SlideShare a Scribd company logo
1 of 30
LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 2 BLOK 7
KEDOKTERAN GIGI KELUARGA 1
Tutor
drg. Ratna Sulistyorini
Disusun Oleh
Ketua: Resty Annisya J2A017040
Scrable 1: Vina Widya Putri J2A017017
Scrable 2: Finandia Laras Saputri J2A017043
Anggota: Rika Widya Kartika J2A017016
Shafira Varianda Fatimah J2A017019
Syarafina Ummu Salamah J2A017023
Sahara Sa’adillah Isri J2A017026
Ovie Luksita Lathifa J2A017039
Ira Naca Gistina Saputri J2A017045
Raissa Ridha Rahmandhiya J2A017046
Kamilatusyariyah J2A017047
Arkhamatus Wafiroh J2A017049
Idzhar Qolby Fatichin J2A017050
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2018
i
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT, karena
dengan pertolongan-Nya kami dapat menyelesaikan Laporan Tutorial Skenario 2
Blok 7 yang berjudul “Kasus Kaki Gajah di Kotaku”.
Laporan ini kami susun untuk memenuhi tugas Tutorial. Dalam laporan ini
dibahas mengenai Sistem Kewaspadaan Dini, Kejadian Luar Biasa/KLB, Sistem
Surveilans Respons dan Filariasis. Dengan selesainya laporan ini, maka tidak lupa
kami mengucapkan terima kasih khususnya kepada drg. Ratna Sulistyorini selaku
Tutor Tutorial Blok 7, teman-teman yang sudah memberi masukan baik langsung
maupun tidak langsung, juga pihak-pihak yang menyediakan sumber yang telah
kami satukan.
Demikian laporan ini kami selesaikan, semoga dapat bermanfaat bagi para
pembaca. Mohon maaf apabila masih terdapat kekurangan disana-sini. Saran-saran
serta kritik yang konstruktif sangat kami harapkan dari para pembaca guna
peningkatan pembuatan laporan pada tugas yang lain di waktu mendatang. Akhir
kata, kami mengucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Semarang, 24 September 2018
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................ i
DAFTAR ISI ……………………………………………………….. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ………………………………………………………………. 1
1.2 Rumusan Masalah …………………………………………………………… 2
1.3 Tujuan ……………………………………………………………………….. 3
1.4 Manfaat ............................................................................................................ 3
1.5 Skenario 2 Blok 7 ............................................................................................ 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mapping ……………………………………………………………………... 5
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Konsep Pencegahan (Sistem Kewaspadaan Dini/SKD) ……………………. 6
3.2 Kejadian Luar Biasa/KLB (Endemik, Epidemik, Pandemik, Sporadik) ……. 9
3.3 Informasi Kesehatan dan Sistem Surveilans Respons ……………………... 11
3.4 Etiologi Filariasis …………………………………………………………... 13
3.5 Faktor Risiko Filariasis …………………………………………………….. 15
3.6 Mekanisme Filariasis ………………………………………………………. 18
3.7 Masa Inkubasi Filarisis …………………………………………………….. 19
3.8 Gambaran Klinis Filariasis ............................................................................ 19
3.9 Pencegahan Filariasis (POPM Filariasis) ……………………………...….... 21
3.10 Epidemiologi Filariasis ................................................................................ 23
iii
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan ………………………………………………………………… 24
4.2 Ayat / Hadist Terkait ……………………………………………………….. 25
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………..26
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kejadian luar biasa (KLB) suatu penyakit memberikan dampak kerugian
yang signifikan terhadap kesehatan, ekonomi maupun sosial. Ketika terjadi KLB,
ilmu kesehatan masyarakat berperan utama dalam hal pengawasan penyebaran dari
penyakit tersebut, sehingga dapat meminimalisir angka kesakitan baru, angka
kematian, dan dampak negatif lain yang ditimbulkan. Elemen kunci dari peran ini
adalah aspek komunikasi yang harus dilakukan secepat mungkin menyasar pada
level yang berbeda-beda agar terjadi kepedulian bersama. Biasanya strategi
berfokus pada pengembangan pesan dan diseminasi informasi. Jika KLB dideteksi
secara dini, maka pengawasan dan penanganannya dapat dilakukan dengan baik.
Filariasis merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh cacing
Wuchereria Bancrofti (W. Bancrofti), Brugia(B) Malayi dan B. Timori. Penyakit
ini menyebabkan pembengkakan pada kaki. Masyarakat biasa menyebut penyakit
ini dengan kaki gajah (elephantiasis). Umumnya penyakit ini menyerang
masyarakat usia dewasa muda yang aktif bekerja, sehingga menurunkan
produktivitas akibat adanya demam yang kerap menyerang penderita selama 3-5
hari. Demam yang diderita umumnya terjadi 2-3 kali setahun yang disertai dengan
pembengkakan kelenjar lipat paha (Anorital & Dewi, 2004).
Dengan pembesaran kaki, akan mengganggu aktivitas penderita,
menurunkan rasa percaya diri dan pada akhirnya akan menurunkan produktivitas
serta menurunkan kualitas hidup. Disamping itu, penyakit ini bisa menjadi
irreversible bila sudah parah.
Penyakit ini menyerang hampir di seluruh dunia, World Health Organization
(WHO) mencatat hampir 1,4 miliar orang di 73 negara di seluruh dunia terancam
oleh filariasis limfatik, umumnya dikenal sebagai kaki gajah. Sekitar 65% dari
2
mereka yang terinfeksi hidup di Kawasan Asia Tenggara, 30% di wilayah Afrika,
dan sisanya di daerah tropis lainnya (World Health Organization, 2013). Di
Indonesia sampai dengan tahun 2009 dilaporkan sebanyak 31 propinsi dan 337
kabupaten/kota endemis filariasis dan 11.914 kasus kronis. (Wahyono, 2010).
Hampir seluruh wilayah Indonesia adalah daerah endemis filariasis, terutama
wilayah Indonesia Timur yang memiliki prevalensi lebih tinggi. Untuk mengatasi
penyakit ini, WHO meluncurkan Program global untuk menghilangkan filariasis
limfatik, yaitu Global Programme to Eliminate Lymphatic Filariasis (GPELF) pada
tahun 2000. Tujuan dari GPELF adalah menghilangkan filariasis limfatik sebagai
masalah kesehatan masyarakat pada tahun 2020. Strategi ini didasarkan pada dua
komponen utama yaitu (1)Mengganggu transmisi melalui program tahunan skala
besar pengobatan, dikenal sebagai pemberian obat massal, dilaksanakan untuk
menutupi seluruh populasi berisiko; (2) Mengurangi penderitaan yang disebabkan
oleh filariasis limfatik melalui manajemen morbiditas dan pencegahan kecacatan
(World Health Organization, 2013).
1.2 Rumusan Masalah
1. Konsep Pencegahan (Sistem Kewaspadaan Dini)
2. Kejadian Luar Biasa/KLB (Endemik, Epidemik, Pandemik, Sporadik)
3. Informasi Kesehatan dan Sistem Surveilans Respons
4. Etiologi Filariasis
5. Faktor Risiko Filariasis
6. Mekanisme Filariasis
7. Masa Inkubasi Filariasis
8. Gambaran Klinis Filariasis
9. Pencegahan Filariasis (POPM Filariasis)
10. Epidemiologi Filariasis
1.3 Tujuan
3
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan pembuatan laporan ini adalah
sebagai berikut.
1. Mahasiswa mampu menjelaskan Konsep Pencegahan (Sistem Kewaspadaan
Dini)
2. Mahasiswa mampu menjelaskan Kejadian Luar Biasa/KLB (Endemik,
Epidemik, Pandemik, Sporadik)
3. Mahasiswa mampu menjelaskan Informasi Kesehatan dan Sistem
Surveilans Respons
4. Mahasiswa mampu menjelaskan Etiologi Filariasis
5. Mahasiswa mampu menjelaskan Faktor Risiko Filariasis
6. Mahasiswa mampu menjelaskan Mekanisme Filariasis
7. Mahasiswa mampu menjelaskan Masa Inkubasi Filariasis
8. Mahasiswa mampu menjelaskan Gambaran Klinis Filariasis
9. Mahasiswa mampu menjelaskan Pencegahan Filariasis (POPM Filariasis)
10. Mahasiswa mampu menjelaskan Epidemiologi Filariasis
1.4 Manfaat
1. Untuk menambah wawasan
2. Untuk mengetahui hal-hal mengenai Sistem Kewaspadaan Dini, Kejadian
Luar Biasa, Sistem Surveilans Respons dan Filariasis
3. Untuk memperkaya penulisan dalam bidang Kedokteran/Kesehatan
khususnya mengenai Sistem Kewaspadaan Dini, Kejadian Luar Biasa,
Sistem Surveilans Respons dan Filariasis
4. Dapat dijadikan sebagai bahan untuk pembuatan laporan kedepannya yang
lebih luas dan mendalam
1.5 Skenario 2 Blok 7
KASUS KAKI GAJAH DI KOTAKU
Kota Pekalongan menjadi wilayah dengan kasus penyakit filariasis tertinggi di
provinsi Jawa Tengah. Data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah menunjukkan
ada sebanyak 442 kasus filariasis atau lebih dikenal dengan kaki gajah yang tercatat
4
di Kota Pekalongan pada bulan Mei 2017. Angka tersebut jauh melebihi kasus yang
terjadi di kabupaten kota lain di Jawa Tengah yang hanya mencapai dua digit angka.
Di Pekalongan terdapat 11 kelurahan kasusu Filariasis dengan tiga kelurahan
jumlah tertinggi yakni Kertoharjo, Jenggot, dan Banyurip Ageng. Kejadian Luar
Biasa yang terjadi di daerah tersebut membuat dinas kesehatan meningkatkan
system kewaspadaan dini melalui surveilans aktifnya.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mapping
6
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Konsep Pencegahan (Sistem Kewaspadaan Dini/SKD)
Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) / Early Warning Alert and Response
System (EWARS) adalah salah satu kegiatan Surveilans Epidemiologi penyakit
yang berfungsi untuk memberikan kewaspadaan dan respon wabah penyakit sejak
dini melalui dukungan Departemen Kesehatan dan mitra kesehatan dengan
memberikan pelatihan, dukungan teknis dan alat berbasis lapangan untuk
membangun dan mengelola kegiatan pengawasan terhadap penyakit berpotensi
wabah. (WHO,2016)
SKD-KLB adalah suatu tatanan pengamatan yang mendukung sikap tanggap
terhadap suatu perubahan dalam masyarakat atau penyimpangan yang berkaitan
dengan kecendrungan terjadinya kesakitan atau kematian atau pencemaran
makanan atau lingkungan sehingga dapat segera melakukan tindakan dengan cepat
dan tepat untuk mencegah/mengurangi terjadinya jatuh korban.
Tujuan Umum SKD:
Terselenggaranya kewaspadaan dan kesiapseiagaan terhadap kemungkinan
terjadinya KLB.
Tujuan Khusus SKD:
1. Mengidentifikasi adanya ancaman KLB
2. Menyelenggarakan peringatan kewaspadaan dini KLB
3. Menyelenggarakan kesiapsiagaan menghadapi kemungkinan terjadinya
KLB
4. Mendeteksi secara dini adanya kondisi rentan KLB
5. Mendeteksi secara dini adanya KLB
6. Menyelenggarakan penyelidikan dugaan KLB
7
Komponen Sistem EWARS:
 Input
a) Ketersediaan SDM (Man)
Menurut Kepmenkes RI, jumlah sumber daya manusia di
tingkat Puskesmas untuk menyelenggarakan surveilans EWARS
adalah 1 tenaga/petugas Puskesmas terlatih surveilans epidemiologi.
b) Ketersediaan Dana
Sumber alokasi dana dapat berasal dari dana program (APBD,
APBN, block grant), atau bantuan luar negeri, swasta/LSM, dll.
c) Ketersediaan Sarana
Sarana yang diperlukan untuk terlaksananya penyelenggaraan
surveilans EWARS di tingkat Puskesmas merujuk pada Pedoman
Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan (2003)
yaitu 1 paket komputer dan perlengkapannya, 1 paket komunikasi
(telepon, faksimili dan SSB), referensi surveilans epidemiologi,
penelitian dan kajian kesehatan, pedoman pelaksanaan surveilans
epidemiologi dan program aplikasi komputer, formulir perekaman
data surveilans epidemiologi sesuai dengan pedoman, peralatan
pelaksanaan surveilans epidmiologi di Puskesmas dan 1 kendaraan
roda dua.
d) Metode
Adalah suatu tata cara kerja yang memperlancar jalannya pekerjaan
suatu program. Sebuah metode dapat dinyatakan sebagai penetapan
cara pelaksanaan kerja suatu tugas dengan memberikan berbagai
pertimbangan-pertimbangan kepada sasaran, fasilitas-fasilitas yang
tersedia dan penggunaan waktu, serta uang dan kegiatan usaha. Perlu
diingat meskipun metode baik, sedangkan orang yang
melaksanakannya tidak mengerti atau tidak mempunyai pengalaman
maka hasilnya tidak akan memuaskan. Dengan demikian, peranan
utama dalam manajemen tetap manusianya sendiri (Satrianegara,
2009).
 Proses
8
a) Pengumpulan Data
Data yang perlu dikumpulkan yaitu data penyakit yang berpotensi
KLB (terdiri dari 23 penyakit, seperti Diare Akut, Pneumonia, Flu
Burung, Campak, Difteri, dll). Periode pengumpulan datanya
dilakukan secara mingguan serta dapat dilakukan secara aktif dan
pasif.
b) Pengolahan Data
Adalah kegiatan-kegiatan mengubah data menjadi informasi
dengan cara atau cara-cara tertentu sesuai dengan keperluan
terhadap informasi yang dihasilkan. Data yang telah dikumpulkan
dari kegiatan surveilans dapat diolah menurut waktu (bulanan atau
tahunan), kelompok umur, jenis kelamin, dan wilayah (insidens,
proporsi, dan prevalensi). Setelah dilakukan pengolahan, data
selanjutnya disajikan dalam berbagai bentuk sesuai jenis data dalam
narasi, tabel, grafik dan peta wilayah.
c) Analisis Data
Merupakan suatu proses untuk menghasilkan rumusan masalah dan
faktor-faktor yang berhubungan dengan data yang telah terkumpul.
Analisis data dilakukan dengan tujuan untuk melihat variable-
variabel apa saja yang dapat menggambarkan suatu permasalahan,
faktor-faktor yang berpengaruh, serta bagaimana data yang ada
dapat menjelaskan tujuan dari suatu sistem surveilans. Selain itu,
analisis data dilakukan untuk melihat variabel-variabel yang dapat
menggambarkan suatu permasalahan dan faktor-faktor yang
mepengaruhi serta bagaimana data yang dapat menjelaskan
tujuan dari suatu tujuan dari suatu sistem surveilans epidemiologi.
Sejauh mana kemampuan dalam menganalisis data tergantung pada
organisasi pelaksana yang bersangkutan serta keterampilan petugas
yang menangani hal tersebut.
 Output
a) Kelengkapan Laporan
b) Ketepatan Waktu Pelaporan
9
c) Alert
Merupakan sinyal peringatan dini adanya peningkatan kasus
melebihi nilai ambang batas di suatu wilayah, dari hasil kelengkapan
dan ketepatan laporan, tabel, grafik dan pemetaan besaran masalah
penyakit potensial KLB secara mingguan.
d) Respon
Adalah kegiatan melakukan klarifikasi dari Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota apabila di temukan laporan sinyal alert (peringatan
dini) dari Puskesmas dan juga melakukan kontrol sesuai dengan
Standart Operasional Prosedur EWARS, yaitu pelaksanaan respon
<24 jam dari petugas surveilans Pukesmas dan Dinas Kesehatan
Kabupaten bila terdapat laporan alert/peringatan
dini melebihi nilai ambang batas yang ditentukan sehingga penyakit
