SlideShare a Scribd company logo
1 of 3
TERUNTUK DIKAU 
(Oleh : Dian Iffani Iffatur Rizki) 
Gema lantunan ayat yang mulia terdengar dari segala penjuru. Ayat yang dibacakan meliuk-liuk pilu nubuha air 
yang mengalir dari hulu ke hilir. Kemerduan nadanya lebih merdu dari gesekan biola yang merengek pilu di senja hari. 
Sungguh, sangat indah sekali. Tak ada bacaan yang indah selain lantunan ayat itu. Dialah AL-QUR’ANUL KARIM. 
Aku adalah salah satu santriwati penghafal qur’an di pondok ini. Di pondok tercintaa ini, aku merasakan seribu 
satu kesulitan dalam menghafal qur’an. Namun akhirnya, berkat kerja keras dan jerih payahku bersama Ustadzah 
Irodhatul Bayyinah, aku mampu menghafal enam ribu enam ratus enam puluh enam ayat dalam qur’an atau setara 
dengan tiga puluh juz. Aku sangat bahagia dan lega sekali. “DARUL QUR’AN” inilah nama pondok tercinta. 
Panggil saja diriku Dalila. Aku memiliki nama lengkap “Dalila Kalamillah” yang artinya “Dalil Firman Allah”. 
Diriku terlahir dari golongan orang yang tak mampu. Aku dapat mondok di sini lantaran, aku senantiasa mengikuti 
perlombaan hafalan qur’an. Maka dari itu, yayasan pondok pesantren DARUL QUR’AN memberikan beasiswa padaku. 
Jadi, kedua orang tuaku merasa bahagia dan bangga padaku. Dan memang itulah tujuanku, untuk membahagiakan dan 
membuat orang tua bangga padaku. 
Usai memfasihkan bacaan qur’anku. Tiba-tiba ada panggilan dari Bu Nyai pemilik pondok pesantren ini, yaitu 
Bu Nyai Izza Afkharina. Segera kumemenuhi panggilannya. 
“Assalamu’alaikum”. Bersimpuh dihadapan Bu Nyai. 
“Wa’alaikumsalam. Dalila, baru saja ada telfon dari Ibumu. Katanya ada musibah yang tengah menimpa. 
Diharapkan kau saat ini pulang. Bu Nyai mengizinkanmu nak”. 
“Baiklah, terima kasih. Assalamu’alaikum”. 
Aku segera kembali ke kamar pondok untuk mengemasi barang-barangku guna kembali pulang kerumah 
tercinta. Akan tetapi persaanku sungguh tak enak, lantaran aku amat penasaran dan takut. Sebenarnya musibah apa yang 
sedang menimpaku. Ya Allah, lapangkanlah dadaku, kuatkanlah imanku dan tetapkanlah kesabaranku jika aku telah 
mengetahui apa sebenarnya musibah yang tengah mendera. 
“Shafa, Marwah, dan Annisa. Jaga diri kalian baik-baik ya? Aku akan pulang dulu. Katanya ada musibah yang 
sedang terjadi”. 
“Musibah apa?”. Tanya Marwah. 
“Entahlah, aku tidak tahu. Doakan semoga aku tabah meng hadapinya”. 
“Doa kami senantiasa menyertai langkahmu Dalila”. 
“Terima kasih teman. Baiklah, aku pergi dulu. Assalamu’alaikum”. 
“Wa’laikumsalam”. Ucap mereka serempak. 
Aku segera pergi meninggalkan pondok. Sembari menunggu bus datang, aku mentashih hafalan qur’anku yang 
bagian juz dua puluh lima. Bus datangnya lama sekali, sampai tashihanku mencapai lima halaman. Setelah itu, barulah 
bus datang. 
Untunglah suasana di dalam bus tidak terlalu pengap dan penumpangnya tak terlalu penuh. Jadi, aku bisa 
sedikit relaks. Masih terngiang-ngiang perasaan tak enak dalam hati. Sekilas tiba-tiba dalam qolbun teringat Ayah 
tercinta. 
“Ayah.....”. desahku. 
