) berjenis kelamin laki-laki.
Tingginya persentase anak jalanan laki-laki ini
tidak terlepas dari realita tingginya resiko
bekerja di jalanan bagi anak perempuan.
Proporsi anak jalanan laki-laki masih
mendominasi hampir di setiap kecamatan di
Kota Malang. Seperti halnya dengan anak
jalanan dari Kecamatan Kedungkandang,
Sukun, Klojen, dan Blimbing. Hal tersebut
disebabkan karena anak-anak jalanan,
8. khususnya anak jalanan laki-laki merasa lebih bertanggung jawab terhadap
kehidupan keluarganya.
Tabel 4 Jumlah dan Persentase Tingkat Pendidikan Anak Jalanan di Kota Malang Tahun
2014
No. Tingkat Pendidikan Frekuensi (f) Persentase (%)
1. Tidak Sekolah 6 8,82
2. TK 3 4,41
3. SD 47 69,12
4. SMP 10 14,71
5. SMA/SMK 2 2,94
Jumlah 68 100
Sebagian besar (69,12%) anak
jalanan di Kota Malang memiliki tingkat
pendidikan yang tergolong rendah, yakni
hanya pada tingkat SD. Hal ini
disebabkan karena anak jalanan di Kota
Malang berasal dari keluarga miskin.
Kebanyakan dari mereka putus sekolah.
Anak jalanan dari Kecamatan
Kedungkandang, Sukun, Klojen, dan
Lowokwaru umumnya memiliki tingkat
pendidikan yang cukup bervariasi, dari
mulai tingkat rendah hingga menengah.
Adanya variasi tingkat pendidikan ini
mencerminkan kemampuan anak jalanan dalam menentukan tempat yang strategis
sebagai lokasi bekerja, memahami peraturan, serta menarik simpati orang
terhadapnya. Berbeda dengan empat kecamatan tersebut, anak jalanan dari
Kecamatan Blimbing semuanya hanya berpendidikan sampai tingkat SD.
Tabel 5 Jumlah dan Persentase Jenis Pekerjaan Anak Jalanan di Kota Malang Tahun 2014
No. Jenis Pekerjaan Frekuensi (f) Persentase (%)
1. Pengamen 55 80,88
2. Pengemis 9 13,24
3. Polisi cepek 2 2,94
4. Jual koran 2 2,94
Jumlah 68 100
9. Jenis pekerjaan yang paling banyak
dilakukan oleh anak jalanan yang ada di Kota
Malang yakni sebagai pengamen. Jenis
pekerjaan sebagai pengamen lebih banyak
dipilih karena dianggap lebih mudah
menghasilkan uang dan tidak berat kerjanya.
Seluruh responden yang berasal dari
Kecamatan Klojen, Blimbing, dan
Lowokwaru misalnya berprofesi sebagai
pengamen. Banyaknya fasilitas kota yang
dibangun di kecamatan-kecamatan tersebut,
menjadikan kecamatan-kecamatan tersebut
sebagai pusat keramaian di Kota Malang
Tabel 6 Jumlah dan Persentase Alasan Anak Jalanan di Kota Malang Tahun 2014
No. Alasan Frekuensi (f) Persentase (%)
1. Membantu orang tua 36 52,94
2. Membiayai sekolah sendiri atau saudara 15 22,06
3. Memperoleh penghasilan sendiri 17 25
Jumlah 68 100
Sebesar 52,94% dari keseluruhan
jumlah responden mengaku alasan mereka
menjadi anak jalanan karena ingin
membantu orang tuanya untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Faktor kemiskinan
yang dialami keluarga, mendorong mereka
untuk ikut membantu meringankan beban
orangtuanya. Data anak jalanan yang
berasal dari Kecamatan Kedungkandang,
Sukun, dan Klojen dimana sebagian besar
memutuskan untuk menjadi anak jalanan
dengan alasan ingin membantu orang
tuanya.
10. Tabel 7 Jumlah dan Persentase Jam Kerja Anak Jalanan di Kota Malang Tahun 2014
No. Lama Kerja (jam/hari) Frekuensi (f) Persentase (%)
1. < 6 12 17,65
2. 6 - 8 31 45,59
3. > 8 25 36,76
Jumlah 68 100
Sebagian besar (45,59%) anak
jalanan yang ada di Kota Malang memiliki
jam kerja antara 6 – 8 jam per harinya.