yang berpotensi terjadi KLB akan mendapat penanganan yang cepat.
3.2 Kejadian Luar Biasa/KLB (Endemik, Epidemik, Pandemik,
Sporadik)
Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian
kesakitan dan/atau kematian yang bermakna secara epidemiologi pada suatu daerah
dalam kurun waktu tertentu, dan merupakan keadaan yang dapat menjurus kepada
terjadinya wabah.
 Endemik
Berasal dari Bahasa Yunani; En: di dalam dan Demos: rakyat yang berarti
suatu infeksi berlangsung di dalam suatu populasi tanpa adanya pengaruh
dari luar, terjadi pada laju konstan namun cukup tinggi.
Suatu infeksi penyakit dikatakan sebagai endemik bila setiap orang yang
terinfeksi penyakit tersebut menularkannya kepada tepat satu orang lain
(secara rata-rata). Bila infeksi tersebut tidak lenyap dan jumlah orang yang
terinfeksi tidak bertambah secara eksponensial, suatu infeksi dikatakan
berada dalam keadaan tunak endemik (endemic steady state). Suatu infeksi
yang dimulai sebagai suatu epidemi pada akhirnya akan lenyap atau
10
mencapai keadaan tunak endemik, bergantung pada sejumlah faktor,
termasuk virulensi dan cara penularan penyakit bersangkutan.
Dalam bahasa percakapan, penyakit endemik sering diartikan sebagai suatu
penyakit yang ditemukan pada daerah tertentu.
Contoh: Penyakit malaria dan kaki gajah
 Epidemik
Berasal dari Bahasa Yunani; Epi: pada dan Demos: rakyat. Epidemik adalah
penyakit yang timbul sebagai kasus baru pada suatu populasi, dalam suatu
periode tertentu, dengan laju yang melampaui ‘ekspektasi’ (dugaan), yang
didasarkan pada pengalaman mutakhir atau dengan kata lain Epidemi
merupakan wabah yang terjadi secara lebih cepat daripada yang diduga.
Jumlah kasus baru penyakit di dalam suatu populasi dalam periode waktu
tertentu disebut dengan incidence rate (laju timbulnya penyakit).
Berdasarkan UU RI No. 4 tahun 1984, pengertian wabah dapat dikaitkan
sama dengan epidemik, yaitu “kejadian berjangkitnya suatu penyakit
menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara
nyata melebihi daripada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu
serta dapat menimbulkan malapetaka”.
Pengolahan data pada kasus epidemik menggunakan kurva epidemik.
Gunanya untuk menentukan jenis paparan dan jenis penularan yang terjadi
pada suatu wabah, serta untuk menentukan kemungkinan penyebab
wabahnya dan usaha apa yang mungkin dilakukan untuk menghentikannya.
Contoh: Wabah penyakit Kolera
 Pandemik
Berasal dari Bahasa Yunan; Pan: semua dan Demos: rakyat. Disebut juga
dengan epidemic global/wabah global, merupakan terjangkitnya penyakit
menular pada banyak orang dalam daerah geografi yang luas.
Menurut WHO, syarat terjadinya Pandemik:
1. Timbulnya penyakit bersangkutan merupakan suatu hal yang baru
pada populasi tersebut
2. Agen penyebab penyakit menginfeksi manusia dan menyebabkan
sakit serius
11
3. Agen penyebab penyakit menyebar dengan mudah dan
berkelanjutan pada manusia
Suatu penyakit atau keadaan tidak dapat dikatakan sebagai pandemik hanya
karena menewaskan banyak orang, contohnya kanker. Kanker tidak
digolongkan sebagai pandemik walaupun menimbulkan angka kematian
yang tinggi karena tidak ditularkan.
Contoh penyakit yang termasuk Pandemik: Pandemik Influenza pada akhir
PD I (1957) dan Cholera el tor (1962).
 Sporadik
Suatu keadaan dimana terdapat masalah kesehatan pada suatu wilayah
tertentu yang frekuensinya berubah-ubah menurut perubahan waktu atau
merupakan suatu jenis penyakit yang tidak tersebar secara merata pada
tempat dan waktu yang tidak sama, yang pada suatu saat dapat
menimbulkan epidemik.
Contoh: Penyakit Poliomielitis.
3.3 Informasi Kesehatan dan Sistem Surveilans Respons
Surveilans adalah kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis dan
interpretasi data secara sistematis yang dilaksanakan secara terus menerus atau
berkelanjutan serta penyebaran informasi kepada pihak-pihak yang perlu
mengetahui untuk dapat diambil tindakan yang tepat. Tindakan yang diambil
setelah mendapatkan informasi tersebut yang disebut dengan respon, sehingga
menjadi Respon-Surveilans.
Fungsi pokok Surveilans Respons menurut WHO (2004) meliputi 8 kegiatan
utama, yaitu:
 Deteksi Kasus
Merupakan langkah pertama dalam sistem surveilans respon, umumnya
dilaksanakan di tingkat pelayanan kesehatan.
Pihak-pihak yang terlibat: Praktek perorangan, Petugas Unit Pelaksanaan
Pelayanan Kesehatan Pemerintah/Swasta.
12
 Registrasi
Merupakan kegiatan yang merekam semua data kasus termasuk kasus yang
ternyata tidak konfirmasi baik secara epidemiologi maupun secara
laboratories.
Pihak-pihak yang terlibat: Petugas di UPT dan/atau Dinas Kesehatan.
 Konfirmasi (Epidemiologi dan Laboratoris)
dapat melalui kriteria epidemiologi dan hasil tes laboratorium. Konfirmasi
epidemiologi umumnya diperoleh dari hasil penyelidikan kasus di lapangan.
Hasil tes laboratorium akan membantu dalam penegakan diagnosis.
Pihak-pihak yang terlibat: Dinas Kesehatan, Lab Kesehatan Pusat/Daerah.
 Pelaporan
Merupakan upaya untuk menggerakkan data yang sudah dikumpulkan dari
tingkat yang paling rendah dalam sistem kesehatan ke tingkat yang lebih
tinggi.
Pihak-pihak yang terlibat: Bidang-bidang di Dinas Kesehatan.
 Analitis dan Interpretasi
Harus dilaksanakan secepat mungkin untuk menghindari penundaan
pelaksanaan intervensi yang tepat akurat. Hasil analisis harus berupa
informasi epidemiologis yang dapat digunakan sebagai dasar tindakan
kesehatan masyarakat.
Pihak-pihak yang terlibat: Unit Pendukung Surveilans (UPS), dalam bentuk
Balai Data, Surveilans dan Informatika Kesehatan.
 Respons Segera
Bersifat langsung dan reaktif, umumnya termasuk dalam tindakan
kesehatan masyarakat yaitu penyelidikan epidemiologi, pelacakan kontak
penderita dan tindakan penanggulangan untuk mencegah penularan
penyakit. Dilaksanakan dengan realokasi Sumber Daya berdasarkan
distribusi manusia, lingkungan dan penyebab penyakit yang disesuaikan
menurut tempat, waktu, dan ciri-ciri penduduk.
Pihak-pihak yang terlibat: Dinas Kesehatan dan Aparat Pemerintah lainnya,
Masyarakat dan Swasta.
 Respons Terencana
13
Merupakan respons yang direncanakan dalam periode waktu tahunan, lima
tahunan, termasuk perencanaan tindakan dan penganggaran yang
diperlukan. Dapat berupa:
1. Alokasi Sumber Daya berdasarkan angka-angka kematian,
kecacatan, kesakitan dan resiko tinggi
2. Advokasi terhadap Pemerintah Daerah, Bappeda, DPRD, dan lintas
sektor terkait dalam pengerahan Sumber Daya, pembuatan Perda,
dan menjalankan fungsi koordinasi
3. Advokasi Dinas Kesehatan Propinsi untuk menjalankan fungsi
Bimbingan Teknis, penyediaan sumber daya dan regulasi
4. Advokasi Depkes untuk pembuatan kebijakan, prosedur ketetapan
(protap) dan pengerahan sumber daya.
Pihak-pihak yang terlibat: Dinas Kesehatan dalam kegiatan di Musrembang
dan berbagai kegiatan perencanaan, juga dapat berasal dari pihak lain (yang
ingin mendanai).
Respon Segera & Respon Terencana harus di monitor dan di evaluasi, agar
hasilnya dapat dipergunakan untuk modifikasi tindakan pemberantasan dan
upaya pencegahan, juga untuk petunjuk modifikasi sistem Surveilans yang
lebih baik.
 Feedback / Umpan Balik
Umpan balik merupakan arus informasi dan pesan kepada tingkat yang
rendah dari tingkat yang lebih tinggi. Selain itu dalam era teknologi
informasi umpan balik dapat dalam bentuk buletin elektronik yang dapat
disampaikan kepada lintas sektor dan para pemangku kepentingan
(stakeholders) sehingga dapat berkontribusi dalam respons kesehatan
masyarakat. Umpan balik dikirimkan dengan tujuan untuk melakukan
tindak lanjut terhadap berbagai masalah yang ditemukan.
Pihak-pihak yang terlibat: UPS (Unit Pelayanan Kesehatan).
3.4 Etiologi Filariasis
14
Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular menahun yang
disebabkan oleh cacing filaria yang menyerang saluran dan kelenjar getah bening.
Penyakit ini dapat merusak sistem limfe, menimbulkan pembengkakan pada tangan,
kaki, glandula mammae, dan scrotum, menimbulkan cacat seumur hidup serta
stigma sosial bagi penderita dan keluarganya. Secara tidak langsung, penyakit yang
ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk ini dapat berdampak pada penurunan
produktivitas kerja penderita, beban keluarga, dan menimbulkan kerugian ekonomi
bagi negara yang tidak sedikit.
Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria yaitu:
1. Wuchereria bancrofti
2. Brugia malayi
3. Brugia timori
70% kasus Filariasis di Indonesia disebabkan oleh Brugia malayi.
Secara epidemiologi cacing filaria dibagi menjadi 6 tipe, yaitu:
 Wuchereria bancrofti tipe perkotaan (urban)
Ditemukan di daerah perkotaan seperti Jakarta, Bekasi, Tangerang,
Semarang, Pekalongan dan sekitarnya.
Memiliki periodisitas nokturna (mikrofilaria banyak terdapat di dalam darah
tepi pada malam hari, sedangkan pada siang hari banyak terdapat di kapiler
organ dalam seperti paru-paru, jantung dan ginjal).
Ditularkan oleh nyamuk Culex quinquefasciatus yang berkembang biak di
air limbah rumah tangga.
 Wuchereria bancrofti tipe pedesaan (rural)
Ditemukan di daerah pedesaan di luar Jawa, terutama tersebar luas di Papua
dan Nusa Tenggara Timur.
Mempunyai periodisitas nokturna
Ditularkan melalui berbagai spesies nyamuk seperti Anopheles, Culex dan
Aedes.
 Brugia malayi tipe periodik nokturna
Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari.
15
Nyamuk penularnya adalah Anopheles barbirostis yang ditemukan di
daerah persawahan.
 Brugia malayi tipe subperiodik nokturna
Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada siang dan malam hari, tetapi lebih
banyak ditemukan pada malam hari (subperiodik nokturna).
Nyamuk penularnya adalah Mansonia spp yang ditemukan di daerah rawa.
 Brugia malayi tipe non periodik
Mikrofilaria ditemukan di darah tepi baik malam maupun siang hari (non
periodik).
Nyamuk penularnya adalah Mansonia bonneae dan Mansonia uniformis
yang ditemukan di hutan rimba.
 Brugia timori tipe periodik nokturna
Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari.
Nyamuk penularnya adalah Anopheles barbirostis yang ditemukan di
daerah persawahan di Nusa Tenggara Timur, Maluku Tenggara.
3.5 Faktor Risiko Filariasis
Terdapat beberapa komponen yang merupakan faktor risiko untuk tejadinya
penularan Filariasis, yaitu:
 Adanya Vektor (nyamuk yang infektif)
Di Indonesia hingga saat ini telah diketahui terdapat 23 spesies nyamuk dari
5 genus yaitu: Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres yang
menjadi vektor Filariasis. Sepuluh spesies nyamuk Anopheles telah
diidentifikasi sebagai vektor Wuchereria bancrofti tipe pedesaan. Culex
quinquefasciatus merupakan vektor Wuchereria bancrofti tipe perkotaan.
Enam spesies Mansonia merupakan vektor Brugia malayi. Di Indonesia
bagian timur, Mansonia dan Anopheles barbirostris merupakan vektor
fialariasis yang penting. Beberapa spesies Mansonia dapat menjadi vektor
Brugia malayi tipe sub periodic nokturna. Sementara Anopheles barbirostris
merupakan vektor penting terhadap Brugia timori yang terdapat di Nusa
Tenggara Timur dan kepulauan Maluku Selatan.
16
Untuk melaksanakan pemberantasan vektor Filariasis, perlu mengetahui
bionomik (tata hidup) vektor yang mencakup tempat berkembang biak,
perilaku menggigit (mencari darah) dan tempat istirahat. Tempat
perindukan nyamuk berbeda-beda tergantung jenisnya. Umumnya nyamuk
beristirahat di tempat-tempat teduh, seperti semak-semak di sekitar tempat
perindukan dan di dalam rumah pada tempat-tempat yang gelap. Sifat
nyamuk dalam memilih jenis mangsanya berbeda-beda, dapat hanya
menyukai darah manusia (antropofilik), darah hewan (zoofilik), atau darah
hewan dan manusia (zooantropofilik). Demikian juga mencari mangsanya
berbeda-beda, dapat hanya di luar rumah (eksofagik) atau dalam rumah
(endofagik). Perilaku nyamuk ini dapat berpengaruh terhadap distribusi
kasus Filariasis. Setiap daerah mempunyai spesies nyamuk berbeda-beda,
dan pada umumnya terdapat beberapa spesies nyamuk sebagai vektor utama
dan spesies lainnya hanya merupakan vektor potensial.
 Adanya Hospes (manusia dan hewan)
a) Manusia
Pada dasarnya semua manusia dapat tertular Filariasis apabila
digigit oleh nyamuk infektif (mengandung larva stadium 3). Vektor
infektif mendapat mikrofilaria dari pengidap. Namun demikian,
dalam kenyataannya di suatu daerah endemis Filariasis tidak semua
orang terinfeksi dan orang yang terinfeksi tidak semua menunjukkan
gejala klinis. Meskipun tanpa gejala klinis tetapi sudah terjadi
perubahan-perubahan patologis di dalam tubuhnya.
Penduduk pendatang pada suatu daerah endemis Filariasis
mempunyai risiko terinfeksi Filariasis lebih besar dibanding
penduduk asli. Penduduk pendatang dari daerah non endemis ke
daerah endemis, misalnya transmigran, walaupun pada pemeriksaan
darah jari belum atau sedikit mengandung microfilaria, akan tetapi
sudah menunjukkan gejala klinis yang lebih berat.
b) Hewan
Beberapa jenis hewan dapat berperan sebagai sumber penularan
Filariasis (hewan reservoir). Dari semua spesies cacing filaria yang
17
menginfeksi manusia di Indonesia, hanya Brugia malayi tipe sub
periodik nokturna dan non periodik yang ditemukan juga pada
lutung (Presbytis cristatus), kera (Macaca fascicularis) dan kucing
(Felis catus). Penanggulangan Filariasis pada hewan reservoir ini
tidak mudah, oleh karena itu juga akan menyulitkan upaya
pemberantasan Filariasis pada manusia.
 Lingkungan yang mendukung
a) Lingkungan fisik
Lingkungan fisik mencakup antara lain keadaan iklim, keadaan
geografis, struktur geologi dan sebagainya. Lingkungan fisik erat
kaitannya dengan kehidupan vektor, sehingga berpengaruh terhadap
munculnya sumber-sumber penularan Filariasis.
Lingkungan fisik dapat menciptakan tempat-tempat perindukan dan
beristirahatnya nyamuk. Suhu dan kelembaban berpengaruh
terhadap pertumbuhan, masa hidup serta keberadaan nyamuk.
Lingkungan dengan tumbuhan air di rawa-rawa dan adanya hospes
reservoir (kera, lutung dan kucing) berpengaruh terhadap
