1. 1
BAB I
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Petrologi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan geologi yang mempelajari
batuan pembentuk kulit bumi, mencakup aspek pemerian (deskripsi) dan aspek genesa
interpretasi. Pengertian luas dari petrologi adalah mempelajari batuan secara mata
telanjang, secara optik/mikroskopis, secara kimia dan radio isotop. Studi petrologi secara
kimia sering disebut petrokimia yang dapat dipandang sebagai bagian dari ilmu
geokimia. Untuk kuliah dan praktikum mahasiswa Teknik Pertambangan semester tiga
maka studi petrologi dibatasi secara megaskopis saja. Aspek pemberian antara lain
meliputi warna, tekstur, struktur, komposisi, berat jenis, kekerasan, dan klasifikasi atau
penamaan batuan. Aspek genesa interpretasi mencakup tentang sumber asal (source)
hingga proses atau cara terbentuknya batuan. Batuan sebagai agregat mineral
pembentuk kulit bumi secara genesa dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu
batuan beku, batuan sedimen, dan batuan metamorf (Susanto, 2008).
Kabupaten Barru dan sekitarnya merupakan pegunungan dan pada umumnya
terdapat di daerah bagian timur, wilayah bagian barat merupakan dataran yang relatif
sempit dan dibatasi oleh Selat Makassar. Daerah ini menyempit ke utara dan dibatasi
oleh perbukitan dengan pola struktur yang rumit, kemudian di sebelah selatan dibatasi
oleh pegunungan yang disusun oleh batugamping. Kenampakan bentang alam di daerah
Barru umumnya merupakan daerah perbukitan dan pegunungan dimana puncaknya
sudah nampak meruncing dan sebagian lagi nampak membulat. Perbedaan tersebut
disebabkan oleh karakteristik masing-masing batuannya. Pengaruh struktur dan tingkat
perkembangan erosi yang telah berlangsung (Sukamto & Supriatna, 1982).
2. 2
Teori dasar yang diberikan di dalam perkuliahan pada umumnya bersifat ideal
sehingga lebih mudah dimengerti dan dibayangkan. Namun pada kenyataan dilapangan,
apa yang diamati tidaklah semudah yang penulis bayangkan. Sehingga, diperlukan suatu
penelitian lebih lanjut dan secara langsung mengenai kenampakan objek-objek geologi
batuan dan mineral agar didapatkan suatu pemahaman yang diharapkan. Penelitian
secara langsung ini dapat dilakukan melalui kuliah lapangan (fieldtrip) yang diadakan
pada daerah Dusun Daccipong, Desa Anabanua, Kabupaten Barru. Selain itu, penelitian
dilapangan merupakan penelitian yang sesungguhnya, karena pada dasarnya, sebuah
teori terlahir karena adanya penelitian dari alam. Sehingga untuk membuktikan serta
membandingkan kebenaran dari hasil teori yang telah ada, maka kuliah lapangan
(fieldtrip) ini perlu dan mutlak untuk dilakukan. Sehingga, mahasiswa tidak hanya
memahami teori dengan menerima materi tersebut secara mentah saja. Namun,
mahasiswa dituntut untuk mampu menganalisa dengan baik apabila dihadapkan secara
langsung di lapangan.
1.2 Tujuan Kuliah Lapangan
Tujuan dari pelaksanan kuliah lapangan ini, yaitu:
1. Menganalisis karakteristik jenis-jenis batuan, formasi, serta struktur geologi yang
ada pada lokasi fieldtrip.
2. Menginterpretasi data yang didapat pada saat fieldtrip.
1.3 Manfaat Kuliah Lapangan
Secara umum manfaat dari kuliah lapangan ini adalah untuk mengetahui jenis
batuan dan komposisi mineral yang dijumpai pada setiap stasiun dan cara
mendeskripsikan batuan menurut struktur dan tekstur batuan berdasarkan jenis batuan
serta struktur geologi yang terdapat pada Kabupaten Barru. Selain itu, untuk
memberikan pengetahuan bagi kita khususnya sebagai mahasiswa teknik pertambangan
3. 3
tentang berbagai jenis batuan di muka bumi ini, berdasarkan petrogenesa batuan serta
struktur dan tekstur yang dimiliki oleh batuan, sehingga kita dengan mudah dapat
mengenali jenis batuan dengan tepat. Dalam kuliah lapangan ini kita juga dituntut
mengetahui dan memahami jenis-jenis struktur geologi, cara merekontruksi struktur
geologi, serta cara mengukur kedudukan strike dan dip.
1.4 Lokasi dan Kesampaian Daerah
Gambar 1.1 Peta Daerah Kabupaten Barru
Lokasi pelaksanaan kuliah lapangan ini yaitu di Dusun Daccipong, Desa Anabanua,
Kecamatan Barru, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Kuliah lapangan dilaksanakan
pada hari sabtu tanggal 27 November 2021. Kabupaten Barru terletak pada 4o
05’49’’-
4o
47’35” LS dan 119o
35’00”- 119o
49’16” BT. Daerah kampus lapangan ini dituju dengan
menggunakan 4 mobil bus dan membutuhkan waktu sekitar 4 jam dari kampus Teknik
Unhas Gowa untuk sampai ke lokasi tersebut. Lokasi ini juga dapat dicapai dengan
menggunakan minibus maupun kendaraan roda dua dengan waktu yang relatif lebih
cepat. Kondisi sepanjang jalan stabil akan tetapi terdapat beberapa jalan yang kurang
4. 4
efisien untuk dilalui. Jarak antara stasiun 1 yaitu bagian koa, Kabupaten Barru menuju
stasiun 2 pada daerah Bottolai selama ± 10 menit dengan jarak ± 1,5 km, stasiun 2
menuju stasiun 3 pada daerah Jeppe’e selama ± 30 menit dengan jarak sejauh ± 2 km,
stasiun 3 menuju stasiun 4 pada Dusun Palakka selama ± 30 menit dengan jarak sekita
4 km, stasiun 4 menuju stasiun 5 pada Sungai Watu selama ± 40 menit dengan jarak ±
2 km, dan stasiun 5 ke stasiun 6 pada pinggir jalan poros Barru Desa Watu selama ± 10
menit dengan jarak ± 1,5 km.
1.5 Penelitian Terdahulu
1. Andi Aladin (2009), melakukan penelitian tentang penentuan rasio umum tentang
optimum Campuran (CPO) batubara dalam desulfurisasi dan deashing secara
flotasi system continue di kecamatan mallawa, kabupaten Maros
2. Hamilton (1979) dan Sukamto (1982) “described metamorphic and ultramafic as
well as sedimentary rock units in the Barru area as the analogues of those in the
Bantimala area, and deduced them to be part of the same basement complex”
3. Van Leuween (1981) “reported that the Barru block is quite similar to the Bantimala
block, being composed of schist, gneiss, radiolarian chert, silicified shale and
ultramafic rocks. He also noted that the block was locally intruded by dacitic –
andesitic lava.”
4. Berry dan Grady (1987) “described the Barru block as consisting of a series of
lowpressure metamorphic rocks and ultramafics. Their lowest exposed unit is
serpentinite, overlain by quartz-mica schist, then quartzite and chloritic phyllite. In
contrast to the Bantimala block, the rock assemblages in Barru block have a SE-
dipping foliation and a S to SW-trending lineation.”
5. Sufriadin, Irzal Nur, Sri Widodo, 2015. Penelitian Studi Mineralogi dan Geokimia
Endapan mangan Daerah Paluda, Kabupaten Barru dan Pangkep.
