5. 5
SALAM REDAKSI
Untuk kesekian kalinya kami menerbitkan karya Abdurrahman Wahid. Kali ini bahan-
bahan tulisan seluruhnya berasal dari majalah Prisma, majalah ilmu sosial
terkemuka di tahun 1970-an hingga 1980-an. Dengan alasan praktis bahan-bahan
ini sekarang sulit dilacak, kami merasa perlu menerbitkannya.
Spektrum yang menjadi perhatiannya dalam tulisan ini demikian sangat luas meliputi
politik, ideologi, nasionalisme, gerakan keagamaan, pemikiran sosial dan budaya.
Kendati Gus Dur sendiri tidak pernah belajar di universitas dalam negeri dan
mancanegara yang terdepan dalam ilmu sosial, sebagaimana umumnya para
penulis Prisma, namun jelas terasa dalam tulisan-tulisan ini pemahaman Gus Dur
yang dalam terhadap ilmu-ilmu sosial yang diramunya dengan pengetahuan
keagamaan.
Kami berharap kumpulan tulisan ini bisa memberi bahan lebih lengkap untuk
memahami pemikiran keagamaan dan politik Gus Dur secara lebih kritis, apalagi
yang bersangkutan kini telah menjadi Presiden Republik Indonesia. Kendati kami
juga harus mafhum, bahwa Gus Dur sendiri mungkin sudah beranjak dari
pemikirannya ini, atau situasi sosialnya sendiri telah jauh berubah. Tetapi harus kami
katakan sebelumnya bahwa rencana buku ini jauh sebelum beliau menjadi presiden,
bahkan saat itu terbayang pun tidak.
Buku ini kami beri judul Prisma Pemikiran Gus Dur, dengan alasan karena pertama-
tama tulisan-tulisan ini memang berasal dari jurnal Prisma. Kedua, karena sifat
tulisan-tulisan ini yang kontemplatif dan reflektif seakan telah didahului oleh suatu
pandangan melalui prisma. Perlu diketahui pula beberapa tulisan ini, yaitu bab 8, 12,
14, dan 15, tidak ditulis langsung oleh Gus Dur tetapi merupakan olahan dari
wawancara yang dilakukan oleh redaksi Prisma. Karena itu, gaya bertutur dan
spontanitas tampak pada keempat tulisan itu.
Terakhir, kami mengucapkan terima kasih kepada Gus Dur atas kesediaan merestui
penerbitan kembali tulisan-tulisan ini. Juga kepada Mas Abdul Mun‟im Dz dan
Entjeng Shobirin Nadj yang pertama kali menyarankan penerbitan ini, serta kepada
Ngatawi Al-Zastrouw yang banyak membuka kontak kami dengan Gus Dur. Tak lupa
6. 6
penghargaan kepada kedua penulis Greg Barton dan Hairus Salim HS yang
menyumbangkan pengantar. Selamat membaca!
Redaksi
November 1999
7. 7
GUS DUR DAN KENANGAN CENDEKIAWAN ZAMAN
PRISMA
Hairus Salim HS1
Buku yang ada di hadapan sidang pembaca ini semula merupakan kepingan artikel
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang pernah dimuat di jurnal Prisma. Prisma dikenal
sebagai jurnal ilmu sosial berpengaruh yang mewakili cita-cendekia tahun 70-an
hingga 80-an. Para cendekiawan terkemuka pada zaman itu atau calon
cendekiawan yang kelak terkemuka di kemudian hari, tentu pernah memamerkan
gagasannya di dalam jurnal itu. Arkian, pemuatan tulisan dalam Prisma seperti
sebuah penahbisan seorang cendekiawan. Sementara, hampir bisa dipastikan,
mereka yang berminat pada pemikiran sosial dan penjelajahan intelektual saat itu,
tak akan melewatkan membaca Prisma. Dengan demikian, dua hal tampaknya
relevan dikemukakan dalam pengantar ini: yaitu tempat jurnal Prisma dalam
konstelasi pemikiran sosial, dan Gus Dur sebagai salah seorang tokoh cendekiawan
yang bergulat di dalamnya.
Baik Prisma maupun Gus Dur hingga sekarang masih ada, namun yang pertama
lebih tampak sebagai semangat yang lusuh dan yang kedua seakan kenangan yang
kusam. Prisma, seperti kebanyakan kehidupan jurnal ilmu kita sekarang,
mempertahankan kehadirannya dengan nafas terengah-engah. Beberapa gelintir isu
yang dikedepankannya memang masih cukup menarik, tetapi pada keseluruhannya
justru memperlihatkan ketelatan mengejar isu dan kegagapan dalam memetakan
masalah-masalah sosial karena demikian massifnya perubahan yang dialami
masyarakat. Sedangkan Gus Dur – seperti yang kita saksikan belakangan ini – lebih
tampil sebagai politisi kawakan. Pemikiran yang baru dan mendalam seperti tak lagi
menjadi perhatiannya. Gagasannya lebih banyak disemprotkan melalui media
massa, yang tidak memunculkan suasana diskursif. Hal ini bukan berarti antara
ranah politik dan kecendekiaan merupakan sesuatu yang sama sekali terpisah,
kendati tetap ada jarak antara keduanya. Pada pemikiranlah jarak antara keduanya
dapat dipertautkan. Tulisan-tulisan dalam buku ini – dengan tetap
1
Anggota redaksi buku LKiS; dan mahasiswa Pascasarjana Antropologi, UGM, Yogyakarta.
8. 8
mempertimbangkan berbagai perubahan yang telah melampaui perhatiannya –
barangkali bisa menjadi rujukan untuk meneropong keterkaitan antara pemikiran dan
praktik politik. Seberapa dekat politik bisa dipertautkan dengan kecendekiaan dan
seberapa akurat diksi politisi-cendekiawan atau cendekiawan-politisi bisa dilekatkan
pada Gus Dur?
***
Prisma dilansir pertama kali bulan November 1971. Berbeda dengan majalah-
majalah sebelumnya yang lahir di masa “revolusi belum selesai”, seperti Basis,
Konfrontasi, Siasat, Zenith, Sastra, Horison, dan Budaya Djaja, yang berorientasi
semata pada kebudayaan, di mana orang menanyakan eksistensi manusia, maka
Prisma lebih pragmatis dan berorientasi pada problem solving. Masalah-masalah
eksistensi manusia yang terefleksikan dalam kebebasan, pertengkaran, dan
sekaligus tuntutan kepastian dalam pilihan ideologi, partai politik, pandangan filsafat,
dan keagamaan, tidak mendapat tempat dalam Prisma.2
Hal-hal ini bukan tidak
sengaja diabaikan Prisma, tetapi justru yang memang hendak dilawan dan
dipersalahkannya. Singkatnya ia hendak hadir dengan semangat anti-ideologi, anti-
partai, dan anti-politik sebagai oposisi dari sikap ideologis, partisan, dan politis
khalayak (termasuk para cendekiawan) masa sebelumnya. Orientasinya lebih pada
program, bukan pada ideologi.
Demikianlah, dengan semangat dan tujuan tersebut, Prisma hadir merekam semua
masalah yang (dianggap) dihadapi masyarakat Indonesia dalam cita-cita barunya
menjalankan modernisasi. Segala masalah terpancar di sini: ekonomi, politik, sosial,
dan agama dengan setiap dimensinya. Demikian luas masalah yang hendak
dirangkumnya, sehingga menurut Onghokham, tidak ada pola persoalan yang
diperlihatkannya. Mungkin bukan sekadar sifat “gado-gado” ini yang membuat
Prisma menarik saat itu, tetapi lebih pada kemampuan Prisma menampilkan apa-
apa yang dianggap sebagai problema saat itu dan solusi pragmatis atasnya.
Dari sudut para penulisnya, maka terdapat dua golongan yang berkiprah, yaitu para
penulis yang berasal dari kalangan departemen; dan dari kalangan universitas,
2
Refleksi mengenai kedudukan Prisma ini didasarkan selain dari penelusuran terhadap terbitan-
terbitan Prisma periode 70-an dan 80-an, juga teramat berutang dengan artikel yang berisi suatu
tatapan evaluatif terhadap Prisma sepanjang tahun 1970-an yang ditulis Onghokham, “Potret
Cendekiawan Indonesia sebagaimana Terekam dalam Prisma”, Prisma, No. 11, November 1980.
9. 9
badan-badan penelitian, dan cendekiawan-cendekiawan bebas lainnya. Artikel dari
penulis kalangan departemen, berisi tawaran teknis terhadap masalah yang dihadapi
masyarakat berkait dengan tanggung jawab yang diemban departemennya. Sifatnya
lebih banyak kampanye, dan sudah barang tentu, sedikit sekali yang bernada kritis,
baik secara konseptual maupun teknis, terhadap kinerja departemen tersebut.
Sedangkan dari para penulis universitas dan cendekiawan bebas lainnya terdapat
nada independen sesuai dengan kedudukan mereka di tengah masyarakat.
Jika pada golongan yang pertama tampak watak legitimatifnya terhadap program
pemerintah, maka pada yang kedua terdapat sedikit nada kritisnya. Kendati
demikian, sikap kritis tersebut bukanlah teriakan yang ekstrem, tetapi lebih tepat
dibaca sebagai “dukungan yang tak penuh” semata. Sifat menghindarkan diri para
cendekiawan Indonesia dari pemikiran konflik membuat kedua golongan penulis
dalam Prisma tersebut tidaklah berada dalam posisi yang berseberangan.
Dan memang, pada dasarnya antara golongan kedua penulis tersebut tidak berbeda
dalam semangatnya. Hadir pada waktu yang sangat menentukan dari konsolidasi
Orde Baru, maka Prisma, sadar atau tidak sadar, adalah bagian dari semangat
konsolidasi tersebut. Karena itu, di antara para cendekiawan Orde Baru dan para
teknokrat seperti yang tercermin dalam Prisma tersebut terdapat hasrat untuk
memiliki suatu alat yang baik untuk membudayakan persoalan teknokrasi atau pun
untuk memperkenalkan kepada masyarakat persoalan-persoalan teknokrasi. Dalam
jalinan teknokrat dan cendekiawan inilah, Prisma, sadar atau tanpa sadar
sebenarnya hadir sebagai alat pemerintah dalam modernisasi.3
Semboyannya yang
anti-ideologi (dan juga anti-partai dan anti-politik), pada akhirnya membentuk
ideologi tersendiri, yaitu ideologi pembangunan dan modernisasi.
***
Lalu, di mana tempat Gus Dur dalam atmosfer tersebut? Sudah jelas bahwa Gus
Dur hadir di kancah ilmiah tersebut sebagai cendekiawan bebas, yang bahkan latar
belakang intelektual dan habitat awalnya sangat asing.4
Ia bukan berasal dari
3
Keadaan yang lebih mencolok menimpa pada terbitan Mahasiswa Indonesia, Bandung. Lihat
Francois Raillon, Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru
1966-1974, LP3ES, Jakarta, 1989.
4
Sudah terlalu banyak informasi mengenai latar belakang intelektual Gus Dur. Informasinya yang
bersifat lisan dan yang tersebar dalam media massa populer penuh dengan aroma mistis dan
10. 10
universitas dalam negeri maupun mancanegara yang terkemuka dalam ilmu-ilmu
sosial seperti umumnya kalangan penulis Prisma. Pengetahuannya mengenai ilmu
sosial betul-betul diperolehnya secara otodidak. Tetapi apakah sifat bebas dan latar
belakang yang unik-eksklusif ini juga membawakan perspektif baru dan eksklusif
dalam pemikirannya? Untuk ini, kita harus memeriksa secara serius artikel-artikel ini
dalam kaitannya dengan seluruh artikel yang ada dalam Prisma era tersebut.
Pada awalnya, seperti dicatat Onghokham, isi Prisma jelas bertendensi pada soal-
soal teknokrasi. Persoalan kebudayaan sangat sedikit sekali disinggung. Setidaknya
mulai 1974, kecenderungan ini sedikit berkurang dan mulai diimbangi dengan artikel-
artikel non-teknokratis. Jika kita mencermati kembali penerbitannya awal 1980-an
jelas sekali perspektif sosial, politik, dan budaya yang non-teknokratis. Gus Dur
termasuk di antara segelintir cendekiawan yang memberikan nuansa non-teknokratis
tersebut dengan artikel-artikelnya yang mulai muncul sejak tahun 1975 hingga paruh
pertama 1980-an.
Kendati demikian, artikel-artikelnya tentang agama, budaya, dan sosial itu bukan
sekadar kebutuhan perimbangan proporsional terhadap dominasi artikel-artikel
teknokratis, tetapi juga suatu revisi kritis terhadapnya. Seperti kita tahu, pada
periode akhir 1970-an dan awal 1980-an, sudah mulai terasa dampak kemanusiaan
dari corak pembangunan Orde Baru yang teknokratis tersebut. Kesenjangan antara
pengelola negara dengan masyarakat sipil mulai menganga. Lebih-lebih pada
persoalan penerapan ideologi, perbedaan pandangan ini telah memunculkan konflik.
Di sisi lain sudah jelas pula, negara mulai memperkokoh dirinya dengan cara-cara
yang represif, membungkam kritik dan oposisi. Yang terlihat dari situasi saat itu
semata suatu “kedamaian yang mencemaskan” (uneasy peace).
Prisma pada periode ini, agak berbeda dengan sebelumnya, sudah jauh lebih sadar
dan kritis terhadap situasi tersebut. Maka, tema-tema yang mencuat adalah
mengenai masyarakat sipil dan negara, gerakan-gerakan sosial dan keagamaan,
hagiografis. Tetapi anehnya bahkan studi yang ilmiah sekalipun kadang-kadang juga tak bebas dari
nada tersebut. Adakah ia memang seorang wali yang memperoleh ilmu laduni? Untuk mengetahui
latar belakang intelektual ini bisa dibaca Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia,
Paramadina, 1999, dan Dedy Djamaluddin Malik & Idi Subandi Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia:
Pemikiran dan Aksi Politik, Zaman Wacana Mulia, Bandung, Januari 1998. Keduanya mengupas Gus
Dur dalam perbandingan dengan cendekiawan muslim Indonesia lainnya seperti Nurcholish Madjid,
Amien Rais, Jalaluddin Rakhmat, Djohan Effendi, dan Ahmad Wahib. Untuk karya terbaru bisa dilihat
Ngatawi Alzastrouw, Gus Dur, Siapa Sih Sampeyan?, Erlangga, Jakarta, 1999.