penyebaran B.malayi subperiodik nokturna dan non periodik.
b) Lingkungan biologik
Lingkungan biologik dapat menjadi rantai penularan Filariasis.
Contoh lingkungan biologik adalah adanya tanaman air sebagai
tempat pertumbuhan nyamuk Mansonia spp.
c) Lingkungan sosial, ekonomi dan budaya
Lingkungan sosial, ekonomi dan budaya adalah lingkungan yang
timbul sebagai akibat adanya interaksi antar manusia, termasuk
perilaku, adat istiadat, budaya, kebiasaan dan tradisi penduduk.
Kebiasaan bekerja di kebun pada malam hari atau kebiasaan keluar
pada malam hari, kebiasaan tidur perlu diperhatikan karena
berkaitan dengan intensitas kontak dengan vektor. Insiden Filariasis
pada laki-laki lebih lebih tinggi daripada perempuan karena
umumnya laki–laki lebih kontak dengan vektor karena
pekerjaannya.
18
3.6 Mekanisme Filariasis
 Larva dalam tubuh Nyamuk
Pada saat nyamuk menghisap darah yang mengandung mikrofilaria, maka
mikrofilaria akan terbawa masuk kedalam lambung nyamuk dan
mikrofilaria melepaskan selubungnya, selanjutnya menembus dinding
lambung lalu bergerak menuju otot atau jaringan lemak di bagian dada.
Setelah ± 3 hari, mikrofilaria mengalami perubahan bentuk menjadi larva
stadium 1 (L1), bentuknya seperti sosis berukuran 125-250 µm x 10-17
µm, dengan ekor runcing seperti cambuk.
Setelah ± 6 hari dalam tubuh nyamuk, larva tumbuh menjadi larva stadium
2 (L2) disebut larva preinfektif yang berukuran 200-300 µm x 15-30 µm,
dengan ekor yang tumpul atau memendek. Pada stadium ini larva
menunjukkan adanya gerakan.
Hari ke 8-10 pada spesies Brugia atau hari ke 10-14 pada spesies
Wuchereria, larva dalam nyamuk tumbuh menjadi larva stadium 3 (L3)
yang berukuran ± 1400 µm x 20 µm. L3 tampak panjang dan ramping
disertai dengan gerakan yang aktif. Stadium 3 ini merupakan cacing infektif.
Larva Infektif tersebut kemudian bergerak ke bagian kepala dan probosis
nyamuk.
 Perpindahan Cacing Filaria dari Nyamuk ke Manusia
a) Nyamuk yang mengandung larva infektif (larva stadium 3/L3)
menggigit manusia
b) Larva L3 akan keluar dari probosisnya dan tinggal dikulit sekitar
lubang gigitan nyamuk.
c) Pada saat nyamuk menarik probosisnya, larva L3 akan masuk
melalui lubang bekas gigitan nyamuk dan bergerak menuju ke
sistem limfe.
 Daur Hidup Cacing Filaria dalam Tubuh Manusia
Ketika larva L3 masuk dalam tubuh manusia memerlukan periode waktu
lama untuk berkembang menjadi cacing dewasa. Larva L3 Brugia malayi
dan Brugia timori akan menjadi cacing dewasa dalam kurun waktu lebih
19
dari 3,5 bulan, sedangkan Wuchereria bancrofti memerlukan waktu kurang
lebih 9 bulan (6-12 bulan).
Cacing dewasa (makrofilaria) yang ada dalam tubuh manusia mampu
bertahan hidup selama 5-7 tahun. Selama hidup yang lama tersebut, dapat
menghasikan ribuan mikroflaria setiap hari, sehingga dapat menjadi sumber
penularan dalam periode waktu yang sangat panjang.
Mikrofilaria dapat terhisap oleh nyamuk yang mengigit manusia (menular
pada nyamuk), jika mikrofilaria berada di darah tepi. Oleh karena itu, di
daerah dimana mikrofilaria bersifat periodik nokturna, yaitu mikrofilaria
keluar memasuki peredaran darah tepi pada malam hari, dan bergerak ke
organ-organ dalam pada siang hari, mikrofilaria menular pada nyamuk yang
aktif pada malam hari. Sementara di daerah dengan microfilaria subperiodik
nokturna dan non periodik, penularan dapat terjadi pada siang dan malam
hari.
3.7 Masa Inkubasi Filariasis
Masa berkembangnya larva infektif di dalam tubuh manusia sampai
terjadinya gejala klinis dalam waktu antara 3-6 bulan pada Brugia malayi/Brugia
timori dan 6-12 bulan pada Wuchereria bancrofti.
3.8 Gambaran Klinis Filariasis
Pada dasarnya gejala klinis Filariasis yang disebabkan oleh infeksi W. Bancroft, B.
malayi dan B. timori adalah sama, tetapi gejala klinis akut tampak lebih jelas dan
lebih berat pada infeksi oleh B. malayi dan B. timori. Infeksi W. bancrofti dapat
menyebabkan kelainan pada saluran kemih dan alat kelamin, tetapi infeksi oleh B.
malayi dan B. Timori tidak menimbulkan kelainan tersebut.
 Akut
Gejala klinis akut berupa limfadenitis, limfangitis, adenolimfangitis yang
disertai demam, sakit kepala, rasa lemah dan timbulnya abses. Abses dapat
pecah dan kemudian mengalami penyembuhan dengan meninggalkan parut,
20
terutama di daerah lipat paha dan ketiak. Parut lebih sering terjadi pada
infeksi B.malayi dan B. Timori dibandingkan karena infeksi W. bancrofti,
demikian juga dengan timbulnya limfangitis dan limfadenitis. Tetapi
sebaliknya, pada infeksi W. bancrofti sering terjadi peradangan buah pelir
(orkitis), peradangan epididimus (epididimitis) dan peradangan funikulus
spermatikus (funikulitis).
 Kronis
a) Limfedema
Pada infeksi W. bancrofti, terjadi pembengkakan seluruh kaki,
seluruh lengan, skrotum, penis, vulva vagina dan payudara,
sedangkan pada infeksi Brugia, terjadi pembengkakan kaki dibawah
lutut, lengan di bawah siku dimana siku dan lutut masih normal.
b) Lymph Scrotum
Adalah pelebaran saluran limfe superfisial pada kulit scrotum,
kadang-kadang pada kulit penis, sehingga saluran limfe tersebut
mudah pecah dan cairan limfe mengalir keluar dan membasahi
pakaian. Ditemukan juga lepuh (vesicles) besar dan kecil pada kulit,
yang dapat pecah dan membasahi pakaian. Ini mempunyai risiko
tinggi terjadinya infeksi ulang oleh bakteri dan jamur, serangan akut
berulang dapat berkembang menjadi limfedema skrotum. Ukuran
skrotum kadang-kadang normal kadang-kadang sangat besar.
c) Kiluria
Adalah kebocoran atau pecahnya saluran limfe dan pembuluh darah
di ginjal (pelvis renal) oleh cacing filaria dewasa spesies W.
bancrofti, sehingga cairan limfe dan darah masuk kedalam saluran
kemih.
Gejala yang timbul adalah sebagai berikut :
1) Air kencing seperti susu karena air kencing banyak
mengandung lemak, dan kadang-kadang disertai darah
(haematuria)
2) Sukar kencing
3) Kelelahan tubuh
21
4) Kehilangan berat badan.
d) Hidrokel
Adalah pelebaran kantung buah zakar karena terkumpulnya cairan
limfe di dalam tunica vaginalis testis. Hidrokel dapat terjadi pada
satu atau dua kantung buah zakar.
Gambaran klinis dan epidemiologis sebagai berikut:
1) Ukuran skrotum kadang-kadang normal tetapi kadang-
kadang sangat besar sekali, sehingga penis tertarik dan
tersembunyi
2) Kulit pada skrotum normal, lunak dan halus
3) Kadang-kadang akumulasi cairan limfe disertai dengan
komplikasi, yaitu komplikasi dengan Chyle (Chylocele),
darah (Haematocele) atau nanah (Pyocele). Uji
transiluminasi dapat digunakan untuk membedakan hidrokel
dengan komplikasi dan hidrokel tanpa komplikasi. Uji
transiluminasi ini dapat dikerjakan oleh dokter Puskesmas
yang sudah dilatih.
4) Hidrokel banyak ditemukan di daerah endemis W. bancrofti
dan dapat digunakan sebagai indikator adanya infeksi W.
bancrofti.
3.9 Pencegahan Filariasis (POPM Filariasis)
Obat yang diberikan pada kegiatan Pemberian Obat Pencegahan secara
Massal Filariasis adalah Diethylcarmabazine Citrate (DEC) dan Albendazole, yang
diberikan selama minimal 5 tahun berturut-turut. Obat DEC dan Albendazole yang
diminum dapat mematikan mikrofilaria dan menghentikan sementara kemampuan
cacing dewasa untuk berkembangbiak dan menghasilkan mikrofilaria selama 9-12
bulan. Rentang waktu pelaksanaa POPM Filariasis tahun-tahun pertama dan
berikutnya adalah 12 bulan, sesuai dengan lamanya cacing dewasa tidak mampu
berkembangbiak setelah meminum obat tersebut.
22
POPM Filariasis ini ditujukan kepada orang-orang yang tinggal di daerah
endemis Filariasis tersebut (baik yang sudah terkena infeksi, maupun tidak). Tetapi,
POPM Filariasis ditunda pemberiannya terhadap:
a. Ibu Hamil
b. Penderita Gangguan Fungsi Ginjal
c. Penderita Gangguan Fungsi Hati
d. Penderita Epilepsi
e. Penderita Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah
f. Penduduk yang sedang Sakit Berat
g. Penderita Filariasis Klinis Kronis yang sedang Alami Serangan Akut
h. Anak dengan Marasmus atau Kwasiorkor
 Diethylcarbamazine Citrate (DEC)
a) Indikasi
1. DEC merupakan obat Filariasis terpilih terhadap
mikrofilaria
2. DEC bersama Albendazole digunakan untuk mengontrol
limfatik Filariasis, dapat menurunkan mikrofilaria dengan
baik selama setahun. Pemberian sekali setahun selama
minimal 5 tahun berturut-turut bertujuan untuk
mempertahankan kadar mikrofilaria dalam darah tetap
rendah sehingga tidak memungkinkan terjadinya penularan.
Periode pengobatan ini diperhitungkan dengan masa subur
cacing dewasa.
b) Mekanisme
 Terhadap Mikrofilaria
1. Melumpuhkan otot mikrofilaria, sehingga tidak
dapat bertahan di tempat hidupnya.
2. Mengubah komposisi dinding mikrofilaria menjadi
lebih mudah dihancurkan oleh sistim pertahanan
tubuh.
 Terhadap Makrofilaria
23
1. Menyebabkan matinya cacing dewasa, tetapi
mekanisme belum jelas.
2. Cacing dewasa yang masih hidup dapat dihambat
untuk memproduksi mikrofilaria selama 9-12 bulan.
 Albendazole
a) Indikasi
1. Albendazole meningkatkan efek DEC dalam membunuh
mikrofilaria.
2. Albendazole dapat melemahkan makrofilaria.
3. Albendazole telah luas digunakan sebagai obat cacing usus
(cacing gelang, kremi, cambuk dan tambang)
Pemberian Obat sebaiknya sesudah makan. Dosis obat ditentukan sesuai
umur. DEC 6mg/kg BB dan Albendazole 400mg untuk semua umur, sekali
pemberian
3.10 Epidemiologi Filariasis
Dari data yang dilaporkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi dan hasil survei di
Indonesia, kasus Filariasis Kronis 10 tahun terakhir cenderung meningkat. Pada
tahun 2005 ada 8.243 kasus Filariasis meningkat menjadi 14.932 orang dari 418
kabupaten/kota di 34 Provinsi. Kasus Filariasis cenderung meningkat dari tahun ke
tahun disebabkan banyaknya kasus yang baru ditemukan seiring dengan
pelaksanaan pendataan sasaran sebelum POPM Filariasis.
Dari tahun 2002-2014 kumulatif kasus filariasis kronis yang cacat paling
tertinggi di NTT yaitu 3.175 kasus di 20 Kabupaten/Kota, Aceh sebesar 2.375 kasus
di 21 kabupaten/kota, Papua Barat dengan 1.765 kasus di 12 kabupaten/kota.
24
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 949/Menkes/SK/VIII/2004),
Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah suatu kejadian kesakitan/kematian dan atau
meningkatnya suatu kejadian kesakitan/kematian yang bermakna secara
epidemiologis pada suatu kelompok penduduk dalam kurun waktu tertentu.
Kriteria suatu kejadian dikatakan Kejadian Luar Biasa adalah Timbulnya
suatu penyakit/kesakitan yang sebelumnya tidak ada/tidak diketahui, meningkatnya
kejadian penyakit/kematian terus menerus selama 3 kurun waktu berturut-turut
menurut jenis penyakitnya (jam, hari, minggu, dst) serta Case fatality rate dari suatu
penyakit dalam kurun waktu tertentu menunjukkan 50% atau lebih dibandingkan
CFR dari periode sebelumnya.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi Kejadian Luar Biasa (KLB)
yaitu Herd Immunity yang rendah, patogenesitas, dan lingkungan yang buruk.
Prosedur penanggulangan KLB dapat dikategorikan menjadi tiga, yakni sebagai
berikut Masa Pra KLB dengan melaksanakan Sistem Kewaspadaan Dini secara
cermat, memberdayakan Tim Gerak Cepat (TGC), menanggulangi wabah dengan
Penyelidikan Epidemiologis, Pemeriksaan Medis, Pencegahan dan Pengebalan,
Pemusnahan Penyebab Penyakit, Penangan jenajah akibat wabah, Penyuluhan
kepada masyarakat serta Upaya penanggulangan lainya adalah tindakan-tindakan
khusus masing-masing penyakit yang dilakukan dalam rangka penanggulangan
wabah.
Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria yang hidup
dalam sistem limfe dan ditularkan oleh nyamuk. Bersifat menahun dan
menimbulkan cacat menetap. Gejala klinis berupa demam berulang 3-5 hari,
25
pembengkakan kelenjar limfe, pembesaran tungkai, buah dada, dan skrotum. Dapat
didiagnosis dengan cara deteksi parasit dan pemeriksaan USG pada skrotum.
Mekanisme penularan yaitu ketika nyamuk yang mengandung larva infektif
menggigit manusia, maka terjadi infeksi mikrofilaria. Tahap selanjutnya di dalam
tubuh manusia, larva memasuki sistem limfe dan tumbuh menjadi cacing dewasa.
Kumpulan cacing filaria dewasa ini menjadi penyebab penyumbatan pembuluh
limfe. Akibatnya terjadi pembengkakan kelenjar limfe, tungkai, dan alat kelamin.
Pencegahan filariasis dapat dilakukan dengan menghindari gigitan nyamuk
dan melakukan 3M. Pengobatan menggunakan DEC dikombinasikan dengan
Albendazol dan Ivermektin selain dilakukan pemijatan dan pembedahan. Upaya
rehabilitasi dapat dilakukan dengan operasi.
4.2 Ayat / Hadist Terkait
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
ِ‫ن‬ِ ‫ع‬ِ َ‫م‬‫ع‬َ ‫ل‬ْ‫ج‬ َ‫ز‬ِ‫ا‬ َ ََِِ ‫ع‬ِ‫ظ‬‫ع‬َ ِ‫ا‬ َ‫م‬‫ع‬َ ِِ،‫ع‬َ‫إ‬ِ‫ن‬َ ‫ع‬ ‫ع‬‫ن‬ِ ‫ع‬ِ َِِ‫ج‬ ‫ع‬َ‫ع‬ِ‫و‬ِ‫م‬َ ‫ع‬
َْ ‫ع‬ ‫ه‬ُِِْ‫ف‬ َِ ‫ع‬ِْ‫ر‬ َِِ‫ج‬ِِ،‫ل‬ِ‫ه‬ ‫ع‬‫ا‬ ‫ع‬ ‫ه‬ُِِْ‫ف‬ َِ ‫ع‬‫ه‬ِ‫س‬ ََِِِ‫ف‬،َ‫ن‬‫ه‬ُ‫إ‬ِ‫ل‬َ ‫ع‬‫ه‬َِْ
"Sesungguhnya besarnya pahala sebanding dengan besarnya cobaan. Dan
sesungguhnya, apabila Allah suka kepada suatu kaum maka Allah berikan cobaan
kepada mereka; siapa yang ridha maka baginya keridhaan (Allah) dan siapa yang
murka baginya kemurkaan (Allah)." (Al-Tirmidzi)
DAFTAR PUSTAKA
26
a. Chandra, Budiman. 2009. Ilmu Kedokteran Pencegahan dan Komunitas.
Jakarta: EGC
b. Hardiana, Ira. 2013. Leptospirosis Mengancam Warga DIY. Yogyakarta:
FKH UGM
c. InfoDATIN KEMENKES RI. Menuju Eliminasi Filariasis 2020
d. PERMENKES RI NO. 82 Tahun 2014 Tentang Penanggulangan Penyakit
Menular
e. PERMENKES RI NO. 94 Tahun 2014 Tentang Penanggulangan Filariasis
f. PERMENKES RI NO. 949/MENKES/SK/VIII/2004 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan Dini KLB
g. Priyontika, Bhakti. 2016. EWARS Sebagai Upaya Deteksi KLB di
Puskesmas Kabupaten Jember. Jember: FKM UNEJ
h. Sanusi, Rossi, et al. Health Policy Brief: Kebijakan Surveilans-Respons
dalam Sistem Informatika Kesehatan di Pusat dan Daerah dalam Era
Desentralisasi. Yogyakarta: FK UGM
i. Sumampouw, Oksfriani Jufri. 2017. Pemberantasan Penyakit Menular.
Yogyakarta: Deepublish
j. Zaenab, Sitti Noor. 2013. Surveilans Respons dalam Program KIA.
Yogyakarta: UGM

