1. Jl. Cikini V No. 15A, Menteng – Jakarta Pusat
Telp: (021) 31927996/98, Fax: (021) 3143867
Website: www.lsi.or.id, Email: info@lsi.or.id
Temuan Survei Nasional
16 – 22 Agustus 2017
2. Latar Belakang
2
• Literatur tentang korupsi menemukan bahwa faktor ekonomi, politik
dan budaya semuanya berhubungan erat dengan korupsi.
Kemiskinan dan disparitas pendapatan merupakan pendorong
perilaku korup. Demikian juga sistem pemerintahan yang tidak
transparan dan akuntabel. Relasi sosial hierarkis dan non-
demokratis juga menyumbang peningkatan praktik korupsi. Semua
faktor ini menyuburkan penyalahgunaan wewenang (abuse of
power) oleh aparat pemerintah dan negara (Ghaniy & Hastiadi,
2017).
• Bagaimana dengan agama? Apakah agama dapat menurunkan atau
justru meningkatkan korupsi?
• Secara normatif, agama seharusnya mampu mengontrol perilaku
korup para penganutnya. Semua agama mengajarkan untuk tidak
merugikan orang lain. Namun kenyataannya, bangsa-bangsa
dengan mayoritas penduduk beragama tidak ada yang lepas dari
praktik korupsi. Bahkan kasus-kasus korupsi akut banyak
ditemukan di negara yang memiliki identitas agama kuat, apa pun
agama itu (Corruption Perception Index, 2011)
3. Latar Belakang
3
• Ilmuwan sosial tidak melihat agama secara normatif dan formal
karena cara ini tidak bisa menjelaskan perilaku korupsi. Mereka
lebih melihat bagaimana nilai, norma dan perilaku yang secara
langsung berkaitan dengan praktik korupsi. Misalnya norma dan
aturan tentang akuntabilitas, profesionalitas, kesetaraan dan
ketaatan pada hukum yang berasosiasi dengan nilai demokratis
(Seldadyo & De Haan, 2006; Serra, 2006).
• Dalam konteks ini yang dilihat bukan agama per se, melainkan
pemahaman atau budaya keagamaan yang dikembangkan oleh
komunitas pemeluk agama. Untuk itu, bukan saja budaya
keagamaan pengikut Islam, Kristen, Hindu bisa berbeda; tetapi
budaya keagamaan antarkomunitas dalam satu agama juga bisa
berbeda-beda.
• Melalui pendekatan ini para ilmuwan menemukan agama
sebagai faktor yang bisa jadi berkontribusi positif, negatif, atau
bahkan tidak berhubungan sama sekali dengan korupsi (Ghaniy
& Hastiadi, 2017; Shabbir & Anwar, 2007).
4. Latar Belakang
4
• Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut, maka dapat diduga
bahwa pemahaman keagamaan yang lebih menitikberatkan
pentingnya kejujuran, akuntabilitas, kesetaraan, kerja keras, dan
taat hukum, akan berkorelasi negatif dengan praktik korupsi.
Sebaliknya, pemahaman keagamaan yang lebih menekankan
ketaatan pada hirarki sosial, status sosial, dan toleran terhadap
pelanggaran hukum, akan cenderung berkorelasi positif dengan
korupsi. Sejumlah peneliti juga mencatat bahwa pola
keberagamaan yang lebih mementingkan urusan non-duniawi dan
ritual cenderung tidak memiliki hubungan dengan persoalan-
persoalan nyata, seperti politik, ekonomi, dan mungkin
juga korupsi.
5. Latar Belakang
5
• Bagaimana di Indonesia?
• Sebelum memaparkan temuan tentang hubungan antara agama
dan korupsi, perlu dijelaskan dulu pengertian korupsi dan agama
dalam survei ini. Mengikuti Transparency International (2011)
korupsi dimaknai sebagai “penyalahgunaan wewenang yang
diberikan publik untuk kepentingan pribadi (the abuse of entrusted
power for private gain). Pelakunya bisa datang dari strata pegawai
biasa, manajer, direktur, maupun pejabat tinggi pemerintah/negara.
• Salah satu bentuk korupsi yang umum terjadi adalah menerima
imbalan dari masyarakat atas jasa yang diberikan di luar aturan
yang sah. Ini bisa melibatkan pejabat tinggi maupun staf biasa.
Imbalannya dapat berupa uang, barang, jasa, atau bentuk-bentuk
hadiah lain. Kasus korupsi seperti ini bisa ditemukan di instansi
pemerintah yang langsung berhubungan dengan masyarakat,
seperti catatan sipil, pendidikan, kesehatan, dan keamanan (ICW,
2014).
6. Latar Belakang
6
• Survei ini akan membahas korupsi dari dua dimensi: sikap dan
perilaku. Sikap merupakan pandangan dan penilaian responden
terhadap praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Adapun perilaku
mencakup pengalaman dan tindakan korup yang pernah dilakukan
responden, terpaksa maupun sukarela.
• Dalam survei ini agama dilihat sebagai pandangan dan perilaku
yang merefleksikan pemahaman responden tentang keyakinan yang
mereka peluk atau dimaknai sebagai religiusitas atau kesalehan
(Pepinsky, Liddle, & Mujani, 2017). Dimensinya mencakup:
Pertama, penilaian subjektif responden tentang kualitas
keberagamaan dirinya dan makna agama bagi kehidupannya.
• Kedua, intensitas praktik ritual keagamaan yang dijalankan oleh
responden. Ketiga, afiliasi sosial-keagamaan responden. Keempat,
sikap keberagamaan responden terkait toleransi terhadap terhadap
komunitas agama lain. Dua dimensi terakhir ini diharapkan dapat
menggambarkan sikap dan perilaku keagamaan yang lebih
bersentuhan dengan persoalan-persoalan nyata seperti korupsi.
7. Metode
7
• Populasi survei ini adalah seluruh warga negara Indonesia yang
punya hak pilih dalam pemilihan umum, yakni mereka yang
sudah berumur 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika
survei dilakukan.
Sebanyak 1540 responden dipilih dengan metode multi-stage
random sampling. Berdasar jumlah sampel ini, diperkirakan
margin of error sebesar ±2.6% pada tingkat kepercayaan 95%.