Tingginya persentase anak jalanan pada
kelompok ini karena umumnya mereka
masih memiliki keluarga. Sehingga ketika
penghasilan mereka dirasa sudah cukup
banyak, mereka akan pulang. Sementara
itu, anak jalanan dari Kecamatan Sukun,
Klojen, dan Lowokwaru sebagian besar
memiliki jam kerja 6 – 8 jam per harinya.
Lama kerja anak jalanan ini berkaitan
dengan alasan mereka turun ke jalan.
Tabel 8 Jumlah dan Persentase Kelompok Anak Jalanan di Kota Malang Tahun 2014
No. Kelompok Anak Jalanan Frekuensi (f) Persentase (%)
1. Anak yang hidup di jalanan 16 25
2. Anak jalanan yang bekerja di jalanan 6 7,35
3. Anak yang rentan menjadi anak jalanan 46 67,65
Jumlah 68 100
Sebagian besar (67,65%) anak
jalanan yang ada di Kota Malang termasuk
dalam kelompok anak yang rentan menjadi
anak jalanan. Tingginya kelompok anak
yang rentan menjadi anak jalanan ini bisa
dipahami karena anak jalanan yang ada di
Kota Malang sebagian besar masih
memiliki orang tua dan memiliki hubungan
yang teratur dengan keluarganya. Sebesar
78,72% anak jalanan yang berasal dari
11. Kecamatan Sukun merupakan anak yang rentan menjadi anak jalanan.
Tabel 5.9 Jumlah dan Persentase Pemberdayaan Yang Diminati Anak Jalanan di Kota
Malang Tahun 2014
No. Pemberdayaan Frekuensi (f) Persentase (%)
1. Pelatihan keterampilan otomotif 17 25
2. Pelatihan keterampilan komputer 14 20,59
3. Pelatihan keterampilan pertukangan 11 16,18
4. Pelatihan keterampilan tata boga 7 10,29
5. Pelatihan keterampilan elektro 9 13,24
6. Pelatihan keterampilan tata busana 5 7,35
7. Melanjutkan pendidikan formal (sekolah) 5 7,35
Jumlah 68 100
Pemberdayaan yang paling banyak
diminati oleh anak jalanan yang ada di
Kota Malang yakni pelatihan
keterampilan otomotif dengan persentase
sebesar 25%. Pelatihan otomotif banyak
dipilih karena mereka meyakini adanya
prospek yang cukup bagus dari kegiatan
tersebut. Pelatihan otomotif ini juga
diminati sebagian besar anak jalanan
hampir di setiap kecamatan di Kota
Malang, kecuali anak jalanan dari
Kecamatan Lowokwaru karena semua
anak jalanan yang menjadi responden dari
Kecamatan tersebut berjenis kelamin perempuan.
PEMBAHASAN
Profil Anak Jalanan di Kota Malang
Anak jalanan yang ada di Kota Malang ialah anak-anak dengan usia antara
6 – 21 tahun, berjenis kelamin laki-laki atau perempuan, ditemui bekerja di
jalanan dan tempat-tempat umum yang menjadi pusat keramaian di Kota Malang,
dengan berbagai bentuk kegiatan seperti pengamen, pengemis (peminta-minta),
polisi cepek, dan penjual koran. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Pusdatin
Kesos Departemen Sosial RI dalam Zulfadli (2004).
12. Berbeda dengan definisi anak jalanan yang diungkapkan oleh peneliti,
Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Kota Malang mendefinisikan anak
jalanan sebagai Anak yang tidak punya tempat tinggal, mengalami disorganisasi
keluarga, selalu hidup di jalanan, dan membutuhkan perlindungan. Definisi anak
jalanan tersebut lebih mengarah pada definisi anak yang hidup di jalanan seperti
yang diungkapkan oleh Dinas Sosial Jawa Timur (dalam Budijanto, dkk., 2005:
14). Defnisi anak jalanan menurut Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial
Kota Malang sangat ketat dan hanya diperuntukkan bagi anak yang hidup di
jalanan. Jika definisi ini digunakan, maka banyak anak jalanan di Kota Malang
yang tidak akan tercakup dalam definisi tersebut. Hal ini akan menyebabkan
penanganan anak jalanan menjadi tidak komprehensif dan tuntas. Oleh sebab itu,
definisi anak jalanan yang dipilih haruslah dapat mencakup semua anak yang
hidupnya ada di jalan, sehingga definisi anak jalanan menurut Pusdatin Kesos
Departemen Sosial RI yang dikutip Zulfadli (2004) dipilih untuk mewakili
definisi anak jalanan di Kota Malang.