More Related Content

What's hot

What's hot (20)

pathway dhfPathway dhf
pathway dhfPathway dhfpathway dhfPathway dhf
pathway dhfPathway dhf
 
Colic abdomen
Colic abdomenColic abdomen
Colic abdomen
 
Pneumothorax powerpoint
Pneumothorax powerpointPneumothorax powerpoint
Pneumothorax powerpoint
 
Menstruasi (Siklus Menstruasi dan Gangguannya)
Menstruasi (Siklus Menstruasi dan Gangguannya)Menstruasi (Siklus Menstruasi dan Gangguannya)
Menstruasi (Siklus Menstruasi dan Gangguannya)
 
asuhan-keperawatan-tiroid
asuhan-keperawatan-tiroidasuhan-keperawatan-tiroid
asuhan-keperawatan-tiroid
 
Askep gerd
Askep gerdAskep gerd
Askep gerd
 
Hepatitis B dalam kehamilan
Hepatitis B dalam kehamilan   Hepatitis B dalam kehamilan
Hepatitis B dalam kehamilan
 
Lp efusi pleura
Lp efusi pleura Lp efusi pleura
Lp efusi pleura
 
Kti asuhan keperawatan pada an. f dengan demam tifoid
Kti  asuhan keperawatan pada an. f dengan demam tifoidKti  asuhan keperawatan pada an. f dengan demam tifoid
Kti asuhan keperawatan pada an. f dengan demam tifoid
 
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisikPemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik
 
Penyakit infeksi menular seksual pada ibu hamil
Penyakit infeksi menular seksual pada ibu hamilPenyakit infeksi menular seksual pada ibu hamil
Penyakit infeksi menular seksual pada ibu hamil
 
Ppt apendisitis ppt
Ppt apendisitis pptPpt apendisitis ppt
Ppt apendisitis ppt
 
Leaflet bronchopneumonia
Leaflet bronchopneumoniaLeaflet bronchopneumonia
Leaflet bronchopneumonia
 
Diare - Power Point
Diare - Power PointDiare - Power Point
Diare - Power Point
 
Askep Labiopalatoskisis
Askep LabiopalatoskisisAskep Labiopalatoskisis
Askep Labiopalatoskisis
 
Partograf dan penilaian kemajuan persalinan
Partograf dan penilaian kemajuan persalinanPartograf dan penilaian kemajuan persalinan
Partograf dan penilaian kemajuan persalinan
 
Ppt bu ayu
Ppt bu ayuPpt bu ayu
Ppt bu ayu
 
Pemeriksaan leopold
Pemeriksaan leopoldPemeriksaan leopold
Pemeriksaan leopold
 
Atresia ani
Atresia aniAtresia ani
Atresia ani
 
Askep campak
Askep campak Askep campak
Askep campak
 

Similar to Laporan tutorial skenario 2 blok 7

Epidemiologi Deskriptif Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kelurahan Keraton M...
Epidemiologi Deskriptif Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kelurahan Keraton M...Epidemiologi Deskriptif Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kelurahan Keraton M...
Epidemiologi Deskriptif Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kelurahan Keraton M...sofian.alfarisi
 
MAKALAH EPIDEMIOLOGI UKURAN ASOSIASI (KHUSUS) PENYAKIT DIARE DI WILAYAH DALAM...
MAKALAH EPIDEMIOLOGI UKURAN ASOSIASI (KHUSUS) PENYAKIT DIARE DI WILAYAH DALAM...MAKALAH EPIDEMIOLOGI UKURAN ASOSIASI (KHUSUS) PENYAKIT DIARE DI WILAYAH DALAM...
MAKALAH EPIDEMIOLOGI UKURAN ASOSIASI (KHUSUS) PENYAKIT DIARE DI WILAYAH DALAM...dwiputri123
 
penyakit-autoimun-kelompok-3.pdf
penyakit-autoimun-kelompok-3.pdfpenyakit-autoimun-kelompok-3.pdf
penyakit-autoimun-kelompok-3.pdfSkSoyeb5
 
Laporan Field Lab OBSERVASI PEMERIKSAAN PASIEN ANAK
Laporan Field Lab OBSERVASI PEMERIKSAAN PASIEN ANAKLaporan Field Lab OBSERVASI PEMERIKSAAN PASIEN ANAK
Laporan Field Lab OBSERVASI PEMERIKSAAN PASIEN ANAKVina Widya Putri
 
Askep disentri
Askep disentriAskep disentri
Askep disentriSri Nala
 
BUKU Surveilans difteri 0701.pdf
BUKU Surveilans difteri  0701.pdfBUKU Surveilans difteri  0701.pdf
BUKU Surveilans difteri 0701.pdfHary Satrisno
 
Pedoman Pencegahan Corona Virus Disease 19 Covid-19
Pedoman Pencegahan Corona Virus Disease 19 Covid-19Pedoman Pencegahan Corona Virus Disease 19 Covid-19
Pedoman Pencegahan Corona Virus Disease 19 Covid-19Sendy Halim Toana
 
Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Corona Virus Disease (Covid-19)
Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Corona Virus Disease (Covid-19)Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Corona Virus Disease (Covid-19)
Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Corona Virus Disease (Covid-19)JalinKrakatau
 
Asuhan Keperawatan Infeksi
Asuhan Keperawatan InfeksiAsuhan Keperawatan Infeksi
Asuhan Keperawatan InfeksiAmee Hidayat
 
Pedoman Kesiapsiagaan Novel Corona Virus, Kementerian Kesehatan 2020
Pedoman Kesiapsiagaan Novel Corona Virus,  Kementerian Kesehatan 2020Pedoman Kesiapsiagaan Novel Corona Virus,  Kementerian Kesehatan 2020
Pedoman Kesiapsiagaan Novel Corona Virus, Kementerian Kesehatan 2020Awallokita Mayangsari
 
Kelompok 7 virologi.docx
Kelompok 7 virologi.docxKelompok 7 virologi.docx
Kelompok 7 virologi.docxHanungFirman
 
Buku pedoman keselamatan pasien
Buku pedoman keselamatan pasienBuku pedoman keselamatan pasien
Buku pedoman keselamatan pasiendsudiana77
 
Modul 4 patologi praktek
Modul 4 patologi praktekModul 4 patologi praktek
Modul 4 patologi praktekpjj_kemenkes
 
PEDOMAN_PE_KLB_FINAL.pdf
PEDOMAN_PE_KLB_FINAL.pdfPEDOMAN_PE_KLB_FINAL.pdf
PEDOMAN_PE_KLB_FINAL.pdfedisambas1
 
Konsep dan teori penyebab terjadinya penyakit typus di desa pesayangan martap...
Konsep dan teori penyebab terjadinya penyakit typus di desa pesayangan martap...Konsep dan teori penyebab terjadinya penyakit typus di desa pesayangan martap...
Konsep dan teori penyebab terjadinya penyakit typus di desa pesayangan martap...winaldy21
 

Similar to Laporan tutorial skenario 2 blok 7 (20)

Epidemiologi Deskriptif Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kelurahan Keraton M...
Epidemiologi Deskriptif Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kelurahan Keraton M...Epidemiologi Deskriptif Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kelurahan Keraton M...
Epidemiologi Deskriptif Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kelurahan Keraton M...
 
MAKALAH EPIDEMIOLOGI UKURAN ASOSIASI (KHUSUS) PENYAKIT DIARE DI WILAYAH DALAM...
MAKALAH EPIDEMIOLOGI UKURAN ASOSIASI (KHUSUS) PENYAKIT DIARE DI WILAYAH DALAM...MAKALAH EPIDEMIOLOGI UKURAN ASOSIASI (KHUSUS) PENYAKIT DIARE DI WILAYAH DALAM...
MAKALAH EPIDEMIOLOGI UKURAN ASOSIASI (KHUSUS) PENYAKIT DIARE DI WILAYAH DALAM...
 
Konsep Surveilans
Konsep SurveilansKonsep Surveilans
Konsep Surveilans
 
penyakit-autoimun-kelompok-3.pdf
penyakit-autoimun-kelompok-3.pdfpenyakit-autoimun-kelompok-3.pdf
penyakit-autoimun-kelompok-3.pdf
 
Laporan Field Lab OBSERVASI PEMERIKSAAN PASIEN ANAK
Laporan Field Lab OBSERVASI PEMERIKSAAN PASIEN ANAKLaporan Field Lab OBSERVASI PEMERIKSAAN PASIEN ANAK
Laporan Field Lab OBSERVASI PEMERIKSAAN PASIEN ANAK
 
Askep disentri
Askep disentriAskep disentri
Askep disentri
 
BUKU Surveilans difteri 0701.pdf
BUKU Surveilans difteri  0701.pdfBUKU Surveilans difteri  0701.pdf
BUKU Surveilans difteri 0701.pdf
 
Pedoman Pencegahan Corona Virus Disease 19 Covid-19
Pedoman Pencegahan Corona Virus Disease 19 Covid-19Pedoman Pencegahan Corona Virus Disease 19 Covid-19
Pedoman Pencegahan Corona Virus Disease 19 Covid-19
 
Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Corona Virus Disease (Covid-19)
Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Corona Virus Disease (Covid-19)Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Corona Virus Disease (Covid-19)
Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Corona Virus Disease (Covid-19)
 
Asuhan Keperawatan Infeksi
Asuhan Keperawatan InfeksiAsuhan Keperawatan Infeksi
Asuhan Keperawatan Infeksi
 
Pedoman Kesiapsiagaan Novel Corona Virus, Kementerian Kesehatan 2020
Pedoman Kesiapsiagaan Novel Corona Virus,  Kementerian Kesehatan 2020Pedoman Kesiapsiagaan Novel Corona Virus,  Kementerian Kesehatan 2020
Pedoman Kesiapsiagaan Novel Corona Virus, Kementerian Kesehatan 2020
 
INC FISOL SHANTI.doc
INC FISOL SHANTI.docINC FISOL SHANTI.doc
INC FISOL SHANTI.doc
 
Kelompok 7 virologi.docx
Kelompok 7 virologi.docxKelompok 7 virologi.docx
Kelompok 7 virologi.docx
 
Buku pedoman keselamatan pasien
Buku pedoman keselamatan pasienBuku pedoman keselamatan pasien
Buku pedoman keselamatan pasien
 
Praktek patologi
Praktek patologiPraktek patologi
Praktek patologi
 
Modul 4 patologi praktek
Modul 4 patologi praktekModul 4 patologi praktek
Modul 4 patologi praktek
 
Tinjauan pustaka 1
Tinjauan pustaka 1Tinjauan pustaka 1
Tinjauan pustaka 1
 
PEDOMAN_PE_KLB_FINAL.pdf
PEDOMAN_PE_KLB_FINAL.pdfPEDOMAN_PE_KLB_FINAL.pdf
PEDOMAN_PE_KLB_FINAL.pdf
 
Konsep dan teori penyebab terjadinya penyakit typus di desa pesayangan martap...
Konsep dan teori penyebab terjadinya penyakit typus di desa pesayangan martap...Konsep dan teori penyebab terjadinya penyakit typus di desa pesayangan martap...
Konsep dan teori penyebab terjadinya penyakit typus di desa pesayangan martap...
 
Tugas eni safitri epidemiologi
Tugas eni safitri epidemiologiTugas eni safitri epidemiologi
Tugas eni safitri epidemiologi
 

More from Vina Widya Putri

Lesi Putih, Variasi Normal, Leukoplakia
Lesi Putih, Variasi Normal, LeukoplakiaLesi Putih, Variasi Normal, Leukoplakia
Lesi Putih, Variasi Normal, LeukoplakiaVina Widya Putri
 
Reccurent Aphthous Stomatitis (RAS) / Stomatitis Aftosa Rekuren
Reccurent Aphthous Stomatitis (RAS) / Stomatitis Aftosa RekurenReccurent Aphthous Stomatitis (RAS) / Stomatitis Aftosa Rekuren
Reccurent Aphthous Stomatitis (RAS) / Stomatitis Aftosa RekurenVina Widya Putri
 
Laporan Praktikum Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Untuk Menegakkan Diagnos...
Laporan Praktikum Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Untuk Menegakkan Diagnos...Laporan Praktikum Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Untuk Menegakkan Diagnos...
Laporan Praktikum Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Untuk Menegakkan Diagnos...Vina Widya Putri
 
Lesi Rongga Mulut Akibat Virus
Lesi Rongga Mulut Akibat VirusLesi Rongga Mulut Akibat Virus
Lesi Rongga Mulut Akibat VirusVina Widya Putri
 
Dental Indices (Indeks Pemeriksaan Jaringan Penyangga / Periodontal Gigi)
Dental Indices (Indeks Pemeriksaan Jaringan Penyangga / Periodontal Gigi)Dental Indices (Indeks Pemeriksaan Jaringan Penyangga / Periodontal Gigi)
Dental Indices (Indeks Pemeriksaan Jaringan Penyangga / Periodontal Gigi)Vina Widya Putri
 
Pemeriksaan CPITN, PBI & Tooth Mobility
Pemeriksaan CPITN, PBI & Tooth MobilityPemeriksaan CPITN, PBI & Tooth Mobility
Pemeriksaan CPITN, PBI & Tooth MobilityVina Widya Putri
 
Alat & Bahan Penumpatan Gigi
Alat & Bahan Penumpatan GigiAlat & Bahan Penumpatan Gigi
Alat & Bahan Penumpatan GigiVina Widya Putri
 
Laporan Tutorial Atrisi, Abrasi, Abfraksi & Erosi
Laporan Tutorial Atrisi, Abrasi, Abfraksi & ErosiLaporan Tutorial Atrisi, Abrasi, Abfraksi & Erosi
Laporan Tutorial Atrisi, Abrasi, Abfraksi & ErosiVina Widya Putri
 
Laporan Praktikum Absorbsi & Ekskresi Obat
Laporan Praktikum Absorbsi & Ekskresi ObatLaporan Praktikum Absorbsi & Ekskresi Obat
Laporan Praktikum Absorbsi & Ekskresi ObatVina Widya Putri
 
Laporan Field Lab Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Ob...
Laporan Field Lab Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Ob...Laporan Field Lab Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Ob...
Laporan Field Lab Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Ob...Vina Widya Putri
 
Tutorial Maloklusi & Crossbite
Tutorial Maloklusi & CrossbiteTutorial Maloklusi & Crossbite
Tutorial Maloklusi & CrossbiteVina Widya Putri
 
Tutorial Diskolorasi Gigi & Hipoplasia Enamel
Tutorial Diskolorasi Gigi & Hipoplasia EnamelTutorial Diskolorasi Gigi & Hipoplasia Enamel
Tutorial Diskolorasi Gigi & Hipoplasia EnamelVina Widya Putri
 
Tutorial Behavior Management Anak
Tutorial Behavior Management AnakTutorial Behavior Management Anak
Tutorial Behavior Management AnakVina Widya Putri
 