• Responden terpilih diwawancarai lewat tatap muka oleh
pewawancara yang telah dilatih. Satu pewawancara bertugas
untuk satu desa/kelurahan yang terdiri hanya dari 10 responden
• Quality control terhadap hasil wawancara dilakukan secara
random sebesar 20% dari total sampel oleh supervisor dengan
kembali mendatangi responden terpilih (spot check). Dalam
quality control tidak ditemukan kesalahan berarti.
8. Desa 1 … Desa n
Prov 1
Desa 1 … Desa m
Prov k
… …
RT1 RT2 RT3 …. RT5
KK1 KK2
Laki-laki Perempuan
Alur Penarikan Sampel
8
Populasi desa/kelurahan
tingkat Nasional
Desa/kelurahan di tingkat
Provinsi dipilih secara random dengan
jumlah proporsional
Di setiap desa/kelurahan dipilih sebanyak 5
RT dengan cara random
Di masing-masing RT/Lingkungan
dipilih secara random dua KK
Di KK terpilih dipilih secara random
Satu orang yang punya hak pilih
laki-laki/perempuan
10. Perbandingan Profil Demografi Sampel LSI dan
Populasi dari Sensus BPS
10
KATEGORI SAMPEL POPULASI KATEGORI SAMPEL POPULASI
Laki-laki 50.0 50.1 Islam 89.0 87.3
Perempuan 50.0 49.9 Protestan/Katolik 8.8 9.8
Lainnya 2.1 3.0
Desa 50.0 50.2
Kota 50.0 49.8 Jawa 43.4 40.2
Sunda 15.5 15.5
Madura 2.8 3.0
Bugis 4.1 3.6
Betawi 3.2 2.9
Batak 1.8 2.7
Minang 2.7 2.7
Lainnya 26.5 29.4
ETNIS
AGAMA
DESA-KOTA
GENDER
11. 11
KATEGORI SAMPEL POPULASI KATEGORI SAMPEL POPULASI
ACEH 1.9 1.9 NTB 1.9 1.9
SUMUT 5.2 5.5 NTT 1.9 2.0
SUMBAR 1.9 2.0 KALBAR 1.9 1.8
RIAU 2.6 2.3 KALTENG 0.6 0.9
JAMBI 1.3 1.3 KALSEL 1.3 1.5
SUMSEL 3.2 3.1 KALTIM 1.3 1.3
BENGKULU 0.6 0.7 KALTARA 0.6 0.2
LAMPUNG 3.2 3.2 SULUT 0.6 1.0
BABEL 0.6 0.5 SULTENG 1.3 1.1
KEPRI 0.6 0.7 SULSEL 3.2 3.4
DKI 3.9 4.0 SULTRA 0.6 0.9
JABAR 18.2 18.1 GORONTALO 0.6 0.4
JATENG 13.6 13.6 SULBAR 0.6 0.5
DIY 1.3 1.5 MALUKU 0.6 0.6
JATIM 15.6 15.8 MALUT 0.6 0.4
BANTEN 4.5 4.5 PAPUA BARAT 0.6 0.3
BALI 1.3 1.6 PAPUA 1.3 1.2
PROVINSIPROVINSI
Perbandingan Profil Demografi Sampel LSI dan
Populasi dari Sensus BPS
13. Dalam dua tahun terakhir, bagaimana menurut Ibu/Bapak tingkat korupsi di Indonesia saat ini, apakah
meningkat, menurun, atau tidak mengalami perubahan? …(%)
Korupsi di negara kita dalam dua tahun
terakhir
70
18
11
1
54.0
19.3
24.5
2.2
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Meningkat Menurun Tidak
mengalami
perubahan
TT/TJ
2016
Ags'2017
Dalam survei Agustus 2017, mayoritas warga (54%) merasa bahwa tingkat korupsi di negara kita
mengalami peningkatan dalam dua tahun terakhir. Namun demikian, warga yang merasa “tingkat
korupsi meningkat” berkurang proporsinya dibanding temuan pada 2016 (70%).
13
KET: Survei 2017 oleh LSI dengan target populasi usia 17 tahun ke atas atau sudah menikah,
sementara survei 2016 oleh Polling Center dengan target populasi usia 19 tahun ke atas atau sudah menikah.
14. Menurut Ibu/Bapak, apakah Pemerintahan Pusat sudah cukup serius melawan korupsi? …(%)
Pemerintah serius melawan korupsi?
20
49
21
3
7
11.4
55.9
19.5
2.4
10.8
0
10
20
30
40
50
60
Sangat
serius
Serius Tidak
serius
Sangat
tidak serius
Tidak
tahu/Tidak
jawab
2016
Ags'2017
Mayoritas warga (67.3%) menilai pemerintah serius atau sangat serius melawan korupsi. Jumlah
yang menilai pemerintah serius atau sangat serius melawan korupsi hampir sama atau sedikit
menurun dibanding tahun lalu (69%).
14
KET: Survei 2017 oleh LSI dengan target populasi berusia 17 tahun ke atas atau sudah menikah,
sementara survei 2016 oleh Polling Center dengan target populasi usia 19 tahun ke atas atau sudah menikah.
15. Temuan
Terdapat pandangan yang berbeda antara penilaian
masyarakat tentang fenomena korupsi dan kebijakan
pemerintah terhadap korupsi. Di satu sisi, mayoritas
masyarakat menganggap praktik korupsi di negeri ini semakin
meningkat, tapi di sisi lain mereka juga mengapresiasi
keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi.
Hal ini bisa dimaknai bahwa kepercayaan terhadap upaya
pemerintah memberantas korupsi cukup kuat, meskipun
masyarakat belum menemukan usaha tersebut efektif dan
membawa hasil nyata.
15
17. Dalam satu tahun terakhir, pernahkah Ibu/Bapak atau keluarga Ibu/Bapak berhubungan dengan pegawai
pemerintah dalam hal berikut ini? Jika ya, Apakah Ibu/Bapak atau keluarga Ibu/Bapak pernah diminta
memberikan hadiah/uang untuk mendapatkan pelayanan yang Ibu/Bapak butuhkan di luar biaya
resmi? …(%)
PERILAKU KORUP APARAT NEGARA/PEMERINTAH:
Pernah berhubungan dengan pegawai pemerintah dalam hal
berikut? Bila Ya, pernah diminta memberi uang/hadiah?
• Interaksi antara warga dengan pegawai pemerintah paling banyak terjadi dalam hal mengurus kelengkapan
administrasi publik (50.3%), selanjutnya dalam pelayanan kesehatan (46.6%), ketika berurusan dengan pihak
sekolah negeri (30.3%), dan polisi (14.9%).
