Majalah Prisma didirikan pada awal Orde Baru dengan visi modernisasi pluralis yang mendukung pembangunan ekonomi dan ruang politik yang lebih terbuka bagi masyarakat sipil. Namun, visi ini tidak terealisasi karena proyek modernisasi resmi Orde Baru yang lebih menekankan kontrol sosial dan politik. Meski demikian, Prisma berhasil melampaui zamannya dengan memberikan potret perjalanan sejarah Indonesia selama setengah abad terakh
3. Bagi manusia, 50 tahun usia yang matang.
Bagi pernikahan, setengah abad patut dirayakan,
the golden anniversary, “kawin emas.” Sebuah
pergulatan hidup untuk menyelami rumah tangga,
membangun keluarga batih, dengan kemungkinan
gagal berantakan. Tentu analogi usia manusia atau
pun usia pernikahan untuk tumbuh, berkembang,
menjadi dewasa dan matang tidaklah sepenuhnya
tepat bagi sebuah penerbitan berbasis pengetahuan
dan akuntabilitas ilmiah, seperti Prisma.
Terbit pada masa awal regimentasi Orde Baru,
Prismatumbuhmenjadisebuah“majalah”pemikir
an sosial ekonomi yang lekat sebagai bagian dari
teknokrasi Orde Baru. Kegairahan membuncah
dari para pendiri, awak redaksi, dan para kon
tributornya terhadap sebuah proyek modernisasi
yang kemudian kita kenal sebagai pembangunan.
Beberapa tahun kemudian, pada akhir tahun 1970-
an, Prisma menjadi lebih kritis terhadap model
pembangunan dan kekuasaan negara yang makin
otoriter, namun dalam pakem di master-head-nya
hingga kini, Prisma menyatakan diri:
“… dimaksudkan sebagai media informasi dan
forum pembahasan masalah pembangunan eko
nomi, perkembangan sosial dan perubahan kul
tural di Indonesia dan sekitarnya. Berisi tulisan
ilmiah populer, ringkasan hasil penelitian, survei,
hipotesis atau gagasan orisinal yang kritis dan
segar.”
Sebagai produsen pengetahuan dalam dunia
sosial yang terus berubah, pertanyaan tentang cara
dan tujuan yang tepat bagi Prisma selalu menjadi
pertimbangan penting, bahkan pergulatan di meja
redaksi. Misalnya, bagaimana analisis dan hasil
penelitian yang dimuat di Prisma tak hanya berkon
tribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan dari
dan oleh kalangan akademia atau scholar, namun
juga memiliki dampak pada proses pengambilan
keputusan dan kebijakan publik?
Bagaimana kualitas penelitian dan nilai publik
dari suatu penyelidikan sosial dapat andil meru
muskan masalah dan memajukan gerakan sosial
yang semakin kompleks, terutama saat Indonesia
memasuki milenium baru di era pasca-Reformasi?
Bagaimana para peneliti sosial dapat membingkai
ulang masalah yang dihadapi oleh mayoritas mere
ka yang tersingkir dan terpinggirkan oleh proses
pembangunan, seraya merancang suatu metode
penyelidikan dan, yang lebih penting, mengomuni
kasikan berbagai temuan dan analisisnya dengan
cara yang tepat sehingga mampu berkontribusi
pada debat publik yang bernas?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut
tentu tidak akan dibantu oleh nalar biner yang telah
menciptakan hierarki pengetahuan seperti kredo
yang tertanam di benak banyak cerdik-cendekia
mengenai pembelahan antara ilmu-ilmu alam dan
ilmu-ilmu sosial atau humaniora; atau seperti juga
perbedaan yang disebut Aristoteles sebagai techne
(rasionalitas teknis) dan phronesis (rasionalitas
nilai).
Menyadari ketegangan mendasar antara dua
rasionalitas yang berbeda tersebut, sejak kembali
terbit di pertengahan tahun 2009, setelah “mati
suri” selama satu dekade, Prisma berupaya meru
muskan ulang posisi dan kiprahnya. Perumusan
ulang tersebut semakin relevan dan mendesak
karena setidaknya dua hal.
Pertama, karena refleksi kritis dan perkem
bangan teori tertentu dalam ilmu-ilmu sosial, tam
paknya kita harus keluar dari zona nyaman dengan
pemilahan bahkan dikotomi usang antara “agensi”
dan “struktur”, antara data “lunak” dan “keras”,
antara fenomena objektif dan subjektif, antara re
alitas material dan diskursif, bahkan antara tekno
krasi dan demokrasi/partisipasi.
Kedua, menyadari juga dalam masyarakat
kontemporer yang semakin mendunia, kita terus
dihantui dan menghadapi krisis kapitalisme—yang
akut maupun konjungtural—yang kini memuncak
dalam wujud krisis iklim dengan disrupsi pan
demi virus korona. Krisis itu berada dalam suatu
era globalisasi digital, di tengah ledakan informasi
dan dominasi media sosialnya. Sambil mematah
kan janji-janji modernisasi, krisis global ini terus
menyeret gerbong berbagai masalah klasik pem
bangunan: konsentrasi kekuasaan dan sumber
daya pada segelintir orang, ketimpangan sosial dan
penghancuran ekologi.
Pada titik itulah Prisma dituntut mampu
menjelaskan masalah dan risiko yang dihadapi
masyarakat Indonesia di masa mendatang. Hal itu
mungkin dapat dilakukan dengan merangkul, baik
rasionalitas nilai maupun rasionalitas tekniknya,
sambil memperluas komunitas epistemik yang
mampu memperkuat daya penjelas dan daya pre
diktifnya. Dalam arti ini, Prisma berupaya meng
artikulasikan edisi tematiknya bukan sekadar
melalui pendekatan multidisiplin melainkan trans
disiplin agar tetap menjadi hub (penghubung) an
tara ketiga stakeholder-nya: dunia akademik atau
para cerdik-cendekia, para pengambil kebijakan
negara, dan gerakan sosial. Semoga.
Harry Wibowo
Tiga Pilar Pemangku Kepentingan
TOPIK KITA
Prisma
4. Grace L dan Douglas K, Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965”
T O P I K
Memotret Indonesia Lewat Prisma
Vedi R Hadiz
Prisma semula didirikan dan diterbitkan untuk menyambut berbagai kemungkinan yang
sempat diharapkan terbuka bagi masa depan Indonesia di tahun-tahun awal Orde Baru.
Harapan tersebut praktis kandas dengan semakin bercokolnya sistem otoritarianisme Orde
Baru yang korup dan represif, terutama terhadap kekuatan-kekuatan masyarakat yang inde-
penden. Akan tetapi, Prisma berevolusi, meski gagal mempertahankan status sebagai episen-
trum perdebatan pembangunan di Indonesia. Kini sudah setengah abad dilalui Prisma,
kendati sempat absen antara 1998 dan 2009. Dewasa ini, Indonesia mengalami sejumlah
tantangan “baru tapi lama” yang hadir dengan tingkat keterpautan sangat tinggi dengan
perkembangan global. Adalah tantangan Prisma untuk tetap relevan sebagai “pemotret”
perubahan masyarakat dan pergulatan pemikiran di Indonesia. Hal itu menjadi makin pen
ting karena Reformasi baru mampu melahirkan demokrasi yang cacat, sementara cita-cita
keadilan sosial tampak kian sulit diwujudkan.
Kata Kunci: demokrasi, intelektual, modernisasi-pluralis, orde baru, pembangunan
risma adalah produk zamannya. Be
gitu kira-kira kata Benedict Richard
O’Gorman Anderson—yang akrab
disapa dengan nama Ben Anderson—kepada
saya di sela-sela sebuah konferensi inter
nasional akhir 1992 yang diselenggarakan
di luar kota Melbourne, Australia. Namun
demikian, sejarah membuktikan bahwa
Prisma telah dan mampu melampaui (dalam
arti transcend) zaman yang melahirkannya,
meski tidak selalu pada tingkat keberhasilan
yang sama. Ia memberikan sejumlah potret,
yang jelas dan kurang lebih runtut, tentang
perjalanan sejarah Indonesia selama sete
ngah abad belakangan ini. Potret itu pun
menangkap berbagai kontradiksi internal
dalam masyarakat dan negara Indonesia se
jak zaman otoritarianisme yang kaku dan ko
rup hingga masa demokratisasi dengan ke
hidupan politik yang lebih cair, tetapi tidak
kalah korupnya.
Bukan berarti almarhum ahli Indonesia
terkemuka berkebangsaan Irlandia itu keliru:
Prisma memang sejak semula adalah buah
karya para intelektual dan aktivis pendukung
suatu proyek modernisasi tertentu yang ber
kumpul di LP3ES pada tahun-tahun awal
Orde Baru. Di antara mereka adalah Nono
Anwar Makarim dan Ismid Hadad, yang
diakui sebagai tokoh pencetus dan pendiri
Prisma. Saya menduga bahwa, di benak Ben
Anderson, para intelektual tersebut diper
satukan oleh sebuah visi tentang masa depan
Indonesia yang dapat diberi label tertentu:
modernis-pluralis.1
Pembangunan ekonomi
1
Lihat, David Bourchier dan Vedi R Hadiz, Indonesian
Politics and Society: A Reader (London: Routledge,
2003), khususnya Bab 2.
P
5. Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021
T O P I K
yang dirancang oleh para ahli dibayang
kan berjalan dalam lingkungan politik yang
makin memberi tempat pada kekuatan ma
syarakat sipil dan independen. Tidak meng
herankan jika sejarawan Onghokham meni
lai, pada kesempatan peringatan hari ulang
tahun ke-10 Prisma, bahwa majalah ini
mengartikulasikan sikap terhadap berbagai
persoalan pembangunan bangsa yang seka
ligus bersifat teknokratis dan liberal.2
Namun demikian, menurutAnderson, dua
dasawarsa setelah Prisma berdiri, proyek
modernisasi pluralis sudah lama terpinggir
kan oleh proyek modernisasi saingan yang
dilahirkan dari dalam bagian-bagian inti
birokrasi negara Orde Baru sendiri. Proyek
modernisasi “resmi” tersebut, yang paling
gamblang diuraikan watak dasarnya oleh
Jenderal Ali Moertopo3
, salah seorang ideo
log Orde Baru terpenting, bukan saja menge
jar pertumbuhan ekonomi yang pesat, namun
juga mengaitkan keberhasilan pembangunan
dengan kontrol sosial dan politik yang ketat,
bahkan represif.
Di dalam visi resmi itu, tidak ada tempat
buat cita-cita liberalisasi-pluralisme politik.
Bahkan, masyarakat hampir sepenuhnya di
subordinasikan terhadap tuntutan-tuntutan
negara lewat sebuah arsitektur kekuasaan
yang makin menutup ruang gerak politik.
Pada pertengahan tahun 1980-an, misalnya,
versi Pancasila sebagaimana disebarluas
kan oleh Orde Baru melalui penataran P4
(Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila) serta seperangkat peraturan pe
rundangan yang membungkam kritik serta
mengekang otonomi organisasi sosial dan
politik, seakan-akan menegaskan bahwa visi
modernisasi pluralis yang mengilhami pen
dirian majalah Prisma sudah tidak relevan
di tingkat kebijaksanaan negara. Yang ting
gal hanyalah gemuruh pembangunanisme
negara monolitikyang praktis telahmenying
kirkannya.
Memang, teknokratisme ekonomi bang
kit lagi bagai Lazarus di masa “deregulasi
dan debirokratisasi” ekonomi tahun 1980-
an, yang dipaksakan oleh jatuhnya harga mi
nyak di pasaran internasional secara drastis.
Namun,hubungannyadengancita-citalibera
lisasi politik tertentu sudah lama berangsur
terputus.
Perkataan BenAnderson pada tahun 1992
itu, ada benarnya jika ditilik secara lebih so
siologis. Kelahiran Prisma dimungkinkan
oleh adanya suatu konteks sosio-historis ter
tentu dalam perkembangan bangsa. Sebagai
majalah atau jurnal, Prisma adalah respons
beberapa intelektual muda (bersama sejum
lah seniornya) terhadap sebuah kondisi di
awal tahun 1970-an, yang waktu itu seakan-
akan menjanjikan berbagai jenis kemungkin
an masa depan. Bagi mereka, masa depan
Indonesia terasa belum lagi tertulis saat itu.
Dengan kata lain, Prisma memang hadir
ditengah-tengah pergulatan yang sedang ber
langsung untuk membentuk suatu social or-
der pasca-1966—yang ternyata bakal men
jadi warisan paling kekal sepanjang masa
kekuasaaan Soeharto. Bila orang sekarang
banyak bicara tentang “oligarki” di Indone
sia, misalnya, mereka sebenarnya merujuk
pada suatu struktur hubungan sosial dan
kekuasaan yang dibentuk dan dilanggeng
kan pada masa Orde Baru itu sendiri.4
Perlu
pula diingat bahwa Prisma terbit untuk kali
pertama pada November 1971, tahun yang
sama dengan pemilihan umum pertama yang
diselenggarakan Orde Baru. Sebagaimana
“pesta-pesta demokrasi” berikutnya, pemilu
itu pun sejak awal sarat dengan intervensi
dan manipulasi oleh penguasa negara dan
berbagai aparatnya.
2
Lihat, Onghokham, “Potret Cendekiawan Indonesia se
bagaimana Terekam dalam Prisma”, dalam Prisma, Vol.
IX, No. 11, 1980, hal. 57-68.
3
Lihat, Ali Moertopo, Dasar-dasar Pemikiran tentang
Akselerasi Pembangunan 25 Tahun (Jakarta: Yayasan
Proklamasi, Centre for Strategic and International Stu
dies, 1973).
4
Lihat, misalnya, artikel-artikel Prisma edisi “Demokra
si di Bawah Cengkeraman Oligarki”, Vol. 33, No. 1,
2014.
6. Grace L dan Douglas K, Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965”
T O P I K
Jadi, secara agak paradoksal, Prisma la
hir justru ketika arsitektur politik yang akan
menutup jalan bagi realisasi visi modernisa
si pluralis sedang ditegakkan lewat Pemilu
1971 tersebut, mungkin tanpa disadari oleh
para pendiri Prisma sendiri. Edisi “Perke
nalan” Prisma, misalnya, memuat artikel-
artikel tentang pembangunan ekonomi dan
politik (serta renungan tentang kaitan antara
keduanya) oleh Soedjatmoko dan Suhadi
Mangkusuwondo.5
Edisi itu juga memuat
tulisan ekonom Dorodjatun Kuntjoro-Jak
ti—salah seorang pendiri LP3ES yang kelak
menjadi Menteri Koordinator Perekonomian
di masa Reformasi.6
Renungan-renungan
tersebut menjadi kedaluwarsa dalam bilang
an beberapa tahun saja dengan adanya fusi
partai- partai politik 1973, peristiwa Malari
(Malapetaka Limabelas Januari) 1974, kebi
jakan NKK-BKK (Normalisasi Kehidupan
Kampus-BadanKoordinasiKemahasiswaan)
1978, dan lain-lain.