5. 5
6. Abdul Fatah Yusuf, Sugeng Priyono, Wastoni, dkk, 2007. Batuan Ultrabasa di
Kabupaten Barru dan Pangkep.
7. Rustiadi Purawiardi, 2008. Karakteristik Bijih Kromit Barru, Sulawesi Selatan.
6. 6
BAB II
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Geologi Regional
Geologi regional adalah keadaan karakteristik geologi secara regional suatu
daerah, yang meliputi morfologi, stratigrafi, serta struktur geologi daerah tersebut.
Kabupaten Barru dan sekitarnya merupakan pegunungan dan padan umumnya terdapat
didaerah bagian timur, wilayah bagian barat merupakan pedataran yang relatif sempit
dan dibatasi oleh selat Makassar. Daerah ini menyempit ke utara dan dibatasi oleh
perbukitan dengan pola struktur yang rumit, kemudian di sebelah selatan dibatasi oleh
pegunungan yang disusun oleh Batugamping (Bemmelen, 1949).
Aspek yang dicakup dalam geologi regional mencakup 3 hal yaitu geomorfologi
regional yang mengenai bentang alam, stratigrafi yang mengenai perlapisan batuan,
serta struktur geologi (Amstronh, 2012).
2.1.1 Geomorfologi Regional
Kabupaten Barru dan sekitarnya merupakan pegunungan dan pada umumnya
terdapat didaerah bagian timur, wilayah bagian barat merupakan pedataran yang relatif
sempit dan dibatasi oleh selat makasar. Daerah ini menyempit ke utara dan dibatasi oleh
perbukitan dengan pola struktur yang rumit, kemudian di sebelah selatan dibatasi oleh
pegunungan yang disusun oleh Batugamping (Sukamto, 1982).
Proses Geomorfologi merupakan perubahan yang dialami oleh permukaan bumi
baik secara fisik maupun kimia penyebab dari proses perubahan tersebut dapat dibagi
atas 2 golongan yaitu Tenaga Eksogen yaitu enaga yang bersifat merusak, dapat berupa
angina, suhu dan air. Adanya tenaga Eksogen dapat terjadi proses denudasi berupa
erosi, pelapukan, dan degradasi. Tenaga Endogen, tenaga ini cenderung untuk
7. 7
membangun, berupa gempa, gaya pembentuk struktur dan vulkanisme akibat dari
adanya tenaga endogen (Thornbury, 1954).
Proses geomorfologi merupakan perubahan yang dialami oleh permukaan bumi baik
secara fisik secara fisik maupun kimia penyebab dari proses perubahan tersebut dapat
dibagi atas 2 golongan yaitu (Blatt, 2006):
1. Tenaga Eksogen
Tenaga ini bersifat merusak, dapat berupa angin, suhu dan air. Dengan adanya
tenaga eksogen dapat terjadi proses denudasi berupa erosi, pelapukan dan
degradasi.
2. Tenaga Endogen
Tenaga ini cenderung untuk membangun, dapat berupa gempa, gaya-gaya
pembentuk struktur dan vulkanisme akibat dari adanya tenaga endogen maka
dapat terbentuk struktur gunung api dan agradasi. Dengan adanya tenaga-
tenaga tersebut diatas maka terbentuknya bentang alam dengan kenampakan
yang berbeda satu sama lainnya sesuai dengan tenaga yang mempengaruhi
pembentukannya.
Kenampakan bentang alam di daerah Barru umumnya merupakan daerah
perbukitan dan pegunungan dimana puncaknya sudah nampak meruncing dan sebagian
lagi nampak membulat. Perbedaan tersebut disebabkan oleh karakteristik masing-
masing batuannya. Pengaruh struktur dan tingkat perkembangan erosi yang telah
berlangsung dan akhirnya menghasilkan kenampakan bentang alam seperti yang
nampak sekarang ini (Blatt, 2006).
Berdasarkan hal tersebut diatas maka pengelompokan satuan morfologi di
daerah Barru dapat dibagi berdasarkan pada struktur geologi dan batuan penyusunnya
serta proses geomorfologi yang mempengaruhi bentuk permukaan bumi yang nampak
sekarang pembagian satuan morfologi adalah sebagai berikut (Blatt, 2006):
8. 8
1. Satuan morfologi perbukitan Gawir sesar Aledjang-Buludua.
2. Satuan morfologi pegunungan denudasi B. Masula-B. Pitu
3. Satuan Morfologi perbukitan Gawir sesar Aledjang-Buludua
Penamaan satuan morfologi ini didasarkan atas struktur geologi yang lebih
dominan terdapat pada daerah tersebut dan memberikan pengaruh terhadap
pembentukan bentang alamnya (Blatt, 2006).
2.1.2 Stratigrafi Regional
Daerah Barru disusun oleh beberapa satuan batuan dan tersebar pada jenis
bentang alam yang berbeda atau bervariasi dan telah mengalami gangguan struktur
sehingga menyebabkan jurus dan kemiringan perlapisan batuan menjadi tidak
beraturan. Sebagian batuannya telah mengalami pelapukan dan peremukan hingga
nampak kurang segar terutama pada napal (Blatt, 2006).
Lokasi penelitian pada Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, yakni di sebelah
tenggara daerah Malawa. Batubara pada daerah penelitian secara regional termasuk
pada formasi Malawa yang merupakan formasi batuan yang bersusunan batupasir,
konglomerat, batulanau, batulempung, dan napal, dengan sisipan lapisan atau lensa
batubara dan batulempung, batupasirnya sebagian besar batupasir kuarsa, adapula yang
arkosa, grewake, dan tufaan, umumnya berwarna kelabu muda dan coklat muda, pada
umumnya bersifat rapuh, kurang padat, konglomeratnya sebagian kompak,
batulempung, batugamping dan napalnya umumnya mengandung moluska yang belum
diperiksa, dan berwarna kelabu muda sampai kelabu tua, batubara berupa lensa setebal
beberapa sentimeter dan berupa lapisan sampai 1,5 m (Sukamto & Supriatna, 1982).
Pengelompokkan dan penamaan satuan batuan didasarakan atas ciri-ciri fisik
dilapangan, jenis batuan, posisi stratigrafi dan hubungan tektonik antar batuan dapat
dikorelasikan secara vertikal maupun lateral dan dapat dipetakan dalam skala 1:25.000
(Blatt, 2006).
9. 9
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka satuan batuan dapat digolongkan
dalam 5 (lima) satuan, mulai dari satuan batuan yang muda sampai yang ke tertua yaitu
sebagai berikut (Blatt, 2006):
1. Satuan Batuan Beku Intrusi
2. Satuan Breksi
3. Satuan Napal
4. satuan Breksi Batugamping Tonasa
5. Satuan Batupasir Mallawa
6. Satuan Serpih balangbaru
2.1.3 Struktur Geologi Regional
Struktur geologi adalah suatu struktur atau kondisi geologi yang ada di suatu
daerah akibat dari terjadinya perubahan-perubahan pada batuan oleh proses tektonik
atau proses lainnya. Terjadinya proses tektonik, maka batuan (batuan beku, batuan
sedimen dan batuan metamorf) maupun kerak bumi akan berubah susunannya dalam
keadaan semula. Struktur geologi di daerah lokasi filedtrip terdiri atas (Billings, 1959):
1. Struktur Lipatan
Struktur lipatan adalah suatu bentuk deformasi pada batuan sedimen, batuan
vulkanik dan batuan metamorf yang memperlihatkan suatu bentuk yang
bergelombang. Struktur lipatan yang berkembang di daerah Barru adalah
Struktur sesar waruwue sebagian besar terletak di bagian memanjang dari arah
barat laut ke tenggara dengan sumbu lipatan sekitar 10 km dan mempunyai
benatu kian relatif melengkung dan merupakan suat usinklin asimetris. Satuan
batuan yang menglami perlipatan adalah satuan batu breksi vulkanik.