Bus terus melaju dengan kecepatan tinggi. Semakin lama perasaanku semakin tak karuan. Aku benar-benar 
memikirkan Ayah. Yaa Allah, sebenarnya musibah apa yang tengah menimpa?. 
Tak dirasa, setelah cukup lama menaiki bus, akhirnya aku sampai. Rumahku memang dekat dengan jalan raya. 
Maka dari itu, bus langsung berhenti tepat di depan rumahku. Aku menginjakkan kaki di tanah tercinta. Tempat 
kelahiranku. Begitu masuk dan mengucapkan salam, aku terperanjat melihat keadaan rumah yang sangat ramai didatangi 
banyak orang. 
“Ada apa ini!”. Teriakku. 
Ibu datang menghampiriku dengan mata merah yang lembab. 
“Ibu, ada apa ini? Dan siapa yang tengah dibaringkan di atas dipan itu?”.
“I...i....itu Ayahmu nak. Ayahmu telah berpulang ke Rahmatullah”. Jelas Ibu. 
“Tidak! Ibu bohong! Itu pasti bukan Ayah!”. 
Aku berlari menuju kearah seorang jenazah yang di letakkan diatas dipan. Kubuka perlahan kain putih yang 
menutupi wajahnya. Tangisku semakin memecah suasana. 
“Ayah...Ayah! kenapa Ayah begitu cepat meninggalkanku. Aku masih sayang pada Ayah !. Yaa Allah, inikah 
cobaan yang Engkau berikan? Begitu berat dan d iluar batas kemampuanku!”. 
“Dalila! Jangan kau lontarkan perkataan demikian. Dalila, kau ini sudah hafal qur’an tiga puluh juz. Di dalam 
qur’an, ada sebuah ayat yang menyatakan “latuk allafu nafsun illa wus’aha”. Jadi, Allah itu tidak akan menguji seorang 
hamba diluar batas kemampuannya!. Camkan iti baik-baik. Nak, Ibu juga merasa kehilangan. Tidak hanya kamu saja. Ini 
sudah menjadi takdir Allah. Kita harus menerimanya dengan lapang dada. Dan janganlah terlalu meratap. Kau pasti 
tahu maksud Ibu”. Nasihat Ibu. 
Aku mengangguk paham. Kini, aku akan mencoba lebih bersabar, karena “Innallaha ma’ashobirin” Allah 
senantiasa bersama orang-orang yang sabar. Jika aku bersabar, aku yakin, pasti Allah senantiasa menyertaiku. 
Kalimah tahlil terus terucap di sepanjang jalannan hingga sampai ke pemakaman. Air mataku tiada henti 
membasahi kedua pipiku. Sampailah kami semua di pemakaman. Jenazah Ayah di masukkan ke dalam liang lahat. Aku 
sungguh tak percaya bahwa yang dimasukkan kedalam kubur tersebut adalah jasad Ayah tercinta. Seorang Ayah yang 
paling hebat diantara ribuan Ayah yang paling hebat di segala penjuru dunia. Perlahan-lahan, gundukan tanah menutup 
jasad Ayah yang telah terbungkus oleh putihnya kain kafan 
“Allahummafirlahu warhamhu wa’afihi wa’fuanhu. Allahumma latahrimna ajrohu walataftinna ba’dahu 
wagfirlana walahu”. 
Usai memanjatkan doa, semua orang pergi meninggalakan pemakaman. Hanya tinggal aku dan Ibu saja yang 
masih berada di pemakaman. 
“Nak, sabarlah. Mungkin ini sudah menjadi yang terbaik untuk kita”. 
“Iya bu. Ibuku sayang, bukankah hari in i adalah hari ulang tahun Ibu?”. Aku mengingatkan. 
Ibu terdiam sejenak. 
“Oh iya, Ibu lupa. Ibu terlalu bersedih dengan kepergian Ayahmu nak. Seharusnya, di hari yang bahagia ini kita 
berkumpul bersama. Akan tetapi, Allah berkata lain, di hari ini, Ia memanggil Ayahmu”. 
“Bu, aku yakin Ayah telah tenang di alam sana. Ibu, aku punya hadiah special untuk ibu. Anggap saja ini 