11. 11
kesenjangan ekonomi-sosial, peran partai politik, ideologi, kebudayaan tandingan,
dan seterusnya. Artikel-artikel Gus Dur adalah bagian dari semangat kritis ini.
Selain itu, terdapat pula gejala semangat orientasi pada program dan watak
pragmatis modernisasi yang dijalankan saat itu demikian mengabaikan kedudukan
manusia dengan tradisi dan kebudayaannya. Kehidupan manusia dianggap seperti
mesin komputer yang dengan gampang direkayasa dan diatur. Tradisi dan terutama
keyakinan agama – sebagai bagian dari tradisi tersebut – dianggap sebagai
penghalang utama modernisasi. Dengan demikian, terjadi peminggiran terhadap
segolongan masyarakat dengan tradisi dan aspirasi keagamaan yang besar.
Pandangan ini sebagian lahir dari pengalaman historis masa Orde Lama dan
sebagian lainnya karena memang demikian watak sekularistik modernisasi yang
dibawakan.
Bagaimana pun, jelas berbahaya mengabaikan tradisi dalam proses modernisasi,
apalagi menempatkannya di seberang program modernisasi tersebut. Pandangan ini
hanya akan melahirkan sikap pasif dan bahkan perlawanan. Kendati demikian, juga
tidak gampang menyertakan tradisi dalam proses modernisasi. Tradisi yang
dimaksud di sini terutama adalah keyakinan keagamaan yang merupakan sukma
dari pandangan individual dan sistem sosial masyarakat. Dalam hal ini, yang
dibutuhkan adalah suatu kemampuan untuk memahami dinamika sosial dan proses
bagaimana agama terlebur dalam tata hubungan sosial dan dalam perilaku manusia
perseorangan maupun dalam kelompok.
Gus Dur, dengan pengetahuan pada tradisi keagamaan yang luas dan penguasaan
ilmu sosialnya yang cukup memadai, adalah satu dari sedikit orang yang bisa
memahami dinamika agama dan modernisasi tersebut.5
Kumpulan artikelnya ini
sedikit-banyak menunjukkan hal itu. Jika kepada kalangan teknokrat-birokrat
pemerintahan dan luar lingkungan keagamaan umumnya ia memberikan perspektif
liberal dan progresif dari kehidupan agama, maka terhadap kalangan agama ia
memberikan perspektif religius dari cita-cita kehidupan sekuler (modernisasi).
5
Mendahului Gus Dur, perspektif ini digemakan oleh Soedjatmoko. Lihat dua kumpulan karyanya,
Dimensi Manusia dalam Pembangunan, LP3ES, Jakarta, 1986, dan Etika Pembebasan, LP3ES,
Jakarta, 1988.
12. 12
Melalui artikel “Penafsiran Kembali Ajaran Agama: Dua Kasus dari Jombang”, yang
ditulisnya bersama Zamakhsyari Dhofier, Gus Dur mencoba membantah anggapan
bahwa agama merupakan unsur yang paling sukar dan paling lambat berubah atau
terpengaruh oleh kebudayaan lain. Alih-alih diharapkan sebagai pendorong
perubahan. Dari tatapan historis, menurut Gus Dur, jelas pandangan itu tidak kokoh.
Kasus sukses perubahan di Jepang dan Eropa Barat jelas memperlihatkan peran
agama di sana sebagai spiritnya, yang didahului oleh perubahan pandangan
keagamaan. Sebaliknya, kegagalan Turki di bawah Kemal Attaturk banyak disebut
karena tidak diakuinya Islam – yang dianut mayoritas warga negaranya – sebagai
penggerak perubahan pembangunan.
Melalui penafsirannya terhadap dua kasus yang terjadi di Jawa Timur, dan
eksplorasi kritis terhadap teori-teori sosial mengenai hubungan agama dan
perubahan, seperti dari Max Weber, Snouck Hurgronje, Racliffe Brown, dan
Malinowski, Gus Dur mengungkapkan betapa dinamisnya agama sebagai
penggerak perubahan. Perubahan masyarakat itu didahului oleh perubahan
pandangan keagamaan. Atau pandangan keagamaan bergeser oleh tuntutan
perubahan masyarakat. Dengan demikian jelas tak ada pemahaman keagamaan
yang statis dan tak berubah sepanjang aspirasi masyarakat yang memeluknya terus
berkembang, demikian juga sebaliknya.
Tulisan “Republik Bumi di Sorga” kian mempertegas pandangan Gus Dur ini.
Menurutnya, bahkan kalangan kiri-revolusioner yang dulu curiga terhadap motif-motif
keagamaan dalam gerakan masyarakat karena sifatnya yang karikatif dan reformatif
belaka, pun sekarang memberi tempat pada agama. Fenomena ini diangkat Gus Dur
dari kasus-kasus di berbagai belahan dunia seperti di beberapa negara Amerika
Latin, Mesir, India, Nikaragua, Korea Selatan, Filipina, dan lain-lain. Kendati
demikian, Gus Dur mengingatkan bahaya perkawinan gerakan keagamaan dan
revolusioner ini, di mana yang terjadi masing-masing hanya meminjam satu sama
lain secara manipulatif. Yang jelas, fenomena ini bisa menjadi bahan refleksi, bagi
gerakan keagamaan akan pentingnya kerangka struktural, dan bagi gerakan
revolusioner untuk mempertimbangkan cara-cara gradual.
Selanjutnya, dalam “Mahdiisme dan Protes Sosial”, ia memperlihatkan harapan dan
keyakinannya kepada mereka yang senantiasa berprasangka pada gerakan
13. 13
keagamaan mesianistik yang umumnya berwatak kekerasan, bahwa jika mereka
“dimasyarakatkan” dengan baik, mereka bisa menjadi manusia yang sedalam-
dalamnya memiliki sifat sebagai pelopor pembangunan. Hidup mereka yang
bertujuan, berkeberanian mencoba hal baru dalam mengatasi persoalan, kesediaan
berkorban dalam mencapai cita-cita, dan pandangan hidup yang kreatif yang tidak
terlalu terikat pada konvensi yang berkembang luas di masyarakat, semua –
menurut Gus Dur – merupakan sikap jiwa yang justru dibutuhkan dalam
pembangunan.
Integrasi nasional, menjadi pokok penting pemikiran Gus Dur dalam buku ini. Dalam
artikel yang dikutip di atas, Gus Dur mengungkapkan bagaimana pemerintah Sudan
dan Afrika Barat, mengakomodir dalam pemerintahan bekas tokoh-tokoh atau
keturunan dari tokoh-tokoh penggerak gerakan keagamaan mesianistik. Proses,
yang tentunya didahului oleh rekonsiliasi nasional ini, tentu saja menarik, karena
jelas di sana hendak diperlihatkan bahwa betapa pentingnya mengikutsertakan
seluruh kelompok masyarakat, dan tidak mengeksklusi satu pun dari kelompok
tersebut, dalam proses berbangsa dan bernegara. Dalam konteks integrasi nasional
ini pula, Gus Dur mengimbau agar (gerakan) Islam menempatkan dirinya sebagai
bagian dari gerakan nasional dan para intelektual muslim tidak mendudukkan dirinya
secara eksklusif, baik dalam pengertian kelembagaan maupun pandangan politik-
keagamaan.
Tema lain yang menjadi perhatian Gus Dur adalah hubungan antara agama dan
ideologi. Dalam “Agama, Ideologi, dan Pembangunan”, ia melihat terjadinya
kesalahpahaman sangat besar antara pengelola ideologi negara dan pimpinan
gerakan-gerakan keagamaan telah menghambat proses membangun. Bahkan
proses pembangunan membawakan titik tengkar baru antara pemimpin keagamaan
dan pengelola ideologi negara. Gerakan keagamaan dan gerakan masyarakat
lainnya yang menyuarakan keadilan, demokrasi, hak asasi, dan lain-lain, yang pada
dasarnya mengambil inspirasinya dari agama, bersekutu mengemukakan alternatif
di hadapan pengelola ideologi negara. Untuk itu, tak lain solusi terhadap konflik ini
adalah suatu dialog intensif dan persuasif, di mana di satu sisi aspirasi keagamaan
dan aspirasi non-keagamaan terus menyuarakan kerja aktual dalam skala mikro,
dan di sisi lain, pihak negara bersedia melindungi dan membantu program-program
mikro di tingkat bawah tersebut dengan konsekuensi mengubah besar-besaran
14. 14
politik pembangunannya. Keyakinan Gus Dur dalam hal ini jelas, gerakan
keagamaan bisa menjadi pendorong perubahan secara gradual, dan bukan secara
ideologis-revolusioner dan reformatif belaka.
Selain itu, ia mengingatkan bahaya dari upaya de-ideologisasi yang justru berujung
pada re-ideologisasi yang lahir dari negara sendiri dan gerakan-gerakan nasionalis
atau pun keagamaan yang melawan proses (de-) ideologisasi tersebut
(“Reideologisasi dan Retradisionalisasi dalam Politik”).
Selain tema ideologi, agama, dan negara tersebut, semangat lain dari tulisan Gus
Dur adalah upayanya memperkenalkan dunia keislaman tradisional, yakni pesantren
dan NU, yang karena pengalaman Orde Lama dan watak ideologis modernisasi
demikian mengabaikannya. Bahkan kemungkinan besar semangat inilah yang
mengawali dan mengilhami terus karier intelektualnya. Perlu diketahui, mendahului
tulisan-tulisan di Prisma ini, ia sudah mempublikasikan tulisannya mengenai
pesantren di Kompas sejak tahun 1973 dan menjadi pemrasaran dengan tema
serupa di berbagai forum ilmiah, termasuk pada forum bergengsi Himpunan
Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIIS) di Manado, November
1977.6
Dengan kampanyenya ini, pesantren tidak dipandang politis-pesimistis
semata karena massanya, tetapi juga secara optimis karena potensi intelektual dan
transformatifnya.
Hal ini dilakukannya dengan membuat penafsiran dan arah baru perjalanan NU dan
pesantren yang berbasis pada tradisi. NU dan pesantren, dalam imajinasinya, mesti
hadir sebagai kekuatan transformasi masyarakat yang harus diperhitungkan. Kendati
demikian, kehadiran tersebut dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara
bukanlah sebagai jalan hidup alternatif, tetapi semata pelengkap (komplementer).
Peranan NU dalam hal ini harus diarahkan kepada penciptaan sebuah “konsensus
nasional” yang baru tentang tempat Islam dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Hal ini dimulai dengan penerimaan Pancasila sebagai ideologi negara
dan berlanjut pada pengintegrasian perjuangan Islam pada perjuangan nasional,
dengan meletakkan Islam itu sendiri pada demokratisasi jangka panjang (“Nahdlatul
6
Untuk pemikiran khusus mengenai pesantren ini bisa dilihat kumpulan karyanya, Bunga Rampai
Pesantren, Dharma Bakti, tanpa tahun, yang menghimpun dua belas tulisannya mengenai pesantren.
15. 15
Ulama dan Islam Indonesia Dewasa Ini”). Dengan upayanya ini berlaku pernyataan
bahwa “tradisi tidak menghalangi modernisasi, tetapi justru memperkuatnya”.
Demikian beberapa pokok tema pemikiran Gus Dur yang termuat dalam buku ini.
Tentu sangat sulit untuk mengulasnya lebih tuntas, mengingat spektrum pemikiran
itu sendiri sangat luas dan beragam. Cukup dikatakan bahwa secara umum apa
yang hendak didedahkan Gus Dur adalah suatu hubungan seimbang dan timbal
balik antara keyakinan keagamaan dan keyakinan sekuler dalam berbagai wujud
dan manifestasinya dalam proses terus-menerus berbangsa dan bernegara.
Gus Dur secara sadar terus mengingatkan fungsi korektif agama dan ideologi, dan
bahaya dari semata-mata mengabsahkan kebijakan negara untuk kepentingan
nasional. Demikian juga, ia mengemukakan kejemuan yang luar biasa pada watak
positivistik dari nilai-nilai dan teori-teori sosial, termasuk yang menjadi jiwa dari
program modernisasi dan pengelolaan politik negara. Kendati demikian, bisa
dipertanyakan adakah keinginan untuk mempertautkan kehidupan dan keyakinan
keagamaan tersebut dengan cita-cita kehidupan nasional, ujung-ujungnya juga
bermuara pada sifat legitimatif pada modernisasi dan pembangunan yang
dijalankan? Terutama bahwa apa yang disuarakan Gus Dur, jika diingat, bukan
berada di ruang hampa tetapi pada ruang di mana wacana modernisasi sudah
menjadi hegemoni.7
Jawaban terhadap pertanyaan ini tentu memerlukan telaah
yang serius terhadap sisi epistemologis dan menyeluruh dari karya-karya Gus Dur.
***
Kumpulan tulisan dari Prisma yang menjadi buku ini, sekali lagi, mungkin bisa
dijadikan teropong untuk mengerti pemikiran politik Gus Dur, terutama yang
menyangkut hubungan agama, ideologi, pembangunan dan negara; integrasi
nasional; hak asasi; dan perubahan masyarakat. Menarik juga bahwa beberapa hal
yang menjadi pokok bahasannya berkait erat dengan peran yang mesti dimainkan
pemerintah, sebuah posisi yang puncaknya kini justru didudukinya. Ada pendapat
bahwa dengan memahami karya-karya intelektualnya, kita tak mudah terjebak dan
ribut sendiri dengan sepak terjangnya yang sering kontroversial. Tentu saja dengan
7
Bandingkan Saiful Muzani, “Islam dan Hegemoni Teori Modernisasi: Telaah Kasus Awal”, Prisma,
No. 1, Tahun XXII, 1993, yang mengungkapkan bagaimana cendekiawan muslim seperti Nurcholish
Madjid, M. Dawam Rahardjo, dan Kuntowijoyo terjerat dalam hegemoni modernisasi.
16. 16
tetap mengingat bahwa oleh perkembangan waktu ada kemungkinan Gus Dur
sendiri telah beranjak dari pandangannya itu atau situasi sosial sendiri yang telah
jauh berubah.
Selain itu, bagaimana pun pembacaan pada kumpulan tulisan ini saja tidak cukup.