• Probabilitas adanya tindakan korupsi oleh pegawai pemerintah paling besar terjadi ketika warga berurusan dengan
polisi: dari 14.9% warga yang pernah berurusan dengan polisi, 46.1% di antaranya pernah diminta memberi
hadiah/uang di luar biaya resmi.
17
39.6
31.3
11.7
46.1
14.4
15.1
26.9
3.1
4.4
6.7
14.9
30.3
46.6
50.3
0 25 50 75 100
Berurusan dengan pihak pengadilan
Mendaftar kerja jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Berurusan dengan pihak Universitas
Berurusan dengan polisi
Berurusan dengan bagian administrasi atau guru di sekolah
negeri
Untuk memperoleh pelayanan kesehatan
Mengurus kelengkapan administasi publik (KTP, KK, Akta
Kelahiran) Berhubungan
dengan pegawai
pemerintah
Diminta memberi
uang/hadiah (dari
yang pernah
)berhubungan
18. Dalam satu tahun terakhir, pernahkah Ibu/Bapak atau keluarga Ibu/Bapak berhubungan dengan pegawai
pemerintah dalam hal berikut ini? Jika ya, apakah Ibu/Bapak atau keluarga Ibu/Bapak pernah
memberikan hadiah/uang untuk mendapatkan pelayanan yang Ibu/Bapak butuhkan tanpa diminta
pegawai pemerintah? …(%)
PERILAKU KORUP WARGA:
Pernah berhubungan dengan pegawai pemerintah dalam hal
berikut? Jika Ya, pernah memberi uang/hadiah tanpa diminta?
• Interaksi antara warga dengan pegawai pemerintah paling banyak terjadi dalam hal mengurus kelengkapan
administrasi publik (50.3%), selanjutnya dalam pelayanan kesehatan (46.6%), ketika berurusan dengan pihak
sekolah negeri (30,3%), dan polisi (14.9%).
• Probabilitas warga melakukan gratifikasi paling besar terjadi ketika warga berurusan dengan polisi: dari 14.9% warga
yang pernah berurusan dengan polisi, 40.4% di antaranya pernah secara aktif (tanpa diminta) memberi hadiah/uang
agar mendapat pelayanan yang dibutuhkan.
18
33.3
20.9
14.6
40.4
13.1
14.4
30.4
3.1
4.4
6.7
14.9
30.3
46.6
50.3
0 25 50 75 100
Berurusan dengan pihak pengadilan
Mendaftar kerja jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Berurusan dengan pihak Universitas
Berurusan dengan polisi
Berurusan dengan bagian administrasi atau guru di sekolah
negeri
Untuk memperoleh pelayanan kesehatan
Mengurus kelengkapan administasi publik (KTP, KK, Akta
Kelahiran) Berhubungan
dengan pegawai
pemerintah
Memberi
uang/hadiah (dari
yang pernah
)berhubungan
19. Hubungan antara perilaku korup warga (melakukan
gratifikasi) dan pengalaman dimintai uang/hadiah
19
Semakin sering warga mengalami kejadian dimintai uang/hadiah oleh pegawai
pemerintah, semakin sering warga bersangkutan—di kesempatan lain—secara aktif
memberi uang/hadiah (melakukan gratifikasi) tanpa diminta .
Pearson’s r=0.706***
20. Keterangan Index
Pengalaman Dimintai Uang/Hadiah adalah indeks gabungan 7 item pengalaman warga
dimintai uang/hadiah oleh pegawai pemerintah di luar biaya resmi di berbagai urusan. Masing-
masing item mempunyai skala 1-3: 1=pernah berhubungan dengan pegawai perintah tapi
tidak pernah dimintai uang/hadiah, 2=tidak pernah berhubungan dengan pegawai
pemerintah, 3=pernah berhubungan dengan pegawai perintah dan pernah dimintai
uang/hadiah. Ketujuh item dijumlahkan sehingga membentuk indeks perilaku korup warga
dengan skala 7-21.
Perilaku Korup Warga adalah indeks gabungan 7 item perilaku warga melakukan gratifikasi
kepada pegawai perintah di berbagai urusan. Masing-masing item mempunyai skala 1-3:
1=pernah berhubungan dengan pegawai perintah tapi tidak pernah memberi uang/hadiah,
2=tidak pernah berhubungan dengan pegawai pemerintah, 3=pernah berhubungan dengan
pegawai perintah dan pernah memberi uang/hadiah walau tanpa diminta. Ketujuh item
dijumlahkan sehingga membentuk indeks perilaku korup warga dengan skala 7-21.
20
21. Temuan
• Interaksi antara warga dengan pegawai pemerintah paling
banyak terjadi dalam hal mengurus kelengkapan administrasi
publik (50.3%), selanjutnya dalam pelayanan kesehatan
(46.2%), sekolah negeri (30.3%), dan polisi (14.9%) .
• Probabilitas adanya tindakan korupsi oleh pegawai pemerintah
paling besar terjadi ketika warga berurusan dengan polisi: dari
14.9% warga yang pernah berurusan dengan polisi, 46.1% di
antaranya pernah diminta memberi hadiah/uang di luar biaya
resmi.
• Probabilitas warga melakukan suap juga paling besar terjadi
ketika mereka berurusan dengan polisi: dari 14.9% warga yang
pernah berurusan dengan polisi, 40.4% di antaranya pernah
secara aktif (tanpa diminta) memberi hadiah/uang agar
mendapat pelayanan yang dibutuhkan.
21
22. Temuan
• Analisis korelasi antara pengalaman masyarakat diminta
memberikan uang/hadiah di luar biaya resmi dan pengalaman
mereka memberi uang/hadiah di luar biaya resmi sangat kuat
(0.706). Artinya, semakin sering aparat pemerintah bertindak
korup terhadap warga, maka warga juga akan semakin sering
bertindak korup dengan mengikuti permintaan aparat
pemerintah tersebut.
22
24. Menurut pendapat Ibu/Bapak, apakah merupakan hal yang wajar atau tidak wajar bagi masyarakat Indonesia
memberikan sesuatu seperti: uang, barang, hiburan, hadiah di luar persyaratan/ketentuan untuk memperlancar
suatu proses atau sebagai bentuk terima kasih ketika berhubungan dengan instansi pemerintah? …(%)
Menurut Ibu/Bapak, wajar atau tidak wajar memberi
uang/hadiah ketika berhubungan dengan instansi pemerintah?
