SlideShare a Scribd company logo
1 of 146
Download to read offline
Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021 147
Prisma diterbitkan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dan dimaksud­
kan sebagai media informasi dan forum pembahasan masalah pembangunan ekonomi, perkembangan sosial dan
perubahan kultural di Indonesia dan sekitarnya. Berisi tulisan ilmiah populer, ringkasan hasil penelitian, survei,
hipotesis atau gagasan orisinal yang kritis dan segar. Redaksi meng­un­dang para ahli, sarjana, praktisi dan pemuda
Indonesia yang berbakat untuk berdiskusi dan menulis secara bebas dan kreatif sambil berkomunikasi dengan
masyarakat luas. Tulisan dalam Prisma tidak selalu segaris atau mencerminkan pendapat LP3ES. Redaksi dapat
menying­kat dan memperbaiki tulisan yang dimuat tanpa mengubah maksud dan isinya.
Dilarang mengutip, menerjemahkan, dan memperbanyak, kecuali dengan izin tertulis dari Redaksi.
© Hak cipta dilindungi Undang-undang.
ISSN 0301-6269
Vol. 40, No. 4, 2021
Pendiri: Ismid Hadad, Nono Anwar Makarim n Pemimpin Umum: Ismid Hadad n Pemimpin Redaksi: Harry Wibowo Redaktur
Senior: Vedi R Hadiz n Dewan Redaksi: Airlangga Pribadi Kusman, Azyumardi Azra, Inaya Rakhmani, Kamala Chandrakirana,
Nezar Patria, Sumit Mandal (Malaysia), Taufik Abdullah n Redaktur Pelaksana: E Dwi Arya Wisesa n Redaktur Ekonomi: Fachru
Nofrian Bakaruddin n Redaksi: Rahadi T Wiratama n Produksi: Arief Mudi Handoko
Alamat: Jl. Pangkalan Jati No. 71, Cinere, Depok 16513, Indonesia. Telp/Faks: (6221) 2765 4031
Email: prisma@prismajurnal.com; prisma.redaksi@gmail.com; prismaredaksi@yahoo.com; Website: www.prismajurnal.com
Pemesanan Langsung: 0811 8845 741. Bank: BCA. No. Rek.: 723-55412-11 a/n Muhadi
Vedi R Hadiz	 3
Farid Gaban 	 11
Airlangga Pribadi Kusman 	 26
Bosman Batubara 	 49
& Eka Handriana
Inaya Rakhmani 	 69
Kamala Chandrakirana 	 22
Ismid Hadad, Sony Karsono, 83
Farabi Fakih, Julia I
Suryakusuma, Fajri Siregar 	
Grace Leksana 	 106
& Douglas Kammen
Fachru Nofrian Bakarudin	 117
Donny Danardono	 135
139
Gambar Cover: Malela Margahasari
T O P I K K I TA
Memotret Indonesia Lewat Prisma
Dari Kutukan Rostow ke Model Baru Pembangunan
Dialektika Mitra-Kritis:
Lima Puluh Tahun Pergumulan Prisma­
Urbanisasi Sebagai Pabrik Krisis Sosial-Ekologis:
Berdialektika dengan Prisma 1971-2021
Intelektual Publik dan Ketimpangan
Sosial di Indonesia yang Neoliberal
E S A I
Sejauh-jauh Mata Memandang:
Prisma dan Pergulatan Perempuan
D I A L O G
LP3ES dan Dinamika Sejarah Intelektual
di Indonesia
S U R V E I
Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia
tentang “1965”: Sebuah Tinjauan
A R T I K E L
Ekonomi-Politik Indonesia Pasca-Korona
K R I T I K & K O M E N TA R
Reproduksi Kapitalistik Ruang Kota dan Perlawanan
dari Pinggiran
P A R A P E N U L I S
Vol. 41, No. 1, 2022: Pendidikan Musik & Demokrasi
Vol. 41, No. 2, 2022: 
Ruang Publik: Identitas Budaya dan
Komunikasi Politik
Setengah Abad Prisma
Bagi manusia, 50 tahun usia yang matang.
Bagi pernikahan, setengah abad patut dirayakan,
the golden anniversary, “kawin emas.” Sebuah
pergulatan hidup untuk menyelami rumah tangga,
membangun keluarga batih, dengan kemungkinan
gagal berantakan. Tentu analogi usia manusia atau­
pun usia pernikahan untuk tumbuh, berkembang,
menjadi dewasa dan matang tidaklah sepenuhnya
tepat bagi sebuah penerbitan berbasis pengetahuan
dan akuntabilitas ilmiah, seperti Prisma.
Terbit pada masa awal regimentasi Orde Baru,
Prismatumbuhmenjadisebuah“majalah”pemikir­
an sosial ekonomi yang lekat sebagai bagian dari
teknokrasi Orde Baru. Kegairahan membuncah
dari para pendiri, awak redaksi, dan para kon­
tributornya terhadap sebuah proyek modernisasi
yang kemudian kita kenal sebagai pembangunan.
Beberapa tahun kemudian, pada akhir tahun 1970-
an, Prisma menjadi lebih kritis terhadap model
pembangunan dan kekuasaan negara yang makin
otoriter, namun dalam pakem di master-head-nya
hingga kini, Prisma menyatakan diri:


“… dimaksudkan sebagai media informasi dan
forum pembahasan masalah pembangunan eko­
nomi, perkembangan sosial dan perubahan kul­
tural di Indonesia dan sekitarnya. Berisi tulisan
ilmiah populer, ringkasan hasil penelitian, survei,
hipotesis atau gagasan orisinal yang kritis dan
segar.”
Sebagai produsen pengetahuan dalam dunia
sosial yang terus berubah, pertanyaan tentang cara
dan tujuan yang tepat bagi Prisma selalu menjadi
pertimbangan penting, bahkan pergulatan di meja
redaksi. Misalnya, bagaimana analisis dan hasil
penelitian yang dimuat di Prisma tak hanya berkon­
tribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan dari
dan oleh kalangan akademia atau scholar, namun
juga memiliki dampak pada proses pengambilan
keputusan dan kebijakan publik?
Bagaimana kualitas penelitian dan nilai publik
dari suatu penyelidikan sosial dapat andil meru­
muskan masalah dan memajukan gerakan sosial
yang semakin kompleks, terutama saat Indonesia
memasuki milenium baru di era pasca-Reformasi?
Bagaimana para peneliti sosial dapat membingkai
ulang masalah yang dihadapi oleh mayoritas mere­
ka yang tersingkir dan terpinggirkan oleh proses
pembangunan, seraya merancang suatu metode
penyelidikan dan, yang lebih penting, mengomuni­
kasikan berbagai temuan dan analisisnya dengan
cara yang tepat sehingga mampu berkontribusi
pada debat publik yang bernas?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut
tentu tidak akan dibantu oleh nalar biner yang telah
menciptakan hierarki pengetahuan seperti kredo
yang tertanam di benak banyak cerdik-cendekia
mengenai pembelahan antara ilmu-ilmu alam dan
ilmu-ilmu sosial atau humaniora; atau seperti juga
perbedaan yang disebut Aristoteles sebagai techne
(rasionalitas teknis) dan phronesis (rasionalitas
­
nilai).
Menyadari ketegangan mendasar antara dua
rasionalitas yang berbeda tersebut, sejak kembali
terbit di pertengahan tahun 2009, setelah “mati
suri” selama satu dekade, Prisma berupaya meru­
muskan ulang posisi dan kiprahnya. Perumusan
ulang tersebut semakin relevan dan mendesak
karena setidaknya dua hal.
Pertama, karena refleksi kritis dan perkem­
bangan teori tertentu dalam ilmu-ilmu sosial, tam­
paknya kita harus keluar dari zona nyaman dengan
pemilahan bahkan dikotomi usang antara “agensi”
dan “struktur”, antara data “lunak” dan “keras”,
antara fenomena objektif dan subjektif, antara re­
alitas material dan diskursif, bahkan antara tekno­
krasi dan demokrasi/partisipasi.
Kedua, menyadari juga dalam masyarakat
kontemporer yang semakin mendunia, kita terus
dihantui dan menghadapi krisis kapitalisme—yang
akut maupun konjungtural—yang kini memuncak
dalam wujud krisis iklim dengan disrupsi pan­
demi virus korona. Krisis itu berada dalam suatu
era globalisasi digital, di tengah ledakan informasi
dan dominasi media sosialnya. Sambil mematah­
kan janji-janji modernisasi, krisis global ini terus
menyeret gerbong berbagai masalah klasik pem­
bangunan: konsentrasi kekuasaan dan sumber
daya pada segelintir orang, ketimpangan sosial dan
penghancuran ekologi.
Pada titik itulah Prisma dituntut mampu
menjelaskan masalah dan risiko yang dihadapi
masyarakat Indonesia di masa mendatang. Hal itu
mungkin dapat dilakukan dengan merangkul, baik
rasionalitas nilai maupun rasionalitas tekniknya,
sambil memperluas komunitas epistemik yang
mampu memperkuat daya penjelas dan daya pre­
diktifnya. Dalam arti ini, Prisma berupaya meng­
artikulasikan edisi tematiknya bukan sekadar
melalui pendekatan multidisiplin melainkan trans­
disiplin agar tetap menjadi hub (penghubung) an­
tara ketiga stakeholder-nya: dunia akademik atau
para cerdik-cendekia, para pengambil kebijakan
negara, dan gerakan sosial. Semoga.
Harry Wibowo
Tiga Pilar Pemangku Kepentingan
TOPIK KITA
Prisma
Grace L dan Douglas K, Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965”
T O P I K
Memotret Indonesia Lewat Prisma
Vedi R Hadiz
Prisma semula didirikan dan diterbitkan untuk menyambut berbagai kemungkinan yang
sempat diharapkan terbuka bagi masa depan Indonesia di tahun-tahun awal Orde Baru.
Harap­an tersebut praktis kandas dengan semakin bercokolnya sistem otoritarianisme Orde
Baru yang korup dan represif, terutama terhadap kekuatan-kekuatan masyarakat yang inde-
penden. Akan tetapi, Prisma berevolusi, meski gagal mempertahankan status sebagai episen-
trum perdebatan pembangunan di Indonesia. Kini sudah setengah abad dilalui Prisma,
kendati sempat absen antara 1998 dan 2009. Dewasa ini, Indonesia mengalami sejumlah
tantangan “baru tapi lama” yang hadir dengan tingkat keterpautan sangat tinggi de­ngan
perkembangan global. Adalah tantangan Prisma untuk tetap relevan sebagai “pemotret”
perubahan masyarakat dan pergulatan pemikiran di Indonesia. Hal itu menjadi makin pen­
ting karena Reformasi baru mampu melahirkan demokrasi yang cacat, sementara cita-cita
keadilan sosial tampak kian sulit diwujudkan.
Kata Kunci: demokrasi, intelektual, modernisasi-pluralis, orde baru, pembangunan
risma adalah produk zamannya. Be­
gitu kira-kira kata Benedict Richard
O’Gorman Anderson—yang akrab
disapa dengan nama Ben Anderson—kepada
saya di sela-sela sebuah konferensi inter­
nasional akhir 1992 yang diselenggarakan
di luar kota Melbourne, Australia. Namun
demikian, sejarah membuktikan bahwa
Prisma telah dan mampu melampaui (dalam
arti transcend) zaman yang melahirkannya,
meski tidak selalu pada tingkat keberhasilan
yang sama. Ia memberikan sejumlah potret,
yang jelas dan kurang lebih runtut, tentang
perjalanan sejarah Indonesia selama sete­
ngah abad belakangan ini. Potret itu pun
menangkap berbagai kontradiksi internal
dalam masyarakat dan negara Indonesia se­
jak zaman otoritarianisme yang kaku dan ko­
rup hingga masa demokratisasi dengan ke­
hidupan politik yang lebih cair, tetapi tidak
kalah korupnya.
Bukan berarti almarhum ahli Indonesia
terkemuka berkebangsaan Irlandia itu keliru:
Prisma memang sejak semula adalah buah
karya para intelektual dan aktivis pendukung
suatu proyek modernisasi tertentu yang ber­
kumpul di LP3ES pada tahun-tahun awal
Orde Baru. Di antara mereka adalah Nono
Anwar Makarim dan Ismid Hadad, yang
diakui sebagai tokoh pencetus dan pendiri
Prisma. Saya menduga bahwa, di benak Ben
Anderson, para intelektual tersebut diper­
satukan oleh sebuah visi tentang masa depan
Indonesia yang dapat diberi label tertentu:
modernis-pluralis.1
Pembangunan ekonomi
1 
Lihat, David Bourchier dan Vedi R Hadiz, Indonesian
Politics and Society: A Reader (London: Routledge,
2003), khususnya Bab 2.
P
Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021
T O P I K
yang dirancang oleh para ahli dibayang­
kan berjalan dalam lingkungan politik yang
makin memberi tempat pada kekuatan ma­
syarakat sipil dan independen. Tidak meng­
herankan jika sejarawan Onghokham meni­
lai, pada kesempatan peringatan hari ulang
tahun ke-10 Prisma, bahwa majalah ini
meng­artikulasikan sikap terhadap berbagai
persoalan pembangunan bangsa yang seka­
ligus bersifat teknokratis dan liberal.2
Namun demikian, menurutAnderson, dua
dasawarsa setelah Prisma berdiri, proyek
modernisasi pluralis sudah lama terpinggir­
kan oleh proyek modernisasi saingan yang
dilahirkan dari dalam bagian-bagian inti
birokrasi negara Orde Baru sendiri. Proyek
modernisasi “resmi” tersebut, yang paling
gamblang diuraikan watak dasarnya oleh
Jenderal Ali Moertopo3
, salah seorang ideo­
log Orde Baru terpenting, bukan saja menge­
jar pertumbuhan ekonomi yang pesat, namun
juga mengaitkan keberhasilan pembangunan
dengan kontrol sosial dan politik yang ketat,
bahkan represif.
Di dalam visi resmi itu, tidak ada tempat
buat cita-cita liberalisasi-pluralisme politik.
Bahkan, masyarakat hampir sepenuhnya di­
subordinasikan terhadap tuntutan-tuntutan
negara lewat sebuah arsitektur kekuasaan
yang makin menutup ruang gerak politik.
Pada pertengahan tahun 1980-an, misalnya,
versi Pancasila sebagaimana disebarluas­
kan oleh Orde Baru melalui penataran P4
(Pedom­an Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila) serta seperangkat peraturan pe­
rundangan yang membungkam kritik serta
mengekang otonomi organisasi sosial dan
poli­tik, sea­kan-akan menegaskan bahwa visi
modernisasi pluralis yang mengilhami pen­
dirian majalah Prisma sudah tidak relevan
di tingkat kebijaksanaan negara. Yang ting­
gal hanyalah gemuruh pembangunanisme
negara monolitikyang praktis telahmenying­
kirkannya.
Memang, teknokratisme ekonomi bang­
kit lagi bagai Lazarus di masa “deregulasi
dan debirokratisasi” ekonomi tahun 1980-
an, yang dipaksakan oleh jatuhnya harga mi­
nyak di pasaran internasional secara drastis.
Namun,hubungannyadengancita-citalibera­
lisasi politik tertentu sudah lama berangsur
terputus.
Perkataan BenAnderson pada tahun 1992
itu, ada benarnya jika ditilik secara lebih so­
siologis. Kelahiran Prisma dimungkinkan
oleh adanya suatu konteks sosio-historis ter­
tentu dalam perkembangan bangsa. Sebagai
majalah atau jurnal, Prisma adalah respons
beberapa intelektual muda (bersama sejum­
lah seniornya) terhadap sebuah kondisi di
awal tahun 1970-an, yang waktu itu seakan-
akan menjanjikan berbagai jenis kemungkin­
an masa depan. Bagi mereka, masa depan
Indonesia terasa belum lagi tertulis saat itu.
Dengan kata lain, Prisma memang hadir
ditengah-tengah pergulatan yang sedang ber­
langsung untuk membentuk suatu social or-
der pasca-1966—yang ternyata bakal men­
jadi warisan paling kekal sepanjang masa
kekuasaaan Soeharto. Bila orang sekarang
banyak bicara tentang “oligarki” di Indone­
sia, misalnya, mereka sebenarnya merujuk
pada suatu struktur hubungan sosial dan
kekuasaan yang dibentuk dan dilanggeng­
kan pada masa Orde Baru itu sendiri.4
Perlu
pula diingat bahwa Prisma terbit untuk kali
pertama pada November 1971, tahun yang
sama dengan pemilihan umum pertama yang
diselenggarakan Orde Baru. Sebagaimana
“pesta-pesta demokrasi” berikutnya, pemilu
itu pun sejak awal sarat dengan intervensi
dan manipulasi oleh penguasa negara dan
berbagai aparatnya.
2 
Lihat, Onghokham, “Potret Cendekiawan Indonesia se­
bagaimana Terekam dalam Prisma”, dalam Prisma, Vol.
IX, No. 11, 1980, hal. 57-68.
3 
Lihat, Ali Moertopo, Dasar-dasar Pemikiran tentang
Akselerasi Pembangunan 25 Tahun (Jakarta: Yayasan
Proklamasi, Centre for Strategic and International Stu­
dies, 1973).
4 
Lihat, misalnya, artikel-artikel Prisma edisi “Demokra­
si di Bawah Cengkeraman Oligarki”, Vol. 33, No. 1,
2014.
Grace L dan Douglas K, Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965”
T O P I K
Jadi, secara agak paradoksal, Prisma la­
hir justru ketika arsitektur politik yang akan
menutup jalan bagi realisasi visi modernisa­
si pluralis sedang ditegakkan lewat Pemilu
1971 tersebut, mungkin tanpa disadari oleh
para pendiri Prisma sendiri. Edisi “Perke­
nalan” Prisma, misalnya, memuat artikel-
artikel tentang pembangunan ekonomi dan
politik (serta renungan tentang kaitan antara
keduanya) oleh Soedjatmoko dan Suhadi
Mangkusuwondo.5
Edisi itu juga memuat
tulisan ekonom Dorodjatun Kuntjoro-Jak­
ti—salah seorang pendiri LP3ES yang kelak
menjadi Menteri Koordinator Perekonomian
di masa Reformasi.6
Renungan-renungan
ter­sebut menjadi kedaluwarsa dalam bilang­
an beberapa tahun saja dengan adanya fusi
partai- partai politik 1973, peristiwa Malari
(Malapetaka Limabelas Januari) 1974, kebi­
jakan NKK-BKK (Normalisasi Kehidupan
Kampus-BadanKoordinasiKemahasiswaan)
1978, dan lain-lain.
Namun demikian, Prisma masih me­
miliki kemampuan untuk berevolusi—hal
yang mungkin kurang diperhitungkan oleh
Anderson. Dalam perjalanannya, Prisma
terkadang dapat bersuara sangat kritis dan
lantang, baik terhadap model pembangunan
sosial-ekonomi-politik Orde Baru maupun
narasi sejarahnya. Bahkan, salah satu edisi
Prisma yang paling legendaris (dan laris)
adalah edisi biografi beberapa tokoh sejarah
Indonesia yang berasal dari spektrum politik
yang luas, diterbitkan dengan judul “Manu­
sia dalam Kemelut Sejarah” (No 8, Agustus
1977), dengan menampilkan tulisan-tulisan
Abu Hanifah, Alfian, Aminuddin Rasyad,
Mohamad Roem, Mattulada, Mochtar Pabot­
tingi, Nugroho Notosusanto, Onghokham,
Taufik Abdullah, dan YB Mangunwijaya.
Tidak mengherankan jika Prisma men­
dapat beberapa kali teguran keras dari pe­
nguasa Orde Baru karena peran potensial­
nya dalam mengajukan suatu narasi sejarah
“tandingan.” Pada 1983, Prisma dianggap
terlalu menyoroti dan “mengangkat” peran
kaum “Kiri” dalam sejarah Indonesia lewat
berbagai artikel para cendekiawan yang per­
nah dan direncanakan dimuat oleh jurnal
ini. Artikel-artikel tersebut, dan sebagian
penulis­nya,dinilaibertentangande­ngannara­
si sejarah modern Indonesia yang waktu itu
tengah dalam proses pembakuan oleh peja­
bat dan ideolog negara. Proses tersebut dapat
dilihat dalam buku teks pelajaran sekolah
maupun lewat karya ilmiah yang diterbitkan
oleh beberapa tokoh, seper­ti Menteri Pendi­
dikan dan Kebudayaan sekaligus sejarawan,
Nugroho Notosusanto, yang mengedepankan
peran militer dalam perkembangan bangsa.7
Sebagai hasilnya, yang kemungkinan ti­
dak direncanakan oleh para pengelolanya,
Prisma kemudian menangkap kegelisahan
generasi muda dan intelektual baru, yang
tidak mempunyai kaitan langsung dengan
gejolak sosial-politik yang melahirkan Orde
Baru. Sebagian besar pembaca Prisma pada
tahun 1980-an adalah anak-anak muda dari
pelbagai perguruan tinggi atau aktivis LSM
(lembaga swadaya masyarakat) dan ber­bagai
jenis organisasi lainnya. Proses sosialisasi
politik mereka waktu itu sudah berjarak
hampir dua dekade dari proses sosialisasi
politik yang dialami para intelektual muda
yang turut mendirikan Orde Baru, meski se­
bagian kemudian beranjak menjadi pengkri­
tiknya yang tajam.
Pada 1987, di bawah nakhoda Masmi­
mar Mangiang, Prisma menerbitkan sebuah
edisi tentang “kaum muda” yang sekali lagi
5 
Lihat, Soedjatmoko, “Problim dan Prospek Pembangun­
an”, dalam Prisma, edisi Perkenalan, Nomor 1, Novem­
ber 1971; Suhadi Mangkusuwondo, “Faktor2 Non-Eko­
nomi dalam Penetuan Sasaran dan Tjara Pendekatan
Pembangunan”, dalam Prisma, edisi Perkenalan, Nomor
1, November 1971.
6

Lihat, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, “Suatu Hipotesa
Tentang Pengaruh Faktor2 Non-Ekonomi atas Faktor2
Ekonomi”, dalam Prisma, edisi Perkenalan, Nomor 1,
November 1971.
7 
Lihat, misalnya, Marwati Djoened Poesponegoro dan
Nugroho Notosusanto (eds.), Sejarah Nasional Indone-
sia, 6 Jilid (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1975).
Vedi R Hadiz, Memotret Indonesia Lewat Prisma
Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021
T O P I K
mendapatkan teguran dari birokrasi negara
karena dituduh bernada menghasut pemu­
da untuk memberontak. Pada titik sejarah
tersebut, posisi aktivis mahasiswa sudah
sedemikian terpinggirkan, sehingga cara edi­
si tersebut menangani masalah kepemudaan
dan kemahasiswaan tak pelak amat berbeda
dengan edisi tahun 1973 ataupun 1977 yang
menggeluti tema serupa. Pemuda dan maha­
siswa 1980-an yang menjadi objek bahasan
pun cenderung memandang diri sebagai kor­
ban arsitektur politik Orde Baru. Berbeda
dengan anggota generasi sebelumnya yang
sempat mempunyai persepsi diri sebagai
mitra rezim yang kemudian menuntut hak-
haknya.
Di lain pihak, nuansa teknokratis tetap
melekat pada Prisma. Hal tersebut tidak
kurang karena beberapa orang yang dekat
dengan teknokrasi Orde Baru tetap mem­
punyai peran penting dalam organisasi in­
duknya, LP3ES, seperti Sumitro Djojoha­
dikusumo atau Emil Salim. Walakin, dalam
mengekspresikan sudut pandang bernuansa
teknokratis itu, Prisma sesungguhnya kian
memberi dan membuka ruang untuk sejenis
kritik internal rezim yang mewarnai perkem­
bangan Orde Baru itu sendiri dan biasanya
muncul dari kalangan ekonom atau para
pelaku/pembuat kebijaksanaan pembangun­
an ekonomi. Karena itu, Prisma tetap men­
jadi tempat memuat buah pikiran tokoh se­
perti Anwar Nasution, kelak menjadi salah
satu Wakil Gubernur Bank Indonesia, yang
menulis artikel tentang masalah-masalah
pembangunan di Dunia Ketiga8
–dalam cara
amat berbeda dengan Adi Sasono, misalnya,
yang mengedepankan teori ketergantungan
neo-Marxian.9
Di masa hebohnya “deregula­
si dan debirokratisasi”, ekonom yang saat itu
sedang naik daun, Sjahrir, cukup terasa pe­
ngaruhnya terhadap perencanaan edisi-edisi
Prisma tentang masalah kebijakan ekonomi
dan pembangunan.
Perkembangan lain yang menarik adalah
semakin terlibatnya Prisma dalam perde­
batan tentang hubungan antara agama, ma­
syarakat, dan negara, seperti pada edisi-edisi
yang masing-masing terbit pada 1975 (yang
menampilkan figur Abdurrahman Wahid
muda), 1982, 1984, 1988, dan 1995.10
Per­
hatian tersebut berlanjut pada masa Prisma
“baru”, atau tahun 2009 ke atas, sebagaima­
na terlihat dalam edisi tentang “Islam dan
Dunia”.11
Ada dua penyebab utama perkembang­
an itu. Pertama, perubahan internal yang
perlahan-lahan berlangsung dalam tubuh
LP3ES, yakni makin banyaknya (dan makin
bertambahnya pengaruh) staf yang berlatar
belakang organisasi seperti HMI atau PMII
(salah satu di antaranya Fachry Ali) yang
menyumbang beberapa tulisan untuk Pris-
ma. Kedua, meningkatnya semacam proses
Islamisasi kultural yang terjadi di Indonesia,
terutama sejak tahun 1980-an dan 1990-an,
yang juga banyak memengaruhi karakter so­
siologis sebagian pembaca Prisma.
Walaupun demikian, pendapat bahwa
pe­­ngaruh Prisma sebagai ladang pemikiran
berangsur-angsur merosot sejak pertengah­
an dasawarsa 1980-an hingga akhir tahun
1990-an tidak­lah keliru. Aspek-aspek dari
konteks sosial yang ditanggapi oleh Prisma
sudah banyak berubah dengan cara yang se­
dikit banyak tidak menguntungkannya. Pada
masa tersebut, pers cetak Indonesia te­ngah
ber­­­kembang dengan pesat diikuti oleh pe­
luncuran beberapa stasiun televisi swasta.
8 
Anwar Nasution, “Masalah Ekonomi Internasional Du­
nia Ketiga 1984 dan Prospek 1985” dalam Prisma, Vol.
14, No. 1, 1985, hal. 43-53.
9