Karena yang muncul dalam Prisma ini hanya sebagian belaka dari tulisan-
tulisannya. Esai-esainya mengenai politik luar negeri, tentang kiai dan pesantren,
tentang budaya dan pembaruan keagamaan, tentang nasionalisme, tentang sepak
bola, dan lain-lainnya, yang muncul di Kompas dan Tempo juga tak kalah
menariknya. Termasuk juga kertas-kertas kerja yang ia sampaikan dalam berbagai
pertemuan ilmiah dan pengantar untuk lebih dari dua puluhan buku yang terbit di
Indonesia, serta yang tersebar dalam berbagai kumpulan tulisan.8
Suatu hal yang
menarik dari Gus Dur adalah pemakaian bahasanya yang sederhana dan lancar.
Bahkan, dalam penyampaian lisan pun, Gus Dur diakui sangat komunikatif. ***
8
Lihat bukunya yang lain, Muslim di Tengah Pergumulan, Leppenas, Jakarta, 1983. Esai-esainya di
Tempo telah diterbitkan dalam Kiai Nyentrik Membela Pemerintah, LKiS, Yogyakarta, 1998 dan
Tuhan Tidak Perlu Dibela, LKiS, Yogyakarta, 1999. Tulisan-tulisannya di Kompas periode 1990-an
juga telah dibukukan menjadi Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman: Kumpulan Pemikiran K.H.
Abdurrahman Wahid Presiden Ke-4 Republik Indonesia, Kompas, 1999.
17. 17
MEMAHAMI ABDURRAHMAN WAHID
Greg Barton9
Abdurrahman adalah salah seorang tokoh intelektual Indonesia yang menonjol dan
sangat disegani. Tokoh yang sudah lebih dari 15 tahun menjabat ketua umum
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU), organisasi kaum tradisionalis, ini sering
menghiasi halaman-halaman koran. Di luar pemerintah dan figur militer hal ini
sangat sulit dibayangkan. Selama tahun-tahun kepemimpinan itu popularitasnya
mengalami pasang dan surut, yang biasanya berkaitan dengan manuver politiknya
dan juga – yang tidak boleh dilupakan – tingkat pemahaman terhadap manuvernya.
Dalam beberapa tahun terakhir Abdurrahman menjadi semakin kontroversial, ketika
dia berusaha melerai pihak-pihak yang terlibat kekerasan, dan juga ketika dia
berusaha menyeberangi badai dan gelombang besar pada akhir pemerintahan
Soeharto dan era Indonesia pasca-Soeharto. Kendati demikian Abdurrahman tetap
dan bahkan semakin populer, sebagai figur karismatik dan tokoh yang selalu
memberi cinta bahkan kepada orang yang mengkritiknya atau para penentangnya.
Tetapi mengapa Abdurrahman sering salah dimengerti? Tentu banyak alasan
termasuk temperamen dan kepribadiannya yang khas dan tentu juga akibat stroke
yang ia derita sejak akhir Januari 1998. Kendati demikian kesalahpahaman itu
sebagian besar disebabkan karena posisinya yang sangat unik dalam masyarakat
Indonesia. Secara bersamaan Abdurrahman adalah Ketua Umum Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (NU), organisasi masyarakat tradisional; pengkritik konsisten
terhadap rejim Soeharto; dan individu yang selalu mengkampanyekan ide-ide
pembaharuan demokrasi. Oleh karena itu, tidak aneh jika ada yang
mengasosiasikannya dengan NU dan partai politik afiliasinya yaitu PKB, dan ada
sebagian yang lain mengenalnya sebagai intelektual publik terpandang yang selalu
mengkampanyekan demokratisasi dan penghapusan pelanggaran HAM. Yang
paling baru, banyak yang mengasosiasikannya dengan PKB dan memandangnya
9
Greg Barton adalah pengajar mata kuliah Religious and Asian Studies di Deakin University.
Disertasinya diraih pada tahun 1995 mengenai pemikiran neo-modernisme empat cendekiawan
muslim Indonesia, yaitu Djohan Effendi, Ahmad Wahib, Nurcholish Madjid, dan Abdurrahman Wahid.
Bersama Greg Fealy ia menyunting buku Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-
Negara (edisi Indonesia), LKiS, Yogyakarta, 1997, yang berisi tulisan tujuh pengamat asing mengenai
NU dan pesantren.
18. 18
secara formal, berbeda dengan dulu yang sering memandangnya secara informal,
yaitu sebagai politisi yang independen. Banyak kebingungan tentang Abdurrahman
sebagian besar berasal dari peran banyak wajah yang dimainkannya dalam
masyarakat Indonesia. Lebih tepat lagi, kebingungan itu berasal dari fakta bahwa
pada satu sisi Abdurrahman dipandang dan dikenal banyak orang sebagai figur
religius dan pada sisi lain ditafsirkan oleh banyak orang, khususnya di pusat-pusat
metropolitan dan antara kelas menengah terdidik Indonesia, sebagai politisi yang
sekuler atau sebagai intelektual liberal. Dengan berdasar alasan kedua ini,
kesalahpahaman tentang Abdurrahman Wahid berjalan seiring dengan
kesalahpahaman tentang Barat pada umumnya, yaitu bagaimana seseorang yang
merupakan intelektual liberal juga dapat dianggap sebagai figur religius dan bahkan
pemimpin karismatik setingkat wali? Dan jika kunci permasalahan ini tidak
diinvestigasi secara memadai dan juga kaitan antara keyakinan agama
Abdurrahman dan peran publik sekulernya tidak dipahami, maka hampir tidak
mungkin dapat memahami dengan sungguh-sungguh siapa sebenarnya
Abdurrahman Wahid itu.
Salah satu aspek yang paling bisa dipahami dari Abdurrahman adalah bahwa ia
adalah penyeru pluralisme dan toleransi, pembela kelompok minoritas, khususnya
Cina Indonesia, dan juga penganut Kristen dan kelompok-kelompok lain yang tidak
diuntungkan pada masa pemerintahan Soeharto dan pada bulan-bulan akhir ini.
Dengan kata lain, Abdurrahman dipahami sebagai muslim non-chauvinis, sebagai
figur yang memperjuangkan diterimanya kenyataan sosial bahwa Indonesia itu
beragam. Yang secara luas tidak, atau tepatnya kurang, diapresiasi adalah bahwa
Abdurrahman itu orang yang bangga sebagai seorang muslim. Ia sangat mencintai
kebudayaan Islam tradisionalnya dan juga pesan utama Islam itu sendiri. Lebih dari
itu, Abdurrahman adalah seorang tokoh spiritual, figur mistik yang dalam
pandangannya dunia spiritual nyata seperti dunia materi yang dapat dirasakan
dengan indera manusia.
Walaupun ia tidak selalu membenarkan tentang keyakinan ini karena dia memahami
bahwa ini adalah titik kebingungan bagi sarjana “sekuler” Barat atau yang
terbaratkan. Bagaimana bisa terjadi seseorang yang begitu mencintai agamanya,
dan khususnya subkultur agamanya tempat ia tumbuh, mampu menjadi seorang
yang pluralistik dan non-chauvinis. Salah satu idiom populer Barat modern atau
19. 19
budaya yang terbaratkan adalah bahwa hanya dengan melepaskan dogmatismelah
seseorang dapat menjadi toleran. Sebagian akan berpendapat, yang mungkin dapat
dipandang sebagai model postmodern, hanya dengan melepas semua klaim
kebenaran absolut dan metafisiklah seseorang akan dapat menjadi seorang toleran
dan pluralis. Akibatnya banyak merasa sulit memahami bagaimana seorang muslim
yang setia, atau seorang penganut agama yang taat, dapat menjadi figur modern
yang begitu liberal.
Sebagian besar diskusi mengenai Abdurrahman, atau yang lebih jarang lagi
mengenai tulisannya, memfokuskan pada satu atau aspek yang lain dari
identitasnya. Bisa dipahami, sikap, manuver, strategi, dan taktik politiknya sering
dibahas, dan sering dengan hasil yang tidak menggembirakan. Begitu juga, sebagai
ketua sebuah organisasi Islam terbesar di Indonesia bahkan juga di dunia, posisi
Abdurrahman sering didiskusikan dan diperdebatkan, walaupun hal ini sering
berlangsung dalam batasan tingkatan-tingkatan di NU atau paling tidak dalam
konteks diskusi tentang Islam. Sangat jarang didiskusikan secara bersamaan sikap
politiknya, aktivitas publik Abdurrahman, dan orientasi spiritual dan personalnya.
Dan lebih khusus lagi juga jarang dibicarakan aktivitasnya dalam pengakuan
pribadinya. Oleh karena itu, sering didapati orang mengemukakan bukti bahwa
Abdurrahman adalah orang yang tidak konsisten, munafik (hipokrit), atau
menggunakan standar ganda. Tuduhan ini, harus diakui, bersumber dari sikap
Abdurrahman sendiri, terutama pada tahun-tahun terakhir. Bahkan orang yang dekat
dengannya sekalipun sering dibuat bingung dan tidak bisa menjelaskan alasan
statement atau manuver politik Abdurrahman yang paling mutakhir. Kebingungan
mengenai Abdurrahman mencapai puncaknya adalah pada masa Soeharto ketika,
terancam oleh konfrontasi antara tentara Indonesia dan Soeharto sendiri, pada akhir
tahun 1997, Abdurrahman menjadi pialang (broker) pendamai. Pada awal tahun
1998 Abdurrahman tampak tidak bersemangat mengerahkan massanya untuk
demonstrasi di jalanan selama masa-masa terakhir pemerintahan Soeharto, dengan
alasan bahwa konfrontasi seharusnya dihindari, karena harga manusia yang harus
dibayar terlalu mahal untuk prestasi apa pun yang bisa diperoleh. Kemudian bahkan
pada masa setelah jatuhnya Soeharto pada akhir tahun 1998, Abdurrahman
membingungkan para sahabat dan para pengkritiknya karena pertemuannya yang
cukup sering dengan Soeharto, dan kemudian dengan Habibie pengganti Soeharto.
20. 20
Abdurrahman menyarankan diperhatikannya perkembangan yang terjadi dan
diupayakannya jalan keluar sehingga kedamaian dapat dicapai. Abdurrahman
beralasan bahwa dengan bertemu dengan Soeharto ia mengupayakan jalan keluar
untuk mengakhiri kekerasan yang diduga dilakukan para pendukung Soeharto.
Demikian juga dengan bertemu Habibie setelah pemilihan umum Juni 1999,
Abdurrahman menjelaskan bahwa ia sedang berupaya menegosiasikan transisi
damai ke era demokratik dan, disuka atau tidak, harus diakui – menurutnya – bahwa
bernegosiasi dengan Habibie sangat penting jika diharapkan kekerasan tidak
berlanjut terus. Alasan yang sama juga sering diberikan untuk menjelaskan
pertemuannya dengan Jenderal Wiranto, Panglima TNI; Akbar Tanjung, ketua partai
Soeharto, Golkar; dan beberapa figur konservatif lainnya. Dalam hal ini semua
berspekulasi tentang apa sebenarnya motif Abdurrahman. Menjadi lebih kompleks
lagi masalahnya dengan dukungan yang ia berikan dan keterlibatannya secara
langsung dalam partai politik melalui PKB, yang pendiriannya – menurut banyak
orang – betul-betul jauh dari apa yang selama ini ia perjuangkan. Abdurrahman
memang sebelumnya dikenal dengan argumentasinya yang tegas bahwa Islam, dan
agama secara umum, dan partai politik tidak boleh dicampur aduk. Terus apa
gerangan yang dia lakukan dengan memotori salah satu partai besar baru yang
secara jelas platformnya tidak islami tetapi didasarkan pada massa NU yang terdiri
dari puluhan juta muslim tradisional.
Ketika ditanya, Abdurrahman menjelaskan bahwa manuvernya merupakan
kepeduliannya terhadap umat NU, dan pada rakyat Indonesia pada umumnya.
Dalam manuvernya itu, Abdurrahman mendemonstrasikan prinsip-prinsip politik
Sunni dan sekaligus memenuhi misi pribadinya untuk melakukan yang terbaik, yaitu
demi terhapusnya kekerasan dan mengantarkan rakyat Indonesia ke kedamaian.
Sementara banyak orang memaklumi penjelasan Abdurrahman, sebagian yang lain
masih sulit menerimanya. Seperti sudah saya kemukakan di depan, saya meyakini
bahwa hanya dengan memperhatikan keyakinan religius dan kehidupan
batiniahnyalah manuver Abdurrahman yang tidak terduga itu dapat dipahami.
Semoga buku seperti ini, di mana esai-esai Abdurrahman dikumpulkan dan
diterbitkan, bisa mengantarkan perhatian yang lebih segara terhadap tulisannya.
Apa yang ingin saya lakukan dalam pengantar ini adalah mengeksplorasi aspek-
aspek identitas “sekuler-liberal” Abdurrahman sebagai intelektual publik dan identitas
21. 21
komunal, religius, dan pribadinya dengan didasarkan pada tulisan-tulisannya dan
dengan referensi beberapa peristiwa terbaru.
Kecintaan yang Mendalam Terhadap Budaya Islam Tradisional
Salah satu tema penting dalam tulisannya, walaupun sering tidak disebut secara
langsung, adalah kecintaannya yang mendalam terhadap Islam tradisional.
Abdurrahman adalah cucu salah seorang pendiri NU yang terkemuka dan putra
salah seorang bapak pendiri bangsa (founding fathers), berasal dari keluarga NU
yang paling utama dan menjadi pewaris dinasti kedua. Mengetahui latar belakang
itu, agaknya tidak aneh bila Abdurrahman membanggakan warisan Islam
tradisionalnya. Dan ketika orang membaca tulisannya, sangat jelas bahwa apa pun
yang dikatakan orang mengenai manuver politiknya, Abdurrahman menunjukkan
pemahamannya yang mendalam terhadap teori sosial modern dan komitmen yang
mendalam terhadapnya. Sangat jelas pula dalam tulisannya bahwa Abdurrahman
adalah seorang demokrat atau lebih tepatnya seorang demokrat liberal. Lebih dari
itu, seperti telah diketahui banyak orang, Abdurrahman dikenal karena sikapnya
yang konsisten membela minoritas dan perjuangan untuk bisa diterimanya
pluralisme sosial dan budaya yang betul-betul ada dalam masyarakat Indonesia
modern. Lebih dari itu, Abdurrahman menunjukkan kemampuan yang luar biasa
untuk bisa berkomunikasi dengan figur publik dan para pemikir Barat yang tidak
banyak tokoh-tokoh Indonesia yang mampu melakukannya. Oleh karena itu, ketika
melakukan perjalanan ke Amerika utara, Eropa, atau Australia, Abdurrahman
mampu berbicara dengan bahasa intelektual Barat modern secara fasih.
