1. Dalila adalah santriwati yang telah menghafal tiga puluh juz Quran. Ia menerima kabar bahwa ibunya mengalami musibah dan harus pulang.
2. Sesampainya di rumah, Dalila mengetahui bahwa ayahnya telah meninggal dunia. Ia berduka cita bersama keluarga dan tetangga.
3. Pada hari ulang tahun ibunya, ibunya juga meninggal dunia tepat di makam ayahnya setel
1. TERUNTUK DIKAU
(Oleh : Dian Iffani Iffatur Rizki)
Gema lantunan ayat yang mulia terdengar dari segala penjuru. Ayat yang dibacakan meliuk-liuk pilu nubuha air
yang mengalir dari hulu ke hilir. Kemerduan nadanya lebih merdu dari gesekan biola yang merengek pilu di senja hari.
Sungguh, sangat indah sekali. Tak ada bacaan yang indah selain lantunan ayat itu. Dialah AL-QUR’ANUL KARIM.
Aku adalah salah satu santriwati penghafal qur’an di pondok ini. Di pondok tercintaa ini, aku merasakan seribu
satu kesulitan dalam menghafal qur’an. Namun akhirnya, berkat kerja keras dan jerih payahku bersama Ustadzah
Irodhatul Bayyinah, aku mampu menghafal enam ribu enam ratus enam puluh enam ayat dalam qur’an atau setara
dengan tiga puluh juz. Aku sangat bahagia dan lega sekali. “DARUL QUR’AN” inilah nama pondok tercinta.
Panggil saja diriku Dalila. Aku memiliki nama lengkap “Dalila Kalamillah” yang artinya “Dalil Firman Allah”.
Diriku terlahir dari golongan orang yang tak mampu. Aku dapat mondok di sini lantaran, aku senantiasa mengikuti
perlombaan hafalan qur’an. Maka dari itu, yayasan pondok pesantren DARUL QUR’AN memberikan beasiswa padaku.
Jadi, kedua orang tuaku merasa bahagia dan bangga padaku. Dan memang itulah tujuanku, untuk membahagiakan dan
membuat orang tua bangga padaku.
Usai memfasihkan bacaan qur’anku. Tiba-tiba ada panggilan dari Bu Nyai pemilik pondok pesantren ini, yaitu
Bu Nyai Izza Afkharina. Segera kumemenuhi panggilannya.
“Assalamu’alaikum”. Bersimpuh dihadapan Bu Nyai.
“Wa’alaikumsalam. Dalila, baru saja ada telfon dari Ibumu. Katanya ada musibah yang tengah menimpa.
Diharapkan kau saat ini pulang. Bu Nyai mengizinkanmu nak”.
“Baiklah, terima kasih. Assalamu’alaikum”.
Aku segera kembali ke kamar pondok untuk mengemasi barang-barangku guna kembali pulang kerumah
tercinta. Akan tetapi persaanku sungguh tak enak, lantaran aku amat penasaran dan takut. Sebenarnya musibah apa yang
sedang menimpaku. Ya Allah, lapangkanlah dadaku, kuatkanlah imanku dan tetapkanlah kesabaranku jika aku telah
mengetahui apa sebenarnya musibah yang tengah mendera.
“Shafa, Marwah, dan Annisa. Jaga diri kalian baik-baik ya? Aku akan pulang dulu. Katanya ada musibah yang
sedang terjadi”.
“Musibah apa?”. Tanya Marwah.
“Entahlah, aku tidak tahu. Doakan semoga aku tabah meng hadapinya”.
“Doa kami senantiasa menyertai langkahmu Dalila”.
“Terima kasih teman. Baiklah, aku pergi dulu. Assalamu’alaikum”.
“Wa’laikumsalam”. Ucap mereka serempak.
Aku segera pergi meninggalkan pondok. Sembari menunggu bus datang, aku mentashih hafalan qur’anku yang
bagian juz dua puluh lima. Bus datangnya lama sekali, sampai tashihanku mencapai lima halaman. Setelah itu, barulah
bus datang.
Untunglah suasana di dalam bus tidak terlalu pengap dan penumpangnya tak terlalu penuh. Jadi, aku bisa
sedikit relaks. Masih terngiang-ngiang perasaan tak enak dalam hati. Sekilas tiba-tiba dalam qolbun teringat Ayah
tercinta.