Namun demikian, Prisma masih me
miliki kemampuan untuk berevolusi—hal
yang mungkin kurang diperhitungkan oleh
Anderson. Dalam perjalanannya, Prisma
terkadang dapat bersuara sangat kritis dan
lantang, baik terhadap model pembangunan
sosial-ekonomi-politik Orde Baru maupun
narasi sejarahnya. Bahkan, salah satu edisi
Prisma yang paling legendaris (dan laris)
adalah edisi biografi beberapa tokoh sejarah
Indonesia yang berasal dari spektrum politik
yang luas, diterbitkan dengan judul “Manu
sia dalam Kemelut Sejarah” (No 8, Agustus
1977), dengan menampilkan tulisan-tulisan
Abu Hanifah, Alfian, Aminuddin Rasyad,
Mohamad Roem, Mattulada, Mochtar Pabot
tingi, Nugroho Notosusanto, Onghokham,
Taufik Abdullah, dan YB Mangunwijaya.
Tidak mengherankan jika Prisma men
dapat beberapa kali teguran keras dari pe
nguasa Orde Baru karena peran potensial
nya dalam mengajukan suatu narasi sejarah
“tandingan.” Pada 1983, Prisma dianggap
terlalu menyoroti dan “mengangkat” peran
kaum “Kiri” dalam sejarah Indonesia lewat
berbagai artikel para cendekiawan yang per
nah dan direncanakan dimuat oleh jurnal
ini. Artikel-artikel tersebut, dan sebagian
penulisnya,dinilaibertentangandengannara
si sejarah modern Indonesia yang waktu itu
tengah dalam proses pembakuan oleh peja
bat dan ideolog negara. Proses tersebut dapat
dilihat dalam buku teks pelajaran sekolah
maupun lewat karya ilmiah yang diterbitkan
oleh beberapa tokoh, seperti Menteri Pendi
dikan dan Kebudayaan sekaligus sejarawan,
Nugroho Notosusanto, yang mengedepankan
peran militer dalam perkembangan bangsa.7
Sebagai hasilnya, yang kemungkinan ti
dak direncanakan oleh para pengelolanya,
Prisma kemudian menangkap kegelisahan
generasi muda dan intelektual baru, yang
tidak mempunyai kaitan langsung dengan
gejolak sosial-politik yang melahirkan Orde
Baru. Sebagian besar pembaca Prisma pada
tahun 1980-an adalah anak-anak muda dari
pelbagai perguruan tinggi atau aktivis LSM
(lembaga swadaya masyarakat) dan berbagai
jenis organisasi lainnya. Proses sosialisasi
politik mereka waktu itu sudah berjarak
hampir dua dekade dari proses sosialisasi
politik yang dialami para intelektual muda
yang turut mendirikan Orde Baru, meski se
bagian kemudian beranjak menjadi pengkri
tiknya yang tajam.
Pada 1987, di bawah nakhoda Masmi
mar Mangiang, Prisma menerbitkan sebuah
edisi tentang “kaum muda” yang sekali lagi
5
Lihat, Soedjatmoko, “Problim dan Prospek Pembangun
an”, dalam Prisma, edisi Perkenalan, Nomor 1, Novem
ber 1971; Suhadi Mangkusuwondo, “Faktor2 Non-Eko
nomi dalam Penetuan Sasaran dan Tjara Pendekatan
Pembangunan”, dalam Prisma, edisi Perkenalan, Nomor
1, November 1971.
6
Lihat, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, “Suatu Hipotesa
Tentang Pengaruh Faktor2 Non-Ekonomi atas Faktor2
Ekonomi”, dalam Prisma, edisi Perkenalan, Nomor 1,
November 1971.
7
Lihat, misalnya, Marwati Djoened Poesponegoro dan
Nugroho Notosusanto (eds.), Sejarah Nasional Indone-
sia, 6 Jilid (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1975).
Vedi R Hadiz, Memotret Indonesia Lewat Prisma
7. Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021
T O P I K
mendapatkan teguran dari birokrasi negara
karena dituduh bernada menghasut pemu
da untuk memberontak. Pada titik sejarah
tersebut, posisi aktivis mahasiswa sudah
sedemikian terpinggirkan, sehingga cara edi
si tersebut menangani masalah kepemudaan
dan kemahasiswaan tak pelak amat berbeda
dengan edisi tahun 1973 ataupun 1977 yang
menggeluti tema serupa. Pemuda dan maha
siswa 1980-an yang menjadi objek bahasan
pun cenderung memandang diri sebagai kor
ban arsitektur politik Orde Baru. Berbeda
dengan anggota generasi sebelumnya yang
sempat mempunyai persepsi diri sebagai
mitra rezim yang kemudian menuntut hak-
haknya.
Di lain pihak, nuansa teknokratis tetap
melekat pada Prisma. Hal tersebut tidak
kurang karena beberapa orang yang dekat
dengan teknokrasi Orde Baru tetap mem
punyai peran penting dalam organisasi in
duknya, LP3ES, seperti Sumitro Djojoha
dikusumo atau Emil Salim. Walakin, dalam
mengekspresikan sudut pandang bernuansa
teknokratis itu, Prisma sesungguhnya kian
memberi dan membuka ruang untuk sejenis
kritik internal rezim yang mewarnai perkem
bangan Orde Baru itu sendiri dan biasanya
muncul dari kalangan ekonom atau para
pelaku/pembuat kebijaksanaan pembangun
an ekonomi. Karena itu, Prisma tetap men
jadi tempat memuat buah pikiran tokoh se
perti Anwar Nasution, kelak menjadi salah
satu Wakil Gubernur Bank Indonesia, yang
menulis artikel tentang masalah-masalah
pembangunan di Dunia Ketiga8
–dalam cara
amat berbeda dengan Adi Sasono, misalnya,
yang mengedepankan teori ketergantungan
neo-Marxian.9
Di masa hebohnya “deregula
si dan debirokratisasi”, ekonom yang saat itu
sedang naik daun, Sjahrir, cukup terasa pe
ngaruhnya terhadap perencanaan edisi-edisi
Prisma tentang masalah kebijakan ekonomi
dan pembangunan.
Perkembangan lain yang menarik adalah
semakin terlibatnya Prisma dalam perde
batan tentang hubungan antara agama, ma
syarakat, dan negara, seperti pada edisi-edisi
yang masing-masing terbit pada 1975 (yang
menampilkan figur Abdurrahman Wahid
muda), 1982, 1984, 1988, dan 1995.10
Per
hatian tersebut berlanjut pada masa Prisma
“baru”, atau tahun 2009 ke atas, sebagaima
na terlihat dalam edisi tentang “Islam dan
Dunia”.11
Ada dua penyebab utama perkembang
an itu. Pertama, perubahan internal yang
perlahan-lahan berlangsung dalam tubuh
LP3ES, yakni makin banyaknya (dan makin
bertambahnya pengaruh) staf yang berlatar
belakang organisasi seperti HMI atau PMII
(salah satu di antaranya Fachry Ali) yang
menyumbang beberapa tulisan untuk Pris-
ma. Kedua, meningkatnya semacam proses
Islamisasi kultural yang terjadi di Indonesia,
terutama sejak tahun 1980-an dan 1990-an,
yang juga banyak memengaruhi karakter so
siologis sebagian pembaca Prisma.
Walaupun demikian, pendapat bahwa
pengaruh Prisma sebagai ladang pemikiran
berangsur-angsur merosot sejak pertengah
an dasawarsa 1980-an hingga akhir tahun
1990-an tidaklah keliru. Aspek-aspek dari
konteks sosial yang ditanggapi oleh Prisma
sudah banyak berubah dengan cara yang se
dikit banyak tidak menguntungkannya. Pada
masa tersebut, pers cetak Indonesia tengah
berkembang dengan pesat diikuti oleh pe
luncuran beberapa stasiun televisi swasta.
8
Anwar Nasution, “Masalah Ekonomi Internasional Du
nia Ketiga 1984 dan Prospek 1985” dalam Prisma, Vol.
14, No. 1, 1985, hal. 43-53.
9
Adi Sasono, “Tesis Ketergantungan dan Indonesia”, da
lam Prisma, Vol. 9, No. 12, Desember 1980, hal. 73-86.
10
Lihat, Abdurrahman Wahid, “Menjadikan Hukum Is
lam sebagai Penunjang Pembangunan”, dalam Prisma,
edisi “Iman, Amal, dan Pembangunan”, Vol. 4, No.
4, 1975; Prisma edisi “Agama dan Revolusi”, Vol. 9,
No.9, 1982; Prisma edisi “Islam Mencari Model Poli
tik”, Vol. 13, No. 3, 1984; Prisma edisi “Sejarah Politik
Islam”, Vol. 17, No. 5, 1988; Prisma edisi “Islam Poli
tik dan Islam Kultural”, Vol. 24, No. 5, 1995.
11
Lihat, Prisma edisi “Islam dan Dunia: Perjumpaan di
Tengah Perbenturan”, Vol. 29, No. 4, 2010.
8. Grace L dan Douglas K, Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965”
T O P I K
Hal itu mengubah pola konsumsi gagasan,
terutama di kalangan kelas menengah ter
didik perkotaan yang juga sedang tumbuh
pesat. Mereka cenderung tidak sabar mem
baca analisis dalam artikel-artikel Prisma
yang relatif panjang, serta dilengkapi dengan
catatan kaki dan referensi yang banyak. Ko
lom-kolom opini yang tersedia di berbagai
surat kabar dan majalah berita sepanjang
sekian ratus kata tampaknya sudah cukup
memenuhi kebutuhan mereka.
Para calon penulis juga semakin senang
dan sering menyumbangkan artikel pendek
di surat kabar dan majalah berita, sebab le
bih mudah ditulis dalam tempo relatif cepat
dan mendapatkan imbalan keuangan yang
juga relatif lebih besar. Di kemudian hari,
mereka pun berlomba-lomba untuk masuk
acara televisi swasta—terkadang lebih terke
san guna mendongkrak popularitas pribadi
ketimbang menyumbangkan pemikiran yang
mendalam.
Akhirnya Prisma, berhenti terbit untuk
waktu yang lama sejak tahun 1998. Memang
sebuah ironi bahwa di tahun gejolak Refor
masi, ketika suatu pergulatan besar terjadi
lagi untuk menentukan arah perjalanan se
jarah Indonesia, Prisma justru “mati suri”.12
Prisma seolah-olah lengser bersamaan de
ngan lengsernya Soeharto, suatu hal yang
sepertinya menggarisbawahi bagaimana
majalah tersebut betul-betul adalah anak za
mannya. Baru pada tahun 2009, atas prakarsa
Daniel Dhakidae, yang boleh disebut sebagai
mantan pemimpin redaksi di masa puncak
kejayaannya, Prisma hadir lagi dalam belan
tara perdebatan intelektual Indonesia.Walau
pun terpaut satu dekade dengan berakhirnya
Orde Baru, Prisma yang “bangun” kembali
memang mendapatkan nafas dari lingkungan
baru yang menyertai proses demokratisasi
di Indonesia. Meskipun demikian, ia lebih
tepat dimaknai sebagai produk lingkungan
sosial yang ditandai kegagalan pencapaian
sebagian cita-cita Reformasi tersebut.
Memang agak berlebihan untuk men
daku bahwa Prisma hadir kembali dikare
nakan suatu kebutuhan yang ditimbulkan
oleh pencarian arah baru untuk Indonesia
yang sempat menyertai tumbangnya rezim
Soeharto pada 1998. Ketika Prisma kembali
hadir pada 2009, euforia Reformasi sudah
lama surut. Prisma justru muncul untuk di
baca oleh generasi yang mengalami keke
cewaan dengan hasil-hasil perjuangan Re
formasi—yang sudah mulai menumpuk dan
menyebar ke berbagai pelosok masyarakat.
Kalaupun demokrasi telah tertanam kuat di
Indonesia, adalah sejenis demokrasi yang
masih didominasi kekuatan-kekuatan oligar
kis. Oligarki itu bertahan sebagai perseku
tuan antara kepentingan politik-birokratis
dan modal besar—yang awalnya dipelihara
oleh Orde Baru dalam kerangka politik otori
tarian—tetapi ternyata masih bisa berjaya
dalam alam demokratisasi.13
Cita-cita keadilan sosial yang sempat
menyertai harapan-harapan demokratisasi
sudah agak lama tenggelam dengan terus
melebarnya jurang kaya-miskin dan marak
nya pola-pola akumulasi modal berlandas
kan korupsi atau berbagai variasi kegiatan
rampok dan rampas yang terlindungi secara
politik. Tidak mengherankan bahwa edisi
Prisma “baru” yang muncul kali pertama
pada 2009—dalam suasana krisis ekonomi
paling serius yang dialami oleh kapitalisme
global—“menyalurkan” antusiasme para
12
“Mati suri” istilah yang sangat tepat. Prisma berhenti
terbit sejak edisi terakhir September 1998 dan terbit
kembali Juni 2009, namun berbagai edisi Prisma lama
(1971-1998) yang masih tersisa tetap diedarkan oleh
Penerbit LP3ES serta diperjualbelikan oleh berbagai
toko buku konvensional di beberapa kota. Dalam arti
itu, Prisma sebenarnya masih berada dalam “ingatan
kolektif” para pembaca tradisionalnya, bahkan dicari
dan diburu oleh beberapa kelompok mahasiswa dari
generasi yang lahir di awal milenial. Di era digital saat
ini, Prisma lama masih diperjualbelikan via berbagai
platform digital.
13
Lihat, Richard Robison dan Vedi R Hadiz, Reorganis-
ing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in
an Age of Markets (London dan New York: Routledge
Curzon, 2004).
Vedi R Hadiz, Memotret Indonesia Lewat Prisma
9. Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021
T O P I K
pengelola jurnal terhadap ide “senja kala
kapitalisme.”