Adi Sasono, “Tesis Ketergantungan dan Indonesia”, da­
lam Prisma, Vol. 9, No. 12, Desember 1980, hal. 73-86.
10 
Lihat, Abdurrahman Wahid, “Menjadikan Hukum Is­
lam sebagai Penunjang Pembangunan”, dalam Prisma,
edisi “Iman, Amal, dan Pembangunan”, Vol. 4, No.
4, 1975; Prisma edisi “Agama dan Revolusi”, Vol. 9,
No.9, 1982; Prisma edisi “Islam Mencari Model Poli­
tik”, Vol. 13, No. 3, 1984; Prisma edisi “Sejarah Politik
Islam”, Vol. 17, No. 5, 1988; Prisma edisi “Islam Poli­
tik dan Islam Kultural”, Vol. 24, No. 5, 1995.
11 
Lihat, Prisma edisi “Islam dan Dunia: Perjumpaan di
Tengah Perbenturan”, Vol. 29, No. 4, 2010.
Grace L dan Douglas K, Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965”
T O P I K
Hal itu mengubah pola konsumsi gagasan,
terutama di kalangan kelas menengah ter­
didik perkotaan yang juga sedang tumbuh
pesat. Mereka cenderung tidak sabar mem­
baca analisis dalam artikel-artikel Prisma
yang relatif panjang, serta dilengkapi dengan
catatan kaki dan referensi yang banyak. Ko­
lom-kolom opini yang tersedia di berbagai
surat kabar dan majalah berita sepanjang
sekian ratus kata tampaknya sudah cukup
memenuhi kebutuhan mereka.
Para calon penulis juga semakin senang
dan sering menyumbangkan artikel pendek
di surat kabar dan majalah berita, sebab le­
bih mudah ditulis dalam tempo relatif cepat
dan mendapatkan imbalan keuangan yang
juga relatif lebih besar. Di kemudian hari,
mereka pun berlomba-lomba untuk masuk
acara televisi swasta—terkadang lebih terke­
san guna mendongkrak popularitas pribadi
ketimbang menyumbangkan pemikiran yang
mendalam.
Akhirnya Prisma, berhenti terbit untuk
waktu yang lama sejak tahun 1998. Memang
sebuah ironi bahwa di tahun gejolak Refor­
masi, ketika suatu pergulatan besar terjadi
lagi untuk menentukan arah perjalanan se­
jarah Indonesia, Prisma justru “mati suri”.12
Prisma seolah-olah lengser bersamaan de­
ngan lengsernya Soeharto, suatu hal yang
seper­ti­nya menggarisbawahi bagaimana
majalah tersebut betul-betul adalah anak za­
mannya. Baru pada tahun 2009, atas prakarsa
Daniel Dhakidae, yang boleh disebut sebagai
mantan pemimpin redaksi di masa puncak
kejaya­annya, Prisma hadir lagi dalam belan­
tara perdebatan intelektual Indonesia.Walau­
pun terpaut satu dekade dengan berakhirnya
Orde Baru, Prisma yang “bangun” kembali
memang mendapatkan nafas dari lingkungan
baru yang menyertai proses demokratisasi
di Indonesia. Meskipun demikian, ia lebih
tepat dimaknai sebagai produk lingkungan
sosial yang ditandai kegagalan pencapaian
sebagian cita-cita Reformasi tersebut.
Memang agak berlebihan untuk men­
daku bahwa Prisma hadir kembali dikare­
nakan suatu kebutuhan yang ditimbulkan
oleh pencarian arah baru untuk Indonesia
yang sempat menyertai tumbangnya rezim
Soeharto pada 1998. Ketika Prisma kembali
hadir pada 2009, euforia Reformasi sudah
lama surut. Prisma justru muncul untuk di­
baca oleh generasi yang mengalami keke­
cewaan dengan hasil-hasil perjuangan Re­
formasi—yang sudah mulai menumpuk dan
menyebar ke berbagai pelosok masyarakat.
Kalaupun demokrasi telah tertanam kuat di
Indonesia, adalah sejenis demokrasi yang
masih didominasi kekuatan-kekuatan oligar­
kis. Oligarki itu bertahan sebagai perseku­
tuan antara kepentingan politik-birokratis
dan modal besar—yang awalnya dipelihara
oleh Orde Baru dalam kerangka politik otori­
tarian—tetapi ternyata masih bisa berjaya
dalam alam demokratisasi.13
Cita-cita keadilan sosial yang sempat
menyertai harapan-harapan demokratisasi
sudah agak lama tenggelam dengan terus
melebarnya jurang kaya-miskin dan marak­
nya pola-pola akumulasi modal berlandas­
kan korupsi atau berbagai variasi kegiatan
rampok dan rampas yang terlindungi secara
politik. Tidak mengherankan bahwa edisi
Prisma “baru” yang muncul kali pertama
pada 2009—dalam suasana krisis ekonomi
paling serius yang dialami oleh kapitalisme
global—“menyalurkan” antusiasme para
12 
“Mati suri” istilah yang sangat tepat. Prisma berhenti
terbit sejak edisi terakhir September 1998 dan terbit
kembali Juni 2009, namun berbagai edisi Prisma lama
(1971-1998) yang masih tersisa tetap diedarkan oleh
Penerbit LP3ES serta diperjualbelikan oleh berbagai
toko buku konvensional di beberapa kota. Dalam arti
itu, Prisma sebenarnya masih berada dalam “ingatan
kolektif” para pembaca tradisionalnya, bahkan dicari
dan diburu oleh beberapa kelompok mahasiswa dari
generasi yang lahir di awal milenial. Di era digital saat
ini, Prisma lama masih diperjualbelikan via berbagai
platform digital.
13 
Lihat, Richard Robison dan Vedi R Hadiz, Reorganis-
ing Po­wer in Indonesia: The Politics of Oligarchy in
an Age of Markets (London dan New York: Routledge­
Curzon, 2004).
Vedi R Hadiz, Memotret Indonesia Lewat Prisma
Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021
T O P I K
pengelola jurnal terhadap ide “senja kala
kapitalisme.”
Mungkin Ben Anderson hanya benar se­
bagian ketika bicara sambil lalu dengan saya
tentang Prisma di salah satu sudut Kota Mel­
bourne beberapa puluh tahun silam. Kalau­
pun sudah lama tidak lagi menjadi episen­
trum perdebatan pemikiran, Prisma tetap
berhasil menjadi alat potret perjalanan se­
jarah Indonesia sebagaimana terekam dalam
perkembangan gagasan para intelektual In­
donesia di berbagai bidang.
LewatPrisma,sebagianpembacapertama
mengenal kritik terhadap kapitalisme dalam
tradisi neo-Marxian, termasuk dalam varian
teori dependensia ala Andre Gunder Frank,
yang disebut di atas, dan teori sistem-dunia
ala Immanuel Wallerstein. Beberapa penu­
lis yang pernah memimpin dan me­ngelola
Prisma, seperti M Dawam Rahardjo dan
Farchan Bulkin14
, menyediakan sejumlah
tulisanyangmemperkenalkankhalayakpem­
baca Prisma pada teori dan konsep yang lahir
dari perdebatan pembangunan di Amerika
Latin maupun Asia Selatan, termasuk karya
Hamza Alavi, sosiolog dari Pakis­tan. Prisma
juga memunculkan perdebatan tentang Eko­
nomi Pancasila yang melibatkan ekonom
Mubyarto dan Sarbini Sumawinata serta
sosiolog Arief Budiman.15
Perdebatan itu
memunculkan kesadaran tentang bagaimana
konsep yang tidak ingin diperdebatkan lagi
oleh negara, karena sudah diberikan makna
resmi, sebenarnya masih terbuka untuk kon­
testasi intelektual yang cukup sengit.
Lewat Prisma hingga ia sempat redup
di tahun 1998, pembaca dapat mengikuti
perkembangan gagasan di bidang kebudaya­
an, baik di Indonesia maupun secara lebih
luas sepanjang tahun 1980-an dan 1990-an.
Tulisan-tulisan Ignas Kleden memberikan
sarana untuk berjumpa dengan cara berpikir
tentang kebudayaan yang kritis dan dina­
mis—tidak cenderung statis sebagaimana
kebudayaan didefinisikan oleh negara, dari
Orde Baru hingga hari ini.16
Lewat Ariel
Heryan­to, dan penulis lain, pembaca juga
berkenalan dengan cara pandang kebudaya­
an yang banyak terinspirasi oleh teori-teori
pasca-modernisme dan pasca-strukturalis­
me.17
Karena itu, RZ Leirissa pun menyoroti
bagaimana Prisma semakin berperan dalam
mengedepankan perdebatan intelektual di In­
donesia di bidang kebudayaan sejak dekade
1980-an.18
Kehadiran kembali Prisma di tahun 2009
tentu membuka pintu untuk generasi penu­
lis yang lebih baru lagi. Di antaranya adalah
Airlangga Pribadi dan Inaya Rakhmani,
14 
Lihat, misalnya, Prisma edisi “Krisis Kapitalisme Du­
nia”, Vol. 12, No. 3, 1983; Prisma edisi “Sektor Swasta
An­­tara Kesempatan dan Kesempitan”, Vol. 12, No. 7,
1983; Prisma edisi “Kerawanan Sistem Pertahanan”,
Vol. 12, No. 10, 1983; Prisma edisi “Kelas Menengah
Baru: Menggapai Harta dan Kuasa”, Vol. 13, No. 2,
1984; Prisma edisi “Negara atau Masyarakat”, Vol. 13,
No. 8, 1984.
15 
Lihat, Mubyarto. “Moral Ekonomi Pancasila”, dalam
Pris­ma, Vol. 10, No. 1, Januari 1981; Arief Budiman,
“Sis­tem Perekonomian Pancasila, Kapitalisme, dan
Sosialis­me”, dalam Prisma, Vol. 11, No. 1, Januari
1982; Sar­bini Sumawinata, “Sejarah Ekonomi Kita Se­
jarah Tanpa Perubahan”, dalam Prisma, Vol. 12, No.
8, 1983.
16 
Lihat, misalnya, Ignas Kleden, “Teori Ilmu Sosial se­
bagai Variabel Sosial”, dalam Prisma, Vol. 12, No.
6, 1983; Ignas Kleden, “Penelitian dan Kemampuan
Ilmu-ilmu Sosial Pelajaran dari Seminar Orientasi
Sosial Budaya”, dalam Prisma, Vol. 13, No. 1, 1984;
Ignas Kleden, “Model Rasionalitas Teknokrasi”, dalam
Prisma, Vol. 13, No. 3, 1984; Ignas Kleden, “Kualitas
Manusia Sebagai Persoalan Ilmu Sosial - Postskriptum
Sebuah Seminar”, dalam Prisma, Vol. 13, No. 9, 1984;
Ignas Kleden, “Kebudayaan: Agenda Buat Daya Cip­
ta”, dalam Prisma, Vol. 14, No. 1, 1985; Ignas Kleden,
“Pembaharuan Kebudayaan MengatasiTransisi”, dalam
Prisma, Vol. 14, No. 8, 1985; Ignas Kleden, “Berpikir
Strategis tentang Kebudayaan”, dalam Prisma, Vol. 16,
No. 3, 1987; Ignas Kleden, “Kebudayaan Pop: Kritik
dan Pengakuan”, dalam Prisma, Vol. 16, No. 5, 1987.
17 
Lihat, misalnya, Ariel Heryanto, “Berjangkitnya Ba­
hasa-Bangsa Indonesia”, dalam Prisma, Vol. 18, No.
1, 1989; Ariel Heryanto, “Kelas Menengah Indonesia:
Tinjauan Kepustakaan”, dalam Prisma, Vol. 19, No. 4,
1990;
18 
Richard Zakaria Leirissa, “Prisma dalam Dasawarsa
1980-an”, dalam Prisma, Vol. 23, No. 1, Januari 1994,
hal. 83-91.
Grace L dan Douglas K, Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965”
T O P I K
yang kini direkrut sebagai anggota Dewan
Redaksi Prisma. Tulisan mereka pun hadir
dalam edisi peringatan ulang tahun ke-50
Prisma ini. Menariknya, para penulis baru
itu ternyata harus bergelut dengan banyak
masalah “lama” yang ternyata masih ber­
tahan atau tetap hadir dalam manifestasi
agak baru. Kehadiran masalah “baru tetapi
lama” tersebut mungkin turut menjelaskan
bagaimana Prisma masih relevan dari za­
man ke zaman; lebih tepatnya, bagaimana
Prisma dapat melampaui (transcend) zaman
yang melahirkannya. Tema dan masalah be­
sar yang dihadapi Indonesia ternyata belum
banyak berubah dalam waktu setengah abad
terakhir ini, meski sudah terjadi pergeseran
dari otoritarianisme yang ketat ke demokrasi
yang terdesentralisasi.
Namun demikian, Prisma tetap hadir
kembali dalam konteks umum yang telah
mengalami beberapa perubahan signifikan.
Pertama, dahulu Prisma hampir tidak mem­
punyai saingan yang berarti sebagai jurnal
ataumajalahpemikiranmasalahpembangun­
an dan ilmu sosial. Sekarang, setidaknya se­
jak tahun 2000, hampir setiap fakultas ilmu
sosial, bahkan jurusan di dalamnya, di ber­
bagai perguruan tinggi di Indonesia sudah
mempunyai jurnal sendiri. Banyak di antara
mereka terdaftar di Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, sehingga mampu memberi­
kan kredit yang diperlukan untuk para dosen
yang beraspirasi naik pangkat akademis. Se­
bagai penerbitan yang tidak terkait dengan
institusi pendidikan tinggi, kultur seperti itu
agaknya masih agak asing buat Prisma, se­
hingga mengurangi daya tariknya bagi calon
penulis masa kini yang berprofesi dosen. Se­
lain itu, sangat banyak blog, website, online
journal dewasa ini memberikan ruang bagi
tulisan-tulisan yang dahulu mungkin hanya
ditujukan untuk dimuat Prisma. Dalam hal
ini, Prisma agaknya masih mengalami ke­
sulitan untuk menancapkan kehadirannya
dalam belantara perdebatan pemikiran yang
kini banyak terjadi di dunia maya.
Di sini, perlu ditekankan ulang bahwa
masalah-masalah yang ditangani generasi
penulis baru Prisma sering kali merupakan
manifestasi “baru” dari tema-tema “lama.”
Tema dalam edisi ulang tahun ke-50 Pris­ma
ini digarap oleh barisan penulis, yang untuk
sebagian besar, mengalami sosialisasi politik
mereka di akhir masa Orde Baru atau bahkan
sepenuhnya di masa Reformasi.
Farid Gaban menulis artikel yang menin­
jau secara kritis model pembangunan ekono­
mi yang kini ditempuh di masa Reformasi,
dibandingkan dengan model yang sempat
“berseteru” di masa Orde Baru. Tulisannya
membahas pasang surut teori pembangunan
dan bagaimana Prisma memainkan peran
dalam perdebatan di antara para pengan­
jurnya. Farid Gaban juga mengkaji pendekat­
an alternatif pembangunan yang berkembang
sejak berakhirnya zaman Soeharto, terutama
persoalan pembangunan berkelanjutan dan
krisis iklim. Tulisan itu tentu akan meng­
ingatkan pembaca setia Prisma yang sudah
berumur pada berbagai edisi sebelumnya,
termasuk edisi-edisi tahun 1979 dan 1980,
yang membandingkan berbagai model pem­
bangunan (dan sejumlah “isme”) yang dini­
lai layak untuk Indonesia.
Dalam tulisannya masing-masing Inaya
Rakhmani dan Airlangga Pribadi memerik­sa
hubungan intelektual dan perkembangan so­
sial-politik di Indonesia, sebuah tema yang
juga pernah digeluti Prisma dalam beberapa
edisi sepanjang sejarahnya. Penulis perta­
ma meninjau bagaimana intelektual secara
umum, dan peran Prisma khususnya, dalam
memahami secara kritis masalah ketimpang­
an sosial-ekonomi yang hingga kini masih
membelit Indonesia. Penulis kedua mem­
bahas masalah lebih luas mengenai peran
Prisma dalam menelaah wacana ilmu pe­
ngetahuan sosial dalam konteks hubungan
kekuasaan domestik dan internasional yang
turut membentuk wacana tersebut. Pen­ting
untuk diingat bahwa Aswab Mahasin dan
Ismid Haddad, keduanya pernah menjadi
Direktur LP3ES dan pengelola Prisma,
menyunting buku cukup terkenal berjudul
Cendekiawan dan Politik (1983), sementara
Daniel Dhakidae menelurkan magnum opus-
Vedi R Hadiz, Memotret Indonesia Lewat Prisma
10 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021
T O P I K
nyayangberjudulCendekiawandanKekuasa­
an dalam Negara Orde Baru (2003).
Fachru Nofrian, Redaktur Ekonomi Pris­
ma pasca-2009, menyumbangkan tulisan
sangat aktual mengenai pengaruh pandemi
Covid-19 terhadap pembangunan ekonomi
Indonesia, khususnya dalam konteks pe­
rubahan konstelasi ekonomi-politik inter­
nasional. Sekali lagi, bagi pembaca Prisma
lama, tulisan itu untuk sebagian akan meng­
ingatkan pada persoalan-persoalan lebih
menghadap “keluar” Indonesia yang pernah
ditonjolkan oleh beberapa edisi Prisma se­
jak 1970-an hingga absen pada tahun 1998.
Edisi semacam itu sebenarnya relatif jarang
keluar dibandingkan edisi yang cenderung
melihat Indonesia dalam perspektif hampir
sepenuhnya “dari dalam.”
Tulisan itu kemudian diikuti oleh Esai
yang ditulis oleh Kamala Chandrakirana,
tokoh feminis veteran yang membahas ma­
salah gerakan perempuan dan kesetaraan
gender. Walaupun ada beberapa edisi Prisma
yang menyoroti tema serupa di masa lalu
(misalnya, pada 1981 dan 1991), dalam ke­
nyataannya perhatian yang dicurahkan pada
persoalan-persoalan terkait masih cenderung
minim dalam setengah abad kehadiran Pris-
ma. Alasan persisnya mungkin perlu dire­
nungkan Dewan Redaksi Prisma yang kini
sedang bertugas.
Tulisan berikutnya yang ditulis Grace
Leksana bersama Douglas Kammen mem­
bawa Prisma berurusan lagi dengan salah
satu tema favoritnya: problematika interpre­
tasi sejarah. Secara khusus, tulisan mereka
meninjau skripsi, tesis, dan disertasi yang
dihasilkan oleh perguruan tinggi di Jawa
perihal Peristiwa 1965. Mereka menemukan
bahwa skripsi, tesis, dan disertasi semacam
itu semakin banyak jumlahnya sejak masa
Reformasi dan berusaha untuk memahami
signifikansi fenomena tersebut.
Terakhir, sumbangan tulisan Bosman Ba­
tubara dan Eka Handriana meninjau kembali
suatu tema yang sebenarnya juga menjadi
langganan perhatian Prisma, hingga pada
edisi yang baru lalu, yakni urbanisasi dan
tata kelola ruang perkotaan. Namun, artikel
ini menaruh perhatian khusus pada persoal­
an-persoalan ekologis berkait lewat dialog
dengan analisis-analisis sebelumnya yang
pernah diterbitkan Prisma, sambil berusaha
menawarkan suatu perspekfif baru.
Sebagaimana dikemukakan di atas, Pris-
ma di masa awalnya didirikan untuk me­
nyambut berbagai kemungkinan yang semu­
la diharapkan masih terbuka untuk masa
depan Indonesia di tahun-tahun pertama
Orde Baru. Sejumlah harapan tersebut cepat
kandas dalam kenyataannya, tetapi Prisma
mampu berevolusi. Kini sudah setengah
abad dilalui Prisma, walaupun sempat mati
suri sepanjang satu dekade antara 1998 dan
2009.
Dewasa ini Indonesia mengalami sejum­
lah, sekali lagi, tantangan “baru tapi lama.”
Tantangan-tantangan tersebut–seperti model
pembangunan, sistem politik, kesenjangan
sosial, ancaman terhadap lingkungan hidup,
daya tahan sistem kesehatan, pendidikan,
demokratisasi, kesetaraan gender, bentuk-
bentuk solidaritas dan fragmentasi dalam
masyarakat, posisi agama dalam masyara­
kat, ketenagakerjaaan, masa depan kaum
muda–sudah pernah ditangani Prisma le­
bih dari satu kali. Akan tetapi, kini mereka
semua hadir dengan tingkat keterpautan
de­ngan perkembangan tingkat global yang
tanpa preseden.
Adalah tantangan Prisma untuk tetap
mampu menjadi alat potret perkembangan
masyarakat Indonesia dan pergulatan pe­
mikiran tentang masa depannya. Terlebih
karena Reformasi di Indonesia baru mampu
melahirkan demokrasi yang cacat dan marak
korupsi, sementara cita-cita keadilan sosial
yang menyertainya tampak makin menjauh
dari kemungkinan terwujud. Persoalan bagi
Prisma adalah bagaimana menempatkan diri
dalam konteks seperti itu. Posisi apa pun
yang diambil terhadap demokrasi kita, yang
terkadang sangat bersemangat, hampir se­
lalu beririsan dengan korupsi seraya menge­
nyampingkan keadilan sosial, kecuali dalam
retorika aktor-aktor­nya yang bebal.l
11
Grace L dan Douglas K, Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965”
T O P I K
Dari Kutukan Rostow ke Model Baru
Pembangunan
Farid Gaban
Sebagaisebuahmanifestonon-komunis(bahkananti-komunisdalamkonteksPerangDi­ngin),
karya WW Rostow tentang tahap-tahap pertumbuhan ekonomi (1960) menjadi doktrin pem-
bangunan yang diyakini mampu membawa negara-negara bekas jajahan, seperti Indonesia,
menempuh jalan modernisasi menuju masyarakat adil dan makmur. Namun, modernisasi
dalam sistem kapitalisme tersebut terbukti gagal memenuhi janjinya. Bahkan, kurang dari
dua dasawarsa sejak Orde Baru memapankan diri, kritik terhadap model pembangunan
yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi makin keras berkumandang, terutama tecermin
dalam pergulatan pemikiran, pendirian, serta debat yang muncul dari berbagai tulisan dan
penulis di Prisma selama setengah abad. Walaupun doktrin Rostow bangkit kembali dalam
wujud paling banal, yakni keyakinan mutlak pada idealisasi kapitalisme pasar, namun sejak
Prisma terbit kembali pada 2009, beberapa alternatif model pembangunan mulai menam-
pakkan diri, terutama didorong oleh krisis sosial-ekologi yang dipicu ketimpangan sosial
dan perusakan alam.
Kata Kunci: ketimpangan sosial, krisis, lingkungan, neoliberalisme, pembangunan
aniel Dhakidae meratap dan meng­
gugat. Wabah korona, kata dia,
te­­lah menelanjangi umat manusia
dan kemanusiaan setidaknya dalam dua hal:
wajah munafik neoliberalisme dan betapa
kerdil manusia yang terjatuh sekadar men­
jadi homo consumens—manusia tukang
konsum­si.
Koronamenghancurkanpahamneoliberal­
ketika perusahaan-perusahaan swasta raksa­
sa, yang sebelumnya merasa berada di atas
angin, bersujud minta ampun dihadapkan
pada ancaman kebangkrutan. Menelan ludah
khotbah supremasi pasar, mereka meminta
negara turun tangan membantu.
Korona menelanjangi homo consumens,
kata Daniel Dhakidae, namun belum sam­
pai menghancurkannya. Sudah sangat lama,
sistem ekonomi neoliberal membentuk ma­
nusia sekadar menjadi tukang konsumsi;
manusia dinilai dari seberapa banyak dia
diasosiasikan dengan pasar, serta seberapa
banyak dia membeli dan mengonsumsi.
Akibat wabah, kegiatan konsumsi sebagian
besar orang terhambat, namun pada saat
yang sama kapasitas konsumsi segelintir
orang justru makin besar. Itu mencerminkan
ketim­pangan akses terhadap sumber-sumber
ekonomi di satu sisi dan penormalan korup­
si-kolusi oleh kelompok elite oligark di sisi
lain.
Dua hal itu punya konsekuensi mendalam
pada watak politik, demokrasi dan hubungan
sosial yang menyeret kita makin jauh dari
cita-cita republik. Homo consumens, kata
Daniel Dhakidae, “mengabaikan satu sisi be­
sar manusia dalam masyarakat, yaitu homo
republicus, pengembang nilai-nilai repu­
D
12 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021
T O P I K
blikan, republican values, seperti kesamaan
hak menuju keadilan.” Nilai-nilai kesamaan
menuju keadilan itu untuk waktu sangat lama
sudah ditinggalkan dan terabaikan.1
Dengan itu, Daniel Dhakidae, salah satu
editor terlama Prisma, seperti ingin mengi­
ngatkan kembali betapa keliru negeri ini
mengabaikan pesan kritis bertahun-tahun
yang disampaikan jurnal ini terhadap model
pembangunan sejak awal Orde Baru, seka­
ligus memberi kita bekal dalam merumuskan
format baru pembangunan yang lebih baik.
Dalam bahasa yang lebih lugas dari tu­
lisan-tulisan pada masa kejayaan Orde Baru,
Daniel Dhakidae dan beberapa penulis Pris-
ma beberapa tahun belakangan ini menyim­
pulkan betapa tersesat model pembangunan
yang kita anut, baik di tingkat nasional mau­
pun global. Tersesat ketika hasilnya justru
berkebalikan dengan nilai-nilai baik homo
republicus tadi: “Senjakala Kapitalisme 
Krisis Demokrasi”2
atau “Perselingkuhan
Bisnis  Politik Kapitalisme Indonesia Pas­
ca-Otoritarianisme”.3
Akan tetapi, ulasan tentang kebang­krutan
kapitalisme sebenarnya tidak baru di Pris-
ma. M Dawam Rahardjo, editor tangguh
lain di Jurnal Prisma, sudah menulis “Krisis
Kapitalisme?” pada 1983.4
Meski me­ngutip
tulisan Bung Hatta yang lebih lugas (Krisis
Ekonomi dan Kapitalisme, 1934), ulasan
Dawam tampak masih ragu-ragu atau dia
mung­kin menenggang arus-besar paham
ekonomi waktu itu. Indonesia mengalami
pasang naik neoliberalisme yang makin
agresif pada awal dasawarsa 1980-an itu,
mes­ki prosesnya sendiri sudah dimulai sejak
awal Orde Baru berdiri.
Bahkan, tanpa korona, sudah banyak pre­
diksi bahwa dunia akan menghadapi krisis
ekonomi besar pada 2020, siklus yang ham­
pir rutin 10-tahunan. Krisis sebelumnya ter­
jadi pada 1988 (Black Monday), 1998 (Kri­
sis Asia), dan 2008 (Krisis Mortgage).
Memang tidak terjadi krisis besar pada
2018. Namun, sejumlah pengamat me­
nyatakan krisis akan datang juga, meski ter­
lambat, yakni pada tahun 2020-2021 ini. Ko­
rona, yang kini datang tiba-tiba, tak hanya
mempercepat realisasi krisis tadi, tetapi juga
memicu dampak yang jauh lebih luas dan
mendalam hanya dalam hitungan bulan.
Keluasan dan kedalaman krisis itu bah­
kan belum sepenuhnya bisa kita takar. Dana
Mone­ter Internasional (IMF) sendiri menye­
but ancaman krisis ekonomi kali ini yang
terburuk sejak Depresi Besar (Great Depres-
sion),krisisekonomiglobalpadatahun1930-
an, yang juga pernah dibahas oleh Bung Hat­
ta. Depresi Besar tadi, menurut Bung Hatta,
adalah “krisis yang muncul bersama-sama
dengan timbulnya sistem kapitalisme.”
Bagaimanapun juga, krisis demi krisis
pada dua dasawarsa terakhir memperluas
pengangguran dan kemiskinan, yang pada
gilirannya membawa dampak multidimensi
makin mendalam: sosial, budaya, pangan,
kese­hatan, dan keamanan. Seperti kata Da­
niel Dhakidae, korona makin parah memo­
rakporandakan semua itu.
Wabah itu memaksa orang merenungkan
hal yang lebih mendasar, tak hanya tentang
ekonomi dan politik, namun bahkan tentang
aspek hakiki dari agama, tentang spirituali­
tas, ketika orang justru dilarang pergi ke
masjid atau gereja, ketika ibadah haji dan
umroh atau misa Paskah ditiadakan.
Di sisi lain, wabah korona sebaliknya
membawa berkah bagi alam ketika manusia
terpaksa menahan diri dari menjadi homo
consumens: kurang polusi dan pencemaran,
berhentinya aktivitas ekonomi yang merusak
alam, turunnya emisi karbon, pulihnya kem­
bali lapisan ozon yang memicu pemanasan
global, serta kemunculan kembali satwa-
satwa liar di sungai, kebun dan laut, ketika
manusia mengurung diri di dalam rumah.
Di samping membawa tragedi, setiap kri­
1 
Daniel Dhakidae, “Krisis Korona, Homo Consumens,
dan Homo Republicus”, dalam Prisma, Vol. 39, No. 3,
2020, hal. 2.
2
Lihat, Prisma, Vol. 28, No. 1, Juni 2009.
3
Lihat, Prisma, Vol. 32, No. 1, 2013.
4 
Lihat, M Dawam Rahardjo, “Krisis Kapitalisme?”,
dalam Prisma, Vol. 12, No. 3, 1983, hal. 2.
13
Grace L dan Douglas K, Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965”
T O P I K
Farid Gaban, Dari Kutukan Rostow ke Model Baru Pembangunan
sis memberi kita peluang untuk introspeksi
dan koreksi. Makin besar krisis, makin men­
dasar koreksi yang harus dilakukan. Sudah
seharusnya, krisis kali ini juga memicu re­
nungan jauh lebih mendalam tentang sistem
ekonomi dan arah kebijakan pembangunan,
tidak hanya di tingkat daerah dan negara,
tetapi juga di tingkat global.
Kegagalan kita merumuskan arah pem­
bangunan dan kebijakan baru pascakorona,
tak hanya akan memperparah risiko krisis
di masa mendatang, tetapi juga kemampuan
dan daya tahan kita dalam menghadapi krisis
dunia yang kian serius.
Dari Krisis ke Skandal
Akan tetapi, seperti kata Daniel Dhakidae,
korona cuma menelanjangi kedok. Belum
sampai menghancurkan sistem maupun pola
pikir lama. Terobsesi pada pertumbuhan eko­
nomi dan investasi sejak periode pertama,
pemerintahan Jokowi cenderung menangga­
pi wabah korona dari pertimbangan ekonomi
ketimbang perspektif kesehatan masyarakat.
Pemerintah menerbitkan obligasi ratusan
triliun rupiah dengan motif utama membiayai
stimulus dunia usaha agar ekonomi cepat pu­
lih dari perlambatan dan kemunduran akibat
wabah. Dengan kata lain, pemerintah me­
numpuk utang baru untuk program pemulih­
an ekonomi nasional (PEN) yang sebagian
besar disalurkan lewat instrumen perbankan.
Itu mengingatkan kita pada “Skandal Bailout
Bank Century” pada Krisis 2008 dan “Skan­
dal BLBI” pada Krisis 1998.
Menyusul Krisis 1998, atas saran IMF
dan Bank Dunia, pemerintah menerbitkan
obligasi rekap (sekali lagi utang). Utang
dipakai untuk menyuntik bank-bank sakit,
baik milik pemerintah maupun milik para
kong­lomerat raksasa. Obligasi rekap berjasa
memulihkan ekonomi, tetapi juga di sisi lain
memicu ketimpangan. Pada akhir Pemerin­
tahan Susilo Bambang Yudhoyono, indeks
Gini Indonesia mencapai nilai tertinggi, arti­
nya ketimpangan ekonomi terburuk, sepan­
jang sejarah negeri ini.
Alih-alih mengoreksi penguasaan eko­
nomi oleh segelintir orang di era Orde Baru,
obligasi rekap justru memulihkan dan mem­
perkuat konsentrasi. Obligasi rekap berjasa
memulihkan ekonomi konglomerat. Mereka
yang nyaris bangkrut pada awal Reformasi,
kini kembali menjadi raksasa yang makin
digdaya dan makin menggurita.
Total obligasi rekap yang diterbitkan
pemerintah kala itu senilai Rp 430 triliun.
Namun, pemerintah harus membayar pokok
plus bunga sebesar Rp 600 triliun, keseluruh­
an menjadi Rp 1.000 triliun lebih. Peme­rintah
masih harus membayar itu sampai sekarang,
20 tahun kemudian. Belum lama lalu, adalah
Menteri Keuangan Sri Mulyani sendiri yang
meratap bahwa kita masih harus membayar
utang BLBI dan obligasi rekap sampai seka­
rang.5
Ketika pemerintah berutang, siapa lagi
yang membayar utang itu selain publik atau
warga negara. Porsi belanja (pengeluaran)
pemerintah pusat dalam beberapa tahun ter­
akhir menunjukkan peningkatan tajam dalam
pembayaran utang, dan sebaliknya penyusut­
an secara sigifikan belanja untuk subsidi
publik, khususnya di bidang kesehatan.
Tidak heran jika wabah korona kemudian
membuka kedok buruknya sistem dan layan­
an kesehatan kita. Bahkan, di masa normal,
kita masih kedodoran menangani penyakit
“tradisional” seperti TBC, malaria dan de­
mam berdarah dengue.
BLBI dan obligasi rekap adalah cerita
tentang pesta-pora para elite di atas beban
rakyat kebanyakan. Sebuah cerita kolosal
mencederai rasa keadilan, yang terlalu me­
malukan bahkan untuk dijadikan pelajaran
di sekolah-sekolah ekonomi.
Kebijakan elitis itu bahkan diulangi,
meski dalam skala jauh lebih kecil, ketika
5 
Lihat, “Sri Mulyani: Selama 22 Tahun Pemerintah Tang­
gung Bunga dan Pokok Utang BLBI”, dalam Kompas.
com - 27/08/2021.
14 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021
T O P I K
terjadi lagi krisis pada 2008, yakni ketika
uang negara (publik) dipakai untuk menyub­
sidi pemilik Bank Century. Hal tersebut se­
pertinya masih akan diulangi lagi sekarang
di tengah wabah korona, ketika pemerintah
menerbitkan “Pandemic Bond”, surat utang
khusus penanganan pandemi virus korona.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menga­
takan penyaluran dana pemulihan ekonomi
kali ini akan prudent, tepat sasaran dan se­
suai aturan. Akan tetapi, jika benar begitu,
mengapa Presiden Jokowi harus mengeluar­
kan peraturan pemerintah pengganti undang-
undang (Perppu) untuk mendukung tanpa
syarat kebijakan pemulihan ekonomi akibat
korona?
Salah satu isi terpenting Perppu Nomor 1
Tahun2020adalahmembebaskanparapelak­
sana dan pembuat kebijakan dari kemung­
kinan tuntutan hukum. Itu seperti memberi
blanko kosong kepada aparat pemerintah
untuk kemungkinan menyalahgunakan da­
lih “memulihkan ekonomi” demi kepenting­
an pribadi dan kelompok serta kepentingan
para kroni.
Kutukan Rostow dan Bank
Dunia
Indonesia tidak sendirian, baik sekarang
maupun di masa lalu. Menyusul Krisis 2008,
Pemerintah Amerika Serikat juga memakai
dana publik untuk menyubsidi lembaga-lem­
baga keuangan, di samping membebaskan
pajak perusahaan-perusahaan besar; pada
dasarnya menyelamatkan para konglomerat
dan Wall Street. Tidak hanya elitis, kebijakan
itu juga sebenarnya mengkhianati kredo para
penyokong kapitalisme pasar bebas sendiri
yang tidak membenarkan negara campur
tangan dalam urusan swasta (privat).
Menelan ludah sendiri, kini campur ta­
ngan negara dijustifikasi lewat teori “too big
to let fail”, bahwa perusahaan swasta terten­
tu, khususnya perbankan, begitu besar dan
saling terkait sedemikian rupa sehingga jika
mereka ambruk akan menyeret runtuh eko­
nomi negara. Itu sebabnya, pemerintah harus
membantu dan menyelamatkan mereka.
Kebijakan itu juga sering diperkuat oleh
teori “trickle down effect”, jargon ekonomi
sejak tahun 1970-an, yang percaya bahwa
jika kita membantu dan menyelamatkan
yang besar-besar, bantuan itu pada akhir­
nya akan menetes kepada yang kecil-kecil,
yang akhirnya menguntungkan dan menye­
lamatkan masyarakat secara keseluruhan.
Bebe­rapa kajian mutakhir mengungkapkan
bahwa trickle down effect cuma mitos eko­
nomi, sementara dampak negatifnya tak bisa
diabaikan.
Duateoriitubertanggungjawabatasmun­
culnya anggapan semu bahwa kelangsungan
hidup para konglomerat identik de­ngan ke­
pentingan negara, yang pada kenyataannya
cuma menjustifikasi kolusi antara politisi
dan penguasaha kroni.
Kebijakan tadi juga jelas memicu moral
hazard karena memanjakan para bankir serta
pemilik bank. Di sisi lain terlalu kuat mencer­
minkan bias-keuangan seraya mengabaikan
problem riil kemiskinan dan ketimpangan,
bahkan di Amerika Serikat sendiri.
Sepuluh tahun setelah bailout, Presiden
Amerika Serikat Barack Obama menyatakan
bahwa negerinya menghadapi problem ke­
timpangan dan kemiskinan yang makin kro­
nis, di tengah buruknya sistem kesehatan aki­
bat komersialisasi industri asuransi, farmasi,
dan rumah sakit swasta.
Fakta bahwa kini Amerika Serikat men­
derita kematian terbanyak akibat wabah
korona benar-benar membuktikan kekha­
watiran Obama beberapa tahun lalu. Dibum­
bui drama petualang politik Donald Trump,
korona seperti tengah menghancurkan
berkeping-keping “The American Dream”
yang menjadi role-model pembangunan In­
donesia sejak awal Orde Baru.
Tak lama setelah berkuasa, Soeharto
menggelar program ambisius Repelita, rang­
kaian pembangunan 5 tahunan yang diklaim
akan membawa Indonesia tinggal landas
menuju negeri maju. Konsep Repelita di­
15
Grace L dan Douglas K, Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965”
T O P I K
ambil tak lain dari gagasan Walt Whitman
Rostow (1916-2003), ekonom dan politikus
penasihat Presiden Amerika Serikat John
Fitz­­gerald Kennedy dan Lyndon Baines
Johnson.
Pada 1960, Rostow menerbitkan The
Stages of Economic Growth: A Non-Com-
munist Manifesto.6
Dalam buku terkenal itu,
Rostow menjabarkan lima tahap pertumbuh­
an ekonomi: masyarakat tradisional; persiap­
an untuk tinggal landas; tinggal landas;
me­­nujukematangan;danbermuarapadakon­
sumsi-massal tinggi (high mass-consump-
tion). Homo consumens yang digugat Daniel
Dhakidae sudah dimulai dari sini.
Doktrin Rostow diterjemahkan dalam
Repelita Orde Baru sejak 1969 (Repelita I)
hampir secara harafiah, lewat tangan-tangan
teknokrat yang berlatar belakang pendidikan
Berkeley University, Amerika Serikat. Di
sinilah menarik untuk mengamati bagaima­
na Prisma, yang memang tumbuh bersama
Orde Baru, terlibat dalam pergulatan kajian
dan teori pembangunan.
Sikap Prisma secara umum adalah men­
dukung secara kritis arah pembangunan Orde
Baru. Di satu sisi, Prisma memuat pemikiran
menteri-menteri “Mafia Berkeley” seperti
Ali Wardhana, Emil Salim, dan Mohammad
Sadli yang secara umum mempromosikan
mazhab baru pembangunan yang berorienta­
si pada pertumbuhan dan liberalisasi keuang­
an (membuka luas utang dan modal asing,
yang diundangkan sejak 1967). Di sisi lain,
Prisma juga menghadirkan pemikiran kritis
kaum intelektualindependen di luar pemerin­
tahan, seperti Dawam Rahardjo, Arief Bu­
diman, Adi Sasono, Sjahrir, Mubyarto, dan
Sarbini Sumawinata.
Di kalangan menteri Orde Baru, Emil Sa­
lim-lah yang punya otokritik paling kuat ter­
hadap mazhab pembangunan pemerintahan­
nya. Sudah sejak 1978 dia membahas tentang
pentingnya pembangunan berwawasan ling­
kungan, tentang pemerataan (1983), dan
bahkan tentang pembangunan bervisi perem­
puan/gender inclusive (1988).
Kritik dan perdebatan model pembangun­
an Orde Baru mencakup berbagai aspek,
salah satunya tentang pendekatan dasarnya
sendiri: kapitalisme dan developmentalisme.
Kritik dan wacana alternatif, antara lain,
datang dari tulisan Dawam Rahardjo tadi.
Dalam beberapa edisi, Dawam juga menu­
lis tentang pemerataan dan pentingnya kope­
rasi. Kritik lain datang dari Arief Budiman7
,
Mubyarto8
, Munawar Ismail9
, dan A Wisnu­
hardana.10
Aspek lain yang muncul dalam perdebat­
an adalah tentang ketergantungan pada mo­
dal/utang asing yang memang dominan men­
jadi sumber pendanaan pembangunan Orde
Baru. Kritik mendasar antara lain datang
dariAdi Sasono dan SrituaArif.11
Pada tahun
1980-an memang gencar orang membicara­
kan “teori ketergantungan” yang dipromosi­
kan oleh Andre Gunder Frank dan Samir
Amin. Teori itu percaya bahwa keterbe­
lakangan “dunia ketiga” bukanlah kekurang­
an modal atau bantuan, tetapi karena akibat
dari globalisasi sistem kapitalisme. Bahkan,
tema itu masih relevan dan hangat dibicara­
kan sampai sekarang.
Keraguan dan perdebatan terhadap keam­
puhan modal atau investasi asing juga ditu­
lis oleh beberapa penulis Prisma, termasuk
pertanyaan apakah modal asing, misalnya,
mendorong transfer teknologi yang pada
6 
Lihat, Walt Whitman Rostow, The Stages of Economic
Growth: A Non-Communist Manifesto (New York, AS:
The Syndics of the Cambridge University Press, 1960).
7 
Arief Budiman, “Sistem Perekonomian Pancasila Kapi­
talisme dan Sosialisme”, dalam Prisma, Vol. 11, No. 1,
1982, hal. 14-25.
8 
Mubyarto, “ Moral Ekonomi Pancasila”, dalam Prisma,
Vol. 10, No. 1, 1981, hal. 75-80.
9 
Munawar Ismail, “Pemerintah dan Pasar Kritik terhadap
Teori Ekonomi Pembangunan”, dalam Prisma, Vol. 23,
No. 1, 1994, hal. 25-35.
10 
A Wisnuhardana, “Ideologi Developmentalisme dan
Upaya Rekonstruksi”, dalam Prisma, Vol. 25, No. 4,
1996, hal. 94-96.
11 
Adi Sasono, “Ketergantungan dan Hutang Dunia Keti­
ga”, dalam Prisma, Vol. 12, No. 3, 1983, hal. 50-63; Sri­
tua Arif,­ “Teori Ekonomi dan Kolonialisme Ekonomi”,
dalam Prisma, Vol. 11, No. 1, 1982, hal. 26-34.
Farid Gaban, Dari Kutukan Rostow ke Model Baru Pembangunan
16 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021
T O P I K
akhirnya diharapkan memacu kemandirian
negeri penerima investasi.12
Puluhan tahun
sebelumnya, Alan M Strout, ekonom Massa­
chusettsInstituteofTechnology(MIT)menu­
lis di Prisma pada 1973. “Ketergantung­an
Indonesia terhadap modal dan bantuan asing
akan terus berlangsung sampai 1980-an, atau
mungkin lebih lama lagi”.13
Terbukti sampai
sekarang, Indonesia masih haus akan modal
asing untuk menopang pertumbuhan eko­
nomi, sementara manfaatnya makin diper­
tanyakan.
“Mantra tentang pentingnya investasi
­
asing,” menurut Dierk Herzer, ekonom dari
Goethe University, Jerman, “disandarkan
pada sejumlah mitos”.14
Herzer dan kawan-
kawan mengkaji data 28 negara berkembang
yang menonjol menerima investasi asing
(FDI - foreign direct investment), terma­
suk Indonesia. Pada sebagian besar negara,
menurut Herzer, tak ada kaitan antara FDI
dengan pertumbuhan ekonomi, baik jangka
pendek maupun jangka panjang. Hanya em­
pat negara (dari 28) yang memperoleh man­
faat jangka panjang pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu, tak ada kaitan sama sekali
antara FDI dengan peningkatan pendapat­
an per kapita maupun tingkat pengetahuan
(transfers pengetahuan, teknologi, dan kete­
rampilan manajemen). Transfer pengetahuan
yang dijanjikan FDI, menurut Herzer, adalah
ilusi. Perusahaan multinasional umumnya
merahasiakan paten dan informasi spesi­
fiknya. Bahkan, jika pengetahuan dan paten
dibuka, perusahaan domestik tak bisa belajar
dari multinasional karena keterbelakangan
teknologi dan sumber daya manusia.Alih-alih
memberi manfaat, menurut Herzer, investasi
asing justru memicu kerusakan serius dalam
ekonomi negeri penerima: eksploitasi sumber
daya alam murah; menjadikan warga negara
sekadar pasar alias konsumen; serta mem­
bunuh perusahaan-perusahaan domestik.
Orde Baru sudah menunjukkan, obsesi
pada investasi asing harus dibayar dengan
penindasan terhadap demokrasi, pengabaian
terhadap partisipasi masyarakat dari bawah,
turunnya penghargaan terhadap hak asasi
dan merajalelanya korupsi kaum elite (oligar­
ki). Itu tema yang masih relevan sampai seka­
rang, namun juga sudah banyak diperdebat­
kan di Prisma sejak awal Orde Baru.
Pada 1983, Prisma menghadirkan lapor­
an utama “Korupsi Dulu dan Sekarang” ser­
ta menampilkan, antara lain, tulisan Adnan
Buyung Nasution dan Bakir Hasan.15
Tema
itu muncul lima tahun sebelum diskusi ten­
tang “kapitalisme palsu” atau “kapitalis­me
kroni” (erzat capitalism), berkat buku Yo­
shihara Kunio.16
Kritik dan alternatif pemikiran tentang
merosotnya partisipasi publik juga sudah
disinggung hampir bersamaan dengan itu:
Sigid Putranto Kusumowidagdo dan Sa­
jogyo.17
Di samping kritik, Prisma juga
me­nawarkan alternatif-alternatif pemikiran
pembangun­an yang cukup radikal, seperti
pendekatan “kebutuhan dasar” (basic needs
approach). Pendekatan itu dirintis oleh
Organi­sasi Perburuhan Internasional (ILO)
pada 1976 dan dipromosikan di Indonesia
12 
Lihat, Todung Mulya Lubis, “Alih Teknologi antara
Harapan dan Kenyataan”, dalam Prisma, Vol. 16, No.
