1. Bila Kita Bersyukur
Grishiella Patricia Liwang
SMA Negeri 1 Kendari
Bila ingin hidup damai di dunia
Bahagialah dengan apa yang kau punya
Walau hatimu merasa
Semua belum sempurna sebenarnya
Kita sudah cukup semuanya
Bila dunia membuatmu kecewa
Karena semua cita-citamu tertunda
Percayalah segalanya
Telah diatur semesta
(Adera – Catatan Kecil)
***
Rabu, 28 Agustus 1996
Usiaku genap enam bulan hari ini. Hari ini tetap dalam dekapan Ibuku, aku
dibawanya kesebuah tempat yang penuh dengan suara tangisan teman-temanku. Tempat
ini memang sudah tidak asing lagi bagiku. Mengingat aku ketempat ini sebulan sekali
untuk mendapatkan vitamin dan suntikan agar aku dapat tumbuh dengan kuat dan sehat.
“Saya minta maaf, Bu.” tiba-tiba Dokter itu mengatakan kata-kata yang biasanya
diucapkan seseorang jika berbuat salah.
“Sebaiknya Ibu segera membawa Raisya ke rumah sakit untuk ditangani medis. Jika
Ibu terus seperti ini, kondisi Raisya akan semakin parah.”
2. “Dokter, saya sudah bilang anak saya tidak kenapa-kenapa. Dokter tahu, kan,
seberapa besar perjuangan saya melahirkan dia. Saya akan berusaha menerima anak saya
apa adanya. Saya mohon, DoSaya Ibunya, saya tahu yang terbaik bagi anak saya sendiri.”
“Sebagai seorang Dokter saya memiliki kewajiban untuk memberi tahu mengenai
kesehatan anak Ibu. Sebagai pasien saya, Raisya harus segera diberi pertolongan lanjut.
Nyawa anak Ibu sungguh dapat terancam bila Ibu terus seperti ini.”
“Sudah! Saya kesini bukan mendengar ceramah kamu. Permisi.”
Sembari meninggalkan tempat prakter Dokter tersebut, kurasakan tubuhku
terguncang akibat Ibuku yang berjalan dengan sangat cepat meninggalkan tempat ini. Aku
tidak mengetahui apa yang mereka baru saja perbincangkan, tapi kurasa itu bukan hal
yang baik.
***
Selasa, 21 Juni 2005
Suara deru mobil yang asing terdengar masuk kedalam halaman rumahku. Samar-
samar aku mendengar deru tersebut perlahan berhenti disusul dengan pengemudinya
yang keluar dari mobil tersebut. Sosok tersebut tidak begitu kulihat dengan baik, hanya
terlihat olehku tinggi, rambut hitamnya yang panjang, dan memakai kemeja putih. Aku
yang tengah duduk diberanda didekatinya dan ia tersenyum padaku.
“Ah, silahkan masuk Bu Yemima. Ibu datangnya lebih awal saya tadi lagi memasak
di dapur. Silahkan.” Ibuku membawaku masuk ke ruang tamu dan duduk berdampingan
bersama bu Yemima, guru les pianoku yang baru.
3. “Ayo, Raisya. Kita mulai, ya.” Bu Yemima perlahan meletakkan jariku di atas tuts
piano tersebut. Namun, dengan segala kekuatanku, kulepaskan tanganku yang digenggam
olehnya.
“Raisya, kenapa? Ayo, coba lagi. Kita akan latihan perlahan-lahan.”
“Ti… dak. Aku tidak mau.” Kataku singkat dan wajahku kupalingkan darinya.
Bu Yemima tersenyum lembut, “Tidak apa-apa sayang. Kita bisa coba lagi, jangan
menyerah, ya? Harus semangat!”
Aku sungguh menyerah dihari pertama aku berlatih piano saat itu. Sejujurnya, aku
sangat menikmati alunan musik piano klasik karya para maestro terkenal. Namun, rasanya
tidak pernah adil bagiku menjadi seperti ini. Terdiam terpaku tanpa bisa melakukan apa-
apa.
***
Senin, 13 Juli 2009
Alunan demi alunan tuts piano kumainkan dengan mahir diatas sebuah piano
dalam pertunjukan resital sebuah akademi piano di kota kelahiranku. Dentuman nada
Canon in D Major mahakarya Johann Pachelbel menggema diseluruh penjuru ruangan
resital ini. Empat tahun sudah aku berlatih piano bersama Bu Yemima. Banyak keadaan
yang membuatku mundur ditengah jalan. Akan tetapi, Bu Yemima, terutama Ibuku sendiri
selalu menyemangatiku. Jari-jariku bahkan tidak cukup menghitung seberapa banyaknya
kata menyerah yang aku serukan dalam hati, kutukan untuk diriku atau pada Ibuku dan Bu
Yemima yang terus menyemangatiku layaknya omong kosong belaka. Entah sudah berapa
ribuan kali aku menitikkan air mata dalam keheningan, menyesali bahwa aku tidak bisa
4. melanjutkannya lagi dengan keadaanku seperti ini. Menderita down syndrome sejak
dalam kandungan. Malfungsi yang terjadi pada seluruh organ tubuhku. Singkat katanya
aku bisa mati kapan saja dan dimana saja.
Akhirnya, tanganku yang cukup terlatih ini kumainkan dengan baik diatas piano ini,
membuat alunan musik indah karya maestro favoritku yang cerdas dan terampil, Johann
Pachelbel.