Berdasarkan pertimbangan ini, bisa jadi ia mengalami frustrasi mengenai kondisi
masyarakat muslim tradisional di Indonesia yang seringkali parokial dan terbelakang.
Dan dalam tingkatan tertentu, banyaknya tuntutan pada massanya, energi dan
privasi dalam konteks kepemimpinan karismatiknya menunjukkan bahwa
Abdurrahman kadang-kadang benar-benar mengalami frustrasi. Abdurrahman tidak
pernah lambat untuk melakukan kritik ketika kritik dia anggap tidak bisa ditunda lagi
seperti ditunjukkan artikel-artikel dalam buku ini. Kritiknya dilakukan secara umum
sebagai bukti kecintaannya sehingga sukar dibantah. Bahkan, salah satu tema
utama dalam tulisannya dari tahun 70-an sampai sekarang adalah kecintaaannya
22. 22
terhadap budaya Islam tradisionalnya. Kecintaan ini bukan berarti keterlibatan dan
penerimaan segala aspek budaya tradisional karena Abdurrahman sangat kritis
terhadap budaya tradisional. Jelas bahwa Abdurrahman sangat menyukai dunia
idiosinkretik kiai karismatik dan pesantrennya yang penuh misteri. Bukan hanya itu,
Abdurrahman adalah orang yang akan paling cepat memberikan pujian ketika pujian
itu pantas diberikan. Seri-seri “kiai eksentrik”nya dalam majalah Tempo pada akhir
tahun 1970-an menegaskan pandangan bahwa yang paling eksentrik dan misteri
dari pemimpin tradisional adalah kemampuannya berpikir lateral untuk mencari jalan
keluar bagi masalah sosial yang bertentangan dengan anggapan komunitasnya. Dan
batas-batas argumentasi yang dikemukakan Abdurrahman dalam mengapresiasi kiai
tradisional dan pemikir religius lainnya dapat dikatakan liberal, fleksibel, dan bahkan
progresif. Mempertimbangkan betapa banyak masalah yang dihadapinya di
kalangan ulama dan kritik pedas yang sering diarahkan padanya, adalah sangat
penting baginya untuk terus mengemukakan apa yang dia anggap baik dan
menerimanya dengan senang hati, yang sebaliknya sering dianggap orang sebagai
kuno, terbelakang, dan tidak bermutu.
Adalah sangat penting untuk mempertimbangkan kecintaan mendalam yang
dirasakan Abdurrahman terhadap budaya Islam tradisional ini. Bagi intelektual publik
mana pun adalah sangat penting untuk memahami latar belakang personalnya untuk
mengetahui dari mana mereka berasal. Setiap figur mempunyai comfort zone
sendiri. Misalnya Amien Rais, mantan pemimpin Muhammadiyah dan kemudian
pemimpin PAN, partai politik yang progresif, sampai tahun 1998 dianggap sebagai
figur yang agak reaksioner. Jelas, comfort zone-nya adalah urban modernis,
masyarakat Islam yang agak konservatif. Salah satu yang luar biasa dari
Abdurrahman adalah bahwa sementara jelas comfort zone-nya, ketika tur pesantren
dan berbicara dengan para kiai dan juga tampak bahwa comfort zone-nya ini meluas
melampaui batas teritorialnya yang luas sehingga sangat sulit untuk melokalisir
pusat pribadinya. Dalam beberapa hal, periode aktif turnya selama bertahun-tahun
itu telah diduga mengantarkannya pada kelelahan dan bahkan frustrasi dengan
budaya tradisional. Abdurrahman jarang sekali memperlihatkannya, walau mungkin
benar. Sedangkan figur lain dengan latar belakang yang hampir sama yaitu
Nurcholish Madjid mampu menjaga jarak dirinya dengan dunia pesantren yang agak
23. 23
parokial dan membangun komunitas sendiri yang lebih sederhana di Jakarta.
Abdurrahman tidak pernah membuat pilihan ini.
Kecintaan yang Mendalam Terhadap Islam
Terlepas dari kecintaan terhadap budaya Islam tradisional dengan semua bentuk
idiosinkresinya yang penuh misteri dan karakternya yang warna-warni, tampaknya
juga dari tulisan dan perbincangannya bahwa Abdurrahman adalah orang yang
sangat mendalam keyakinan keagamaannya dan mempunyai kecintaan yang
mendalam terhadap agamanya.
Jika penting untuk memahami posisi Abdurrahman sebagai figur religius, sangat
penting juga kita mengapresiasinya sebagai seorang intelektual. Karena hampir
tidak mungkin untuk memahami secara sepenuhnya jika kita tidak menghargai
keyakinan keagamaannya. Tanpa penghargaan terhadap sisi intelektual
Abdurrahman kita tidak akan pernah sampai pada pemahaman yang memadai
mengenai jalan pikirannya. Untungnya, melalui tulisannya relatif mudah bagi kita
untuk bisa memahami Abdurrahman sebagai intelektual. Tentu kesulitan terbesar
yang sampai sekarang adalah tulisan Abdurrahman tidak semua orang punya. Hal
ini diperparah lagi dengan kesibukannya dan kesehatannya yang membuat
tulisannya semakin jarang muncul. Oleh karena itu sangat menggembirakan upaya
LKiS untuk menerbitkan tulisan-tulisan Abdurrahman. Bagi yang memiliki edisi
lengkap Prisma atau yang memiliki arsipnya bisa dipastikan mempunyai semua
tulisannya ini. Kendati demikian saat sekarang ini tulisan-tulisan itu sudah sulit
ditemukan. Dengan publikasi LKiS ini kita akan lebih mempunyai banyak referensi
untuk memahami karakter intelektual Abdurrahman. Yang tidak kalah pentingnya
adalah bahwa tulisan-tulisan di buku ini mempunyai karakter dan motif yang berbeda
dengan tulisan-tulisan terdahulu Abdurrahman yang sudah diterbitkan. Misalnya,
esai-esai terdahulu yang dipublikasikan dalam Tempo walaupun menarik, berbentuk
esai-esai pendek, sedangkan tulisan-tulisan dalam buku ini berformat lebih panjang
dan agaknya dimaksudkan untuk pembaca di kalangan akademik. Membaca artikel-
artikel ini menjadi jelas bahwa Abdurrahman sejajar dengan intelektual-intelektual
menonjol yang dimiliki Indonesia pada abad ke-20. Adalah benar bahwa latar
belakang dan pendidikannya tidak akan mungkin menjadikan Abdurrahman sebagai
24. 24
orang yang mampu berkompetisi dengan intelektual terdidik Barat lainnya tetapi
substansi artikel ini membuktikan lain. Apa pun kelemahannya, dan tidak ada
penolakan bahwa ia memiliki kelemahan, kita harus mengakui bahwa Abdurrahman
mempunyai kemampuan intelektual yang luar biasa. Sungguh, seperti yang akan
kami kemukakan, mungkin karena kecerdasannya yang luar biasa sehingga
beberapa kelemahan karakternya diungkit-ungkit yang jarang dilakukan terhadap
intelektual lain.
Pada bagian akhir tulisan ini kami akan kembali mengeksplorasi alasan mengapa
Abdurrahman menjadi figur yang begitu kontroversial pada tahun-tahun belakangan
ini. Sebelum membincangkannya, sangat penting untuk me-review beberapa tema
yang muncul dalam tulisan intelektualnya, termasuk artikel-artikel yang muncul
dalam volume ini. Hal ini penting karena walaupun banyak perdebatan mengenai
strategi dan taktik politiknya, dan juga kebingungan luar biasa untuk menerjemahkan
sikap politiknya, pemikiran keagamaan Abdurrahman bersifat linear dan terfokus
dengan jelas. Seperti dengan intelektual lainnya, diduga bahwa ada inkonsistensi
dalam ide dan manusianya, tetapi ketika hal itu menjadi ide, Abdurrahman adalah
figur terbaik yang mampu melampaui inkonsistensi ini. Lebih khusus lagi, adalah
meragukan bahwa ada intelektual Indonesia lain saat ini, paling tidak di antara figur-
figur yang sudah dikenal, yang mempunyai pemahaman yang sangat jelas mengenai
demokrasi dan nilai-nilai pasca-pencerahan liberal dan cara-cara
mempertemukannya dengan Islam selihai Abdurrahman.
Tema yang paling jelas muncul dalam tulisan Abdurrahman adalah bahwa Islam
adalah keyakinan yang menebar kasih sayang, yang secara mendasar toleran dan
menghargai perbedaan. Bagi Abdurrahman, Islam adalah agama kasih sayang dan
toleran sekaligus agama keadilan dan kejujuran. Artinya Islam adalah keyakinan
yang egaliter, keyakinan yang secara fundamental tidak mendukung perlakuan yang
tidak adil karena alasan kelas, suku, ras, gender, atau pengelompokan-
pengelompokan lainnya dalam masyarakat. Bagi Abdurrahman Wahid Islam adalah
keimanan yang mengakui bahwa, dalam pandangan Tuhan, semua manusia adalah
setara. Bahkan status muslim dan non-muslim pun setara. Bagian dari keyakinan
mendasar Abdurrahman adalah bahwa nilai-nilai yang mendasari demokrasi dan
liberalisme adalah nilai-nilai universal. Kemudian dia menolak argumentasi yang
terlalu menyederhanakan yaitu bahwa hal ini karena Islam adalah sumber asli
25. 25
pemikiran, nilai, dan ide-ide. Bahkan Abdurrahman menganggap pandangan ini
apologetik saja. Abdurrahman lebih lanjut menegaskan bahwa prinsip-prinsip
mendasar yang berasal dari pencerahan duduk setara dengan pesan utama Islam.
Apa yang muncul paling jelas dalam pemikiran dan tulisan Abdurrahman adalah
keyakinan bahwa pandangan religius yang membentuk dan melahirkan nilai-nilai
yang berasal dari Eropa Kristen danYahudi sejajar dalam visi pokoknya dengan
pesan Islam. Dengan kata lain, Abdurrahman, seperti intelektual-intelektual progresif
lainnya di Indonesia, tidak mempermasalahkan hubungan antara Islam dan Barat.
Walaupun tidak menolak adanya perbedaan penting antara keduanya, Abdurrahman
berargumentasi dengan efektif bahwa arah dan perhatian utama tradisi Judeo
Kristen dan Islam sangat dekat bila dicari sistem nilainya yang paling utama.
Kemudian tidak perlu dikatakan lagi, Abdurrahman seperti intelektual progresif
lainnya bersikap pemikiran bahwa kekhususan formasi negara, pemerintahan, dan
juga hukum modern tidak ditegaskan secara jelas dalam Al-Quran dan Hadits.
Bukan untuk mengatakan bahwa prinsip-prinsip itu tidak secara jelas disebutkan,
tetapi lebih dimaksudkan bahwa detail mekanisme negara modern tidak dirinci. Oleh
karena itu, berbicara tentang pendirian negara Islam baginya adalah non-sense atau
melakukan sesuatu dengan cara islami jika satu-satunya alasan untuk statement ini
adalah untuk menciptakan perbedaan mendasar dengan Barat.
Jika pemikiran politik Abdurrahman sangat jelas dan secara konsisten liberal,
bahkan sangat liberal, mengapa sikap politiknya selama tahun-tahun terakhir
menyebabkan kontroversi sedemikian rupa? Dapat dikemukakan bahwa sementara
Abdurrahman telah menjadi figur yang sangat kontroversial, waktu/sejarah
menjelaskan dan membuktikan wawasan dan kebijaksanaannya, atau jarang
sebaliknya, pendekatan-pendekatan politiknya. Jelas, sebagian besar manuvernya
dahulu dapat dilihat berdasar pada kepedulian pastorialnya yang besar terhadap
masyarakat NU dan rakyat Indonesia pada umumnya. Sejak awal, Abdurrahman
diarahkan oleh keinginan untuk menghilangkan pertikaian antara massanya dengan
militer dan pemerintah Soeharto dan juga keinginan untuk menemukan jalan
kompromi atau jalan tengah dari situasi politik yang sulit. Hal ini sangat jelas
didemonstrasikannya pada tahun 1997 ketika dia melakukan pendekatan terhadap
Soeharto setelah dia mengalami penindasan yang luar biasa oleh mantan presiden
26. 26
ini sejak tahun 1994. Jelas sekarang dia membuat keputusan bahwa tidak ada
sesuatu yang lebih baik untuk dicapai kecuali dengan menahan Soeharto
berhadapan langsung dengan umatnya, dan bahwa dia tidak mengambil langkah
penting karena baik dia maupun NU akan mendapat tekanan berbahaya yang lebih
besar lagi. Dan, sekarang agaknya sudah jelas bahwa keputusannya dalam hal ini
beralasan kuat. Tetapi bagaimana menjelaskan sikapnya selama dua tahun terakhir
ini?
Banyak orang mengkritik Abdurrahman karena kelambanannya dalam merespon
gerakan populer untuk menjatuhkan Soeharto pada awal 1998. Kritik yang sama
juga diarahkan untuk Megawati Soekarnoputri. Baik Megawati maupun
Abdurrahman menjelaskan bahwa mereka tidak mau mengirim rakyat ke jalan
karena khawatir konfrontasi fisik tidak akan mencapai tujuannya dan hanya berisiko
pada penderitaan yang luar biasa. Mungkin keduanya benar, tetapi hal ini yang
menjadikan hubungan mereka renggang dengan aktivis dan mahasiswa pada awal
tahun 1998. Dan manuver Abdurrahman sepanjang tahun terakhir 1998 ini sedikit
artinya untuk meyakinkan pihak-pihak yang meragukan komitmennya pada
reformasi.