Mungkin Ben Anderson hanya benar se
bagian ketika bicara sambil lalu dengan saya
tentang Prisma di salah satu sudut Kota Mel
bourne beberapa puluh tahun silam. Kalau
pun sudah lama tidak lagi menjadi episen
trum perdebatan pemikiran, Prisma tetap
berhasil menjadi alat potret perjalanan se
jarah Indonesia sebagaimana terekam dalam
perkembangan gagasan para intelektual In
donesia di berbagai bidang.
LewatPrisma,sebagianpembacapertama
mengenal kritik terhadap kapitalisme dalam
tradisi neo-Marxian, termasuk dalam varian
teori dependensia ala Andre Gunder Frank,
yang disebut di atas, dan teori sistem-dunia
ala Immanuel Wallerstein. Beberapa penu
lis yang pernah memimpin dan mengelola
Prisma, seperti M Dawam Rahardjo dan
Farchan Bulkin14
, menyediakan sejumlah
tulisanyangmemperkenalkankhalayakpem
baca Prisma pada teori dan konsep yang lahir
dari perdebatan pembangunan di Amerika
Latin maupun Asia Selatan, termasuk karya
Hamza Alavi, sosiolog dari Pakistan. Prisma
juga memunculkan perdebatan tentang Eko
nomi Pancasila yang melibatkan ekonom
Mubyarto dan Sarbini Sumawinata serta
sosiolog Arief Budiman.15
Perdebatan itu
memunculkan kesadaran tentang bagaimana
konsep yang tidak ingin diperdebatkan lagi
oleh negara, karena sudah diberikan makna
resmi, sebenarnya masih terbuka untuk kon
testasi intelektual yang cukup sengit.
Lewat Prisma hingga ia sempat redup
di tahun 1998, pembaca dapat mengikuti
perkembangan gagasan di bidang kebudaya
an, baik di Indonesia maupun secara lebih
luas sepanjang tahun 1980-an dan 1990-an.
Tulisan-tulisan Ignas Kleden memberikan
sarana untuk berjumpa dengan cara berpikir
tentang kebudayaan yang kritis dan dina
mis—tidak cenderung statis sebagaimana
kebudayaan didefinisikan oleh negara, dari
Orde Baru hingga hari ini.16
Lewat Ariel
Heryanto, dan penulis lain, pembaca juga
berkenalan dengan cara pandang kebudaya
an yang banyak terinspirasi oleh teori-teori
pasca-modernisme dan pasca-strukturalis
me.17
Karena itu, RZ Leirissa pun menyoroti
bagaimana Prisma semakin berperan dalam
mengedepankan perdebatan intelektual di In
donesia di bidang kebudayaan sejak dekade
1980-an.18
Kehadiran kembali Prisma di tahun 2009
tentu membuka pintu untuk generasi penu
lis yang lebih baru lagi. Di antaranya adalah
Airlangga Pribadi dan Inaya Rakhmani,
14
Lihat, misalnya, Prisma edisi “Krisis Kapitalisme Du
nia”, Vol. 12, No. 3, 1983; Prisma edisi “Sektor Swasta
Antara Kesempatan dan Kesempitan”, Vol. 12, No. 7,
1983; Prisma edisi “Kerawanan Sistem Pertahanan”,
Vol. 12, No. 10, 1983; Prisma edisi “Kelas Menengah
Baru: Menggapai Harta dan Kuasa”, Vol. 13, No. 2,
1984; Prisma edisi “Negara atau Masyarakat”, Vol. 13,
No. 8, 1984.
15
Lihat, Mubyarto. “Moral Ekonomi Pancasila”, dalam
Prisma, Vol. 10, No. 1, Januari 1981; Arief Budiman,
“Sistem Perekonomian Pancasila, Kapitalisme, dan
Sosialisme”, dalam Prisma, Vol. 11, No. 1, Januari
1982; Sarbini Sumawinata, “Sejarah Ekonomi Kita Se
jarah Tanpa Perubahan”, dalam Prisma, Vol. 12, No.
8, 1983.
16
Lihat, misalnya, Ignas Kleden, “Teori Ilmu Sosial se
bagai Variabel Sosial”, dalam Prisma, Vol. 12, No.
6, 1983; Ignas Kleden, “Penelitian dan Kemampuan
Ilmu-ilmu Sosial Pelajaran dari Seminar Orientasi
Sosial Budaya”, dalam Prisma, Vol. 13, No. 1, 1984;
Ignas Kleden, “Model Rasionalitas Teknokrasi”, dalam
Prisma, Vol. 13, No. 3, 1984; Ignas Kleden, “Kualitas
Manusia Sebagai Persoalan Ilmu Sosial - Postskriptum
Sebuah Seminar”, dalam Prisma, Vol. 13, No. 9, 1984;
Ignas Kleden, “Kebudayaan: Agenda Buat Daya Cip
ta”, dalam Prisma, Vol. 14, No. 1, 1985; Ignas Kleden,
“Pembaharuan Kebudayaan MengatasiTransisi”, dalam
Prisma, Vol. 14, No. 8, 1985; Ignas Kleden, “Berpikir
Strategis tentang Kebudayaan”, dalam Prisma, Vol. 16,
No. 3, 1987; Ignas Kleden, “Kebudayaan Pop: Kritik
dan Pengakuan”, dalam Prisma, Vol. 16, No. 5, 1987.
17
Lihat, misalnya, Ariel Heryanto, “Berjangkitnya Ba
hasa-Bangsa Indonesia”, dalam Prisma, Vol. 18, No.
1, 1989; Ariel Heryanto, “Kelas Menengah Indonesia:
Tinjauan Kepustakaan”, dalam Prisma, Vol. 19, No. 4,
1990;
18
Richard Zakaria Leirissa, “Prisma dalam Dasawarsa
1980-an”, dalam Prisma, Vol. 23, No. 1, Januari 1994,
hal. 83-91.
10. Grace L dan Douglas K, Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965”
T O P I K
yang kini direkrut sebagai anggota Dewan
Redaksi Prisma. Tulisan mereka pun hadir
dalam edisi peringatan ulang tahun ke-50
Prisma ini. Menariknya, para penulis baru
itu ternyata harus bergelut dengan banyak
masalah “lama” yang ternyata masih ber
tahan atau tetap hadir dalam manifestasi
agak baru. Kehadiran masalah “baru tetapi
lama” tersebut mungkin turut menjelaskan
bagaimana Prisma masih relevan dari za
man ke zaman; lebih tepatnya, bagaimana
Prisma dapat melampaui (transcend) zaman
yang melahirkannya. Tema dan masalah be
sar yang dihadapi Indonesia ternyata belum
banyak berubah dalam waktu setengah abad
terakhir ini, meski sudah terjadi pergeseran
dari otoritarianisme yang ketat ke demokrasi
yang terdesentralisasi.
Namun demikian, Prisma tetap hadir
kembali dalam konteks umum yang telah
mengalami beberapa perubahan signifikan.
Pertama, dahulu Prisma hampir tidak mem
punyai saingan yang berarti sebagai jurnal
ataumajalahpemikiranmasalahpembangun
an dan ilmu sosial. Sekarang, setidaknya se
jak tahun 2000, hampir setiap fakultas ilmu
sosial, bahkan jurusan di dalamnya, di ber
bagai perguruan tinggi di Indonesia sudah
mempunyai jurnal sendiri. Banyak di antara
mereka terdaftar di Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, sehingga mampu memberi
kan kredit yang diperlukan untuk para dosen
yang beraspirasi naik pangkat akademis. Se
bagai penerbitan yang tidak terkait dengan
institusi pendidikan tinggi, kultur seperti itu
agaknya masih agak asing buat Prisma, se
hingga mengurangi daya tariknya bagi calon
penulis masa kini yang berprofesi dosen. Se
lain itu, sangat banyak blog, website, online
journal dewasa ini memberikan ruang bagi
tulisan-tulisan yang dahulu mungkin hanya
ditujukan untuk dimuat Prisma. Dalam hal
ini, Prisma agaknya masih mengalami ke
sulitan untuk menancapkan kehadirannya
dalam belantara perdebatan pemikiran yang
kini banyak terjadi di dunia maya.
Di sini, perlu ditekankan ulang bahwa
masalah-masalah yang ditangani generasi
penulis baru Prisma sering kali merupakan
manifestasi “baru” dari tema-tema “lama.”
Tema dalam edisi ulang tahun ke-50 Prisma
ini digarap oleh barisan penulis, yang untuk
sebagian besar, mengalami sosialisasi politik
mereka di akhir masa Orde Baru atau bahkan
sepenuhnya di masa Reformasi.
Farid Gaban menulis artikel yang menin
jau secara kritis model pembangunan ekono
mi yang kini ditempuh di masa Reformasi,
dibandingkan dengan model yang sempat
“berseteru” di masa Orde Baru. Tulisannya
membahas pasang surut teori pembangunan
dan bagaimana Prisma memainkan peran
dalam perdebatan di antara para pengan
jurnya. Farid Gaban juga mengkaji pendekat
an alternatif pembangunan yang berkembang
sejak berakhirnya zaman Soeharto, terutama
persoalan pembangunan berkelanjutan dan
krisis iklim. Tulisan itu tentu akan meng
ingatkan pembaca setia Prisma yang sudah
berumur pada berbagai edisi sebelumnya,
termasuk edisi-edisi tahun 1979 dan 1980,
yang membandingkan berbagai model pem
bangunan (dan sejumlah “isme”) yang dini
lai layak untuk Indonesia.
Dalam tulisannya masing-masing Inaya
Rakhmani dan Airlangga Pribadi memeriksa
hubungan intelektual dan perkembangan so
sial-politik di Indonesia, sebuah tema yang
juga pernah digeluti Prisma dalam beberapa
edisi sepanjang sejarahnya. Penulis perta
ma meninjau bagaimana intelektual secara
umum, dan peran Prisma khususnya, dalam
memahami secara kritis masalah ketimpang
an sosial-ekonomi yang hingga kini masih
membelit Indonesia. Penulis kedua mem
bahas masalah lebih luas mengenai peran
Prisma dalam menelaah wacana ilmu pe
ngetahuan sosial dalam konteks hubungan
kekuasaan domestik dan internasional yang
turut membentuk wacana tersebut. Penting
untuk diingat bahwa Aswab Mahasin dan
Ismid Haddad, keduanya pernah menjadi
Direktur LP3ES dan pengelola Prisma,
menyunting buku cukup terkenal berjudul
Cendekiawan dan Politik (1983), sementara
Daniel Dhakidae menelurkan magnum opus-
Vedi R Hadiz, Memotret Indonesia Lewat Prisma
11. 10 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021
T O P I K
nyayangberjudulCendekiawandanKekuasa
an dalam Negara Orde Baru (2003).
Fachru Nofrian, Redaktur Ekonomi Pris
ma pasca-2009, menyumbangkan tulisan
sangat aktual mengenai pengaruh pandemi
Covid-19 terhadap pembangunan ekonomi
Indonesia, khususnya dalam konteks pe
rubahan konstelasi ekonomi-politik inter
nasional. Sekali lagi, bagi pembaca Prisma
lama, tulisan itu untuk sebagian akan meng
ingatkan pada persoalan-persoalan lebih
menghadap “keluar” Indonesia yang pernah
ditonjolkan oleh beberapa edisi Prisma se
jak 1970-an hingga absen pada tahun 1998.
Edisi semacam itu sebenarnya relatif jarang
keluar dibandingkan edisi yang cenderung
melihat Indonesia dalam perspektif hampir
sepenuhnya “dari dalam.”
Tulisan itu kemudian diikuti oleh Esai
yang ditulis oleh Kamala Chandrakirana,
tokoh feminis veteran yang membahas ma
salah gerakan perempuan dan kesetaraan
gender. Walaupun ada beberapa edisi Prisma
yang menyoroti tema serupa di masa lalu
(misalnya, pada 1981 dan 1991), dalam ke
nyataannya perhatian yang dicurahkan pada
persoalan-persoalan terkait masih cenderung
minim dalam setengah abad kehadiran Pris-
ma. Alasan persisnya mungkin perlu dire
nungkan Dewan Redaksi Prisma yang kini
sedang bertugas.
Tulisan berikutnya yang ditulis Grace
Leksana bersama Douglas Kammen mem
bawa Prisma berurusan lagi dengan salah
satu tema favoritnya: problematika interpre
tasi sejarah. Secara khusus, tulisan mereka
meninjau skripsi, tesis, dan disertasi yang
dihasilkan oleh perguruan tinggi di Jawa
perihal Peristiwa 1965. Mereka menemukan
bahwa skripsi, tesis, dan disertasi semacam
itu semakin banyak jumlahnya sejak masa
Reformasi dan berusaha untuk memahami
signifikansi fenomena tersebut.
Terakhir, sumbangan tulisan Bosman Ba
tubara dan Eka Handriana meninjau kembali
suatu tema yang sebenarnya juga menjadi
langganan perhatian Prisma, hingga pada
edisi yang baru lalu, yakni urbanisasi dan
tata kelola ruang perkotaan. Namun, artikel
ini menaruh perhatian khusus pada persoal
an-persoalan ekologis berkait lewat dialog
dengan analisis-analisis sebelumnya yang
pernah diterbitkan Prisma, sambil berusaha
menawarkan suatu perspekfif baru.
Sebagaimana dikemukakan di atas, Pris-
ma di masa awalnya didirikan untuk me
nyambut berbagai kemungkinan yang semu
la diharapkan masih terbuka untuk masa
depan Indonesia di tahun-tahun pertama
Orde Baru. Sejumlah harapan tersebut cepat
kandas dalam kenyataannya, tetapi Prisma
mampu berevolusi. Kini sudah setengah
abad dilalui Prisma, walaupun sempat mati
suri sepanjang satu dekade antara 1998 dan
2009.
Dewasa ini Indonesia mengalami sejum
lah, sekali lagi, tantangan “baru tapi lama.”
Tantangan-tantangan tersebut–seperti model
pembangunan, sistem politik, kesenjangan
sosial, ancaman terhadap lingkungan hidup,
daya tahan sistem kesehatan, pendidikan,
demokratisasi, kesetaraan gender, bentuk-
bentuk solidaritas dan fragmentasi dalam
masyarakat, posisi agama dalam masyara
kat, ketenagakerjaaan, masa depan kaum
muda–sudah pernah ditangani Prisma le
bih dari satu kali. Akan tetapi, kini mereka
semua hadir dengan tingkat keterpautan
dengan perkembangan tingkat global yang
tanpa preseden.