hadiah untuk ulang tahun Ibu. Hadiah ini jarang sekali diberikan oleh seorang anak kepada Ibunya”. 
“Hadiah apa itu sayang?”. 
“Hadiah yang sederhana. Hafalan juz tiga puluhku untuk ibu”. 
“Subhanallah, kau ingin memberikan hadiah agung itu untuk saat ini juga?”. 
“Iya Ibu. Aku ingin membacakannya dihadapan ibu secara langsung dan disamping makam Ayah. Aku yakin, 
di Alam Barzakh sana, Ayah mandengarkan ayat yang kubaca”. Ungkapku. 
Ibu mengeluarkan mushaf kecil dan segera menyimak bacaanku. Aku meyenandungkan ayat suci itu dengan 
nada yang indah nan hati yang tulus karena Allah. Kapan lagi kalau tak saat ini. Hari dimana Ibu berulang tahun dan 
hari dimana Ayah telah melihat tempat tujuannya. Semoga surga. Amin. Aku terus membaca hingga air mata keluar dari 
sudut mataku. Tiga puluh juz, kuhabiskan dalam waktu saru hari. Mulai pagi hingga beranjak sore. Diawali mulai surah 
pertama dalam qur’an atau ummul qur’an, hingga surah terakhir, yaitu surah An -Naas. 
“Shodaqollahul’adzim”. 
“Allahurobbul alamin”. 
“Bagaimana Bu?”. 
“Indah! Indah sekali anakku. Bacaanmu tak ada yang salah. Ibu bangga dan sayang padamu. Pertahankanlah 
hafalanmu. Karena dengan engkau hafal qur’an, kelak di akhirat kau kan mendapat surga pada tingkat enam ribu enam 
ratus enam puluh enam. Ayah dan Ibu juga akan dijamin masuk surga dan menggunakan mahkota yang terangnya 
melebihi terangnya sinar matahari. Terima kasih anakku”. Jelas Ibu panjang lebar.
“Iya Ibu. Ini adalah hadiah paling langka yang pernah daku berikan pada dikau. Selamat ulang tahun Ibu”. 
Mencium kening Ibu. 
Kami berpelukan dengan eratnya. Tiba-tiba, Ibu batuk yang dimana batuknya mengeluarkan darah. Ibu merasa 
kesakitan sembari memegangi dadanya. 
“Ibu, ada apa dengan Ibu? Apa yang terjadi?”. Ucapku panik. 
“Dada Ibu sakit sekali nak. Rasanya Ibu sudah tak sanggup untuk hidup”. 
“Ibu! jangan bicara seperti itu. Ibu pasti kuat, bertahanlah Bu!”. 
“Jika ajal telah datang menjemput, Ibu tidak bisa mengelakkan lagi. Mau tak mau hari ini juga Ibu harus 
meninggalkan alam yang fana ini. Nak, jaga dirimu baik-baik. Ibu sayang padamu. Hafalkan terus qur’an agar engkau 
mendapat derajat yang tinggi dihadapan Allah. Sekali lagi, terima kasih anakku. Ass...as..ashadualla..illa....ilaha 
illallah...washaduanna muhamadarrosulullah”. Memejamkan mata untuk selamanya. Dan jatuh tepat diatas makam 
Ayah. 
“Ibu! Jangan tinggalkan aku! Aku sayang pada Ibu! Ayah telah tiada. Kenapa sekarang Ibu harus menjemput 
Ayah? Aku masih butuh kasih sayang dari Ibu dan Ayah! Yaa Allah, mengapa cobaan yang kau berikan begitu berat. 
Tabahkanlah hatiku”. Menangis terisak. 
Aku mencium kening Ibu. Kini, aku telah menjadi anak yatim piatu. Berat sekali ujian ini. Hafalanku tiga puluh 
juz tadi, untuk Ibu dan Ayah. Semoga Allah mendengarnya dan memberikan rahmat kepada Ibu, Ayah dan aku. 
“Innalillahi wainna ilaihi roji’un. Selamat tingal ibu tercintaku. Semoga Ibu dan Ayah di letakkan di sisi allah 
yang mulia. Dan aku yakin, kelak aku akan menyusulmu. Amin allahumma amin”. 
***