2. Struktur sesar
Sesar merupakan suatu rekahan pada batuan yang telah mengalami pergeseran
sehingga terjadi perpindahan antara bagian-bagian yang berhadapan dan
10. 10
arahnya sejajar dengan bidang patahan. Struktur sesar yang dijumpai pada
daerah Barru bagian timur antara lain (Asikin, 1972):
a. Sesar Normal Bale
b. Sesar Geser Aledjang
c. Sesar Geser Buludua
2.2 Petrologi
Petrologi berasal dari dua kata yaitu “petro” yang berarti batu dan kata “logos“
yang berarti ilmu. Jadi, petrologi secara bahasa adalah ilmu yang mempelajari tentang
batuan. Sedangkan secara istilah petrologi adalah ilmu mengenai batuan, secara luas
mempelajari asal, kejadian dan sejarah batuan. Batuan adalah benda alam yang menjadi
penyusun utama bumi. Kebanyakan batuan merupakan campuran mineral yang
tergabung secara fisik satu sama lain. Beberapa batuan terutama tersusun dari satu jenis
mineral saja, dan sebagian kecil lagi dibentuk oleh gabungan mineral, bahan organik
serta bahan-bahan vulkanik. Berdasarkan kejadiannya (genesa), tekstur dan komposisi
mineralnya dapat di bagi menjadi tiga, yaitu (Nandi, 2010):
1. Batuan Beku (Igneous Rocks)
2. Batuan Sedimen (Sedimentory Rocks)
3. Batuan Metamorf (Metamorphic Rocks)
2.2.1 Batuan Beku
Batuan beku atau batuan Igneous (dari Bahasa Latin: ignis, "api") adalah jenis
batuan yang terbentuk dari magma yang mendingin dan mengeras, dengan atau tanpa
proses kristalisasi, baik di bawah permukaan sebagai batuan intrusif (plutonik) maupun
di atas permukaan sebagai batuan ekstrusif (vulkanik). Magma ini dapat berasal dari
batuan setengah cair ataupun batuan yang sudah ada, baik di mantel ataupun kerak
bumi. Umumnya, proses pelelehan terjadi oleh salah satu dari proses-proses berikut:
11. 11
kenaikan temperatur, penurunan tekanan, atau perubahan komposisi. Lebih dari 700
tipe batuan beku telah berhasil dideskripsikan, sebagian besar terbentuk di bawah
permukaan kerak bumi (Sapiie, 2008).
Pada saat magma mengalami penurunan suhu akibat perjalanan ke permukaan
bumi, maka mineral-mineral akan terbentuk. Peristiwa tersebut dikenal dengan peristiwa
penghabluran. Berdasarkan penghabluran mineral-mineral silikat (magma), oleh NL.
Bowen disusun suatu seri yang dikenal dengan Bowen’s Reaction Series (Susanto, 2008).
Gambar 2.1 Reaksi seri Bowen (1928) dari mineral-mineral utama pembentuk
batuan beku (Susanto, 2008)
Mineral pembentuk batuan beku hampir selalu mengandung unsur Silisium (Si)
sehingga sering disebut bahan silikat alam. Mineral tersebut ada yang tidak berbentuk
(amorf) dan ada yang berbentuk kristal. Berdasarkan warna dan komposisi kimia maka
mineral/kristal pembentuk batuan beku secara garis besar dapat dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu (Graha, 1987):
1. Kelompok mineral gelap atau mafic minerals, mengandung banyak unsur
magnesium (Mg) dan besi (Fe).
2. Kelompok mineral terang atau felsic minerals, banyak mengandung unsur
12. 12
aluminium (Al), kalsium (Ca), natrium (sodium, Na), kalium (potassium, K) dan
silisium (Si). Mineral pembentuk batuan beku hampir selalu mengandung unsur
Silisium (Si) sehingga sering disebut bahan silikat alam.
a. Kelompok mineral gelap atau mafic minerals, mengandung banyak unsur
magnesium (Mg) dan besi (Fe).
b. Kelompok mineral terang atau felsic minerals, banyak mengandung unsur
aluminium (Al), kalsium (Ca), natrium (sodium; Na), kalium (potassium; K)
dan silisium (Si).
Berdasarkan tempat pembekuannya batuan beku dibedakan menjadi batuan
beku ekstrusif dan intrusif. Batuan beku ekstrusif adalah batuan beku yang proses
pembekuannya berlangsung dipermukaan bumi. Batuan beku ekstrusif ini yaitu lava
yang memiliki berbagai struktur yang memberi petunjuk mengenai proses yang terjadi
pada saat pembekuan lava tersebut, sedangkan batuan beku intrusif adalah batuan beku
yang proses pembekuannya berlangsung dibawah permukaan bumi. berdasarkan
kedudukannya terhadap perlapisan batuan yang diterobosnya struktur tubuh batuan
beku intrusif terbagi menjadi dua yaitu konkordan dan diskordan (Noor, 2012).
Hal ini pada nantinya akan menyebabkan perbedaan pada tekstur masing masing
batuan tersebut. Kenampakan dari batuan beku yang tersingkap merupakan hal pertama
yang harus kita perhatikan. Kenampakan inilah yang disebut sebagai struktur batuan
beku (Karly, 2014).
Penggolongan atau klasifikasi batuan beku dapat didasarkan kepada 3 patokan
utama, yaitu berdasarkan genetik batuan, berdasarkan senyawa kimia yang terkandung,
dan berdasarkan susunan mineraloginya yaitu (Susanto, 2008):
1. Klasifikasi Berdasarkan Tekstur dan Komposisi Mineral
Berdasarkan ukuran besar butir dan tempat terbentuknya, batuan beku dapat
dibagi menjadi dua yaitu Batuan beku volkanik dan Batuan beku plutonik.
13. 13
a. Batuan Beku Vulkanik
Batuan beku vulkanik adalah batuan beku yang terbentuk di atas atau di
dekat permukaan bumi (intrusi dangkal). Menurut Williams (1983), batuan
beku yang berukuran kristal kurang dari 1 mm adalah kelompok batuan
vulkanik, terutama kehadiran masa gelas.
b. Batuan Beku Plutonik
Batuan beku yang terbentuk pada kedalaman yang sangat besar dan
mempunyai ukuran kristal lebih dari 1 mm.
Gambar 2.2 Klasifikasi Batuan Beku (Noor, 2012)
2. Klasifikasi berdasarkan Komposisi Kimiawi
Klasifikasi ini telah lama menjadi standar dalam geologi (C.J Hughes, 1962) dan
dibagi dalam empat golongan yaitu (Susanto, 2008):
a. Batuan Beku Asam
Batuan beku asam adalah batuan beku yang mengandung lebih dari 66%
kandungan SiO2. Contoh batuan ini adalah Granit dan Riolit.