Setiap anak jalanan yang ada di Kota Malang memiliki ciri-ciri atau
karakteristik yang membedakan antara anak jalanan yang satu dengan yang
lainnya. Anak jalanan yang ada di Kota Malang sebagian besar berusia antara 10 –
13 tahun dengan persentase 38,24%. Jika dilihat dari usianya, maka anak jalanan
yang ada di Kota Malang tergolong dalam usia yang belum produktif. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa banyak anak usia SD dan SMP yang rawan putus sekolah
karena harus bekerja. Kondisi ini berbeda dengan hasil penelitian serupa yang
dilakukan oleh Budijanto, dkk., (2005: 57), yang menyatakan bahwa anak jalanan
yang ada di Kota Malang paling banyak berada pada rentanan usia 13 – 15 tahun,
yakni sebesar 33,33 %. Adanya perbedaan ini mungkin disebabkan karena adanya
perbedaan waktu dimana selang waktu antara peneliti terdahulu dengan penelitian
ini yang relatif cukup lama.
Di Kota Malang, sebanyak 77,94% merupakan anak jalanan yang berjenis
kelamin laki-laki. Hasil penelitian ini semakin memperkuat penelitian terdahulu
(Irwanto, 1993, Asra, 1993, Manurung, 1998, PKPM Unika Atmajaya, Imawan,
1999, Tyanto, 2012 dan Budijanto, dkk., 2005). Kondisi ini cukup beralasan
karena biasanya anak laki-lakilah yang keluar rumah untuk bekerja membantu
13. perekonomian keluarganya. Mereka merasa lebih bertanggung jawab terhadap
kehidupan keluarganya sehingga saat penghasilan orang tuanya tidak mencukupi
kebutuhan dasar, maka mereka memutuskan untuk bekerja.
Anak jalanan yang ada di Kota Malang umumnya memiliki tingkat
pendidikan yang rendah. Sebesar 69,12% hanya berpendidikan SD, dan hanya
2,94% saja yang mempunyai pendidikan hingga tingkat SMA/sederajat. Hasil ini
memperkuat penelitian terdahulu (Budijanto, dkk., 2005 dan Tyanto, 2012) yang
menyatakan bahwa sebagian besar anak jalanan yang ada di Kota Malang hanya
berpendidikan SD. Rendahnya tingkat pendidikan juga mempengaruhi
kemampuan anak jalanan untuk mengenali peraturan pemerintah kota yang
berhubungan dengan aktivitasnya di jalanan dan menghadapi aparat ketertiban
maupun preman-preman kota.
Anak jalanan di Kota Malang sebagian besar bekerja sebagai pengamen
(80,88%). Hasil penelitian ini semakin memperkuat hasil studi Budijanto, dkk.,
(2005: 54), yang mendapatlan fakta bahwa anak jalanan di Kota Malang yang
bekerja sebagai pengamen mencapai 48,33%. Pekerjaan sebagai pengamen lebih
banyak dipilih karena pekerjaan tersebut tidak membutuhkan keterampilan
khusus.
Sebesar 52,94% anak jalanan di Kota Malang mengungkapkan alasan
membantu orang tua paling mempengaruhi keputusan mereka untuk menjadi
anak jalanan. Hasil penelitian ini memperkuat hasil penelitian Budijanto, dkk.,
(2005: 64) yang menyatakan bahwa sebesar 56,30% anak jalanan di Kota Malang
turun ke jalan dengan alasan ingin membantu orang tua untuk membantu
mencukupi kebutuhan keluarga. Faktor kemiskinan yang dialami keluarga,
mendorong mereka untuk ikut membantu meringankan beban orang tuanya.
Anak jalanan di Kota Malang sebagian besar memiliki jam kerja 6 – 8 jam
per harinya. Jika dilihat dari panjangnya jam kerja anak jalanan di Kota Malang,
maka hal tersebut dapat membawa pengaruh buruk bagi anak jalanan. Panjangnya
jam kerja anak jalanan dapat mengganggu perkembangan kognitif karena dapat
menyita waktu belajar mereka.
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, ditemukan fakta bahwa sebagian
besar anak jalanan yang ada di Kota Malang termasuk dalam kelompok anak
14. yang rentan menjadi anak jalanan. Anak yang berada dalam kelompok ini
memiliki persentase sebesar 67,65%. Anak jalanan yang berada pada kelompok
ini umumnya memiliki ciri-ciri, seperti: hubungan yang teratur dengan
keluarganya, tinggal dan tidur di rumah bersama orang tuanya, serta masih
bersekolah.