4, 1983, hal. 3-15; Mohammad Anwar Ibrahim, “Seki­
las Per­kembangan Alih Teknologi di Indonesia”, dalam
Prisma, Vol. 16, No. 4, 1987, hal. 18-28; M Daud Si­
lalahi, “Rencana UU Alih Teknologi Perbandingan
Perspektif”, dalam Prisma, Vol. 16, No. 4, 1987, hal.
39-46.
13 
Alan M Strout, “Modal Asing dan Pertumbuhan Eko­
nomi Indonesia”, dalam Prisma, Vol. 2, No. 1, 1973,
hal. 55-66.
14 
Lihat, Stephan Klasen, Dierk Hedrzer, dan Felicitas
Nowak-Lehmann D, “In search of FDI-led Growth in
Developing Countries”, dalam Proceedings of the Ger­
man Development Economics Conference, Göttingen,
2007.
15 
Adnan Buyung Nasution, “Korupsi Sudah Melekat
dalam Sistem Birokrasi”, dalam Prisma, Vol. 12, No.
2, 1983, hal. 43-45; Bakir Hasan, “Korupsi, Efisiensi
Usaha, dan Marketing Sosial”, dalam Prisma, Vol. 12,
No. 2, 1983, hal. 22-29.
16 
Lihat, Yoshihara Kunio, The Rise of Ersatz Capitalism­
in South-East Asia (Singapore: Oxford University
Press, 1988).
17 
Sigid Putranto Kusumowidagdo, “Pembangunan Poli­
tik Orde Baru Menghadapi Krisis Partisipasi”, dalam
17
Grace L dan Douglas K, Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965”
T O P I K
oleh Soedjatmoko yang menulis di Prisma
dua tahun kemudian.18
Konsep pembangunan itu berbeda sama
sekali dengan pendekatan pertumbuhan Ros­
tow. Konsep itu menuntut negara mendahu­
lukan investasi untuk memenuhi kebutuhan
dasar warga negara sekadar hidup di atas
garis kemiskinan, bukannya investasi untuk
ekonomi produktif yang negara berharap
warga bisa menanggung bebannya sendiri di
masa depan. Lebih dari segalanya, konsep itu
mengedepankan kemanusiaan yang sangat
sesuai dengan pemikiran lain Soedjatmoko
yang mendahulukan pembangunan.19
Prinsip mendahulukan pembangunan
manusia, ketimbang sekadar pertumbuhan
ekonomi, belakangan menjadi arus pemikir­
an alternatif. Pada 1990, Program Pemba­
ngunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United
Nations Development Programme/UNDP)
memperkenalkan indeks pembangunan ma­
nusia, sebuah alternatif mengukur sukses
pembangunan selain pertumbuhan GDP
yang dipandang tidak memadai. Sejak saat
itu, UNDP mengeluarkan laporan tahunan
peringkat negara-negara berdasarkan indika­
tor kualitas pembangunan manusia. Sampai
tahun terakhir Indonesia tidak pernah masuk
dalam 100 besar, meski angka GDPkita seka­
rang masuk dalam 10 besar dunia.
Konsep “kebutuhan dasar” juga menge­
muka lagi dalam beberapa tahun terakhir, ke­
tika orang membicarakan universal basic in-
come, misalnya, atau tentang pembangunan
berkelanjutan (sustainable development).
Dua mazhab ekonomi baru, blue economy
(Gunter Pauli) dan donut economy (Kate Ra­
woth), juga menekankan aspek “kebutuhan
dasar” itu dan menjadikannya antitesis dari
obsesi pertumbuhan ekonomi yang memacu
konsumerisme melebihi daya dukung eko­
logis Planet Bumi.
Akan tetapi, ketika Orde Baru masih ber­
jaya, baik pendekatan “kebutuhan dasar”
maupun konsep “memprioritaskan manusia”
kurang laku. Alih-alih mendengar Soedjat­
moko, Orde Baru menggalakkan neolibe­
ralisme pada awal tahun 1980-an, mengikuti
tren internasional. Pada tahun 1980-an, Dok­
trin Rostow yang kapitalistik dipromosikan
lebih agresif oleh Presiden Amerika Serikat
Ronald Reagan dan Perdana Menteri Ing­
gris Margaret Thatcher di bawah bendera
neoliberalisme. Bahkan, Reagan membawa
“neoliberalisme” menjadi kebijakan global
sekaligus senjata Perang Dingin melawan
komunisme (Blok Soviet).
Cita-cita ideal demokrasi, kemakmuran,
kebebasan dan kesetaraan hak di Amerika
Serikat, setidaknya secara retoris, dikaitkan
secara langsung dengan kebijakan liberal
pasar bebas dan perdagangan bebas. Liberali­
sasi ekonomi ala kapitalisme dipromosikan
senafas dan selaras dengan demokrasi—se­
bagai lawan dari otoritarianisme komunis.
Padahal tidak. Reagan melihat liberalisasi
ekonomi, bukan kebebasan politik, sebagai
ukuran terpenting dari sukses sebuah kebi­
jakan. Tidak mengherankan jika Amerika
Serikat dan Inggris merasa nyaman memu­
luskan liberalisasi ekonomi dengan cara
mendukung diktator-diktator anti-komunis
Augusto Pinochet di Chile, Soeharto di In­
donesia, dan Ferdinand Marcos di Filipina.
“Neoliberalisme” menjadi istilah populer
pada tahun 1980-an untuk menjelaskan libe­
ralisasi ekonomi Chile di bawah Jenderal
Pinochet. Didukung Amerika Serikat, Pi­
nochet melakukan kudeta militer terhadap
Presiden Salvador Allende, yang berhaluan
sosialis, pada 1973. Namun, Indonesia-lah
sebenarnya kelinci percobaan lebih awal
dari “neoliberalisme”, sejak Orde Baru
meng­adopsi pemikiran Rostow. Anak judul
buku Rostow, “A Non-Communist Mani­
festo”, menunjukkan bahwa motifnya tidak
sekadar ekonomi, namun juga politik. Se­
bagai pendukung Perang Vietnam, Rostow
Prisma, Vol. 12, No. 1, 1983, hal. 44-52; Sajogyo,
“Golongan Miskin dan Partisipasi dalam Pembangunan
Desa”, dalam Prisma, Vol. 6, No. 3, 1977, hal. 10-17.
18 
Soedjatmoko, “Berbagai Implikasi Kebijaksanaan Na­
sional dari Model Kebutuhan Dasar”, dalam Prisma,
Vol. 7, No. 10, 1978, hal. 59-79.
19 
Lihat, Soedjatmoko, Dimensi Manusia dalam Pemba­
ngunan (Jakarta: LP3ES, 1983).
Farid Gaban, Dari Kutukan Rostow ke Model Baru Pembangunan
18 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021
T O P I K
berpendirian anti-komunis garis keras yang
sesuai dengan semangat Orde Baru kala itu,
sehingga pemikirannya menjadi cenderung
dominan tanpa tanding.
Bahkan, stigma “komunis” pernah dise­
matkan kepada Jurnal Prisma yang mencoba
menyajikan alternatif-alternatif pemikiran
berbeda dari arus besar konsep pembangun­
an kala itu.
Setelah Soekarno tumbang, Orde Baru
memulai liberalisasi ekonomi dengan, an­
tara lain, membuka lebar investasi asing,
khususnya dari Amerika Serikat dan Jepang.
Pada 1974, demonstrasi besar sempat marak
menentang investasi asing. Namun, perla­
wanan seperti itu surut bersama konsolidasi
kekuasa­an Soeharto, yang menguat antara
lain berkat dukungan Reagan dan Thatcher.
Thatcher, yang berkunjung ke Indonesia
pada 1985, mendaku bahwa ekonomi pasar
(kapitalisme) adalah satu-satunya sistem
yang bisa diandalkan; tak perlu perdebatan
lagi. Thatcher punya slogan terkenal: TINA
(“there is no alternative”); tak ada alterna­
tif di luar kapitalisme. Tiga tahun kemudian,
PemerintahanSoehartomembuatlangkahbe­
sar lain di bidang ekonomi, yakni menerbit­
kan Paket Oktober (1988), yang pada intinya
meliberalisasi sektor keuangan (kemudahan
mendirikan bank). Jalan neoliberal makin
lempang, namun harus dibayar de­ngan Kri­
sis Ekonomi parah sepuluh tahun kemudian
yang sekaligus menamatkan kekuasaan Orde
Baru.
Kecilnya suara alternatif juga ditindas
faktor lain. Sukses penyebaran neoliberalis­
me baik di Indonesia maupun belahan lain
dunia, tak lepas dari peran penting dua lem­
baga keuangan dunia: Dana Moneter Inter­
nasional (IMF) dan Bank Dunia. Dengan
kekuatan kapital sangat besar, World Bank
dan IMF mendiktekan neoliberalisme ke
seluruh dunia. Mereka menerapkan syarat
ketat kepada negara penerima bantuan,
yakni melakukan liberalisasi ekonomi lewat
kebijakan privatisasi dan deregulasi; patuh
pada skema perdagangan bebas global; serta
mengurangi subsidi dan porsi anggaran nega­
ra untuk publik demi meningkatkan peran
sektor swasta secara ekonomi maupun so­
sial. Resep liberalisasi yang sering disebut
sebagai Washington Consensus itu, tak lain
adalah kesepakatan antara World Bank, IMF
dan Kementerian KeuanganAmerika Serikat
yang semuanya bermarkas di Washington
DC.
Model pembangunan Bank Dunia itu
telah banyak dikritik dalam beberapa tahun
terakhir, khususnya oleh kelompok ekonom
dan aktivis yang tergabung dalam World So­
cial Forum. Bahkan, Prisma sudah mendahu­
luinya melalui sebuah tulisan pada 1994.20
Bagaimanapun juga, Doktrin Rostow
lebih berjaya. Model Bank Dunia dan IMF
serta propaganda Reagan-Thatcher menjadi
wacana dominan tak hanya di sekolah-seko­
lah ekonomi, tetapi juga dalam kebijakan
publik seluruh dunia, hingga bertahun-tahun
kemudian setelah keduanya meninggal.
Di Indonesia, bahkan sentimen anti-IMF
yang marak pada era Presiden Megawati
Soekarnoputri tidak mampu menginspirasi
arah baru kebijakan ekonomi. Jalan lempang
neoliberal terus bertahan, bahkan cende­rung
menguat pada era-SBY dan tetap lestari
pada era-Jokowi. Pada periode pertamanya,
Pemerintahan Jokowi telah menerbitkan 16
paket degulasi yang secara umum mengarah
pada liberalisasi ekonomi. Namun, tak puas
dengan itu, pada periode kedua, Presiden
Jokowi mendesakkan liberalisasi lebih jauh
dengan menerbitkan Omnibus Law, menye­
derhanakan 70 lebih undang-undang men­
jadi satu undang-undang payung (deregu­
lasi) demi memikat investasi dan penciptaan
lapangan kerja. Pembahasan Omnibus Law
di tengah wabah korona sekarang ini menun­
jukkan betapa pemerintahan benar-benar
terobsesi pada liberalisasi ekonomi. Peme­
rintah mengabaikan fakta bahwa mantra
neoliberalisme ala Washington Consensus
telah banyak dikritik sejak tahun 1990-an.
20 
Lihat, Ali Sugihardjanto, “Model Pembangunan versi
Bank Dunia: Sebuah Kritik Awal”, dalam Prisma, Vol.
23 , No. 9, 1994, hal. 3-24.
19
Grace L dan Douglas K, Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965”
T O P I K
Meretas Jalan Baru, Menjawab
Gugatan Daniel Dhakidae
Wabah korona menelanjangi borok-borok
neoliberalisme di atas, sekaligus menunjuk­
kan kelemahan sosial mendasar kita meng­
hadapi krisis: di satu sisi memperlemah kapa­
sitas negara dalam melindungi warganya; di
sisi lain lunturnya solidaritas sosial akibat
individualisme, khususnya di kota kota.
“Pandemi itu seperti portal atau gerbang,
yang membatasi satu dunia dengan dunia
sesudahnya,” kata Arundhati Roy.
Di tengah wabah hidup kita tak normal.
Sebagian besar kita merindukan kenormalan
segera pulih kembali. Akan tetapi, normali­
sasi adalah istilah problematik. Merindukan
suasana normal seperti masa lalu justru sa­
ngat mungkin menjadi reaksi terburuk kita
dalam menghadapi korona. Kita perlu ke­
luar dari kenormalan masa lalu itu dan mu­
lai meretas jalan menuju dunia baru untuk
mengoreksi yang lama.
Kita perlu mempertanyakan filosofi, prin­
sip-prinsip, dan ukuran-ukuran lama? Apa
yang disebut kemajuan? Apa tujuan hakiki
dari pembangunan? Layakkah kita mengejar
pertumbuhan ekonomi, apalagi jika hasilnya
adalah konsumerisme, perluasan ketamakan
yang pada gilirannya merusak alam tempat
kita hidup?
Suara-suara untuk mengoreksi cara dan
pendekatan lama dalam pembangunan kian
lantang, baik sebelum maupun setelah ko­
rona. Pada awal pandemi (April 2020), tak
kurang 170 akademisi Negeri Belanda yang
mengusung usulan strategis pembangunan
pascakorona, yang pada intinya merupa­kan
koreksi terhadap pendekatan neoliberal.
Judul usulan mereka: “Manifesto for post-
neoliberal development.”
Di luar itu, dalam beberapa tahun terakhir
juga berkembang pemikiran baru dalam bi­
dang ekonomi, yakni “blue economy” yang
dirumuskan oleh Gunter Pauli, ekonom Bel­
gia. Bertumpu pada alam dan menghormati
alam, “ekonomi biru” juga menjadi koreksi
mendasar terhadap neoliberalisme. “Ekono­
mi biru” banyak diilhami oleh pemikiran EF
Schumacher, penulis buku Small is Beauti-
ful yang terbit pada tahun 1970-an, dan pan­
dangan Mahatma Gandhi tentang swadesi
(kemandirian). Bersama The Club of Rome,
Schumacher mengkritik pendekatan pertum­
buhan ekonomi, yang memicu dehumanisasi
dan merusak alam.
Dalam beberapa tahun terakhir juga
berkembang pemikiran tentang pembangun­
an berkelanjutan. Pada kenyataannya, Indo­
nesia sendiri ikut menandatangani deklarasi
Perserikatan Bangsa-Bangsa 2015 tentang
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sus-
tainable Development Goals). Deklarasi itu
mencakup 17 sasaran, tetapi bisa disarikan
menjadi tiga sasaran utama (tripple bot-
tom-line: ekonomi, sosial, lingkungan) yang
harus dicapai secara seimbang. Manifestasi
konkretnya: mengelola modal alam (natural
capital) dengan lebih baik; membangun ma­
nusia (invest in people); serta memperkuat
sektor bisnis dan industri ramah alam.
Kate Rawoth, ekonom Oxford, belakang­
an ini sedang agresif memperkenalkan istilah
baru: donut economy. Pada intinya, orientasi
pembangunan harus dirancang secara senga­
ja mendahulukan pemerataan (distributive)
dan bersifat ramah alam (regenerative). Tu­
juan pembangunan ekonomi, kata Rawoth,
harus mengambang di antara lingkar dalam
dan lingkar luar yang digambarkan seperti
sebuah ban (atau donut). Manusia harus
terpenuhi kebutuhan dasar agar tidak jatuh
miskin (lingkar bawah); sementara konsumsi
harus ditahan jangan sampai melebihi kapa­
sitas ekologis Planet Bumi (lingkar luar).
Rawoth menolak keras konsep pertum­
buhan ala Rostow. Bahkan, dia menilai Ros­
tow, yang menganggap konsumsi massal se­
bagai capaian tertinggi, adalah biang keladi
dari ketimpangan sosial dan kerusakan alam.
Pertumbuhan ekonomi yang tiada batas
adalah mustahil. Alam memiliki batas. Ra­
woth menggaungkan kembali laporan “The
Limits to Growth” yang dibuat oleh The
Club of Rome dan sempat dibahas Prisma
Farid Gaban, Dari Kutukan Rostow ke Model Baru Pembangunan
20 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021
T O P I K
pada tahun 1970-an.
Ratapan dan gugatan Daniel Dakidae
memberi tugas baru kepada Prisma untuk
menjadi panggung pemikian dalam men­
cari alternatif-alternatif model pembangun­
an yang sudah bangkrut. Inilah era ketika
kata-kata pertumbuhan, ketimpangan, dan
konsumerisme makin dibenci, ketika orang
makin rindu pada harmoni sosial serta hidup
berdamai dengan alam. Ada pemikiran awal
untuk pijakan mendiskusikan ini lebih men­
dalam di masa mendatang.
1. 
Dari GDP ke Human Development
Index
Dalam konteks itu, kita mungkin perlu meni­
lik kembali pemikiran Soedjatmoko tentang
pembangunanyangmendahulukanpemenuh­
an kebutuhan dasar dan penghormatan pada
kemanusiaan. Salah satunya barangkali per­
lu mendesakkan agar Indeks Pembangunan
Manusia (human development index/HDI)
ala UNDP menjadi tolok ukur utama dalam
menakar sukses pembangunan.
Human Development Index memasukkan
komponen GDP per kapita, tetapi tidak ha­
nya itu. Gagasan di balik indikator ini adalah
menekankan bahwa “mutu manusia”-lah
(potensi dan kemampuannya) yang seharus­
nya menjadi kriteria utama untuk menilai
kinerja pembangunan setiap negara.
HDI memasukkan pula berbagai kompo­
nen sosial: akses terhadap air bersih, angka
harapan hidup, indikator pendidikan dan
kesehatan, serta diskriminasi gender. De­
ngan kata lain, HDI memotret secara lebih
komprehensif dan holistik terhadap kinerja
pembangunan, dengan manusia sebagai sen­
tralnya.
2. Sustainable Development and
Consumption
Kita perlu meninggalkan pembangunan yang
berfokus pada agregat pertumbuhan (GDP).
Kita harus membuat pembedaan antarsektor
dan mendorong pertumbuhan sektor-sektor
publik yang penting: clean energy, pendidik­
an, kesehatan, dan ekologi.
Sebaliknya, menghentikan secara ra­
dikal tumbuhnya sektor-sektor yang tidak
berkelanjutan karena peran mereka yang
mendorong konsumsi berlebihan dan ber­
bahaya bagi ekologi global, terutama sektor
privat—minyak, gas, tambang, periklanan,
dan lain-lain.
Kita dituntut secara kreatif memanfaat­
kan potensi alam di luar sektor pertam­
bangan yang masih sangat luas. Indonesia
adalah salah satu megadiversity dunia; ne­
geri dengan keragaman hayati terbesar. Jika
Amerika Serikat itu adidaya (superpower)
politik/militer, Indonesia adalah superpower
keragaman hayati.
Beberapa tahun silam, Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia menerbitkan buku
kecil bertajuk Sains untuk Biodiversitas In-
donesia. Intinya bagaimana membangun ke­
sejahteraan bangsa lewat keragaman hayati.
Itu salah satu prinsip penting dalam “eko­
nomi biru” yang diperkenalkan oleh Gunter
Pauli, namun sebenarnya telah lama diterap­
kan oleh kakek-nenek kita di perdesaan. Ti­
dak hanya menghormati keragaman hayati,
ekonomi itu juga menghargai tradisi lokal
yang beragam.
Bertumpu pada yang tersedia secara lo­
kal, ekonomi biru mendorong kemandirian
dan pembangunan partisipatif dari bawah.
Itu yang merupakan antitesis dari mabuk
utang dan modal asing yang tak hanya men­
jatuhkan martabat, tetapi juga mendorong
kita mencapai stabilitas politik palsu dengan
mengebiri demokrasi dan menindas partisi­
pasi sosial dan politik.
3. 
Pemerataan, Universal Basic Income,
dan Koperasi
Hal lain yang perlu diperbincangkan dalam
rangka mencari format model baru pemba­
ngunan adalah isu pemerataan dan redistri­
busi, seperti “universal basic income” dan
“reforma agraria secara substantif.”
Relevan dengan itu adalah isu kebi­
jakan pajak progresif yang keras terhadap
penghasil­an, keuntungan, dan kekayaan.
Mengurangi jam dan beban kerja seraya
21
Grace L dan Douglas K, Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965”
T O P I K
memperhatikan pelayanan publik kepada
pekerja, seperti kesehatan dan pendidikan,
untuk mendukung nilai intrinsik mereka se­
bagai manusia bukan hanya alat produksi.
Kita perlu mendorong demokratisasi eko­
nomi. Dalam kaitan ini, kita perlu mengorek­
si dan merevitalisasi koperasi yang sejati
(genuine). Bukan seperti koperasi sekarang
yang palsu, tetapi yang benar-benar menum­
buhkansemangatkolektifdangotongroyong,­
sebuah keharusan pada musim wabah seka­
rang ini.
4. 
Regenerative Farming dan Family
Farming
Kepedulian terhadap alam tak bisa dipisah­
kan dari upaya transformatif pertanian
menuju pertanian berkelanjutan berdasar­
kan kelestarian keragaman hayati. Kita perlu
memperkuat produksi pangan yang bersifat
lokal dan berkelanjutan serta sistem pertani­
an yang adil dan memakmurkan petani. Per­
tanian yang sehat dan petani yang makmur
akan memperkuat ketahanan dan kedaulatan
pangan negeri kita.
Untuk memperkuat pendapatan, petani
harus dibina tak hanya dalam budi daya (on-
farm), tetapi juga dalam industri pengolahan.
Kita perlu mengembangkan agro-industri
perdesaan lewat pemberdayaan (pendidikan)
petani dan pemanfaatan sains serta teknologi
tepat guna yang terjangkau dan ramah ling­
kungan. Mengikuti Schumacher, kita harus
menolak praktik “produksi massal” (mass
production) skala besar. Sebaliknya, mendu­
kung “produksi oleh rakyat” (production by
mass).
Artinya, memberdayakan petani kecil
(family farming), bukan membangun perta­
nian skala besar seperti Merauke Food Es­
tate yang padat modal, padat pupuk kimia,
dan cenderung pada monokultur yang meng­
abaikan keragaman hayati.
5. 
Gaya Hidup Sederhana, Rendah Jejak
Karbon
Mengurangi konsumsi dan lawatan secara
drastis dari bermewah-mewah dan mubazir
menuju yang sifatnya penting (berorientasi
pada publik) dan mengutamakan prinsip ber­
kelanjutan (mengurangi kebiasaan lawat­an
menggunakan pesawat).
Pada intinya, kembali merenungkan
tuju­an pembangunan. Tujuan membangun­
peradab­an, menurut Schumacher, seraya­
mengambilajaranBuddhismeadalahme­­mur­
nikan watak manusia, menghormati alam,
dan menghargai solidaritas sosial; bukan
memperbanyak keinginan lahiriah (multipli-
cation of wants) yang mendorong konsum­
erisme dan ketamakan. Mengutip Mahatma
Gandhi, yang pikirannya banyak dipinjam
oleh Schumacher, “Dunia ini cukup bagi se­
luruh umat manusia, tetapi tidak untuk keta­
makannya.”
Perlahan tapi pasti, ada konsensus yang
makin kuat bahwa gaya hidup sederhana
rendah-emisi-karbon (artinya ramah alam)
jauh lebih disarankan serta dipujikan sebagai
progresif. Sementara emisi-karbon tinggi
menjadi simbol gaya hidup primitif.
6. 
Mengurangi Utang, Memupuk
Keman­dirian
Utang dan investasi mungkin kita butuhkan,
tetapi kita harus melepaskan ketergantungan
padanya; melepas pandangan bahwa tanpa­
nya kita tak bisa membangun.
Obsesi pada utang dan investasi tak ha­
nya memicu ketergantungan, tetapi membuat
negara kita terbelenggu dalam merumuskan
kebijakan publik demi melindungi mutu so­
sial warga negara dan kelestarian alam.
Untuk itu, kita harus mendorong pem­
batalan seluruh utang lama, terutama di
kalangan buruh dan pemilik usaha kecil,
serta mengurangi penciptaan utang baru dan
penghapusan utang negara-negara berkem­
bang kepada negara kaya maupun lembaga
keuangan internasional.
Kita perlu percaya diri, dengan kreati­
vitas dan imajinasi yang kita punya, bisa
membangun dari apa yang kita punya di de­
pan mata, salah satunya lestarinya alam dan
keragaman hayati yang selama ini kita sia-
siakan. l
Farid Gaban, Dari Kutukan Rostow ke Model Baru Pembangunan
22 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021
T O P I K
Prisma
ebagai jurnal pemikiran ekonomi,
sosial, dan budaya yang memberi
narasi alternatif atas kondisi kehidup­
an berbangsa dan bernegara sejak 50
tahun lalu, Prisma punya peran tersendiri
dalam sejarah intelektual Indonesia. Pada
tahun-tahun terbaiknya, Prisma merupakan
rujukan utama bagi kaum cendekia pro­
gresif. Se­bagaimana dikutip dari “Kerangka
Acuan tentang Edisi Khusus 50 Tahun Pris-
ma”, pendekatan Prisma yang menerapkan
perspek­tif “Ekonomi politik untuk mema­
hami siapa/kelompok mana yang paling di­
untungkan, who get the most benefit at whose
cost” menandakan adanya penyikapan atas
tatanan ketidakadilan yang struktural dan
menyejarah sebagai pijakan dasar bagi para
cendekia Prisma. Dalam kerangka itu, tentu
dicatat bahwa ketidakadilan berbasis gender
dan peminggiran perempuan terus langgeng
di bumi Nusantara ini karena saling berke­
lindan dengan bentuk-bentuk ketimpangan
dan penindasan lainnya.
Dengan semangat melihat ke belakang
untuk menapak ke depan, esai ini mengkaji
sejauh mana narasi keilmuan yang disuguh­
kan oleh Prisma dalam kurun waktu separuh
abad ini menyentuh dan memaknai pergu­
latanperempuandalamkehidupanberbangsa
dan bernegara di Indonesia. Setelah “tidur”
selama 10 tahun, saat rezim Orde Baru ber­
akhir, Prisma “bangun” kembali di tengah
era yang jauh berbeda secara politik, eko­
nomi, sosial, budaya, dan teknologi. Wu­
jud pergulatan perempuan pun menga­lami
perubahan yang signifikan dalam jangka
waktu tersebut. Esai ini berfokus pada peri­
ode sebelum dan sesudah masa jeda Prisma
yang dilakukan melalui akses pada daftar
edisi-edisi Prisma beserta nama para penulis
dan judul tulisan mereka.
Fokus Berkala pada Peran
Wanita: 1971-1998
Dalam 27 tahun pertamanya (1971-1998),
Prisma menerbitkan sebanyak 258 edisi,
termasuk lima edisi yang secara khusus
mempersoalkan situasi perempuan Indone­
sia. Kelima edisi tersebut terbit hampir de­
ngan ritme tersendiri, kira-kira tiap 5-6 ta­
hun, yaitu tahun 1975, 1981, 1985, 1991 dan
1996. Pada 2004, Liza Hadiz menyeleksi dan
mengulas sejumlah tulisan yang terbit di Jur­
nal Prisma dalam buku Perempuan dalam
Wacana Politik Orde Baru: Pilihan Artikel
Prisma (LP3ES). Dia mencatat bahwa edi­
si Oktober 1975 dan Oktober 1985 terbit
pas­ca-dua perhelatan internasional yang
menandakan capaian gerakan perempuan
di tingkat global. Edisi tahun 1975 dengan
tema “Wanita Indonesia: Menuju Cakrawala
Baru?” terbit setelah Konferensi Perempuan
Sedunia di Mexico City, tempat dicanang­
kan bermulanya “Dasawarsa Perempuan.”
Sedangkan edisi tahun 1985 dengan tema
“Menegakkan Peran Ganda Wanita Indo­
nesia” terbit setelah Konferensi Perempuan
Sedunia Ketiga di Nairobi, tempat hasil dari
segala upaya sepanjang 10 tahun terdahulu
dinilai bersama. Menyimak timing kedua
edisi itu, tampaknya Prisma tergerak oleh
dinamika di luar Indonesia, yaitu adanya
Sejauh-jauh Mata Memandang:
Prisma dan Pergulatan Perempuan
Kamala Chandrakirana
S
E S A I
23
Grace L dan Douglas K, Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965”
T O P I K
momen konsensus baru yang dicapai an­
tarnegara di tingkat internasional tentang
pemajuan hak-hak perempuan.
Menarik untuk dicatat pilihan judul edisi
Prisma, pada Oktober 1975 dan 1985 yang
diambil dari paparan penulisnya, Mely G
Tan, “Wanita Indonesia: Menuju Cakrawala
Baru?” (1975). Dalam tulisannya tersebut,
dia mengajukan pertanyaan yang memper­
soalkan adanya keraguan di kalangan
perem­puan sendiri terkait kemampuannya
menjalankan fungsi ganda sebagai istri dan
pekerja atau “wanita karier.” Soal keraguan
di kalangan perempuan sendiri juga muncul
dalam edisi khusus tahun 1981 dengan tema
“Wanita Indonesia Terpaku di Persimpang­
an” yang berfokus pada isu perempuan dan
media. Melalui tulisannya tentang “Wanita
danCitraDiri,”ToetiHeratyNoerhadimene­
gaskan adanya dilema perempuan bekerja
yang “menghadapi tugas ganda dengan
keraguan.”
Soal keraguan dalam diri perempuan
terkait fungsi gandanya cukup banyak dipa­
hami sebagai gejala kelas menengah yang
tidak berlaku bagi kaum perempuan yang
memang tidak punya pilihan soal kerja di
dalam dan luar rumah. Rupanya catatan
tentang keraguan dan dilema itu terus me­
mengaruhi pilihan tema edisi tahun 1985
dengan judul yang hari ini terdengar agak
aneh: “Menegakkan Peran Ganda Wanita
Indonesia.” Aneh karena langgengnya peran
ganda perempuan sesungguhnya mencer­
minkan kegagalan negara dalam mencip­
takan kerangka kebijakan dan layanan
publik yang dapat mendorong pembagian
peran yang lebih adil antara laki-laki dan
perempuan dalam keluarga dan di masyara­
kat umum. Artinya, peran ganda yang diem­
ban sendiri oleh perempuan sesungguhnya
bukan sesuatu untuk ditegakkan melainkan
untuk dibongkar melalui perubahan struk­
tural dan kultural.
Ada dua edisi lain yang memberi perha­
tian khusus pada isu perempuan dan gender,
yaitu edisi dengan tema “Seks dalam Jaring
Kekuasaan” (1991) dan “Wanita-wanita di
atas Pentas Politik” (1996). Terlewat dari
per­­ha­tian Prisma pada masa itu adalah mo­
men puncak dalam komitmen negara-negara
untuk memajukan hak-hak perempuan, yai­
tu pada Konferensi Perempuan Sedunia Ke­
empat di Beijing pada 1995. Menarik, salah
satu organisasi perempuan dari Indonesia,
Kalyanamitra, membawa isu kekerasan
negaraterhadapperempuankeforummasya­
rakat sipil di konferensi itu. Sayangnya, cara
pandang tentang negara seperti itu tidak tere­
kam di jurnal cendekia Prisma.
Pada 2004, setelah mengumpulkan
dan mengulas sejumlah tulisan tentang isu
perem­puan yang diterbitkan Prisma sejak
1971 hingga 1998, Liza Hadiz dalam Kata
Pengantar Perempuan dalam Wacana Poli-
tik Orde Baru (hal. xxxiv) menyimpulkan
sebagai berikut: Isu gender yang diangkat
Prisma sejak pertengahan tahun 1970-an
hingga awal tahun 1990-an adalah refleksi
dari kesadaran kaum perempuan Indonesia
di tengah arus perubahan sosial, ekonomi,
dan politik. Di satu sisi, jurnal itu berhasil
menyajikan perkembangan tentang gen-
der sebagai subtema disiplin ilmu tertentu,
fokus analisis dan diskursus ... Sebagian
besar tulisan mencerminkan respons dan
resistensi kaum cendekiawan terhadap ke-
bijakan negara yang berdampak langsung
kepada kaum perempuan. Namun, Prisma
tidak menampilkan semua pemikiran yang
berkaitan dengan isu gender yang berkem-
bang di Indonesia saat itu … [yaitu] perem-
puan dan hukum, perkawinan, kekerasan
terhadap perempuan, perempuan dalam
daerah konflik, buruh migran perempuan,
hak reproduksi, hak asasi perempuan, dan
lain-lain.
Edisi terakhir Prisma sebelum jeda ber­
judul “Kerusuhan dan Isu SARA” (1998).
Dalam sejarah perempuan Indonesia, tahun
itu merupakan tahun yang traumatik dan
sekaligus momen kebangkitan bagi gera­kan
perempuan. Perkosaan massal yang diala­
mi oleh perempuan etnik Tionghoa dalam
kerusuh­an bulan Mei 1998 diikuti oleh pe­
nyangkalan bertubi-tubi pejabat negara di
media massa dan oleh warga biasa dalam
per­bin­­ca­ng­­­­an keseharian di warung kopi,
taksi dan meja makan. Kejadian tersebut
menggugah kesadaran politik baru bagi
Kamala Chandrakirana, Sejauh-jauh Mata Memandang: Prisma dan Pergulatan Perempuan
B U K U
E S A I
24 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021
T O P I K
banyak perempuan dari Aceh hingga Pa­
pua dan menjadi fondasi aktivisme gerak­an
perempuan di era Reformasi. Tidak bisa ti­
dak, muncul pertanyaan, mengapa per­spek­
tif perempuan tentang kerusuhan Mei 1998
dan persoalan SARA secara umum luput
dari edisi terakhir Prisma sebelum mati suri
selama sepuluh tahun?
Pergulatan Perempuan yang
Tak Berjejak: 2009-2021
Prisma terbit kembali pada 2009 di tengah
dunia dan Indonesia yang telah berubah. Se­
lain Reformasi di Indonesia yang membuka
ruang demokrasi, peristiwa 9/11 di Amerika
Serikat telah mengubah wajah geopolitik
dunia. Gerakan ekstremis berbasis agama
meluas secara transnasional dan perubahan
iklim mencapai titik kritis. Revolusi teknolo­
gi informasi diikuti dengan maraknya hoaks
merupakan fakta baru yang tidak terbayang­
kan pada tahun jedanya Prisma. Agenda
perjuangan hak-hak perempuan pun telah
melampaui beberapa tonggak kemajuan dan
kemunduran sebagai bagian dari dinamika
perjalanan bangsa.
Pertama, atas desakan pejuang hak-hak
perempuan pada tahun-tahun awal Reforma­
si, kata “wanita” nyaris hilang dari peredaran
karena dianggap tidak cukup afirmatif terha­
dap kemandirian perempuan. Pada 2004, ke­
kerasan dalam rumah tangga diakui sebagai
tindakan kriminal dengan disahkannya UU
tentang hal ini setelah upaya besar-besaran
dari gerakan perempuan. Keberhasilan itu
membuat bulu kuduk berbagai pihak berdiri
dan dimaknai sebagai “gerakan perempuan
kebablasan.” Perlawanan balik segera mun­
cul dalam bentuk Rancangan UU Anti Por­
nografi dan Pornoaksi yang mengkriminal­
kan tubuh perempuan dan minoritas seksual.
Setelah terjadi penolakan dari berbagai pen­
juru negeri, pada 2008, DPR RI mengesah­
kan UU Pornografi yang memuat sejumlah
revisi tanpa menghilangkan ancam­an krimi­
nalisasi bagi kaum minoritas seksual serta
perempuan yang bekerja dalam dunia hi­
buran dan industri seks. Setahun kemudian,
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan) mengu­
mumkan hasil pemantauan perdana tentang
lahirnya 154 kebijakan pemerintah daerah
yang diskriminatif terhadap perempuan dan
minoritas di era Reformasi. Komnas Perem­
puan memaknai gejala itu sebagai suatu pro­
ses pelembagaan diskriminasi dalam tatanan
negara-bangsa Indonesia atas nama otonomi
daerah. Seluruh dinamika itu merupakan
awal dari pertarungan besar dan berkelanjut­
an yang bersifat ideologis dan politis, yang
mempertaruhkan dan memperebutkan iden­
titas dan tujuan kebangsaan Indonesia.
Pada kisaran waktu kurang lebih sama,
Prisma menerbitkan edisi-edisi bertema
“Otonomi Daerah untuk Siapa?” (2010),
“Kewargaan: Revitalisasi Konsepsi Keindo­
nesiaan” (2013), “Bangkitnya Populisme
dan Krisis Demokrasi” (2017) dan “Mem­
bongkar dan Merangkai Pancasila” (2018).
Tidak ada satu pun penulis yang mengemu­
kakan dimensi gender dan perspektif perem­
puan atas persoalan-persoalan kontemporer
itu kendati sedang berlangsung pertarung­
an sosial-politik tentang sosok dan peran
perempuan Indonesia serta kritik tajam atas
peran institusi-institusi negara dalam mem­
batasi hak-hak asasi perempuan dalam kon­
teks politik identitas.
Sejak 2009 hingga 2020, Prisma mener­
bitkan total 30 edisi yang membahas ber­
bagai tantangan besar dalam kehidupan
ber­bangsa dan bernegara di Indonesia, ter­
masuk tentang Kedaulatan Pangan (2016),
Gerakan Pemuda 1926-2011 (2011), dan
Historiografi Indonesia (2020). Dalam ke­
tiga isu tersebut saja, peran dan pemikiran
perempuan serta analisis gender merupakan
suatu keniscayaan dan juga kebutuhan jika
diakui bahwa hierarki gender merupakan
salah satu elemen dalam kebertautan (inter-
sectionality) antarlebih dari satu sistem kua­
sa dan pola peminggiran yang hidup subur
di masyarakat. Perjuangan ibu-ibu Kendeng
untuk membela tanah dan kedaulatan warga­
nya di hadapan kekuatan korporasi semesti­
nya bisa dan patut dijadikan salah satu ba­
gian dari narasi tentang kedaulatan pangan,
misalnya. Paparan tentang gerakan pemuda
E S A I
25
Grace L dan Douglas K, Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965”
T O P I K
dan historiografi Indonesia tanpa perem­
puan hanyalah narasi separuh bangsa.
Jika mengikuti pola lama Prisma, yaitu
menerbitkan edisi tematik terkait isu perem­
puan sehubungan dengan peristiwa inter­
nasional, sebenarnya terjadi pertarungan di
berbagai arena PBB yang pantas disimak
menyangkut soal identitas gender dan hak
seksual dan reproduksi versus gagasan ten­
tang ketahanan dan perlindungan keluarga.
Hal itu mengambarkan bagaimana tubuh
dan kedaulatan perempuan (dan komunitas
queer) menjadi salah satu situs pertarungan
geopolitik dunia yang cukup sengit. Itu juga
dapat dilihat sebagai pukulan balik terhadap
capaian gerakan perempuan di tingkat glo­
bal sejak pertengahan tahun 1970-an, baik
sebagai wujud menguatnya gerakan politik
kanan dan otoritarianisme di berbagai nega­
ra berkekuatan ekonomi di kancah global
maupun sebagai indikasi pelemahan sistem
tata kelola global (global governance) dan
mekanisme HAM internasional.
Dari ke-34 edisi yang terbit (2009-2021),
ada empat artikel dalam tiga edisi yang
mengetengahkan tulisan penulis perem­
puan dengan perspektif perempuan yang
membahas tema tertentu, yaitu tulisan Ruth
Indiah Rahayu tentang budaya dan kiasan
keluarga patriarki dalam edisi “Sistem Pre­
sidensialisme” (No.3, 2016); tulisan I Gusti
Agung Ayu Ratih tentang ruang perempuan
dan ingat­an sosial perempuan “korban/pe­
nyintas 1965-66” dalam edisi “Keadilan
Transisi” (No. 2, 2019); dan tulisan reflek­
tif Maria Ulfah Ansor atas proses legislasi
RUU Penghapusan Kekerasan terhadap
Perempuan (yang masih berjalan hingga
kini) serta artikel Lies Marcoes et al tentang
arah advokasi pencegahan perkawinan anak
(perempuan), keduanya dalam edisi “Kete­
gangan Agama dan Negara” (No.1, 2020).
Namun, dalam kurun tersebut, tidak ada
edisi yang secara khusus berfokus pada isu
perempuan, walaupun sebenarnya soal kon­
testasi hak-hak perempuan di tengah marak­
nya politik identitas, fundamentalisme
agama dan ekstremisme berkekerasan pan­
tas untuk dijadikan edisi tematik tersendiri
karena kompleksitas, multidimensionalitas,
dan interseksionalitas permasalahan ini.
Bisa disimpulkan bahwa dalam sepa­
ruh abad perjalanan hidupnya, mata burung
Prisma tidak terlalu jauh memandang per­
gulatan perempuan dalam kehidupan ber­
bangsa dan bernegara, sementara arus per­
juangan atas hak-hak perempuan Indonesia
terus berjalan dengan derasnya.
Jalan ke Depan
Memang tidak sederhana memastikan agar
perspektif gender dan perjuangan perempuan
secara konsisten terwakili dalam pu­blikasi
yang dibuat oleh dan ditujukan kepada kaum
cendekia. Hierarki gender juga hidup di te­
ngah komunitas cendekia dan dalam sistem
produksi pengetahuan ilmiah di Indonesia.
Namun, Prisma agaknya tidak terlalu mam­
pu melepaskan diri dari arus utama itu.
Jika ada kemauan Prisma untuk lebih
inklusif ke depan, beberapa konsekuensi
perlu dipertimbangkan. Cara berpengetahu­
an perempuan cukup beragam dan tidak
ter­batas pada paparan ilmiah konven­­si­­­o­­
nal. Untuk menangkap khazanah ilmu dari
perempuan dibutuhkan pengakuan atas dan
penjelajahan terarah pada produk-produk
pengetahuan yang berbentuk tuturan, prosa,
esai visual, laporan investigatif, dan seterus­
nya. Untuk menangkap kompleksitas dan
dinamika pertarungan perempuan dibutuh­
kan upaya khusus untuk menyapa mereka
yang hidup dan berkiprah dalam konteks
ekonomi, sosial-budaya, dan kewilayahan
yang berbeda-beda. Untuk memahami in­
terseksionalitas dari pengalaman diskrimi­
nasi berbasis gender dibutuhkan suara dan
perspektif dari perempuan yang hidup di
tengah ragam komunitas minoritas atau
yang diminoritaskan. Artinya, gambaran
yang bakal muncul dari perspektif ekonomi-
politik Prisma niscaya akan memunculkan
pengetahuan dari keberagaman konteks dan
tidak semata berwujud narasi umum tentang
kondisi “nasional” Indonesia.
Mungkin inilah saatnya untuk mem­
bayang­kan ulang wajah dan peran Prisma
di era digital dan pascapandemi Covid-19
yang penuh tantangan ini. l	
Kamala Chandrakirana, Sejauh-jauh Mata Memandang: Prisma dan Pergulatan Perempuan
B U K U
E S A I
26 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021
T O P I K
Dialektika Mitra-Kritis:
Lima Puluh Tahun Pergumulan Prisma­
Airlangga Pribadi Kusman*
Melalui telaaah terhadap berbagai artikel Prisma, tulisan ini berupaya membongkar
bagaimana pengetahuan ilmu-ilmu sosial di Indonesia mencerminkan tautan antara kepen­
tingan, politik, dan kekuasaan. Ia merupakan manifestasi kontradiksi dan konvergensi di
antara struktur kekuasaan yang bekerja, baik dalam konteks global yang merawat tatanan
ekonomi-politik kapitalisme maupun dalam konteks dominasi struktur kekuasaan oligarki di
Indonesia. Berbagai ketegangan yang muncul dalam narasi pengetahuan yang diproduksi
Jurnal Prisma setidaknya melalui dua jurusan. Pertama, para pendukung gagasan pem-
bangunan di awal Orde Baru yang kemudian dikenal sebagai teknokrasi pembangunan.
Kedua, kalangan intelektual yang berupaya mengedepankan kajian sosial kritis dalam
menginterogasi corak kekuasaan dan pengetahuan yang terbentang sejak 1971 hingga kini.
Bertolak dari perjalanan intelektual Prisma sebagai sebuah “majalah” yang unik, tulisan
ini menawarkan sebuah kemungkinan preskripsi bagi gerakan sosial di masa depan agar
melampaui tatanan ekonomi-politik dominan dan rezim pengetahuan yang menopangnya.
Kata Kunci: hegemoni, kekuasaan, kekuatan sosial, rezim pengetahuan, oligarki
lmu pengetahuan terutama ilmu-ilmu
sosial tidaklah hadir dalam ruang ham­
pa. Ia selalu terpaut dengan kepenting­
an segenap kekuatan yang bertarung dalam
proses perubahan sosial. Dengan itu penge­
tahuan tidak pernah lepas dari persinggung­
annya dengan kekuasaan. Pandangan kritis
tentang keterpautan antara pengetahuan dan
kekuasaan itu sendiri sudah banyak dikaji
dan diteliti dalam khazanah ilmu-ilmu so­
sial. Narasi pengetahuan dalam Jurnal Pris-
ma pun tidak dapat dilepaskan dari struktur
kekuasa­an serta konstelasi pertarungan sosial
yang berlangsung dalam konteks perubahan
sosial di tingkat global dan keterkaitannya di
tingkat domestik.
Sehubungan dengan pertautan antara
pengetahuan, kepentingan, dan kekuasaan
pada ratusan artikel yang tersebar di Jurnal
Prisma, tentu terlalu menyederhanakan bila
disimpulkan bahwa produksi pengetahuan
di dalamnya hanya melegitimasi dan mem­
benarkan perawatan corak kekuasaan domi­
nan yang bekerja dalam konteks Indonesia
I
* 
Penulis berterima kasih kepada mendiang Daniel Dha­
kidae yang memberi kehormatan untuk mengerjakan
arti­kel sejarah intelektual Prisma selama 50 tahun dan
Fachry Ali yang bersedia meluangkan waktu untuk
berdiskusi intens dan beberapa bahan pustaka serta infor­
masi sejarah terkait perjalanan Prisma.
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma
Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma

More Related Content

What's hot

Hubungan agama dan negara
Hubungan agama dan negaraHubungan agama dan negara
Hubungan agama dan negaraPia Rohdina
 
Pancasila dalam sistem politik indonesia
Pancasila dalam sistem politik indonesiaPancasila dalam sistem politik indonesia
Pancasila dalam sistem politik indonesiatowetoe
 
Etika pemerintahan dalam membangun good governance (bahan lemhanas edit)
Etika pemerintahan dalam membangun good governance (bahan lemhanas edit)Etika pemerintahan dalam membangun good governance (bahan lemhanas edit)
Etika pemerintahan dalam membangun good governance (bahan lemhanas edit)Deddy Supriady Bratakusumah
 
legal memorandum
legal memorandum legal memorandum
legal memorandum torozzz
 
Strategi dan pendekatan dalam pengembangan masyarakat
Strategi dan pendekatan dalam pengembangan masyarakatStrategi dan pendekatan dalam pengembangan masyarakat
Strategi dan pendekatan dalam pengembangan masyarakatAlexandrya Hening
 
HUKUM PERDATA & HUKUM DAGANG
HUKUM PERDATA & HUKUM DAGANGHUKUM PERDATA & HUKUM DAGANG
HUKUM PERDATA & HUKUM DAGANGFair Nurfachrizi
 
Soal dan Jawaban Hukum lingkungan
Soal dan Jawaban Hukum lingkungan Soal dan Jawaban Hukum lingkungan
Soal dan Jawaban Hukum lingkungan rupaka
 
Sistem pemerintahan indonesia sebelum dan sesudah amandemen
Sistem pemerintahan indonesia sebelum dan sesudah amandemenSistem pemerintahan indonesia sebelum dan sesudah amandemen
Sistem pemerintahan indonesia sebelum dan sesudah amandemenMochammad Ridwan
 
Beberapa pertanyaan dalam perencanaan pembangunan
Beberapa pertanyaan dalam perencanaan pembangunanBeberapa pertanyaan dalam perencanaan pembangunan
Beberapa pertanyaan dalam perencanaan pembangunanYuca Siahaan
 
Pengantar Ilmu Pengetahuan Perundang Undangan
Pengantar Ilmu Pengetahuan Perundang UndanganPengantar Ilmu Pengetahuan Perundang Undangan
Pengantar Ilmu Pengetahuan Perundang UndanganImbang Jaya Trenggana
 
Part 04 Konsep Transformasi, dan Tipe Relasi e-Government
Part 04 Konsep Transformasi, dan Tipe Relasi e-GovernmentPart 04 Konsep Transformasi, dan Tipe Relasi e-Government
Part 04 Konsep Transformasi, dan Tipe Relasi e-GovernmentLilis Rusliyawati
 
Potret politik perempuan.pdf
Potret politik perempuan.pdfPotret politik perempuan.pdf
Potret politik perempuan.pdfAhsanul Minan
 
Makalah Fungsi Etika Profesi Hukum
Makalah Fungsi Etika Profesi HukumMakalah Fungsi Etika Profesi Hukum
Makalah Fungsi Etika Profesi HukumFenti Anita Sari
 
Agenda Setting & Perumusan Kebijakan Publik
Agenda Setting & Perumusan Kebijakan PublikAgenda Setting & Perumusan Kebijakan Publik
Agenda Setting & Perumusan Kebijakan PublikTri Widodo W. UTOMO
 

What's hot (20)

Hubungan agama dan negara
Hubungan agama dan negaraHubungan agama dan negara
Hubungan agama dan negara
 
Hukum agraria nasional pert ke 2
Hukum agraria nasional pert ke 2Hukum agraria nasional pert ke 2
Hukum agraria nasional pert ke 2
 
Pancasila dalam sistem politik indonesia
Pancasila dalam sistem politik indonesiaPancasila dalam sistem politik indonesia
Pancasila dalam sistem politik indonesia
 
Etika administrasi temu 5 6
Etika administrasi temu 5 6Etika administrasi temu 5 6
Etika administrasi temu 5 6
 
PROSES KEBIJAKAN PUBLIK
PROSES KEBIJAKAN PUBLIKPROSES KEBIJAKAN PUBLIK
PROSES KEBIJAKAN PUBLIK
 
Perbandingan hukum 1
Perbandingan hukum 1Perbandingan hukum 1
Perbandingan hukum 1
 
Etika pemerintahan dalam membangun good governance (bahan lemhanas edit)
Etika pemerintahan dalam membangun good governance (bahan lemhanas edit)Etika pemerintahan dalam membangun good governance (bahan lemhanas edit)
Etika pemerintahan dalam membangun good governance (bahan lemhanas edit)
 
legal memorandum
legal memorandum legal memorandum
legal memorandum
 
Konflik Rempang
Konflik RempangKonflik Rempang
Konflik Rempang
 
Strategi dan pendekatan dalam pengembangan masyarakat
Strategi dan pendekatan dalam pengembangan masyarakatStrategi dan pendekatan dalam pengembangan masyarakat
Strategi dan pendekatan dalam pengembangan masyarakat
 
HUKUM PERDATA & HUKUM DAGANG
HUKUM PERDATA & HUKUM DAGANGHUKUM PERDATA & HUKUM DAGANG
HUKUM PERDATA & HUKUM DAGANG
 
Soal dan Jawaban Hukum lingkungan
Soal dan Jawaban Hukum lingkungan Soal dan Jawaban Hukum lingkungan
Soal dan Jawaban Hukum lingkungan
 
Sistem pemerintahan indonesia sebelum dan sesudah amandemen
Sistem pemerintahan indonesia sebelum dan sesudah amandemenSistem pemerintahan indonesia sebelum dan sesudah amandemen
Sistem pemerintahan indonesia sebelum dan sesudah amandemen
 
Beberapa pertanyaan dalam perencanaan pembangunan
Beberapa pertanyaan dalam perencanaan pembangunanBeberapa pertanyaan dalam perencanaan pembangunan
Beberapa pertanyaan dalam perencanaan pembangunan
 
Pengantar Ilmu Pengetahuan Perundang Undangan
Pengantar Ilmu Pengetahuan Perundang UndanganPengantar Ilmu Pengetahuan Perundang Undangan
Pengantar Ilmu Pengetahuan Perundang Undangan
 
Sosiologi dan politik
Sosiologi dan politikSosiologi dan politik
Sosiologi dan politik
 
Part 04 Konsep Transformasi, dan Tipe Relasi e-Government
Part 04 Konsep Transformasi, dan Tipe Relasi e-GovernmentPart 04 Konsep Transformasi, dan Tipe Relasi e-Government
Part 04 Konsep Transformasi, dan Tipe Relasi e-Government
 
Potret politik perempuan.pdf
Potret politik perempuan.pdfPotret politik perempuan.pdf
Potret politik perempuan.pdf
 
Makalah Fungsi Etika Profesi Hukum
Makalah Fungsi Etika Profesi HukumMakalah Fungsi Etika Profesi Hukum
Makalah Fungsi Etika Profesi Hukum
 
Agenda Setting & Perumusan Kebijakan Publik
Agenda Setting & Perumusan Kebijakan PublikAgenda Setting & Perumusan Kebijakan Publik
Agenda Setting & Perumusan Kebijakan Publik
 

Similar to Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma

Syarifudin, dakwah melalui media cetak
Syarifudin, dakwah melalui media cetakSyarifudin, dakwah melalui media cetak
Syarifudin, dakwah melalui media cetakSyarifudin Amq
 
MAJALAH ABSOLUT SMAN 1 BANDONGAN Edisi VI.pdf
MAJALAH ABSOLUT SMAN 1 BANDONGAN Edisi VI.pdfMAJALAH ABSOLUT SMAN 1 BANDONGAN Edisi VI.pdf
MAJALAH ABSOLUT SMAN 1 BANDONGAN Edisi VI.pdfSMABAPERS
 
Prismapemikirangusdur 170821200247
Prismapemikirangusdur 170821200247Prismapemikirangusdur 170821200247
Prismapemikirangusdur 170821200247muhammad tarmizi
 
ISLAM, PLURALISME & TOLERANSI KEAGAMAAN : PANDANGAN AL-QURAN, KEMANUSIAAN, SE...
ISLAM, PLURALISME & TOLERANSI KEAGAMAAN : PANDANGAN AL-QURAN, KEMANUSIAAN, SE...ISLAM, PLURALISME & TOLERANSI KEAGAMAAN : PANDANGAN AL-QURAN, KEMANUSIAAN, SE...
ISLAM, PLURALISME & TOLERANSI KEAGAMAAN : PANDANGAN AL-QURAN, KEMANUSIAAN, SE...primagraphology consulting
 
REVANSA INDWIANO_SOSIOLOGI KOMUNIKASI.pdf
REVANSA INDWIANO_SOSIOLOGI KOMUNIKASI.pdfREVANSA INDWIANO_SOSIOLOGI KOMUNIKASI.pdf
REVANSA INDWIANO_SOSIOLOGI KOMUNIKASI.pdfHarfiBurhanudin
 
REVANSA INDWIANO_SOSIOLOGI KOMUNIKASI.pdf
REVANSA INDWIANO_SOSIOLOGI KOMUNIKASI.pdfREVANSA INDWIANO_SOSIOLOGI KOMUNIKASI.pdf
REVANSA INDWIANO_SOSIOLOGI KOMUNIKASI.pdfRevansaIndwianoPutra
 
Kelompok 2 Literasi Media Kelompok 2 Literasi MediaKelompok 2 Literasi Media
Kelompok 2 Literasi Media Kelompok 2 Literasi MediaKelompok 2 Literasi MediaKelompok 2 Literasi Media Kelompok 2 Literasi MediaKelompok 2 Literasi Media
Kelompok 2 Literasi Media Kelompok 2 Literasi MediaKelompok 2 Literasi Mediadigilib2023
 
Tasawuf dan Sosialisme Islam : Formulasi Historis Mewujudkan Peradaban yang H...
Tasawuf dan Sosialisme Islam : Formulasi Historis Mewujudkan Peradaban yang H...Tasawuf dan Sosialisme Islam : Formulasi Historis Mewujudkan Peradaban yang H...
Tasawuf dan Sosialisme Islam : Formulasi Historis Mewujudkan Peradaban yang H...DivRisSriwijayaIusIn
 
Post modernisme & post tradisionalisme
Post modernisme & post tradisionalismePost modernisme & post tradisionalisme
Post modernisme & post tradisionalismeujaroneto
 
Makalah metodologi islam ibu titin
Makalah metodologi islam ibu titinMakalah metodologi islam ibu titin
Makalah metodologi islam ibu titinapotek agam farma
 
Power Point media sosial dan pancasila
Power Point media sosial dan pancasilaPower Point media sosial dan pancasila
Power Point media sosial dan pancasilaMagribi_12
 
Ideologi, identitas dan komunikasi budaya
Ideologi, identitas dan komunikasi budayaIdeologi, identitas dan komunikasi budaya
Ideologi, identitas dan komunikasi budayailhamsyah .
 