14. 14
Gambar 2.3 Granit (Susanto, 2008)
b. Batuan Beku Menengah atau Intermediet
Disebut batuan beku menengah atau intermediet apabila batuan tersebut
mengandung 52% - 66% SiO2. Contoh batuan ini adalah Diorit dan Andesit.
Gambar 2.4 Diorit (Susanto, 2008)
c. Batuan Beku Basa
Disebut batuan beku basa apabila batuan tersebut mengandung 45% - 52%
SiO2. Contoh batuan ini adalah Gabro dan Basalt.
Gambar 2.5 Gabro (Susanto, 2008)
15. 15
d. Batuan Beku Ultra Basa
Disebut batuan beku ultrabasa apabila batuan beku tersebut mengandung
kurang dari 45% SiO2. Contoh batuan tersebut adalah Dunit dan Peridotit.
Gambar 2.6 Dunit (Susanto, 2008)
3. Klasifikasi berdasarkan Komposisi Mineralogi
Dalam klasifikasi ini indeks warna akan menunjukkan perbandingan mineral
mafik dengan mineral felsik. Ada dua pendapat yang paling dominan dan
digunakan saat ini, menurut S.J. Shand (1943) dan menurut S.J. Elis (1948):
1. Kasifikasi menurut S.J. Shand (1943)
S.J. Shand (1943) membagi batuan beku menjadi empat macam batuan,
yaitu:
a. Leucocratic rock, bila batuan beku tersebut mengandung 30% mineral
mafik.
b. Mesocratic rock, bila batuan beku tersebut mengnadung 30%-60%
mineral mafik.
c. Melanocratic rock, bila batuan tersebut mengandung 60% -90% mineral
mafik.
d. Hipermelanic rock, bila batuan beku tersebut mengandung lebih 90%
mineral mafik.
16. 16
2. Kasifikasi Mnurut S.J. Elis (1948)
Sedangkan S.J. Elis (1948), membagi menjadi empat golongan tekstur pula,
yaitu:
a. Felsic, untuk batuan beku dengan indeks warna kurang dari 10%.
b. Mafelsic, untuk batuan beku dengan indeks warna 10%-40%.
c. Mafic, untuk batuan beku dengan indeks warna 40%-70%.
d. Ultramafic, untuk batuan beku dengan indeks warna lebih dari 70%.
2.2.2 Batuan Sedimen
Batuan sedimen adalah batuan yang terbentuk dari akumulasi material hasil
perombakan batuan yang sudah ada sebelumnya atau hasil aktivitas kimia maupun
organisme, yang di endapkan lapis demi lapis pada permukaan bumi yang kemudian
mengalami pembatuan. Material hasil rombakan batuan diatas permukaan bumi
akibat proses-proses eksogen, pelapukan dan erosi, merupakan material atau bahan
yang sifatnya urai. Terdiri dari fragmen batuan, mineral dan berbagai material
lainnya yang berasal dari atas permukaan bumi (Pettijohn, 1975).
Material urai ini terurai oleh air, angin dan gaya gravitasi ketempat yang lebih
rendah cekungan dan diendapkan sebagai endapan atau sedimen dibawah
permukaan air. Sedimen yang terakumulasi tersebut mengalami proses litifikasi atau
proses pembentukan batuan. Proses yang berlangsung adalah kompaksi dan
sementasi, mengubah sedimen menjadi batuan sedimen. Setelah menjadi batuan
sifatnya berubah menjadi keras dan kompak. Proses kompaksi pada umummya
akibat beban sedimen yang ada diatasnya menyebabkan hubungan antar butir
menjadi lebih lekat dan juga air yang dikandung dalam pori-pori terperas keluar.
Sementasi adalah proses dimana butiran-butiran sedimen direkat oleh material lain
yang terbentuk kemudian dapat berasal dari air tanah atau pelarutan mineral-
mineral dalam sedimen itu sendiri (Blatt, 2006).
17. 17
Dibandingkan dengan batuan beku, batuan sedimen hanya merupakan tutupan
kecil dari kerak bumi. Batuan sedimen hanya merupakan 5% dari seluruh batuan yang
terdapat di kerak bumi. Dari jumlah 5% ini, batulempung adalah 80%, batupasir 5%,
dan gamping kira-kira 5% (Pettijohn, 1975).
Hukum pengendapan pada saat sedimen diendapkan mengikuti hukum alam,
misalnya material yang berat akan terendapkan lebih dahulu dibandingkan yang lebih
ringan. Kecepatan pengendapan material sedimen bergantung pada besar butirnya,
menurut hukum Stoke, v= C.r2 cm/s, dimana v adalah kecepatan pengendapan, C suatu
konstanta dan r garis tengah butiran (Raymond, 2002).
Pada pertengahan abad 17 Nicolas Steno memperhatikan bahwa sedimen
terkumpul oleh proses pengendapan melalui suatu medium, air atau angin. Endapan ini
membentuk lapisan-lapisan mendatar atau horizontal, yang tertua berada dibawah dan
yang termuda ada di atas. Berdasarkan pengamatannya ini, pada tahun 1969 ia
mencetuskan tiga prinsip dasar yang lebih dikenal dengan Hukum Steno, tiga prinsip
dasar tersebut adalah sebagai berikut (Pettijohn, 1975):
1. Hukum super posisi, yang menyatakan bahwa dalam urutan batuan yang belum
mengalami perubahan (dalam keadaan normal), batuan yang tua ada dibawah
dan yang muda berada di atas.
2. Hukum horizontal, pada awalnya sedimen diendapkan sebagai lapisan-lapisan
mendatar. Apabila dijumpai lapisan yang miring, berarti deformasi, terlipat atau
tersesarkan.
3. Hukum kemenerusan lateral (lateral continuity), mengatakan bahwa
pengendapan lapisan batuan sedimen menyebar secara mendatar, sampai
menipis atau menghilang pada batas cekungan dimana ia diendapkan. Ketiga
prinsip dasar ini sangat membantu dalam mempelajari atau menentukan urutan
umur lapisan-lapisan batuan sedimen (Pettijohn, 1975):
18. 18
1. Fragmen dari batuan lain dan mineral-mineral, seperti kerikil di sungai. pasir di
pantai dan lumpur di laut.
2. Hasil penguapan dan proses kimia, garam di danau payau dan kalsium karbonat
di laut dangkal.
3. Material organik seperti terumbu koral di laut, vegetasi di rawa-rawa.
Dibandingkan batuan beku dan metamorf, batuan sedimen paling banyak
tersingkap diatas permukaan bumi, sebesar 75 % luas daratan. Oleh karena keragaman
pembentukan (genesa), tekstur, komposisi dan penampilan batuan sedimen, maka dasar
klasifikasinya pun ada bermacam-macam. Pengelompokan batuan sedimen yang ideal
berdasarkan ukuran butir, bentuk dan komposisi material pembentuknya
(Kusumadinata, 1980):
1. Penggolongan ada enam golongan utama batuan sedimen yaitu (Blatt, 2006):
a. Golongan detritus kasar, batuan sedimen ini diendapkan dengan proses
mekanis. Termasuk dalam golongan ini antara lain breksi, konglomerat dan
batupasir. Lingkungan tempat diendapkannya batuan ini dapat di lingkungan
sungai, danau atau laut.
b. Golongan detritus halus, batuan yang termasuk golongan ini pada umumnya
diendapkan di lingkungan laut dari laut dangkal sampai laut dalam. Termasuk
golongan ini batulanau, serpih, batulempung.
c. Golongan Karbonat, batuan ini umum sekali terbentuk dari kumpulan
cangkang moluska, algae, foraminifera atau lainnya yang bercangkang kapur.