Pemberdayaan Anak Jalanan di Kota Malang
Anak jalanan yang ada di Kota Malang menginginkan pemberdayaan
berupa pelatihan keterampilan dan melanjutkan pendidikan formal. Sebesar 25%
anak jalanan di Kota Malang menginginkan pelatihan keterampilan otomotif ,
20,59% pelatihan komputer, 16,18% pelatihan pertukangan, 13,24% pelatihan
elektro, 10,29% pelatihan tata boga, dan 7,35% masing-masing untuk pelatihan
keterampilan tata busana dan melanjutkan pendidikan formal.
Hasil penelitian ini sedikit berbeda dengan hasil penelitian terdahulu yang
dilakukan oleh Budijanto, dkk., (2005: 72). Jika pada hasil penelitian terdahulu
ditemukan fakta bahwa jenis pemberdayaan yang diinginkan anak jalanan yang
ada di Kota Malang hanya sebatas pada pelatihan keterampilan, maka dalam
penelitian ini diketahui bahwa ternyata adapula anak jalanan di Kota Malang yang
menginginkan pemberdayaan berupa sarana pendidikan untuk memfasilitasi
mereka agar bisa melanjutkan pendidikan formalnya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Anak jalanan di Kota Malang paling
banyak berada pada golongan usia 10 – 13 tahun, berjenis kelamin laki-laki,
memiliki tingkat pendidikan yang rendah (tingkat pendidikan terakhir yang
ditempuh hanya sampai SD), bekerja sebagai pengamen, beralasan menjadi anak
jalanan karena keinginan untuk membantu orang tua, dan memiliki jam kerja
antara 6 – 8 jam per harinya. Anak jalanan di Kota Malang banyak didominasi
oleh kelompok anak yang rentan menjadi anak jalanan dengan ciri-ciri masih
memiliki hubungan teratur dengan keluarganya, tinggal dengan orang tuanya, dan
sudah putus sekolah atau tidak pernah sekolah. Pemberdayaan yang paling banyak
diminati yakni pelatihan keterampilan otomotif.
15. Saran yang diberikan yaitu: (1) Bagi Pemerintah Kota Malang hendaknya
memberikan sarana pendidikan berupa beasiswa atau memasukkan mereka pada
pendidikan luar sekolah, meningkatkan kualitas pendidikan anak jalanan melalui
kejar paket A dan B, memberikan pemberdayaan bagi orang tua anak jalanan
melalui program kewirausahaan. Dinas Sosial menunjuk mitra kerja dalam upaya
pemberdayan, memberikan pelatihan keterampilan yang lebih variatif sesuai
potensi anak jalanan, dan memberikan sertifikat keikutsertaan pelatihan
keterampilan; (2) Bagi peneliti selanjutnya, disarankan untuk mengambil sampel
anak jalanan dengan jenis pekerjaan yang lebih variatif dan lokasi-lokasi
penelitian yang berbeda. Selain itu, diperlukan pendekatan dan waktu yang lebih
lama, serta wawancara dengan beberapa orang tua anak jalanan agar dapat
mengetahui kondisi dan latar belakang anak memutuskan untuk turun ke jalanan.
DAFTAR RUJUKAN
Astutik, Dwi. 2004. Pengembangan Model Pembinaan Anak Jalanan Melalui
Rumah Singgah di Jawa Timur. Tesis tidak diterbitkan. Surabaya:
Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga.
Budijanto, dkk. 2005. Pemetaan dan Pemberdayaan Anak Jalanan Kota Malang.
Malang: BAPPEKO.
Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia. 1999. Modul
TOT Pemberdayaan Anak Jalanan melalui Rumah Singgah. Jakarta:
Direktorat Jendral Bina Kesejahteraan Sosial.
Siregar, H., Rani, Z., & Suriadi, A. 2008. Faktor Dominan Anak Menjadi Anak
Jalanan di Kota Medan. Jurnal. (Online), (repository.usu.ac.id), diakses 15
Oktober 2013.
Suyanto, Bagong. 2003. Pekerja Anak dan Kelangsungan Pendidikannya.
Surabaya: Airlangga University Press.
Yanti, Oktaviana Dwi. 2012. Cara Bertahan Hidup Anak Jalanan. Skripsi tidak
diterbitkan. Surabaya: Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri Sunan
Ampel.
Zulfadli, 2004. Pemberdayaan Anak Jalanan dan Orangtuanya Melalui Rumah
Singgah (Studi Kasus Rumah Singgah Amar Makruf 1 Kelurahan Pasar
Pandan Air Mati Kecamatan Tanjung Harapan Kota Solok Propinsi
Sumatera Barat. Tesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor.