1. Nama : Aura Zahari
Gugus : 6
Prodi : Hubungan
Internasional
Sejarah dan Perkembangan Demokrasi
"Demokrasi" adalah sebuah kata yang begitu sering diucapkan.
Namun, makin banyak ia dibahas makin terasa betapa sulit mencari
contoh tentang negara yang memenuhi tatanan demokrasi secara
sempurna. Di Indonesia, pencarian terhadap sosok demokrasi pun terus
digelar, baik pada aras praktik sistem politik maupun kajian akademik.
Dalam aras akademik, sejumlah makalah dikupas habis-habisan dalam
berbagai seminar. Sementara itu, sejumlah buku, artikel pidato para
pakar dan politisi, telah pula diterbitkan dalam jurnal ilmiah, koran dan
majalah.
Istilah "demokrasi" berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di
Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap
sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum
demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan
dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18,
bersamaan dengan perkembangan sistem "demokrasi" di banyak negara.
Kata "demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti
rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat
diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi
menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini
menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut- sebut sebagai indikator
perkembangan politik suatu negara.
2. Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk
diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah
(eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk
masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah
seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain,
misalnya kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif menentukan
sendiri anggaran untuk gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa
mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan untuk
rakyat.
Intinya, setiap lembaga negara bukan saja harus akuntabel
(accountable), tetapi harus ada mekanisme formal yang mewujudkan
akuntabilitas dari setiap lembaga negara dan mekanisme ini mampu
secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi kekuasaan
lembaga negara tersebut.
Demokrasi di Indonesia
Semenjak kemerdekaan 17 agustus 1945, Undang Undang Dasar
1945 memberikan penggambaran bahwa Indonesia adalah negara
demokrasi.Dalam mekanisme kepemimpinannya Presiden harus
bertanggung jawab kepada MPR dimana MPR adalah sebuah badan yang
dipilih dari Rakyat. Sehingga secara hirarki seharusnya rakyat adalah
pemegang kepemimpinan negara melalui mekanisme perwakilan yang
dipilih dalam pemilu. Indonesia sempat mengalami masa demokrasi
singkat pada tahun 1956 ketika untuk pertama kalinya diselenggarakan
pemilu bebas di indonesia, sampai kemudian Presiden Soekarno
menyatakan demokrasi terpimpin sebagai pilihan sistem pemerintahan.
3. Setelah mengalami masa Demokrasi Pancasila, sebuah demokrasi
semu yang diciptakan untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto,
Indonesia kembali masuk kedalam alam demokrasi pada tahun 1998
ketika pemerintahan junta militer Soeharto tumbang. Pemilu
demokratis kedua bagi Indonesia terselenggara pada tahun 2004
Bisa dikatakan bahwa Indonesia sangat berpotensi
menjadi kiblat demokrasi di kawasan Asia, berkat
keberhasilan mengembangkan dan melaksanakan sistem
demokrasi. Menurut Ketua Asosiasi Konsultan Politik Asia
Pasifik (APAPC), Pri Sulisto, keberhasilan Indonesia dalam
bidang demokrasi bisa menjadi contoh bagi negara-negara di
kawasan Asia yang hingga saat ini beberapa di antaranya
masih diperintah dengan ‘tangan besi’. Indonesia juga bisa
menjadi contoh, bahwa pembangunan sistem demokrasi dapat
berjalan seiring dengan upaya pembangunan ekonomi.
Ia menilai, keberhasilan Indonesia dalam bidang
demokrasi yang tidak banyak disadari itu, membuat pihak luar
termasuk Asosiasi Internasional Konsultan Politik (IAPC),
membuka mata bangsa Indonesia, bahwa keberhasilan tersebut
merupakan sebuah prestasi yang luar biasa. Prestasi tersebut
juga menjadikan Indonesia sangat berpotensi mengantar
datangnya suatu era baru di Asia yang demokratis dan
makmur.
4. Dalam kesempatan yang sama, Presiden Indonesia, Susilo
Bambang Yudhoyono yang akrab disapa SBY menerima anugerah
medali demokrasi. SBY pun memaparkan panjang lebar perjalanan
demokrasi Indonesia. Menurutnya, demokrasi Indonesia merupakan
jawaban terhadap skeptisme perjalanan demokrasi di negeri ini.
Beliau pun mencontohkan beberapa nada skeptis yang ditujukan
kepada Indonesia. Pertama, demokrasi akan membawa situasi kacau
dan perpecahan. Demokrasi di Indonesia hanyalah perubahan rezim,
demokrasi akan memicu ekstrimisme dan radikalisme politik di
Indonesia.
Beliau pun menambahkan bahwa demokrasi di Indonesia
menunjukkan Islam dan moderitas dapat berjalan bersama. Dan
terlepas dari goncangan hebat akibat pergantian 4 kali presiden
selama periode 1998-2002, demokrasi Indonesia telah menciptakan
stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Selain itu,
Indonesia juga telah berhasil menjadi sebuah negara demokrasi
terbesar di dunia dan melaksanakan pemilu yang kompleks dengan
sangat sukses.
Meski pada awalnya banyak yang meragukan pelaksanaan
demokrasi di Indonesia, kenyataannya demokrasi di Indonesia saat ini
telah berusia 10 tahun dan akan terus berkembang. Sebagian orang
pernah berpendapat bahwa demokrasi tidak akan berlangsung lama di
Indonesia, karena masyarakatnya belum siap. Mereka juga pernah
mengatakan bahwa negara Indonesia terlalu besar dan memiliki
persoalan yang kompleks. Keraguan tersebut bahkan menyerupai
kekhawatiran yang dapat membuat Indonesia chaos yang dapat
mengakibatkan perpecahan.
5. Perkembangan Demokrasi di Indonesia suatu Harapan
Akhir milenium kedua ditandai dengan perubahan
besar di Indonesia. Rejim Orde Baru yang telah berkuasa
selama 32 tahun yang dipimpin oleh Soeharto akhirnya
tumbang. Demokrasi Pancasila versi Orde Baru mulai
digantikan dengan demokrasi dalam arti sesungguhnya. Hanya
saja tidak mudah mewujudkan hal ini, karena setelah Soeharto
tumbang tidak ada kekuatan yang mampu mengarahkan
perubahan secara damai, bertahap dan progresif. Yang ada
justru muncul berbagai konflik serta terjadi perubahan
genetika sosial masyarakat Indonesia. Hal ini tak lepas dari
pengaruh krisis moneter yang menjalar kepada krisis
keuangan sehingga pengaruh depresiasi rupiah berpengaruh
signifikan terhadap kehidupan ekonomi rakyat Indonesia.
Inflasi yang dipicu kenaikan harga bahan bakar minyak
(BBM) sangat berpengaruh kepada kualitas kehidupan
masyarakat. Rakyat Indonesia sebagian besar masuk ke dalam
sebuah era demokrasi sesungguhnya dimana pada saat yang
sama tingkat kehidupan ekonomi mereka justru tidak lebih
baik dibandingkan ketika masa Orde Baru.
Indonesia setidaknya telah melalui empat masa
demokrasi dengan berbagai versi. Pertama adalah demokrasi
liberal dimasa kemerdekaan. Kedua adalah demokrasi
terpimpin, ketika Presiden Soekarno membubarkan
konstituante dan mendeklarasikan demokrasi terpimpin.
Ketiga adalah demokrasi Pancasila yang dimulai sejak
pemerintahan Presiden Soeharto. Keempat adalah demokrasi
yang saat ini masih dalam masa transisi. Kelebihan dan
kekurangan pada masing-masing masa demokrasi tersebut
pada dasarnya bisa memberikan pelajaran berharga bagi kita.
6. Demokrasi liberal ternyata pada saat itu belum bisa memberikan
perubahan yang berarti bagi Indonesia. Namun demikian,berbagai
kabinet yang jatuh-bangun pada
7. masa itu telah memperlihatkan berbagai ragam pribadi beserta
pemikiran mereka yang cemerlang dalam memimpin namun mudah
dijatuhkan oleh parlemen dengan mosi tidak percaya. Sementara
demokrasi terpimpin yang dideklarasikan oleh Soekarno (setelah
melihat terlalu lamanya konstituante mengeluarkan undang-undang
dasar baru) telah memperkuat posisi Soekarno secara absolut. Di satu
sisi, hal ini berdampak pada kewibawaan Indonesia di forum
Internasional yang diperlihatkan oleh berbagai manuver yang
dilakukan Soekarno serta munculnya Indonesia sebagai salah satu
kekuatan militer yang patut diperhitungkan di Asia. Namun pada sisi
lain segi ekonomi rakyat kurang terperhatikan akibat berbagai
kebijakan politik pada masa itu. Lain pula dengan masa demokrasi
Pancasila pada kepemimpinan Soeharto. Stabilitas keamanan sangat
dijaga sehingga terjadi pemasungan kebebasan berbicara. Namun
tingkat kehidupan ekonomi rakyat relatif baik. Hal ini juga tidak
terlepas dari sistem nilai tukar dan alokasi subsidi BBM sehingga
harga-harga barang dan jasa berada pada titik keterjangkauan
masyarakat secara umum. Namun demikian penyakit korupsi, kolusi
dan nepotisme (KKN) semakin parah menjangkiti pemerintahan.
Lembaga pemerintahan yang ada di legislatif, eksekutif dan yudikatif
terkena virus KKN ini. Selain itu, pemasungan kebebasan berbicara
ternyata menjadi bola salju yang semakin membesar yang siap
meledak. Bom waktu ini telah terakumulasi ekian lama dan
ledakannya terjadi pada bulan Mei 1998. Selepas kejatuhan Soeharto,
selain terjadinya kenaikan harga barang dan jasa beberapakali dalam
kurun waktu 8 tahun terakhir, instabilitas keamanan dan politik serta
KKN bersamaan terjadi sehingga yang paling terkena dampaknya
adalah rakyat kecil yangjumlahnya mayoritas dan menyebabkan
posisi tawar Indonesia sangat lemah di mata internasional akibat tidak
8. adanya kepemimpinan yang kuat.
Namun demikian, demokratisasi yang sedang berjalan di Indonesia
Memperlihatkan beberapa kemajuan dibandingkan masa-masa
sebelumnya. Pemilihan umum dengan diikuti banyak partai adalah sebuah
kemajuan yang harus dicatat. Disamping itu pemilihan presiden secara
langsung yang juga diikuti oleh pemilihan kepala daerah secara langsung
adalah kemajuan lain dalam tahapan demokratisasi di Indonesia. Diluar hal
tersebut, kebebasan mengeluarkan pendapat dan menyampaikan aspirasi di
masyarakat juga semakin meningkat. Para kaum tertindas mampu
menyuarakan keluhan mereka di depan publik sehingga masalah-masalah
yang selama ini terpendam dapat diketahui oleh publik. Pemerintah pun
sangat mudah dikritik bila terlihat melakukan penyimpangan dan bisa
diajukan ke pengadilan bila terbukti melakukan kesalahan dalam
mengambil suatu kebijakan publik. Jika diasumsikan bahwa pemilihan
langsung akan menghasilkan pemimpin yang mampu membawa
masyarakat kepada kehidupan yang lebih baik, maka seharusnya dalam
beberapa tahun ke depan Indonesia akan mengalami peningkatan taraf
kesejahteraan masyarakat. Namun sayangnya hal ini belum terjadi secara
signifikan. Hal ini sebagai akibat masih terlalu kuatnya kelompok yang pro-
KKN maupun anti perbaikan.
Demokrasi di Indonesia masih berada pada masa transisi
dimana berbagai prestasi sudah muncul dan diiringi ”prestasi” yang
lain. Sebagai contoh, munculnya Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dirasakan mampu menimbulkan efek jera para koruptor
dengan dipenjarakannya beberapa koruptor. Namun di sisi lain, para
pengemplang dana bantuan likuiditas bank Indonesia (BLBI)
mendapat pengampunan
9. yang tidak sepadan dengan ”dosa-dosa” mereka terhadap
perekonomian. Namun demikian, masih ada sisi positif yang bisa
dilihat seperti lahirnya undang-undang sistem pendidikan nasional
yang mengamanatkan anggaran pendidikan sebesar 20 persen.
Demikian pula rancangan undang-undang anti pornografi dan
pornoaksi yang masih dibahas di parlemen. Rancangan undang-
undang ini telah mendapat masukan dan dukungan dari ratusan
organisasi Islam yang ada di tanah air. Hal ini juga
memperlihatkan adanya partisipasi umat Islam yang meningkat
dalam perkembangan demokrasi di Indonesia. Sementara undang-
undang sistem pendidikan nasional yang telah disahkan parlemen
juga pada masa pembahasannya mendapat dukungan yang kuat
dari berbagai organisasi Islam. Sementara itu, ekonomi di era
demokrasi ternyata mendapat pengaruh besar dari kapitalisme
internasional. Hal ini menyebabkan dilema. Bahkan di tingkat
pemerintah, ada kesan mereka tunduk dibawah tekanan kapitalis
internasional yang tidak diperlihatkan secara kasat mata kepada
publik namun bisa dirasakan.