Jenis batuan karbonat ini banyak sekali jenisnya tergantung dari material
penyusunnya, misalnya: batugamping terumbu.
d. Golongan Silika, proses terbentuknya batuan ini adalah gabungan antara
proses organik dan proses kimiawi untuk lebih menyempurnakannya.
Termasuk golongan ini rijang (Chert), radiolaria dan tanah.
19. 19
e. Golongan Evaporit, pada umumnya batuan ini terbentuk di lingkungan danau
atau laut yang tertutup, dan untuk terjadinya batuan sedimen ini harus ada
air yang memiliki larutan kimia yang cukup pekat. Yang termasuk golongan
ini adalah: gipsum, anhidrit, batugaram dan lainnya.
f. Golungan Batubara, batuan sedimen ini terbentuk dari unsur-unsur organik
yaitu dari tumbuh-tumbuhan, dimana sewaktu tumbuhan tersebut mati
dengan cepat tertimbun oleh suatu lapisan yang tebal di atasnya sehingga
tidak memungkinkan untuk terJadinya pelapukan. Lingkungan terbentuknya
batubara adalah khusus sekali.
2. Penggolongan (pengelompokan) secara genetis
Pengelompokan secara genetis dalam batuan sedimen adalah dua kelompok
besar yaitu (Blatt, 2006):
a. Batuan Sedimen Klastik; yaitu batuan sedimen yang terbentuk berasal dari
hancuran batuan lain. Kemudian tertransportasi dan terdeposisi yang
selanjutnya mengalami diagenesa.
b. Batuan Sedimen Non-Klastik; Yaitu batuan sedimen yang tidak mengalami
proses transportasi. Pembentukannya adalah kimiawi dan organis.
Cara pendeskripsian dan mengidentifikasi batuan sedimen didasarkan oleh
tekstur, struktur, dan komposisi yaitu sebagai berikut (Huang, 1981):
1. Tekstur
Tekstur adalah suatu kenampakkan yang berhubungan dengan ukuran dan
bentuk butir serta susunannya. Butiran tersusun dan terikat oleh semen dan
masih adanya rongga diantara butirnya. Pembentukannya dikontrol oleh
media dan cara transportasinya. Pembahasan tekstur meliputi (Pettijohn,
1975):
a. Ukurun Butir (Grain Size)
20. 20
Pemerian ukuran butir didasarkan pada skala Wentworth (1922), dapat
dilihat pada table 2.1
Tabel 2.1 Skala Wentworth (Pettijohn, 1975)
Nama Butir Besar butir (mm)
Bongkah (boulder) 256
Brangkal (couble) 256-64
Krakal (pebble) 64- 4
Pasir sangatkasar (very coarse sand) 4-2
Pasir kasar (coarse sand) 2-1
Pasir sedang (medium sand) 1-1/2
Pasir halus (fine sand) 1/2-1/4
Pasir sangathalus (very fine sand) 1/4-1/8
Lanau (silt) 1/16-1/256
Lempung (clay) 1/256
b. Pemilahan(sorting)
Pemilahan adalah keseragaman dari ukuran besar butir penyusun batuan
sedimen, artinya bila semakin seragam ukurannya dan besar butirnya
maka pemilahan semakin baik. Dalam pemilahan dipakai batasan-batasan
sebagai berikut (Pettijohn, 1975).
1) Pemilahan baik (well sorted)
2) Pemilahan sedang (moderate sorted)
3) Pemilahan buruk (poorly sorted)
Gambar 2.7 Pemilahan pada batuan sedimen (Pettijohn, 1975)
21. 21
c. Kebundaran (roundness)
Kebundaran adalah nilai membulat atau meruncingnya butiran dimana
sifat ini hanya bisa diamati pada batuan sedimen klastik kasar.
Kebundaran dapat dilihat dari bentuk batuan yang terdapat dalam
batuan tersebut. Terdapat banyak sekali variasi dari bentuk batuan, akan
tetapi untuk mudahnya dipakai perbandingan sebagai berikut (Pettijohn,
1975):
1) Well rounded (sangat membundar), semua permukaan konveks, hampir
equidimentional.
2) Rounded (membundar), pada umumnya permukaan-permukaan
bundar, ujung-ujung dan tepi-tepi butiran bundar.
3) Sub-rounded (membundar tanggung), permukaan umumnya datar
dengan ujung yang membundar.
4) Sub-angular (menyudut tanggung), permukaan pada umumnya datar
dengan ujung-ujungnya tajam.
5) Angular (menyudut), permukaan konkaf dengan ujungnya yang tajam.
Gambar 2.8 Derajat Pembundaran (Pettijohn, 1975):
d. Kemas (Fabric)
Batuan sedimen klastik dikenal dua macam kemas, yaitu (Pettijohn, 1975)
1) Kemas Terbuka yaitu butiran tidak saling bersentuhan (mengambang
didalam matrik).
2) Kemas Tertutup yaitu butiran saling bersentuhan satu sama lainnya
22. 22
2. Struktur
Struktur sedimen merupakan suatu kelainan dari perlapisan normal dari
batuan sedimen yang diakibatkan oleh proses pengendapan dan keadaan
energi pembentuknya. Pembentukannya dapat terjadi pada waktu
pengendapan maupun segera setelah proses pengendapan/primary
sedimentary structure. Berdasarkan asalnya struktur sedimen yang
terbentuk dapat dikelompokkan menjadi tiga buah, yaitu (Pettijohn, 1975):
a. Struktur sedimen primer yaitu terbentuk karena proses sedimentasi
dengan demikian dapat merefleksikan mekanisasi pengendapannya.
Antara lain: perlapisan, gelembur gelombang, perlapisan silang siur,
konvolut, perlapisan bersusun dan lainnya.
b. Struktur sedimen sekunder
Terbentuk sesudah sedimentasi, sebelum atau pada waktu diagenesa.
Juga merefleksikan keadaan lingkungan pengendapan misalnya keadaan
dasar, lereng dan lingkungan organisnya. Antara lain: cetak beban, rekah
kerut, jejak binatang dan lainnya.
c. Struktur organik
Struktur yang terbentuk oleh kegiatan organisme seperti molusca, cacing
atau binatang lainnya. Antara lain: kerangka, laminasi pertumbuhan dan
lainnya.
3. Komposisi Mineral
Komposisi mineral dari batuan sedimen klastik dapat dibedakan yaitu (Noor,
2010):
a. Fragmen adalah bagian butiran yang ukurannya paling besar dan dapat
berupa pecahan-pecahan batuan, mineral, dan cangkang-cangkang fosil
atau zat organik lainnya.
23. 23
b. Matriks adalah bagian butiran yang ukurannya lebih kecil dari fragmen
dan terletak diantara fragmen sebagai massa dasar. Matriks dapat juga
berupa batuan, mineral, ataufosil.
c. Semen adalah ukuran butir, tetapi material pengisi rongga antar butir
dan bahan pengikat diantara fragmen dan matriks. Biasanya dalam
bentuk amorf atau kristalin.