30.4
63.2
6.4
0
10
20
30
40
50
60
70
Wajar Tidak wajar Tidak tahu/tidak jawab
Mayoritas warga (63.2%) berpendapat bahwa pemberian uang/hadiah ketika berhubungan
dengan instansi pemerintah (gratifikasi) adalah hal yang tidak wajar.
24
25. Apa pendapat Ibu/Bapak mengenai penggunaan hubungan pribadi (melalui kenalan atau keluarga)
untuk memperlancar proses pengurusan suatu kepentingan? Itu adalah … (%)
Pendapat mengenai Kolusi dan nepotisme
9.2
44.6
6.7
28.5
0.9
10.1
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Suatu
kejahatan
Tidak etis Tindakan yang
perlu
dilakukan
untuk
memperlancar
proses
Normal Lainnya TT/TJ
Mayoritas warga berpendapat bahwa kolusi adalah tindakan yang negatif: 44.6% menilai
tidak etis + 9.2% menilainya sebagai sebuah kejahatan.
25
26. Correlations
1 .090**
.000
1540 1540
.090** 1
.000
1540 1540
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Perilaku Korupsi
(Gratifikasi)
Sikap terhadap Korupsi
Perilaku
Korupsi
(Gratifikasi)
Sikap
terhadap
Korupsi
Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).**.
Hubungan antara Perilaku Korupsi (Gratifikasi)
dan Sikap terhadap Korupsi
26
Perilaku korupsi berhubungan positif dan signifikan dengan sikap terhadap korupsi.
Semakin warga bersikap pro terhadap korupsi, semakin korup juga perilakunya.
KET: Sikap Terhadap Korupsi adalah indeks gabungan 2 item: (1) Sikap terhadap pemberian uang/hadiah ketika
berhubungan dengan instansi pemerintah, 1=tidak wajar, 2=tidak tahu/tidak jawab, 3=wajar; (2) Pendapat terhadap
kolusi, 1=kejahatan/tidak etis/tidak baik, 2=tidak tahu/tidak jawab, 3=normal/perlu dilakukan. Kedua item dijumlahkan
sehingga membentuk indeks sikap terhadap korupsi dengan skala 2-6.
27. Temuan
• Pandangan masyarakat tentang praktik korupsi cukup
memprihatinkan. Sebanyak 30.4% berpendapat bahwa
pemberian uang/hadiah untuk memperlancar urusan ketika
berhubungan dengan instansi pemerintah (gratifikasi)
merupakan hal yang wajar. Angka yang hampir sama (35.2%)
juga ditemukan dalam sikap pemakluman masyarakat terhadap
tindakan kolusi.
• Meskipun tidak mayoritas, yakni 3 dari 10 orang warga
Indonesia, mereka beranggapan bahwa gratifikasi dan kolusi
merupakan praktik lumrah yang dapat diterima.
• Survei ini menemukan adanya hubungan antara perilaku dan
sikap masyarakat terhadap korupsi. Terdapat hubungan positif
dan signifikan di antara keduanya. Semakin warga bersikap
memaklumi praktik korupsi, semakin korup juga perilaku
mereka.
27
29. Menurut penilaian Ibu/Bapak sendiri, seberapa saleh atau relijius Ibu/Bapak sejauh ini? ... (%)
(Base: Responden Muslim)
6.0
68.9
20.4
0.4
4.4
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Sangat saleh Cukup saleh Kurang saleh Tidak saleh
sama sekali
DK/NA
Seberapa saleh atau religius Ibu/Bapak?
Sekitar 74.9% warga Muslim merasa dirinya sangat atau cukup saleh.
29
30. Seberapa sering Ibu/Bapak mempertimbangkan perintah atau nilai-nilai agama ketika membuat
keputusan penting bagi hidup Ibu/Bapak sendiri? ... (%) (Base: Responden Muslim)
26.1
56.8
12.3
1.8 2.9
0
10
20
30
40
50
60
Selalu/sangat
sering
Cukup sering Jarang Tidak pernah TT/TJ
Mempertimbangkan agama ketika
membuat keputusan
30
Sekitar 82.9% warga Muslim sangat atau cukup sering mempertimbangkan
agama ketika membuat keputusan penting.
31. 81.1
78.9
82.9
75.9 73.8 74.9
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Mei 2014 Mar-Apr 2016 Ags 2017
Sangat/cukup sering
mempertimbangkan agama
dlm membuat keputusan
Merasa Sangat/Cukup Saleh
Tren Merasa Saleh dan Mempertimbangkan
Agama (%) (Base: Responden Muslim)
Dalam empat tahun terakhir, tingkat religiusitas Muslim stabil.
31
32. Apakah Ibu/Bapak rutin/selalu, cukup sering, jarang atau tidak pernah melakukan kegiatan
ibadah berikut? …(%) (Base: Responden Muslim)
Intensitas Ibadah Muslim
67.5
14.4
28.4
24.6
30.3
14.6
7.1
49.6
0.7 0.6
5.0
0.3 0.1 0.7
55.9
0
25
50
75
100
Shalat wajib lima waktu Puasa ramadhan Shalat sunnah
Rutin/ Selalu Cukup Sering Jarang Tidak Pernah TT/TJ
Sekitar 55.9% warga Muslim rutin melakukan shalat wajib lima waktu.
Sementara yang rutin puasa ramadhan 67.5%, dan shalat sunnah 14.4%.
32
34. Hubungan antara Religiusitas dengan
Perilaku dan Sikap terhadap Korupsi
34
Religiusitas warga tidak berhubungan dengan perilaku korupsi, tapi
berhubungan dengan sikap terhadap korupsi. Semakin religius, semakin
bersikap anti-korupsi.
KET: Religiusitas Muslim adalah indeks gabungan 5 item religiusitas (penilaian subjektif tingkat kesalehan,
mempertimbangkan agama dalam membuat keputusan, shalat lima waktu, shalat sunnah, dan puasa
ramadhan). Masing-masing item diukur dengan skala 1-5: 1=sangat tidak religius, 5=sangat religius. Kelima
item dijumlahkan sehingga membentuk indeks Religiusitas Muslim dengan skala 5-25.
Correlations
-.026
.344
1371
-.066*
.014
1371
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Perilaku Korupsi
(Gratifikasi)
Sikap terhadap Korupsi
Religiusitas
Muslim
Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).*.