“Ayah.....”. desahku.
Bus terus melaju dengan kecepatan tinggi. Semakin lama perasaanku semakin tak karuan. Aku benar-benar
memikirkan Ayah. Yaa Allah, sebenarnya musibah apa yang tengah menimpa?.
Tak dirasa, setelah cukup lama menaiki bus, akhirnya aku sampai. Rumahku memang dekat dengan jalan raya.
Maka dari itu, bus langsung berhenti tepat di depan rumahku. Aku menginjakkan kaki di tanah tercinta. Tempat
kelahiranku. Begitu masuk dan mengucapkan salam, aku terperanjat melihat keadaan rumah yang sangat ramai didatangi
banyak orang.
“Ada apa ini!”. Teriakku.
Ibu datang menghampiriku dengan mata merah yang lembab.
“Ibu, ada apa ini? Dan siapa yang tengah dibaringkan di atas dipan itu?”.
2. “I...i....itu Ayahmu nak. Ayahmu telah berpulang ke Rahmatullah”. Jelas Ibu.
“Tidak! Ibu bohong! Itu pasti bukan Ayah!”.
Aku berlari menuju kearah seorang jenazah yang di letakkan diatas dipan. Kubuka perlahan kain putih yang
menutupi wajahnya. Tangisku semakin memecah suasana.
“Ayah...Ayah! kenapa Ayah begitu cepat meninggalkanku. Aku masih sayang pada Ayah !. Yaa Allah, inikah
cobaan yang Engkau berikan? Begitu berat dan d iluar batas kemampuanku!”.
“Dalila! Jangan kau lontarkan perkataan demikian. Dalila, kau ini sudah hafal qur’an tiga puluh juz. Di dalam
qur’an, ada sebuah ayat yang menyatakan “latuk allafu nafsun illa wus’aha”. Jadi, Allah itu tidak akan menguji seorang
hamba diluar batas kemampuannya!. Camkan iti baik-baik. Nak, Ibu juga merasa kehilangan. Tidak hanya kamu saja. Ini
sudah menjadi takdir Allah. Kita harus menerimanya dengan lapang dada. Dan janganlah terlalu meratap. Kau pasti
tahu maksud Ibu”. Nasihat Ibu.
Aku mengangguk paham. Kini, aku akan mencoba lebih bersabar, karena “Innallaha ma’ashobirin” Allah
senantiasa bersama orang-orang yang sabar. Jika aku bersabar, aku yakin, pasti Allah senantiasa menyertaiku.
Kalimah tahlil terus terucap di sepanjang jalannan hingga sampai ke pemakaman. Air mataku tiada henti
membasahi kedua pipiku. Sampailah kami semua di pemakaman. Jenazah Ayah di masukkan ke dalam liang lahat. Aku
sungguh tak percaya bahwa yang dimasukkan kedalam kubur tersebut adalah jasad Ayah tercinta. Seorang Ayah yang
paling hebat diantara ribuan Ayah yang paling hebat di segala penjuru dunia. Perlahan-lahan, gundukan tanah menutup
jasad Ayah yang telah terbungkus oleh putihnya kain kafan
“Allahummafirlahu warhamhu wa’afihi wa’fuanhu. Allahumma latahrimna ajrohu walataftinna ba’dahu
wagfirlana walahu”.
Usai memanjatkan doa, semua orang pergi meninggalakan pemakaman. Hanya tinggal aku dan Ibu saja yang
masih berada di pemakaman.
“Nak, sabarlah. Mungkin ini sudah menjadi yang terbaik untuk kita”.
“Iya bu. Ibuku sayang, bukankah hari in i adalah hari ulang tahun Ibu?”. Aku mengingatkan.
Ibu terdiam sejenak.
“Oh iya, Ibu lupa. Ibu terlalu bersedih dengan kepergian Ayahmu nak. Seharusnya, di hari yang bahagia ini kita
berkumpul bersama. Akan tetapi, Allah berkata lain, di hari ini, Ia memanggil Ayahmu”.