Adalah tantangan Prisma untuk tetap
mampu menjadi alat potret perkembangan
masyarakat Indonesia dan pergulatan pe
mikiran tentang masa depannya. Terlebih
karena Reformasi di Indonesia baru mampu
melahirkan demokrasi yang cacat dan marak
korupsi, sementara cita-cita keadilan sosial
yang menyertainya tampak makin menjauh
dari kemungkinan terwujud. Persoalan bagi
Prisma adalah bagaimana menempatkan diri
dalam konteks seperti itu. Posisi apa pun
yang diambil terhadap demokrasi kita, yang
terkadang sangat bersemangat, hampir se
lalu beririsan dengan korupsi seraya menge
nyampingkan keadilan sosial, kecuali dalam
retorika aktor-aktornya yang bebal.l
12. 11
Grace L dan Douglas K, Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965”
T O P I K
Dari Kutukan Rostow ke Model Baru
Pembangunan
Farid Gaban
Sebagaisebuahmanifestonon-komunis(bahkananti-komunisdalamkonteksPerangDingin),
karya WW Rostow tentang tahap-tahap pertumbuhan ekonomi (1960) menjadi doktrin pem-
bangunan yang diyakini mampu membawa negara-negara bekas jajahan, seperti Indonesia,
menempuh jalan modernisasi menuju masyarakat adil dan makmur. Namun, modernisasi
dalam sistem kapitalisme tersebut terbukti gagal memenuhi janjinya. Bahkan, kurang dari
dua dasawarsa sejak Orde Baru memapankan diri, kritik terhadap model pembangunan
yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi makin keras berkumandang, terutama tecermin
dalam pergulatan pemikiran, pendirian, serta debat yang muncul dari berbagai tulisan dan
penulis di Prisma selama setengah abad. Walaupun doktrin Rostow bangkit kembali dalam
wujud paling banal, yakni keyakinan mutlak pada idealisasi kapitalisme pasar, namun sejak
Prisma terbit kembali pada 2009, beberapa alternatif model pembangunan mulai menam-
pakkan diri, terutama didorong oleh krisis sosial-ekologi yang dipicu ketimpangan sosial
dan perusakan alam.
Kata Kunci: ketimpangan sosial, krisis, lingkungan, neoliberalisme, pembangunan
aniel Dhakidae meratap dan meng
gugat. Wabah korona, kata dia,
telah menelanjangi umat manusia
dan kemanusiaan setidaknya dalam dua hal:
wajah munafik neoliberalisme dan betapa
kerdil manusia yang terjatuh sekadar men
jadi homo consumens—manusia tukang
konsumsi.
Koronamenghancurkanpahamneoliberal
ketika perusahaan-perusahaan swasta raksa
sa, yang sebelumnya merasa berada di atas
angin, bersujud minta ampun dihadapkan
pada ancaman kebangkrutan. Menelan ludah
khotbah supremasi pasar, mereka meminta
negara turun tangan membantu.
Korona menelanjangi homo consumens,
kata Daniel Dhakidae, namun belum sam
pai menghancurkannya. Sudah sangat lama,
sistem ekonomi neoliberal membentuk ma
nusia sekadar menjadi tukang konsumsi;
manusia dinilai dari seberapa banyak dia
diasosiasikan dengan pasar, serta seberapa
banyak dia membeli dan mengonsumsi.
Akibat wabah, kegiatan konsumsi sebagian
besar orang terhambat, namun pada saat
yang sama kapasitas konsumsi segelintir
orang justru makin besar. Itu mencerminkan
ketimpangan akses terhadap sumber-sumber
ekonomi di satu sisi dan penormalan korup
si-kolusi oleh kelompok elite oligark di sisi
lain.
Dua hal itu punya konsekuensi mendalam
pada watak politik, demokrasi dan hubungan
sosial yang menyeret kita makin jauh dari
cita-cita republik. Homo consumens, kata
Daniel Dhakidae, “mengabaikan satu sisi be
sar manusia dalam masyarakat, yaitu homo
republicus, pengembang nilai-nilai repu
D
13. 12 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021
T O P I K
blikan, republican values, seperti kesamaan
hak menuju keadilan.” Nilai-nilai kesamaan
menuju keadilan itu untuk waktu sangat lama
sudah ditinggalkan dan terabaikan.1
Dengan itu, Daniel Dhakidae, salah satu
editor terlama Prisma, seperti ingin mengi
ngatkan kembali betapa keliru negeri ini
mengabaikan pesan kritis bertahun-tahun
yang disampaikan jurnal ini terhadap model
pembangunan sejak awal Orde Baru, seka
ligus memberi kita bekal dalam merumuskan
format baru pembangunan yang lebih baik.
Dalam bahasa yang lebih lugas dari tu
lisan-tulisan pada masa kejayaan Orde Baru,
Daniel Dhakidae dan beberapa penulis Pris-
ma beberapa tahun belakangan ini menyim
pulkan betapa tersesat model pembangunan
yang kita anut, baik di tingkat nasional mau
pun global. Tersesat ketika hasilnya justru
berkebalikan dengan nilai-nilai baik homo
republicus tadi: “Senjakala Kapitalisme
Krisis Demokrasi”2
atau “Perselingkuhan
Bisnis Politik Kapitalisme Indonesia Pas
ca-Otoritarianisme”.3
Akan tetapi, ulasan tentang kebangkrutan
kapitalisme sebenarnya tidak baru di Pris-
ma. M Dawam Rahardjo, editor tangguh
lain di Jurnal Prisma, sudah menulis “Krisis
Kapitalisme?” pada 1983.4
Meski mengutip
tulisan Bung Hatta yang lebih lugas (Krisis
Ekonomi dan Kapitalisme, 1934), ulasan
Dawam tampak masih ragu-ragu atau dia
mungkin menenggang arus-besar paham
ekonomi waktu itu. Indonesia mengalami
pasang naik neoliberalisme yang makin
agresif pada awal dasawarsa 1980-an itu,
meski prosesnya sendiri sudah dimulai sejak
awal Orde Baru berdiri.
Bahkan, tanpa korona, sudah banyak pre
diksi bahwa dunia akan menghadapi krisis
ekonomi besar pada 2020, siklus yang ham
pir rutin 10-tahunan. Krisis sebelumnya ter
jadi pada 1988 (Black Monday), 1998 (Kri
sis Asia), dan 2008 (Krisis Mortgage).
Memang tidak terjadi krisis besar pada
2018. Namun, sejumlah pengamat me
nyatakan krisis akan datang juga, meski ter
lambat, yakni pada tahun 2020-2021 ini. Ko
rona, yang kini datang tiba-tiba, tak hanya
mempercepat realisasi krisis tadi, tetapi juga
memicu dampak yang jauh lebih luas dan
mendalam hanya dalam hitungan bulan.
Keluasan dan kedalaman krisis itu bah
kan belum sepenuhnya bisa kita takar. Dana
Moneter Internasional (IMF) sendiri menye
but ancaman krisis ekonomi kali ini yang
terburuk sejak Depresi Besar (Great Depres-
sion),krisisekonomiglobalpadatahun1930-
an, yang juga pernah dibahas oleh Bung Hat
ta. Depresi Besar tadi, menurut Bung Hatta,
adalah “krisis yang muncul bersama-sama
dengan timbulnya sistem kapitalisme.”
Bagaimanapun juga, krisis demi krisis
pada dua dasawarsa terakhir memperluas
pengangguran dan kemiskinan, yang pada
gilirannya membawa dampak multidimensi
makin mendalam: sosial, budaya, pangan,
kesehatan, dan keamanan. Seperti kata Da
niel Dhakidae, korona makin parah memo
rakporandakan semua itu.
Wabah itu memaksa orang merenungkan
hal yang lebih mendasar, tak hanya tentang
ekonomi dan politik, namun bahkan tentang
aspek hakiki dari agama, tentang spirituali
tas, ketika orang justru dilarang pergi ke
masjid atau gereja, ketika ibadah haji dan
umroh atau misa Paskah ditiadakan.
Di sisi lain, wabah korona sebaliknya
membawa berkah bagi alam ketika manusia
terpaksa menahan diri dari menjadi homo
consumens: kurang polusi dan pencemaran,
berhentinya aktivitas ekonomi yang merusak
alam, turunnya emisi karbon, pulihnya kem
bali lapisan ozon yang memicu pemanasan
global, serta kemunculan kembali satwa-
satwa liar di sungai, kebun dan laut, ketika
manusia mengurung diri di dalam rumah.
Di samping membawa tragedi, setiap kri
1
Daniel Dhakidae, “Krisis Korona, Homo Consumens,
dan Homo Republicus”, dalam Prisma, Vol. 39, No. 3,
2020, hal. 2.
2
Lihat, Prisma, Vol. 28, No. 1, Juni 2009.
3
Lihat, Prisma, Vol. 32, No. 1, 2013.
4
Lihat, M Dawam Rahardjo, “Krisis Kapitalisme?”,
dalam Prisma, Vol. 12, No. 3, 1983, hal. 2.
14. 13
Grace L dan Douglas K, Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965”
T O P I K
Farid Gaban, Dari Kutukan Rostow ke Model Baru Pembangunan
sis memberi kita peluang untuk introspeksi
dan koreksi. Makin besar krisis, makin men
dasar koreksi yang harus dilakukan. Sudah
seharusnya, krisis kali ini juga memicu re
nungan jauh lebih mendalam tentang sistem
ekonomi dan arah kebijakan pembangunan,
tidak hanya di tingkat daerah dan negara,
tetapi juga di tingkat global.
Kegagalan kita merumuskan arah pem
bangunan dan kebijakan baru pascakorona,
tak hanya akan memperparah risiko krisis
di masa mendatang, tetapi juga kemampuan
dan daya tahan kita dalam menghadapi krisis
dunia yang kian serius.
Dari Krisis ke Skandal
Akan tetapi, seperti kata Daniel Dhakidae,
korona cuma menelanjangi kedok. Belum
sampai menghancurkan sistem maupun pola
pikir lama. Terobsesi pada pertumbuhan eko
nomi dan investasi sejak periode pertama,
pemerintahan Jokowi cenderung menangga
pi wabah korona dari pertimbangan ekonomi
ketimbang perspektif kesehatan masyarakat.
Pemerintah menerbitkan obligasi ratusan
triliun rupiah dengan motif utama membiayai
stimulus dunia usaha agar ekonomi cepat pu
lih dari perlambatan dan kemunduran akibat
wabah. Dengan kata lain, pemerintah me
numpuk utang baru untuk program pemulih
an ekonomi nasional (PEN) yang sebagian
besar disalurkan lewat instrumen perbankan.
Itu mengingatkan kita pada “Skandal Bailout
Bank Century” pada Krisis 2008 dan “Skan
dal BLBI” pada Krisis 1998.
Menyusul Krisis 1998, atas saran IMF
dan Bank Dunia, pemerintah menerbitkan
obligasi rekap (sekali lagi utang). Utang
dipakai untuk menyuntik bank-bank sakit,
baik milik pemerintah maupun milik para
konglomerat raksasa. Obligasi rekap berjasa
memulihkan ekonomi, tetapi juga di sisi lain
memicu ketimpangan. Pada akhir Pemerin
tahan Susilo Bambang Yudhoyono, indeks
Gini Indonesia mencapai nilai tertinggi, arti
nya ketimpangan ekonomi terburuk, sepan
jang sejarah negeri ini.
Alih-alih mengoreksi penguasaan eko
nomi oleh segelintir orang di era Orde Baru,
obligasi rekap justru memulihkan dan mem
perkuat konsentrasi. Obligasi rekap berjasa
memulihkan ekonomi konglomerat. Mereka
yang nyaris bangkrut pada awal Reformasi,
kini kembali menjadi raksasa yang makin
digdaya dan makin menggurita.
Total obligasi rekap yang diterbitkan
pemerintah kala itu senilai Rp 430 triliun.
Namun, pemerintah harus membayar pokok
plus bunga sebesar Rp 600 triliun, keseluruh
an menjadi Rp 1.000 triliun lebih. Pemerintah
masih harus membayar itu sampai sekarang,
20 tahun kemudian. Belum lama lalu, adalah
Menteri Keuangan Sri Mulyani sendiri yang
meratap bahwa kita masih harus membayar
utang BLBI dan obligasi rekap sampai seka
rang.5
Ketika pemerintah berutang, siapa lagi
yang membayar utang itu selain publik atau
warga negara. Porsi belanja (pengeluaran)
pemerintah pusat dalam beberapa tahun ter
akhir menunjukkan peningkatan tajam dalam
pembayaran utang, dan sebaliknya penyusut
an secara sigifikan belanja untuk subsidi
publik, khususnya di bidang kesehatan.
Tidak heran jika wabah korona kemudian
membuka kedok buruknya sistem dan layan
an kesehatan kita. Bahkan, di masa normal,
kita masih kedodoran menangani penyakit
“tradisional” seperti TBC, malaria dan de
mam berdarah dengue.
BLBI dan obligasi rekap adalah cerita
tentang pesta-pora para elite di atas beban
rakyat kebanyakan. Sebuah cerita kolosal
mencederai rasa keadilan, yang terlalu me
malukan bahkan untuk dijadikan pelajaran
di sekolah-sekolah ekonomi.
Kebijakan elitis itu bahkan diulangi,
meski dalam skala jauh lebih kecil, ketika
5
Lihat, “Sri Mulyani: Selama 22 Tahun Pemerintah Tang
gung Bunga dan Pokok Utang BLBI”, dalam Kompas.
com - 27/08/2021.
15. 14 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021
T O P I K
terjadi lagi krisis pada 2008, yakni ketika
uang negara (publik) dipakai untuk menyub
sidi pemilik Bank Century. Hal tersebut se
pertinya masih akan diulangi lagi sekarang
di tengah wabah korona, ketika pemerintah
menerbitkan “Pandemic Bond”, surat utang
khusus penanganan pandemi virus korona.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menga
takan penyaluran dana pemulihan ekonomi
kali ini akan prudent, tepat sasaran dan se
suai aturan. Akan tetapi, jika benar begitu,
mengapa Presiden Jokowi harus mengeluar
kan peraturan pemerintah pengganti undang-
undang (Perppu) untuk mendukung tanpa
syarat kebijakan pemulihan ekonomi akibat
korona?
Salah satu isi terpenting Perppu Nomor 1
Tahun2020adalahmembebaskanparapelak
sana dan pembuat kebijakan dari kemung
kinan tuntutan hukum. Itu seperti memberi
blanko kosong kepada aparat pemerintah
untuk kemungkinan menyalahgunakan da
lih “memulihkan ekonomi” demi kepenting
an pribadi dan kelompok serta kepentingan
para kroni.
Kutukan Rostow dan Bank
Dunia
Indonesia tidak sendirian, baik sekarang
maupun di masa lalu. Menyusul Krisis 2008,
Pemerintah Amerika Serikat juga memakai
dana publik untuk menyubsidi lembaga-lem
baga keuangan, di samping membebaskan
pajak perusahaan-perusahaan besar; pada
dasarnya menyelamatkan para konglomerat
dan Wall Street. Tidak hanya elitis, kebijakan
itu juga sebenarnya mengkhianati kredo para
penyokong kapitalisme pasar bebas sendiri
yang tidak membenarkan negara campur
tangan dalam urusan swasta (privat).
Menelan ludah sendiri, kini campur ta
ngan negara dijustifikasi lewat teori “too big
to let fail”, bahwa perusahaan swasta terten
tu, khususnya perbankan, begitu besar dan
saling terkait sedemikian rupa sehingga jika
mereka ambruk akan menyeret runtuh eko
nomi negara. Itu sebabnya, pemerintah harus
membantu dan menyelamatkan mereka.
Kebijakan itu juga sering diperkuat oleh
teori “trickle down effect”, jargon ekonomi
sejak tahun 1970-an, yang percaya bahwa
jika kita membantu dan menyelamatkan
yang besar-besar, bantuan itu pada akhir
nya akan menetes kepada yang kecil-kecil,
yang akhirnya menguntungkan dan menye
lamatkan masyarakat secara keseluruhan.
Beberapa kajian mutakhir mengungkapkan
bahwa trickle down effect cuma mitos eko
nomi, sementara dampak negatifnya tak bisa
diabaikan.
Duateoriitubertanggungjawabatasmun
culnya anggapan semu bahwa kelangsungan
hidup para konglomerat identik dengan ke
pentingan negara, yang pada kenyataannya
cuma menjustifikasi kolusi antara politisi
dan penguasaha kroni.
Kebijakan tadi juga jelas memicu moral
hazard karena memanjakan para bankir serta
pemilik bank. Di sisi lain terlalu kuat mencer
minkan bias-keuangan seraya mengabaikan
problem riil kemiskinan dan ketimpangan,
bahkan di Amerika Serikat sendiri.
Sepuluh tahun setelah bailout, Presiden
Amerika Serikat Barack Obama menyatakan
bahwa negerinya menghadapi problem ke
timpangan dan kemiskinan yang makin kro
nis, di tengah buruknya sistem kesehatan aki
bat komersialisasi industri asuransi, farmasi,
dan rumah sakit swasta.
Fakta bahwa kini Amerika Serikat men
derita kematian terbanyak akibat wabah
korona benar-benar membuktikan kekha
watiran Obama beberapa tahun lalu. Dibum
bui drama petualang politik Donald Trump,
korona seperti tengah menghancurkan
berkeping-keping “The American Dream”
yang menjadi role-model pembangunan In
donesia sejak awal Orde Baru.
Tak lama setelah berkuasa, Soeharto
menggelar program ambisius Repelita, rang
kaian pembangunan 5 tahunan yang diklaim
akan membawa Indonesia tinggal landas
menuju negeri maju. Konsep Repelita di
16. 15
Grace L dan Douglas K, Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965”
T O P I K
ambil tak lain dari gagasan Walt Whitman
Rostow (1916-2003), ekonom dan politikus
penasihat Presiden Amerika Serikat John
Fitzgerald Kennedy dan Lyndon Baines
Johnson.
Pada 1960, Rostow menerbitkan The
Stages of Economic Growth: A Non-Com-
munist Manifesto.6
Dalam buku terkenal itu,
Rostow menjabarkan lima tahap pertumbuh
an ekonomi: masyarakat tradisional; persiap
an untuk tinggal landas; tinggal landas;
menujukematangan;danbermuarapadakon
sumsi-massal tinggi (high mass-consump-
tion). Homo consumens yang digugat Daniel
Dhakidae sudah dimulai dari sini.
Doktrin Rostow diterjemahkan dalam
Repelita Orde Baru sejak 1969 (Repelita I)
hampir secara harafiah, lewat tangan-tangan
teknokrat yang berlatar belakang pendidikan
Berkeley University, Amerika Serikat. Di
sinilah menarik untuk mengamati bagaima
na Prisma, yang memang tumbuh bersama
Orde Baru, terlibat dalam pergulatan kajian
dan teori pembangunan.
Sikap Prisma secara umum adalah men
dukung secara kritis arah pembangunan Orde
Baru. Di satu sisi, Prisma memuat pemikiran
menteri-menteri “Mafia Berkeley” seperti
Ali Wardhana, Emil Salim, dan Mohammad
Sadli yang secara umum mempromosikan
mazhab baru pembangunan yang berorienta
si pada pertumbuhan dan liberalisasi keuang
an (membuka luas utang dan modal asing,
yang diundangkan sejak 1967). Di sisi lain,
Prisma juga menghadirkan pemikiran kritis
kaum intelektualindependen di luar pemerin
tahan, seperti Dawam Rahardjo, Arief Bu
diman, Adi Sasono, Sjahrir, Mubyarto, dan
Sarbini Sumawinata.
Di kalangan menteri Orde Baru, Emil Sa
lim-lah yang punya otokritik paling kuat ter
hadap mazhab pembangunan pemerintahan
nya. Sudah sejak 1978 dia membahas tentang
pentingnya pembangunan berwawasan ling
kungan, tentang pemerataan (1983), dan
bahkan tentang pembangunan bervisi perem
puan/gender inclusive (1988).
Kritik dan perdebatan model pembangun
an Orde Baru mencakup berbagai aspek,
salah satunya tentang pendekatan dasarnya
sendiri: kapitalisme dan developmentalisme.
Kritik dan wacana alternatif, antara lain,
datang dari tulisan Dawam Rahardjo tadi.
Dalam beberapa edisi, Dawam juga menu
lis tentang pemerataan dan pentingnya kope
rasi. Kritik lain datang dari Arief Budiman7
,
Mubyarto8
, Munawar Ismail9
, dan A Wisnu
hardana.10
Aspek lain yang muncul dalam perdebat
an adalah tentang ketergantungan pada mo
dal/utang asing yang memang dominan men
jadi sumber pendanaan pembangunan Orde
Baru. Kritik mendasar antara lain datang
dariAdi Sasono dan SrituaArif.11
Pada tahun
1980-an memang gencar orang membicara
kan “teori ketergantungan” yang dipromosi
kan oleh Andre Gunder Frank dan Samir
Amin. Teori itu percaya bahwa keterbe
lakangan “dunia ketiga” bukanlah kekurang
an modal atau bantuan, tetapi karena akibat
dari globalisasi sistem kapitalisme. Bahkan,
tema itu masih relevan dan hangat dibicara
kan sampai sekarang.
Keraguan dan perdebatan terhadap keam
puhan modal atau investasi asing juga ditu
lis oleh beberapa penulis Prisma, termasuk
pertanyaan apakah modal asing, misalnya,
mendorong transfer teknologi yang pada
6
Lihat, Walt Whitman Rostow, The Stages of Economic
Growth: A Non-Communist Manifesto (New York, AS:
The Syndics of the Cambridge University Press, 1960).
7
Arief Budiman, “Sistem Perekonomian Pancasila Kapi
talisme dan Sosialisme”, dalam Prisma, Vol. 11, No. 1,
1982, hal. 14-25.
8
Mubyarto, “ Moral Ekonomi Pancasila”, dalam Prisma,
Vol. 10, No. 1, 1981, hal. 75-80.
9
Munawar Ismail, “Pemerintah dan Pasar Kritik terhadap
Teori Ekonomi Pembangunan”, dalam Prisma, Vol. 23,
No. 1, 1994, hal. 25-35.
10
A Wisnuhardana, “Ideologi Developmentalisme dan
Upaya Rekonstruksi”, dalam Prisma, Vol. 25, No. 4,
1996, hal. 94-96.
11
Adi Sasono, “Ketergantungan dan Hutang Dunia Keti
ga”, dalam Prisma, Vol. 12, No. 3, 1983, hal. 50-63; Sri
tua Arif, “Teori Ekonomi dan Kolonialisme Ekonomi”,
dalam Prisma, Vol. 11, No. 1, 1982, hal. 26-34.
Farid Gaban, Dari Kutukan Rostow ke Model Baru Pembangunan
17. 16 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021
T O P I K
akhirnya diharapkan memacu kemandirian
negeri penerima investasi.12
Puluhan tahun
sebelumnya, Alan M Strout, ekonom Massa
chusettsInstituteofTechnology(MIT)menu
lis di Prisma pada 1973. “Ketergantungan
Indonesia terhadap modal dan bantuan asing
akan terus berlangsung sampai 1980-an, atau
mungkin lebih lama lagi”.13
Terbukti sampai
sekarang, Indonesia masih haus akan modal
asing untuk menopang pertumbuhan eko
nomi, sementara manfaatnya makin diper
tanyakan.
“Mantra tentang pentingnya investasi
asing,” menurut Dierk Herzer, ekonom dari
Goethe University, Jerman, “disandarkan
pada sejumlah mitos”.14
Herzer dan kawan-
kawan mengkaji data 28 negara berkembang
yang menonjol menerima investasi asing
(FDI - foreign direct investment), terma
suk Indonesia. Pada sebagian besar negara,
menurut Herzer, tak ada kaitan antara FDI
dengan pertumbuhan ekonomi, baik jangka
pendek maupun jangka panjang. Hanya em
pat negara (dari 28) yang memperoleh man
faat jangka panjang pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu, tak ada kaitan sama sekali
antara FDI dengan peningkatan pendapat
an per kapita maupun tingkat pengetahuan
(transfers pengetahuan, teknologi, dan kete
rampilan manajemen). Transfer pengetahuan
yang dijanjikan FDI, menurut Herzer, adalah
ilusi. Perusahaan multinasional umumnya
merahasiakan paten dan informasi spesi
fiknya. Bahkan, jika pengetahuan dan paten
dibuka, perusahaan domestik tak bisa belajar
dari multinasional karena keterbelakangan
teknologi dan sumber daya manusia.Alih-alih
memberi manfaat, menurut Herzer, investasi
asing justru memicu kerusakan serius dalam
ekonomi negeri penerima: eksploitasi sumber
daya alam murah; menjadikan warga negara
sekadar pasar alias konsumen; serta mem
bunuh perusahaan-perusahaan domestik.
Orde Baru sudah menunjukkan, obsesi
pada investasi asing harus dibayar dengan
penindasan terhadap demokrasi, pengabaian
terhadap partisipasi masyarakat dari bawah,
turunnya penghargaan terhadap hak asasi
dan merajalelanya korupsi kaum elite (oligar
ki). Itu tema yang masih relevan sampai seka
rang, namun juga sudah banyak diperdebat
kan di Prisma sejak awal Orde Baru.
Pada 1983, Prisma menghadirkan lapor
an utama “Korupsi Dulu dan Sekarang” ser
ta menampilkan, antara lain, tulisan Adnan
Buyung Nasution dan Bakir Hasan.15
Tema
itu muncul lima tahun sebelum diskusi ten
tang “kapitalisme palsu” atau “kapitalisme
kroni” (erzat capitalism), berkat buku Yo
shihara Kunio.16
Kritik dan alternatif pemikiran tentang
merosotnya partisipasi publik juga sudah
disinggung hampir bersamaan dengan itu:
Sigid Putranto Kusumowidagdo dan Sa
jogyo.17
Di samping kritik, Prisma juga
menawarkan alternatif-alternatif pemikiran
pembangunan yang cukup radikal, seperti
pendekatan “kebutuhan dasar” (basic needs
approach). Pendekatan itu dirintis oleh
Organisasi Perburuhan Internasional (ILO)
pada 1976 dan dipromosikan di Indonesia
12
Lihat, Todung Mulya Lubis, “Alih Teknologi antara
Harapan dan Kenyataan”, dalam Prisma, Vol. 16, No.
4, 1983, hal. 3-15; Mohammad Anwar Ibrahim, “Seki
las Perkembangan Alih Teknologi di Indonesia”, dalam
Prisma, Vol. 16, No. 4, 1987, hal. 18-28; M Daud Si
lalahi, “Rencana UU Alih Teknologi Perbandingan
Perspektif”, dalam Prisma, Vol. 16, No. 4, 1987, hal.
39-46.
13
Alan M Strout, “Modal Asing dan Pertumbuhan Eko
nomi Indonesia”, dalam Prisma, Vol. 2, No. 1, 1973,
hal. 55-66.
14
Lihat, Stephan Klasen, Dierk Hedrzer, dan Felicitas
Nowak-Lehmann D, “In search of FDI-led Growth in
Developing Countries”, dalam Proceedings of the Ger
man Development Economics Conference, Göttingen,
2007.
15
Adnan Buyung Nasution, “Korupsi Sudah Melekat
dalam Sistem Birokrasi”, dalam Prisma, Vol. 12, No.
2, 1983, hal. 43-45; Bakir Hasan, “Korupsi, Efisiensi
Usaha, dan Marketing Sosial”, dalam Prisma, Vol. 12,
No. 2, 1983, hal. 22-29.
16
Lihat, Yoshihara Kunio, The Rise of Ersatz Capitalism
in South-East Asia (Singapore: Oxford University
Press, 1988).
17
Sigid Putranto Kusumowidagdo, “Pembangunan Poli
tik Orde Baru Menghadapi Krisis Partisipasi”, dalam
18. 17
Grace L dan Douglas K, Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965”
T O P I K
oleh Soedjatmoko yang menulis di Prisma
dua tahun kemudian.18
Konsep pembangunan itu berbeda sama
sekali dengan pendekatan pertumbuhan Ros
tow. Konsep itu menuntut negara mendahu
lukan investasi untuk memenuhi kebutuhan
dasar warga negara sekadar hidup di atas
garis kemiskinan, bukannya investasi untuk
ekonomi produktif yang negara berharap
warga bisa menanggung bebannya sendiri di
masa depan. Lebih dari segalanya, konsep itu
mengedepankan kemanusiaan yang sangat
sesuai dengan pemikiran lain Soedjatmoko
yang mendahulukan pembangunan.19
Prinsip mendahulukan pembangunan
manusia, ketimbang sekadar pertumbuhan
ekonomi, belakangan menjadi arus pemikir
an alternatif. Pada 1990, Program Pemba
ngunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United
Nations Development Programme/UNDP)
memperkenalkan indeks pembangunan ma
nusia, sebuah alternatif mengukur sukses
pembangunan selain pertumbuhan GDP
yang dipandang tidak memadai. Sejak saat
itu, UNDP mengeluarkan laporan tahunan
peringkat negara-negara berdasarkan indika
tor kualitas pembangunan manusia. Sampai
tahun terakhir Indonesia tidak pernah masuk
dalam 100 besar, meski angka GDPkita seka
rang masuk dalam 10 besar dunia.