35. Temuan
• Masyarakat Muslim Indonesia tergolong relijius. Sebanyak 74.9%
dari seluruh umat Islam di negara ini sangat atau cukup saleh. Oleh
karenanya, wajar jika 82.9% dari mereka sangat sering atau cukup
sering mempertimbangkan agama ketika membuat keputusan
penting.
• Kesalehan masyarakat juga tercermin dari praktik ritual yang
dilakukan. Sebanyak 55.9% rutin melakukan shalat wajib lima
waktu dan 28.4% cukup sering melakukannya. Sementara yang
rutin puasa ramadhan sebanyak 67.5% dan sering puasa 24.6%.
Mereka yang selalu menjalankan shalat sunnah 14.4% dan yang
sering sebanyak 30.3%.
• Meskipun demikian, makna agama dan perilaku ritual yang dijalani
hanya berhubungan signifikan dengan sikap mereka terhadap
korupsi. Tidak ada hubungannya dengan perilaku korupsi.
Semakin relijius, hanya semakin bersikap anti-korupsi. Perilaku
korup tetap berjalan dan tidak ada hubungannya dengan masalah
agama.
35
37. Dalam masyarakat kita ada sejumlah organisasi sosial keagamaan seperti NU, Muhammadiyah,
dll. Apakah Ibu/Bapak merasa sebagai bagian dari NU, Muhammadiyah, atau organisasi Islam
lain, atau tidak merasa sebagai orang organisasi Islam manapun? …(%)
(Base: responden Muslim)
Afiliasi dengan organisasi keagamaan
Mayoritas Muslim Indonesia terafiliasi dengan organisasi-organisasi keagamaan, 55.6%.
Sementara yang tidak merasa bagian organisasi Islam manapun 40.9%, dan yang tidak
tahu/tidak menjawab 3.5%
37
55.6
40.9
3.5
0
25
50
75
100
Merasa bagian dari
organisasi keagamaan
Islam
Tidak merasa bagian
organisasi Islam
manapun
TT/TJ
38. Hubungan Afiliasi Ormas Islam dengan
Perilaku dan Sikap terhadap Korupsi
38
Perilaku korupsi dan sikap terhadap korupsi tidak ada kaitannya dengan afiliasi
ormas Islam.
KET: Afiliasi dengan Ormas Islam terdiri dari 1 item yang diukur dengan skala 0-1: 1= merasa bagian ormas
Islam, 0=tidak merasa bagian ormas Islam manapun.
Correlations
.004
.896
1371
.032
.234
1371
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Perilaku Korupsi
(Gratifikasi)
Sikap terhadap Korupsi
Afiliasi
dengan
Ormas Islam
39. Temuan
• Di Indonesia terdapat cukup banyak organisasi kemasyarakatan
Islam (Ormas Islam), seperti Nahdlatul Ulama (NU),
Muhammadiyah, Persis, Matlaul Anwar, Perti, DDII, al-Wasliyah
dan sebagainya. Ormas-ormas ini merupakan institusi yang
berfungsi menyemaikan paham keagamaan tertentu kepada
anggotanya.
• Lebih dari separuh Muslim Indonesia (55.6%) merasa bagian
dari Ormas Islam tertentu, sedangkan 40.9% tidak merasa
bagian dari Ormas apa pun. Hal ini menunjukkan partisipasi
umat dalam Ormas Islam cukup tinggi.
• Namun survei ini menemukan bahwa menjadi bagian dari
Ormas Islam tidak berhubungan secara signifikan dengan sikap
dan perilaku korup. Artinya, menjadi bagian dari Ormas Islam
merupakan urusan yang terpisah dari persoalan korupsi.
Keduanya sama sekali tidak terkait.
39
41. Apakah Ibu/Bapak keberatan atau tidak keberatan JIKA: Orang non-Muslim mengadakan
acara keagamaan/kebaktian di daerah sekitar sini? ... (%) (Base: Responden Muslim)
Non-Muslim mengadakan acara
keagamaan/kebaktian
39.6
52.2
8.3
35.6
56.7
7.7
0
10
20
30
40
50
60
Ya, keberatan Tidak keberatan Tergantung/TT/TJ
Mar-Apr'16
Ags'17
Mayoritas warga Muslim (56.7%) tidak keberatan jika orang non muslim mengadakan
acara keagamaan di daerah sekitar sini.
41
42. Apakah Ibu/Bapak keberatan atau tidak keberatan JIKA: Orang non-Muslim membangun
tempat peribadatan di sekitar sini? ... (%) (Base: Responden Muslim)
Non-muslim membangun tempat ibadah
52.0
41.1
6.9
48.2
43.0
8.8
0
10
20
30
40
50
60
Ya, keberatan Tidak keberatan Tergantung/TT/TJ
Mar-Apr'16
Ags'17
Sebanyak 48.2% warga muslim keberatan jika orang non-muslim membangun tempat
peribadatan di sekitar sini.
42
43. Apakah Ibu/Bapak keberatan atau tidak keberatan JIKA: Orang non-Muslim menjadi
bupati/walikota? ... (%) (Base: Responden Muslim)
39.3
49.6
11.0
47.4
41.9
10.7
0
10
20
30
40
50
60
Ya, keberatan Tidak keberatan Tergantung/TT/TJ
Mar-Apr'16
Ags'17
Non-Muslim Menjadi Bupati/Walikota
Sekitar 47.4% warga muslim keberatan jika orang non-muslim menjadi
bupati/walikota.
43
44. Apakah Ibu/Bapak keberatan atau tidak keberatan JIKA: Orang non-Muslim menjadi
gubernur? ... (%) (Base: Responden Muslim)
Non-Muslim Menjadi Gubernur
40.3
48.8
10.9
48.2
41.4
10.4
0
10
20
30
40
50
60
Ya, keberatan Tidak keberatan Tergantung/TT/TJ
Mar-Apr'16
Ags'17
Sekitar 48.2% warga muslim keberatan jika orang non-muslim menjadi
gubernur.
44
45. Apakah Ibu/Bapak keberatan atau tidak keberatan JIKA: Orang non-Muslim menjadi wakil
presiden? ... (%) (Base: Responden Muslim)
Non-Muslim Menjadi Wakil Presiden
41.4
47.0
11.5
49.6
40.2
10.2
0
10
20
30
40
50
60
Ya, keberatan Tidak keberatan Tergantung/TT/TJ
Mar-Apr'16
Ags'17
Sekitar 49.6% warga Muslim keberatan jika orang non-muslim menjadi wakil
presiden.