Makalah Masyarakat Madani
Makalah Masyarakat MadaniMakalah Masyarakat Madani
Makalah Masyarakat MadaniWahyuni Jrs
 
IE(b) Materi 11 Mayarakat Madani
IE(b) Materi 11 Mayarakat Madani IE(b) Materi 11 Mayarakat Madani
IE(b) Materi 11 Mayarakat Madani friscayunita
 
117520939 peran-pemuda-dalam-pembangunan-nasional
117520939 peran-pemuda-dalam-pembangunan-nasional117520939 peran-pemuda-dalam-pembangunan-nasional
117520939 peran-pemuda-dalam-pembangunan-nasionalAlieska Waye
 

Similar to Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma (20)

Makalah 123
Makalah 123Makalah 123
Makalah 123
 
kethoprak sbg penyalur asprasi
kethoprak sbg penyalur asprasikethoprak sbg penyalur asprasi
kethoprak sbg penyalur asprasi
 
Syarifudin, dakwah melalui media cetak
Syarifudin, dakwah melalui media cetakSyarifudin, dakwah melalui media cetak
Syarifudin, dakwah melalui media cetak
 
MAJALAH ABSOLUT SMAN 1 BANDONGAN Edisi VI.pdf
MAJALAH ABSOLUT SMAN 1 BANDONGAN Edisi VI.pdfMAJALAH ABSOLUT SMAN 1 BANDONGAN Edisi VI.pdf
MAJALAH ABSOLUT SMAN 1 BANDONGAN Edisi VI.pdf
 
PRISMA PEMIKIRAN GUS DUR
PRISMA PEMIKIRAN GUS DURPRISMA PEMIKIRAN GUS DUR
PRISMA PEMIKIRAN GUS DUR
 
Prismapemikirangusdur 170821200247
Prismapemikirangusdur 170821200247Prismapemikirangusdur 170821200247
Prismapemikirangusdur 170821200247
 
ISLAM, PLURALISME & TOLERANSI KEAGAMAAN : PANDANGAN AL-QURAN, KEMANUSIAAN, SE...
ISLAM, PLURALISME & TOLERANSI KEAGAMAAN : PANDANGAN AL-QURAN, KEMANUSIAAN, SE...ISLAM, PLURALISME & TOLERANSI KEAGAMAAN : PANDANGAN AL-QURAN, KEMANUSIAAN, SE...
ISLAM, PLURALISME & TOLERANSI KEAGAMAAN : PANDANGAN AL-QURAN, KEMANUSIAAN, SE...
 
REVANSA INDWIANO_SOSIOLOGI KOMUNIKASI.pdf
REVANSA INDWIANO_SOSIOLOGI KOMUNIKASI.pdfREVANSA INDWIANO_SOSIOLOGI KOMUNIKASI.pdf
REVANSA INDWIANO_SOSIOLOGI KOMUNIKASI.pdf
 
REVANSA INDWIANO_SOSIOLOGI KOMUNIKASI.pdf
REVANSA INDWIANO_SOSIOLOGI KOMUNIKASI.pdfREVANSA INDWIANO_SOSIOLOGI KOMUNIKASI.pdf
REVANSA INDWIANO_SOSIOLOGI KOMUNIKASI.pdf
 
Kelompok 2 Literasi Media Kelompok 2 Literasi MediaKelompok 2 Literasi Media
Kelompok 2 Literasi Media Kelompok 2 Literasi MediaKelompok 2 Literasi MediaKelompok 2 Literasi Media Kelompok 2 Literasi MediaKelompok 2 Literasi Media
Kelompok 2 Literasi Media Kelompok 2 Literasi MediaKelompok 2 Literasi Media
 
Tasawuf dan Sosialisme Islam : Formulasi Historis Mewujudkan Peradaban yang H...
Tasawuf dan Sosialisme Islam : Formulasi Historis Mewujudkan Peradaban yang H...Tasawuf dan Sosialisme Islam : Formulasi Historis Mewujudkan Peradaban yang H...
Tasawuf dan Sosialisme Islam : Formulasi Historis Mewujudkan Peradaban yang H...
 
Post modernisme & post tradisionalisme
Post modernisme & post tradisionalismePost modernisme & post tradisionalisme
Post modernisme & post tradisionalisme
 
Makalah metodologi islam ibu titin
Makalah metodologi islam ibu titinMakalah metodologi islam ibu titin
Makalah metodologi islam ibu titin
 
Power Point media sosial dan pancasila
Power Point media sosial dan pancasilaPower Point media sosial dan pancasila
Power Point media sosial dan pancasila
 
Ideologi, identitas dan komunikasi budaya
Ideologi, identitas dan komunikasi budayaIdeologi, identitas dan komunikasi budaya
Ideologi, identitas dan komunikasi budaya
 
komunikasi massa
komunikasi massakomunikasi massa
komunikasi massa
 
Makalah Masyarakat Madani
Makalah Masyarakat MadaniMakalah Masyarakat Madani
Makalah Masyarakat Madani
 
makalah deva.docx
makalah deva.docxmakalah deva.docx
makalah deva.docx
 
IE(b) Materi 11 Mayarakat Madani
IE(b) Materi 11 Mayarakat Madani IE(b) Materi 11 Mayarakat Madani
IE(b) Materi 11 Mayarakat Madani
 
117520939 peran-pemuda-dalam-pembangunan-nasional
117520939 peran-pemuda-dalam-pembangunan-nasional117520939 peran-pemuda-dalam-pembangunan-nasional
117520939 peran-pemuda-dalam-pembangunan-nasional
 

More from Dadang Setiawan

OSF-Evaluation_Final-Report_07.23.2020.pdf
OSF-Evaluation_Final-Report_07.23.2020.pdfOSF-Evaluation_Final-Report_07.23.2020.pdf
OSF-Evaluation_Final-Report_07.23.2020.pdfDadang Setiawan
 
Stakeholders Partnership Forum (SPF)
Stakeholders Partnership Forum (SPF)Stakeholders Partnership Forum (SPF)
Stakeholders Partnership Forum (SPF)Dadang Setiawan
 
Performance Evaluation USAID Oceans.pdf
Performance Evaluation USAID Oceans.pdfPerformance Evaluation USAID Oceans.pdf
Performance Evaluation USAID Oceans.pdfDadang Setiawan
 
Assessing Climate Change Adaptation in Indonesia - USAID partners.pdf
Assessing Climate Change Adaptation in Indonesia - USAID partners.pdfAssessing Climate Change Adaptation in Indonesia - USAID partners.pdf
Assessing Climate Change Adaptation in Indonesia - USAID partners.pdfDadang Setiawan
 
Policy paper Permen KP 71_206_05.08.2019.pdf
Policy paper Permen KP 71_206_05.08.2019.pdfPolicy paper Permen KP 71_206_05.08.2019.pdf
Policy paper Permen KP 71_206_05.08.2019.pdfDadang Setiawan
 
Indonesia_Marine_Protected_Areas_Based_E.pdf
Indonesia_Marine_Protected_Areas_Based_E.pdfIndonesia_Marine_Protected_Areas_Based_E.pdf
Indonesia_Marine_Protected_Areas_Based_E.pdfDadang Setiawan
 
Journal Review: The Health Effects of Climate Change: A Survey of Recent Quan...
Journal Review: The Health Effects of Climate Change: A Survey of Recent Quan...Journal Review: The Health Effects of Climate Change: A Survey of Recent Quan...
Journal Review: The Health Effects of Climate Change: A Survey of Recent Quan...Dadang Setiawan
 
Dampak Perubahan Iklim terhadap Ekologi Laut
Dampak Perubahan Iklim terhadap Ekologi LautDampak Perubahan Iklim terhadap Ekologi Laut
Dampak Perubahan Iklim terhadap Ekologi LautDadang Setiawan
 
Dampak Perubahan Iklim terhadap Kesehatan
Dampak Perubahan Iklim terhadap KesehatanDampak Perubahan Iklim terhadap Kesehatan
Dampak Perubahan Iklim terhadap KesehatanDadang Setiawan
 

More from Dadang Setiawan (9)

OSF-Evaluation_Final-Report_07.23.2020.pdf
OSF-Evaluation_Final-Report_07.23.2020.pdfOSF-Evaluation_Final-Report_07.23.2020.pdf
OSF-Evaluation_Final-Report_07.23.2020.pdf
 
Stakeholders Partnership Forum (SPF)
Stakeholders Partnership Forum (SPF)Stakeholders Partnership Forum (SPF)
Stakeholders Partnership Forum (SPF)
 
Performance Evaluation USAID Oceans.pdf
Performance Evaluation USAID Oceans.pdfPerformance Evaluation USAID Oceans.pdf
Performance Evaluation USAID Oceans.pdf
 
Assessing Climate Change Adaptation in Indonesia - USAID partners.pdf
Assessing Climate Change Adaptation in Indonesia - USAID partners.pdfAssessing Climate Change Adaptation in Indonesia - USAID partners.pdf
Assessing Climate Change Adaptation in Indonesia - USAID partners.pdf
 
Policy paper Permen KP 71_206_05.08.2019.pdf
Policy paper Permen KP 71_206_05.08.2019.pdfPolicy paper Permen KP 71_206_05.08.2019.pdf
Policy paper Permen KP 71_206_05.08.2019.pdf
 
Indonesia_Marine_Protected_Areas_Based_E.pdf
Indonesia_Marine_Protected_Areas_Based_E.pdfIndonesia_Marine_Protected_Areas_Based_E.pdf
Indonesia_Marine_Protected_Areas_Based_E.pdf
 
Journal Review: The Health Effects of Climate Change: A Survey of Recent Quan...
Journal Review: The Health Effects of Climate Change: A Survey of Recent Quan...Journal Review: The Health Effects of Climate Change: A Survey of Recent Quan...
Journal Review: The Health Effects of Climate Change: A Survey of Recent Quan...
 
Dampak Perubahan Iklim terhadap Ekologi Laut
Dampak Perubahan Iklim terhadap Ekologi LautDampak Perubahan Iklim terhadap Ekologi Laut
Dampak Perubahan Iklim terhadap Ekologi Laut
 
Dampak Perubahan Iklim terhadap Kesehatan
Dampak Perubahan Iklim terhadap KesehatanDampak Perubahan Iklim terhadap Kesehatan
Dampak Perubahan Iklim terhadap Kesehatan
 

Recently uploaded

Materi Makna alinea pembukaaan UUD .pptx
Materi Makna alinea pembukaaan UUD .pptxMateri Makna alinea pembukaaan UUD .pptx
Materi Makna alinea pembukaaan UUD .pptxIKLASSENJAYA
 
hormon Asam Jasmonat dan Lainnya, pengatur tumbuh tanaman
hormon Asam Jasmonat dan Lainnya, pengatur tumbuh tanamanhormon Asam Jasmonat dan Lainnya, pengatur tumbuh tanaman
hormon Asam Jasmonat dan Lainnya, pengatur tumbuh tanamanAprissiliaTaifany1
 
materi+kuliah-ko2-senyawa+aldehid+dan+keton.pdf
materi+kuliah-ko2-senyawa+aldehid+dan+keton.pdfmateri+kuliah-ko2-senyawa+aldehid+dan+keton.pdf
materi+kuliah-ko2-senyawa+aldehid+dan+keton.pdfkaramitha
 
TEMA 9 SUBTEMA 1 PEMBELAJARAN 1 KELAS 6.pptx
TEMA 9 SUBTEMA 1 PEMBELAJARAN 1 KELAS 6.pptxTEMA 9 SUBTEMA 1 PEMBELAJARAN 1 KELAS 6.pptx
TEMA 9 SUBTEMA 1 PEMBELAJARAN 1 KELAS 6.pptxSyabilAfandi
 
Modul ajar IPAS Kls 4 materi wujud benda dan perubahannya
Modul ajar IPAS Kls 4 materi wujud benda dan perubahannyaModul ajar IPAS Kls 4 materi wujud benda dan perubahannya
Modul ajar IPAS Kls 4 materi wujud benda dan perubahannyaAnggrianiTulle
 
Dampak Bioteknologi di Bidang Pertanian.pdf
Dampak Bioteknologi di Bidang Pertanian.pdfDampak Bioteknologi di Bidang Pertanian.pdf
Dampak Bioteknologi di Bidang Pertanian.pdfssuser4743df
 
Konsep Agribisnis adalah suatu kesatuan kegiatan meliputi salah satu atau ...
Konsep	Agribisnis	adalah	suatu	kesatuan	kegiatan  meliputi		salah	satu	atau		...Konsep	Agribisnis	adalah	suatu	kesatuan	kegiatan  meliputi		salah	satu	atau		...
Konsep Agribisnis adalah suatu kesatuan kegiatan meliputi salah satu atau ...laila16682
 
PPT Kelompok 7 Pembelajaran IPA Modul 7.pptx
PPT Kelompok 7 Pembelajaran IPA Modul 7.pptxPPT Kelompok 7 Pembelajaran IPA Modul 7.pptx
PPT Kelompok 7 Pembelajaran IPA Modul 7.pptxSDN1Wayhalom
 
CASE REPORT ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE 31 Desember 23.pptx
CASE REPORT ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE 31 Desember 23.pptxCASE REPORT ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE 31 Desember 23.pptx
CASE REPORT ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE 31 Desember 23.pptxresidentcardio13usk
 
Power Point materi Mekanisme Seleksi Alam.pptx
Power Point materi Mekanisme Seleksi Alam.pptxPower Point materi Mekanisme Seleksi Alam.pptx
Power Point materi Mekanisme Seleksi Alam.pptxSitiRukmanah5
 

Recently uploaded (10)

Materi Makna alinea pembukaaan UUD .pptx
Materi Makna alinea pembukaaan UUD .pptxMateri Makna alinea pembukaaan UUD .pptx
Materi Makna alinea pembukaaan UUD .pptx
 
hormon Asam Jasmonat dan Lainnya, pengatur tumbuh tanaman
hormon Asam Jasmonat dan Lainnya, pengatur tumbuh tanamanhormon Asam Jasmonat dan Lainnya, pengatur tumbuh tanaman
hormon Asam Jasmonat dan Lainnya, pengatur tumbuh tanaman
 
materi+kuliah-ko2-senyawa+aldehid+dan+keton.pdf
materi+kuliah-ko2-senyawa+aldehid+dan+keton.pdfmateri+kuliah-ko2-senyawa+aldehid+dan+keton.pdf
materi+kuliah-ko2-senyawa+aldehid+dan+keton.pdf
 
TEMA 9 SUBTEMA 1 PEMBELAJARAN 1 KELAS 6.pptx
TEMA 9 SUBTEMA 1 PEMBELAJARAN 1 KELAS 6.pptxTEMA 9 SUBTEMA 1 PEMBELAJARAN 1 KELAS 6.pptx
TEMA 9 SUBTEMA 1 PEMBELAJARAN 1 KELAS 6.pptx
 
Modul ajar IPAS Kls 4 materi wujud benda dan perubahannya
Modul ajar IPAS Kls 4 materi wujud benda dan perubahannyaModul ajar IPAS Kls 4 materi wujud benda dan perubahannya
Modul ajar IPAS Kls 4 materi wujud benda dan perubahannya
 
Dampak Bioteknologi di Bidang Pertanian.pdf
Dampak Bioteknologi di Bidang Pertanian.pdfDampak Bioteknologi di Bidang Pertanian.pdf
Dampak Bioteknologi di Bidang Pertanian.pdf
 
Konsep Agribisnis adalah suatu kesatuan kegiatan meliputi salah satu atau ...
Konsep	Agribisnis	adalah	suatu	kesatuan	kegiatan  meliputi		salah	satu	atau		...Konsep	Agribisnis	adalah	suatu	kesatuan	kegiatan  meliputi		salah	satu	atau		...
Konsep Agribisnis adalah suatu kesatuan kegiatan meliputi salah satu atau ...
 
PPT Kelompok 7 Pembelajaran IPA Modul 7.pptx
PPT Kelompok 7 Pembelajaran IPA Modul 7.pptxPPT Kelompok 7 Pembelajaran IPA Modul 7.pptx
PPT Kelompok 7 Pembelajaran IPA Modul 7.pptx
 
CASE REPORT ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE 31 Desember 23.pptx
CASE REPORT ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE 31 Desember 23.pptxCASE REPORT ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE 31 Desember 23.pptx
CASE REPORT ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE 31 Desember 23.pptx
 
Power Point materi Mekanisme Seleksi Alam.pptx
Power Point materi Mekanisme Seleksi Alam.pptxPower Point materi Mekanisme Seleksi Alam.pptx
Power Point materi Mekanisme Seleksi Alam.pptx
 