Tepuk tangan meriah dari para hadirin yang menyaksikan penampilanku membuat
jantungku bergedup kencang. Senyum, anggukan tanda apresiasi, dan acungan jempol
tertuju padaku yang hanya bisa terduduk di sebuah kursi roda. Terlihat Bu Yemima dan
Ibuku yang menangis melihat penampilanku. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku
akhirnya menitikkan air mata kebahagiaan. Kebahagiaan bahwa banyaknya keputus
asaanku ini terbayar sudah selama 4 tahun ini. Empat tahun lamanya aku berlatih untuk
resital ini, ya, dibutuhkan empat tahun untukku agar dapat memainkan Canon in D Major
dengan baik. Aku sendiri merasa bahagia hari ini, sebagai seorang penyandang down
syndrome, pencapaian seperti inilah yang membuatku sadar bahwa tiap-tiap kehidupan
itu berarti. Hingga tepukkan dan sorakan meriah berakhir saat ini, aku sendiri akhirnya
mengerti, mengapa Tuhan menciptakan aku seperti ini. Tuhan tidak akan membuatku
menjadi seorang penyandang disabilitas tanpa adanya rencana besar yang telah Dia
siapkan untukku. Menjadi seorang yang cacat fisik bukan berarti kita harus berhenti
bermimpi, berusaha, menjadi apa yang kita inginkan.
Aku menatap Ibuku, menitikkan air mata tanpa henti saat melihat wajahnya yang
penuh dengan kerutan akan kasih sayang yang bahkan tidak beliau hiraukan karena sibuk
mengurusku. Terjaga sepanjang malam ketika aku meringis kesakitan, meninggalkan
pekerjaannya hanya untuk menghiburku ketika aku sedang sedih, dan selalu
5. menyemangatiku tanpa sekalipun berhenti walaupun aku merasa bahwa hidupku sudah
berada di titik terbawah kehidupanku.
***
Minggu, 19 Juni 2016
“Aku tidak akan bisa sampai disini, menceritakan kisah hidupku pada pemirsa
sekalian jika tidak ada sosok Ibu dan Kakakku yang selalu menyemangatiku disaat-saat
terburuk hidupku. Ayahku meninggal saat aku baru berumur 1 bulan, tidak bisa
dibayangkan bagaimana pedihnya seorang Istri yang kehilangan suaminya dan memiliki
anak sepertiku disat yang bersamaan. Aku sungguh bersyukur dapat hidup didunia ini,
semuanya karena Ibuku yang sangat menyayangiku.”
“Sampai sekarang aku juga masih rutin menyelenggarakan resital dimana seluruh
pendapatannya disumbangkan untuk teman-temanku semua yang sama-sama berjuang
untuk membuktikan bahwa down syndrome adalah suatu hal yang patut dibanggakan,
bukan dilecehkan atau direndahkan.”
Penonton yang memadati acara talkshow inspiratif disalah satu stasiun TV swasta
di Indonesia ini mmberikan tepuk tangan meriah untukku. Aku tersenyum dan melihat Ibu
serta Bu Yemima guru pianoku hingga saat ini.
Seketika aku menerawang ke ingatanku 5 tahun silam itu, cerita awal kehidupanku
yang sebenarnya, meniti setiap bilur ingatan yang cukup membuatku marah sekaligus
bersyukur itu. “Bila seandainya aku ditolong pada saat dokter itu memberitahu bahwa
kondisiku sedang dalam keadaan gawat, aku mungkin sudah tidak ada didunia lagi.”
“Ibuku mengatakan, bahwa seandainya beliau mengikuti perkataan dokter
tersebut, maka aku akan selalu menyandang status bayi atau anak penyakitan. Beliau akan
menjadi tidak tenang, membawaku bolak-balik ke rumah sakit, mendapat perawatan
6. berat bagi tubuhku yang sangat rentan itu. Akhirnya, Ibuku hanya ingin berpikir positif
agar beliau sendiri mampu menjalani hari-harinya tanpa ada bayangan aku dapat mati
kapan saja. Dan terus menganggap aku adalah anak normal yang ceria dan cantik. “ Aku
menoleh ke tempat Ibuku duduk, tersenyum padanya.
“Semuanya terjadi karena tangan Tuhan yang bekerja melalui Ibuku. Hanya
beliaulah yang aku punya.”
“Aku rasa, beginilah hidupku harus berjalan. Aku tidak bisa memilih aku terlahir
normal atau tidak, dilahirkan oleh siapa, atau tumbuh dalam keluarga kaya raya atau pas-
pasan. Takdir sudah menentukan kemana arah kita melangkah selanjutnya. Kitapun
semua tidak ada yang mengetahuinya.”
“Selain itu, aku bersyukur bahwa aku dilahirkan oleh Ibuku yang luar biasa.
Seorang single parent yang hebat dan begitu menakjubkan. Aku yakin, tanpa beliau yang
ada menuntunku, aku pasti bukan siapa-siapa. Tanpa keluargaku satu-satunya yang selalu
ada bagiku, aku akan selalu lemah dan tidak memiliki harapan hidup lagi.”
Aku menutup jawabanku dengan mantap, “Seperti lirik lagu ini: bila ingin hidup
damai di dunia, bahagialah dengan apa yang kau punya. Percayalah semua telah diatur
oleh semesta. Aku harus bahagia dengan apapun yang kupunya, segala kekurangan ini
yang telah diatur oleh Sang Pencipta, aku belajar mensyukurinya agar aku dapat hidup
dengan damai di dunia ini tanpa ada ada perasaan yang minder atau terpojokkan.”
“Sekali lagi, semuanya ini sudah diatur oleh takdir. Hidup ditengah-tengah
keluargaku yang istimewa. Aku menyanyangimu, Bu. Terima kasih atas perjuanganmu
selama ini.”
***