45
46. Apakah Ibu/Bapak keberatan atau tidak keberatan JIKA: Orang non-Muslim menjadi
presiden? ... (%) (Base: Responden Muslim)
Non-Muslim Menjadi Presiden
48
42
10
53.2
36.6
10.1
0
10
20
30
40
50
60
Ya, keberatan Tidak keberatan Tergantung/TT/TJ
Mar-Apr'16
Ags'17
Sekitar 53.2% warga Muslim keberatan jika orang non-muslim menjadi
presiden.
46
47. Apakah Ibu/Bapak keberatan atau tidak keberatan JIKA: Orang non-Muslim mengadakan
acara keagamaan/kebaktian di daerah sekitar sini? Orang non-Muslim membangun
tempat peribadatan di sekitar sini? ... (% yang menjawab “Keberatan”)
(Base: Responden Muslim)
Tren Intoleransi Religius-Kultural
39.6
35.6
52.0
48.2
0
10
20
30
40
50
60
2016 2017
Acara
keagamaan
Membangun
rumah
ibadah
Dalam setahun terakhir, intoleransi terhadap non-muslim dalam hal
peribadatan cenderung turun.
47
Sumber: Wahid Institute-LSI (2016)
49. Hubungan antara Intoleransi dengan
Perilaku dan Sikap terhadap Korupsi
49
Intoleransi tidak berhubungan dengan perilaku korupsi, tapi berhubungan
signifikan dengan sikap terhadap korupsi. Semakin intoleran semakin bersikap
pro terhadap korupsi.
KET: Intoleransi terhadap Non-Muslim adalah indeks gabungan 6 item intoleransi (pendirian rumah ibadah,
acara keagamaan, non muslim jadi bupati/walikota, gubernur, wakil presiden, dan presiden). Masing-masing
item diukur dengan skala 1-3: 1=tidak keberatan, 2=tidak tahu/tidak jawab, 3=keberatan. Keenam item
dijumlahkan sehingga membentuk indeks Intoleransi terhadap Non-Muslim dengan skala 6-18 (6=sangat
toleran, 18=sangat intoleran).
-.007
.789
1371
.075**
.006
1371
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Perilaku Korup
Sikap terhadap Korupsi
Intoleransi
terhadap
Nonmuslim
Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).**.
50. Temuan
Intoleransi keagamaan umat Islam di Indonesia masih cukup
tinggi. Sebanyak 35.6% Muslim keberatan jika non-Muslim
mengadakan acara keagamaan di wilayah tinggal mereka.
48.2% Muslim juga keberatan jika orang non-Muslim
membangun tempat peribadatan di wilayah mereka. Namun
kecenderungan intoleransi ini cenderung turun dalam setahun
terakhir, dari 39.6% menjadi 35.6% (acara keagamaan) dan
dari 52% menjadi 48.2% (rumah ibadah).
Intoleransi politik umat Islam juga terbilang tinggi. Cukup
banyak Muslim yang keberatan jika non-Muslim menjadi
bupati/walikota (47.4%), gubernur (48.2%), wakil presiden
(49.6%) dan presiden (53.2%). Berbeda dari intoleransi
keagamaan, dalam setahun terakhir intoleransi Muslim dalam
hal politik cenderung menguat.
50
51. Temuan
Survei menemukan bahwa intoleransi memiliki hubungan
signifikan dengan sikap terhadap korupsi, tetapi tidak
signifikan dengan perilaku korupsi. Temuan ini menunjukkan
bahwa semakin intoleran seseorang, maka semakin dia akan
menganggap praktik korupsi sebagai hal yang wajar.
Kaitan antara intoleransi dan sikap pro-korupsi bisa jadi tidak
langsung. Intoleransi merupakan sebuah ekspresi dari sikap
yang tidak menjunjung tinggi hukum, kesetaraan hak warga
negara, dan keterbukaan berpolitik (demokrasi). Prinsip-
prinsip ini merupakan pilar yang berfungsi mengontrol
tindakan korup. Jika tidak didukung dengan cara bersikap
toleran, maka hal itu bisa berdampak pada sikap yang
mewajarkan korupsi.
51
53. Apakah Ibu/Bapak sangat setuju, setuju, tidak punya sikap, tidak setuju atau sangat tidak
setuju dengan pernyataan di bawah ini? “Dibandingkan dengan bentuk pemerintahan
lain (kerajaan, kesultanan, pemerintahan otoriter), demokrasi adalah bentuk
pemerintahan terbaik untuk sebuah negara seperti Indonesia”…(%)
Dukungan terhadap Sistem Demokrasi
Mayoritas warga (76.3%) setuju atau sangat setuju bahwa demokrasi adalah
bentuk pemerintahan terbaik.
53
9.5
66.8
7.1 4.4
0.3
11.9
0
25
50
75
100
Sangat
Setuju
Setuju Tidak Punya
Sikap
Tidak
Setuju
Sangat
Tidak
Setuju
TT/TJ
54. Apakah Ibu/Bapak sangat setuju, setuju, tidak punya sikap, tidak setuju atau sangat tidak
setuju dengan pernyataan di bawah ini? “Setiap warga bebas memeluk agama atau
keyakinan sesuai dengan pikiran atau kesadarannya”…(%)
Dukungan terhadap Nilai Demokrasi:
Kebebasan Beragama
Mayoritas warga (89.1%) setuju atau sangat setuju bahwa setiap warga bebas
memeluk agama dan keyakinan.
54
15.5
73.6
2.4 2.8 0.2
5.5
0
25
50
75
100
Sangat
setuju
Setuju Antara
setuju dan
tidak setuju
Tidak setuju Sangat
tidak setuju
TT/TJ
55. Hubungan antara Sikap terhadap Demokrasi dengan
Perilaku dan Sikap terhadap Korupsi dan Intoleransi
55
Dukungan terhadap sistem dan nilai demokrasi tidak berhubungan dengan
perilaku korupsi, tapi berhubungan dengan sikap terhadap korupsi dan
Intoleransi. Semakin pro demokrasi, semakin bersikap anti korupsi dan semakin
toleran.
KET: Sikap terhadap Demokrasi adalah indeks gabungan 2 item demokrasi (demokrasi sebagai bentuk
pemerintahan terbaik, kebebasan memeluk agama). Masing-masing item diukur dengan skala 1-5: 1=sangat
anti demokrasi, 5=sangat pro demokrasi. Kedua item dijumlahkan sehingga membentuk indeks Sikap
Demokrasi dengan skala 5-10.