More Related Content

What's hot (14)

Mentari mulai terbit
Mentari mulai terbitMentari mulai terbit
Mentari mulai terbit
 
Mentari mulai terbi1
Mentari mulai terbi1Mentari mulai terbi1
Mentari mulai terbi1
 
Blind Date
Blind DateBlind Date
Blind Date
 
Cerpen akhir sebuah penantian
Cerpen akhir sebuah penantianCerpen akhir sebuah penantian
Cerpen akhir sebuah penantian
 
BUAH AMAL SHOLEH
BUAH AMAL SHOLEHBUAH AMAL SHOLEH
BUAH AMAL SHOLEH
 
Detik terakhir kehidupan rasulullah
Detik terakhir kehidupan rasulullahDetik terakhir kehidupan rasulullah
Detik terakhir kehidupan rasulullah
 
Bidadari Untuk Ikhwan
Bidadari Untuk IkhwanBidadari Untuk Ikhwan
Bidadari Untuk Ikhwan
 
Impian Keabadian (Cerpen karya Satrio Arismunandar)
Impian Keabadian (Cerpen karya Satrio Arismunandar)Impian Keabadian (Cerpen karya Satrio Arismunandar)
Impian Keabadian (Cerpen karya Satrio Arismunandar)
 
Lirik lagu
Lirik laguLirik lagu
Lirik lagu
 
Sayap malaikat (hamzah puadi ilyas)
Sayap malaikat (hamzah puadi ilyas)Sayap malaikat (hamzah puadi ilyas)
Sayap malaikat (hamzah puadi ilyas)
 
Naskah drama religi dan percintaan
Naskah drama religi dan percintaanNaskah drama religi dan percintaan
Naskah drama religi dan percintaan
 
Cerpen "Meraih Mimpi"
Cerpen "Meraih Mimpi"Cerpen "Meraih Mimpi"
Cerpen "Meraih Mimpi"
 
Ilusi musim gugur (nugroho sukmanto)
Ilusi musim gugur (nugroho sukmanto)Ilusi musim gugur (nugroho sukmanto)
Ilusi musim gugur (nugroho sukmanto)
 
Doa emak untuk asa
Doa emak untuk asaDoa emak untuk asa
Doa emak untuk asa
 

Similar to Kisah Haru Dalila Yatim Piatu

Similar to Kisah Haru Dalila Yatim Piatu (20)

Mutiara Air Mata.docx
Mutiara Air Mata.docxMutiara Air Mata.docx
Mutiara Air Mata.docx
 
Menyambung cerita
Menyambung ceritaMenyambung cerita
Menyambung cerita
 
Ghost Mother.docx
Ghost Mother.docxGhost Mother.docx
Ghost Mother.docx
 
cerpen karangan sendiri
cerpen karangan sendiricerpen karangan sendiri
cerpen karangan sendiri
 
Struktur Cerpen Perjalanan Terindah By Zulfa Fadila
Struktur Cerpen Perjalanan Terindah By Zulfa FadilaStruktur Cerpen Perjalanan Terindah By Zulfa Fadila
Struktur Cerpen Perjalanan Terindah By Zulfa Fadila
 
Mentari mulai terbit
Mentari mulai terbitMentari mulai terbit
Mentari mulai terbit
 
Mentari mulai terbit
Mentari mulai terbitMentari mulai terbit
Mentari mulai terbit
 
Mentari mulai terbit
Mentari mulai terbitMentari mulai terbit
Mentari mulai terbit
 
Ya allah
Ya allahYa allah
Ya allah
 
Cerpen-Hal Tak Terduga
Cerpen-Hal Tak TerdugaCerpen-Hal Tak Terduga
Cerpen-Hal Tak Terduga
 
Cerpen kasih salina
Cerpen  kasih salinaCerpen  kasih salina
Cerpen kasih salina
 
Sahabat dari dunia lain
Sahabat dari dunia lainSahabat dari dunia lain
Sahabat dari dunia lain
 
Mentari mulai terbi1
Mentari mulai terbi1Mentari mulai terbi1
Mentari mulai terbi1
 
Jangan Menangis, Mama
Jangan Menangis, MamaJangan Menangis, Mama
Jangan Menangis, Mama
 
mama please dont cry
mama please dont crymama please dont cry
mama please dont cry
 
Jangan Menangis, Mama...
Jangan Menangis, Mama...Jangan Menangis, Mama...
Jangan Menangis, Mama...
 