Gambar 2.9 Susunan komposisi mineral (Noor, 2009)
2.2.3 Batuan Metamorf
Batuan metamorf adalah batuan ubahan yang terbentuk dari batuan asalnya,
berlangsung dalam keadaan padat akibat pengaruh peningkatan suhu (T) dan tekanan
(P) atau pengaruh kedua-duanya yang disebut proses metamorfisme dan berlangsung
di bawah permukaan. Proses metamorfosis meliputi (Noor, 2009):
1. Rekristalisasi.
2. Reorientasi
3. Pembentukan mineral baru dari unsur yang telah ada sebelumnya.
Proses metamorfisme membentuk batuan yang sama sekali berbeda dengan
batuan asalnya, baik tekstur maupun komposisi mineral. Mengingat bahwa kenaikan
tekanan atau temperatur akan mengubah mineral bila batas kestabilannya terlampaui,
dan juga hubungan antar butiran/kristalnya. Proses metamorfisme tidak mengubah
komposisi kimia batuan. Oleh karena itu disamping faktor tekanan dan temperatur,
pembentukan batuan metamorf ini jika tergantung pada jenis batuan asalnya. Ada
24. 24
beberapa jenis dari batuan metamorf yaitu (Noor, 2009):
1. Metamorfisme thermal (kontak), terjadi karena aktiftas intrusi magma, proses
yang berperan adalah panas larutan aktif.
2. Metamorfisme dinamis, terjadi di daerah pergeseran/pergerakan yang dangkal
(misalnya zona patahan), dimana tekanan lebih berperan dari pada panas yang
timbul. Seringkali hanya terbentuk bahan yang sifatnya hancuran, kadang-
kadang juga terjadi rekristalisasi misalnya pada jalur pembentukan pegunungan
dan zona tunjaman.
3. Metamorfisme regional, proses yang berperan adalah kenaikan tekanan dan
temperatur. Proses ini terjadi secara regional, berhubungan dengan lingkungan
tektonis, misalnya pada jalur pembentukan pegunungan dan zona tunjaman.
Struktur adalah susunan bagian massa batuan yang tidak tergantung kepada skala,
termasuk hubungan antara bagian-bagiannya, ukuran relatif, bentuk dan bentuk internal
dari masing-masing bagian. Secara umum struktur batuan metamorf dibagi menjadi 2
yaitu foliasi dan non-foliasi (Noor, 2009):
a. Struktur Foliasi
Merupakan kenampakan struktur planar pada suatu massa. Foliasi ini dapat
terjadi karena adanya penjajaran mineral-mineral menjadi lapisan-lapisan.
Struktur foliasi yang ditemukam adalah (Askin, 2008):
1) Struktur Skistose, struktur yang memperlihatkan penjajaran mineral pipih
(biotit, muskovit, feldspar) lebih banyak dibanding mineral butiran.
Gambar 2.10 Struktur Skistose (Noor, 2009)
25. 25
2) Struktur Gneisik: struktur yang memperlihatkan penjajaran mineral
granular, jumlah mineral granular relatif lebih banyak dibanding mineral
pipih.
Gambar 2.11 Struktur Gneisik (Noor, 2009)
3) Struktur Slaty cleavage: sama dengan struktur skistose, kesan kesejajaran
mineraloginya sangat halus (dalam mineral lempung).
Gambar 2.12 Struktur Slaty cleavage (Noor, 2009)
4) Struktur Phylitic: sama dengan struktur slatycleavage, hanya mineral dan
kesejajarannya sudah mulai agak kasar.
Gambar 2.13 Struktur phylitic (Noor, 2009)
26. 26
Perlapisan dalam batuan metamorf disebut foliasi (berasal dari kata Latin folia
yang berarti daun). Foliasi terbentuk ketika batuan memendek di salah satu sumbu pada
rekristalisasi. Hal ini menyebabkan platy atau kristal yang memanjang dari mineral,
seperti mika dan klorit, memutar agar sumbu panjang mereka tegak lurus terhadap
orientasi sumbu yang memendek. Hal ini menghasilkan batuan yang berpita-pita, atau
berfoliasi, dengan pita-pita yang menunjukkan warna mineral yang membentuk mereka
(Noor,2009)
b. Struktur non-foliasi
Terbentuk oleh mineral-mineral equidimensional dan umumnya terdiri dari
butiran-butiran (granular). Berikut ini struktur non-foliasi (Asikin, 2008):
1) Struktur Hornfelsic/granulosa, terbentuk oleh mozaik mineral-mineral
equidimentional dan equigranular dan umumnya berbentuk seperti
polygon. Batuannya disebut Hornfels (Batutanduk)
Gambar 2.14 Struktur Hornfelsic (Noor, 2009)
2) Struktur Kataclastic, struktur ini berbentuk pecahan/fragmen batuan atau
mineral berukuran kasar dan umumnya membentuk kenampakan
kenampakan breksiasi. Struktur kataclastic ini terjadi akibat metamorfosa
kataclastic. Batuannya disebut Kataclasite (kataklasit).
27. 27
3) Struktur Milonitic, dihasilkan oleh adanya penggerusan mekanik pada
metamorfosa kataclastic. Ciri-ciri struktur ini adalah mineralnya berbtir
halus, menunjukkan kenampakan goresan-goresan searah dan belum
terjadi rekristalisasi mineral-mineral primer. Batuannya disebut Mylonite.
Gambar 2.15 Struktur Milonitic (Noor, 2009)
4) Struktur Phylonitic, merupakan kenampakan yang sama dengan struktur
milontik tetapi umumnya telah terjadi rekritalisasi. Ciri lainnya adalah
kenampakan kilap sutera pada batuan yang mempunyai struktur ini.
Batuannya disebut Phyllonite (filonit).
2.3 Struktur Geologi
Struktur geologi adalah struktur perubahan lapisan batuan sedimen akibat kerja
kekuatan tektonik, sehingga tidak lagi memenuhi hukum superposisi disamping itu
struktur geologi juga merupakan struktur kerak bumi produk deformasi tektonik.
Patahan atau sesar (fault) adalah satu bentuk rekahan pada lapisan batuan bumi yg
menyebabkan satu blok batuan bergerak relatif terhadap blok yang lain. Pergerakan bisa
relatif turun, relatif naik, ataupun bergerak relatif mendatar terhadap blok yg lain.
Pergerakan yg tiba-tiba dari suatu patahan atau sesar bisa mengakibatkan gempa bumi.
Sesar (fault) merupakan bidang rekahan atau zona rekahan pada batuan yang sudah
28. 28
mengalami pergeseran. Sesar terjadi sepanjang retakan pada kerak bumi yang terdapat
slip diantara dua sisi yang terdapat sesar tersebut (Williams, 2004).
Berdasarkan kejadiannya, struktur geologi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
struktur geologi primer dan struktur geologi sekunder (Asikin, 1972).
2.3.1 Struktur Geologi Primer
Struktur geologi primer terbentuk pada saat pembentukan batuan berlangsung
(struktur sedimen, kekar akibat pendinginan, dan struktur perlapisan) (Asikin, 1972).
1. Flute cast
Flute cast merupakan struktur primer yang terjadi akibat proses pengerusan.
Flute cast berbentuk seperti selokan. Sama seperti flame structure, pada Flute
cast, bagian lapisan yang muda juga terdapat di sebelah atas dari parit atau
selokan tadi. Dengan memperhatikan hal tersebut, kita dapat menentukan
younging directionnya.
2. Lentikular bedding adalah suatu lapisan pasir yang berbentuk lensa cembung
yang terisolasi di dalam lempung atau sedimen lainnya. Untuk menentukan
younging direction bisa kita lihat dimana pada lapisan top (muda) terletak pada
bagian atas dari lapisan sedangkan pada lapisan bottom (tua) terletak pada
bagian bawah dari lapisan tersebut.