Correlations
-.048
.060
1540
-.082**
.001
1540
-.121**
.000
1371
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Perilaku Korupsi
(Gratifikasi)
Sikap terhadap Korupsi
Intoleransi terhadap
Nonmuslim
Sikap
terhadap
Demokrasi
Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).**.
56. Temuan
Mayoritas pemilih saat ini mendukung bahwa demokrasi
merupakan bentuk pemerintahan terbaik untuk Indonesia
dibandingkan bentuk pemerintahan lain serta mendukung
kebebasan beragama di Indonesia. Namun demikian, ada
sebagian kecil warga yang tidak mendukung atau tidak punya
sikap terhadap bentuk pemerintahan demokrasi dan
kebebasan beragama.
Sikap terhadap demokrasi berhubungan dengan sikap
terhadap korupsi serta intoleransi terhadap kelompok lain
(non-muslim). Semakin mendukung demokrasi, maka semakin
bersikap anti korupsi dan semakin toleran terhadap non-
muslim.
56
58. Analisis Regresi: Faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap perilaku korupsi
58
4.650 .370 12.563 .000
.057 .019 .062 3.055 .002
.670 .020 .676 33.800 .000
-.002 .009 -.005 -.232 .817
-.045 .061 -.015 -.735 .462
-.006 .006 -.019 -.949 .343
-.028 .060 -.009 -.474 .636
-.112 .065 -.037 -1.720 .086
-.001 .002 -.009 -.405 .686
-.097 .062 -.032 -1.567 .117
-.045 .015 -.074 -3.059 .002
.006 .010 .012 .552 .581
(Constant)
Sikap terhadap Korupsi
Pengalaman Dimintai
Uang/hadiah oleh
Pegawai Pemerintah
Religiusitas Muslim
Afiliasi dengan Ormas
Islam
Intoleransi terhadap
Nonmuslim
Gender (Laki-laki)
Pedesaan
Umur
Etnis (Jawa)
Pendidikan
Pendapatan
B Std. Error
Unstandardized
Coefficients
Beta
Standardized
Coefficients
t Sig.
N=1371, R2=.480
59. Analisis Regresi: Faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap sikap pro korupsi
59
4.170 .524 7.955 .000
-.016 .029 -.014 -.540 .589
-.038 .013 -.079 -2.871 .004
.107 .089 .033 1.208 .227
.020 .009 .057 2.158 .031
-.057 .087 -.017 -.656 .512
.529 .093 .162 5.676 .000
.007 .003 .061 2.079 .038
-.083 .089 -.025 -.927 .354
-.080 .021 -.120 -3.751 .000
-.017 .015 -.034 -1.131 .258
(Constant)
Pengalaman Dimintai
Uang/hadiah oleh
Pegawai Pemerintah
Religiusitas Muslim
Afiliasi dengan Ormas
Islam
Intoleransi terhadap
Nonmuslim
Gender (Laki-laki)
Pedesaan
Umur
Etnis (Jawa)
Pendidikan
Pendapatan
B Std. Error
Unstandardized
Coefficients
Beta
Standardized
Coefficients
t Sig.
N=1371, R2=.083
60. Temuan
Sikap terhadap korupsi, pengalaman dimintai uang/hadiah
oleh pegawai pemerintah, dan tingkat pendidikan memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap perilaku korupsi, terlepas
bagaimanapun kondisi faktor-faktor lainnya.
Pengalaman dimintai uang/hadiah dan sikap pro terhadap
korupsi menaikkan perilaku korup, sebaliknya tingkat
pendidikan menurunkan perilaku korup.
Di antara faktor-faktor tersebut, yang paling kuat pengaruhnya
dalam membentuk perilaku korup warga adalah pengalaman
diminta memberi uang/hadiah oleh pegawai pemerintah.
60
61. Temuan
Sementara itu sikap pro terhadap korupsi dipengaruhi secara
signifikan oleh tingkat religiusitas, intoleransi, wilayah desa-
kota, umur, dan pendidikan. Di antara faktor-faktor tersebut,
yang paling besar pengaruhnya adalah desa-kota, selanjutnya
pendidikan.
Faktor tinggal di pedesaan (di banding perkotaan), intoleransi,
dan umur menaikkan sikap pro terhadap korupsi. Sebaliknya
religiusitas dan tingkat pendidikan menurunkan sikap pro
terhadap korupsi.
Pendidikan adalah variabel yang secara konsisten berkontribusi
terhadap sikap pro dan perilaku korupsi. Semakin tinggi
pendidikan, maka semakin negatif sikapnya terhadap korupsi
dan rendah perilaku korupsinya.
61
63. Kesimpulan
Sebagian besar masyarakat (54%) menilai bahwa korupsi di
Indonesia mengalami peningkatan dalam dua tahun terakhir
ini. Meskipun demikian, mayoritas warga (67.3%) masih
percaya bahwa pemerintah serius dalam memberantas
korupsi.
Praktik korupsi oleh para aparat negara cukup banyak
ditemukan ketika warga berinteraksi dengan aparat untuk
berbagai urusan.
Misalnya ketika warga berurusan dengan polisi. Dari yang
pernah berhubungan dengan polisi, 46.1% di antaranya
pernah diminta untuk memberi uang/hadiah di luar biaya
resmi. Probabilitas munculnya tindak korupsi oleh aparat
negara juga cukup besar terjadi ketika warga berurusan
dengan pengadilan (39.6%), ketika mendaftar jadi PNS
(31.3%), atau ketika mengurus kelengkapan administrasi
publik (26.9%).
63
64. Kesimpulan
Di sisi lain, masyarakat kita juga ternyata cukup sering
berperilaku korup, yakni secara aktif memberikan gratifikasi
kepada aparat negara demi memperoleh layanan yang
diinginkan.
Dari yang pernah berhubungan dengan polisi, 40.4% di
antaranya pernah secara aktif (tanpa diminta) memberi
uang/hadiah kepada aparat. Probabilitas warga melakukan
gratifikasi juga cukup besar ketika mereka berurusan
dengan pengadilan (33.3%), ketika mengurus kelengkapan
administrasi (30.4%), atau ketika mendaftar jadi PNS
(20.9%).
Ini semua fakta bahwa bahwa praktik korupsi dan suap di
masyarakat kita masih sangat subur.