Hanya saja ada beberapa persoalan dan problem yang muncul menjadi keraguan
dalam pikiran masyarakat selama periode itu. Antara lain adalah; pertama,
Abdurrahman lamban untuk mengerahkan rakyatnya untuk berkonfrontasi dengan
Soeharto; kedua, Abdurrahman agaknya telah berubah total sikapnya atau bermuka
dua dalam hal sikapnya terdahulu untuk mengaitkan Islam dan partai politik dengan
ikut membidani pendirian PKB pada bulan Juni, partai yang massanya didasarkan
pada dukungan massa NU. Keraguan ini diperkuat lagi selama masa kampanye
untuk pemilu pada bulan Juni 1999 ketika Abdurrahman menjadi jurkam dan politisi
partisan. Bila hal ini yang dipermasalahkan, maka hal ini dapat dijelaskan. Ada
banyak contoh lain tentang sikap politik Abdurrahman yang menyebabkan
kebingungan bahkan para pendukungnya sekalipun dengan menggeleng-gelengkan
kepala dalam ketidaktahuan. Misalnya, ketika lebih dari 100 tokoh NU terbunuh di
Banyuwangi di Jawa Timur pada akhir tahun 1998, tampaknya karena akibat
pembunuhan ninja, Abdurrahman menyalahkan muslim konservatif yang berafiliasi
dengan ICMI, dan yang menurutnya terkait dengan Soeharto. Kemudian pada tahun
itu juga ia menemui Soeharto yang menjadi kunjungan pertamanya di antara tujuh
27. 27
kunjungan sampai periode 1999. Abdurrahman menjelaskan bahwa bila pendukung
loyal Soeharto adalah yang di balik pembunuhan Banyuwangi dan insiden berdarah
lainnya maka cara terbaik untuk menghentikan ini semuanya adalah dengan
mengajak bicara Soeharto sendiri. Akhirnya, Abdurrahman mengumumkan bahwa
negosiasinya dengan Soeharto telah gagal dan “orang tua” itu tidak menunjukkan
tanda-tanda penerimaan. Akibatnya Abdurrahman memutarkan badan sekali lagi
untuk melawan Soeharto tetapi tidak sebelum membingungkan dan mengecewakan
banyak pendukungnya.
Jika pendekatannya terhadap Soeharto mengakibatkan kebingungan, demikian pula
pendekatannya terhadap Habibie pun sepanjang awal tahun 1999 semakin
mengakibatkan kebingungan.
Sekali lagi, Abdurrahman menjelaskan pertemuannya dengan Habibie dalam
kawasan “riil politik”. Kali ini Abdurrahman beralasan bahwa karena tidak ada
kejelasan mekanisme yang akan menjamin transisi ke demokrasi sangat penting
untuk bernegosiasi dengan para politisi konservatif seperti Habibie dan juga
Jenderal Wiranto Panglima TNI yang dia temui. Negosiasi ini dimulai sejak awal
tahun 1999, bahkan sebenarnya pada akhir 1998 kemudian berlanjut sampai pada
saat pemilu pada bulan Juni dan kemudian bulan-bulan setelah pemilu. Sementara
penjelasan Abdurrahman mengenai perlunya bernegosiasi untuk demokrasi dengan
pihak-pihak pemegang kekuasaan masuk akal, mendung keraguan yang
menyelimutinya semakin gelap dengan adanya kabar burung/desas-desus bahwa
Abdurrahman menerima bantuan dana dari Soeharto dan kemudian Habibie untuk
membiayai perawatan medisnya.
Pada saat yang sama, komentar-komentarnya – yang tidak jarang – tentang
kurangnya kecerdasan dan kompetensi umum Megawati semakin membingungkan
para pendukungnya. Banyak yang bisa menerima kenyataan Abdurrahman sebagai
jurkam PKB sebagai cara untuk mengantarkan kamp reformis yang dipimpin
Megawati, agar dapat memperoleh jumlah suara dan kursi yang memadai dalam
pemerintahan. Dan hasil Pemilu 1999 menunjukkan bahwa bila Abdurrahman tidak
berkampanye sedemikian gigih untuk PKB untuk memastikan masuknya suara ke
PKB atau PDI Perjuangan, banyak suara akan lari ke kelompok PPP atau partai
kecil lainnya. Agaknya Abdurrahman sukses besar memotong dukungan untuk
28. 28
partai-partai lawannya, yang itu enggan bekerja sama dengan PDI-P Megawati. Oleh
karena itu, kampanye partisannya untuk PKB dapat dipahami sebagai bagian
strateginya untuk membangun landasan yang memadai bagi kaum reformis untuk
mengantarkan Megawati membentuk pemerintahan.
Problemnya adalah hal ini tidak menjelaskan mengapa Abdurrahman melakukan
kritik secara terbuka terhadap Megawati atau mengapa ia mau bernegosiasi dengan
kelompok poros tengah yang diasosiasikan dengan partai Islam. Sangat jelas bahwa
Abdurrahman Wahid sedang berupaya mendekatkan dan membangun aliansi antara
Amien Rais sebagai PAN, PKB, dan PDI-P; dan Abdurrahman adalah figur
pengantara antara Amien Rais dan Megawati. Hal ini mudah dipahami dan
sebenarnya patut dipuji. Yang belum jelas adalah mengapa Abdurrahman
membiarkan Poros Tengah mendukungnya sebagai calon presiden, yang hal ini
menempatkannya secara diametral berhadap-hadapan dengan Megawati. Mungkin
waktu akan menjelaskan bahwa hal ini adalah bagian dari strateginya, paling tidak,
untuk memecah kekuatan dan dukungan kelompok Islam terhadap Habibie dan
untuk membangun koalisi reformis dengan Megawati. Karena memang kelompok
Habibie sedang berupaya keras walaupun putus asa untuk merebut dukungan
kelompok Islam dengan menyerang Megawati sebagai perempuan dan keturunan
Bali yang diragukan kadar keislamannya dan dukungannya terhadap Islam. Dalam
konteks ini, Abdurrahman sangat berhasil menjalin hubungan dengan Amien Rais.
Lebih dari itu, mudah dipahami bahwa Abdurrahman sedang menggerogoti
dukungan muslim konservatif terhadap Habibie. Misalnya, dapat dipahami bahwa
beberapa kandidat PPP dan bahkan beberapa kandidat Partai Keadilan telah dibujuk
untuk mendukung Abdurrahman dan kemudian Megawati daripada Habibie. Kendati
demikian, pada sisi lain, bisa juga dipahami bahwa penerimaannya terhadap
pencalonan dirinya sebagai presiden oleh Poros Tengah sebagai bentuk kompetisi
langsungnya dengan Megawati.
Dalam poin ini, sangat membantu untuk menelaah beberapa faktor yang mungkin
menjelaskan langkah kontroversial Abdurrahman itu. Faktor-faktor ini secara
mendasar dapat dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu faktor yang berjangka
panjang, dan yang lain lebih langsung berkaitan dengan kesehatannya sekarang.
Pertama, di antara faktor-faktor jangka panjang dapat didaftar misalnya konteks
sosial konservatif NU tempat Abdurrahman menemukan dirinya. Pada sisi lain,
29. 29
Abdurrahman diharapkan bekerja dalam batas-batas kebudayaan tradisionalnya
yang fundamental. Dalam NU seperti dalam organisasi tradisional lainnya di seluruh
dunia, terutama organisasi yang dipengaruhi oleh sufisme, otoritas karismatik adalah
salah satu faktor yang sangat penting. Otoritas karismatik yang dimiliki berarti
Abdurrahman memiliki potensi luar biasa untuk mempengaruhi massa NU dan ia
mampu menggunakan hal ini dengan sangat baik. Tetapi, pada sisi lain, dia
mempunyai kehidupan pribadi dan waktunya sendiri yang sangat berharga. Siang
dan malam Abdurrahman dikunjungi bermacam-macam orang yang eklektik dan
eksentrik, dari meminta sumbangan, meminta nasihat, sampai minta campur tangan
Abdurrahman dalam persoalan politik maupun pribadinya. Jika tidak ada yang
menghentikan mungkin tidak ada jam-jam di mana dia dapat tenang tanpa gangguan
pengunjungnya yang terhormat. Kadang-kadang juga ada yang menginginkan nama
untuk bayi mereka yang baru lahir atau nasihat untuk menyelesaikan masalah
perkawinan. Orang yang mempunyai ketenaran dan pengabdian terhadap
kehidupan akan menghargai karakternya yang membelenggu dan tingkat frustrasi
yang diakibatkannya.
Otoritas karismatik ini juga mempunyai efek yang membatasi, sekaligus terpendam.
Karena Abdurrahman untuk lima belas tahun terakhir sebagai ketua Nahdlatul
Ulama tempat dia memberikan pengabdiannya, pasti adalah hal sulit berhadapan
dengan realitas khususnya ketika akan membuat keputusan mengenai suatu
masalah yang sangat sulit atau kontroversial. Faktor ini semakin dipertajam lagi
karena latar belakang keluarganya dalam lingkaran NU, yang dalam pandangan
banyak orang, Abdurrahman adalah seorang “pangeran” putra dari “keluarga
kerajaan”. Pasti adalah hal sulit untuk menjaga perspektif atau bahkan menemukan
cara alternatif untuk memandang realitas. Kemungkinan inilah masalah yang muncul
selama periode kampanye PKB sebelum pemilu Juni 1999. Selama periode ini,
Abdurrahman dan setiap pemimpin partai politik yang lain sangat optimis. Ketika
ditanya mengenai PKB, dia akan menceritakan bagaimana tanggapan masyarakat
yang begitu ramai ketika dia mengelilingi nusantara dan dia juga akan menegaskan
bagaimana PKB nanti akan menang dalam penghitungan suara. Realitasnya tentu
lebih sederhana. Terus mengapa Abdurrahman kali ini begitu tidak akurat? Di satu
sisi, jawabannya tidak dapat dilepaskan dari feedback yang dia peroleh selama
kampanye sehingga sangat sulit baginya untuk membuat opini yang obyektif.
30. 30
Faktor jangka panjang dan elemen kunci lain yang menjelaskan sikap itu adalah
kepribadian yang sangat unik. Nurcholish Madjid misalnya, yang mengenal
Abdurrahman sejak masih mahasiswa dan sangat memahami dunianya dan latar
belakang keluarganya karena mereka sama-sama berasal dari Jombang, Jawa
Timur, mengatakan bahwa sejak muda Abdurrahman adalah wong nekad. Dia selalu
keluar dari batas dan tidak pernah puas dengan mencukupkan pada satu jalan yang
pasti dan aman. Tampaknya bagi Abdurrahman, kalau belum mencapai tingkatan
yang membahayakan atau belum merasa ter(di)sudutkan, Abdurrahman akan
merasa bahwa ia kurang keras mendorongnya! Bagaimana hal ini dapat dijelaskan?
Ada banyak faktor, di antaranya terkait dengan pengalamannya dulu yaitu ia ada
dalam mobil yang sama ketika ayahnya meninggal dalam kecelakaan yang menimpa
mobil yang dikendarainya. Di samping peristiwa ini, ada semacam tuntutan takdir
atau sense of manifest destiny yang dibebankan padanya oleh ibunya yang sangat
mencintai dan high profile. Sejak awal kehidupannya, Abdurrahman dibimbing untuk
memahami bahwa baik suka maupun tidak suka dia harus mengambil peran dan
tanggung jawab ayahnya untuk memainkan peranan penting bagi masyarakat
Indonesia pada umumnya dan NU pada khususnya. Kendati demikian, faktor-faktor
historis ini tentu tidak dapat dilepaskan dari faktor kepribadiannya yang khas, yaitu
individu yang mendapat kepuasan ketika berhasil menggeser kemapanan, dan
berada di tepi.
Berkaitan dengan hal ini adalah – seperti dikemukakan di muka – sense of manifest
destiny yang dibebankan padanya dan pemenuhan diri atau realisasinya dalam
kehidupan. Sejak lama, Abdurrahman telah terbiasa bemain dalam lingkaran
utama/pusat, memainkan peranan utama. Hal ini diperkuat ketika dia terpilih sebagai
ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama semenjak ia masih muda pada tahun
1984. Dia merasakan perlunya memainkan peran sentral sebagaimana beban dan
tanggung jawab yang harus dia emban. Perasaan ini betul-betul dihayatinya
sehingga dalam banyak hal ia sering melupakan dirinya sendiri demi kerja keras
untuk rakyatnya. Kendati demikian, tentu ada saat-saat ketika pandangan tentang
dirinya ini dan perannya dalam dunia telah mendistorsi pemahamannya tentang
situasi tertentu. Secara ideal, tidak ada seorang pun yang mampu secara terus-
menerus “on call” selamanya. Lebih lagi, ketika orang terbiasa melakukan sesuatu
31. 31
secara konsisten pasti sangat sulit kalau harus mencerabutnya ketika tidak
dibutuhkan.
Hal ini diperkuat dinamikanya oleh kenyataan bahwa Abdurrahman memiliki
kemampuan intelektual yang luar biasa. Sebagai seorang santri pesantren yang
masih muda, intelektual briliannya jauh melebihi kapasitas teman-teman sebayanya,
walaupun upaya kerja kerasnya tidak melebihi teman-temannya. Demikian juga,
walaupun ia tidak punya akses pendidikan yang dimiliki teman sebayanya seperti
Nurcholish, ia juga tidak mengambil program pascasarjana, tetapi pemahamannya
tentang pemikiran Barat bahkan bahasa Barat melebihi kemampuan teman
sebayanya. Akibat tak terhindarkan adalah bahwa Abdurrahman telah menjadi
raksasa di antara sebayanya dalam hal luasnya wawasan, keluwesan pemikiran,
pemahaman, pengalaman, dan kemampuan intelektual yang tajam. Dia tak jarang
berbeda dengan ulama. Hal ini diperumit lagi dengan fakta kultur tradisional ulama,
yang sering menyebabkannya frustrasi. Faktor personal lainnya adalah bahwa
Abdurrahman secara mendasar sangat dermawan. Kedermawanan ini dan
kelemahan karakter, atau lebih tepatnya kebiasaan khusus kepribadiannya, sering
mengantarkan pada kurangnya kemampuan untuk memahami jalan pikirannya.
Sementara pada sisi lain hanya beberapa orang dalam lingkarannya yang cocok
dengan level intelektualnya, pada sisi lain ia terlalu bodoh dalam hal tingkat
kepercayaan yang dia berikan pada orang. Menyadari sulitnya permasalahan seperti
itu, dia sering harus bernegosiasi dalam politik dan bahkan juga dalam urusan NU,
oleh karena itu tidak mengejutkan bila kekurangpahaman ini membuat ide-idenya
tidak terwujudkan. Harga yang paling mahal yang harus ia bayar adalah
kepercayaan yang ia berikan pada orang-orang yang dekat padanya. Seringkali
kepercayaannya sangat bermanfaat baginya tetapi pada saat lain ia dinasihati oleh
sahabat yang berkunjung padanya baik dengan niat baik maupun naif atau yang
kadang-kadang sengaja manipulatif dengan memberinya nasihat yang buruk. Hal ini
semakin parah selama masa dua tahun penyembuhan pasca-stroke yaitu pada saat
dia telah betul-betul buta dan secara psikologis mengalami disorientasi. Jika dia
lebih memahami orang-orang yang berkumpul di sekitarnya dan siapa-siapa yang
nasihatnya dia percaya, tentu dia telah mengalami banyak kesulitan. Oleh karena
itu, banyak statement publiknya yang kemudian membuatnya tersudut karena
informasi yang keliru yang diberikan orang-orang terdekatnya. Kendati demikian
32. 32
untungnya, dia juga menikmati tahun-tahun itu, termasuk saat ini, dengan dikelilingi
orang-orang yang dapat dipercaya, bijaksana, dan berniat baik.