“Bu, aku yakin Ayah telah tenang di alam sana. Ibu, aku punya hadiah special untuk ibu. Anggap saja ini
hadiah untuk ulang tahun Ibu. Hadiah ini jarang sekali diberikan oleh seorang anak kepada Ibunya”.
“Hadiah apa itu sayang?”.
“Hadiah yang sederhana. Hafalan juz tiga puluhku untuk ibu”.
“Subhanallah, kau ingin memberikan hadiah agung itu untuk saat ini juga?”.
“Iya Ibu. Aku ingin membacakannya dihadapan ibu secara langsung dan disamping makam Ayah. Aku yakin,
di Alam Barzakh sana, Ayah mandengarkan ayat yang kubaca”. Ungkapku.
Ibu mengeluarkan mushaf kecil dan segera menyimak bacaanku. Aku meyenandungkan ayat suci itu dengan
nada yang indah nan hati yang tulus karena Allah. Kapan lagi kalau tak saat ini. Hari dimana Ibu berulang tahun dan
hari dimana Ayah telah melihat tempat tujuannya. Semoga surga. Amin. Aku terus membaca hingga air mata keluar dari
sudut mataku. Tiga puluh juz, kuhabiskan dalam waktu saru hari. Mulai pagi hingga beranjak sore. Diawali mulai surah
pertama dalam qur’an atau ummul qur’an, hingga surah terakhir, yaitu surah An -Naas.
“Shodaqollahul’adzim”.
“Allahurobbul alamin”.
“Bagaimana Bu?”.
“Indah! Indah sekali anakku. Bacaanmu tak ada yang salah. Ibu bangga dan sayang padamu. Pertahankanlah
hafalanmu. Karena dengan engkau hafal qur’an, kelak di akhirat kau kan mendapat surga pada tingkat enam ribu enam
ratus enam puluh enam. Ayah dan Ibu juga akan dijamin masuk surga dan menggunakan mahkota yang terangnya
melebihi terangnya sinar matahari. Terima kasih anakku”. Jelas Ibu panjang lebar.
3. “Iya Ibu. Ini adalah hadiah paling langka yang pernah daku berikan pada dikau. Selamat ulang tahun Ibu”.
Mencium kening Ibu.
Kami berpelukan dengan eratnya. Tiba-tiba, Ibu batuk yang dimana batuknya mengeluarkan darah. Ibu merasa
kesakitan sembari memegangi dadanya.
“Ibu, ada apa dengan Ibu? Apa yang terjadi?”. Ucapku panik.
“Dada Ibu sakit sekali nak. Rasanya Ibu sudah tak sanggup untuk hidup”.
“Ibu! jangan bicara seperti itu. Ibu pasti kuat, bertahanlah Bu!”.
“Jika ajal telah datang menjemput, Ibu tidak bisa mengelakkan lagi. Mau tak mau hari ini juga Ibu harus
meninggalkan alam yang fana ini. Nak, jaga dirimu baik-baik. Ibu sayang padamu. Hafalkan terus qur’an agar engkau
mendapat derajat yang tinggi dihadapan Allah. Sekali lagi, terima kasih anakku. Ass...as..ashadualla..illa....ilaha
illallah...washaduanna muhamadarrosulullah”. Memejamkan mata untuk selamanya. Dan jatuh tepat diatas makam
Ayah.
“Ibu! Jangan tinggalkan aku! Aku sayang pada Ibu! Ayah telah tiada. Kenapa sekarang Ibu harus menjemput
Ayah? Aku masih butuh kasih sayang dari Ibu dan Ayah! Yaa Allah, mengapa cobaan yang kau berikan begitu berat.
Tabahkanlah hatiku”. Menangis terisak.
Aku mencium kening Ibu. Kini, aku telah menjadi anak yatim piatu. Berat sekali ujian ini. Hafalanku tiga puluh
juz tadi, untuk Ibu dan Ayah. Semoga Allah mendengarnya dan memberikan rahmat kepada Ibu, Ayah dan aku.
“Innalillahi wainna ilaihi roji’un. Selamat tingal ibu tercintaku. Semoga Ibu dan Ayah di letakkan di sisi allah
yang mulia. Dan aku yakin, kelak aku akan menyusulmu. Amin allahumma amin”.
***