Kliping cerpen
Kliping cerpenKliping cerpen
Kliping cerpen
 
Post 1
Post 1Post 1
Post 1
 
Jangan menangis mama
Jangan menangis mamaJangan menangis mama
Jangan menangis mama
 
Cerpen
CerpenCerpen
Cerpen
 

Kisah Haru Dalila Yatim Piatu

  • 1. TERUNTUK DIKAU (Oleh : Dian Iffani Iffatur Rizki) Gema lantunan ayat yang mulia terdengar dari segala penjuru. Ayat yang dibacakan meliuk-liuk pilu nubuha air yang mengalir dari hulu ke hilir. Kemerduan nadanya lebih merdu dari gesekan biola yang merengek pilu di senja hari. Sungguh, sangat indah sekali. Tak ada bacaan yang indah selain lantunan ayat itu. Dialah AL-QUR’ANUL KARIM. Aku adalah salah satu santriwati penghafal qur’an di pondok ini. Di pondok tercintaa ini, aku merasakan seribu satu kesulitan dalam menghafal qur’an. Namun akhirnya, berkat kerja keras dan jerih payahku bersama Ustadzah Irodhatul Bayyinah, aku mampu menghafal enam ribu enam ratus enam puluh enam ayat dalam qur’an atau setara dengan tiga puluh juz. Aku sangat bahagia dan lega sekali. “DARUL QUR’AN” inilah nama pondok tercinta. Panggil saja diriku Dalila. Aku memiliki nama lengkap “Dalila Kalamillah” yang artinya “Dalil Firman Allah”. Diriku terlahir dari golongan orang yang tak mampu. Aku dapat mondok di sini lantaran, aku senantiasa mengikuti perlombaan hafalan qur’an. Maka dari itu, yayasan pondok pesantren DARUL QUR’AN memberikan beasiswa padaku. Jadi, kedua orang tuaku merasa bahagia dan bangga padaku. Dan memang itulah tujuanku, untuk membahagiakan dan membuat orang tua bangga padaku. Usai memfasihkan bacaan qur’anku. Tiba-tiba ada panggilan dari Bu Nyai pemilik pondok pesantren ini, yaitu Bu Nyai Izza Afkharina. Segera kumemenuhi panggilannya. “Assalamu’alaikum”. Bersimpuh dihadapan Bu Nyai. “Wa’alaikumsalam. Dalila, baru saja ada telfon dari Ibumu. Katanya ada musibah yang tengah menimpa. Diharapkan kau saat ini pulang. Bu Nyai mengizinkanmu nak”. “Baiklah, terima kasih. Assalamu’alaikum”. Aku segera kembali ke kamar pondok untuk mengemasi barang-barangku guna kembali pulang kerumah tercinta. Akan tetapi persaanku sungguh tak enak, lantaran aku amat penasaran dan takut. Sebenarnya musibah apa yang sedang menimpaku. Ya Allah, lapangkanlah dadaku, kuatkanlah imanku dan tetapkanlah kesabaranku jika aku telah mengetahui apa sebenarnya musibah yang tengah mendera. “Shafa, Marwah, dan Annisa. Jaga diri kalian baik-baik ya? Aku akan pulang dulu. Katanya ada musibah yang sedang terjadi”. “Musibah apa?”. Tanya Marwah. “Entahlah, aku tidak tahu. Doakan semoga aku tabah meng hadapinya”. “Doa kami senantiasa menyertai langkahmu Dalila”. “Terima kasih teman. Baiklah, aku pergi dulu. Assalamu’alaikum”. “Wa’laikumsalam”. Ucap mereka serempak. Aku segera pergi meninggalkan pondok. Sembari menunggu bus datang, aku mentashih hafalan qur’anku yang bagian juz dua puluh lima. Bus datangnya lama sekali, sampai tashihanku mencapai lima halaman. Setelah itu, barulah bus datang. Untunglah suasana di dalam bus tidak terlalu pengap dan penumpangnya tak terlalu penuh. Jadi, aku bisa sedikit relaks. Masih terngiang-ngiang perasaan tak enak dalam hati. Sekilas tiba-tiba dalam qolbun teringat Ayah tercinta. “Ayah.....”