Laporan tutorial Radiografi Kedokteran Gigi
Laporan tutorial Radiografi Kedokteran GigiLaporan tutorial Radiografi Kedokteran Gigi
Laporan tutorial Radiografi Kedokteran GigiVina Widya Putri
 
Premolar kedua rahang atas
Premolar kedua rahang atasPremolar kedua rahang atas
Premolar kedua rahang atasVina Widya Putri
 
Premolar pertama rahang atas
Premolar pertama rahang atasPremolar pertama rahang atas
Premolar pertama rahang atasVina Widya Putri
 
Laporan Tutorial (Bakteri, Infeksi dan Inflamasi)
Laporan Tutorial (Bakteri, Infeksi dan Inflamasi)Laporan Tutorial (Bakteri, Infeksi dan Inflamasi)
Laporan Tutorial (Bakteri, Infeksi dan Inflamasi)Vina Widya Putri
 
Laporan Praktikum Biokimia Darah dan Pemeriksaan Kandungan Senyawa dalam Darah
Laporan Praktikum Biokimia Darah dan Pemeriksaan Kandungan Senyawa dalam DarahLaporan Praktikum Biokimia Darah dan Pemeriksaan Kandungan Senyawa dalam Darah
Laporan Praktikum Biokimia Darah dan Pemeriksaan Kandungan Senyawa dalam DarahVina Widya Putri
 

More from Vina Widya Putri (20)

Infeksi Odontogenik
Infeksi OdontogenikInfeksi Odontogenik
Infeksi Odontogenik
 
Lesi Pigmentasi
Lesi PigmentasiLesi Pigmentasi
Lesi Pigmentasi
 
Lesi Putih, Variasi Normal, Leukoplakia
Lesi Putih, Variasi Normal, LeukoplakiaLesi Putih, Variasi Normal, Leukoplakia
Lesi Putih, Variasi Normal, Leukoplakia
 
Reccurent Aphthous Stomatitis (RAS) / Stomatitis Aftosa Rekuren
Reccurent Aphthous Stomatitis (RAS) / Stomatitis Aftosa RekurenReccurent Aphthous Stomatitis (RAS) / Stomatitis Aftosa Rekuren
Reccurent Aphthous Stomatitis (RAS) / Stomatitis Aftosa Rekuren
 
Laporan Praktikum Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Untuk Menegakkan Diagnos...
Laporan Praktikum Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Untuk Menegakkan Diagnos...Laporan Praktikum Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Untuk Menegakkan Diagnos...
Laporan Praktikum Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Untuk Menegakkan Diagnos...
 
Lesi Rongga Mulut Akibat Virus
Lesi Rongga Mulut Akibat VirusLesi Rongga Mulut Akibat Virus
Lesi Rongga Mulut Akibat Virus
 
Dental Indices (Indeks Pemeriksaan Jaringan Penyangga / Periodontal Gigi)
Dental Indices (Indeks Pemeriksaan Jaringan Penyangga / Periodontal Gigi)Dental Indices (Indeks Pemeriksaan Jaringan Penyangga / Periodontal Gigi)
Dental Indices (Indeks Pemeriksaan Jaringan Penyangga / Periodontal Gigi)
 
Pemeriksaan CPITN, PBI & Tooth Mobility
Pemeriksaan CPITN, PBI & Tooth MobilityPemeriksaan CPITN, PBI & Tooth Mobility
Pemeriksaan CPITN, PBI & Tooth Mobility
 
Alat & Bahan Penumpatan Gigi
Alat & Bahan Penumpatan GigiAlat & Bahan Penumpatan Gigi
Alat & Bahan Penumpatan Gigi
 
Laporan Tutorial Atrisi, Abrasi, Abfraksi & Erosi
Laporan Tutorial Atrisi, Abrasi, Abfraksi & ErosiLaporan Tutorial Atrisi, Abrasi, Abfraksi & Erosi
Laporan Tutorial Atrisi, Abrasi, Abfraksi & Erosi
 
Laporan Praktikum Absorbsi & Ekskresi Obat
Laporan Praktikum Absorbsi & Ekskresi ObatLaporan Praktikum Absorbsi & Ekskresi Obat
Laporan Praktikum Absorbsi & Ekskresi Obat
 
Laporan Field Lab Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Ob...
Laporan Field Lab Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Ob...Laporan Field Lab Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Ob...
Laporan Field Lab Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Ob...
 
Tutorial Maloklusi & Crossbite
Tutorial Maloklusi & CrossbiteTutorial Maloklusi & Crossbite
Tutorial Maloklusi & Crossbite
 
Tutorial Diskolorasi Gigi & Hipoplasia Enamel
Tutorial Diskolorasi Gigi & Hipoplasia EnamelTutorial Diskolorasi Gigi & Hipoplasia Enamel
Tutorial Diskolorasi Gigi & Hipoplasia Enamel
 
Tutorial Behavior Management Anak
Tutorial Behavior Management AnakTutorial Behavior Management Anak
Tutorial Behavior Management Anak
 
Laporan tutorial Radiografi Kedokteran Gigi
Laporan tutorial Radiografi Kedokteran GigiLaporan tutorial Radiografi Kedokteran Gigi
Laporan tutorial Radiografi Kedokteran Gigi
 
Premolar kedua rahang atas
Premolar kedua rahang atasPremolar kedua rahang atas
Premolar kedua rahang atas
 
Premolar pertama rahang atas
Premolar pertama rahang atasPremolar pertama rahang atas
Premolar pertama rahang atas
 
Laporan Tutorial (Bakteri, Infeksi dan Inflamasi)
Laporan Tutorial (Bakteri, Infeksi dan Inflamasi)Laporan Tutorial (Bakteri, Infeksi dan Inflamasi)
Laporan Tutorial (Bakteri, Infeksi dan Inflamasi)
 
Laporan Praktikum Biokimia Darah dan Pemeriksaan Kandungan Senyawa dalam Darah
Laporan Praktikum Biokimia Darah dan Pemeriksaan Kandungan Senyawa dalam DarahLaporan Praktikum Biokimia Darah dan Pemeriksaan Kandungan Senyawa dalam Darah
Laporan Praktikum Biokimia Darah dan Pemeriksaan Kandungan Senyawa dalam Darah
 

Recently uploaded

PPT presentasi tentang ekshumasi stase forensik
PPT presentasi tentang ekshumasi stase forensikPPT presentasi tentang ekshumasi stase forensik
PPT presentasi tentang ekshumasi stase forensikSavitriIndrasari1
 
Toksikologi obat dan macam-macam obat yang toksik dan berbahaya.ppt
Toksikologi obat dan macam-macam obat yang toksik dan berbahaya.pptToksikologi obat dan macam-macam obat yang toksik dan berbahaya.ppt
Toksikologi obat dan macam-macam obat yang toksik dan berbahaya.pptRoniAlfaqih2
 
materi tentang sistem imun tubuh manusia
materi tentang sistem  imun tubuh manusiamateri tentang sistem  imun tubuh manusia
materi tentang sistem imun tubuh manusiastvitania08
 
SEDIAAN EMULSI : DEFINISI, TIPE EMULSI, JENIS EMULGATOR DAN CARA PEMBUATAN
SEDIAAN EMULSI : DEFINISI, TIPE EMULSI, JENIS EMULGATOR DAN CARA PEMBUATANSEDIAAN EMULSI : DEFINISI, TIPE EMULSI, JENIS EMULGATOR DAN CARA PEMBUATAN
SEDIAAN EMULSI : DEFINISI, TIPE EMULSI, JENIS EMULGATOR DAN CARA PEMBUATANYayahKodariyah
 
PERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.ppt
PERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.pptPERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.ppt
PERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.pptbekamalayniasinta
 
penyuluhan terkait kanker payudara oleh mahasiswa k3s
penyuluhan terkait kanker payudara oleh mahasiswa k3spenyuluhan terkait kanker payudara oleh mahasiswa k3s
penyuluhan terkait kanker payudara oleh mahasiswa k3smwk57khb29
 
456720224-1-Antenatal Care-Terpadu-10-T-ppt.ppt
456720224-1-Antenatal Care-Terpadu-10-T-ppt.ppt456720224-1-Antenatal Care-Terpadu-10-T-ppt.ppt
456720224-1-Antenatal Care-Terpadu-10-T-ppt.pptDesiskaPricilia1
 
414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptx
414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptx414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptx
414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptxrachmatpawelloi
 
MPI 3. Pengendalian Penyakit pada JH 2023 Kadar.pptx
MPI 3. Pengendalian Penyakit pada JH 2023 Kadar.pptxMPI 3. Pengendalian Penyakit pada JH 2023 Kadar.pptx
MPI 3. Pengendalian Penyakit pada JH 2023 Kadar.pptxISKANDARSYAPARI
 
PERHITUNGAN_DAN_KATEGORI_STATUS_GIZI.ppt
PERHITUNGAN_DAN_KATEGORI_STATUS_GIZI.pptPERHITUNGAN_DAN_KATEGORI_STATUS_GIZI.ppt
PERHITUNGAN_DAN_KATEGORI_STATUS_GIZI.pptika291990
 
SWAMEDIKASI ALERGI PRODI SARJANA FARMASI.pdf
SWAMEDIKASI ALERGI PRODI SARJANA FARMASI.pdfSWAMEDIKASI ALERGI PRODI SARJANA FARMASI.pdf
SWAMEDIKASI ALERGI PRODI SARJANA FARMASI.pdfFatimaZalamatulInzan
 
Strategi_Pengendalian_RisikoZSFADXSCFQ.pdf
Strategi_Pengendalian_RisikoZSFADXSCFQ.pdfStrategi_Pengendalian_RisikoZSFADXSCFQ.pdf
Strategi_Pengendalian_RisikoZSFADXSCFQ.pdfhsetraining040
 
PANDUAN TUGAS AKHIR SKRIPSI PRODI KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI PROGRAM SARJANA T...
PANDUAN TUGAS AKHIR SKRIPSI PRODI KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI PROGRAM SARJANA T...PANDUAN TUGAS AKHIR SKRIPSI PRODI KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI PROGRAM SARJANA T...
PANDUAN TUGAS AKHIR SKRIPSI PRODI KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI PROGRAM SARJANA T...AdekKhazelia
 
Laporan Kasus - Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut.pptx
Laporan Kasus - Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut.pptxLaporan Kasus - Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut.pptx
Laporan Kasus - Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut.pptxkaiba5
 
konsep nutrisi pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler.pptx
konsep nutrisi pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler.pptxkonsep nutrisi pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler.pptx
konsep nutrisi pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler.pptxrittafarmaraflesia
 
PPT KONTRASEPSI KB HORMONAL DAN NON HORMONAL
PPT KONTRASEPSI KB HORMONAL DAN NON HORMONALPPT KONTRASEPSI KB HORMONAL DAN NON HORMONAL
PPT KONTRASEPSI KB HORMONAL DAN NON HORMONALMayangWulan3
 
anatomi fisiologi sistem penginderaan.ppt
anatomi fisiologi sistem penginderaan.pptanatomi fisiologi sistem penginderaan.ppt
anatomi fisiologi sistem penginderaan.pptRoniAlfaqih2
 
Pelajaran Distosia Bahu pada persalinann
Pelajaran Distosia Bahu pada persalinannPelajaran Distosia Bahu pada persalinann
Pelajaran Distosia Bahu pada persalinannandyyusrizal2
 

Recently uploaded (18)

PPT presentasi tentang ekshumasi stase forensik
PPT presentasi tentang ekshumasi stase forensikPPT presentasi tentang ekshumasi stase forensik
PPT presentasi tentang ekshumasi stase forensik
 
Toksikologi obat dan macam-macam obat yang toksik dan berbahaya.ppt
Toksikologi obat dan macam-macam obat yang toksik dan berbahaya.pptToksikologi obat dan macam-macam obat yang toksik dan berbahaya.ppt
Toksikologi obat dan macam-macam obat yang toksik dan berbahaya.ppt
 
materi tentang sistem imun tubuh manusia
materi tentang sistem  imun tubuh manusiamateri tentang sistem  imun tubuh manusia
materi tentang sistem imun tubuh manusia
 
SEDIAAN EMULSI : DEFINISI, TIPE EMULSI, JENIS EMULGATOR DAN CARA PEMBUATAN
SEDIAAN EMULSI : DEFINISI, TIPE EMULSI, JENIS EMULGATOR DAN CARA PEMBUATANSEDIAAN EMULSI : DEFINISI, TIPE EMULSI, JENIS EMULGATOR DAN CARA PEMBUATAN
SEDIAAN EMULSI : DEFINISI, TIPE EMULSI, JENIS EMULGATOR DAN CARA PEMBUATAN
 
PERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.ppt
PERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.pptPERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.ppt
PERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.ppt
 
penyuluhan terkait kanker payudara oleh mahasiswa k3s
penyuluhan terkait kanker payudara oleh mahasiswa k3spenyuluhan terkait kanker payudara oleh mahasiswa k3s
penyuluhan terkait kanker payudara oleh mahasiswa k3s
 
456720224-1-Antenatal Care-Terpadu-10-T-ppt.ppt
456720224-1-Antenatal Care-Terpadu-10-T-ppt.ppt456720224-1-Antenatal Care-Terpadu-10-T-ppt.ppt
456720224-1-Antenatal Care-Terpadu-10-T-ppt.ppt
 
414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptx
414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptx414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptx
414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptx
 
MPI 3. Pengendalian Penyakit pada JH 2023 Kadar.pptx
MPI 3. Pengendalian Penyakit pada JH 2023 Kadar.pptxMPI 3. Pengendalian Penyakit pada JH 2023 Kadar.pptx
MPI 3. Pengendalian Penyakit pada JH 2023 Kadar.pptx
 
PERHITUNGAN_DAN_KATEGORI_STATUS_GIZI.ppt
PERHITUNGAN_DAN_KATEGORI_STATUS_GIZI.pptPERHITUNGAN_DAN_KATEGORI_STATUS_GIZI.ppt
PERHITUNGAN_DAN_KATEGORI_STATUS_GIZI.ppt
 
SWAMEDIKASI ALERGI PRODI SARJANA FARMASI.pdf
SWAMEDIKASI ALERGI PRODI SARJANA FARMASI.pdfSWAMEDIKASI ALERGI PRODI SARJANA FARMASI.pdf
SWAMEDIKASI ALERGI PRODI SARJANA FARMASI.pdf
 
Strategi_Pengendalian_RisikoZSFADXSCFQ.pdf
Strategi_Pengendalian_RisikoZSFADXSCFQ.pdfStrategi_Pengendalian_RisikoZSFADXSCFQ.pdf
Strategi_Pengendalian_RisikoZSFADXSCFQ.pdf
 
PANDUAN TUGAS AKHIR SKRIPSI PRODI KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI PROGRAM SARJANA T...
PANDUAN TUGAS AKHIR SKRIPSI PRODI KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI PROGRAM SARJANA T...PANDUAN TUGAS AKHIR SKRIPSI PRODI KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI PROGRAM SARJANA T...
PANDUAN TUGAS AKHIR SKRIPSI PRODI KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI PROGRAM SARJANA T...
 