Faktor jangka panjang lain yang menjelaskan sikap Abdurrahman adalah kepedulian
pastoralnya terhadap masyarakat NU dan juga pada semua masyarakat Indonesia.
Dia sepertinya selalu merasakan perasaan paternal untuk selalu bertanggung jawab
dan peduli dengan rakyat kecil Indonesia. Selama periode Soeharto dia sering
terlibat dalam perjuangan untuk membebaskan mereka dari bahaya dan
menghindari konfrontasi dan konflik dengan para penguasa saat itu. Tidak diragukan
lagi bahwa kepedulian paternal ini sering berakibat pada paternalisme yang
mempunyai kelemahan dan kekurangan secara mendasar, tetapi kendati demikian
tidak dapat diragukan juga niat baik dan sentimen murni Abdurrahman dalam
kepeduliannya terhadap masyarakat kecil dalam tubuh Nahdlatul Ulama dan
Indonesia secara umum.
Dalam kepedulian politik ini, Abdurrahman secara konsisten mengikuti pendekatan
politik Sunni yaitu quietism, ketenangan harmoni, katakanlah untuk menghindari
konfrontasi langsung dengan para penguasa saat itu dan selalu mempertimbangkan
cara meminimalisir risiko dan memaksimalkan hasil yang baik. Hal ini membuatnya
mencari jalan kompromi. Sering jalan tengah yang mengkompromikan berbagai
kepentingan ini sering berakibat buruk bagi reputasinya.
Menyadari bahwa Abdurrahman adalah seorang yang nekad, seperti disebutkan di
atas, sangat mudah memahami mengapa berbagai serangan secara terus-menerus
terhadap reputasinya tidak membuatnya khawatir. Bahkan Abdurrahman seolah-olah
mempunyai kemampuan mengoperasikan intuisi yaitu bahwa bakat (capital) kultural
pribadinya yang sangat besar dapat disimpan dan dikeluarkan, dan Abdurrahman
percaya dalam mengetahui bakatnya itu akan terpenuhi. Kehendak untuk menarik,
mencurahkan, dan menggunakan secara maksimal kapital kultural pribadinya ini
tampak terutama dalam negosiasinya dengan Soeharto sampai berakhirnya rejim itu
dan dalam dua tahun berikutnya dengan Habibie. Bila menjadi publik figur, tentu
setiap intelektual akan berpikir dua kali karena bila memasuki isu yang kontroversial
itu bisa berakibat buruk pada reputasinya. Tapi Abdurrahman tidak. Ia seperti tidak
peduli dengan risiko itu. Mungkin karena kekuatan kepribadiannya. Dan pasti ini.
Kendati demikian, pada sisi lain, mungkin juga tanda orang yang ingin memainkan
33. 33
peranan yang sangat besar dalam kehidupan publik dengan tanpa
mempertimbangkan risiko yang menimpa dirinya.
Abdurrahman bukan hanya berhadapan dengan lingkungan politiknya yang sangat
sulit pada masa akhir Soeharto dan selama tahun-tahun yang membingungkan
sesudahnya. Dia selama lima belas tahun lebih juga harus berhadapan dengan
politik yang sangat rumit dan tumpang tindih dalam tubuh NU sendiri. Pertimbangan-
pertimbangan politik ini dalam lingkaran para ulama diperparah perjuangan di mana
Abdurrahman merupakan pemain sentral kubu konservatif dan kubu progresif dalam
tubuh organisasi itu. Akibatnya Abdurrahman sering terjebak dalam dinamika yang
multidimensi bahkan paradoksal ketika dia berusaha membawa dan
mentransformasikan masyarakat NU menurut agenda pribadinya dan sekaligus
merebut dukungan elite karismatik organisasi.
Tindakan penyeimbangan politik dan tindakan penegosiasian dalam wilayah sulit ini
menjadi lebih kompleks lagi selama masa peralihan pemerintahan antara akhir
jabatan Soeharto dan ketika Soeharto mengundurkan diri pada bulan Mei 1998, dan
pada akhir tahun 1999 ketika pemerintahan yang baru dibentuk. Periode antara
Pemilu 1999 dan pembentukan pemerintahannya misalnya, merupakan periode
perang dingin yang sangat intens dan negosiasi kekuasaan di mana ketegangannya
luar biasa dan sering kejam. Abdurrahman sebagai salah satu pimpinan partai
reformis utama selain PDI-P terpaksa terlibat dalam proses yang sangat sulit itu.
Oleh karena itu tidak meragukan lagi, dalam beberapa tahun terakhir, ramalan-
ramalannya salah, mungkin karena kurang kuatnya nasihat yang ia terima atau
karena kekurangan dalam temperamennya atau dalam cara
menginterpretasikannya. Tetapi harus diakui bahwa situasi itu sangat sulit dan bila
ada orang lain menghadapi persoalan sulit itu, tentu ia juga bisa salah.
Di samping faktor-faktor jangka panjang ini, faktor lainnya adalah faktor yang lebih
berjangka pendek dan personal, yang secara langsung berkait dengan perilaku
Abdurrahman pada akhir tahun 1990-an khususnya pada tahun 1998 dan 1999.
Seperti sudah banyak diketahui, pada pertengahan 1990-an istrinya mengalami
kecelakaan hebat yang menimpa mobil yang ditumpanginya, sehingga merenggut
nyawa ibunya, orang yang paling dekat dengannya dan istrinya pun harus duduk di
atas kursi roda. Hal ini merupakan tekanan yang luar biasa pada Abdurrahman dan
34. 34
semakin menambah beban pikirannya yang sudah banyak. Kemudian pada bulan
Januari 1998 dia sendiri kali ini yang mengalami kecelakaan yaitu stroke parah yang
ia derita. Sehingga tidak sedikit dokter yang memperkirakan kematiannya. Memang
diduga bilapun sembuh Abdurrahman tetap akan cacat. Kenyataannya sangat
mengejutkan, ia sembuh dengan cepat dan baik, Abdurrahman kehilangan
penglihatan mata kirinya. Artinya selama tahun 1998 dan 1999 mungkin adalah
masa-masa paling sulit Indonesia yang dihadapi Abdurrahman, bukan hanya
bertempur dengan kondisi psikisnya tetapi juga dengan kondisi psikologis yang
berakibat pada kondisi fisiknya, kesehatan badannya. Para pakar medis dalam
bidang trauma dan khususnya kebutaan menjelaskan bahwa adalah biasa bagi
seseorang yang tiba-tiba kehilangan kondisi fisiknya apalagi pandangan mata akan
mengalami fase tidak menerima beberapa tahun setelah kehilangan ini. Selama
masa penolakan itu, biasanya mereka mengalami perubahan mood dan iritasi
kepribadian normalnya dan keyakinan irasional bahwa ia akan segera sembuh.
Dengan kondisi semacam itu tidak banyak pasien yang mampu beradaptasi dengan
cepat terhadap cacat fisiknya itu. Abdurrahman adalah perkecualian dalam hal ini,
dan faktor ini saja, yaitu perjuangan psikologis untuk menerima cacat hilangnya
pandangan mata kirinya secara permanen lebih dari cukup untuk mendiskualifikasi
para pakar profesional. Ketika menganggap bahwa tekanan yang ia alami, di mana
banyak risiko, tingkat komitmennya yang sangat tinggi sebagai pemimpin agama
dan politik, tidak mengherankan bila ia mampu melampaui masa-masa berat ini
dengan luar biasa.
Akhirnya, sangat bermanfaat bagi kita untuk mengemukakan perspektif berkaitan
dengan persoalan karakternya yang khas dan kelemahannya. Selama tahun 1999
misalnya majalah Time mempublikasikan seri artikel tentang tokoh-tokoh terkemuka
pada abad ke-20. Merupakan latihan instruktif untuk mencermati daftar hero atau
raksasa dan menanyakan betapa sempurnanya figur ini. Tidaklah mengapa bagi
yang menganggap apakah Mahatma Gandhi atau Nelson Mandela, atau bahkan Ibu
Teresa, figur-figur utama abad ke-20, seperti pada setiap abad, bahkan figur terbaik
dari mereka pun merupakan kombinasi paradoksal antara kelebihan yang luar biasa
dan kelemahan manusia biasa. Setiap figur dalam periode sejarah mempunyai
keterbatasan yang tidak mereka sadari. Dalam pengertian ini, jika Abdurrahman
35. 35
dianggap figur utama dalam sejarah Indonesia, maka wajar dan masuk akal
mengakui bahwa figur-figur besar ini pun mempunyai “kekurangan”.
Mungkin bagian masalah yang muncul berkaitan dengan upaya memahami
Abdurrahman dan menerima keputusannya yang kadang-kadang saling berbeda,
kekurangan dalam karakter, kelemahan adalah karena kita mempunyai harapan-
harapan yang tidak masuk akal. Kita memang sering menginginkan kesempurnaan.
Jika kembali lagi pada daftar tokoh dunia abad 20 kita tidak ingat bahwa tidak satu
pun dari tokoh-tokoh ini yang tanpa kekurangan dan kelemahan. Bahkan banyak di
antara mereka yang lemah dan hal itu sering menjadi pelengkap kejeniusannya.
Satu hal yang sangat penting untuk direnungkan dalam berefleksi tentang
Abdurrahman Wahid dan kontribusinya terhadap kehidupan publik dan religius di
Indonesia adalah bahwa kadang-kadang perlu memisah antara manusia dan
gagasan-gagasannya. Tidak ada satu pun pemimpin, bahkan tidak ada satu pun
intelektual yang selamanya konsisten. Sudah menjadi masalah umum bahwa yang
memberikan hal terbaik untuk kehidupan masyarakat kadang-kadang berjuang atau
gagal mewujudkan ide itu sendiri. Banyak contoh akan hal ini. Oleh karena itu,
pengakuan bahwa kontribusi tokoh intelektual seperti Abdurrahman harus
dipisahkan dari konsistensi pribadinya dalam mewujudkan setiap aspek dari
gagasan-gagasan ini. Secara lebih khusus lagi, sangat penting bagi kita untuk
membaca tulisan Abdurrahman karena tidak dapat disangkal lagi Abdurrahman
adalah salah satu di antara intelektual paling signifikan, bahkan sekalipun jika tidak
diakui demikian dan paling tidak untuk memahami persoalan-persoalan yang
memungkinkan kita memahami gaya personal politiknya. Dengan pertimbangan ini,
kami menyambut gembira buku baru ini akan diterbitkan LKiS yang mengumpulkan
artikel-artikel Abdurrahman dari majalah Prisma. Tidak diragukan lagi sudah banyak
orang yang membaca artikel-artikel ini, paling tidak dalam bentuk fotokopi, tetapi
mungkin jarang yang telah membacanya secara keseluruhan dan mempelajarinya
sebagai suatu rangkaian. Dalam memahami Abdurrahman dan mengapresiasi
kontribusinya sangat penting untuk memperhatikan dan merefleksikan tulisannya
secara serius. Semoga, sejarah dan waktu menunjukkan bahwa sebagian besar,
Abdurrahman sudah merealisasikan ide-idenya, khususnya yang berkaitan dengan
hak asasi manusia, toleransi dan prinsip-prinsip demokratik. Jika realisasi secara
36. 36
keseluruhan belum terpenuhi bukan berarti bahwa ide-ide ini telah gagal, seperti
juga semua tokoh-tokoh besar lainnya dengan gagasan-gagasannya. []
37. 37
DAFTAR ISI
Salam Redaksi ᴥ 5
Pengantar
Gus Dur dan Kenangan Cendekiawan Zaman Prisma
Hairus Salim HS ᴥ 7
Memahami Pemikiran Gus Dur
Greg Barton ᴥ 17
Daftar Isi ᴥ 37
Bab 1 Agama, Ideologi dan Pembangunan ᴥ 39
Bab 2 Reideologisasi dan Retradisionalisasi dalam Politik ᴥ 56
Bab 3 Menjadikan Hukum Islam sebagai Penunjang Pembangunan ᴥ 63
Bab 4 Islam dan Militerisme dalam Lintasan Sejarah ᴥ 78
Bab 5 Penafsiran Kembali Ajaran Agama: Dua Kasus dari Jombang ᴥ 90
Bab 6 Mencari Perspektif Baru dalam Penegak Hak-hak Asasi Manusia ᴥ 103
Bab 7 Nilai-nilai Indonesia: Apakah Keberadaaannya Kini? ᴥ 113
Bab 8 Pesantren, Pendidikan Elitis atau Populis? ᴥ 122
Bab 9 Mahdiisme dan Protes Sosial ᴥ 127
Bab 10 Timur Tengah: Panorama Pergolakan Tak Kunjung Berhenti ᴥ 136
Bab 11 NU dan Islam di Indonesia Dewasa Ini ᴥ 150
Bab 12 Jangan Paksakan Paradigma Luar terhadap Agama ᴥ 162
Bab 13 Republik Bumi di Surga ᴥ 168
Bab 14 Persaingan di Bawah Justru Lebih Hebat ᴥ 178
Bab 15 Intelektual di Tengah Eksklusivisme ᴥ 184
Bab 16 Massa Islam dalam Kehidupan Bernegara dan Berbangsa ᴥ 191
38. 38
Bab 17 Penafsiran Teoretis terhadap Hasil Penelitian Orientasi Sosial dan
Budaya di Lima Daerah ᴥ 202
39. 39
Bab 1
Agama, Ideologi, dan Pembangunan
Hubungan antara agama dan ideologi negara pada dasarnya telah menjadi
perhatian para pemikir dari zaman ke zaman. Apalagi kalau dikaitkan dengan
masalah pembangunan, yang pada dirinya mengandung urgensi tersendiri pula.