. desahku. Bus terus melaju dengan kecepatan tinggi. Semakin lama perasaanku semakin tak karuan. Aku benar-benar memikirkan Ayah. Yaa Allah, sebenarnya musibah apa yang tengah menimpa?. Tak dirasa, setelah cukup lama menaiki bus, akhirnya aku sampai. Rumahku memang dekat dengan jalan raya. Maka dari itu, bus langsung berhenti tepat di depan rumahku. Aku menginjakkan kaki di tanah tercinta. Tempat kelahiranku. Begitu masuk dan mengucapkan salam, aku terperanjat melihat keadaan rumah yang sangat ramai didatangi banyak orang. “Ada apa ini!”. Teriakku. Ibu datang menghampiriku dengan mata merah yang lembab. “Ibu, ada apa ini? Dan siapa yang tengah dibaringkan di atas dipan itu?”.
  • 2. “I...i....itu Ayahmu nak. Ayahmu telah berpulang ke Rahmatullah”. Jelas Ibu. “Tidak! Ibu bohong! Itu pasti bukan Ayah!”. Aku berlari menuju kearah seorang jenazah yang di letakkan diatas dipan. Kubuka perlahan kain putih yang menutupi wajahnya. Tangisku semakin memecah suasana. “Ayah...Ayah! kenapa Ayah begitu cepat meninggalkanku. Aku masih sayang pada Ayah !. Yaa Allah, inikah cobaan yang Engkau berikan? Begitu berat dan d iluar batas kemampuanku!”. “Dalila! Jangan kau lontarkan perkataan demikian. Dalila, kau ini sudah hafal qur’an tiga puluh juz. Di dalam qur’an, ada sebuah ayat yang menyatakan “latuk allafu nafsun illa wus’aha”. Jadi, Allah itu tidak akan menguji seorang hamba diluar batas kemampuannya!. Camkan iti baik-baik. Nak, Ibu juga merasa kehilangan. Tidak hanya kamu saja. Ini sudah menjadi takdir Allah. Kita harus menerimanya dengan lapang dada. Dan janganlah terlalu meratap. Kau pasti tahu maksud Ibu”. Nasihat Ibu. Aku mengangguk paham. Kini, aku akan mencoba lebih bersabar, karena “Innallaha ma’ashobirin” Allah senantiasa bersama orang-orang yang sabar. Jika aku bersabar, aku yakin, pasti Allah senantiasa menyertaiku. Kalimah tahlil terus terucap di sepanjang jalannan hingga sampai ke pemakaman. Air mataku tiada henti membasahi kedua pipiku. Sampailah kami semua di pemakaman. Jenazah Ayah di masukkan ke dalam liang lahat. Aku sungguh tak percaya bahwa yang dimasukkan kedalam kubur tersebut adalah jasad Ayah tercinta. Seorang Ayah yang paling hebat diantara ribuan Ayah yang paling hebat di segala penjuru dunia. Perlahan-lahan, gundukan tanah menutup jasad Ayah yang telah terbungkus oleh putihnya kain kafan “Allahummafirlahu warhamhu wa’afihi wa’fuanhu. Allahumma latahrimna ajrohu walataftinna ba’dahu wagfirlana walahu”. Usai memanjatkan doa, semua orang pergi meninggalakan pemakaman. Hanya tinggal aku dan Ibu saja yang masih berada di pemakaman. “Nak, sabarlah. Mungkin ini sudah menjadi yang terbaik untuk kita”. “Iya bu. Ibuku sayang, bukankah hari in i adalah hari ulang tahun Ibu?”. Aku mengingatkan. Ibu terdiam sejenak. “Oh iya, Ibu lupa. Ibu terlalu bersedih dengan kepergian Ayahmu nak. Seharusnya, di hari yang bahagia ini kita berkumpul bersama. Akan tetapi, Allah berkata lain, di hari ini, Ia memanggil Ayahmu”. “Bu, aku yakin Ayah telah tenang di alam sana. Ibu, aku punya hadiah special untuk ibu. Anggap saja ini hadiah untuk ulang tahun Ibu. Hadiah ini jarang sekali diberikan oleh seorang anak kepada Ibunya”. “Hadiah apa itu sayang?”