Laporan Kasus - Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut.pptx
Laporan Kasus - Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut.pptxLaporan Kasus - Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut.pptx
Laporan Kasus - Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut.pptx
 
konsep nutrisi pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler.pptx
konsep nutrisi pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler.pptxkonsep nutrisi pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler.pptx
konsep nutrisi pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler.pptx
 
PPT KONTRASEPSI KB HORMONAL DAN NON HORMONAL
PPT KONTRASEPSI KB HORMONAL DAN NON HORMONALPPT KONTRASEPSI KB HORMONAL DAN NON HORMONAL
PPT KONTRASEPSI KB HORMONAL DAN NON HORMONAL
 
anatomi fisiologi sistem penginderaan.ppt
anatomi fisiologi sistem penginderaan.pptanatomi fisiologi sistem penginderaan.ppt
anatomi fisiologi sistem penginderaan.ppt
 
Pelajaran Distosia Bahu pada persalinann
Pelajaran Distosia Bahu pada persalinannPelajaran Distosia Bahu pada persalinann
Pelajaran Distosia Bahu pada persalinann
 

Laporan tutorial skenario 2 blok 7

  • 1. LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 2 BLOK 7 KEDOKTERAN GIGI KELUARGA 1 Tutor drg. Ratna Sulistyorini Disusun Oleh Ketua: Resty Annisya J2A017040 Scrable 1: Vina Widya Putri J2A017017 Scrable 2: Finandia Laras Saputri J2A017043 Anggota: Rika Widya Kartika J2A017016 Shafira Varianda Fatimah J2A017019 Syarafina Ummu Salamah J2A017023 Sahara Sa’adillah Isri J2A017026 Ovie Luksita Lathifa J2A017039 Ira Naca Gistina Saputri J2A017045 Raissa Ridha Rahmandhiya J2A017046 Kamilatusyariyah J2A017047 Arkhamatus Wafiroh J2A017049 Idzhar Qolby Fatichin J2A017050 FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG 2018
  • 2. i KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan pertolongan-Nya kami dapat menyelesaikan Laporan Tutorial Skenario 2 Blok 7 yang berjudul “Kasus Kaki Gajah di Kotaku”. Laporan ini kami susun untuk memenuhi tugas Tutorial. Dalam laporan ini dibahas mengenai Sistem Kewaspadaan Dini, Kejadian Luar Biasa/KLB, Sistem Surveilans Respons dan Filariasis. Dengan selesainya laporan ini, maka tidak lupa kami mengucapkan terima kasih khususnya kepada drg. Ratna Sulistyorini selaku Tutor Tutorial Blok 7, teman-teman yang sudah memberi masukan baik langsung maupun tidak langsung, juga pihak-pihak yang menyediakan sumber yang telah kami satukan. Demikian laporan ini kami selesaikan, semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca. Mohon maaf apabila masih terdapat kekurangan disana-sini. Saran-saran serta kritik yang konstruktif sangat kami harapkan dari para pembaca guna peningkatan pembuatan laporan pada tugas yang lain di waktu mendatang. Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Semarang, 24 September 2018 Penyusun
  • 3. ii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ........................................................................ i DAFTAR ISI ……………………………………………………….. ii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ………………………………………………………………. 1 1.2 Rumusan Masalah …………………………………………………………… 2 1.3 Tujuan ……………………………………………………………………….. 3 1.4 Manfaat ............................................................................................................ 3 1.5 Skenario 2 Blok 7 ............................................................................................ 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mapping ……………………………………………………………………... 5 BAB III PEMBAHASAN 3.1 Konsep Pencegahan (Sistem Kewaspadaan Dini/SKD) ……………………. 6 3.2 Kejadian Luar Biasa/KLB (Endemik, Epidemik, Pandemik, Sporadik) ……. 9 3.3 Informasi Kesehatan dan Sistem Surveilans Respons ……………………... 11 3.4 Etiologi Filariasis …………………………………………………………... 13 3.5 Faktor Risiko Filariasis …………………………………………………….. 15 3.6 Mekanisme Filariasis ………………………………………………………. 18 3.7 Masa Inkubasi Filarisis …………………………………………………….. 19 3.8 Gambaran Klinis Filariasis ............................................................................ 19 3.9 Pencegahan Filariasis (POPM Filariasis) ……………………………...….... 21 3.10 Epidemiologi Filariasis ................................................................................ 23
  • 4. iii BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan ………………………………………………………………… 24 4.2 Ayat / Hadist Terkait ……………………………………………………….. 25 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………..26
  • 5. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kejadian luar biasa (KLB) suatu penyakit memberikan dampak kerugian yang signifikan terhadap kesehatan, ekonomi maupun sosial. Ketika terjadi KLB, ilmu kesehatan masyarakat berperan utama dalam hal pengawasan penyebaran dari penyakit tersebut, sehingga dapat meminimalisir angka kesakitan baru, angka kematian, dan dampak negatif lain yang ditimbulkan. Elemen kunci dari peran ini adalah aspek komunikasi yang harus dilakukan secepat mungkin menyasar pada level yang berbeda-beda agar terjadi kepedulian bersama. Biasanya strategi berfokus pada pengembangan pesan dan diseminasi informasi. Jika KLB dideteksi secara dini, maka pengawasan dan penanganannya dapat dilakukan dengan baik. Filariasis merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh cacing Wuchereria Bancrofti (W. Bancrofti), Brugia(B) Malayi dan B. Timori. Penyakit ini menyebabkan pembengkakan pada kaki. Masyarakat biasa menyebut penyakit ini dengan kaki gajah (elephantiasis). Umumnya penyakit ini menyerang masyarakat usia dewasa muda yang aktif bekerja, sehingga menurunkan produktivitas akibat adanya demam yang kerap menyerang penderita selama 3-5 hari. Demam yang diderita umumnya terjadi 2-3 kali setahun yang disertai dengan pembengkakan kelenjar lipat paha (Anorital & Dewi, 2004). Dengan pembesaran kaki, akan mengganggu aktivitas penderita, menurunkan rasa percaya diri dan pada akhirnya akan menurunkan produktivitas serta menurunkan kualitas hidup. Disamping itu, penyakit ini bisa menjadi irreversible bila sudah parah. Penyakit ini menyerang hampir di seluruh dunia, World Health Organization (WHO) mencatat hampir 1,4 miliar orang di 73 negara di seluruh dunia terancam oleh filariasis limfatik, umumnya dikenal sebagai kaki gajah. Sekitar 65% dari
  • 6. 2 mereka yang terinfeksi hidup di Kawasan Asia Tenggara, 30% di wilayah Afrika, dan sisanya di daerah tropis lainnya (World Health Organization, 2013). Di Indonesia sampai dengan tahun 2009 dilaporkan sebanyak 31 propinsi dan 337 kabupaten/kota endemis filariasis dan 11.914 kasus kronis. (Wahyono, 2010). Hampir seluruh wilayah Indonesia adalah daerah endemis filariasis, terutama wilayah Indonesia Timur yang memiliki prevalensi lebih tinggi. Untuk mengatasi penyakit ini, WHO meluncurkan Program global untuk menghilangkan filariasis limfatik, yaitu Global Programme to Eliminate Lymphatic Filariasis (GPELF) pada tahun 2000. Tujuan dari GPELF adalah menghilangkan filariasis limfatik sebagai masalah kesehatan masyarakat pada tahun 2020. Strategi ini didasarkan pada dua komponen utama yaitu (1)Mengganggu transmisi melalui program tahunan skala besar pengobatan, dikenal sebagai pemberian obat massal, dilaksanakan untuk menutupi seluruh populasi berisiko; (2) Mengurangi penderitaan yang disebabkan oleh filariasis limfatik melalui manajemen morbiditas dan pencegahan kecacatan (World Health Organization, 2013). 1.2 Rumusan Masalah 1. Konsep Pencegahan (Sistem Kewaspadaan Dini) 2. Kejadian Luar Biasa/KLB (Endemik, Epidemik, Pandemik, Sporadik) 3. Informasi Kesehatan dan Sistem Surveilans Respons 4. Etiologi Filariasis 5. Faktor Risiko Filariasis 6. Mekanisme Filariasis 7. Masa Inkubasi Filariasis 8. Gambaran Klinis Filariasis 9. Pencegahan Filariasis (POPM Filariasis) 10. Epidemiologi Filariasis 1.3 Tujuan
  • 7. 3 Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan pembuatan laporan ini adalah sebagai berikut. 1. Mahasiswa mampu menjelaskan Konsep Pencegahan (Sistem Kewaspadaan Dini) 2. Mahasiswa mampu menjelaskan Kejadian Luar Biasa/KLB (Endemik, Epidemik, Pandemik, Sporadik) 3. Mahasiswa mampu menjelaskan Informasi Kesehatan dan Sistem Surveilans Respons 4. Mahasiswa mampu menjelaskan Etiologi Filariasis 5. Mahasiswa mampu menjelaskan Faktor Risiko Filariasis 6. Mahasiswa mampu menjelaskan Mekanisme Filariasis 7. Mahasiswa mampu menjelaskan Masa Inkubasi Filariasis 8. Mahasiswa mampu menjelaskan Gambaran Klinis Filariasis 9. Mahasiswa mampu menjelaskan Pencegahan Filariasis (POPM Filariasis) 10. Mahasiswa mampu menjelaskan Epidemiologi Filariasis 1.4 Manfaat 1. Untuk menambah wawasan 2. Untuk mengetahui hal-hal mengenai Sistem Kewaspadaan Dini, Kejadian Luar Biasa, Sistem Surveilans Respons dan Filariasis 3. Untuk memperkaya penulisan dalam bidang Kedokteran/Kesehatan khususnya mengenai Sistem Kewaspadaan Dini, Kejadian Luar Biasa, Sistem Surveilans Respons dan Filariasis 4. Dapat dijadikan sebagai bahan untuk pembuatan laporan kedepannya yang lebih luas dan mendalam 1.5 Skenario 2 Blok 7 KASUS KAKI GAJAH DI KOTAKU Kota Pekalongan menjadi wilayah dengan kasus penyakit filariasis tertinggi di provinsi Jawa Tengah. Data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah menunjukkan ada sebanyak 442 kasus filariasis atau lebih dikenal dengan kaki gajah yang tercatat
  • 8. 4 di Kota Pekalongan pada bulan Mei 2017. Angka tersebut jauh melebihi kasus yang terjadi di kabupaten kota lain di Jawa Tengah yang hanya mencapai dua digit angka. Di Pekalongan terdapat 11 kelurahan kasusu Filariasis dengan tiga kelurahan jumlah tertinggi yakni Kertoharjo, Jenggot, dan Banyurip Ageng. Kejadian Luar Biasa yang terjadi di daerah tersebut membuat dinas kesehatan meningkatkan system kewaspadaan dini melalui surveilans aktifnya.
  • 10. 6 BAB III PEMBAHASAN 3.1 Konsep Pencegahan (Sistem Kewaspadaan Dini/SKD) Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) / Early Warning Alert and Response System (EWARS) adalah salah satu kegiatan Surveilans Epidemiologi penyakit yang berfungsi untuk memberikan kewaspadaan dan respon wabah penyakit sejak dini melalui dukungan Departemen Kesehatan dan mitra kesehatan dengan memberikan pelatihan, dukungan teknis dan alat berbasis lapangan untuk membangun dan mengelola kegiatan pengawasan terhadap penyakit berpotensi wabah. (WHO,2016) SKD-KLB adalah suatu tatanan pengamatan yang mendukung sikap tanggap terhadap suatu perubahan dalam masyarakat atau penyimpangan yang berkaitan dengan kecendrungan terjadinya kesakitan atau kematian atau pencemaran makanan atau lingkungan sehingga dapat segera melakukan tindakan dengan cepat dan tepat untuk mencegah/mengurangi terjadinya jatuh korban. Tujuan Umum SKD: Terselenggaranya kewaspadaan dan kesiapseiagaan terhadap kemungkinan terjadinya KLB. Tujuan Khusus SKD: 1. Mengidentifikasi adanya ancaman KLB 2. Menyelenggarakan peringatan kewaspadaan dini KLB 3. Menyelenggarakan kesiapsiagaan menghadapi kemungkinan terjadinya KLB 4. Mendeteksi secara dini adanya kondisi rentan KLB 5. Mendeteksi secara dini adanya KLB 6. Menyelenggarakan penyelidikan dugaan KLB
  • 11. 7 Komponen Sistem EWARS:  Input a) Ketersediaan SDM (Man) Menurut Kepmenkes RI, jumlah sumber daya manusia di tingkat Puskesmas untuk menyelenggarakan surveilans EWARS adalah 1 tenaga/petugas Puskesmas terlatih surveilans epidemiologi. b) Ketersediaan Dana Sumber alokasi dana dapat berasal dari dana program (APBD, APBN, block grant), atau bantuan luar negeri, swasta/LSM, dll. c) Ketersediaan Sarana Sarana yang diperlukan untuk terlaksananya penyelenggaraan surveilans EWARS di tingkat Puskesmas merujuk pada Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan (2003) yaitu 1 paket komputer dan perlengkapannya, 1 paket komunikasi (telepon, faksimili dan SSB), referensi surveilans epidemiologi, penelitian dan kajian kesehatan, pedoman pelaksanaan surveilans epidemiologi dan program aplikasi komputer, formulir perekaman data surveilans epidemiologi sesuai dengan pedoman, peralatan pelaksanaan surveilans epidmiologi di Puskesmas dan 1 kendaraan roda dua. d) Metode Adalah suatu tata cara kerja yang memperlancar jalannya pekerjaan suatu program. Sebuah metode dapat dinyatakan sebagai penetapan cara pelaksanaan kerja suatu tugas dengan memberikan berbagai pertimbangan-pertimbangan kepada sasaran, fasilitas-fasilitas yang tersedia dan penggunaan waktu, serta uang dan kegiatan usaha. Perlu diingat meskipun metode baik, sedangkan orang yang melaksanakannya tidak mengerti atau tidak mempunyai pengalaman maka hasilnya tidak akan memuaskan. Dengan demikian, peranan utama dalam manajemen tetap manusianya sendiri (Satrianegara, 2009).  Proses
  • 12. 8 a) Pengumpulan Data Data yang perlu dikumpulkan yaitu data penyakit yang berpotensi KLB (terdiri dari 23 penyakit, seperti Diare Akut, Pneumonia, Flu Burung, Campak, Difteri, dll). Periode pengumpulan datanya dilakukan secara mingguan serta dapat dilakukan secara aktif dan pasif. b) Pengolahan Data Adalah kegiatan-kegiatan mengubah data menjadi informasi dengan cara atau cara-cara tertentu sesuai dengan keperluan terhadap informasi yang dihasilkan. Data yang telah dikumpulkan dari kegiatan surveilans dapat diolah menurut waktu (bulanan atau tahunan), kelompok umur, jenis kelamin, dan wilayah (insidens, proporsi, dan prevalensi). Setelah dilakukan pengolahan, data selanjutnya disajikan dalam berbagai bentuk sesuai jenis data dalam narasi, tabel, grafik dan peta wilayah. c) Analisis Data Merupakan suatu proses untuk menghasilkan rumusan masalah dan faktor-faktor yang berhubungan dengan data yang telah terkumpul. Analisis data dilakukan dengan tujuan untuk melihat variable- variabel apa saja yang dapat menggambarkan suatu permasalahan, faktor-faktor yang berpengaruh, serta bagaimana data yang ada dapat menjelaskan tujuan dari suatu sistem surveilans. Selain itu, analisis data dilakukan untuk melihat variabel-variabel yang dapat menggambarkan suatu permasalahan dan faktor-faktor yang mepengaruhi serta bagaimana data yang dapat menjelaskan tujuan dari suatu tujuan dari suatu sistem surveilans epidemiologi. Sejauh mana kemampuan dalam menganalisis data tergantung pada organisasi pelaksana yang bersangkutan serta keterampilan petugas yang menangani hal tersebut.  Output a) Kelengkapan Laporan b) Ketepatan Waktu Pelaporan