Dengan demikian, terdapat bahaya sangat besar berupa keinginan untuk
menimbulkan minat belaka dalam membicarakan topik tersebut, tanpa dapat
dikemukakan sesuatu yang fundamental untuk menjadi bahan renungan kita
bersama. Apalagi kalau pendekatan yang diambil hanya untuk mencari kaitan di
permukaan belaka antara agama dan ideologi negara, seperti sering dilakukan juru
penerang pemerintah di mana-mana di negara-negara yang sedang berkembang
dewasa ini.
Gerakan Keagamaan dan Ideologi Negara
Guna menghindarkan bahaya seperti itu, baiklah tulisan ini dimulai dengan
mengemukakan sebab-sebab mengapa dianggap relevan untuk membicarakan topik
di atas, tanpa keinginan hanya mencari efek sensasional belaka. Yang paling utama,
menurut pendapat penulis, adalah: semakin banyaknya bukti yang menunjukkan
besarnya hambatan dalam proses pembangunan, yang diakibatkan oleh
kesalahpahaman sangat besar antara pihak penanggungjawab ideologi negara dan
pimpinan gerakan-gerakan keagamaan di kalangan negara-negara yang sedang
berkembang. Kesalahpahaman ini sudah begitu jauh menghantui hubungan antara
agama dan ideologi negara, sehingga kehidupan politik di kebanyakan negara yang
sedang berkembang lalu menjadi sangat labil. Tenaga sangat besar dihabiskan,
sudah tentu dengan beban sangat besar atas jalannya pembangunan, hanya untuk
membatasi meluasnya pengaruh gerakan-gerakan keagamaan yang dianggap
menjadi musuh potensial bagi ideologi negara. Lambat laun beban itu membengkak
sedemikian rupa, sehingga akhirnya sangat melambatkan, kalau tidak boleh
40. 40
dikatakan menghentikan sama sekali roda pembangunan yang semula
diperhitungkan akan terlindung dari “gangguan” gerakan keagamaan dengan
pengambilan tindakan-tindakan “pengamanan politis” seperti itu.
Retorika politik disusun sedemikian rupa, untuk membungkus kenyataan pahit
tersebut serapat mungkin, guna tidak menimbulkan gejolak baru yang akan
membuat keadaan semakin parah. Dalam pada itu, retorika politik tersebut
dikemukakan bersamaan dengan tindakan-tindakan berganda untuk melemahkan
gerakan-gerakan keagamaan. Di satu pihak, gerakan-gerakan keagamaan
“dijinakkan” dengan bantuan negara dalam jumlah sangat besar untuk peribadatan
ritual, sedang di pihak lain didukung upaya untuk memojokkan gerakan-gerakan
keagamaan yang memiliki aspirasi politis yang berwatak korektif terhadap politik
pemerintah. Upaya pemojokan biasanya dilakukan dengan menciptakan gerakan-
gerakan keagamaan tandingan dengan fasilitas sangat besar dari aparat
kenegaraan. Dalam istilah yang umum digunakan di kalangan gerakan keagamaan
yang merasa dipojokkan, penciptaan gerakan alternatif tersebut dinamai politik
“memotong baja harus dengan baja”.
Dalam hal hierarki gerakan-gerakan keagamaan mampu menghalangi pembentukan
alternatif terhadap eksistensi mereka itu, melalui kohesi yang sangat tinggi dan
organisasi yang tidak kalah rapinya dengan organisasi pemerintah, maka tidak dapat
dihindarkan konfrontasi langsung antara penguasa dan gerakan-gerakan
keagamaan. Baik yang menyuarakan aspirasi mayoritas bangsa, seperti perjuangan
membela hak-hak petani kecil (campesinos) oleh beberapa gerakan Katolik di
beberapa negara Amerika Latin, maupun yang menyuarakan aspirasi minoritas
seperti perjuangan sejumlah gerakan Islam di Filipina untuk mempertahankan hak-
hak adat suku-suku bangsa muslim di selatan negeri itu dari jangkauan penguasa
pemerintah pusat dengan aparatnya yang menindas dan korup.
Konfrontasi langsung itu dapat mengambil bentuk bentrokan bersenjata dalam
lingkup luas atau pun hanya terbatas di sebuah lingkungan kecil, maupun
pertentangan fisik yang tidak seimbang antara para aktivis keagamaan yang tidak
bersenjata dan menggunakan cara-cara damai (betapa militannya sekalipun)
melawan aparat keamanan dengan kelengkapan pengawasan gerak-gerik dan
penyidikan (termasuk penyiksaan fisik untuk mendapatkan informasi dari pihak
41. 41
tertahan) yang sering sekali bersifat ultramodern. Tidak selamanya gerakan
keagamaan berada dalam kedudukan lemah, terlebih-lebih jika mereka mampu
membuat koalisi dengan sektor-sektor politik yang lain, seperti terbukti dengan
kasus Iran.
Perlawanan pasif dari pihak gerakan keagamaan, dalam artian sepenuhnya tidak
mendasarkan diri pada perjuangan bersenjata (walaupun tidak dapat
menghindarkan munculnya tindakan-tindakan kaum teroris di kalangan mereka
sendiri), dalam beberapa hal sanggup membelokkan jalannya kehidupan bernegara
dari acuan yang telah ditentukan semula. Kasus Turki masa kini langsung masuk ke
ingatan kita dalam hal ini. Munculnya penolakan militan (walaupun tetap secara
damai) terhadap pengikisan nilai-nilai keagamaan oleh proses modernisasi yang
secara formal menganut paham sekularisme di negeri itu, yang membawa kepada
labilitas sangat besar dalam “pergaulan politik” antara kekuatan-kekuatan yang
terwakili dalam lembaga perwakilan rakyat, akhirnya berakhir pada penggulingan
kekuasaan kabinet parlementer oleh sebuah junta militer yang mengajukan program
pemulihan keadaan yang dirumuskan sudah “menjurus kepada anarki”. Demikian
pula, gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir berkali-kali mampu memaksa pemerintah
untuk mengambil politik yang berbeda dari garis yang semula dianut, walaupun
dalam masalah perundingan langsung dengan Israel mereka tidak mampu
memaksakan sesuatu kepada Presiden Anwar Sadat.
Tidak Mundur dari Ketetapan Pendirian
Yang jelas, sekali gerakan-gerakan keagamaan memutuskan untuk mengemukakan
pikiran-pikiran alternatif terhadap apa yang dijalankan oleh pemerintah, biasanya
jarang sekali mereka mundur dari ketetapan mereka itu, walaupun besar risiko yang
harus mereka hadapi dalam bentuk persekusi dan penindasan atas aspirasi mereka.
Kasus para “pemimpin oposisi” Korea Selatan, seperti Kim Dae Jung, yang
mendasarkan gerakan moral politis mereka atas keyakinan agama Nasrani dan para
pemimpin Partai Keselamatan Nasional di Turki, di bawah pimpinan Nejmedin (ejaan
Turki: Necmettin) Erbakan, adalah contoh yang nyata dalam hal ini. Ketahanan ini
sudah terbukti sebelumnya, yaitu di masa perjuangan kemerdekaan dari tangan
penjajah, dan dalam perkembangannya di masa pembangunan mengambil bentuk
42. 42
perlawanan terhadap apa yang dirumuskan sebagai “penjajahan terselubung” oleh
perusahaan-perusahaan multinasional, persekutuan-persekutuan militer, dan
sebagainya.
Ketetapan pendirian gerakan-gerakan alternatif yang berlandaskan pada aspirasi
keagamaan itu datang dan tumbuh dari kemampuan merumuskan pemikiran mereka
dari sumber-sumber ajaran agama, sehingga apa pun yang mereka yakini memiliki
dimensi keabadian perjuangan dan kelanggengan cita-cita. Pengorbanan yang
harus diberikan hanya merupakan sebagian saja dari keseluruhan perjuangan yang
tidak akan pernah berhenti. Kegagalan demi kegagalan hanya menjadi susunan bata
yang akan membentuk gedung indah yang dicita-citakan, darah dan keringat yang
tercurah adalah penyiram bagi tumbuhnya cita-cita itu sendiri. Konsep kesyahidan
(martyrdom) mendudukkan akibat tindakan persekutif dan penindasan fisik dalam
kerangka yang sama sekali berlainan dari apa yang dimaksudkan oleh aparat yang
melaksanakan persekusi itu sendiri. Munculnya ketahanan luar biasa untuk terus
memperjuangkan aspirasi di hadapan segala macam kesulitan dalam intensitas
sedemikian besar, sebagai studi yang praktis dicapai oleh setiap gerakan alternatif
kalau telah menemukan “diri”nya, membawakan problema besar berupa “lingkaran
setan” eskalasi perlawanan versus “tindakan pengamanan pemerintah” di banyak
negara yang sedang berkembang. Eskalasi dalam konflik antara gerakan
keagamaan di satu pihak dan pemerintah di pihak lain, dengan bebannya yang
demikian besar atas kelangsungan pembangunan, adalah persoalan dasar yang
dihadapi oleh umumnya negara yang sedang berkembang.
Memang ada upaya untuk menutupi wujud persoalan dasar ini, dengan
mengetengahkan berbagai “persoalan dasar” lain, seperti kesulitan sangat besar
dalam mengubah sikap hidup tradisional, kecilnya kemampuan untuk segera
mengembangkan sumber-sumber alam atas tenaga swakarsa mandiri, tidak
tersedianya kelengkapan teknis untuk mendirikan infrastruktur sosial-ekonomi yang
diperlukan dalam mutu dan lingkup yang cukup bagi kebutuhan pembangunan, dan
seterusnya. Namun, masalah-masalah “teknis” seperti itu, betapa mendasarnya
sekalipun, tidak memunculkan kerawanan situasi yang dibawakan oleh
kesalahpahaman antara ideologi negara dan keyakinan agama yang muncul di
sejumlah besar negara berkembang dalam dua dasawarsa terakhir ini. Bagaimana
pun juga, akan sia-sialah kecenderungan menutupi permasalahan sebenarnya,
43. 43
karena ia hanya akan menunda saja penyelesaian persoalan dasar itu sendiri secara
tuntas, dengan bahaya ledakan-ledakan sosial yang hebat sebagai “jalan
penyelesaian”. Sikap menutup mata terhadap persoalan dasar di atas akan
membuat konflik yang ditimbulkan tak terkendalikan lagi (unmanageable conflict)
dalam jangka panjang.
Pertentangan yang Berlarut
Tinjauan atas kesulitan-kesulitan dalam hubungan antara aspirasi agama dan
ideologi negara harus dipusatkan pada pertumbuhan ideologi negara itu sendiri di
kebanyakan negara-negara yang sedang berkembang, yang prosesnya belum
menetap. Pemusatan perhatian seperti ini akan membawa kepada pengenalan
mendalam atas sumber-sumber kesulitan hubungan di atas, sehingga pemecahan
masalah yang diusulkan juga dapat dilakukan secara tuntas karena berpijak pada
persoalan yang nyata.
Kesulitan-kesulitan itu bermula pada proses penumbuhan ideologi negara yang
berjalan secara labil. Pertentangan antara ideologi-ideologi sekuler dan teokratis
senantiasa berjalan berlarut-larut, dan biasanya tidak selesai dengan hanya
tercapainya kompromi formal saja. Kasus penetapan Pancasila sebagai ideologi
negara Republik Indonesia dapat dikemukakan dalam hal ini. Aspirasi sekularistis
dari gerakan-gerakan nasionalis dan gerakan-gerakan keagamaan non-Islam
berbenturan dengan aspirasi “golongan Islam” dengan hebatnya di saat-saat kritis
menjelang tercapainya kemerdekaan formal dari tangan tentara pendudukan
Jepang.
Segera setelah tercapainya “penyelesaian” formal berupa ideologi negara yang
dinamai Pancasila,10
perbenturan masih berlanjut dalam bentuk upaya
“pengamanan“ Pancasila itu sendiri di lingkungan masing-masing pihak, dari
kemungkinan “penyimpangan” oleh lawan politik (political adversaries) yang berbeda
10
Hingga kini belum ada pengkajian oleh lembaga resmi kenegaraan akan peranan pihak “golongan
Islam” dalam perumusan Pancasila, sebuah kenyataan yang menunjukkan dengan jelas betapa
masih timpangnya pengetahuan kita sendiri akan ideologi negara yang sudah diterima oleh semua
pihak. Perumusan ideologi negara ini adalah proses tolak angsur antara dua pihak, mustahil ia hanya
dirumuskan oleh satu pihak saja, betapa di-“suci”-kannya sekalipun pihak itu di kemudian hari
sebagai perumus ideologi negara.
44. 44
dari musuh politik atau political enemies. Upaya itu terutama ditumpukan pada
tindakan-tindakan politik untuk sejauh mungkin menguasai aparat pemerintahan dan
kelengkapan negara. Baik di masa perjuangan fisik mempertahankan kemerdekaan
(1945-1949), masa Demokrasi Liberal (1950-1959), masa “Demokrasi” Terpimpin
(1959-1966), maupun di masa Orde Baru sejak 1966, “pengamanan” ideologi negara
dari kemungkinan “salah penafsiran” senantiasa mengambil bentuk penguasaan
aparat pemerintahan dan kelengkapan negara dan “mendayagunakannya” bagi
perumusan “penafsiran yang benar” atas ideologi negara. Di saat ini, upaya tersebut
mengambil bentuk penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(P4) secara tidak berkeputusan, walaupun dalam kenyataannya muncul juga
“perlawanan politis” (political adversity) terhadap rancangan Ketetapan MPR yang
melandasinya dalam Sidang Umum yang lalu, karena ketakutan justru kepada
besarnya kemudahan untuk melakukan penyelewengan penafsiran melalui
rancangan ketetapan itu sendiri.
Kasus perkembangan Pancasila sebagai ideologi negara seperti dikembangkan di
atas, bukanlah kasus yang unik. Di banyak negara, pertumbuhan awal dari ideologi
negara dan kemudian proses pemantapannya mengambil bentuk dialog intensif
antara pihak-pihak yang berbeda pendapat. Ada yang berupa dialog terbuka untuk
mendiskusikan penafsiran konstitusi, seperti dilakukan kaum federalis dan kaum
republiken (terutama Hamilton melawan Jefferson) di Amerika Serikat pada dua
dasawarsa pertama abad kesembilan belas, dan kemudian antara kaum konfederasi
yang menghendaki dilanjutkannya perbudakan dan kaum abolisionis yang
berpendirian sebaliknya pada pertengahan abad yang sama. Tetapi dialog itu ada
pula yang mengambil bentuk proses “tawar-menawar yang sepi” (silent bargainings),
seperti yang berlangsung di negeri kita dalam dasawarsa enam puluhan dan tujuh
puluhan dan kemungkinan besar masih berlanjut dalam dasawarsa delapan puluhan
ini. Proses tolak angsur (tug-of-war) antara aspirasi teologis dan aspirasi sekuler
yang berlangsung di negeri kita dewasa ini adalah bagian dari jalannya “tawar-
menawar yang sepi” itu.