. “Hadiah yang sederhana. Hafalan juz tiga puluhku untuk ibu”. “Subhanallah, kau ingin memberikan hadiah agung itu untuk saat ini juga?”. “Iya Ibu. Aku ingin membacakannya dihadapan ibu secara langsung dan disamping makam Ayah. Aku yakin, di Alam Barzakh sana, Ayah mandengarkan ayat yang kubaca”. Ungkapku. Ibu mengeluarkan mushaf kecil dan segera menyimak bacaanku. Aku meyenandungkan ayat suci itu dengan nada yang indah nan hati yang tulus karena Allah. Kapan lagi kalau tak saat ini. Hari dimana Ibu berulang tahun dan hari dimana Ayah telah melihat tempat tujuannya. Semoga surga. Amin. Aku terus membaca hingga air mata keluar dari sudut mataku. Tiga puluh juz, kuhabiskan dalam waktu saru hari. Mulai pagi hingga beranjak sore. Diawali mulai surah pertama dalam qur’an atau ummul qur’an, hingga surah terakhir, yaitu surah An -Naas. “Shodaqollahul’adzim”. “Allahurobbul alamin”. “Bagaimana Bu?”. “Indah! Indah sekali anakku. Bacaanmu tak ada yang salah. Ibu bangga dan sayang padamu. Pertahankanlah hafalanmu. Karena dengan engkau hafal qur’an, kelak di akhirat kau kan mendapat surga pada tingkat enam ribu enam ratus enam puluh enam. Ayah dan Ibu juga akan dijamin masuk surga dan menggunakan mahkota yang terangnya melebihi terangnya sinar matahari. Terima kasih anakku”. Jelas Ibu panjang lebar.
  • 3. “Iya Ibu. Ini adalah hadiah paling langka yang pernah daku berikan pada dikau. Selamat ulang tahun Ibu”. Mencium kening Ibu. Kami berpelukan dengan eratnya. Tiba-tiba, Ibu batuk yang dimana batuknya mengeluarkan darah. Ibu merasa kesakitan sembari memegangi dadanya. “Ibu, ada apa dengan Ibu? Apa yang terjadi?”. Ucapku panik. “Dada Ibu sakit sekali nak. Rasanya Ibu sudah tak sanggup untuk hidup”. “Ibu! jangan bicara seperti itu. Ibu pasti kuat, bertahanlah Bu!”. “Jika ajal telah datang menjemput, Ibu tidak bisa mengelakkan lagi. Mau tak mau hari ini juga Ibu harus meninggalkan alam yang fana ini. Nak, jaga dirimu baik-baik. Ibu sayang padamu. Hafalkan terus qur’an agar engkau mendapat derajat yang tinggi dihadapan Allah. Sekali lagi, terima kasih anakku. Ass...as..ashadualla..illa....ilaha illallah...washaduanna muhamadarrosulullah”. Memejamkan mata untuk selamanya. Dan jatuh tepat diatas makam Ayah. “Ibu! Jangan tinggalkan aku! Aku sayang pada Ibu! Ayah telah tiada. Kenapa sekarang Ibu harus menjemput Ayah? Aku masih butuh kasih sayang dari Ibu dan Ayah! Yaa Allah, mengapa cobaan yang kau berikan begitu berat. Tabahkanlah hatiku”. Menangis terisak. Aku mencium kening Ibu. Kini, aku telah menjadi anak yatim piatu. Berat sekali ujian ini. Hafalanku tiga puluh juz tadi, untuk Ibu dan Ayah. Semoga Allah mendengarnya dan memberikan rahmat kepada Ibu, Ayah dan aku. “Innalillahi wainna ilaihi roji’un. Selamat tingal ibu tercintaku. Semoga Ibu dan Ayah di letakkan di sisi allah yang mulia. Dan aku yakin, kelak aku akan menyusulmu. Amin allahumma amin”. ***