  • 13. 9 c) Alert Merupakan sinyal peringatan dini adanya peningkatan kasus melebihi nilai ambang batas di suatu wilayah, dari hasil kelengkapan dan ketepatan laporan, tabel, grafik dan pemetaan besaran masalah penyakit potensial KLB secara mingguan. d) Respon Adalah kegiatan melakukan klarifikasi dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota apabila di temukan laporan sinyal alert (peringatan dini) dari Puskesmas dan juga melakukan kontrol sesuai dengan Standart Operasional Prosedur EWARS, yaitu pelaksanaan respon <24 jam dari petugas surveilans Pukesmas dan Dinas Kesehatan Kabupaten bila terdapat laporan alert/peringatan dini melebihi nilai ambang batas yang ditentukan sehingga penyakit yang berpotensi terjadi KLB akan mendapat penanganan yang cepat. 3.2 Kejadian Luar Biasa/KLB (Endemik, Epidemik, Pandemik, Sporadik) Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan dan/atau kematian yang bermakna secara epidemiologi pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu, dan merupakan keadaan yang dapat menjurus kepada terjadinya wabah.  Endemik Berasal dari Bahasa Yunani; En: di dalam dan Demos: rakyat yang berarti suatu infeksi berlangsung di dalam suatu populasi tanpa adanya pengaruh dari luar, terjadi pada laju konstan namun cukup tinggi. Suatu infeksi penyakit dikatakan sebagai endemik bila setiap orang yang terinfeksi penyakit tersebut menularkannya kepada tepat satu orang lain (secara rata-rata). Bila infeksi tersebut tidak lenyap dan jumlah orang yang terinfeksi tidak bertambah secara eksponensial, suatu infeksi dikatakan berada dalam keadaan tunak endemik (endemic steady state). Suatu infeksi yang dimulai sebagai suatu epidemi pada akhirnya akan lenyap atau
  • 14. 10 mencapai keadaan tunak endemik, bergantung pada sejumlah faktor, termasuk virulensi dan cara penularan penyakit bersangkutan. Dalam bahasa percakapan, penyakit endemik sering diartikan sebagai suatu penyakit yang ditemukan pada daerah tertentu. Contoh: Penyakit malaria dan kaki gajah  Epidemik Berasal dari Bahasa Yunani; Epi: pada dan Demos: rakyat. Epidemik adalah penyakit yang timbul sebagai kasus baru pada suatu populasi, dalam suatu periode tertentu, dengan laju yang melampaui ‘ekspektasi’ (dugaan), yang didasarkan pada pengalaman mutakhir atau dengan kata lain Epidemi merupakan wabah yang terjadi secara lebih cepat daripada yang diduga. Jumlah kasus baru penyakit di dalam suatu populasi dalam periode waktu tertentu disebut dengan incidence rate (laju timbulnya penyakit). Berdasarkan UU RI No. 4 tahun 1984, pengertian wabah dapat dikaitkan sama dengan epidemik, yaitu “kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi daripada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka”. Pengolahan data pada kasus epidemik menggunakan kurva epidemik. Gunanya untuk menentukan jenis paparan dan jenis penularan yang terjadi pada suatu wabah, serta untuk menentukan kemungkinan penyebab wabahnya dan usaha apa yang mungkin dilakukan untuk menghentikannya. Contoh: Wabah penyakit Kolera  Pandemik Berasal dari Bahasa Yunan; Pan: semua dan Demos: rakyat. Disebut juga dengan epidemic global/wabah global, merupakan terjangkitnya penyakit menular pada banyak orang dalam daerah geografi yang luas. Menurut WHO, syarat terjadinya Pandemik: 1. Timbulnya penyakit bersangkutan merupakan suatu hal yang baru pada populasi tersebut 2. Agen penyebab penyakit menginfeksi manusia dan menyebabkan sakit serius
  • 15. 11 3. Agen penyebab penyakit menyebar dengan mudah dan berkelanjutan pada manusia Suatu penyakit atau keadaan tidak dapat dikatakan sebagai pandemik hanya karena menewaskan banyak orang, contohnya kanker. Kanker tidak digolongkan sebagai pandemik walaupun menimbulkan angka kematian yang tinggi karena tidak ditularkan. Contoh penyakit yang termasuk Pandemik: Pandemik Influenza pada akhir PD I (1957) dan Cholera el tor (1962).  Sporadik Suatu keadaan dimana terdapat masalah kesehatan pada suatu wilayah tertentu yang frekuensinya berubah-ubah menurut perubahan waktu atau merupakan suatu jenis penyakit yang tidak tersebar secara merata pada tempat dan waktu yang tidak sama, yang pada suatu saat dapat menimbulkan epidemik. Contoh: Penyakit Poliomielitis. 3.3 Informasi Kesehatan dan Sistem Surveilans Respons Surveilans adalah kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data secara sistematis yang dilaksanakan secara terus menerus atau berkelanjutan serta penyebaran informasi kepada pihak-pihak yang perlu mengetahui untuk dapat diambil tindakan yang tepat. Tindakan yang diambil setelah mendapatkan informasi tersebut yang disebut dengan respon, sehingga menjadi Respon-Surveilans. Fungsi pokok Surveilans Respons menurut WHO (2004) meliputi 8 kegiatan utama, yaitu:  Deteksi Kasus Merupakan langkah pertama dalam sistem surveilans respon, umumnya dilaksanakan di tingkat pelayanan kesehatan. Pihak-pihak yang terlibat: Praktek perorangan, Petugas Unit Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Pemerintah/Swasta.
  • 16. 12  Registrasi Merupakan kegiatan yang merekam semua data kasus termasuk kasus yang ternyata tidak konfirmasi baik secara epidemiologi maupun secara laboratories. Pihak-pihak yang terlibat: Petugas di UPT dan/atau Dinas Kesehatan.  Konfirmasi (Epidemiologi dan Laboratoris) dapat melalui kriteria epidemiologi dan hasil tes laboratorium. Konfirmasi epidemiologi umumnya diperoleh dari hasil penyelidikan kasus di lapangan. Hasil tes laboratorium akan membantu dalam penegakan diagnosis. Pihak-pihak yang terlibat: Dinas Kesehatan, Lab Kesehatan Pusat/Daerah.  Pelaporan Merupakan upaya untuk menggerakkan data yang sudah dikumpulkan dari tingkat yang paling rendah dalam sistem kesehatan ke tingkat yang lebih tinggi. Pihak-pihak yang terlibat: Bidang-bidang di Dinas Kesehatan.  Analitis dan Interpretasi Harus dilaksanakan secepat mungkin untuk menghindari penundaan pelaksanaan intervensi yang tepat akurat. Hasil analisis harus berupa informasi epidemiologis yang dapat digunakan sebagai dasar tindakan kesehatan masyarakat. Pihak-pihak yang terlibat: Unit Pendukung Surveilans (UPS), dalam bentuk Balai Data, Surveilans dan Informatika Kesehatan.  Respons Segera Bersifat langsung dan reaktif, umumnya termasuk dalam tindakan kesehatan masyarakat yaitu penyelidikan epidemiologi, pelacakan kontak penderita dan tindakan penanggulangan untuk mencegah penularan penyakit. Dilaksanakan dengan realokasi Sumber Daya berdasarkan distribusi manusia, lingkungan dan penyebab penyakit yang disesuaikan menurut tempat, waktu, dan ciri-ciri penduduk. Pihak-pihak yang terlibat: Dinas Kesehatan dan Aparat Pemerintah lainnya, Masyarakat dan Swasta.  Respons Terencana
  • 17. 13 Merupakan respons yang direncanakan dalam periode waktu tahunan, lima tahunan, termasuk perencanaan tindakan dan penganggaran yang diperlukan. Dapat berupa: 1. Alokasi Sumber Daya berdasarkan angka-angka kematian, kecacatan, kesakitan dan resiko tinggi 2. Advokasi terhadap Pemerintah Daerah, Bappeda, DPRD, dan lintas sektor terkait dalam pengerahan Sumber Daya, pembuatan Perda, dan menjalankan fungsi koordinasi 3. Advokasi Dinas Kesehatan Propinsi untuk menjalankan fungsi Bimbingan Teknis, penyediaan sumber daya dan regulasi 4. Advokasi Depkes untuk pembuatan kebijakan, prosedur ketetapan (protap) dan pengerahan sumber daya. Pihak-pihak yang terlibat: Dinas Kesehatan dalam kegiatan di Musrembang dan berbagai kegiatan perencanaan, juga dapat berasal dari pihak lain (yang ingin mendanai). Respon Segera & Respon Terencana harus di monitor dan di evaluasi, agar hasilnya dapat dipergunakan untuk modifikasi tindakan pemberantasan dan upaya pencegahan, juga untuk petunjuk modifikasi sistem Surveilans yang lebih baik.  Feedback / Umpan Balik Umpan balik merupakan arus informasi dan pesan kepada tingkat yang rendah dari tingkat yang lebih tinggi. Selain itu dalam era teknologi informasi umpan balik dapat dalam bentuk buletin elektronik yang dapat disampaikan kepada lintas sektor dan para pemangku kepentingan (stakeholders) sehingga dapat berkontribusi dalam respons kesehatan masyarakat. Umpan balik dikirimkan dengan tujuan untuk melakukan tindak lanjut terhadap berbagai masalah yang ditemukan. Pihak-pihak yang terlibat: UPS (Unit Pelayanan Kesehatan). 3.4 Etiologi Filariasis
  • 18. 14 Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria yang menyerang saluran dan kelenjar getah bening. Penyakit ini dapat merusak sistem limfe, menimbulkan pembengkakan pada tangan, kaki, glandula mammae, dan scrotum, menimbulkan cacat seumur hidup serta stigma sosial bagi penderita dan keluarganya. Secara tidak langsung, penyakit yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk ini dapat berdampak pada penurunan produktivitas kerja penderita, beban keluarga, dan menimbulkan kerugian ekonomi bagi negara yang tidak sedikit. Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria yaitu: 1. Wuchereria bancrofti 2. Brugia malayi 3. Brugia timori 70% kasus Filariasis di Indonesia disebabkan oleh Brugia malayi. Secara epidemiologi cacing filaria dibagi menjadi 6 tipe, yaitu:  Wuchereria bancrofti tipe perkotaan (urban) Ditemukan di daerah perkotaan seperti Jakarta, Bekasi, Tangerang, Semarang, Pekalongan dan sekitarnya. Memiliki periodisitas nokturna (mikrofilaria banyak terdapat di dalam darah tepi pada malam hari, sedangkan pada siang hari banyak terdapat di kapiler organ dalam seperti paru-paru, jantung dan ginjal). Ditularkan oleh nyamuk Culex quinquefasciatus yang berkembang biak di air limbah rumah tangga.  Wuchereria bancrofti tipe pedesaan (rural) Ditemukan di daerah pedesaan di luar Jawa, terutama tersebar luas di Papua dan Nusa Tenggara Timur. Mempunyai periodisitas nokturna Ditularkan melalui berbagai spesies nyamuk seperti Anopheles, Culex dan Aedes.  Brugia malayi tipe periodik nokturna Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari.
  • 19. 15 Nyamuk penularnya adalah Anopheles barbirostis yang ditemukan di daerah persawahan.  Brugia malayi tipe subperiodik nokturna Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada siang dan malam hari, tetapi lebih banyak ditemukan pada malam hari (subperiodik nokturna). Nyamuk penularnya adalah Mansonia spp yang ditemukan di daerah rawa.  Brugia malayi tipe non periodik Mikrofilaria ditemukan di darah tepi baik malam maupun siang hari (non periodik). Nyamuk penularnya adalah Mansonia bonneae dan Mansonia uniformis yang ditemukan di hutan rimba.  Brugia timori tipe periodik nokturna Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari. Nyamuk penularnya adalah Anopheles barbirostis yang ditemukan di daerah persawahan di Nusa Tenggara Timur, Maluku Tenggara. 3.5 Faktor Risiko Filariasis Terdapat beberapa komponen yang merupakan faktor risiko untuk tejadinya penularan Filariasis, yaitu:  Adanya Vektor (nyamuk yang infektif) Di Indonesia hingga saat ini telah diketahui terdapat 23 spesies nyamuk dari 5 genus yaitu: Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres yang menjadi vektor Filariasis. Sepuluh spesies nyamuk Anopheles telah diidentifikasi sebagai vektor Wuchereria bancrofti tipe pedesaan. Culex quinquefasciatus merupakan vektor Wuchereria bancrofti tipe perkotaan. Enam spesies Mansonia merupakan vektor Brugia malayi. Di Indonesia bagian timur, Mansonia dan Anopheles barbirostris merupakan vektor fialariasis yang penting. Beberapa spesies Mansonia dapat menjadi vektor Brugia malayi tipe sub periodic nokturna. Sementara Anopheles barbirostris merupakan vektor penting terhadap Brugia timori yang terdapat di Nusa Tenggara Timur dan kepulauan Maluku Selatan.
  • 20. 16 Untuk melaksanakan pemberantasan vektor Filariasis, perlu mengetahui bionomik (tata hidup) vektor yang mencakup tempat berkembang biak, perilaku menggigit (mencari darah) dan tempat istirahat. Tempat perindukan nyamuk berbeda-beda tergantung jenisnya. Umumnya nyamuk beristirahat di tempat-tempat teduh, seperti semak-semak di sekitar tempat perindukan dan di dalam rumah pada tempat-tempat yang gelap. Sifat nyamuk dalam memilih jenis mangsanya berbeda-beda, dapat hanya menyukai darah manusia (antropofilik), darah hewan (zoofilik), atau darah hewan dan manusia (zooantropofilik). Demikian juga mencari mangsanya berbeda-beda, dapat hanya di luar rumah (eksofagik) atau dalam rumah (endofagik). Perilaku nyamuk ini dapat berpengaruh terhadap distribusi kasus Filariasis. Setiap daerah mempunyai spesies nyamuk berbeda-beda, dan pada umumnya terdapat beberapa spesies nyamuk sebagai vektor utama dan spesies lainnya hanya merupakan vektor potensial.  Adanya Hospes (manusia dan hewan) a) Manusia Pada dasarnya semua manusia dapat tertular Filariasis apabila digigit oleh nyamuk infektif (mengandung larva stadium 3). Vektor infektif mendapat mikrofilaria dari pengidap. Namun demikian, dalam kenyataannya di suatu daerah endemis Filariasis tidak semua orang terinfeksi dan orang yang terinfeksi tidak semua menunjukkan gejala klinis. Meskipun tanpa gejala klinis tetapi sudah terjadi perubahan-perubahan patologis di dalam tubuhnya. Penduduk pendatang pada suatu daerah endemis Filariasis mempunyai risiko terinfeksi Filariasis lebih besar dibanding penduduk asli. Penduduk pendatang dari daerah non endemis ke daerah endemis, misalnya transmigran, walaupun pada pemeriksaan darah jari belum atau sedikit mengandung microfilaria, akan tetapi sudah menunjukkan gejala klinis yang lebih berat. b) Hewan Beberapa jenis hewan dapat berperan sebagai sumber penularan Filariasis (hewan reservoir). Dari semua spesies cacing filaria yang