Dialog di seputar ideologi negara itu mengambil cara penyelesaian sementara yang
berbeda-beda pula pada tahap yang berlainan, sebelum pada akhirnya dicapai
kesepakatan yang lebih-kurang berwatak menetap. Penyelesaian sementara itu ada
kalanya pertumpahan darah dalam skala besar, seperti perang saudara di Amerika
45. 45
Serikat di abad yang lalu, perang Biafra di Nigeria, dan “perang kemerdekaan”
bangsa Bengali di Pakistan Timur melawan otoritas “penjajahan” Pakistan Barat
yang berkesudahan pada lahirnya negara baru Banglades. Tetapi yang lebih sering
terjadi adalah penumpasan pendirian yang dianggap menentang konstitusi, seperti
aspirasi gerakan-gerakan separatis DI, RMS, PRRI-Permesta, dan OPM di negeri
kita. Penumpasan itu dapat terjadi secara fisik, dalam bentuk tindakan militer atas
gerakan yang dianggap sebagai separatis, tetapi dapat juga terjadi dalam bentuk
pelarangan sesuatu paham melalui proses perundang-undangan, seperti terjadi atas
“ideologi” kasta dari beberapa kelompok Hindu konservatif di India, beberapa
gerakan politik seperti Masyumi dan PKI di negeri kita (walaupun yang terakhir ini
melalui pertumpahan darah dalam skala besar pula), dan gerakan Ikhwanul
Muslimin di sementara negara Arab (Mesir, Siria, dan Irak).
Penyelesaian sementara itu juga tidak selamanya berakhir pada kerugian pihak
yang semula dituduh sebagai “gerakan separatis”, walaupun harus diakui
kebanyakan memang berakhir seperti itu. Dua buah kasus menonjol yang dapat
dikemukakan di sini, masing-masing mewakili model penyelesaian tersendiri, adalah
kasus Iran dan Pakistan. Pada kasus Iran, gerakan keagamaan semula dipojokkan
sebagai reaksioner, terbelakang, tradisional, kolot, dan sebagainya. Pada waktu
perlawanan tak kunjung padam, gerakan keagamaan bahkan dituduh sebagai
penyimpang dari garis modernisasi dan kemajuan, tidak mengerti tujuan “revolusi
putih” yang dilancarkan bekas Syah Reza Pahlevi. Kalaupun tidak langsung dituduh
sebagai “kelompok separatis” dalam artian fisik, gerakan keagamaan yang dipimpin
para mullah dicap sebagai “separatis maknawi”. Setelah mengalami pergulatan seru
semenjak tahun 1964, dengan puncak kemelut pada tahun 1977-1978, justru
“gerakan separatis” tersebut yang berhasil memenangkan konflik yang
berkepanjangan itu. Pola kemenangan tersebut, dengan menggunakan cara
memunculkan agama sebagai “ideologi tandingan” terhadap ideologi negara yang
ada, sebagaimana diistilahkan oleh Muhammed Ayub dari Australian National
University, bagaimana sementaranya sekalipun penyelesaian politis yang
dicapainya, jelas sekali telah memberikan bekasnya sendiri atas perkembangan
pemikiran keagamaan di perempat terakhir abad kedua puluh ini.
Kasus Pakistan menunjukkan penyelesaian yang sedikit-banyak juga berbeda dari
jalur umum penyelesaian atas kerugian “gerakan separatis” di mana-mana. Pada
46. 46
mulanya, gerakan-gerakan keagamaan juga berada di pinggiran kekuasaan, dengan
predikat “gerakan separatis” yang membahayakan kelangsungan proses
membangun di masa berbagai macam pemerintahan semenjak Ayub Khan merebut
kekuasaan melalui kudeta militer. Puncak “pemojokan” itu terjadi pada saat
pemerintahan Partai Rakyat Pakistan di bawah pimpinan Zulfiqar Ali Bhutto. Politik
Bhutto untuk memunculkan kerakyatan (populisme) yang dikombinir dengan
nasionalisme, ternyata diterima oleh para pemimpin gerakan agama di Pakistan
sebagai penciptaan “ideologi tandingan” terhadap ideologi keagamaan yang telah
lebih dua puluh tahun menjadi kesepakatan bersama (walaupun dalam berbagai
corak formalitas kenegaraan). “Provokasi” Ali Bhutto itu ternyata harus dibayar
mahal sekali olehnya, yaitu dalam bentuk koalisi antara unsur-unsur militer yang
bersikap keras dan gerakan-gerakan keagamaan Pakistan. Koalisi yang berwatak
“memelihara status quo” (kembali meminjam istilah Ayub) itu menunjuk pada jenis
penyelesaian sementara yang berbeda dari kasus Iran, yaitu kemampuan gerakan
keagamaan untuk menghalau posisi terpojok sebagai “gerakan separatis” dengan
jalan memasuki koalisi dengan pihak-pihak lain yang lebih toleran kepadanya.
Tanggapan Terhadap Krisis Ideologis
Ketiga jenis penyelesaian sementara dalam kemelut ideologi negara di atas, yaitu
pelarangan atas “gerakan separatis”, kemenangan paham yang semula dianggap
“separatis”, dan penyertaan “paham separatis” dalam pemerintahan berkat koalisi
dengan unsur-unsur status quo (tentara dan sebagainya), menunjukkan dengan
jelas betapa besar ragam responsi terhadap krisis ideologi yang berlangsung
berkepanjangan. Pendekatan beberapa raja muslim kepada gerakan-gerakan
keagamaan, sebagian karena pengaruh kejadian-kejadian di Iran dan sebagian lagi
karena kesulitan masing-masing yang semakin sulit dipecahkan, dapat dilihat di
Maroko, Yordania, dan Malaysia, sebagai salah satu cara mencari penyelesaian
sementara di antara spektrum yang sebenarnya cukup luwes variasinya.
Kemelut di sekitar ideologi negara dan munculnya berbagai jenis penyelesaian
sementara untuk mengatasi kemelut itu (bahkan justru munculnya penyelesaian
sementara itu sendiri, tanpa mampu dicapai penyelesaian secara tuntas),
menunjukkan betapa pekanya persoalan yang dihadapi oleh negara-negara yang
47. 47
baru berdiri dalam abad ini. Upaya untuk menutupi persoalan sebenarnya justru
tidak membantu mencari pemecahan yang sebenarnya dibutuhkan. Persoalan
utamanya adalah tetap besarnya persepsi di kalangan gerakan-gerakan keagamaan
akan konsolidasi ideologi negara sebagai “kerugian” bagi nilai-nilai transendental
yang mereka yakini dan anut.
Kesibukan menciptakan infrastruktur kenegaraan yang berwatak rasional dan
berfungsi teknis secara efisien sering mengakibatkan sikap untuk mengabaikan
persepsi di atas. Sebagian karena oportunisme politik dan sebagian lagi karena
ketidakmampuan membuka cakrawala politik yang dapat diterima secara tulus oleh
semua kalangan, proses pengabaian persepsi akan kerugian yang diderita nilai-nilai
transendental berjalan semakin lama semakin jauh, hingga saat munculnya
tantangan gerakan-gerakan keagamaan yang memajukan paham-paham alternatif
terhadap penafsiran resmi atas ideologi negara. Pemecahan yang serba
berkeseimbangan dan berwatak rasional sudah sangat lambat untuk diajukan
sebagai responsi terhadap tantangan yang sejak semula tidak berhasil dideteksi itu.
Terbuka pilihan hanya antara dua hal yang sama-sama tidak menguntungkan
sebagai pemecahan sementara: konfrontasi langsung dengan paham-paham
alternatif itu (seperti dilakukan pemerintahan Marcos di Filipina terhadap gerakan
Katolik yang mengajukan konsep “pembangunan manusiawi” atau human
development) atau akomodasi oportunistis yang tidak memuaskan sama sekali
(seperti yang terjadi di Pakistan sekarang).
Penyelesaian sementara yang dicapai, dalam keadaan demikian, membawa dalam
dirinya benih-benih bagi perbedaan paham yang fundamental di belakang hari.
Koalisi karena kebutuhan sementara (marriage of convenience) tidak akan berumur
panjang, karena ketegangan akan timbul antara pihak-pihak yang terlibat, ketika
masing-masing harus menentukan responsi terhadap tantangan dari paham
alternatif terhadap ideologi negara. Larinya sejumlah pemikir keagamaan yang
dinamis dari Pakistan untuk hidup di luar negeri sekarang ini, seperti Fazlur Rahman
dan A. Kazi, dalam jangka panjang hanya akan menimbulkan kesulitan-kesulitan
bagi pemerintahan Zia Ul Haq. Memanggil mereka kembali pulang ke Pakistan akan
membuat marah partner-partnernya dalam koalisi yang memerintah, tetapi
membiarkan para pemikir itu tinggal di negeri orang hanya akan menambah
kesulitan-kesulitan di bidang pemikiran keagamaan, karena justru dari mereka
48. 48
sajalah dapat diharapkan pemecahan yang kreatif di bidang yang dianggap paling
menentukan sekarang ini: merumuskan hubungan agama dan negara secara
dewasa dan rasional.
Pendekatan oportunistis antara Presiden Anwar Sadat dan kelompok inti dalam
gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir beberapa tahun yang lalu, ternyata tidak tahan
terhadap “tantangan” yang muncul dari kebutuhan akan pendekatan antara Mesir
dan Israel yang akhirnya bermuara pada Persetujuan Camp David. Tantangan
Ikhwanul Muslimin terhadap perdamaian Mesir-Israel dengan segera memaksa
Anwar Sadat untuk mengambil tindakan keras terhadap gerakan tersebut. Koalisi
untuk tujuan sedemikian sederhana antara aspirasi keagamaan dan kekuasaan
yang pada dasarnya berwatak sekuler, sedang mengalami ujian berat di banyak
negara, seperti El Salvador, Meksiko, Maroko, Tunisia, Malaysia, Indonesia, dan
Banglades.
Pembangunan Membawa “Titik Tengkar”
Masukan (input) “tahap membangun” sering membawakan permasalahan baru ke
dalam suasana hubungan yang sudah labil antara ideologi negara dan aspirasi
agama, sehingga menambah labilitas itu lebih jauh lagi. Beberapa aspek
pembangunan, seperti tujuannya, polanya, pembiayaannya, dan struktur aparat
pelaksananya secara bersama-sama atau terpisah satu dari yang lain membawakan
“titik tengkar” (points of contention) tersendiri dalam dialog yang sudah tersendat-
sendat jalannya antara kekuasaan yang pada dasarnya memiliki orientasi sekuler
dan gerakan-gerakan keagamaan.
Tujuan pembangunan yang umum diambil oleh negara-negara yang sedang
berkembang dalam dasawarsa yang lalu, yaitu peningkatan produktivitas melalui
insentif-insentif material, banyak sekali dikritik oleh pihak yang saling berbeda
(bahkan bertentangan) dalam pandangan hidup masing-masing, seperti antara
golongan intelektual kosmopolitan dan gerakan-gerakan marxis-leninis di beberapa
negara. Tetapi pada umumnya hanya kelompok-kelompok vokal dalam berbagai
gerakan keagamaan yang secara tekun membina tantangan terhadap perumusan
tujuan pembangunan seperti itu. Keluhuran nilai hidup manusia, sebagai nilai
49. 49
tertinggi yang mereka anut dalam kehidupan, membawa mereka kepada penolakan
langsung atas tujuan pembangunan yang sedemikian materialistis. Karena tujuan
pembangunan menyangkut strategi membangun yang akan diambil, dengan
sendirinya tantangan yang mereka ajukan segera merembet ke lain-lain sektor,
sehingga dalam waktu tidak terlalu lama menjadi penolakan terhadap keseluruhan
konsep pembangunan yang dirumuskan oleh kekuasaan yang sedang memerintah.
Dalam situasi di mana dialog antara kekuasaan negara dan aspirasi gerakan
keagamaan dapat dilangsungkan secara terbuka dalam diskusi bebas, penolakan
artikulatif atas konsep dasar pembangunan itu akan berakhir pada penyediaan
konsep tandingan yang dapat dijadikan isu dalam pemilihan umum, walaupun belum
tentu dapat dilaksanakan jika para perumusnya memenangkan pemilihan umum itu
sendiri. Dalam situasi di mana dialog itu terjadi dalam bentuk proses “tawar-
menawar yang sepi” tentang itu muncul dalam sejumlah slogan (catchwords) yang
hanya secara terselubung saja berwatak kritis, seperti tuntutan pembangunan harus
bertujuan mengembangkan “manusia seutuhnya” di negeri kita.
Pola pembangunan yang dianut juga dapat menjadi titik sengketa. Patutkah pola itu
dirumuskan sebagai dorongan sektor-sektor produktif untuk mengembangkan diri,
dan dengan demikian mengangkat derajat sektor-sektor lain yang tidak begitu
produktif? Sudah memadaikah pola perencanaan yang disentralisir bagi kebutuhan
pembangunan yang sebenarnya, mengingat uniformitas pendekatan yang dilakukan
akan menimbulkan hambatan-hambatan birokratis yang tidak teratasi lagi di
kemudian hari? Bukankah dorongan terhadap sektor yang kuat justru tidak akan
mengekalkan ketimpangan sosial yang sudah ada? Seribu satu pertanyaan lagi
dapat diajukan ke alamat kekuasaan yang merumuskan dan melaksanakan
pembangunan berencana. Gerakan keagamaan sering menimbulkan kesulitan bagi
pemegang kekuasaan, bukan hanya karena mengajukan rumusan-rumusan
tandingan di sektor pola pembangunan yang diikuti, melainkan juga karena
rumusan-rumusan tandingan itu dicobakan dalam skala besar secara tekun dan
menetap.
Di saat pemerintah sejumlah negeri mengabaikan tuntutan akan landreform, karena
alasan stabilitas keadaan negara, gerakan keagamaan justru mulai melaksanakan
program mereka sendiri, seperti apa yang dilakukan Uskup Agung Jose Maria Pirez