Konsep “kebutuhan dasar” juga menge
muka lagi dalam beberapa tahun terakhir, ke
tika orang membicarakan universal basic in-
come, misalnya, atau tentang pembangunan
berkelanjutan (sustainable development).
Dua mazhab ekonomi baru, blue economy
(Gunter Pauli) dan donut economy (Kate Ra
woth), juga menekankan aspek “kebutuhan
dasar” itu dan menjadikannya antitesis dari
obsesi pertumbuhan ekonomi yang memacu
konsumerisme melebihi daya dukung eko
logis Planet Bumi.
Akan tetapi, ketika Orde Baru masih ber
jaya, baik pendekatan “kebutuhan dasar”
maupun konsep “memprioritaskan manusia”
kurang laku. Alih-alih mendengar Soedjat
moko, Orde Baru menggalakkan neolibe
ralisme pada awal tahun 1980-an, mengikuti
tren internasional. Pada tahun 1980-an, Dok
trin Rostow yang kapitalistik dipromosikan
lebih agresif oleh Presiden Amerika Serikat
Ronald Reagan dan Perdana Menteri Ing
gris Margaret Thatcher di bawah bendera
neoliberalisme. Bahkan, Reagan membawa
“neoliberalisme” menjadi kebijakan global
sekaligus senjata Perang Dingin melawan
komunisme (Blok Soviet).
Cita-cita ideal demokrasi, kemakmuran,
kebebasan dan kesetaraan hak di Amerika
Serikat, setidaknya secara retoris, dikaitkan
secara langsung dengan kebijakan liberal
pasar bebas dan perdagangan bebas. Liberali
sasi ekonomi ala kapitalisme dipromosikan
senafas dan selaras dengan demokrasi—se
bagai lawan dari otoritarianisme komunis.
Padahal tidak. Reagan melihat liberalisasi
ekonomi, bukan kebebasan politik, sebagai
ukuran terpenting dari sukses sebuah kebi
jakan. Tidak mengherankan jika Amerika
Serikat dan Inggris merasa nyaman memu
luskan liberalisasi ekonomi dengan cara
mendukung diktator-diktator anti-komunis
Augusto Pinochet di Chile, Soeharto di In
donesia, dan Ferdinand Marcos di Filipina.
“Neoliberalisme” menjadi istilah populer
pada tahun 1980-an untuk menjelaskan libe
ralisasi ekonomi Chile di bawah Jenderal
Pinochet. Didukung Amerika Serikat, Pi
nochet melakukan kudeta militer terhadap
Presiden Salvador Allende, yang berhaluan
sosialis, pada 1973. Namun, Indonesia-lah
sebenarnya kelinci percobaan lebih awal
dari “neoliberalisme”, sejak Orde Baru
mengadopsi pemikiran Rostow. Anak judul
buku Rostow, “A Non-Communist Mani
festo”, menunjukkan bahwa motifnya tidak
sekadar ekonomi, namun juga politik. Se
bagai pendukung Perang Vietnam, Rostow
Prisma, Vol. 12, No. 1, 1983, hal. 44-52; Sajogyo,
“Golongan Miskin dan Partisipasi dalam Pembangunan
Desa”, dalam Prisma, Vol. 6, No. 3, 1977, hal. 10-17.
18
Soedjatmoko, “Berbagai Implikasi Kebijaksanaan Na
sional dari Model Kebutuhan Dasar”, dalam Prisma,
Vol. 7, No. 10, 1978, hal. 59-79.
19
Lihat, Soedjatmoko, Dimensi Manusia dalam Pemba
ngunan (Jakarta: LP3ES, 1983).
Farid Gaban, Dari Kutukan Rostow ke Model Baru Pembangunan
19. 18 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021
T O P I K
berpendirian anti-komunis garis keras yang
sesuai dengan semangat Orde Baru kala itu,
sehingga pemikirannya menjadi cenderung
dominan tanpa tanding.
Bahkan, stigma “komunis” pernah dise
matkan kepada Jurnal Prisma yang mencoba
menyajikan alternatif-alternatif pemikiran
berbeda dari arus besar konsep pembangun
an kala itu.
Setelah Soekarno tumbang, Orde Baru
memulai liberalisasi ekonomi dengan, an
tara lain, membuka lebar investasi asing,
khususnya dari Amerika Serikat dan Jepang.
Pada 1974, demonstrasi besar sempat marak
menentang investasi asing. Namun, perla
wanan seperti itu surut bersama konsolidasi
kekuasaan Soeharto, yang menguat antara
lain berkat dukungan Reagan dan Thatcher.
Thatcher, yang berkunjung ke Indonesia
pada 1985, mendaku bahwa ekonomi pasar
(kapitalisme) adalah satu-satunya sistem
yang bisa diandalkan; tak perlu perdebatan
lagi. Thatcher punya slogan terkenal: TINA
(“there is no alternative”); tak ada alterna
tif di luar kapitalisme. Tiga tahun kemudian,
PemerintahanSoehartomembuatlangkahbe
sar lain di bidang ekonomi, yakni menerbit
kan Paket Oktober (1988), yang pada intinya
meliberalisasi sektor keuangan (kemudahan
mendirikan bank). Jalan neoliberal makin
lempang, namun harus dibayar dengan Kri
sis Ekonomi parah sepuluh tahun kemudian
yang sekaligus menamatkan kekuasaan Orde
Baru.
Kecilnya suara alternatif juga ditindas
faktor lain. Sukses penyebaran neoliberalis
me baik di Indonesia maupun belahan lain
dunia, tak lepas dari peran penting dua lem
baga keuangan dunia: Dana Moneter Inter
nasional (IMF) dan Bank Dunia. Dengan
kekuatan kapital sangat besar, World Bank
dan IMF mendiktekan neoliberalisme ke
seluruh dunia. Mereka menerapkan syarat
ketat kepada negara penerima bantuan,
yakni melakukan liberalisasi ekonomi lewat
kebijakan privatisasi dan deregulasi; patuh
pada skema perdagangan bebas global; serta
mengurangi subsidi dan porsi anggaran nega
ra untuk publik demi meningkatkan peran
sektor swasta secara ekonomi maupun so
sial. Resep liberalisasi yang sering disebut
sebagai Washington Consensus itu, tak lain
adalah kesepakatan antara World Bank, IMF
dan Kementerian KeuanganAmerika Serikat
yang semuanya bermarkas di Washington
DC.
Model pembangunan Bank Dunia itu
telah banyak dikritik dalam beberapa tahun
terakhir, khususnya oleh kelompok ekonom
dan aktivis yang tergabung dalam World So
cial Forum. Bahkan, Prisma sudah mendahu
luinya melalui sebuah tulisan pada 1994.20
Bagaimanapun juga, Doktrin Rostow
lebih berjaya. Model Bank Dunia dan IMF
serta propaganda Reagan-Thatcher menjadi
wacana dominan tak hanya di sekolah-seko
lah ekonomi, tetapi juga dalam kebijakan
publik seluruh dunia, hingga bertahun-tahun
kemudian setelah keduanya meninggal.
Di Indonesia, bahkan sentimen anti-IMF
yang marak pada era Presiden Megawati
Soekarnoputri tidak mampu menginspirasi
arah baru kebijakan ekonomi. Jalan lempang
neoliberal terus bertahan, bahkan cenderung
menguat pada era-SBY dan tetap lestari
pada era-Jokowi. Pada periode pertamanya,
Pemerintahan Jokowi telah menerbitkan 16
paket degulasi yang secara umum mengarah
pada liberalisasi ekonomi. Namun, tak puas
dengan itu, pada periode kedua, Presiden
Jokowi mendesakkan liberalisasi lebih jauh
dengan menerbitkan Omnibus Law, menye
derhanakan 70 lebih undang-undang men
jadi satu undang-undang payung (deregu
lasi) demi memikat investasi dan penciptaan
lapangan kerja. Pembahasan Omnibus Law
di tengah wabah korona sekarang ini menun
jukkan betapa pemerintahan benar-benar
terobsesi pada liberalisasi ekonomi. Peme
rintah mengabaikan fakta bahwa mantra
neoliberalisme ala Washington Consensus
telah banyak dikritik sejak tahun 1990-an.
20
Lihat, Ali Sugihardjanto, “Model Pembangunan versi
Bank Dunia: Sebuah Kritik Awal”, dalam Prisma, Vol.
23 , No. 9, 1994, hal. 3-24.
20. 19
Grace L dan Douglas K, Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965”
T O P I K
Meretas Jalan Baru, Menjawab
Gugatan Daniel Dhakidae
Wabah korona menelanjangi borok-borok
neoliberalisme di atas, sekaligus menunjuk
kan kelemahan sosial mendasar kita meng
hadapi krisis: di satu sisi memperlemah kapa
sitas negara dalam melindungi warganya; di
sisi lain lunturnya solidaritas sosial akibat
individualisme, khususnya di kota kota.
“Pandemi itu seperti portal atau gerbang,
yang membatasi satu dunia dengan dunia
sesudahnya,” kata Arundhati Roy.
Di tengah wabah hidup kita tak normal.
Sebagian besar kita merindukan kenormalan
segera pulih kembali. Akan tetapi, normali
sasi adalah istilah problematik. Merindukan
suasana normal seperti masa lalu justru sa
ngat mungkin menjadi reaksi terburuk kita
dalam menghadapi korona. Kita perlu ke
luar dari kenormalan masa lalu itu dan mu
lai meretas jalan menuju dunia baru untuk
mengoreksi yang lama.
Kita perlu mempertanyakan filosofi, prin
sip-prinsip, dan ukuran-ukuran lama? Apa
yang disebut kemajuan? Apa tujuan hakiki
dari pembangunan? Layakkah kita mengejar
pertumbuhan ekonomi, apalagi jika hasilnya
adalah konsumerisme, perluasan ketamakan
yang pada gilirannya merusak alam tempat
kita hidup?
Suara-suara untuk mengoreksi cara dan
pendekatan lama dalam pembangunan kian
lantang, baik sebelum maupun setelah ko
rona. Pada awal pandemi (April 2020), tak
kurang 170 akademisi Negeri Belanda yang
mengusung usulan strategis pembangunan
pascakorona, yang pada intinya merupakan
koreksi terhadap pendekatan neoliberal.
Judul usulan mereka: “Manifesto for post-
neoliberal development.”
Di luar itu, dalam beberapa tahun terakhir
juga berkembang pemikiran baru dalam bi
dang ekonomi, yakni “blue economy” yang
dirumuskan oleh Gunter Pauli, ekonom Bel
gia. Bertumpu pada alam dan menghormati
alam, “ekonomi biru” juga menjadi koreksi
mendasar terhadap neoliberalisme. “Ekono
mi biru” banyak diilhami oleh pemikiran EF
Schumacher, penulis buku Small is Beauti-
ful yang terbit pada tahun 1970-an, dan pan
dangan Mahatma Gandhi tentang swadesi
(kemandirian). Bersama The Club of Rome,
Schumacher mengkritik pendekatan pertum
buhan ekonomi, yang memicu dehumanisasi
dan merusak alam.
Dalam beberapa tahun terakhir juga
berkembang pemikiran tentang pembangun
an berkelanjutan. Pada kenyataannya, Indo
nesia sendiri ikut menandatangani deklarasi
Perserikatan Bangsa-Bangsa 2015 tentang
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sus-
tainable Development Goals). Deklarasi itu
mencakup 17 sasaran, tetapi bisa disarikan
menjadi tiga sasaran utama (tripple bot-
tom-line: ekonomi, sosial, lingkungan) yang
harus dicapai secara seimbang. Manifestasi
konkretnya: mengelola modal alam (natural
capital) dengan lebih baik; membangun ma
nusia (invest in people); serta memperkuat
sektor bisnis dan industri ramah alam.
Kate Rawoth, ekonom Oxford, belakang
an ini sedang agresif memperkenalkan istilah
baru: donut economy. Pada intinya, orientasi
pembangunan harus dirancang secara senga
ja mendahulukan pemerataan (distributive)
dan bersifat ramah alam (regenerative). Tu
juan pembangunan ekonomi, kata Rawoth,
harus mengambang di antara lingkar dalam
dan lingkar luar yang digambarkan seperti
sebuah ban (atau donut). Manusia harus
terpenuhi kebutuhan dasar agar tidak jatuh
miskin (lingkar bawah); sementara konsumsi
harus ditahan jangan sampai melebihi kapa
sitas ekologis Planet Bumi (lingkar luar).
Rawoth menolak keras konsep pertum
buhan ala Rostow. Bahkan, dia menilai Ros
tow, yang menganggap konsumsi massal se
bagai capaian tertinggi, adalah biang keladi
dari ketimpangan sosial dan kerusakan alam.
Pertumbuhan ekonomi yang tiada batas
adalah mustahil. Alam memiliki batas. Ra
woth menggaungkan kembali laporan “The
Limits to Growth” yang dibuat oleh The
Club of Rome dan sempat dibahas Prisma
Farid Gaban, Dari Kutukan Rostow ke Model Baru Pembangunan
21. 20 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021
T O P I K
pada tahun 1970-an.
Ratapan dan gugatan Daniel Dakidae
memberi tugas baru kepada Prisma untuk
menjadi panggung pemikian dalam men
cari alternatif-alternatif model pembangun
an yang sudah bangkrut. Inilah era ketika
kata-kata pertumbuhan, ketimpangan, dan
konsumerisme makin dibenci, ketika orang
makin rindu pada harmoni sosial serta hidup
berdamai dengan alam. Ada pemikiran awal
untuk pijakan mendiskusikan ini lebih men
dalam di masa mendatang.
1.
Dari GDP ke Human Development
Index
Dalam konteks itu, kita mungkin perlu meni
lik kembali pemikiran Soedjatmoko tentang
pembangunanyangmendahulukanpemenuh
an kebutuhan dasar dan penghormatan pada
kemanusiaan. Salah satunya barangkali per
lu mendesakkan agar Indeks Pembangunan
Manusia (human development index/HDI)
ala UNDP menjadi tolok ukur utama dalam
menakar sukses pembangunan.