  • 21. 17 menginfeksi manusia di Indonesia, hanya Brugia malayi tipe sub periodik nokturna dan non periodik yang ditemukan juga pada lutung (Presbytis cristatus), kera (Macaca fascicularis) dan kucing (Felis catus). Penanggulangan Filariasis pada hewan reservoir ini tidak mudah, oleh karena itu juga akan menyulitkan upaya pemberantasan Filariasis pada manusia.  Lingkungan yang mendukung a) Lingkungan fisik Lingkungan fisik mencakup antara lain keadaan iklim, keadaan geografis, struktur geologi dan sebagainya. Lingkungan fisik erat kaitannya dengan kehidupan vektor, sehingga berpengaruh terhadap munculnya sumber-sumber penularan Filariasis. Lingkungan fisik dapat menciptakan tempat-tempat perindukan dan beristirahatnya nyamuk. Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap pertumbuhan, masa hidup serta keberadaan nyamuk. Lingkungan dengan tumbuhan air di rawa-rawa dan adanya hospes reservoir (kera, lutung dan kucing) berpengaruh terhadap penyebaran B.malayi subperiodik nokturna dan non periodik. b) Lingkungan biologik Lingkungan biologik dapat menjadi rantai penularan Filariasis. Contoh lingkungan biologik adalah adanya tanaman air sebagai tempat pertumbuhan nyamuk Mansonia spp. c) Lingkungan sosial, ekonomi dan budaya Lingkungan sosial, ekonomi dan budaya adalah lingkungan yang timbul sebagai akibat adanya interaksi antar manusia, termasuk perilaku, adat istiadat, budaya, kebiasaan dan tradisi penduduk. Kebiasaan bekerja di kebun pada malam hari atau kebiasaan keluar pada malam hari, kebiasaan tidur perlu diperhatikan karena berkaitan dengan intensitas kontak dengan vektor. Insiden Filariasis pada laki-laki lebih lebih tinggi daripada perempuan karena umumnya laki–laki lebih kontak dengan vektor karena pekerjaannya.
  • 22. 18 3.6 Mekanisme Filariasis  Larva dalam tubuh Nyamuk Pada saat nyamuk menghisap darah yang mengandung mikrofilaria, maka mikrofilaria akan terbawa masuk kedalam lambung nyamuk dan mikrofilaria melepaskan selubungnya, selanjutnya menembus dinding lambung lalu bergerak menuju otot atau jaringan lemak di bagian dada. Setelah ± 3 hari, mikrofilaria mengalami perubahan bentuk menjadi larva stadium 1 (L1), bentuknya seperti sosis berukuran 125-250 µm x 10-17 µm, dengan ekor runcing seperti cambuk. Setelah ± 6 hari dalam tubuh nyamuk, larva tumbuh menjadi larva stadium 2 (L2) disebut larva preinfektif yang berukuran 200-300 µm x 15-30 µm, dengan ekor yang tumpul atau memendek. Pada stadium ini larva menunjukkan adanya gerakan. Hari ke 8-10 pada spesies Brugia atau hari ke 10-14 pada spesies Wuchereria, larva dalam nyamuk tumbuh menjadi larva stadium 3 (L3) yang berukuran ± 1400 µm x 20 µm. L3 tampak panjang dan ramping disertai dengan gerakan yang aktif. Stadium 3 ini merupakan cacing infektif. Larva Infektif tersebut kemudian bergerak ke bagian kepala dan probosis nyamuk.  Perpindahan Cacing Filaria dari Nyamuk ke Manusia a) Nyamuk yang mengandung larva infektif (larva stadium 3/L3) menggigit manusia b) Larva L3 akan keluar dari probosisnya dan tinggal dikulit sekitar lubang gigitan nyamuk. c) Pada saat nyamuk menarik probosisnya, larva L3 akan masuk melalui lubang bekas gigitan nyamuk dan bergerak menuju ke sistem limfe.  Daur Hidup Cacing Filaria dalam Tubuh Manusia Ketika larva L3 masuk dalam tubuh manusia memerlukan periode waktu lama untuk berkembang menjadi cacing dewasa. Larva L3 Brugia malayi dan Brugia timori akan menjadi cacing dewasa dalam kurun waktu lebih
  • 23. 19 dari 3,5 bulan, sedangkan Wuchereria bancrofti memerlukan waktu kurang lebih 9 bulan (6-12 bulan). Cacing dewasa (makrofilaria) yang ada dalam tubuh manusia mampu bertahan hidup selama 5-7 tahun. Selama hidup yang lama tersebut, dapat menghasikan ribuan mikroflaria setiap hari, sehingga dapat menjadi sumber penularan dalam periode waktu yang sangat panjang. Mikrofilaria dapat terhisap oleh nyamuk yang mengigit manusia (menular pada nyamuk), jika mikrofilaria berada di darah tepi. Oleh karena itu, di daerah dimana mikrofilaria bersifat periodik nokturna, yaitu mikrofilaria keluar memasuki peredaran darah tepi pada malam hari, dan bergerak ke organ-organ dalam pada siang hari, mikrofilaria menular pada nyamuk yang aktif pada malam hari. Sementara di daerah dengan microfilaria subperiodik nokturna dan non periodik, penularan dapat terjadi pada siang dan malam hari. 3.7 Masa Inkubasi Filariasis Masa berkembangnya larva infektif di dalam tubuh manusia sampai terjadinya gejala klinis dalam waktu antara 3-6 bulan pada Brugia malayi/Brugia timori dan 6-12 bulan pada Wuchereria bancrofti. 3.8 Gambaran Klinis Filariasis Pada dasarnya gejala klinis Filariasis yang disebabkan oleh infeksi W. Bancroft, B. malayi dan B. timori adalah sama, tetapi gejala klinis akut tampak lebih jelas dan lebih berat pada infeksi oleh B. malayi dan B. timori. Infeksi W. bancrofti dapat menyebabkan kelainan pada saluran kemih dan alat kelamin, tetapi infeksi oleh B. malayi dan B. Timori tidak menimbulkan kelainan tersebut.  Akut Gejala klinis akut berupa limfadenitis, limfangitis, adenolimfangitis yang disertai demam, sakit kepala, rasa lemah dan timbulnya abses. Abses dapat pecah dan kemudian mengalami penyembuhan dengan meninggalkan parut,
  • 24. 20 terutama di daerah lipat paha dan ketiak. Parut lebih sering terjadi pada infeksi B.malayi dan B. Timori dibandingkan karena infeksi W. bancrofti, demikian juga dengan timbulnya limfangitis dan limfadenitis. Tetapi sebaliknya, pada infeksi W. bancrofti sering terjadi peradangan buah pelir (orkitis), peradangan epididimus (epididimitis) dan peradangan funikulus spermatikus (funikulitis).  Kronis a) Limfedema Pada infeksi W. bancrofti, terjadi pembengkakan seluruh kaki, seluruh lengan, skrotum, penis, vulva vagina dan payudara, sedangkan pada infeksi Brugia, terjadi pembengkakan kaki dibawah lutut, lengan di bawah siku dimana siku dan lutut masih normal. b) Lymph Scrotum Adalah pelebaran saluran limfe superfisial pada kulit scrotum, kadang-kadang pada kulit penis, sehingga saluran limfe tersebut mudah pecah dan cairan limfe mengalir keluar dan membasahi pakaian. Ditemukan juga lepuh (vesicles) besar dan kecil pada kulit, yang dapat pecah dan membasahi pakaian. Ini mempunyai risiko tinggi terjadinya infeksi ulang oleh bakteri dan jamur, serangan akut berulang dapat berkembang menjadi limfedema skrotum. Ukuran skrotum kadang-kadang normal kadang-kadang sangat besar. c) Kiluria Adalah kebocoran atau pecahnya saluran limfe dan pembuluh darah di ginjal (pelvis renal) oleh cacing filaria dewasa spesies W. bancrofti, sehingga cairan limfe dan darah masuk kedalam saluran kemih. Gejala yang timbul adalah sebagai berikut : 1) Air kencing seperti susu karena air kencing banyak mengandung lemak, dan kadang-kadang disertai darah (haematuria) 2) Sukar kencing 3) Kelelahan tubuh
  • 25. 21 4) Kehilangan berat badan. d) Hidrokel Adalah pelebaran kantung buah zakar karena terkumpulnya cairan limfe di dalam tunica vaginalis testis. Hidrokel dapat terjadi pada satu atau dua kantung buah zakar. Gambaran klinis dan epidemiologis sebagai berikut: 1) Ukuran skrotum kadang-kadang normal tetapi kadang- kadang sangat besar sekali, sehingga penis tertarik dan tersembunyi 2) Kulit pada skrotum normal, lunak dan halus 3) Kadang-kadang akumulasi cairan limfe disertai dengan komplikasi, yaitu komplikasi dengan Chyle (Chylocele), darah (Haematocele) atau nanah (Pyocele). Uji transiluminasi dapat digunakan untuk membedakan hidrokel dengan komplikasi dan hidrokel tanpa komplikasi. Uji transiluminasi ini dapat dikerjakan oleh dokter Puskesmas yang sudah dilatih. 4) Hidrokel banyak ditemukan di daerah endemis W. bancrofti dan dapat digunakan sebagai indikator adanya infeksi W. bancrofti. 3.9 Pencegahan Filariasis (POPM Filariasis) Obat yang diberikan pada kegiatan Pemberian Obat Pencegahan secara Massal Filariasis adalah Diethylcarmabazine Citrate (DEC) dan Albendazole, yang diberikan selama minimal 5 tahun berturut-turut. Obat DEC dan Albendazole yang diminum dapat mematikan mikrofilaria dan menghentikan sementara kemampuan cacing dewasa untuk berkembangbiak dan menghasilkan mikrofilaria selama 9-12 bulan. Rentang waktu pelaksanaa POPM Filariasis tahun-tahun pertama dan berikutnya adalah 12 bulan, sesuai dengan lamanya cacing dewasa tidak mampu berkembangbiak setelah meminum obat tersebut.
  • 26. 22 POPM Filariasis ini ditujukan kepada orang-orang yang tinggal di daerah endemis Filariasis tersebut (baik yang sudah terkena infeksi, maupun tidak). Tetapi, POPM Filariasis ditunda pemberiannya terhadap: a. Ibu Hamil b. Penderita Gangguan Fungsi Ginjal c. Penderita Gangguan Fungsi Hati d. Penderita Epilepsi e. Penderita Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah f. Penduduk yang sedang Sakit Berat g. Penderita Filariasis Klinis Kronis yang sedang Alami Serangan Akut h. Anak dengan Marasmus atau Kwasiorkor  Diethylcarbamazine Citrate (DEC) a) Indikasi 1. DEC merupakan obat Filariasis terpilih terhadap mikrofilaria 2. DEC bersama Albendazole digunakan untuk mengontrol limfatik Filariasis, dapat menurunkan mikrofilaria dengan baik selama setahun. Pemberian sekali setahun selama minimal 5 tahun berturut-turut bertujuan untuk mempertahankan kadar mikrofilaria dalam darah tetap rendah sehingga tidak memungkinkan terjadinya penularan. Periode pengobatan ini diperhitungkan dengan masa subur cacing dewasa. b) Mekanisme  Terhadap Mikrofilaria 1. Melumpuhkan otot mikrofilaria, sehingga tidak dapat bertahan di tempat hidupnya. 2. Mengubah komposisi dinding mikrofilaria menjadi lebih mudah dihancurkan oleh sistim pertahanan tubuh.  Terhadap Makrofilaria
  • 27. 23 1. Menyebabkan matinya cacing dewasa, tetapi mekanisme belum jelas. 2. Cacing dewasa yang masih hidup dapat dihambat untuk memproduksi mikrofilaria selama 9-12 bulan.  Albendazole a) Indikasi 1. Albendazole meningkatkan efek DEC dalam membunuh mikrofilaria. 2. Albendazole dapat melemahkan makrofilaria. 3. Albendazole telah luas digunakan sebagai obat cacing usus (cacing gelang, kremi, cambuk dan tambang) Pemberian Obat sebaiknya sesudah makan. Dosis obat ditentukan sesuai umur. DEC 6mg/kg BB dan Albendazole 400mg untuk semua umur, sekali pemberian 3.10 Epidemiologi Filariasis Dari data yang dilaporkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi dan hasil survei di Indonesia, kasus Filariasis Kronis 10 tahun terakhir cenderung meningkat. Pada tahun 2005 ada 8.243 kasus Filariasis meningkat menjadi 14.932 orang dari 418 kabupaten/kota di 34 Provinsi. Kasus Filariasis cenderung meningkat dari tahun ke tahun disebabkan banyaknya kasus yang baru ditemukan seiring dengan pelaksanaan pendataan sasaran sebelum POPM Filariasis. Dari tahun 2002-2014 kumulatif kasus filariasis kronis yang cacat paling tertinggi di NTT yaitu 3.175 kasus di 20 Kabupaten/Kota, Aceh sebesar 2.375 kasus di 21 kabupaten/kota, Papua Barat dengan 1.765 kasus di 12 kabupaten/kota.
  • 28. 24 BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 949/Menkes/SK/VIII/2004), Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah suatu kejadian kesakitan/kematian dan atau meningkatnya suatu kejadian kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu kelompok penduduk dalam kurun waktu tertentu. Kriteria suatu kejadian dikatakan Kejadian Luar Biasa adalah Timbulnya suatu penyakit/kesakitan yang sebelumnya tidak ada/tidak diketahui, meningkatnya kejadian penyakit/kematian terus menerus selama 3 kurun waktu berturut-turut menurut jenis penyakitnya (jam, hari, minggu, dst) serta Case fatality rate dari suatu penyakit dalam kurun waktu tertentu menunjukkan 50% atau lebih dibandingkan CFR dari periode sebelumnya. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi Kejadian Luar Biasa (KLB) yaitu Herd Immunity yang rendah, patogenesitas, dan lingkungan yang buruk. Prosedur penanggulangan KLB dapat dikategorikan menjadi tiga, yakni sebagai berikut Masa Pra KLB dengan melaksanakan Sistem Kewaspadaan Dini secara cermat, memberdayakan Tim Gerak Cepat (TGC), menanggulangi wabah dengan Penyelidikan Epidemiologis, Pemeriksaan Medis, Pencegahan dan Pengebalan, Pemusnahan Penyebab Penyakit, Penangan jenajah akibat wabah, Penyuluhan kepada masyarakat serta Upaya penanggulangan lainya adalah tindakan-tindakan khusus masing-masing penyakit yang dilakukan dalam rangka penanggulangan wabah. Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria yang hidup dalam sistem limfe dan ditularkan oleh nyamuk. Bersifat menahun dan menimbulkan cacat menetap. Gejala klinis berupa demam berulang 3-5 hari,
  • 29. 25 pembengkakan kelenjar limfe, pembesaran tungkai, buah dada, dan skrotum. Dapat didiagnosis dengan cara deteksi parasit dan pemeriksaan USG pada skrotum. Mekanisme penularan yaitu ketika nyamuk yang mengandung larva infektif menggigit manusia, maka terjadi infeksi mikrofilaria. Tahap selanjutnya di dalam tubuh manusia, larva memasuki sistem limfe dan tumbuh menjadi cacing dewasa. Kumpulan cacing filaria dewasa ini menjadi penyebab penyumbatan pembuluh limfe. Akibatnya terjadi pembengkakan kelenjar limfe, tungkai, dan alat kelamin. Pencegahan filariasis dapat dilakukan dengan menghindari gigitan nyamuk dan melakukan 3M. Pengobatan menggunakan DEC dikombinasikan dengan Albendazol dan Ivermektin selain dilakukan pemijatan dan pembedahan. Upaya rehabilitasi dapat dilakukan dengan operasi. 4.2 Ayat / Hadist Terkait Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, ِ‫ن‬ِ ‫ع‬ِ َ‫م‬‫ع‬َ ‫ل‬ْ‫ج‬ َ‫ز‬ِ‫ا‬ َ ََِِ ‫ع‬ِ‫ظ‬‫ع‬َ ِ‫ا‬ َ‫م‬‫ع‬َ ِِ،‫ع‬َ‫إ‬ِ‫ن‬َ ‫ع‬ ‫ع‬‫ن‬ِ ‫ع‬ِ َِِ‫ج‬ ‫ع‬َ‫ع‬ِ‫و‬ِ‫م‬َ ‫ع‬ َْ ‫ع‬ ‫ه‬ُِِْ‫ف‬ َِ ‫ع‬ِْ‫ر‬ َِِ‫ج‬ِِ،‫ل‬ِ‫ه‬ ‫ع‬‫ا‬ ‫ع‬ ‫ه‬ُِِْ‫ف‬ َِ ‫ع‬‫ه‬ِ‫س‬ ََِِِ‫ف‬،َ‫ن‬‫ه‬ُ‫إ‬ِ‫ل‬َ ‫ع‬‫ه‬َِْ "Sesungguhnya besarnya pahala sebanding dengan besarnya cobaan. Dan sesungguhnya, apabila Allah suka kepada suatu kaum maka Allah berikan cobaan kepada mereka; siapa yang ridha maka baginya keridhaan (Allah) dan siapa yang murka baginya kemurkaan (Allah)." (Al-Tirmidzi) DAFTAR PUSTAKA
  • 30. 26 a. Chandra, Budiman. 2009. Ilmu Kedokteran Pencegahan dan Komunitas. Jakarta: EGC b. Hardiana, Ira. 2013. Leptospirosis Mengancam Warga DIY. Yogyakarta: FKH UGM c. InfoDATIN KEMENKES RI. Menuju Eliminasi Filariasis 2020 d. PERMENKES RI NO. 82 Tahun 2014 Tentang Penanggulangan Penyakit Menular e. PERMENKES RI NO. 94 Tahun 2014 Tentang Penanggulangan Filariasis f. PERMENKES RI NO. 949/MENKES/SK/VIII/2004 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan Dini KLB g. Priyontika, Bhakti. 2016. EWARS Sebagai Upaya Deteksi KLB di Puskesmas Kabupaten Jember. Jember: FKM UNEJ h. Sanusi, Rossi, et al. Health Policy Brief: Kebijakan Surveilans-Respons dalam Sistem Informatika Kesehatan di Pusat dan Daerah dalam Era Desentralisasi. Yogyakarta: FK UGM i. Sumampouw, Oksfriani Jufri. 2017. Pemberantasan Penyakit Menular. Yogyakarta: Deepublish j. Zaenab, Sitti Noor. 2013. Surveilans Respons dalam Program KIA. Yogyakarta: UGM