Fenomena Pilkada
Dalam konteks kehidupan politik demokrasi di Indonesia, pemilu dan
pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung merupakan salah satu sarana untuk
mewujudkan kehidupan politik yang demokratis. Pemilu, terutama yang baru saja
dilaksanakan pada tahun 2004, dan pilkada langsung yang akan dimulai pada tahun
2005 untuk memilih gubernur, bupati atau walikota mempunyai makna strategis, tidak
saja karena sifatnya yang berbeda dengan pilkada-pilkada sebelumnya, namun yang
lebih penting adalah bahwa dengan Pemilu 2004 dan Pilkada secara langsung itulah
masa depan politik Indonesia dipertaruhkan.
Hampir dapat dipastikan bahwa dalam setiap periode menjelang pemilu dan
pilkada situasi dan kondisi politik seringkali diwarnai dengan berbagai persaingan dan
konflik antar kekuatan politik. Yang menjadi persoalan adalah: bagaimana kita dapat
10. mengelola dan mengendalikan persaingan serta kemungkinan konflik yang akan terjadi
antar kekuatan politik yang ada sehingga tidak mencuatkan situasi anarkhisme dan
kekerasan politik? Bisakah kita berharap pada penegakan aturan main pemilu dan
pilkada sebagai tonggak sejarah pengembangan proses politik menuju transisi
demokrasi? Hal yang perlu diamati juga dalam kondisi ini adalah kemungkinan
terkalahkannya gerakan reformasi oleh kekuatan-kekuatan bersenjata dan kekuatan
penguasa sumber daya produktif masyarakat. Berdasarkan hal tersebut muncul
pertanyaan tambahan yakni seberapa besar peluang yang kita miliki untuk
menggunakan pemilu dan pilkada sebagai wahana untuk mencegah kemungkinan
reformasi berjalan mundur menuju kembalinya otoritarianisme sistem politik kita
dalam bentuknya yang baru.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut kita perlu memahami dengan
baik kompetisi dan konflik politik sejak runtuhnya rezim Soeharto. Pemahaman itu
pada gilirannya paling sedikit menuntut pemahaman lebih khusus terhadap tiga hal
yang sangat penting, yaitu: (1) Dinamika proses politik yang terjadi menyusul jatuhnya
Soeharto; (2) Konfigurasi konflik politik di antara berbagai kekuatan politik yang
dihasilkan oleh praktik politik Orba, dan (3) Berkembangnya kebudayaan masyarakat
sebagai hasil aplikasi ideologi pembangunanisme yang melahirkan sikap apolitik,
permisif, ekspresif dan hedonistic.
Setelah kita melewati Pemilu 1999 yang oleh sebagian besar masyarakat, tidak
saja nasional tetapi juga internasional, diakui sebagai pemilu yang paling demokratis di
Indonesia, di kalangan sebagian dari kita seakan berkembang harapan baru bahwa di
negeri kita ini akan segera terbangun konsolidasi demokrasi, yang kemudian disusul
dengan sistem politik yang benar-benar demokratis.
Harapan ini nampaknya bagaikan mimpi di siang hari bolong. Yang terjadi
adalah bukannya konsolidasi demokrasi tetapi justru perkembangan ke arah apa yang
disebut frozen democracy yang antara lain ditandai dengan berkembangnya konflik
etnis, maraknya kekerasan politik secara kolektif, dan lokalitas politik yang berlebihan.
Masa transisi demokrasi menjadi titik krusial yang membuat kita semua menjadi
masyarakat yang oleh Turner dinamakan sebagai liminality, suatu masyarakat yang
digambarkan "tidak berada di sana dan tidak pula berada di sini". Atau dengan bahasa
sosiologis sebagai masyarakat yang anomali, yaitu suatu masyarakat yang tidak lagi
mempunyai pegangan nilai- nilai. Berkembangnya masyarakat liminalitas atau anomali
di satu sisi adalah karena mereka menjadi anti struktur, dan di sisi lain masyarakat
11. tidak lagi dapat melihat dan menemukan keteladanan, panutan, atau pengamanan-
pengalaman baik pada struktur politik maupun perilaku elite politik yang pantas
dijadikan model dan acuan dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Dalam kondisi demikian kesediaan kita untuk menyerahkan semua proses
politik pada serangkaian prosedur dan aturan main yang disepakati bersama menjadi
cukup merepotkan. Lebih-lebih masyarakat banyak menyaksikan para elit politik
melakukan berbagai pelanggaran terhadap aturan-aturan main dan prosedur yang
disepakati bersama. Yang kita saksikan kemudian adalah berbagai penyimpangan yang
dilakukan secara kolektif, baik dalam aras politik maupun ekonomi.