3. Graded Bedding
Graded Bedding adalah struktur lapisan yang dicirikan oleh perubahan yang
granular dari ukuran butir penyusunnya bila bagian bawah kasar dan ke atas
semakin halus disebut normal grading, sebaliknya apabila dari halus dan ke atas
semakin kasar disebut inverse grading. Gradded bedding digunakan dalam
penelitian untuk menentukan dimana bagian atas dan bawahnya, dimana yang
halus merupakan bagian atas dan yang kasar merupakan bagian bawah (dalam
kondisi normal). Gradded bedding terjadi karena longsoran batuan di bawah
29. 29
permukaan air di daerah berlereng terjal.
4. Flame Struktur
Flame struktur merupakan salah satu bentuk struktur primer dimana antara
lempung yang diisi oleh pasir yang terjadi akibat suatu pembebanan. Pada
struktur primer ini arah lapisannya dapat ditentukan dengan memperhatikan
perpotongan antar perlapisannya. Lapisan yang muda biasanya berada pada
bagian atas yaitu pada bagian yang terjadi pengerusan. Lapisan batuan yang
lebih tua tentunya berada lebih di bawah.
5. Planar Cross-bedding
Lapisan silang planar atau menyatah pipih (tabular planar cross-bedding).
Lapisan silang planar ini mempunyai foreset yang selaras antara satu sama lain,
dan dibendung oleh satah submenggufuk. Pada lapisan ini menunjukkan adanya
perlapisan dimana lapisan yang satu dengan yang lainnya saling bersilang dan
membentuk suatu sudut.
6. Load Cast
Apabila lapisan pasir menindih lapisan lumpur, beban lapisan pasir yang berat
menyebabkan tercangganya lapisan lumpur di bawahnya, membentuk struktur
kas beban, struktur bola dan bantal (ball and pillow structures).
7. Cross Bedding
Cross Bedding adalah lapisan miring dengan ketebalan lebih dari 5 cm,
merupakan struktur sedimentasi tunggal yang terdiri dari urut-urutan sistematik.
Cross bedding dihasilkan oleh migrasi ripple yang cukup besar atau oleh
gelombang-gelombang yang membawa pori dimana masing-masing lapisan
berukuran lebih dari 5 cm.
8. Ripple Mark
Ripple Mark adalah bentuk dari permukaan bergelombang karena adanya proses
30. 30
arus satu arah. Pembentukan ripple mark berasal dari adanya suatu arus,
misalnya arus angin yang membawa material-materil pasir sebagai material
transport lalu dengan adanya mekanisme pergerakan arus yang khas
mengendapkan material transport tadi pada front side suatu ripple. Ripple mark
berfungsi sebagai penentuan arah arus dan penentuan top dan bottom.
9. Convolute bedding
Convolute Bedding adalah struktur deformasi dari suatu lapisan yang membentuk
perlapisan meliuk-liuk dengan ketebalan lapisan 2-25 cm. Convolute bedding
dapat menunjukkan daerah dengan tingkat deformasi yang tinggi.
2.3.2 Struktur Geologi Sekunder
Struktur geologi sekunder terbentuk akibat pengaruh deformasi batuan oleh gaya
tektonik yang bekerja pada batuan tersebut. Struktur geologi sekunder yang dikenal
secara umum, yaitu: sesar, lipatan, dan kekar (Asikin, 1972).
1. Sesar atau patahan
Sesar atau patahan adalah rekahan pada batuan yang telah mengalami
pergeseran yang berarti pada bidang rekahnya. Suatu sesar dapat berupa bidang
sesar (Fault Plain) atau rekahan tunggal. Tetapi sesar dapat juga dijumpai
sebagai semacam jalur yang terdiri dari beberapa sesar minor. Jalur sesar atau
jalur penggerusan, mempunyai dimensi panjang dan lebar yang beragam, dari
skala minor sampai puluhan kilometer. Kekar yang memperlihatkan pergeseran
bisa juga disebut sebagai sesar minor. Rekahan yang cukup besar akibat
regangan, amblesan, longsor, yang disebut Fissure, tidak termasuk dalam definisi
sesar. Beberapa indikasi umum adanya sesar (Asikin, 1972):
a. Kelurusan pola pengaliran sungai.
b. Pola kelurusan punggungan.
c. Kelurusan Gawir.
31. 31
d. Gawir dengan Triangular Facet.
e. Keberadaan mata air panas.
f. Keberadaan zona hancuran.
g. Keberadaaan kekar.
h. Keberadaan lipatan seret (Dragfolg)
i. Keberadaan bidang gores garis (Slicken Side) dan Slicken Line.
j. Adanya tatanan stratigrafi yang tidak teratur.
2. Lipatan
Lipatan adalah suatu bentuk lengkungan (curve) dari suatu bidang lapisan
batuan. Beberapa unsur perlipatan, yaitu (Asikin, 1972):
a. Plunge, sudut yang terbentuk oleh poros dengan horizontal pada bidang
vertikal.
b. Core, bagian dari suatu lipatan yang letaknya disekitar sumbu lipatan.
c. Crest, daerah tertinggi dari suatu lipatan biasanya selalu dijumpai pada
antiklin
d. Pitch atau Rake, sudut antara garis poros dan horizontal, diukur pada bidang
poros.
e. Depresion, daerah terendah dari puncak lipatan.
f. Culmination, daerah tertinggi dari puncak lipatan.
g. Enveloping Surface, gambaran permukaan (bidang imajiner) yang melalui
semua Hinge Line dari suatu lipatan.
h. Limb (sayap), bagian dari lipatan yang terletak Downdip (sayap yang dimulai
dari lengkungan maksimum antiklin sampai hinge sinklin), atau Updip (sayap
yang dimulai dari lengkungan maksimum sinklin sampai hinge antiklin).
Sayap lipatan dapat berupa bidang datar (planar), melengkung (curve), atau
bergelombang (wave).
32. 32
i. Fore Limb, sayap yang curam pada lipatan yang simetri.
j. Back Limb, sayap yang landai.
k. Hinge Point, titik yang merupakan kelengkungan maksimum pada suatu
perlipatan.
l. Hinge Line, garis yang menghubungkan Hinge Point pada suatu perlapisan
yang sama.
m. Hinge Zone, daerah sekitar Hinge Point.
n. Crestal Line, disebut juga garis poros, yaitu garis khayal yang
menghubungkan titik-titik tertinggi pada setiap permukaan lapisan pada
sebuah antiklin.
o. Crestal Surface, disebut juga Crestal Plane, yaitu suatu permukaan khayal
dimana terletak di dalamnya semua garis puncak dari suatu lipatan.
p. Trough, daerah terendah pada suatu lipatan, selalu dijumpai pada sinklin.
q. Trough Line, garis khayal yang menghubungkan titik-titik terendah ada
setiap permukaan lapisan pasa sebuah sinklin.
r. Trough Surface, bidang yang melewati Trough Line.
s. Axial Line, garis khayal yang menghubungkan titik-titik dari lengkungan
maksimum pada tiap permukaan lapisan dari suatu struktur lapisan.
t. Axial Plane, bidang sumbu lipatan yang membagi sudut sama besar antara
sayap-sayap lipatannya.