Prisma vol. 40, no. 4, 2021 edisi 50 tahun prisma

  • 1. Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021 147
  • 2. Prisma diterbitkan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dan dimaksud­ kan sebagai media informasi dan forum pembahasan masalah pembangunan ekonomi, perkembangan sosial dan perubahan kultural di Indonesia dan sekitarnya. Berisi tulisan ilmiah populer, ringkasan hasil penelitian, survei, hipotesis atau gagasan orisinal yang kritis dan segar. Redaksi meng­un­dang para ahli, sarjana, praktisi dan pemuda Indonesia yang berbakat untuk berdiskusi dan menulis secara bebas dan kreatif sambil berkomunikasi dengan masyarakat luas. Tulisan dalam Prisma tidak selalu segaris atau mencerminkan pendapat LP3ES. Redaksi dapat menying­kat dan memperbaiki tulisan yang dimuat tanpa mengubah maksud dan isinya. Dilarang mengutip, menerjemahkan, dan memperbanyak, kecuali dengan izin tertulis dari Redaksi. © Hak cipta dilindungi Undang-undang. ISSN 0301-6269 Vol. 40, No. 4, 2021 Pendiri: Ismid Hadad, Nono Anwar Makarim n Pemimpin Umum: Ismid Hadad n Pemimpin Redaksi: Harry Wibowo Redaktur Senior: Vedi R Hadiz n Dewan Redaksi: Airlangga Pribadi Kusman, Azyumardi Azra, Inaya Rakhmani, Kamala Chandrakirana, Nezar Patria, Sumit Mandal (Malaysia), Taufik Abdullah n Redaktur Pelaksana: E Dwi Arya Wisesa n Redaktur Ekonomi: Fachru Nofrian Bakaruddin n Redaksi: Rahadi T Wiratama n Produksi: Arief Mudi Handoko Alamat: Jl. Pangkalan Jati No. 71, Cinere, Depok 16513, Indonesia. Telp/Faks: (6221) 2765 4031 Email: prisma@prismajurnal.com; prisma.redaksi@gmail.com; prismaredaksi@yahoo.com; Website: www.prismajurnal.com Pemesanan Langsung: 0811 8845 741. Bank: BCA. No. Rek.: 723-55412-11 a/n Muhadi Vedi R Hadiz 3 Farid Gaban 11 Airlangga Pribadi Kusman 26 Bosman Batubara 49 & Eka Handriana Inaya Rakhmani 69 Kamala Chandrakirana 22 Ismid Hadad, Sony Karsono, 83 Farabi Fakih, Julia I Suryakusuma, Fajri Siregar Grace Leksana 106 & Douglas Kammen Fachru Nofrian Bakarudin 117 Donny Danardono 135 139 Gambar Cover: Malela Margahasari T O P I K K I TA Memotret Indonesia Lewat Prisma Dari Kutukan Rostow ke Model Baru Pembangunan Dialektika Mitra-Kritis: Lima Puluh Tahun Pergumulan Prisma­ Urbanisasi Sebagai Pabrik Krisis Sosial-Ekologis: Berdialektika dengan Prisma 1971-2021 Intelektual Publik dan Ketimpangan Sosial di Indonesia yang Neoliberal E S A I Sejauh-jauh Mata Memandang: Prisma dan Pergulatan Perempuan D I A L O G LP3ES dan Dinamika Sejarah Intelektual di Indonesia S U R V E I Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965”: Sebuah Tinjauan A R T I K E L Ekonomi-Politik Indonesia Pasca-Korona K R I T I K & K O M E N TA R Reproduksi Kapitalistik Ruang Kota dan Perlawanan dari Pinggiran P A R A P E N U L I S Vol. 41, No. 1, 2022: Pendidikan Musik & Demokrasi Vol. 41, No. 2, 2022: Ruang Publik: Identitas Budaya dan Komunikasi Politik Setengah Abad Prisma
  • 3. Bagi manusia, 50 tahun usia yang matang. Bagi pernikahan, setengah abad patut dirayakan, the golden anniversary, “kawin emas.” Sebuah pergulatan hidup untuk menyelami rumah tangga, membangun keluarga batih, dengan kemungkinan gagal berantakan. Tentu analogi usia manusia atau­ pun usia pernikahan untuk tumbuh, berkembang, menjadi dewasa dan matang tidaklah sepenuhnya tepat bagi sebuah penerbitan berbasis pengetahuan dan akuntabilitas ilmiah, seperti Prisma. Terbit pada masa awal regimentasi Orde Baru, Prismatumbuhmenjadisebuah“majalah”pemikir­ an sosial ekonomi yang lekat sebagai bagian dari teknokrasi Orde Baru. Kegairahan membuncah dari para pendiri, awak redaksi, dan para kon­ tributornya terhadap sebuah proyek modernisasi yang kemudian kita kenal sebagai pembangunan. Beberapa tahun kemudian, pada akhir tahun 1970- an, Prisma menjadi lebih kritis terhadap model pembangunan dan kekuasaan negara yang makin otoriter, namun dalam pakem di master-head-nya hingga kini, Prisma menyatakan diri: “… dimaksudkan sebagai media informasi dan forum pembahasan masalah pembangunan eko­ nomi, perkembangan sosial dan perubahan kul­ tural di Indonesia dan sekitarnya. Berisi tulisan ilmiah populer, ringkasan hasil penelitian, survei, hipotesis atau gagasan orisinal yang kritis dan segar.” Sebagai produsen pengetahuan dalam dunia sosial yang terus berubah, pertanyaan tentang cara dan tujuan yang tepat bagi Prisma selalu menjadi pertimbangan penting, bahkan pergulatan di meja redaksi. Misalnya, bagaimana analisis dan hasil penelitian yang dimuat di Prisma tak hanya berkon­ tribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan dari dan oleh kalangan akademia atau scholar, namun juga memiliki dampak pada proses pengambilan keputusan dan kebijakan publik? Bagaimana kualitas penelitian dan nilai publik dari suatu penyelidikan sosial dapat andil meru­ muskan masalah dan memajukan gerakan sosial yang semakin kompleks, terutama saat Indonesia memasuki milenium baru di era pasca-Reformasi? Bagaimana para peneliti sosial dapat membingkai ulang masalah yang dihadapi oleh mayoritas mere­ ka yang tersingkir dan terpinggirkan oleh proses pembangunan, seraya merancang suatu metode penyelidikan dan, yang lebih penting, mengomuni­ kasikan berbagai temuan dan analisisnya dengan cara yang tepat sehingga mampu berkontribusi pada debat publik yang bernas? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu tidak akan dibantu oleh nalar biner yang telah menciptakan hierarki pengetahuan seperti kredo yang tertanam di benak banyak cerdik-cendekia mengenai pembelahan antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial atau humaniora; atau seperti juga perbedaan yang disebut Aristoteles sebagai techne (rasionalitas teknis) dan phronesis (rasionalitas ­ nilai). Menyadari ketegangan mendasar antara dua rasionalitas yang berbeda tersebut, sejak kembali terbit di pertengahan tahun 2009, setelah “mati suri” selama satu dekade, Prisma berupaya meru­ muskan ulang posisi dan kiprahnya. Perumusan ulang tersebut semakin relevan dan mendesak karena setidaknya dua hal. Pertama, karena refleksi kritis dan perkem­ bangan teori tertentu dalam ilmu-ilmu sosial, tam­ paknya kita harus keluar dari zona nyaman dengan pemilahan bahkan dikotomi usang antara “agensi” dan “struktur”, antara data “lunak” dan “keras”, antara fenomena objektif dan subjektif, antara re­ alitas material dan diskursif, bahkan antara tekno­ krasi dan demokrasi/partisipasi. Kedua, menyadari juga dalam masyarakat kontemporer yang semakin mendunia, kita terus dihantui dan menghadapi krisis kapitalisme—yang akut maupun konjungtural—yang kini memuncak dalam wujud krisis iklim dengan disrupsi pan­ demi virus korona. Krisis itu berada dalam suatu era globalisasi digital, di tengah ledakan informasi dan dominasi media sosialnya. Sambil mematah­ kan janji-janji modernisasi, krisis global ini terus menyeret gerbong berbagai masalah klasik pem­ bangunan: konsentrasi kekuasaan dan sumber daya pada segelintir orang, ketimpangan sosial dan penghancuran ekologi. Pada titik itulah Prisma dituntut mampu menjelaskan masalah dan risiko yang dihadapi masyarakat Indonesia di masa mendatang. Hal itu mungkin dapat dilakukan dengan merangkul, baik rasionalitas nilai maupun rasionalitas tekniknya, sambil memperluas komunitas epistemik yang mampu memperkuat daya penjelas dan daya pre­ diktifnya. Dalam arti ini, Prisma berupaya meng­ artikulasikan edisi tematiknya bukan sekadar melalui pendekatan multidisiplin melainkan trans­ disiplin agar tetap menjadi hub (penghubung) an­ tara ketiga stakeholder-nya: dunia akademik atau para cerdik-cendekia, para pengambil kebijakan negara, dan gerakan sosial. Semoga. Harry Wibowo Tiga Pilar Pemangku Kepentingan TOPIK KITA Prisma
  • 4. Grace L dan Douglas K, Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965” T O P I K Memotret Indonesia Lewat Prisma Vedi R Hadiz Prisma semula didirikan dan diterbitkan untuk menyambut berbagai kemungkinan yang sempat diharapkan terbuka bagi masa depan Indonesia di tahun-tahun awal Orde Baru. Harap­an tersebut praktis kandas dengan semakin bercokolnya sistem otoritarianisme Orde Baru yang korup dan represif, terutama terhadap kekuatan-kekuatan masyarakat yang inde- penden. Akan tetapi, Prisma berevolusi, meski gagal mempertahankan status sebagai episen- trum perdebatan pembangunan di Indonesia. Kini sudah setengah abad dilalui Prisma, kendati sempat absen antara 1998 dan 2009. Dewasa ini, Indonesia mengalami sejumlah tantangan “baru tapi lama” yang hadir dengan tingkat keterpautan sangat tinggi de­ngan perkembangan global. Adalah tantangan Prisma untuk tetap relevan sebagai “pemotret” perubahan masyarakat dan pergulatan pemikiran di Indonesia. Hal itu menjadi makin pen­ ting karena Reformasi baru mampu melahirkan demokrasi yang cacat, sementara cita-cita keadilan sosial tampak kian sulit diwujudkan. Kata Kunci: demokrasi, intelektual, modernisasi-pluralis, orde baru, pembangunan risma adalah produk zamannya. Be­ gitu kira-kira kata Benedict Richard O’Gorman Anderson—yang akrab disapa dengan nama Ben Anderson—kepada saya di sela-sela sebuah konferensi inter­ nasional akhir 1992 yang diselenggarakan di luar kota Melbourne, Australia. Namun demikian, sejarah membuktikan bahwa Prisma telah dan mampu melampaui (dalam arti transcend) zaman yang melahirkannya, meski tidak selalu pada tingkat keberhasilan yang sama. Ia memberikan sejumlah potret, yang jelas dan kurang lebih runtut, tentang perjalanan sejarah Indonesia selama sete­ ngah abad belakangan ini. Potret itu pun menangkap berbagai kontradiksi internal dalam masyarakat dan negara Indonesia se­ jak zaman otoritarianisme yang kaku dan ko­ rup hingga masa demokratisasi dengan ke­ hidupan politik yang lebih cair, tetapi tidak kalah korupnya. Bukan berarti almarhum ahli Indonesia terkemuka berkebangsaan Irlandia itu keliru: Prisma memang sejak semula adalah buah karya para intelektual dan aktivis pendukung suatu proyek modernisasi tertentu yang ber­ kumpul di LP3ES pada tahun-tahun awal Orde Baru. Di antara mereka adalah Nono Anwar Makarim dan Ismid Hadad, yang diakui sebagai tokoh pencetus dan pendiri Prisma. Saya menduga bahwa, di benak Ben Anderson, para intelektual tersebut diper­ satukan oleh sebuah visi tentang masa depan Indonesia yang dapat diberi label tertentu: modernis-pluralis.1 Pembangunan ekonomi 1 Lihat, David Bourchier dan Vedi R Hadiz, Indonesian Politics and Society: A Reader (London: Routledge, 2003), khususnya Bab 2. P
  • 5. Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021 T O P I K yang dirancang oleh para ahli dibayang­ kan berjalan dalam lingkungan politik yang makin memberi tempat pada kekuatan ma­ syarakat sipil dan independen. Tidak meng­ herankan jika sejarawan Onghokham meni­ lai, pada kesempatan peringatan hari ulang tahun ke-10 Prisma, bahwa majalah ini meng­artikulasikan sikap terhadap berbagai persoalan pembangunan bangsa yang seka­ ligus bersifat teknokratis dan liberal.2 Namun demikian, menurutAnderson, dua dasawarsa setelah Prisma berdiri, proyek modernisasi pluralis sudah lama terpinggir­ kan oleh proyek modernisasi saingan yang dilahirkan dari dalam bagian-bagian inti birokrasi negara Orde Baru sendiri. Proyek modernisasi “resmi” tersebut, yang paling gamblang diuraikan watak dasarnya oleh Jenderal Ali Moertopo3 , salah seorang ideo­ log Orde Baru terpenting, bukan saja menge­ jar pertumbuhan ekonomi yang pesat, namun juga mengaitkan keberhasilan pembangunan dengan kontrol sosial dan politik yang ketat, bahkan represif. Di dalam visi resmi itu, tidak ada tempat buat cita-cita liberalisasi-pluralisme politik. Bahkan, masyarakat hampir sepenuhnya di­ subordinasikan terhadap tuntutan-tuntutan negara lewat sebuah arsitektur kekuasaan yang makin menutup ruang gerak politik. Pada pertengahan tahun 1980-an, misalnya, versi Pancasila sebagaimana disebarluas­ kan oleh Orde Baru melalui penataran P4 (Pedom­an Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) serta seperangkat peraturan pe­ rundangan yang membungkam kritik serta mengekang otonomi organisasi sosial dan poli­tik, sea­kan-akan menegaskan bahwa visi modernisasi pluralis yang mengilhami pen­ dirian majalah Prisma sudah tidak relevan di tingkat kebijaksanaan negara. Yang ting­ gal hanyalah gemuruh pembangunanisme negara monolitikyang praktis telahmenying­ kirkannya. Memang, teknokratisme ekonomi bang­ kit lagi bagai Lazarus di masa “deregulasi dan debirokratisasi” ekonomi tahun 1980- an, yang dipaksakan oleh jatuhnya harga mi­ nyak di pasaran internasional secara drastis. Namun,hubungannyadengancita-citalibera­ lisasi politik tertentu sudah lama berangsur terputus. Perkataan BenAnderson pada tahun 1992 itu, ada benarnya jika ditilik secara lebih so­ siologis. Kelahiran Prisma dimungkinkan oleh adanya suatu konteks sosio-historis ter­ tentu dalam perkembangan bangsa. Sebagai majalah atau jurnal, Prisma adalah respons beberapa intelektual muda (bersama sejum­ lah seniornya) terhadap sebuah kondisi di awal tahun 1970-an, yang waktu itu seakan- akan menjanjikan berbagai jenis kemungkin­ an masa depan. Bagi mereka, masa depan Indonesia terasa belum lagi tertulis saat itu. Dengan kata lain, Prisma memang hadir ditengah-tengah pergulatan yang sedang ber­ langsung untuk membentuk suatu social or- der pasca-1966—yang ternyata bakal men­ jadi warisan paling kekal sepanjang masa kekuasaaan Soeharto. Bila orang sekarang banyak bicara tentang “oligarki” di Indone­ sia, misalnya, mereka sebenarnya merujuk pada suatu struktur hubungan sosial dan kekuasaan yang dibentuk dan dilanggeng­ kan pada masa Orde Baru itu sendiri.4 Perlu pula diingat bahwa Prisma terbit untuk kali pertama pada November 1971, tahun yang sama dengan pemilihan umum pertama yang diselenggarakan Orde Baru. Sebagaimana “pesta-pesta demokrasi” berikutnya, pemilu itu pun sejak awal sarat dengan intervensi dan manipulasi oleh penguasa negara dan berbagai aparatnya. 2 Lihat, Onghokham, “Potret Cendekiawan Indonesia se­ bagaimana Terekam dalam Prisma”, dalam Prisma, Vol. IX, No. 11, 1980, hal. 57-68. 3 Lihat, Ali Moertopo, Dasar-dasar Pemikiran tentang Akselerasi Pembangunan 25 Tahun (Jakarta: Yayasan Proklamasi, Centre for Strategic and International Stu­ dies, 1973). 4 Lihat, misalnya, artikel-artikel Prisma edisi “Demokra­ si di Bawah Cengkeraman Oligarki”, Vol. 33, No. 1, 2014.
  • 6. Grace L dan Douglas K, Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965” T O P I K Jadi, secara agak paradoksal, Prisma la­ hir justru ketika arsitektur politik yang akan menutup jalan bagi realisasi visi modernisa­ si pluralis sedang ditegakkan lewat Pemilu 1971 tersebut, mungkin tanpa disadari oleh para pendiri Prisma sendiri. Edisi “Perke­ nalan” Prisma, misalnya, memuat artikel- artikel tentang pembangunan ekonomi dan politik (serta renungan tentang kaitan antara keduanya) oleh Soedjatmoko dan Suhadi Mangkusuwondo.5 Edisi itu juga memuat tulisan ekonom Dorodjatun Kuntjoro-Jak­ ti—salah seorang pendiri LP3ES yang kelak menjadi Menteri Koordinator Perekonomian di masa Reformasi.6 Renungan-renungan ter­sebut menjadi kedaluwarsa dalam bilang­ an beberapa tahun saja dengan adanya fusi partai- partai politik 1973, peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari) 1974, kebi­ jakan NKK-BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus-BadanKoordinasiKemahasiswaan) 1978, dan lain-lain. Namun demikian, Prisma masih me­ miliki kemampuan untuk berevolusi—hal yang mungkin kurang diperhitungkan oleh Anderson. Dalam perjalanannya, Prisma terkadang dapat bersuara sangat kritis dan lantang, baik terhadap model pembangunan sosial-ekonomi-politik Orde Baru maupun narasi sejarahnya. Bahkan, salah satu edisi Prisma yang paling legendaris (dan laris) adalah edisi biografi beberapa tokoh sejarah Indonesia yang berasal dari spektrum politik yang luas, diterbitkan dengan judul “Manu­ sia dalam Kemelut Sejarah” (No 8, Agustus 1977), dengan menampilkan tulisan-tulisan Abu Hanifah, Alfian, Aminuddin Rasyad, Mohamad Roem, Mattulada, Mochtar Pabot­ tingi, Nugroho Notosusanto, Onghokham, Taufik Abdullah, dan YB Mangunwijaya. Tidak mengherankan jika Prisma men­ dapat beberapa kali teguran keras dari pe­ nguasa Orde Baru karena peran potensial­ nya dalam mengajukan suatu narasi sejarah “tandingan.” Pada 1983, Prisma dianggap terlalu menyoroti dan “mengangkat” peran kaum “Kiri” dalam sejarah Indonesia lewat berbagai artikel para cendekiawan yang per­ nah dan direncanakan dimuat oleh jurnal ini. Artikel-artikel tersebut, dan sebagian penulis­nya,dinilaibertentangande­ngannara­ si sejarah modern Indonesia yang waktu itu tengah dalam proses pembakuan oleh peja­ bat dan ideolog negara. Proses tersebut dapat dilihat dalam buku teks pelajaran sekolah maupun lewat karya ilmiah yang diterbitkan oleh beberapa tokoh, seper­ti Menteri Pendi­ dikan dan Kebudayaan sekaligus sejarawan, Nugroho Notosusanto, yang mengedepankan peran militer dalam perkembangan bangsa.7 Sebagai hasilnya, yang kemungkinan ti­ dak direncanakan oleh para pengelolanya, Prisma kemudian menangkap kegelisahan generasi muda dan intelektual baru, yang tidak mempunyai kaitan langsung dengan gejolak sosial-politik yang melahirkan Orde Baru. Sebagian besar pembaca Prisma pada tahun 1980-an adalah anak-anak muda dari pelbagai perguruan tinggi atau aktivis LSM (lembaga swadaya masyarakat) dan ber­bagai jenis organisasi lainnya. Proses sosialisasi politik mereka waktu itu sudah berjarak hampir dua dekade dari proses sosialisasi politik yang dialami para intelektual muda yang turut mendirikan Orde Baru, meski se­ bagian kemudian beranjak menjadi pengkri­ tiknya yang tajam. Pada 1987, di bawah nakhoda Masmi­ mar Mangiang, Prisma menerbitkan sebuah edisi tentang “kaum muda” yang sekali lagi 5 Lihat, Soedjatmoko, “Problim dan Prospek Pembangun­ an”, dalam Prisma, edisi Perkenalan, Nomor 1, Novem­ ber 1971; Suhadi Mangkusuwondo, “Faktor2 Non-Eko­ nomi dalam Penetuan Sasaran dan Tjara Pendekatan Pembangunan”, dalam Prisma, edisi Perkenalan, Nomor 1, November 1971. 6 Lihat, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, “Suatu Hipotesa Tentang Pengaruh Faktor2 Non-Ekonomi atas Faktor2 Ekonomi”, dalam Prisma, edisi Perkenalan, Nomor 1, November 1971. 7 Lihat, misalnya, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (eds.), Sejarah Nasional Indone- sia, 6 Jilid (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1975). Vedi R Hadiz, Memotret Indonesia Lewat Prisma
  • 7. Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021 T O P I K mendapatkan teguran dari birokrasi negara karena dituduh bernada menghasut pemu­ da untuk memberontak. Pada titik sejarah tersebut, posisi aktivis mahasiswa sudah sedemikian terpinggirkan, sehingga cara edi­ si tersebut menangani masalah kepemudaan dan kemahasiswaan tak pelak amat berbeda dengan edisi tahun 1973 ataupun 1977 yang menggeluti tema serupa. Pemuda dan maha­ siswa 1980-an yang menjadi objek bahasan pun cenderung memandang diri sebagai kor­ ban arsitektur politik Orde Baru. Berbeda dengan anggota generasi sebelumnya yang sempat mempunyai persepsi diri sebagai mitra rezim yang kemudian menuntut hak- haknya. Di lain pihak, nuansa teknokratis tetap melekat pada Prisma. Hal tersebut tidak kurang karena beberapa orang yang dekat dengan teknokrasi Orde Baru tetap mem­ punyai peran penting dalam organisasi in­ duknya, LP3ES, seperti Sumitro Djojoha­ dikusumo atau Emil Salim. Walakin, dalam mengekspresikan sudut pandang bernuansa teknokratis itu, Prisma sesungguhnya kian memberi dan membuka ruang untuk sejenis kritik internal rezim yang mewarnai perkem­ bangan Orde Baru itu sendiri dan biasanya muncul dari kalangan ekonom atau para pelaku/pembuat kebijaksanaan pembangun­ an ekonomi. Karena itu, Prisma tetap men­ jadi tempat memuat buah pikiran tokoh se­ perti Anwar Nasution, kelak menjadi salah satu Wakil Gubernur Bank Indonesia, yang menulis artikel tentang masalah-masalah pembangunan di Dunia Ketiga8 –dalam cara amat berbeda dengan Adi Sasono, misalnya, yang mengedepankan teori ketergantungan neo-Marxian.9 Di masa hebohnya “deregula­ si dan debirokratisasi”, ekonom yang saat itu sedang naik daun, Sjahrir, cukup terasa pe­ ngaruhnya terhadap perencanaan edisi-edisi Prisma tentang masalah kebijakan ekonomi dan pembangunan. Perkembangan lain yang menarik adalah semakin terlibatnya Prisma dalam perde­ batan tentang hubungan antara agama, ma­ syarakat, dan negara, seperti pada edisi-edisi yang masing-masing terbit pada 1975 (yang menampilkan figur Abdurrahman Wahid muda), 1982, 1984, 1988, dan 1995.10 Per­ hatian tersebut berlanjut pada masa Prisma “baru”, atau tahun 2009 ke atas, sebagaima­ na terlihat dalam edisi tentang “Islam dan Dunia”.11 Ada dua penyebab utama perkembang­ an itu. Pertama, perubahan internal yang perlahan-lahan berlangsung dalam tubuh LP3ES, yakni makin banyaknya (dan makin bertambahnya pengaruh) staf yang berlatar belakang organisasi seperti HMI atau PMII (salah satu di antaranya Fachry Ali) yang menyumbang beberapa tulisan untuk Pris- ma. Kedua, meningkatnya semacam proses Islamisasi kultural yang terjadi di Indonesia, terutama sejak tahun 1980-an dan 1990-an, yang juga banyak memengaruhi karakter so­ siologis sebagian pembaca Prisma. Walaupun demikian, pendapat bahwa pe­­ngaruh Prisma sebagai ladang pemikiran berangsur-angsur merosot sejak pertengah­ an dasawarsa 1980-an hingga akhir tahun 1990-an tidak­lah keliru. Aspek-aspek dari konteks sosial yang ditanggapi oleh Prisma sudah banyak berubah dengan cara yang se­ dikit banyak tidak menguntungkannya. Pada masa tersebut, pers cetak Indonesia te­ngah ber­­­kembang dengan pesat diikuti oleh pe­ luncuran beberapa stasiun televisi swasta. 8 Anwar Nasution, “Masalah Ekonomi Internasional Du­ nia Ketiga 1984 dan Prospek 1985” dalam Prisma, Vol. 14, No. 1, 1985, hal. 43-53. 9 Adi Sasono, “Tesis Ketergantungan dan Indonesia”, da­ lam Prisma, Vol. 9, No. 12, Desember 1980, hal. 73-86. 10 Lihat, Abdurrahman Wahid, “Menjadikan Hukum Is­ lam sebagai Penunjang Pembangunan”, dalam Prisma, edisi “Iman, Amal, dan Pembangunan”, Vol. 4, No. 4, 1975; Prisma edisi “Agama dan Revolusi”, Vol. 9, No.9, 1982; Prisma edisi “Islam Mencari Model Poli­ tik”, Vol. 13, No. 3, 1984; Prisma edisi “Sejarah Politik Islam”, Vol. 17, No. 5, 1988; Prisma edisi “Islam Poli­ tik dan Islam Kultural”, Vol. 24, No. 5, 1995. 11 Lihat, Prisma edisi “Islam dan Dunia: Perjumpaan di Tengah Perbenturan”, Vol. 29, No. 4, 2010.
  • 8. Grace L dan Douglas K, Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965” T O P I K Hal itu mengubah pola konsumsi gagasan, terutama di kalangan kelas menengah ter­ didik perkotaan yang juga sedang tumbuh pesat. Mereka cenderung tidak sabar mem­ baca analisis dalam artikel-artikel Prisma yang relatif panjang, serta dilengkapi dengan catatan kaki dan referensi yang banyak. Ko­ lom-kolom opini yang tersedia di berbagai surat kabar dan majalah berita sepanjang sekian ratus kata tampaknya sudah cukup memenuhi kebutuhan mereka. Para calon penulis juga semakin senang dan sering menyumbangkan artikel pendek di surat kabar dan majalah berita, sebab le­ bih mudah ditulis dalam tempo relatif cepat dan mendapatkan imbalan keuangan yang juga relatif lebih besar. Di kemudian hari, mereka pun berlomba-lomba untuk masuk acara televisi swasta—terkadang lebih terke­ san guna mendongkrak popularitas pribadi ketimbang menyumbangkan pemikiran yang mendalam. Akhirnya Prisma, berhenti terbit untuk waktu yang lama sejak tahun 1998. Memang sebuah ironi bahwa di tahun gejolak Refor­ masi, ketika suatu pergulatan besar terjadi lagi untuk menentukan arah perjalanan se­ jarah Indonesia, Prisma justru “mati suri”.12 Prisma seolah-olah lengser bersamaan de­ ngan lengsernya Soeharto, suatu hal yang seper­ti­nya menggarisbawahi bagaimana majalah tersebut betul-betul adalah anak za­ mannya. Baru pada tahun 2009, atas prakarsa Daniel Dhakidae, yang boleh disebut sebagai mantan pemimpin redaksi di masa puncak kejaya­annya, Prisma hadir lagi dalam belan­ tara perdebatan intelektual Indonesia.Walau­ pun terpaut satu dekade dengan berakhirnya Orde Baru, Prisma yang “bangun” kembali memang mendapatkan nafas dari lingkungan baru yang menyertai proses demokratisasi di Indonesia. Meskipun demikian, ia lebih tepat dimaknai sebagai produk lingkungan sosial yang ditandai kegagalan pencapaian sebagian cita-cita Reformasi tersebut. Memang agak berlebihan untuk men­ daku bahwa Prisma hadir kembali dikare­ nakan suatu kebutuhan yang ditimbulkan oleh pencarian arah baru untuk Indonesia yang sempat menyertai tumbangnya rezim Soeharto pada 1998. Ketika Prisma kembali hadir pada 2009, euforia Reformasi sudah lama surut. Prisma justru muncul untuk di­ baca oleh generasi yang mengalami keke­ cewaan dengan hasil-hasil perjuangan Re­ formasi—yang sudah mulai menumpuk dan menyebar ke berbagai pelosok masyarakat. Kalaupun demokrasi telah tertanam kuat di Indonesia, adalah sejenis demokrasi yang masih didominasi kekuatan-kekuatan oligar­ kis. Oligarki itu bertahan sebagai perseku­ tuan antara kepentingan politik-birokratis dan modal besar—yang awalnya dipelihara oleh Orde Baru dalam kerangka politik otori­ tarian—tetapi ternyata masih bisa berjaya dalam alam demokratisasi.13 Cita-cita keadilan sosial yang sempat menyertai harapan-harapan demokratisasi sudah agak lama tenggelam dengan terus melebarnya jurang kaya-miskin dan marak­ nya pola-pola akumulasi modal berlandas­ kan korupsi atau berbagai variasi kegiatan rampok dan rampas yang terlindungi secara politik. Tidak mengherankan bahwa edisi Prisma “baru” yang muncul kali pertama pada 2009—dalam suasana krisis ekonomi paling serius yang dialami oleh kapitalisme global—“menyalurkan” antusiasme para 12 “Mati suri” istilah yang sangat tepat. Prisma berhenti terbit sejak edisi terakhir September 1998 dan terbit kembali Juni 2009, namun berbagai edisi Prisma lama (1971-1998) yang masih tersisa tetap diedarkan oleh Penerbit LP3ES serta diperjualbelikan oleh berbagai toko buku konvensional di beberapa kota. Dalam arti itu, Prisma sebenarnya masih berada dalam “ingatan kolektif” para pembaca tradisionalnya, bahkan dicari dan diburu oleh beberapa kelompok mahasiswa dari generasi yang lahir di awal milenial. Di era digital saat ini, Prisma lama masih diperjualbelikan via berbagai platform digital. 13 Lihat, Richard Robison dan Vedi R Hadiz, Reorganis- ing Po­wer in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets (London dan New York: Routledge­ Curzon, 2004). Vedi R Hadiz, Memotret Indonesia Lewat Prisma
  • 9. Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021 T O P I K pengelola jurnal terhadap ide “senja kala kapitalisme.” Mungkin Ben Anderson hanya benar se­ bagian ketika bicara sambil lalu dengan saya tentang Prisma di salah satu sudut Kota Mel­ bourne beberapa puluh tahun silam. Kalau­ pun sudah lama tidak lagi menjadi episen­ trum perdebatan pemikiran, Prisma tetap berhasil menjadi alat potret perjalanan se­ jarah Indonesia sebagaimana terekam dalam perkembangan gagasan para intelektual In­ donesia di berbagai bidang. LewatPrisma,sebagianpembacapertama mengenal kritik terhadap kapitalisme dalam tradisi neo-Marxian, termasuk dalam varian teori dependensia ala Andre Gunder Frank, yang disebut di atas, dan teori sistem-dunia ala Immanuel Wallerstein. Beberapa penu­ lis yang pernah memimpin dan me­ngelola Prisma, seperti M Dawam Rahardjo dan Farchan Bulkin14 , menyediakan sejumlah tulisanyangmemperkenalkankhalayakpem­ baca Prisma pada teori dan konsep yang lahir dari perdebatan pembangunan di Amerika Latin maupun Asia Selatan, termasuk karya Hamza Alavi, sosiolog dari Pakis­tan. Prisma juga memunculkan perdebatan tentang Eko­ nomi Pancasila yang melibatkan ekonom Mubyarto dan Sarbini Sumawinata serta sosiolog Arief Budiman.15 Perdebatan itu memunculkan kesadaran tentang bagaimana konsep yang tidak ingin diperdebatkan lagi oleh negara, karena sudah diberikan makna resmi, sebenarnya masih terbuka untuk kon­ testasi intelektual yang cukup sengit. Lewat Prisma hingga ia sempat redup di tahun 1998, pembaca dapat mengikuti perkembangan gagasan di bidang kebudaya­ an, baik di Indonesia maupun secara lebih luas sepanjang tahun 1980-an dan 1990-an. Tulisan-tulisan Ignas Kleden memberikan sarana untuk berjumpa dengan cara berpikir tentang kebudayaan yang kritis dan dina­ mis—tidak cenderung statis sebagaimana kebudayaan didefinisikan oleh negara, dari Orde Baru hingga hari ini.16 Lewat Ariel Heryan­to, dan penulis lain, pembaca juga berkenalan dengan cara pandang kebudaya­ an yang banyak terinspirasi oleh teori-teori pasca-modernisme dan pasca-strukturalis­ me.17 Karena itu, RZ Leirissa pun menyoroti bagaimana Prisma semakin berperan dalam mengedepankan perdebatan intelektual di In­ donesia di bidang kebudayaan sejak dekade 1980-an.18 Kehadiran kembali Prisma di tahun 2009 tentu membuka pintu untuk generasi penu­ lis yang lebih baru lagi. Di antaranya adalah Airlangga Pribadi dan Inaya Rakhmani, 14 Lihat, misalnya, Prisma edisi “Krisis Kapitalisme Du­ nia”, Vol. 12, No. 3, 1983; Prisma edisi “Sektor Swasta An­­tara Kesempatan dan Kesempitan”, Vol. 12, No. 7, 1983; Prisma edisi “Kerawanan Sistem Pertahanan”, Vol. 12, No. 10, 1983; Prisma edisi “Kelas Menengah Baru: Menggapai Harta dan Kuasa”, Vol. 13, No. 2, 1984; Prisma edisi “Negara atau Masyarakat”, Vol. 13, No. 8, 1984. 15 Lihat, Mubyarto. “Moral Ekonomi Pancasila”, dalam Pris­ma, Vol. 10, No. 1, Januari 1981; Arief Budiman, “Sis­tem Perekonomian Pancasila, Kapitalisme, dan Sosialis­me”, dalam Prisma, Vol. 11, No. 1, Januari 1982; Sar­bini Sumawinata, “Sejarah Ekonomi Kita Se­ jarah Tanpa Perubahan”, dalam Prisma, Vol. 12, No. 8, 1983. 16 Lihat, misalnya, Ignas Kleden, “Teori Ilmu Sosial se­ bagai Variabel Sosial”, dalam Prisma, Vol. 12, No. 6, 1983; Ignas Kleden, “Penelitian dan Kemampuan Ilmu-ilmu Sosial Pelajaran dari Seminar Orientasi Sosial Budaya”, dalam Prisma, Vol. 13, No. 1, 1984; Ignas Kleden, “Model Rasionalitas Teknokrasi”, dalam Prisma, Vol. 13, No. 3, 1984; Ignas Kleden, “Kualitas Manusia Sebagai Persoalan Ilmu Sosial - Postskriptum Sebuah Seminar”, dalam Prisma, Vol. 13, No. 9, 1984; Ignas Kleden, “Kebudayaan: Agenda Buat Daya Cip­ ta”, dalam Prisma, Vol. 14, No. 1, 1985; Ignas Kleden, “Pembaharuan Kebudayaan MengatasiTransisi”, dalam Prisma, Vol. 14, No. 8, 1985; Ignas Kleden, “Berpikir Strategis tentang Kebudayaan”, dalam Prisma, Vol. 16, No. 3, 1987; Ignas Kleden, “Kebudayaan Pop: Kritik dan Pengakuan”, dalam Prisma, Vol. 16, No. 5, 1987. 17 Lihat, misalnya, Ariel Heryanto, “Berjangkitnya Ba­ hasa-Bangsa Indonesia”, dalam Prisma, Vol. 18, No. 1, 1989; Ariel Heryanto, “Kelas Menengah Indonesia: Tinjauan Kepustakaan”, dalam Prisma, Vol. 19, No. 4, 1990; 18 Richard Zakaria Leirissa, “Prisma dalam Dasawarsa 1980-an”, dalam Prisma, Vol. 23, No. 1, Januari 1994, hal. 83-91.