Dalam masa transisi ini pula kita saksikan konflik-konflik yang inheren terjadi
secara bersamaan di dua front sekaligus: Di front pertama antara opponents dan
defenders dari kekuatan otoritarian, dan pada front kedua antara kekuatan-kekuatan
proto demokratik yang saling memperebutkan posisi terbaik dalam kompetisi
memperoleh the allocation of authoritative value di bawah sistem demokrasi.
Padahal sebagaimana dikatakan oleh Przeworkski (1991) konsolidasi demokrasi
idealnya terjadi ketika konflik yang terjadi pada front yang pertama telah berhasil
membangun kelembagaan demokrasi sebagai satu-satunya landasan atau arena bagi
konflik politik yang terjadi pada front yang kedua, ketika tidak ada satu aktor politik
pun yang memiliki kesempatan untuk bertindak di luar institusi-institusi demokrasi,
dan ketika satu-satunya tindakan yang akan diambil oleh semua kekuatan yang
menderita kekalahan di dalam kompetisi politik adalah menyiapkan diri untuk
memperoleh kemenangan di dalam putaran persaingan politik yang akan datang.
"Democracy is consolidated when under given political and economic
conditions a particular system of institution becomes the only game in town, when no
one can imagine acting outside the democratic institutions, when all the loosers want
to do is to try again within the same institutions under which they have
lost"(Przeworski, 1991).
Kegagalan untuk membangun instusi-instusi yang diperlukan sebagai landasan
bagi suatu proses transisi demokrasi yang demikian itulah yang telah menjadi sumber
dari carut marutnya kehidupan politik nasional saat ini, ketika persaingan politik yang
sangat keras di antara kekuatan-kekuatan proto demokratik dan elit-elit politik
dilakukan nyaris secara all out tanpa landasan etika dan kesantunan politik yang kuat.
12. Akibatnya, perilaku para elit politik khususnya mengaburkan batasbatas
wilayah konflik antara kekuatan-kekuatan proto demokratik dan kekuatan-kekuatan
pro status quo di front yang pertama, dan wilayah konflik antara kekuatan-kekuatan
proto demokratik satu sama lain di front kedua. Sumbernya selain karena
ketidakmampuan kekuatan-kekuatan proto demokratik untuk membangun lembaga-
lembaga demokrasi, adalah juga karena ketiadaan dan makin tipisnya etika serta
kesantunan politik yang diperlihatkan oleh elit-elit politik dalam melakukan kompetisi
politik demi memperjuangkan kepentingan politik masing-masing.
Dalam kondisi masa transisi yang demikian muncul keyakinan publik bahwa
satu kesalahan yang sangat serius telah terjadi di dalam pemerintahan dan masyarakat
kita; bahwa semakin banyak elit dan tokoh politik bertindak hanya bagi kepentingan
pribadi mereka sendiri, bukan bagi kepentingan rakyat yang mereka wakili. Yang
terjadi semakin transparan di hadapan mata publik bahwa "seni memerintah" (the art
of governing) semakin berkembang menjadi "seni untuk menipu"(the art of deceiving)
rakyat di dalam skala yang makin besar. Inilah situasi dan realitas politik yang tengah
kita hadapi saat ini, realitas yang bukan tidak mungkin akan mendorong terciptanya
alienasi politik masyarakat dan kehidupan politik yang liar, sangat subur bagi
persemaian anarkhi dan kekerasan politik apabila para elit dan tokoh politik gagal
untuk mengelola itu semua.
Daftar Pustaka
Almond, Gabriel. and Sydney Verba. 1963. The Civic Culture. Princeton: NJ. Princeton
University Press.
Apter, David. 1990. The Politics of Modernization. Chicago: University of Chicago
Press. Aspinall, Edward. 2000. "Bagaimana Peluang Demokratisasi?" dalam Edward
Aspinall (eds).
Titik Tolak Reformasi: Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Yogyakarta: LkiS. Bulkin,
Farhan, Politik Orde Baru, Prisma, Vol.8, 1984
Feith, Herbert. 1971. The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Ithaca:
Cornell University Press.
Geertz, Clifford. 1980. Negara dan Penjaja. Jakarta: PT.Gramedia.
Gould, Charles. 1998. Demokrasi Ditinjau Kembali. Jakarta: PT.Gramedia.
Przeworski. 1991. The Democracy and Organization of Political Parties. London:
13. McMillan. Suharso. 2000. "Quo Vadis Demokrasi Indonesia" dalam Mahfud MD (eds),
Wacana Politik,
Turner, Jonathan. 1995. The Structural of Sociological Theory. Toronto: Wiley.