Human Development Index memasukkan
komponen GDP per kapita, tetapi tidak ha
nya itu. Gagasan di balik indikator ini adalah
menekankan bahwa “mutu manusia”-lah
(potensi dan kemampuannya) yang seharus
nya menjadi kriteria utama untuk menilai
kinerja pembangunan setiap negara.
HDI memasukkan pula berbagai kompo
nen sosial: akses terhadap air bersih, angka
harapan hidup, indikator pendidikan dan
kesehatan, serta diskriminasi gender. De
ngan kata lain, HDI memotret secara lebih
komprehensif dan holistik terhadap kinerja
pembangunan, dengan manusia sebagai sen
tralnya.
2. Sustainable Development and
Consumption
Kita perlu meninggalkan pembangunan yang
berfokus pada agregat pertumbuhan (GDP).
Kita harus membuat pembedaan antarsektor
dan mendorong pertumbuhan sektor-sektor
publik yang penting: clean energy, pendidik
an, kesehatan, dan ekologi.
Sebaliknya, menghentikan secara ra
dikal tumbuhnya sektor-sektor yang tidak
berkelanjutan karena peran mereka yang
mendorong konsumsi berlebihan dan ber
bahaya bagi ekologi global, terutama sektor
privat—minyak, gas, tambang, periklanan,
dan lain-lain.
Kita dituntut secara kreatif memanfaat
kan potensi alam di luar sektor pertam
bangan yang masih sangat luas. Indonesia
adalah salah satu megadiversity dunia; ne
geri dengan keragaman hayati terbesar. Jika
Amerika Serikat itu adidaya (superpower)
politik/militer, Indonesia adalah superpower
keragaman hayati.
Beberapa tahun silam, Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia menerbitkan buku
kecil bertajuk Sains untuk Biodiversitas In-
donesia. Intinya bagaimana membangun ke
sejahteraan bangsa lewat keragaman hayati.
Itu salah satu prinsip penting dalam “eko
nomi biru” yang diperkenalkan oleh Gunter
Pauli, namun sebenarnya telah lama diterap
kan oleh kakek-nenek kita di perdesaan. Ti
dak hanya menghormati keragaman hayati,
ekonomi itu juga menghargai tradisi lokal
yang beragam.
Bertumpu pada yang tersedia secara lo
kal, ekonomi biru mendorong kemandirian
dan pembangunan partisipatif dari bawah.
Itu yang merupakan antitesis dari mabuk
utang dan modal asing yang tak hanya men
jatuhkan martabat, tetapi juga mendorong
kita mencapai stabilitas politik palsu dengan
mengebiri demokrasi dan menindas partisi
pasi sosial dan politik.
3.
Pemerataan, Universal Basic Income,
dan Koperasi
Hal lain yang perlu diperbincangkan dalam
rangka mencari format model baru pemba
ngunan adalah isu pemerataan dan redistri
busi, seperti “universal basic income” dan
“reforma agraria secara substantif.”
Relevan dengan itu adalah isu kebi
jakan pajak progresif yang keras terhadap
penghasilan, keuntungan, dan kekayaan.
Mengurangi jam dan beban kerja seraya
22. 21
Grace L dan Douglas K, Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965”
T O P I K
memperhatikan pelayanan publik kepada
pekerja, seperti kesehatan dan pendidikan,
untuk mendukung nilai intrinsik mereka se
bagai manusia bukan hanya alat produksi.
Kita perlu mendorong demokratisasi eko
nomi. Dalam kaitan ini, kita perlu mengorek
si dan merevitalisasi koperasi yang sejati
(genuine). Bukan seperti koperasi sekarang
yang palsu, tetapi yang benar-benar menum
buhkansemangatkolektifdangotongroyong,
sebuah keharusan pada musim wabah seka
rang ini.
4.
Regenerative Farming dan Family
Farming
Kepedulian terhadap alam tak bisa dipisah
kan dari upaya transformatif pertanian
menuju pertanian berkelanjutan berdasar
kan kelestarian keragaman hayati. Kita perlu
memperkuat produksi pangan yang bersifat
lokal dan berkelanjutan serta sistem pertani
an yang adil dan memakmurkan petani. Per
tanian yang sehat dan petani yang makmur
akan memperkuat ketahanan dan kedaulatan
pangan negeri kita.
Untuk memperkuat pendapatan, petani
harus dibina tak hanya dalam budi daya (on-
farm), tetapi juga dalam industri pengolahan.
Kita perlu mengembangkan agro-industri
perdesaan lewat pemberdayaan (pendidikan)
petani dan pemanfaatan sains serta teknologi
tepat guna yang terjangkau dan ramah ling
kungan. Mengikuti Schumacher, kita harus
menolak praktik “produksi massal” (mass
production) skala besar. Sebaliknya, mendu
kung “produksi oleh rakyat” (production by
mass).
Artinya, memberdayakan petani kecil
(family farming), bukan membangun perta
nian skala besar seperti Merauke Food Es
tate yang padat modal, padat pupuk kimia,
dan cenderung pada monokultur yang meng
abaikan keragaman hayati.
5.
Gaya Hidup Sederhana, Rendah Jejak
Karbon
Mengurangi konsumsi dan lawatan secara
drastis dari bermewah-mewah dan mubazir
menuju yang sifatnya penting (berorientasi
pada publik) dan mengutamakan prinsip ber
kelanjutan (mengurangi kebiasaan lawatan
menggunakan pesawat).
Pada intinya, kembali merenungkan
tujuan pembangunan. Tujuan membangun
peradaban, menurut Schumacher, seraya
mengambilajaranBuddhismeadalahmemur
nikan watak manusia, menghormati alam,
dan menghargai solidaritas sosial; bukan
memperbanyak keinginan lahiriah (multipli-
cation of wants) yang mendorong konsum
erisme dan ketamakan. Mengutip Mahatma
Gandhi, yang pikirannya banyak dipinjam
oleh Schumacher, “Dunia ini cukup bagi se
luruh umat manusia, tetapi tidak untuk keta
makannya.”
Perlahan tapi pasti, ada konsensus yang
makin kuat bahwa gaya hidup sederhana
rendah-emisi-karbon (artinya ramah alam)
jauh lebih disarankan serta dipujikan sebagai
progresif. Sementara emisi-karbon tinggi
menjadi simbol gaya hidup primitif.
6.
Mengurangi Utang, Memupuk
Kemandirian
Utang dan investasi mungkin kita butuhkan,
tetapi kita harus melepaskan ketergantungan
padanya; melepas pandangan bahwa tanpa
nya kita tak bisa membangun.
Obsesi pada utang dan investasi tak ha
nya memicu ketergantungan, tetapi membuat
negara kita terbelenggu dalam merumuskan
kebijakan publik demi melindungi mutu so
sial warga negara dan kelestarian alam.
Untuk itu, kita harus mendorong pem
batalan seluruh utang lama, terutama di
kalangan buruh dan pemilik usaha kecil,
serta mengurangi penciptaan utang baru dan
penghapusan utang negara-negara berkem
bang kepada negara kaya maupun lembaga
keuangan internasional.
Kita perlu percaya diri, dengan kreati
vitas dan imajinasi yang kita punya, bisa
membangun dari apa yang kita punya di de
pan mata, salah satunya lestarinya alam dan
keragaman hayati yang selama ini kita sia-
siakan. l
Farid Gaban, Dari Kutukan Rostow ke Model Baru Pembangunan
23. 22 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021
T O P I K
Prisma
ebagai jurnal pemikiran ekonomi,
sosial, dan budaya yang memberi
narasi alternatif atas kondisi kehidup
an berbangsa dan bernegara sejak 50
tahun lalu, Prisma punya peran tersendiri
dalam sejarah intelektual Indonesia. Pada
tahun-tahun terbaiknya, Prisma merupakan
rujukan utama bagi kaum cendekia pro
gresif. Sebagaimana dikutip dari “Kerangka
Acuan tentang Edisi Khusus 50 Tahun Pris-
ma”, pendekatan Prisma yang menerapkan
perspektif “Ekonomi politik untuk mema
hami siapa/kelompok mana yang paling di
untungkan, who get the most benefit at whose
cost” menandakan adanya penyikapan atas
tatanan ketidakadilan yang struktural dan
menyejarah sebagai pijakan dasar bagi para
cendekia Prisma. Dalam kerangka itu, tentu
dicatat bahwa ketidakadilan berbasis gender
dan peminggiran perempuan terus langgeng
di bumi Nusantara ini karena saling berke
lindan dengan bentuk-bentuk ketimpangan
dan penindasan lainnya.
Dengan semangat melihat ke belakang
untuk menapak ke depan, esai ini mengkaji
sejauh mana narasi keilmuan yang disuguh
kan oleh Prisma dalam kurun waktu separuh
abad ini menyentuh dan memaknai pergu
latanperempuandalamkehidupanberbangsa
dan bernegara di Indonesia. Setelah “tidur”
selama 10 tahun, saat rezim Orde Baru ber
akhir, Prisma “bangun” kembali di tengah
era yang jauh berbeda secara politik, eko
nomi, sosial, budaya, dan teknologi. Wu
jud pergulatan perempuan pun mengalami
perubahan yang signifikan dalam jangka
waktu tersebut. Esai ini berfokus pada peri
ode sebelum dan sesudah masa jeda Prisma
yang dilakukan melalui akses pada daftar
edisi-edisi Prisma beserta nama para penulis
dan judul tulisan mereka.
Fokus Berkala pada Peran
Wanita: 1971-1998
Dalam 27 tahun pertamanya (1971-1998),
Prisma menerbitkan sebanyak 258 edisi,
termasuk lima edisi yang secara khusus
mempersoalkan situasi perempuan Indone
sia. Kelima edisi tersebut terbit hampir de
ngan ritme tersendiri, kira-kira tiap 5-6 ta
hun, yaitu tahun 1975, 1981, 1985, 1991 dan
1996. Pada 2004, Liza Hadiz menyeleksi dan
mengulas sejumlah tulisan yang terbit di Jur
nal Prisma dalam buku Perempuan dalam
Wacana Politik Orde Baru: Pilihan Artikel
Prisma (LP3ES). Dia mencatat bahwa edi
si Oktober 1975 dan Oktober 1985 terbit
pasca-dua perhelatan internasional yang
menandakan capaian gerakan perempuan
di tingkat global. Edisi tahun 1975 dengan
tema “Wanita Indonesia: Menuju Cakrawala
Baru?” terbit setelah Konferensi Perempuan
Sedunia di Mexico City, tempat dicanang
kan bermulanya “Dasawarsa Perempuan.”
Sedangkan edisi tahun 1985 dengan tema
“Menegakkan Peran Ganda Wanita Indo
nesia” terbit setelah Konferensi Perempuan
Sedunia Ketiga di Nairobi, tempat hasil dari
segala upaya sepanjang 10 tahun terdahulu
dinilai bersama. Menyimak timing kedua
edisi itu, tampaknya Prisma tergerak oleh
dinamika di luar Indonesia, yaitu adanya
Sejauh-jauh Mata Memandang:
Prisma dan Pergulatan Perempuan
Kamala Chandrakirana
S
E S A I
24. 23
Grace L dan Douglas K, Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965”
T O P I K
momen konsensus baru yang dicapai an
tarnegara di tingkat internasional tentang
pemajuan hak-hak perempuan.
Menarik untuk dicatat pilihan judul edisi
Prisma, pada Oktober 1975 dan 1985 yang
diambil dari paparan penulisnya, Mely G
Tan, “Wanita Indonesia: Menuju Cakrawala
Baru?” (1975). Dalam tulisannya tersebut,
dia mengajukan pertanyaan yang memper
soalkan adanya keraguan di kalangan
perempuan sendiri terkait kemampuannya
menjalankan fungsi ganda sebagai istri dan
pekerja atau “wanita karier.” Soal keraguan
di kalangan perempuan sendiri juga muncul
dalam edisi khusus tahun 1981 dengan tema
“Wanita Indonesia Terpaku di Persimpang
an” yang berfokus pada isu perempuan dan
media. Melalui tulisannya tentang “Wanita
danCitraDiri,”ToetiHeratyNoerhadimene
gaskan adanya dilema perempuan bekerja
yang “menghadapi tugas ganda dengan
keraguan.”
Soal keraguan dalam diri perempuan
terkait fungsi gandanya cukup banyak dipa
hami sebagai gejala kelas menengah yang
tidak berlaku bagi kaum perempuan yang
memang tidak punya pilihan soal kerja di
dalam dan luar rumah. Rupanya catatan
tentang keraguan dan dilema itu terus me
mengaruhi pilihan tema edisi tahun 1985
dengan judul yang hari ini terdengar agak
aneh: “Menegakkan Peran Ganda Wanita
Indonesia.” Aneh karena langgengnya peran
ganda perempuan sesungguhnya mencer
minkan kegagalan negara dalam mencip
takan kerangka kebijakan dan layanan
publik yang dapat mendorong pembagian
peran yang lebih adil antara laki-laki dan
perempuan dalam keluarga dan di masyara
kat umum. Artinya, peran ganda yang diem
ban sendiri oleh perempuan sesungguhnya
bukan sesuatu untuk ditegakkan melainkan
untuk dibongkar melalui perubahan struk
tural dan kultural.
Ada dua edisi lain yang memberi perha
tian khusus pada isu perempuan dan gender,
yaitu edisi dengan tema “Seks dalam Jaring
Kekuasaan” (1991) dan “Wanita-wanita di
atas Pentas Politik” (1996). Terlewat dari
perhatian Prisma pada masa itu adalah mo
men puncak dalam komitmen negara-negara
untuk memajukan hak-hak perempuan, yai
tu pada Konferensi Perempuan Sedunia Ke
empat di Beijing pada 1995. Menarik, salah
satu organisasi perempuan dari Indonesia,
Kalyanamitra, membawa isu kekerasan
negaraterhadapperempuankeforummasya
rakat sipil di konferensi itu. Sayangnya, cara
pandang tentang negara seperti itu tidak tere
kam di jurnal cendekia Prisma.