  • 10. Grace L dan Douglas K, Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965” T O P I K yang kini direkrut sebagai anggota Dewan Redaksi Prisma. Tulisan mereka pun hadir dalam edisi peringatan ulang tahun ke-50 Prisma ini. Menariknya, para penulis baru itu ternyata harus bergelut dengan banyak masalah “lama” yang ternyata masih ber­ tahan atau tetap hadir dalam manifestasi agak baru. Kehadiran masalah “baru tetapi lama” tersebut mungkin turut menjelaskan bagaimana Prisma masih relevan dari za­ man ke zaman; lebih tepatnya, bagaimana Prisma dapat melampaui (transcend) zaman yang melahirkannya. Tema dan masalah be­ sar yang dihadapi Indonesia ternyata belum banyak berubah dalam waktu setengah abad terakhir ini, meski sudah terjadi pergeseran dari otoritarianisme yang ketat ke demokrasi yang terdesentralisasi. Namun demikian, Prisma tetap hadir kembali dalam konteks umum yang telah mengalami beberapa perubahan signifikan. Pertama, dahulu Prisma hampir tidak mem­ punyai saingan yang berarti sebagai jurnal ataumajalahpemikiranmasalahpembangun­ an dan ilmu sosial. Sekarang, setidaknya se­ jak tahun 2000, hampir setiap fakultas ilmu sosial, bahkan jurusan di dalamnya, di ber­ bagai perguruan tinggi di Indonesia sudah mempunyai jurnal sendiri. Banyak di antara mereka terdaftar di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sehingga mampu memberi­ kan kredit yang diperlukan untuk para dosen yang beraspirasi naik pangkat akademis. Se­ bagai penerbitan yang tidak terkait dengan institusi pendidikan tinggi, kultur seperti itu agaknya masih agak asing buat Prisma, se­ hingga mengurangi daya tariknya bagi calon penulis masa kini yang berprofesi dosen. Se­ lain itu, sangat banyak blog, website, online journal dewasa ini memberikan ruang bagi tulisan-tulisan yang dahulu mungkin hanya ditujukan untuk dimuat Prisma. Dalam hal ini, Prisma agaknya masih mengalami ke­ sulitan untuk menancapkan kehadirannya dalam belantara perdebatan pemikiran yang kini banyak terjadi di dunia maya. Di sini, perlu ditekankan ulang bahwa masalah-masalah yang ditangani generasi penulis baru Prisma sering kali merupakan manifestasi “baru” dari tema-tema “lama.” Tema dalam edisi ulang tahun ke-50 Pris­ma ini digarap oleh barisan penulis, yang untuk sebagian besar, mengalami sosialisasi politik mereka di akhir masa Orde Baru atau bahkan sepenuhnya di masa Reformasi. Farid Gaban menulis artikel yang menin­ jau secara kritis model pembangunan ekono­ mi yang kini ditempuh di masa Reformasi, dibandingkan dengan model yang sempat “berseteru” di masa Orde Baru. Tulisannya membahas pasang surut teori pembangunan dan bagaimana Prisma memainkan peran dalam perdebatan di antara para pengan­ jurnya. Farid Gaban juga mengkaji pendekat­ an alternatif pembangunan yang berkembang sejak berakhirnya zaman Soeharto, terutama persoalan pembangunan berkelanjutan dan krisis iklim. Tulisan itu tentu akan meng­ ingatkan pembaca setia Prisma yang sudah berumur pada berbagai edisi sebelumnya, termasuk edisi-edisi tahun 1979 dan 1980, yang membandingkan berbagai model pem­ bangunan (dan sejumlah “isme”) yang dini­ lai layak untuk Indonesia. Dalam tulisannya masing-masing Inaya Rakhmani dan Airlangga Pribadi memerik­sa hubungan intelektual dan perkembangan so­ sial-politik di Indonesia, sebuah tema yang juga pernah digeluti Prisma dalam beberapa edisi sepanjang sejarahnya. Penulis perta­ ma meninjau bagaimana intelektual secara umum, dan peran Prisma khususnya, dalam memahami secara kritis masalah ketimpang­ an sosial-ekonomi yang hingga kini masih membelit Indonesia. Penulis kedua mem­ bahas masalah lebih luas mengenai peran Prisma dalam menelaah wacana ilmu pe­ ngetahuan sosial dalam konteks hubungan kekuasaan domestik dan internasional yang turut membentuk wacana tersebut. Pen­ting untuk diingat bahwa Aswab Mahasin dan Ismid Haddad, keduanya pernah menjadi Direktur LP3ES dan pengelola Prisma, menyunting buku cukup terkenal berjudul Cendekiawan dan Politik (1983), sementara Daniel Dhakidae menelurkan magnum opus- Vedi R Hadiz, Memotret Indonesia Lewat Prisma
  • 11. 10 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021 T O P I K nyayangberjudulCendekiawandanKekuasa­ an dalam Negara Orde Baru (2003). Fachru Nofrian, Redaktur Ekonomi Pris­ ma pasca-2009, menyumbangkan tulisan sangat aktual mengenai pengaruh pandemi Covid-19 terhadap pembangunan ekonomi Indonesia, khususnya dalam konteks pe­ rubahan konstelasi ekonomi-politik inter­ nasional. Sekali lagi, bagi pembaca Prisma lama, tulisan itu untuk sebagian akan meng­ ingatkan pada persoalan-persoalan lebih menghadap “keluar” Indonesia yang pernah ditonjolkan oleh beberapa edisi Prisma se­ jak 1970-an hingga absen pada tahun 1998. Edisi semacam itu sebenarnya relatif jarang keluar dibandingkan edisi yang cenderung melihat Indonesia dalam perspektif hampir sepenuhnya “dari dalam.” Tulisan itu kemudian diikuti oleh Esai yang ditulis oleh Kamala Chandrakirana, tokoh feminis veteran yang membahas ma­ salah gerakan perempuan dan kesetaraan gender. Walaupun ada beberapa edisi Prisma yang menyoroti tema serupa di masa lalu (misalnya, pada 1981 dan 1991), dalam ke­ nyataannya perhatian yang dicurahkan pada persoalan-persoalan terkait masih cenderung minim dalam setengah abad kehadiran Pris- ma. Alasan persisnya mungkin perlu dire­ nungkan Dewan Redaksi Prisma yang kini sedang bertugas. Tulisan berikutnya yang ditulis Grace Leksana bersama Douglas Kammen mem­ bawa Prisma berurusan lagi dengan salah satu tema favoritnya: problematika interpre­ tasi sejarah. Secara khusus, tulisan mereka meninjau skripsi, tesis, dan disertasi yang dihasilkan oleh perguruan tinggi di Jawa perihal Peristiwa 1965. Mereka menemukan bahwa skripsi, tesis, dan disertasi semacam itu semakin banyak jumlahnya sejak masa Reformasi dan berusaha untuk memahami signifikansi fenomena tersebut. Terakhir, sumbangan tulisan Bosman Ba­ tubara dan Eka Handriana meninjau kembali suatu tema yang sebenarnya juga menjadi langganan perhatian Prisma, hingga pada edisi yang baru lalu, yakni urbanisasi dan tata kelola ruang perkotaan. Namun, artikel ini menaruh perhatian khusus pada persoal­ an-persoalan ekologis berkait lewat dialog dengan analisis-analisis sebelumnya yang pernah diterbitkan Prisma, sambil berusaha menawarkan suatu perspekfif baru. Sebagaimana dikemukakan di atas, Pris- ma di masa awalnya didirikan untuk me­ nyambut berbagai kemungkinan yang semu­ la diharapkan masih terbuka untuk masa depan Indonesia di tahun-tahun pertama Orde Baru. Sejumlah harapan tersebut cepat kandas dalam kenyataannya, tetapi Prisma mampu berevolusi. Kini sudah setengah abad dilalui Prisma, walaupun sempat mati suri sepanjang satu dekade antara 1998 dan 2009. Dewasa ini Indonesia mengalami sejum­ lah, sekali lagi, tantangan “baru tapi lama.” Tantangan-tantangan tersebut–seperti model pembangunan, sistem politik, kesenjangan sosial, ancaman terhadap lingkungan hidup, daya tahan sistem kesehatan, pendidikan, demokratisasi, kesetaraan gender, bentuk- bentuk solidaritas dan fragmentasi dalam masyarakat, posisi agama dalam masyara­ kat, ketenagakerjaaan, masa depan kaum muda–sudah pernah ditangani Prisma le­ bih dari satu kali. Akan tetapi, kini mereka semua hadir dengan tingkat keterpautan de­ngan perkembangan tingkat global yang tanpa preseden. Adalah tantangan Prisma untuk tetap mampu menjadi alat potret perkembangan masyarakat Indonesia dan pergulatan pe­ mikiran tentang masa depannya. Terlebih karena Reformasi di Indonesia baru mampu melahirkan demokrasi yang cacat dan marak korupsi, sementara cita-cita keadilan sosial yang menyertainya tampak makin menjauh dari kemungkinan terwujud. Persoalan bagi Prisma adalah bagaimana menempatkan diri dalam konteks seperti itu. Posisi apa pun yang diambil terhadap demokrasi kita, yang terkadang sangat bersemangat, hampir se­ lalu beririsan dengan korupsi seraya menge­ nyampingkan keadilan sosial, kecuali dalam retorika aktor-aktor­nya yang bebal.l
  • 12. 11 Grace L dan Douglas K, Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965” T O P I K Dari Kutukan Rostow ke Model Baru Pembangunan Farid Gaban Sebagaisebuahmanifestonon-komunis(bahkananti-komunisdalamkonteksPerangDi­ngin), karya WW Rostow tentang tahap-tahap pertumbuhan ekonomi (1960) menjadi doktrin pem- bangunan yang diyakini mampu membawa negara-negara bekas jajahan, seperti Indonesia, menempuh jalan modernisasi menuju masyarakat adil dan makmur. Namun, modernisasi dalam sistem kapitalisme tersebut terbukti gagal memenuhi janjinya. Bahkan, kurang dari dua dasawarsa sejak Orde Baru memapankan diri, kritik terhadap model pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi makin keras berkumandang, terutama tecermin dalam pergulatan pemikiran, pendirian, serta debat yang muncul dari berbagai tulisan dan penulis di Prisma selama setengah abad. Walaupun doktrin Rostow bangkit kembali dalam wujud paling banal, yakni keyakinan mutlak pada idealisasi kapitalisme pasar, namun sejak Prisma terbit kembali pada 2009, beberapa alternatif model pembangunan mulai menam- pakkan diri, terutama didorong oleh krisis sosial-ekologi yang dipicu ketimpangan sosial dan perusakan alam. Kata Kunci: ketimpangan sosial, krisis, lingkungan, neoliberalisme, pembangunan aniel Dhakidae meratap dan meng­ gugat. Wabah korona, kata dia, te­­lah menelanjangi umat manusia dan kemanusiaan setidaknya dalam dua hal: wajah munafik neoliberalisme dan betapa kerdil manusia yang terjatuh sekadar men­ jadi homo consumens—manusia tukang konsum­si. Koronamenghancurkanpahamneoliberal­ ketika perusahaan-perusahaan swasta raksa­ sa, yang sebelumnya merasa berada di atas angin, bersujud minta ampun dihadapkan pada ancaman kebangkrutan. Menelan ludah khotbah supremasi pasar, mereka meminta negara turun tangan membantu. Korona menelanjangi homo consumens, kata Daniel Dhakidae, namun belum sam­ pai menghancurkannya. Sudah sangat lama, sistem ekonomi neoliberal membentuk ma­ nusia sekadar menjadi tukang konsumsi; manusia dinilai dari seberapa banyak dia diasosiasikan dengan pasar, serta seberapa banyak dia membeli dan mengonsumsi. Akibat wabah, kegiatan konsumsi sebagian besar orang terhambat, namun pada saat yang sama kapasitas konsumsi segelintir orang justru makin besar. Itu mencerminkan ketim­pangan akses terhadap sumber-sumber ekonomi di satu sisi dan penormalan korup­ si-kolusi oleh kelompok elite oligark di sisi lain. Dua hal itu punya konsekuensi mendalam pada watak politik, demokrasi dan hubungan sosial yang menyeret kita makin jauh dari cita-cita republik. Homo consumens, kata Daniel Dhakidae, “mengabaikan satu sisi be­ sar manusia dalam masyarakat, yaitu homo republicus, pengembang nilai-nilai repu­ D
  • 13. 12 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021 T O P I K blikan, republican values, seperti kesamaan hak menuju keadilan.” Nilai-nilai kesamaan menuju keadilan itu untuk waktu sangat lama sudah ditinggalkan dan terabaikan.1 Dengan itu, Daniel Dhakidae, salah satu editor terlama Prisma, seperti ingin mengi­ ngatkan kembali betapa keliru negeri ini mengabaikan pesan kritis bertahun-tahun yang disampaikan jurnal ini terhadap model pembangunan sejak awal Orde Baru, seka­ ligus memberi kita bekal dalam merumuskan format baru pembangunan yang lebih baik. Dalam bahasa yang lebih lugas dari tu­ lisan-tulisan pada masa kejayaan Orde Baru, Daniel Dhakidae dan beberapa penulis Pris- ma beberapa tahun belakangan ini menyim­ pulkan betapa tersesat model pembangunan yang kita anut, baik di tingkat nasional mau­ pun global. Tersesat ketika hasilnya justru berkebalikan dengan nilai-nilai baik homo republicus tadi: “Senjakala Kapitalisme Krisis Demokrasi”2 atau “Perselingkuhan Bisnis Politik Kapitalisme Indonesia Pas­ ca-Otoritarianisme”.3 Akan tetapi, ulasan tentang kebang­krutan kapitalisme sebenarnya tidak baru di Pris- ma. M Dawam Rahardjo, editor tangguh lain di Jurnal Prisma, sudah menulis “Krisis Kapitalisme?” pada 1983.4 Meski me­ngutip tulisan Bung Hatta yang lebih lugas (Krisis Ekonomi dan Kapitalisme, 1934), ulasan Dawam tampak masih ragu-ragu atau dia mung­kin menenggang arus-besar paham ekonomi waktu itu. Indonesia mengalami pasang naik neoliberalisme yang makin agresif pada awal dasawarsa 1980-an itu, mes­ki prosesnya sendiri sudah dimulai sejak awal Orde Baru berdiri. Bahkan, tanpa korona, sudah banyak pre­ diksi bahwa dunia akan menghadapi krisis ekonomi besar pada 2020, siklus yang ham­ pir rutin 10-tahunan. Krisis sebelumnya ter­ jadi pada 1988 (Black Monday), 1998 (Kri­ sis Asia), dan 2008 (Krisis Mortgage). Memang tidak terjadi krisis besar pada 2018. Namun, sejumlah pengamat me­ nyatakan krisis akan datang juga, meski ter­ lambat, yakni pada tahun 2020-2021 ini. Ko­ rona, yang kini datang tiba-tiba, tak hanya mempercepat realisasi krisis tadi, tetapi juga memicu dampak yang jauh lebih luas dan mendalam hanya dalam hitungan bulan. Keluasan dan kedalaman krisis itu bah­ kan belum sepenuhnya bisa kita takar. Dana Mone­ter Internasional (IMF) sendiri menye­ but ancaman krisis ekonomi kali ini yang terburuk sejak Depresi Besar (Great Depres- sion),krisisekonomiglobalpadatahun1930- an, yang juga pernah dibahas oleh Bung Hat­ ta. Depresi Besar tadi, menurut Bung Hatta, adalah “krisis yang muncul bersama-sama dengan timbulnya sistem kapitalisme.” Bagaimanapun juga, krisis demi krisis pada dua dasawarsa terakhir memperluas pengangguran dan kemiskinan, yang pada gilirannya membawa dampak multidimensi makin mendalam: sosial, budaya, pangan, kese­hatan, dan keamanan. Seperti kata Da­ niel Dhakidae, korona makin parah memo­ rakporandakan semua itu. Wabah itu memaksa orang merenungkan hal yang lebih mendasar, tak hanya tentang ekonomi dan politik, namun bahkan tentang aspek hakiki dari agama, tentang spirituali­ tas, ketika orang justru dilarang pergi ke masjid atau gereja, ketika ibadah haji dan umroh atau misa Paskah ditiadakan. Di sisi lain, wabah korona sebaliknya membawa berkah bagi alam ketika manusia terpaksa menahan diri dari menjadi homo consumens: kurang polusi dan pencemaran, berhentinya aktivitas ekonomi yang merusak alam, turunnya emisi karbon, pulihnya kem­ bali lapisan ozon yang memicu pemanasan global, serta kemunculan kembali satwa- satwa liar di sungai, kebun dan laut, ketika manusia mengurung diri di dalam rumah. Di samping membawa tragedi, setiap kri­ 1 Daniel Dhakidae, “Krisis Korona, Homo Consumens, dan Homo Republicus”, dalam Prisma, Vol. 39, No. 3, 2020, hal. 2. 2 Lihat, Prisma, Vol. 28, No. 1, Juni 2009. 3 Lihat, Prisma, Vol. 32, No. 1, 2013. 4 Lihat, M Dawam Rahardjo, “Krisis Kapitalisme?”, dalam Prisma, Vol. 12, No. 3, 1983, hal. 2.
  • 14. 13 Grace L dan Douglas K, Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965” T O P I K Farid Gaban, Dari Kutukan Rostow ke Model Baru Pembangunan sis memberi kita peluang untuk introspeksi dan koreksi. Makin besar krisis, makin men­ dasar koreksi yang harus dilakukan. Sudah seharusnya, krisis kali ini juga memicu re­ nungan jauh lebih mendalam tentang sistem ekonomi dan arah kebijakan pembangunan, tidak hanya di tingkat daerah dan negara, tetapi juga di tingkat global. Kegagalan kita merumuskan arah pem­ bangunan dan kebijakan baru pascakorona, tak hanya akan memperparah risiko krisis di masa mendatang, tetapi juga kemampuan dan daya tahan kita dalam menghadapi krisis dunia yang kian serius. Dari Krisis ke Skandal Akan tetapi, seperti kata Daniel Dhakidae, korona cuma menelanjangi kedok. Belum sampai menghancurkan sistem maupun pola pikir lama. Terobsesi pada pertumbuhan eko­ nomi dan investasi sejak periode pertama, pemerintahan Jokowi cenderung menangga­ pi wabah korona dari pertimbangan ekonomi ketimbang perspektif kesehatan masyarakat. Pemerintah menerbitkan obligasi ratusan triliun rupiah dengan motif utama membiayai stimulus dunia usaha agar ekonomi cepat pu­ lih dari perlambatan dan kemunduran akibat wabah. Dengan kata lain, pemerintah me­ numpuk utang baru untuk program pemulih­ an ekonomi nasional (PEN) yang sebagian besar disalurkan lewat instrumen perbankan. Itu mengingatkan kita pada “Skandal Bailout Bank Century” pada Krisis 2008 dan “Skan­ dal BLBI” pada Krisis 1998. Menyusul Krisis 1998, atas saran IMF dan Bank Dunia, pemerintah menerbitkan obligasi rekap (sekali lagi utang). Utang dipakai untuk menyuntik bank-bank sakit, baik milik pemerintah maupun milik para kong­lomerat raksasa. Obligasi rekap berjasa memulihkan ekonomi, tetapi juga di sisi lain memicu ketimpangan. Pada akhir Pemerin­ tahan Susilo Bambang Yudhoyono, indeks Gini Indonesia mencapai nilai tertinggi, arti­ nya ketimpangan ekonomi terburuk, sepan­ jang sejarah negeri ini. Alih-alih mengoreksi penguasaan eko­ nomi oleh segelintir orang di era Orde Baru, obligasi rekap justru memulihkan dan mem­ perkuat konsentrasi. Obligasi rekap berjasa memulihkan ekonomi konglomerat. Mereka yang nyaris bangkrut pada awal Reformasi, kini kembali menjadi raksasa yang makin digdaya dan makin menggurita. Total obligasi rekap yang diterbitkan pemerintah kala itu senilai Rp 430 triliun. Namun, pemerintah harus membayar pokok plus bunga sebesar Rp 600 triliun, keseluruh­ an menjadi Rp 1.000 triliun lebih. Peme­rintah masih harus membayar itu sampai sekarang, 20 tahun kemudian. Belum lama lalu, adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani sendiri yang meratap bahwa kita masih harus membayar utang BLBI dan obligasi rekap sampai seka­ rang.5 Ketika pemerintah berutang, siapa lagi yang membayar utang itu selain publik atau warga negara. Porsi belanja (pengeluaran) pemerintah pusat dalam beberapa tahun ter­ akhir menunjukkan peningkatan tajam dalam pembayaran utang, dan sebaliknya penyusut­ an secara sigifikan belanja untuk subsidi publik, khususnya di bidang kesehatan. Tidak heran jika wabah korona kemudian membuka kedok buruknya sistem dan layan­ an kesehatan kita. Bahkan, di masa normal, kita masih kedodoran menangani penyakit “tradisional” seperti TBC, malaria dan de­ mam berdarah dengue. BLBI dan obligasi rekap adalah cerita tentang pesta-pora para elite di atas beban rakyat kebanyakan. Sebuah cerita kolosal mencederai rasa keadilan, yang terlalu me­ malukan bahkan untuk dijadikan pelajaran di sekolah-sekolah ekonomi. Kebijakan elitis itu bahkan diulangi, meski dalam skala jauh lebih kecil, ketika 5 Lihat, “Sri Mulyani: Selama 22 Tahun Pemerintah Tang­ gung Bunga dan Pokok Utang BLBI”, dalam Kompas. com - 27/08/2021.
  • 15. 14 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021 T O P I K terjadi lagi krisis pada 2008, yakni ketika uang negara (publik) dipakai untuk menyub­ sidi pemilik Bank Century. Hal tersebut se­ pertinya masih akan diulangi lagi sekarang di tengah wabah korona, ketika pemerintah menerbitkan “Pandemic Bond”, surat utang khusus penanganan pandemi virus korona. Menteri Keuangan Sri Mulyani menga­ takan penyaluran dana pemulihan ekonomi kali ini akan prudent, tepat sasaran dan se­ suai aturan. Akan tetapi, jika benar begitu, mengapa Presiden Jokowi harus mengeluar­ kan peraturan pemerintah pengganti undang- undang (Perppu) untuk mendukung tanpa syarat kebijakan pemulihan ekonomi akibat korona? Salah satu isi terpenting Perppu Nomor 1 Tahun2020adalahmembebaskanparapelak­ sana dan pembuat kebijakan dari kemung­ kinan tuntutan hukum. Itu seperti memberi blanko kosong kepada aparat pemerintah untuk kemungkinan menyalahgunakan da­ lih “memulihkan ekonomi” demi kepenting­ an pribadi dan kelompok serta kepentingan para kroni. Kutukan Rostow dan Bank Dunia Indonesia tidak sendirian, baik sekarang maupun di masa lalu. Menyusul Krisis 2008, Pemerintah Amerika Serikat juga memakai dana publik untuk menyubsidi lembaga-lem­ baga keuangan, di samping membebaskan pajak perusahaan-perusahaan besar; pada dasarnya menyelamatkan para konglomerat dan Wall Street. Tidak hanya elitis, kebijakan itu juga sebenarnya mengkhianati kredo para penyokong kapitalisme pasar bebas sendiri yang tidak membenarkan negara campur tangan dalam urusan swasta (privat). Menelan ludah sendiri, kini campur ta­ ngan negara dijustifikasi lewat teori “too big to let fail”, bahwa perusahaan swasta terten­ tu, khususnya perbankan, begitu besar dan saling terkait sedemikian rupa sehingga jika mereka ambruk akan menyeret runtuh eko­ nomi negara. Itu sebabnya, pemerintah harus membantu dan menyelamatkan mereka. Kebijakan itu juga sering diperkuat oleh teori “trickle down effect”, jargon ekonomi sejak tahun 1970-an, yang percaya bahwa jika kita membantu dan menyelamatkan yang besar-besar, bantuan itu pada akhir­ nya akan menetes kepada yang kecil-kecil, yang akhirnya menguntungkan dan menye­ lamatkan masyarakat secara keseluruhan. Bebe­rapa kajian mutakhir mengungkapkan bahwa trickle down effect cuma mitos eko­ nomi, sementara dampak negatifnya tak bisa diabaikan. Duateoriitubertanggungjawabatasmun­ culnya anggapan semu bahwa kelangsungan hidup para konglomerat identik de­ngan ke­ pentingan negara, yang pada kenyataannya cuma menjustifikasi kolusi antara politisi dan penguasaha kroni. Kebijakan tadi juga jelas memicu moral hazard karena memanjakan para bankir serta pemilik bank. Di sisi lain terlalu kuat mencer­ minkan bias-keuangan seraya mengabaikan problem riil kemiskinan dan ketimpangan, bahkan di Amerika Serikat sendiri. Sepuluh tahun setelah bailout, Presiden Amerika Serikat Barack Obama menyatakan bahwa negerinya menghadapi problem ke­ timpangan dan kemiskinan yang makin kro­ nis, di tengah buruknya sistem kesehatan aki­ bat komersialisasi industri asuransi, farmasi, dan rumah sakit swasta. Fakta bahwa kini Amerika Serikat men­ derita kematian terbanyak akibat wabah korona benar-benar membuktikan kekha­ watiran Obama beberapa tahun lalu. Dibum­ bui drama petualang politik Donald Trump, korona seperti tengah menghancurkan berkeping-keping “The American Dream” yang menjadi role-model pembangunan In­ donesia sejak awal Orde Baru. Tak lama setelah berkuasa, Soeharto menggelar program ambisius Repelita, rang­ kaian pembangunan 5 tahunan yang diklaim akan membawa Indonesia tinggal landas menuju negeri maju. Konsep Repelita di­
  • 16. 15 Grace L dan Douglas K, Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965” T O P I K ambil tak lain dari gagasan Walt Whitman Rostow (1916-2003), ekonom dan politikus penasihat Presiden Amerika Serikat John Fitz­­gerald Kennedy dan Lyndon Baines Johnson. Pada 1960, Rostow menerbitkan The Stages of Economic Growth: A Non-Com- munist Manifesto.6 Dalam buku terkenal itu, Rostow menjabarkan lima tahap pertumbuh­ an ekonomi: masyarakat tradisional; persiap­ an untuk tinggal landas; tinggal landas; me­­nujukematangan;danbermuarapadakon­ sumsi-massal tinggi (high mass-consump- tion). Homo consumens yang digugat Daniel Dhakidae sudah dimulai dari sini. Doktrin Rostow diterjemahkan dalam Repelita Orde Baru sejak 1969 (Repelita I) hampir secara harafiah, lewat tangan-tangan teknokrat yang berlatar belakang pendidikan Berkeley University, Amerika Serikat. Di sinilah menarik untuk mengamati bagaima­ na Prisma, yang memang tumbuh bersama Orde Baru, terlibat dalam pergulatan kajian dan teori pembangunan. Sikap Prisma secara umum adalah men­ dukung secara kritis arah pembangunan Orde Baru. Di satu sisi, Prisma memuat pemikiran menteri-menteri “Mafia Berkeley” seperti Ali Wardhana, Emil Salim, dan Mohammad Sadli yang secara umum mempromosikan mazhab baru pembangunan yang berorienta­ si pada pertumbuhan dan liberalisasi keuang­ an (membuka luas utang dan modal asing, yang diundangkan sejak 1967). Di sisi lain, Prisma juga menghadirkan pemikiran kritis kaum intelektualindependen di luar pemerin­ tahan, seperti Dawam Rahardjo, Arief Bu­ diman, Adi Sasono, Sjahrir, Mubyarto, dan Sarbini Sumawinata. Di kalangan menteri Orde Baru, Emil Sa­ lim-lah yang punya otokritik paling kuat ter­ hadap mazhab pembangunan pemerintahan­ nya. Sudah sejak 1978 dia membahas tentang pentingnya pembangunan berwawasan ling­ kungan, tentang pemerataan (1983), dan bahkan tentang pembangunan bervisi perem­ puan/gender inclusive (1988). Kritik dan perdebatan model pembangun­ an Orde Baru mencakup berbagai aspek, salah satunya tentang pendekatan dasarnya sendiri: kapitalisme dan developmentalisme. Kritik dan wacana alternatif, antara lain, datang dari tulisan Dawam Rahardjo tadi. Dalam beberapa edisi, Dawam juga menu­ lis tentang pemerataan dan pentingnya kope­ rasi. Kritik lain datang dari Arief Budiman7 , Mubyarto8 , Munawar Ismail9 , dan A Wisnu­ hardana.10 Aspek lain yang muncul dalam perdebat­ an adalah tentang ketergantungan pada mo­ dal/utang asing yang memang dominan men­ jadi sumber pendanaan pembangunan Orde Baru. Kritik mendasar antara lain datang dariAdi Sasono dan SrituaArif.11 Pada tahun 1980-an memang gencar orang membicara­ kan “teori ketergantungan” yang dipromosi­ kan oleh Andre Gunder Frank dan Samir Amin. Teori itu percaya bahwa keterbe­ lakangan “dunia ketiga” bukanlah kekurang­ an modal atau bantuan, tetapi karena akibat dari globalisasi sistem kapitalisme. Bahkan, tema itu masih relevan dan hangat dibicara­ kan sampai sekarang. Keraguan dan perdebatan terhadap keam­ puhan modal atau investasi asing juga ditu­ lis oleh beberapa penulis Prisma, termasuk pertanyaan apakah modal asing, misalnya, mendorong transfer teknologi yang pada 6 Lihat, Walt Whitman Rostow, The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto (New York, AS: The Syndics of the Cambridge University Press, 1960). 7 Arief Budiman, “Sistem Perekonomian Pancasila Kapi­ talisme dan Sosialisme”, dalam Prisma, Vol. 11, No. 1, 1982, hal. 14-25. 8 Mubyarto, “ Moral Ekonomi Pancasila”, dalam Prisma, Vol. 10, No. 1, 1981, hal. 75-80. 9 Munawar Ismail, “Pemerintah dan Pasar Kritik terhadap Teori Ekonomi Pembangunan”, dalam Prisma, Vol. 23, No. 1, 1994, hal. 25-35. 10 A Wisnuhardana, “Ideologi Developmentalisme dan Upaya Rekonstruksi”, dalam Prisma, Vol. 25, No. 4, 1996, hal. 94-96. 11 Adi Sasono, “Ketergantungan dan Hutang Dunia Keti­ ga”, dalam Prisma, Vol. 12, No. 3, 1983, hal. 50-63; Sri­ tua Arif,­ “Teori Ekonomi dan Kolonialisme Ekonomi”, dalam Prisma, Vol. 11, No. 1, 1982, hal. 26-34. Farid Gaban, Dari Kutukan Rostow ke Model Baru Pembangunan
  • 17. 16 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021 T O P I K akhirnya diharapkan memacu kemandirian negeri penerima investasi.12 Puluhan tahun sebelumnya, Alan M Strout, ekonom Massa­ chusettsInstituteofTechnology(MIT)menu­ lis di Prisma pada 1973. “Ketergantung­an Indonesia terhadap modal dan bantuan asing akan terus berlangsung sampai 1980-an, atau mungkin lebih lama lagi”.13 Terbukti sampai sekarang, Indonesia masih haus akan modal asing untuk menopang pertumbuhan eko­ nomi, sementara manfaatnya makin diper­ tanyakan. “Mantra tentang pentingnya investasi ­ asing,” menurut Dierk Herzer, ekonom dari Goethe University, Jerman, “disandarkan pada sejumlah mitos”.14 Herzer dan kawan- kawan mengkaji data 28 negara berkembang yang menonjol menerima investasi asing (FDI - foreign direct investment), terma­ suk Indonesia. Pada sebagian besar negara, menurut Herzer, tak ada kaitan antara FDI dengan pertumbuhan ekonomi, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Hanya em­ pat negara (dari 28) yang memperoleh man­ faat jangka panjang pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, tak ada kaitan sama sekali antara FDI dengan peningkatan pendapat­ an per kapita maupun tingkat pengetahuan (transfers pengetahuan, teknologi, dan kete­ rampilan manajemen). Transfer pengetahuan yang dijanjikan FDI, menurut Herzer, adalah ilusi. Perusahaan multinasional umumnya merahasiakan paten dan informasi spesi­ fiknya. Bahkan, jika pengetahuan dan paten dibuka, perusahaan domestik tak bisa belajar dari multinasional karena keterbelakangan teknologi dan sumber daya manusia.Alih-alih memberi manfaat, menurut Herzer, investasi asing justru memicu kerusakan serius dalam ekonomi negeri penerima: eksploitasi sumber daya alam murah; menjadikan warga negara sekadar pasar alias konsumen; serta mem­ bunuh perusahaan-perusahaan domestik. Orde Baru sudah menunjukkan, obsesi pada investasi asing harus dibayar dengan penindasan terhadap demokrasi, pengabaian terhadap partisipasi masyarakat dari bawah, turunnya penghargaan terhadap hak asasi dan merajalelanya korupsi kaum elite (oligar­ ki). Itu tema yang masih relevan sampai seka­ rang, namun juga sudah banyak diperdebat­ kan di Prisma sejak awal Orde Baru. Pada 1983, Prisma menghadirkan lapor­ an utama “Korupsi Dulu dan Sekarang” ser­ ta menampilkan, antara lain, tulisan Adnan Buyung Nasution dan Bakir Hasan.15 Tema itu muncul lima tahun sebelum diskusi ten­ tang “kapitalisme palsu” atau “kapitalis­me kroni” (erzat capitalism), berkat buku Yo­ shihara Kunio.16 Kritik dan alternatif pemikiran tentang merosotnya partisipasi publik juga sudah disinggung hampir bersamaan dengan itu: Sigid Putranto Kusumowidagdo dan Sa­ jogyo.17 Di samping kritik, Prisma juga me­nawarkan alternatif-alternatif pemikiran pembangun­an yang cukup radikal, seperti pendekatan “kebutuhan dasar” (basic needs approach). Pendekatan itu dirintis oleh Organi­sasi Perburuhan Internasional (ILO) pada 1976 dan dipromosikan di Indonesia 12 Lihat, Todung Mulya Lubis, “Alih Teknologi antara Harapan dan Kenyataan”, dalam Prisma, Vol. 16, No. 4, 1983, hal. 3-15; Mohammad Anwar Ibrahim, “Seki­ las Per­kembangan Alih Teknologi di Indonesia”, dalam Prisma, Vol. 16, No. 4, 1987, hal. 18-28; M Daud Si­ lalahi, “Rencana UU Alih Teknologi Perbandingan Perspektif”, dalam Prisma, Vol. 16, No. 4, 1987, hal. 39-46. 13 Alan M Strout, “Modal Asing dan Pertumbuhan Eko­ nomi Indonesia”, dalam Prisma, Vol. 2, No. 1, 1973, hal. 55-66. 14 Lihat, Stephan Klasen, Dierk Hedrzer, dan Felicitas Nowak-Lehmann D, “In search of FDI-led Growth in Developing Countries”, dalam Proceedings of the Ger­ man Development Economics Conference, Göttingen, 2007. 15 Adnan Buyung Nasution, “Korupsi Sudah Melekat dalam Sistem Birokrasi”, dalam Prisma, Vol. 12, No. 2, 1983, hal. 43-45; Bakir Hasan, “Korupsi, Efisiensi Usaha, dan Marketing Sosial”, dalam Prisma, Vol. 12, No. 2, 1983, hal. 22-29. 16 Lihat, Yoshihara Kunio, The Rise of Ersatz Capitalism­ in South-East Asia (Singapore: Oxford University Press, 1988). 17 Sigid Putranto Kusumowidagdo, “Pembangunan Poli­ tik Orde Baru Menghadapi Krisis Partisipasi”, dalam
  • 18. 17 Grace L dan Douglas K, Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965” T O P I K oleh Soedjatmoko yang menulis di Prisma dua tahun kemudian.18 Konsep pembangunan itu berbeda sama sekali dengan pendekatan pertumbuhan Ros­ tow. Konsep itu menuntut negara mendahu­ lukan investasi untuk memenuhi kebutuhan dasar warga negara sekadar hidup di atas garis kemiskinan, bukannya investasi untuk ekonomi produktif yang negara berharap warga bisa menanggung bebannya sendiri di masa depan. Lebih dari segalanya, konsep itu mengedepankan kemanusiaan yang sangat sesuai dengan pemikiran lain Soedjatmoko yang mendahulukan pembangunan.19 Prinsip mendahulukan pembangunan manusia, ketimbang sekadar pertumbuhan ekonomi, belakangan menjadi arus pemikir­ an alternatif. Pada 1990, Program Pemba­ ngunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Development Programme/UNDP) memperkenalkan indeks pembangunan ma­ nusia, sebuah alternatif mengukur sukses pembangunan selain pertumbuhan GDP yang dipandang tidak memadai. Sejak saat itu, UNDP mengeluarkan laporan tahunan peringkat negara-negara berdasarkan indika­ tor kualitas pembangunan manusia. Sampai tahun terakhir Indonesia tidak pernah masuk dalam 100 besar, meski angka GDPkita seka­ rang masuk dalam 10 besar dunia. Konsep “kebutuhan dasar” juga menge­ muka lagi dalam beberapa tahun terakhir, ke­ tika orang membicarakan universal basic in- come, misalnya, atau tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Dua mazhab ekonomi baru, blue economy (Gunter Pauli) dan donut economy (Kate Ra­ woth), juga menekankan aspek “kebutuhan dasar” itu dan menjadikannya antitesis dari obsesi pertumbuhan ekonomi yang memacu konsumerisme melebihi daya dukung eko­ logis Planet Bumi. Akan tetapi, ketika Orde Baru masih ber­ jaya, baik pendekatan “kebutuhan dasar” maupun konsep “memprioritaskan manusia” kurang laku. Alih-alih mendengar Soedjat­ moko, Orde Baru menggalakkan neolibe­ ralisme pada awal tahun 1980-an, mengikuti tren internasional. Pada tahun 1980-an, Dok­ trin Rostow yang kapitalistik dipromosikan lebih agresif oleh Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan dan Perdana Menteri Ing­ gris Margaret Thatcher di bawah bendera neoliberalisme. Bahkan, Reagan membawa “neoliberalisme” menjadi kebijakan global sekaligus senjata Perang Dingin melawan komunisme (Blok Soviet). Cita-cita ideal demokrasi, kemakmuran, kebebasan dan kesetaraan hak di Amerika Serikat, setidaknya secara retoris, dikaitkan secara langsung dengan kebijakan liberal pasar bebas dan perdagangan bebas. Liberali­ sasi ekonomi ala kapitalisme dipromosikan senafas dan selaras dengan demokrasi—se­ bagai lawan dari otoritarianisme komunis. Padahal tidak. Reagan melihat liberalisasi ekonomi, bukan kebebasan politik, sebagai ukuran terpenting dari sukses sebuah kebi­ jakan. Tidak mengherankan jika Amerika Serikat dan Inggris merasa nyaman memu­ luskan liberalisasi ekonomi dengan cara mendukung diktator-diktator anti-komunis Augusto Pinochet di Chile, Soeharto di In­ donesia, dan Ferdinand Marcos di Filipina. “Neoliberalisme” menjadi istilah populer pada tahun 1980-an untuk menjelaskan libe­ ralisasi ekonomi Chile di bawah Jenderal Pinochet. Didukung Amerika Serikat, Pi­ nochet melakukan kudeta militer terhadap Presiden Salvador Allende, yang berhaluan sosialis, pada 1973. Namun, Indonesia-lah sebenarnya kelinci percobaan lebih awal dari “neoliberalisme”, sejak Orde Baru meng­adopsi pemikiran Rostow. Anak judul buku Rostow, “A Non-Communist Mani­ festo”, menunjukkan bahwa motifnya tidak sekadar ekonomi, namun juga politik. Se­ bagai pendukung Perang Vietnam, Rostow Prisma, Vol. 12, No. 1, 1983, hal. 44-52; Sajogyo, “Golongan Miskin dan Partisipasi dalam Pembangunan Desa”, dalam Prisma, Vol. 6, No. 3, 1977, hal. 10-17. 18 Soedjatmoko, “Berbagai Implikasi Kebijaksanaan Na­ sional dari Model Kebutuhan Dasar”, dalam Prisma, Vol. 7, No. 10, 1978, hal. 59-79. 19 Lihat, Soedjatmoko, Dimensi Manusia dalam Pemba­ ngunan (Jakarta: LP3ES, 1983). Farid Gaban, Dari Kutukan Rostow ke Model Baru Pembangunan