64
65. Kesimpulan
Warga sebagai individu merupakan unit analisis dalam studi
ini. Karena itu perilaku korup warga (memberi gratifikasi
kepada aparat) dikaji secara lebih mendalam.
Hasil analisis menemukan bahwa perilaku korup warga
dipengaruhi oleh sikap warga sendiri terhadap korupsi.
Semakin warga bersikap memaklumi praktik korupsi dan
nepotisme, semakin besar kecenderungan warga
bersangkutan untuk berperilaku korup.
Selanjutnya, faktor apa yang menjelaskan sikap dan
perilaku korup warga tersebut? Apakah perilaku dan sikap
korup warga ditentukan oleh tingkat religiositas, afiliasi
ormas keagamaan, dan toleransi?
Berikut jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.
65
66. Kesimpulan
Religiusitas: hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat
religiusitas warga ternyata bukan faktor yang menentukan
perilaku korupsi (memberikan gratifikasi). Perilaku korup
dan tidak korup tidak dapat dijelaskan oleh tingkat
religiusitas atau kesalehan. Secara sederhana, perilaku
korup dapat dijumpai pada mereka yang religius maupun
yang tidak.
Namun demikian, kesalehan warga tampak berpengaruh
membentuk sikap mereka terhadap korupsi. Semakin
religius, semakin bersikap anti-korupsi, kolusi dan
nepotisme.
Dengan kata lain, tingkat religiusitas warga baru
berdampak pada level normatif, belum berefek pada tingkat
perilaku.
66
67. Kesimpulan
Afiliasi dengan dengan ormas-ormas Islam: Hasil
analisis juga menunjukkan bahwa menjadi bagian dari
ormas Islam tidak punya dampak yang signifikan terhadap
sikap dan perilaku korup.
Artinya, menjadi bagian dari ormas Islam merupakan
urusan yang terpisah dari persoalan korupsi.
Temuan ini menjadi masukan kepada ormas-ormas Islam
agar menjadikan isu korupsi sebagai musuh bersama dalam
dakwah-dakwah mereka. Sudah seharusnya ormas Islam
lebih mampu mendidik jamaahnya untuk menolak korupsi.
Sejauh ini fungsi tersebut tampak belum dijalankan,
sehingga belum berdampak terhadap jamaahnya.
67
68. Kesimpulan
Toleransi terhadap pemeluk agama lain: Hasil analisis
menunjukkan bahwa toleransi terhadap pemeluk agama
yang berbeda tidak berdampak signifikan terhadap
perilaku korup. Secara sederhana, perilaku korup dapat
dijumpai pada mereka yang toleran maupun tidak
toleran.
Namun demikian, toleransi ternyata punya dampak yang
signifikan terhadap sikap terhadap korupsi. Semakin
intoleran warga, semakin memaklumi praktik-praktik
korupsi dan kolusi.
Sikap toleran pada dasarnya tidak bisa dipisahkan dari
sikap menjunjung prinsip kesetaraan warga, kepatuhan
hukum, dan keterbukaan politik. Prinsip-prinsip ini
terbukti mampu memfasilitasi warga untuk bersikap anti
korupsi dan kolusi.
68
69. Kesimpulan
Faktor-faktor lainnya: hasil analisis menunjukkan bahwa
perilaku korup warga sangat ditentukan oleh
pengalaman dimintai uang/hadiah di luar biaya resmi
ketika berhubungan dengan aparat negara, kemudian
tingkat pendidikan. Pengalaman dimintai uang/hadiah
oleh aparat akan meningkatkan intensitas warga
perilaku korup, sebaliknya tingkat pendidikan akan
menurunkan perilaku korup.
Sementara itu pada level sikap, sikap terhadap korupsi
juga dipengaruhi oleh kondisi demografi, yakni desa-
kota, umur, dan pendidikan. Mereka yang tinggal di
pedesaan dan berusia lebih tua cenderung lebih pro
terhadap korupsi, sebaliknya mereka yang lebih
berpendidikan cenderung lebih anti korupsi.
69
70. Kesimpulan
Hasil survei ini menunjukkan bahwa upaya serius harus dilakukan
setidaknya dalam dua hal. Pertama, menurunkan sikap pro-
korupsi dan kolusi yang saat ini masih cukup banyak dipegang
oleh warga. Kedua, mengejawantahkan sikap anti korupsi yang
sudah dipegang sebagian warga menjadi perilaku antikorupsi.
Upaya menurunkan sikap pro-korupsi, atau sebaliknya,
meningkatkan sikap anti-korupsi, dapat dilakukan melalui
pendidikan anti korupsi. Upaya ini dilakukan melalui secara formal
melalui lembaga pendidikan, maupun informal atau non-formal
dengan menggandeng kelompok agama agar ikut serta
mensosialisasikan nilai-nilai keagamaan yang bermuatan anti-
korupsi dan patuh pada hukum sebagaimana yang tercakup dalam
nilai demokrasi. Hal ini karena, masyakarat Indonesia, khususnya
muslim tampak religius, dan religiusitas ini signifikan berhubungan
dengan sikap terhadap korupsi. Karena itu, upaya meningkatkan
sikap anti-korupsi harus dilakukan, tidak hanya melibatkan
pemangku kepentingan secara umum, tetapi juga kelompok
agama.
70
71. Kesimpulan
Bersamaan dengan itu, upaya meningkatkan perilaku anti-korupsi
juga harus dilakukan. Tujuannya untuk mengejewantahkan sikap
anti-korupsi menjadi perilaku. Tentu saja upaya ini tidak bisa
dilepaskan dari penyelenggaraan pemerintahan yang bersih,
khususnya dari lembaga yang memberikan pelayanan publik,
antara lain kepolisian, instansi yang mengurus administrasi atau
dokumen masyarakat, pengadilan, pendaftaraan PNS, layanan
kesehatan umum, layanan pendidikan di sekolah negeri,
universitas, dan lembaga-lembaga lain yang bersentuhan dengan
masyarakat.
Upaya-upaya tersebut tampak lebih efektif dilakukan di perkotaan,
pada usia yang lebih muda, serta kelompok terdidik. Namun
demikian, usaha untuk mengurangi sikap dan perilaku korupsi
harus diperluas kepada mereka yang tinggal di pedesaan,
kelompok yang lebih tua, serta kelompok yang kurang terdidik.
Dengan demikian, diharapkan dapat tercapai masyarakat
Indonesia yang tidak saja bersikap anti-korupsi, tetapi juga
bertindak anti-korupsi.
71