Pada 2004, setelah mengumpulkan
dan mengulas sejumlah tulisan tentang isu
perempuan yang diterbitkan Prisma sejak
1971 hingga 1998, Liza Hadiz dalam Kata
Pengantar Perempuan dalam Wacana Poli-
tik Orde Baru (hal. xxxiv) menyimpulkan
sebagai berikut: Isu gender yang diangkat
Prisma sejak pertengahan tahun 1970-an
hingga awal tahun 1990-an adalah refleksi
dari kesadaran kaum perempuan Indonesia
di tengah arus perubahan sosial, ekonomi,
dan politik. Di satu sisi, jurnal itu berhasil
menyajikan perkembangan tentang gen-
der sebagai subtema disiplin ilmu tertentu,
fokus analisis dan diskursus ... Sebagian
besar tulisan mencerminkan respons dan
resistensi kaum cendekiawan terhadap ke-
bijakan negara yang berdampak langsung
kepada kaum perempuan. Namun, Prisma
tidak menampilkan semua pemikiran yang
berkaitan dengan isu gender yang berkem-
bang di Indonesia saat itu … [yaitu] perem-
puan dan hukum, perkawinan, kekerasan
terhadap perempuan, perempuan dalam
daerah konflik, buruh migran perempuan,
hak reproduksi, hak asasi perempuan, dan
lain-lain.
Edisi terakhir Prisma sebelum jeda ber
judul “Kerusuhan dan Isu SARA” (1998).
Dalam sejarah perempuan Indonesia, tahun
itu merupakan tahun yang traumatik dan
sekaligus momen kebangkitan bagi gerakan
perempuan. Perkosaan massal yang diala
mi oleh perempuan etnik Tionghoa dalam
kerusuhan bulan Mei 1998 diikuti oleh pe
nyangkalan bertubi-tubi pejabat negara di
media massa dan oleh warga biasa dalam
perbincangan keseharian di warung kopi,
taksi dan meja makan. Kejadian tersebut
menggugah kesadaran politik baru bagi
Kamala Chandrakirana, Sejauh-jauh Mata Memandang: Prisma dan Pergulatan Perempuan
B U K U
E S A I
25. 24 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021
T O P I K
banyak perempuan dari Aceh hingga Pa
pua dan menjadi fondasi aktivisme gerakan
perempuan di era Reformasi. Tidak bisa ti
dak, muncul pertanyaan, mengapa perspek
tif perempuan tentang kerusuhan Mei 1998
dan persoalan SARA secara umum luput
dari edisi terakhir Prisma sebelum mati suri
selama sepuluh tahun?
Pergulatan Perempuan yang
Tak Berjejak: 2009-2021
Prisma terbit kembali pada 2009 di tengah
dunia dan Indonesia yang telah berubah. Se
lain Reformasi di Indonesia yang membuka
ruang demokrasi, peristiwa 9/11 di Amerika
Serikat telah mengubah wajah geopolitik
dunia. Gerakan ekstremis berbasis agama
meluas secara transnasional dan perubahan
iklim mencapai titik kritis. Revolusi teknolo
gi informasi diikuti dengan maraknya hoaks
merupakan fakta baru yang tidak terbayang
kan pada tahun jedanya Prisma. Agenda
perjuangan hak-hak perempuan pun telah
melampaui beberapa tonggak kemajuan dan
kemunduran sebagai bagian dari dinamika
perjalanan bangsa.
Pertama, atas desakan pejuang hak-hak
perempuan pada tahun-tahun awal Reforma
si, kata “wanita” nyaris hilang dari peredaran
karena dianggap tidak cukup afirmatif terha
dap kemandirian perempuan. Pada 2004, ke
kerasan dalam rumah tangga diakui sebagai
tindakan kriminal dengan disahkannya UU
tentang hal ini setelah upaya besar-besaran
dari gerakan perempuan. Keberhasilan itu
membuat bulu kuduk berbagai pihak berdiri
dan dimaknai sebagai “gerakan perempuan
kebablasan.” Perlawanan balik segera mun
cul dalam bentuk Rancangan UU Anti Por
nografi dan Pornoaksi yang mengkriminal
kan tubuh perempuan dan minoritas seksual.
Setelah terjadi penolakan dari berbagai pen
juru negeri, pada 2008, DPR RI mengesah
kan UU Pornografi yang memuat sejumlah
revisi tanpa menghilangkan ancaman krimi
nalisasi bagi kaum minoritas seksual serta
perempuan yang bekerja dalam dunia hi
buran dan industri seks. Setahun kemudian,
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan) mengu
mumkan hasil pemantauan perdana tentang
lahirnya 154 kebijakan pemerintah daerah
yang diskriminatif terhadap perempuan dan
minoritas di era Reformasi. Komnas Perem
puan memaknai gejala itu sebagai suatu pro
ses pelembagaan diskriminasi dalam tatanan
negara-bangsa Indonesia atas nama otonomi
daerah. Seluruh dinamika itu merupakan
awal dari pertarungan besar dan berkelanjut
an yang bersifat ideologis dan politis, yang
mempertaruhkan dan memperebutkan iden
titas dan tujuan kebangsaan Indonesia.
Pada kisaran waktu kurang lebih sama,
Prisma menerbitkan edisi-edisi bertema
“Otonomi Daerah untuk Siapa?” (2010),
“Kewargaan: Revitalisasi Konsepsi Keindo
nesiaan” (2013), “Bangkitnya Populisme
dan Krisis Demokrasi” (2017) dan “Mem
bongkar dan Merangkai Pancasila” (2018).
Tidak ada satu pun penulis yang mengemu
kakan dimensi gender dan perspektif perem
puan atas persoalan-persoalan kontemporer
itu kendati sedang berlangsung pertarung
an sosial-politik tentang sosok dan peran
perempuan Indonesia serta kritik tajam atas
peran institusi-institusi negara dalam mem
batasi hak-hak asasi perempuan dalam kon
teks politik identitas.
Sejak 2009 hingga 2020, Prisma mener
bitkan total 30 edisi yang membahas ber
bagai tantangan besar dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia, ter
masuk tentang Kedaulatan Pangan (2016),
Gerakan Pemuda 1926-2011 (2011), dan
Historiografi Indonesia (2020). Dalam ke
tiga isu tersebut saja, peran dan pemikiran
perempuan serta analisis gender merupakan
suatu keniscayaan dan juga kebutuhan jika
diakui bahwa hierarki gender merupakan
salah satu elemen dalam kebertautan (inter-
sectionality) antarlebih dari satu sistem kua
sa dan pola peminggiran yang hidup subur
di masyarakat. Perjuangan ibu-ibu Kendeng
untuk membela tanah dan kedaulatan warga
nya di hadapan kekuatan korporasi semesti
nya bisa dan patut dijadikan salah satu ba
gian dari narasi tentang kedaulatan pangan,
misalnya. Paparan tentang gerakan pemuda
E S A I
26. 25
Grace L dan Douglas K, Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965”
T O P I K
dan historiografi Indonesia tanpa perem
puan hanyalah narasi separuh bangsa.
Jika mengikuti pola lama Prisma, yaitu
menerbitkan edisi tematik terkait isu perem
puan sehubungan dengan peristiwa inter
nasional, sebenarnya terjadi pertarungan di
berbagai arena PBB yang pantas disimak
menyangkut soal identitas gender dan hak
seksual dan reproduksi versus gagasan ten
tang ketahanan dan perlindungan keluarga.
Hal itu mengambarkan bagaimana tubuh
dan kedaulatan perempuan (dan komunitas
queer) menjadi salah satu situs pertarungan
geopolitik dunia yang cukup sengit. Itu juga
dapat dilihat sebagai pukulan balik terhadap
capaian gerakan perempuan di tingkat glo
bal sejak pertengahan tahun 1970-an, baik
sebagai wujud menguatnya gerakan politik
kanan dan otoritarianisme di berbagai nega
ra berkekuatan ekonomi di kancah global
maupun sebagai indikasi pelemahan sistem
tata kelola global (global governance) dan
mekanisme HAM internasional.
Dari ke-34 edisi yang terbit (2009-2021),
ada empat artikel dalam tiga edisi yang
mengetengahkan tulisan penulis perem
puan dengan perspektif perempuan yang
membahas tema tertentu, yaitu tulisan Ruth
Indiah Rahayu tentang budaya dan kiasan
keluarga patriarki dalam edisi “Sistem Pre
sidensialisme” (No.3, 2016); tulisan I Gusti
Agung Ayu Ratih tentang ruang perempuan
dan ingatan sosial perempuan “korban/pe
nyintas 1965-66” dalam edisi “Keadilan
Transisi” (No. 2, 2019); dan tulisan reflek
tif Maria Ulfah Ansor atas proses legislasi
RUU Penghapusan Kekerasan terhadap
Perempuan (yang masih berjalan hingga
kini) serta artikel Lies Marcoes et al tentang
arah advokasi pencegahan perkawinan anak
(perempuan), keduanya dalam edisi “Kete
gangan Agama dan Negara” (No.1, 2020).
Namun, dalam kurun tersebut, tidak ada
edisi yang secara khusus berfokus pada isu
perempuan, walaupun sebenarnya soal kon
testasi hak-hak perempuan di tengah marak
nya politik identitas, fundamentalisme
agama dan ekstremisme berkekerasan pan
tas untuk dijadikan edisi tematik tersendiri
karena kompleksitas, multidimensionalitas,
dan interseksionalitas permasalahan ini.
Bisa disimpulkan bahwa dalam sepa
ruh abad perjalanan hidupnya, mata burung
Prisma tidak terlalu jauh memandang per
gulatan perempuan dalam kehidupan ber
bangsa dan bernegara, sementara arus per
juangan atas hak-hak perempuan Indonesia
terus berjalan dengan derasnya.
Jalan ke Depan
Memang tidak sederhana memastikan agar
perspektif gender dan perjuangan perempuan
secara konsisten terwakili dalam publikasi
yang dibuat oleh dan ditujukan kepada kaum
cendekia. Hierarki gender juga hidup di te
ngah komunitas cendekia dan dalam sistem
produksi pengetahuan ilmiah di Indonesia.
Namun, Prisma agaknya tidak terlalu mam
pu melepaskan diri dari arus utama itu.
Jika ada kemauan Prisma untuk lebih
inklusif ke depan, beberapa konsekuensi
perlu dipertimbangkan. Cara berpengetahu
an perempuan cukup beragam dan tidak
terbatas pada paparan ilmiah konvensio
nal. Untuk menangkap khazanah ilmu dari
perempuan dibutuhkan pengakuan atas dan
penjelajahan terarah pada produk-produk
pengetahuan yang berbentuk tuturan, prosa,
esai visual, laporan investigatif, dan seterus
nya. Untuk menangkap kompleksitas dan
dinamika pertarungan perempuan dibutuh
kan upaya khusus untuk menyapa mereka
yang hidup dan berkiprah dalam konteks
ekonomi, sosial-budaya, dan kewilayahan
yang berbeda-beda. Untuk memahami in
terseksionalitas dari pengalaman diskrimi
nasi berbasis gender dibutuhkan suara dan
perspektif dari perempuan yang hidup di
tengah ragam komunitas minoritas atau
yang diminoritaskan. Artinya, gambaran
yang bakal muncul dari perspektif ekonomi-
politik Prisma niscaya akan memunculkan
pengetahuan dari keberagaman konteks dan
tidak semata berwujud narasi umum tentang
kondisi “nasional” Indonesia.
Mungkin inilah saatnya untuk mem
bayangkan ulang wajah dan peran Prisma
di era digital dan pascapandemi Covid-19
yang penuh tantangan ini. l
Kamala Chandrakirana, Sejauh-jauh Mata Memandang: Prisma dan Pergulatan Perempuan
B U K U
E S A I
27. 26 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021
T O P I K
Dialektika Mitra-Kritis:
Lima Puluh Tahun Pergumulan Prisma
Airlangga Pribadi Kusman*
Melalui telaaah terhadap berbagai artikel Prisma, tulisan ini berupaya membongkar
bagaimana pengetahuan ilmu-ilmu sosial di Indonesia mencerminkan tautan antara kepen
tingan, politik, dan kekuasaan. Ia merupakan manifestasi kontradiksi dan konvergensi di
antara struktur kekuasaan yang bekerja, baik dalam konteks global yang merawat tatanan
ekonomi-politik kapitalisme maupun dalam konteks dominasi struktur kekuasaan oligarki di
Indonesia. Berbagai ketegangan yang muncul dalam narasi pengetahuan yang diproduksi
Jurnal Prisma setidaknya melalui dua jurusan. Pertama, para pendukung gagasan pem-
bangunan di awal Orde Baru yang kemudian dikenal sebagai teknokrasi pembangunan.
Kedua, kalangan intelektual yang berupaya mengedepankan kajian sosial kritis dalam
menginterogasi corak kekuasaan dan pengetahuan yang terbentang sejak 1971 hingga kini.
Bertolak dari perjalanan intelektual Prisma sebagai sebuah “majalah” yang unik, tulisan
ini menawarkan sebuah kemungkinan preskripsi bagi gerakan sosial di masa depan agar
melampaui tatanan ekonomi-politik dominan dan rezim pengetahuan yang menopangnya.
Kata Kunci: hegemoni, kekuasaan, kekuatan sosial, rezim pengetahuan, oligarki
lmu pengetahuan terutama ilmu-ilmu
sosial tidaklah hadir dalam ruang ham
pa. Ia selalu terpaut dengan kepenting
an segenap kekuatan yang bertarung dalam
proses perubahan sosial. Dengan itu penge
tahuan tidak pernah lepas dari persinggung
annya dengan kekuasaan. Pandangan kritis
tentang keterpautan antara pengetahuan dan
kekuasaan itu sendiri sudah banyak dikaji
dan diteliti dalam khazanah ilmu-ilmu so
sial. Narasi pengetahuan dalam Jurnal Pris-
ma pun tidak dapat dilepaskan dari struktur
kekuasaan serta konstelasi pertarungan sosial
yang berlangsung dalam konteks perubahan
sosial di tingkat global dan keterkaitannya di
tingkat domestik.
Sehubungan dengan pertautan antara
pengetahuan, kepentingan, dan kekuasaan
pada ratusan artikel yang tersebar di Jurnal
Prisma, tentu terlalu menyederhanakan bila
disimpulkan bahwa produksi pengetahuan
di dalamnya hanya melegitimasi dan mem
benarkan perawatan corak kekuasaan domi
nan yang bekerja dalam konteks Indonesia
I
*
Penulis berterima kasih kepada mendiang Daniel Dha
kidae yang memberi kehormatan untuk mengerjakan
artikel sejarah intelektual Prisma selama 50 tahun dan
Fachry Ali yang bersedia meluangkan waktu untuk
berdiskusi intens dan beberapa bahan pustaka serta infor
masi sejarah terkait perjalanan Prisma.