  • 19. 18 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021 T O P I K berpendirian anti-komunis garis keras yang sesuai dengan semangat Orde Baru kala itu, sehingga pemikirannya menjadi cenderung dominan tanpa tanding. Bahkan, stigma “komunis” pernah dise­ matkan kepada Jurnal Prisma yang mencoba menyajikan alternatif-alternatif pemikiran berbeda dari arus besar konsep pembangun­ an kala itu. Setelah Soekarno tumbang, Orde Baru memulai liberalisasi ekonomi dengan, an­ tara lain, membuka lebar investasi asing, khususnya dari Amerika Serikat dan Jepang. Pada 1974, demonstrasi besar sempat marak menentang investasi asing. Namun, perla­ wanan seperti itu surut bersama konsolidasi kekuasa­an Soeharto, yang menguat antara lain berkat dukungan Reagan dan Thatcher. Thatcher, yang berkunjung ke Indonesia pada 1985, mendaku bahwa ekonomi pasar (kapitalisme) adalah satu-satunya sistem yang bisa diandalkan; tak perlu perdebatan lagi. Thatcher punya slogan terkenal: TINA (“there is no alternative”); tak ada alterna­ tif di luar kapitalisme. Tiga tahun kemudian, PemerintahanSoehartomembuatlangkahbe­ sar lain di bidang ekonomi, yakni menerbit­ kan Paket Oktober (1988), yang pada intinya meliberalisasi sektor keuangan (kemudahan mendirikan bank). Jalan neoliberal makin lempang, namun harus dibayar de­ngan Kri­ sis Ekonomi parah sepuluh tahun kemudian yang sekaligus menamatkan kekuasaan Orde Baru. Kecilnya suara alternatif juga ditindas faktor lain. Sukses penyebaran neoliberalis­ me baik di Indonesia maupun belahan lain dunia, tak lepas dari peran penting dua lem­ baga keuangan dunia: Dana Moneter Inter­ nasional (IMF) dan Bank Dunia. Dengan kekuatan kapital sangat besar, World Bank dan IMF mendiktekan neoliberalisme ke seluruh dunia. Mereka menerapkan syarat ketat kepada negara penerima bantuan, yakni melakukan liberalisasi ekonomi lewat kebijakan privatisasi dan deregulasi; patuh pada skema perdagangan bebas global; serta mengurangi subsidi dan porsi anggaran nega­ ra untuk publik demi meningkatkan peran sektor swasta secara ekonomi maupun so­ sial. Resep liberalisasi yang sering disebut sebagai Washington Consensus itu, tak lain adalah kesepakatan antara World Bank, IMF dan Kementerian KeuanganAmerika Serikat yang semuanya bermarkas di Washington DC. Model pembangunan Bank Dunia itu telah banyak dikritik dalam beberapa tahun terakhir, khususnya oleh kelompok ekonom dan aktivis yang tergabung dalam World So­ cial Forum. Bahkan, Prisma sudah mendahu­ luinya melalui sebuah tulisan pada 1994.20 Bagaimanapun juga, Doktrin Rostow lebih berjaya. Model Bank Dunia dan IMF serta propaganda Reagan-Thatcher menjadi wacana dominan tak hanya di sekolah-seko­ lah ekonomi, tetapi juga dalam kebijakan publik seluruh dunia, hingga bertahun-tahun kemudian setelah keduanya meninggal. Di Indonesia, bahkan sentimen anti-IMF yang marak pada era Presiden Megawati Soekarnoputri tidak mampu menginspirasi arah baru kebijakan ekonomi. Jalan lempang neoliberal terus bertahan, bahkan cende­rung menguat pada era-SBY dan tetap lestari pada era-Jokowi. Pada periode pertamanya, Pemerintahan Jokowi telah menerbitkan 16 paket degulasi yang secara umum mengarah pada liberalisasi ekonomi. Namun, tak puas dengan itu, pada periode kedua, Presiden Jokowi mendesakkan liberalisasi lebih jauh dengan menerbitkan Omnibus Law, menye­ derhanakan 70 lebih undang-undang men­ jadi satu undang-undang payung (deregu­ lasi) demi memikat investasi dan penciptaan lapangan kerja. Pembahasan Omnibus Law di tengah wabah korona sekarang ini menun­ jukkan betapa pemerintahan benar-benar terobsesi pada liberalisasi ekonomi. Peme­ rintah mengabaikan fakta bahwa mantra neoliberalisme ala Washington Consensus telah banyak dikritik sejak tahun 1990-an. 20 Lihat, Ali Sugihardjanto, “Model Pembangunan versi Bank Dunia: Sebuah Kritik Awal”, dalam Prisma, Vol. 23 , No. 9, 1994, hal. 3-24.
  • 20. 19 Grace L dan Douglas K, Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965” T O P I K Meretas Jalan Baru, Menjawab Gugatan Daniel Dhakidae Wabah korona menelanjangi borok-borok neoliberalisme di atas, sekaligus menunjuk­ kan kelemahan sosial mendasar kita meng­ hadapi krisis: di satu sisi memperlemah kapa­ sitas negara dalam melindungi warganya; di sisi lain lunturnya solidaritas sosial akibat individualisme, khususnya di kota kota. “Pandemi itu seperti portal atau gerbang, yang membatasi satu dunia dengan dunia sesudahnya,” kata Arundhati Roy. Di tengah wabah hidup kita tak normal. Sebagian besar kita merindukan kenormalan segera pulih kembali. Akan tetapi, normali­ sasi adalah istilah problematik. Merindukan suasana normal seperti masa lalu justru sa­ ngat mungkin menjadi reaksi terburuk kita dalam menghadapi korona. Kita perlu ke­ luar dari kenormalan masa lalu itu dan mu­ lai meretas jalan menuju dunia baru untuk mengoreksi yang lama. Kita perlu mempertanyakan filosofi, prin­ sip-prinsip, dan ukuran-ukuran lama? Apa yang disebut kemajuan? Apa tujuan hakiki dari pembangunan? Layakkah kita mengejar pertumbuhan ekonomi, apalagi jika hasilnya adalah konsumerisme, perluasan ketamakan yang pada gilirannya merusak alam tempat kita hidup? Suara-suara untuk mengoreksi cara dan pendekatan lama dalam pembangunan kian lantang, baik sebelum maupun setelah ko­ rona. Pada awal pandemi (April 2020), tak kurang 170 akademisi Negeri Belanda yang mengusung usulan strategis pembangunan pascakorona, yang pada intinya merupa­kan koreksi terhadap pendekatan neoliberal. Judul usulan mereka: “Manifesto for post- neoliberal development.” Di luar itu, dalam beberapa tahun terakhir juga berkembang pemikiran baru dalam bi­ dang ekonomi, yakni “blue economy” yang dirumuskan oleh Gunter Pauli, ekonom Bel­ gia. Bertumpu pada alam dan menghormati alam, “ekonomi biru” juga menjadi koreksi mendasar terhadap neoliberalisme. “Ekono­ mi biru” banyak diilhami oleh pemikiran EF Schumacher, penulis buku Small is Beauti- ful yang terbit pada tahun 1970-an, dan pan­ dangan Mahatma Gandhi tentang swadesi (kemandirian). Bersama The Club of Rome, Schumacher mengkritik pendekatan pertum­ buhan ekonomi, yang memicu dehumanisasi dan merusak alam. Dalam beberapa tahun terakhir juga berkembang pemikiran tentang pembangun­ an berkelanjutan. Pada kenyataannya, Indo­ nesia sendiri ikut menandatangani deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa 2015 tentang Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sus- tainable Development Goals). Deklarasi itu mencakup 17 sasaran, tetapi bisa disarikan menjadi tiga sasaran utama (tripple bot- tom-line: ekonomi, sosial, lingkungan) yang harus dicapai secara seimbang. Manifestasi konkretnya: mengelola modal alam (natural capital) dengan lebih baik; membangun ma­ nusia (invest in people); serta memperkuat sektor bisnis dan industri ramah alam. Kate Rawoth, ekonom Oxford, belakang­ an ini sedang agresif memperkenalkan istilah baru: donut economy. Pada intinya, orientasi pembangunan harus dirancang secara senga­ ja mendahulukan pemerataan (distributive) dan bersifat ramah alam (regenerative). Tu­ juan pembangunan ekonomi, kata Rawoth, harus mengambang di antara lingkar dalam dan lingkar luar yang digambarkan seperti sebuah ban (atau donut). Manusia harus terpenuhi kebutuhan dasar agar tidak jatuh miskin (lingkar bawah); sementara konsumsi harus ditahan jangan sampai melebihi kapa­ sitas ekologis Planet Bumi (lingkar luar). Rawoth menolak keras konsep pertum­ buhan ala Rostow. Bahkan, dia menilai Ros­ tow, yang menganggap konsumsi massal se­ bagai capaian tertinggi, adalah biang keladi dari ketimpangan sosial dan kerusakan alam. Pertumbuhan ekonomi yang tiada batas adalah mustahil. Alam memiliki batas. Ra­ woth menggaungkan kembali laporan “The Limits to Growth” yang dibuat oleh The Club of Rome dan sempat dibahas Prisma Farid Gaban, Dari Kutukan Rostow ke Model Baru Pembangunan
  • 21. 20 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021 T O P I K pada tahun 1970-an. Ratapan dan gugatan Daniel Dakidae memberi tugas baru kepada Prisma untuk menjadi panggung pemikian dalam men­ cari alternatif-alternatif model pembangun­ an yang sudah bangkrut. Inilah era ketika kata-kata pertumbuhan, ketimpangan, dan konsumerisme makin dibenci, ketika orang makin rindu pada harmoni sosial serta hidup berdamai dengan alam. Ada pemikiran awal untuk pijakan mendiskusikan ini lebih men­ dalam di masa mendatang. 1. Dari GDP ke Human Development Index Dalam konteks itu, kita mungkin perlu meni­ lik kembali pemikiran Soedjatmoko tentang pembangunanyangmendahulukanpemenuh­ an kebutuhan dasar dan penghormatan pada kemanusiaan. Salah satunya barangkali per­ lu mendesakkan agar Indeks Pembangunan Manusia (human development index/HDI) ala UNDP menjadi tolok ukur utama dalam menakar sukses pembangunan. Human Development Index memasukkan komponen GDP per kapita, tetapi tidak ha­ nya itu. Gagasan di balik indikator ini adalah menekankan bahwa “mutu manusia”-lah (potensi dan kemampuannya) yang seharus­ nya menjadi kriteria utama untuk menilai kinerja pembangunan setiap negara. HDI memasukkan pula berbagai kompo­ nen sosial: akses terhadap air bersih, angka harapan hidup, indikator pendidikan dan kesehatan, serta diskriminasi gender. De­ ngan kata lain, HDI memotret secara lebih komprehensif dan holistik terhadap kinerja pembangunan, dengan manusia sebagai sen­ tralnya. 2. Sustainable Development and Consumption Kita perlu meninggalkan pembangunan yang berfokus pada agregat pertumbuhan (GDP). Kita harus membuat pembedaan antarsektor dan mendorong pertumbuhan sektor-sektor publik yang penting: clean energy, pendidik­ an, kesehatan, dan ekologi. Sebaliknya, menghentikan secara ra­ dikal tumbuhnya sektor-sektor yang tidak berkelanjutan karena peran mereka yang mendorong konsumsi berlebihan dan ber­ bahaya bagi ekologi global, terutama sektor privat—minyak, gas, tambang, periklanan, dan lain-lain. Kita dituntut secara kreatif memanfaat­ kan potensi alam di luar sektor pertam­ bangan yang masih sangat luas. Indonesia adalah salah satu megadiversity dunia; ne­ geri dengan keragaman hayati terbesar. Jika Amerika Serikat itu adidaya (superpower) politik/militer, Indonesia adalah superpower keragaman hayati. Beberapa tahun silam, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia menerbitkan buku kecil bertajuk Sains untuk Biodiversitas In- donesia. Intinya bagaimana membangun ke­ sejahteraan bangsa lewat keragaman hayati. Itu salah satu prinsip penting dalam “eko­ nomi biru” yang diperkenalkan oleh Gunter Pauli, namun sebenarnya telah lama diterap­ kan oleh kakek-nenek kita di perdesaan. Ti­ dak hanya menghormati keragaman hayati, ekonomi itu juga menghargai tradisi lokal yang beragam. Bertumpu pada yang tersedia secara lo­ kal, ekonomi biru mendorong kemandirian dan pembangunan partisipatif dari bawah. Itu yang merupakan antitesis dari mabuk utang dan modal asing yang tak hanya men­ jatuhkan martabat, tetapi juga mendorong kita mencapai stabilitas politik palsu dengan mengebiri demokrasi dan menindas partisi­ pasi sosial dan politik. 3. Pemerataan, Universal Basic Income, dan Koperasi Hal lain yang perlu diperbincangkan dalam rangka mencari format model baru pemba­ ngunan adalah isu pemerataan dan redistri­ busi, seperti “universal basic income” dan “reforma agraria secara substantif.” Relevan dengan itu adalah isu kebi­ jakan pajak progresif yang keras terhadap penghasil­an, keuntungan, dan kekayaan. Mengurangi jam dan beban kerja seraya
  • 22. 21 Grace L dan Douglas K, Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965” T O P I K memperhatikan pelayanan publik kepada pekerja, seperti kesehatan dan pendidikan, untuk mendukung nilai intrinsik mereka se­ bagai manusia bukan hanya alat produksi. Kita perlu mendorong demokratisasi eko­ nomi. Dalam kaitan ini, kita perlu mengorek­ si dan merevitalisasi koperasi yang sejati (genuine). Bukan seperti koperasi sekarang yang palsu, tetapi yang benar-benar menum­ buhkansemangatkolektifdangotongroyong,­ sebuah keharusan pada musim wabah seka­ rang ini. 4. Regenerative Farming dan Family Farming Kepedulian terhadap alam tak bisa dipisah­ kan dari upaya transformatif pertanian menuju pertanian berkelanjutan berdasar­ kan kelestarian keragaman hayati. Kita perlu memperkuat produksi pangan yang bersifat lokal dan berkelanjutan serta sistem pertani­ an yang adil dan memakmurkan petani. Per­ tanian yang sehat dan petani yang makmur akan memperkuat ketahanan dan kedaulatan pangan negeri kita. Untuk memperkuat pendapatan, petani harus dibina tak hanya dalam budi daya (on- farm), tetapi juga dalam industri pengolahan. Kita perlu mengembangkan agro-industri perdesaan lewat pemberdayaan (pendidikan) petani dan pemanfaatan sains serta teknologi tepat guna yang terjangkau dan ramah ling­ kungan. Mengikuti Schumacher, kita harus menolak praktik “produksi massal” (mass production) skala besar. Sebaliknya, mendu­ kung “produksi oleh rakyat” (production by mass). Artinya, memberdayakan petani kecil (family farming), bukan membangun perta­ nian skala besar seperti Merauke Food Es­ tate yang padat modal, padat pupuk kimia, dan cenderung pada monokultur yang meng­ abaikan keragaman hayati. 5. Gaya Hidup Sederhana, Rendah Jejak Karbon Mengurangi konsumsi dan lawatan secara drastis dari bermewah-mewah dan mubazir menuju yang sifatnya penting (berorientasi pada publik) dan mengutamakan prinsip ber­ kelanjutan (mengurangi kebiasaan lawat­an menggunakan pesawat). Pada intinya, kembali merenungkan tuju­an pembangunan. Tujuan membangun­ peradab­an, menurut Schumacher, seraya­ mengambilajaranBuddhismeadalahme­­mur­ nikan watak manusia, menghormati alam, dan menghargai solidaritas sosial; bukan memperbanyak keinginan lahiriah (multipli- cation of wants) yang mendorong konsum­ erisme dan ketamakan. Mengutip Mahatma Gandhi, yang pikirannya banyak dipinjam oleh Schumacher, “Dunia ini cukup bagi se­ luruh umat manusia, tetapi tidak untuk keta­ makannya.” Perlahan tapi pasti, ada konsensus yang makin kuat bahwa gaya hidup sederhana rendah-emisi-karbon (artinya ramah alam) jauh lebih disarankan serta dipujikan sebagai progresif. Sementara emisi-karbon tinggi menjadi simbol gaya hidup primitif. 6. Mengurangi Utang, Memupuk Keman­dirian Utang dan investasi mungkin kita butuhkan, tetapi kita harus melepaskan ketergantungan padanya; melepas pandangan bahwa tanpa­ nya kita tak bisa membangun. Obsesi pada utang dan investasi tak ha­ nya memicu ketergantungan, tetapi membuat negara kita terbelenggu dalam merumuskan kebijakan publik demi melindungi mutu so­ sial warga negara dan kelestarian alam. Untuk itu, kita harus mendorong pem­ batalan seluruh utang lama, terutama di kalangan buruh dan pemilik usaha kecil, serta mengurangi penciptaan utang baru dan penghapusan utang negara-negara berkem­ bang kepada negara kaya maupun lembaga keuangan internasional. Kita perlu percaya diri, dengan kreati­ vitas dan imajinasi yang kita punya, bisa membangun dari apa yang kita punya di de­ pan mata, salah satunya lestarinya alam dan keragaman hayati yang selama ini kita sia- siakan. l Farid Gaban, Dari Kutukan Rostow ke Model Baru Pembangunan
  • 23. 22 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021 T O P I K Prisma ebagai jurnal pemikiran ekonomi, sosial, dan budaya yang memberi narasi alternatif atas kondisi kehidup­ an berbangsa dan bernegara sejak 50 tahun lalu, Prisma punya peran tersendiri dalam sejarah intelektual Indonesia. Pada tahun-tahun terbaiknya, Prisma merupakan rujukan utama bagi kaum cendekia pro­ gresif. Se­bagaimana dikutip dari “Kerangka Acuan tentang Edisi Khusus 50 Tahun Pris- ma”, pendekatan Prisma yang menerapkan perspek­tif “Ekonomi politik untuk mema­ hami siapa/kelompok mana yang paling di­ untungkan, who get the most benefit at whose cost” menandakan adanya penyikapan atas tatanan ketidakadilan yang struktural dan menyejarah sebagai pijakan dasar bagi para cendekia Prisma. Dalam kerangka itu, tentu dicatat bahwa ketidakadilan berbasis gender dan peminggiran perempuan terus langgeng di bumi Nusantara ini karena saling berke­ lindan dengan bentuk-bentuk ketimpangan dan penindasan lainnya. Dengan semangat melihat ke belakang untuk menapak ke depan, esai ini mengkaji sejauh mana narasi keilmuan yang disuguh­ kan oleh Prisma dalam kurun waktu separuh abad ini menyentuh dan memaknai pergu­ latanperempuandalamkehidupanberbangsa dan bernegara di Indonesia. Setelah “tidur” selama 10 tahun, saat rezim Orde Baru ber­ akhir, Prisma “bangun” kembali di tengah era yang jauh berbeda secara politik, eko­ nomi, sosial, budaya, dan teknologi. Wu­ jud pergulatan perempuan pun menga­lami perubahan yang signifikan dalam jangka waktu tersebut. Esai ini berfokus pada peri­ ode sebelum dan sesudah masa jeda Prisma yang dilakukan melalui akses pada daftar edisi-edisi Prisma beserta nama para penulis dan judul tulisan mereka. Fokus Berkala pada Peran Wanita: 1971-1998 Dalam 27 tahun pertamanya (1971-1998), Prisma menerbitkan sebanyak 258 edisi, termasuk lima edisi yang secara khusus mempersoalkan situasi perempuan Indone­ sia. Kelima edisi tersebut terbit hampir de­ ngan ritme tersendiri, kira-kira tiap 5-6 ta­ hun, yaitu tahun 1975, 1981, 1985, 1991 dan 1996. Pada 2004, Liza Hadiz menyeleksi dan mengulas sejumlah tulisan yang terbit di Jur­ nal Prisma dalam buku Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru: Pilihan Artikel Prisma (LP3ES). Dia mencatat bahwa edi­ si Oktober 1975 dan Oktober 1985 terbit pas­ca-dua perhelatan internasional yang menandakan capaian gerakan perempuan di tingkat global. Edisi tahun 1975 dengan tema “Wanita Indonesia: Menuju Cakrawala Baru?” terbit setelah Konferensi Perempuan Sedunia di Mexico City, tempat dicanang­ kan bermulanya “Dasawarsa Perempuan.” Sedangkan edisi tahun 1985 dengan tema “Menegakkan Peran Ganda Wanita Indo­ nesia” terbit setelah Konferensi Perempuan Sedunia Ketiga di Nairobi, tempat hasil dari segala upaya sepanjang 10 tahun terdahulu dinilai bersama. Menyimak timing kedua edisi itu, tampaknya Prisma tergerak oleh dinamika di luar Indonesia, yaitu adanya Sejauh-jauh Mata Memandang: Prisma dan Pergulatan Perempuan Kamala Chandrakirana S E S A I
  • 24. 23 Grace L dan Douglas K, Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965” T O P I K momen konsensus baru yang dicapai an­ tarnegara di tingkat internasional tentang pemajuan hak-hak perempuan. Menarik untuk dicatat pilihan judul edisi Prisma, pada Oktober 1975 dan 1985 yang diambil dari paparan penulisnya, Mely G Tan, “Wanita Indonesia: Menuju Cakrawala Baru?” (1975). Dalam tulisannya tersebut, dia mengajukan pertanyaan yang memper­ soalkan adanya keraguan di kalangan perem­puan sendiri terkait kemampuannya menjalankan fungsi ganda sebagai istri dan pekerja atau “wanita karier.” Soal keraguan di kalangan perempuan sendiri juga muncul dalam edisi khusus tahun 1981 dengan tema “Wanita Indonesia Terpaku di Persimpang­ an” yang berfokus pada isu perempuan dan media. Melalui tulisannya tentang “Wanita danCitraDiri,”ToetiHeratyNoerhadimene­ gaskan adanya dilema perempuan bekerja yang “menghadapi tugas ganda dengan keraguan.” Soal keraguan dalam diri perempuan terkait fungsi gandanya cukup banyak dipa­ hami sebagai gejala kelas menengah yang tidak berlaku bagi kaum perempuan yang memang tidak punya pilihan soal kerja di dalam dan luar rumah. Rupanya catatan tentang keraguan dan dilema itu terus me­ mengaruhi pilihan tema edisi tahun 1985 dengan judul yang hari ini terdengar agak aneh: “Menegakkan Peran Ganda Wanita Indonesia.” Aneh karena langgengnya peran ganda perempuan sesungguhnya mencer­ minkan kegagalan negara dalam mencip­ takan kerangka kebijakan dan layanan publik yang dapat mendorong pembagian peran yang lebih adil antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan di masyara­ kat umum. Artinya, peran ganda yang diem­ ban sendiri oleh perempuan sesungguhnya bukan sesuatu untuk ditegakkan melainkan untuk dibongkar melalui perubahan struk­ tural dan kultural. Ada dua edisi lain yang memberi perha­ tian khusus pada isu perempuan dan gender, yaitu edisi dengan tema “Seks dalam Jaring Kekuasaan” (1991) dan “Wanita-wanita di atas Pentas Politik” (1996). Terlewat dari per­­ha­tian Prisma pada masa itu adalah mo­ men puncak dalam komitmen negara-negara untuk memajukan hak-hak perempuan, yai­ tu pada Konferensi Perempuan Sedunia Ke­ empat di Beijing pada 1995. Menarik, salah satu organisasi perempuan dari Indonesia, Kalyanamitra, membawa isu kekerasan negaraterhadapperempuankeforummasya­ rakat sipil di konferensi itu. Sayangnya, cara pandang tentang negara seperti itu tidak tere­ kam di jurnal cendekia Prisma. Pada 2004, setelah mengumpulkan dan mengulas sejumlah tulisan tentang isu perem­puan yang diterbitkan Prisma sejak 1971 hingga 1998, Liza Hadiz dalam Kata Pengantar Perempuan dalam Wacana Poli- tik Orde Baru (hal. xxxiv) menyimpulkan sebagai berikut: Isu gender yang diangkat Prisma sejak pertengahan tahun 1970-an hingga awal tahun 1990-an adalah refleksi dari kesadaran kaum perempuan Indonesia di tengah arus perubahan sosial, ekonomi, dan politik. Di satu sisi, jurnal itu berhasil menyajikan perkembangan tentang gen- der sebagai subtema disiplin ilmu tertentu, fokus analisis dan diskursus ... Sebagian besar tulisan mencerminkan respons dan resistensi kaum cendekiawan terhadap ke- bijakan negara yang berdampak langsung kepada kaum perempuan. Namun, Prisma tidak menampilkan semua pemikiran yang berkaitan dengan isu gender yang berkem- bang di Indonesia saat itu … [yaitu] perem- puan dan hukum, perkawinan, kekerasan terhadap perempuan, perempuan dalam daerah konflik, buruh migran perempuan, hak reproduksi, hak asasi perempuan, dan lain-lain. Edisi terakhir Prisma sebelum jeda ber­ judul “Kerusuhan dan Isu SARA” (1998). Dalam sejarah perempuan Indonesia, tahun itu merupakan tahun yang traumatik dan sekaligus momen kebangkitan bagi gera­kan perempuan. Perkosaan massal yang diala­ mi oleh perempuan etnik Tionghoa dalam kerusuh­an bulan Mei 1998 diikuti oleh pe­ nyangkalan bertubi-tubi pejabat negara di media massa dan oleh warga biasa dalam per­bin­­ca­ng­­­­an keseharian di warung kopi, taksi dan meja makan. Kejadian tersebut menggugah kesadaran politik baru bagi Kamala Chandrakirana, Sejauh-jauh Mata Memandang: Prisma dan Pergulatan Perempuan B U K U E S A I
  • 25. 24 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021 T O P I K banyak perempuan dari Aceh hingga Pa­ pua dan menjadi fondasi aktivisme gerak­an perempuan di era Reformasi. Tidak bisa ti­ dak, muncul pertanyaan, mengapa per­spek­ tif perempuan tentang kerusuhan Mei 1998 dan persoalan SARA secara umum luput dari edisi terakhir Prisma sebelum mati suri selama sepuluh tahun? Pergulatan Perempuan yang Tak Berjejak: 2009-2021 Prisma terbit kembali pada 2009 di tengah dunia dan Indonesia yang telah berubah. Se­ lain Reformasi di Indonesia yang membuka ruang demokrasi, peristiwa 9/11 di Amerika Serikat telah mengubah wajah geopolitik dunia. Gerakan ekstremis berbasis agama meluas secara transnasional dan perubahan iklim mencapai titik kritis. Revolusi teknolo­ gi informasi diikuti dengan maraknya hoaks merupakan fakta baru yang tidak terbayang­ kan pada tahun jedanya Prisma. Agenda perjuangan hak-hak perempuan pun telah melampaui beberapa tonggak kemajuan dan kemunduran sebagai bagian dari dinamika perjalanan bangsa. Pertama, atas desakan pejuang hak-hak perempuan pada tahun-tahun awal Reforma­ si, kata “wanita” nyaris hilang dari peredaran karena dianggap tidak cukup afirmatif terha­ dap kemandirian perempuan. Pada 2004, ke­ kerasan dalam rumah tangga diakui sebagai tindakan kriminal dengan disahkannya UU tentang hal ini setelah upaya besar-besaran dari gerakan perempuan. Keberhasilan itu membuat bulu kuduk berbagai pihak berdiri dan dimaknai sebagai “gerakan perempuan kebablasan.” Perlawanan balik segera mun­ cul dalam bentuk Rancangan UU Anti Por­ nografi dan Pornoaksi yang mengkriminal­ kan tubuh perempuan dan minoritas seksual. Setelah terjadi penolakan dari berbagai pen­ juru negeri, pada 2008, DPR RI mengesah­ kan UU Pornografi yang memuat sejumlah revisi tanpa menghilangkan ancam­an krimi­ nalisasi bagi kaum minoritas seksual serta perempuan yang bekerja dalam dunia hi­ buran dan industri seks. Setahun kemudian, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengu­ mumkan hasil pemantauan perdana tentang lahirnya 154 kebijakan pemerintah daerah yang diskriminatif terhadap perempuan dan minoritas di era Reformasi. Komnas Perem­ puan memaknai gejala itu sebagai suatu pro­ ses pelembagaan diskriminasi dalam tatanan negara-bangsa Indonesia atas nama otonomi daerah. Seluruh dinamika itu merupakan awal dari pertarungan besar dan berkelanjut­ an yang bersifat ideologis dan politis, yang mempertaruhkan dan memperebutkan iden­ titas dan tujuan kebangsaan Indonesia. Pada kisaran waktu kurang lebih sama, Prisma menerbitkan edisi-edisi bertema “Otonomi Daerah untuk Siapa?” (2010), “Kewargaan: Revitalisasi Konsepsi Keindo­ nesiaan” (2013), “Bangkitnya Populisme dan Krisis Demokrasi” (2017) dan “Mem­ bongkar dan Merangkai Pancasila” (2018). Tidak ada satu pun penulis yang mengemu­ kakan dimensi gender dan perspektif perem­ puan atas persoalan-persoalan kontemporer itu kendati sedang berlangsung pertarung­ an sosial-politik tentang sosok dan peran perempuan Indonesia serta kritik tajam atas peran institusi-institusi negara dalam mem­ batasi hak-hak asasi perempuan dalam kon­ teks politik identitas. Sejak 2009 hingga 2020, Prisma mener­ bitkan total 30 edisi yang membahas ber­ bagai tantangan besar dalam kehidupan ber­bangsa dan bernegara di Indonesia, ter­ masuk tentang Kedaulatan Pangan (2016), Gerakan Pemuda 1926-2011 (2011), dan Historiografi Indonesia (2020). Dalam ke­ tiga isu tersebut saja, peran dan pemikiran perempuan serta analisis gender merupakan suatu keniscayaan dan juga kebutuhan jika diakui bahwa hierarki gender merupakan salah satu elemen dalam kebertautan (inter- sectionality) antarlebih dari satu sistem kua­ sa dan pola peminggiran yang hidup subur di masyarakat. Perjuangan ibu-ibu Kendeng untuk membela tanah dan kedaulatan warga­ nya di hadapan kekuatan korporasi semesti­ nya bisa dan patut dijadikan salah satu ba­ gian dari narasi tentang kedaulatan pangan, misalnya. Paparan tentang gerakan pemuda E S A I
  • 26. 25 Grace L dan Douglas K, Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965” T O P I K dan historiografi Indonesia tanpa perem­ puan hanyalah narasi separuh bangsa. Jika mengikuti pola lama Prisma, yaitu menerbitkan edisi tematik terkait isu perem­ puan sehubungan dengan peristiwa inter­ nasional, sebenarnya terjadi pertarungan di berbagai arena PBB yang pantas disimak menyangkut soal identitas gender dan hak seksual dan reproduksi versus gagasan ten­ tang ketahanan dan perlindungan keluarga. Hal itu mengambarkan bagaimana tubuh dan kedaulatan perempuan (dan komunitas queer) menjadi salah satu situs pertarungan geopolitik dunia yang cukup sengit. Itu juga dapat dilihat sebagai pukulan balik terhadap capaian gerakan perempuan di tingkat glo­ bal sejak pertengahan tahun 1970-an, baik sebagai wujud menguatnya gerakan politik kanan dan otoritarianisme di berbagai nega­ ra berkekuatan ekonomi di kancah global maupun sebagai indikasi pelemahan sistem tata kelola global (global governance) dan mekanisme HAM internasional. Dari ke-34 edisi yang terbit (2009-2021), ada empat artikel dalam tiga edisi yang mengetengahkan tulisan penulis perem­ puan dengan perspektif perempuan yang membahas tema tertentu, yaitu tulisan Ruth Indiah Rahayu tentang budaya dan kiasan keluarga patriarki dalam edisi “Sistem Pre­ sidensialisme” (No.3, 2016); tulisan I Gusti Agung Ayu Ratih tentang ruang perempuan dan ingat­an sosial perempuan “korban/pe­ nyintas 1965-66” dalam edisi “Keadilan Transisi” (No. 2, 2019); dan tulisan reflek­ tif Maria Ulfah Ansor atas proses legislasi RUU Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (yang masih berjalan hingga kini) serta artikel Lies Marcoes et al tentang arah advokasi pencegahan perkawinan anak (perempuan), keduanya dalam edisi “Kete­ gangan Agama dan Negara” (No.1, 2020). Namun, dalam kurun tersebut, tidak ada edisi yang secara khusus berfokus pada isu perempuan, walaupun sebenarnya soal kon­ testasi hak-hak perempuan di tengah marak­ nya politik identitas, fundamentalisme agama dan ekstremisme berkekerasan pan­ tas untuk dijadikan edisi tematik tersendiri karena kompleksitas, multidimensionalitas, dan interseksionalitas permasalahan ini. Bisa disimpulkan bahwa dalam sepa­ ruh abad perjalanan hidupnya, mata burung Prisma tidak terlalu jauh memandang per­ gulatan perempuan dalam kehidupan ber­ bangsa dan bernegara, sementara arus per­ juangan atas hak-hak perempuan Indonesia terus berjalan dengan derasnya. Jalan ke Depan Memang tidak sederhana memastikan agar perspektif gender dan perjuangan perempuan secara konsisten terwakili dalam pu­blikasi yang dibuat oleh dan ditujukan kepada kaum cendekia. Hierarki gender juga hidup di te­ ngah komunitas cendekia dan dalam sistem produksi pengetahuan ilmiah di Indonesia. Namun, Prisma agaknya tidak terlalu mam­ pu melepaskan diri dari arus utama itu. Jika ada kemauan Prisma untuk lebih inklusif ke depan, beberapa konsekuensi perlu dipertimbangkan. Cara berpengetahu­ an perempuan cukup beragam dan tidak ter­batas pada paparan ilmiah konven­­si­­­o­­ nal. Untuk menangkap khazanah ilmu dari perempuan dibutuhkan pengakuan atas dan penjelajahan terarah pada produk-produk pengetahuan yang berbentuk tuturan, prosa, esai visual, laporan investigatif, dan seterus­ nya. Untuk menangkap kompleksitas dan dinamika pertarungan perempuan dibutuh­ kan upaya khusus untuk menyapa mereka yang hidup dan berkiprah dalam konteks ekonomi, sosial-budaya, dan kewilayahan yang berbeda-beda. Untuk memahami in­ terseksionalitas dari pengalaman diskrimi­ nasi berbasis gender dibutuhkan suara dan perspektif dari perempuan yang hidup di tengah ragam komunitas minoritas atau yang diminoritaskan. Artinya, gambaran yang bakal muncul dari perspektif ekonomi- politik Prisma niscaya akan memunculkan pengetahuan dari keberagaman konteks dan tidak semata berwujud narasi umum tentang kondisi “nasional” Indonesia. Mungkin inilah saatnya untuk mem­ bayang­kan ulang wajah dan peran Prisma di era digital dan pascapandemi Covid-19 yang penuh tantangan ini. l Kamala Chandrakirana, Sejauh-jauh Mata Memandang: Prisma dan Pergulatan Perempuan B U K U E S A I
  • 27. 26 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021 T O P I K Dialektika Mitra-Kritis: Lima Puluh Tahun Pergumulan Prisma­ Airlangga Pribadi Kusman* Melalui telaaah terhadap berbagai artikel Prisma, tulisan ini berupaya membongkar bagaimana pengetahuan ilmu-ilmu sosial di Indonesia mencerminkan tautan antara kepen­ tingan, politik, dan kekuasaan. Ia merupakan manifestasi kontradiksi dan konvergensi di antara struktur kekuasaan yang bekerja, baik dalam konteks global yang merawat tatanan ekonomi-politik kapitalisme maupun dalam konteks dominasi struktur kekuasaan oligarki di Indonesia. Berbagai ketegangan yang muncul dalam narasi pengetahuan yang diproduksi Jurnal Prisma setidaknya melalui dua jurusan. Pertama, para pendukung gagasan pem- bangunan di awal Orde Baru yang kemudian dikenal sebagai teknokrasi pembangunan. Kedua, kalangan intelektual yang berupaya mengedepankan kajian sosial kritis dalam menginterogasi corak kekuasaan dan pengetahuan yang terbentang sejak 1971 hingga kini. Bertolak dari perjalanan intelektual Prisma sebagai sebuah “majalah” yang unik, tulisan ini menawarkan sebuah kemungkinan preskripsi bagi gerakan sosial di masa depan agar melampaui tatanan ekonomi-politik dominan dan rezim pengetahuan yang menopangnya. Kata Kunci: hegemoni, kekuasaan, kekuatan sosial, rezim pengetahuan, oligarki lmu pengetahuan terutama ilmu-ilmu sosial tidaklah hadir dalam ruang ham­ pa. Ia selalu terpaut dengan kepenting­ an segenap kekuatan yang bertarung dalam proses perubahan sosial. Dengan itu penge­ tahuan tidak pernah lepas dari persinggung­ annya dengan kekuasaan. Pandangan kritis tentang keterpautan antara pengetahuan dan kekuasaan itu sendiri sudah banyak dikaji dan diteliti dalam khazanah ilmu-ilmu so­ sial. Narasi pengetahuan dalam Jurnal Pris- ma pun tidak dapat dilepaskan dari struktur kekuasa­an serta konstelasi pertarungan sosial yang berlangsung dalam konteks perubahan sosial di tingkat global dan keterkaitannya di tingkat domestik. Sehubungan dengan pertautan antara pengetahuan, kepentingan, dan kekuasaan pada ratusan artikel yang tersebar di Jurnal Prisma, tentu terlalu menyederhanakan bila disimpulkan bahwa produksi pengetahuan di dalamnya hanya melegitimasi dan mem­ benarkan perawatan corak kekuasaan domi­ nan yang bekerja dalam konteks Indonesia I * Penulis berterima kasih kepada mendiang Daniel Dha­ kidae yang memberi kehormatan untuk mengerjakan arti­kel sejarah intelektual Prisma selama 50 tahun dan Fachry Ali yang bersedia meluangkan waktu untuk berdiskusi intens dan beberapa bahan pustaka serta infor­ masi sejarah terkait perjalanan Prisma.