3. Kekar
Kekar adalah struktur rekahan pada batuan dimana tidak ada atau relatif sedikit
sekali terjadi pergeseran. Kekar merupakan salah satu struktur yang paling
umum pada batuan. Secara genetik, kekar terbagi atas (Asikin, 1972):
a. Kekar Gerus (Shear Joint), yaitu kekar yang terjadi akibat stress yang
cenderung mengelincir bidang satu sama lainnya yang berdekatan. Ciri-ciri
33. 33
dilapangan:
1) Biasanya bidangnya licin.
2) Memotong seluruh batuan.
3) Memotong komponen batuan.
4) Bidang rekahnya relatif kecil.
5) Adanya joint set berpola belah ketupat.
b. Kekar Tarikan (Tentional Joint), yaitu kekar yang terbentuk dengan arah
tegak lurus dari gaya yang cenderung untuk memindahkan batuan (gaya
tension). Hal ini terjadi akibat dari stress yang cenderung untuk membelah
dengan cara menekannya pada arah yang berlawanan, dan akhirnya kedua
dindingnya akan saling menjauhi. Ciri-ciri di lapangan (Asikin, 1972):
1) Bidang kekar tidak rata.
2) Bidang rekahnya relatif lebih besar.
3) Polanya sering tidak teratur, kalaupun teratur biasanya akan berpola
kotak-kotak.
4) Karena terbuka, maka dapat terisi mineral yang kemudian disebut vein.
Kekar tarik dapat dibedakan atas:
1) Tension Fracture, yaitu kekar tarik yang bidang rekahannya searah
dengan tegasan.
2) Release Fracture, yaitu kekar tarik yang terbentuk akibat hilangnya atau
pengurangan tekanan, orientasinya tegak lurus terhadap gaya utama.
Struktur ini biasanya disebut stylolite.
c. Kekar Hibrid (Hybrid Joint), yaitu merupakan campuran dari kekar gerus dan
kekar tarikan dan pada umumnya rekahannya terisi oleh mineral sekunder.
34. 34
3 BAB III
METODE PENGAMBILAN DATA
3.1 Alat dan Bahan
Kuliah lapangan (fieldtrip) membutuhkan beberapa alat dan bahan untuk
membantu pengamatan maupun pengukuran pada saat di lapangan yang bertempat di
Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan. Adapun alat dan bahan yang dibutuhkan
pada saat fieldtrip (kuliah lapangan):
3.1.1 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam kegiatan fieldtrip kali ini adalah sebagai
berikut:
1. Palu Geologi
Palu geologi digunakan untuk mengambil sampel batuan di lapangan.
Gambar 3.1 Palu Geologi
35. 35
2. Kompas Geologi
Kompas geologi selain berfungsi untuk mengukur kedudukan suatu struktur
geologi (strike dan dip), serta berfungsi untuk mengukur arah penggambaran
dan kemiringan suatu bidang.
Gambar 3.2 Kompas Geologi
3. Alat Tulis
Alat tulis digunakan digunakan untuk mencatat hasil pengamatan dan
pengolahan data di lapangan.
Gambar 3.3 Alat Tulis
36. 36
4. Kamera Digital
Kamera Digital berfungsi untuk mengambil dokumentasi serta gambar dari objek
pengamatan seperti kekar dan singkapan batuan.
Gambar 3.4 Kamera Digital
5. Lup
Lup berfungsi untuk mengamati mineral yang tidak bisa dilihat langsung dengan
mata.
Gambar 3.5 Lup
37. 37
6. Sepatu Tracking
Sepatu Tracking berfungsi untuk melindungi kaki selama kegiatan di lapangan.
Gambar 3.6 Sepatu Tracking
7. Daypack
Daypack berfungsi untuk menyimpan barang dan kelengkapan pribadi.
Gambar 3.7 Daypack
38. 38
8. Helm safety
Helm safety berfungsi untuk melindungi kepala selama kegiatan di lapangan.
Gambar 3.1 Helm safety.
9. Jas hujan
Jas hujan berfungsi untuk melindungi diri dari hujan.
Gambar 3.9 Jas Hujan
39. 39
10. Buku Lapangan
Buku lapangan berfungsi untuk menulis hal-hal yang penting dilapangan seperti
hasil pengukuran, sketsa, deskripsi, dan lain-lain.
Gambar 3.10 Buku Lapangan
11. GPS
GPS digunakan untuk menentukan koordinat letak lokasi.
Gambar 3.10 GPS
40. 40
12. Peta
Peta berfungsi sebagai media yang digunakan untuk mengetahui gambaran
secara besar daerah yang akan ditempati di lapangan.
Gambar 3.12 Peta
13. Pembanding Sampel
Pembanding sampel berfungsi sebagai tolak ukur suatu batuan dalam bentuk
gambar.
Gambar 3.13 Pembanding Sampel
41. 41
14. Alat Deskripsi
Alat deskripsi berupa kikir besi, paku, kaca, dan kawat tembaga. Berfungsi untuk
mengukur kekerasan suatu batuan ketika deskripsi batuan berlangsung.
Gambar 3.14 Alat Deskripsi
15. Buku Rocks and Minerals
Buku Rocks and Minerals berfungsi sebagai acuan dalam menentukan nama
batuan yang telah dideskripsi.
Gambar 3.15 Buku Rocks and Minerals
42. 42
16. Papan scanner
Papan scanner berfungsi sebagai alat bantu mengukur strike dan dip batuan,
serta sebagai papan pengalas yang membantu dalam mencatat data hasil
pengamatan
Gambar 3.16 Papan Scanner
17. Kacamata Safety
Kacamata safety berfungsi untuk melindungi mata dari percikan batu saat proses
pengambilan sampel.
Gambar 3.17 Kacamata Safety.
43. 43
18. Kaos Tangan
Kaos tangan berfungsi untuk melindungi tangan ketika sedang melakukan proses
sampling.
Gambar 3.18 Kaos Tangan
3.1.2 Bahan
Bahan yang digunakan pada kegiatan fieldtrip kali ini adalah sebagai berikut:
1. Kertas HVS
Kertas HVS berfungsi untuk digunakan menulis data hasil pengamatan dan
pendeskripsian data batuan
Gambar 3.19 Kertas HVS
44. 44
2. Larutan HCl 0,5 M
HCL 0,5 M berfungsi untuk menguji batuan apakah mengandung senyawa
karbonat.
Gambar 3.20 Larutan HCl 0,5 M
3. Karung
Karaung digunakan untuk menyimpan sampel batuan.
Gambar 3.21 Karung
45. 45
4. Kantong Sampel
Kantong sampel berfungsi sebagai tempat untuk menaruh sampel yang telah
didapat sesuai dengan stasiunnya masing-masing.
Gambar 3.22 Kantong Sampel
5. Lembar Deskripsi Batuan
Lembar deskripsi batuan digunakan untuk mencatat hasil deskripsi batuan yang
ada di lapangan.
Gambar 3.23 Lembar Deskripsi Batuan
46. 46
3.2 Pengolahan Data
Adapun proses pengolahan data pada kuliah lapangan (fieldtrip) sebagai
berikut:
3.2.1 Orientasi Lapangan (Plot Koordinat)
Dalam setiap kegiatan penelitian selalu ada kegiatan pengambilan data. Salah
satu data yang diambil dan diperoleh dari lapangan adalah data mengenai Orientasi dan
kedudukan lokasi pengamatan. Pengambilan data ini dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
1. Menetukan lokasi pengamatan singkapan dan pengambilan sampel batuan yang
akan dilakukan. Upayakan untuk berada tepat pada posisi singkapan berada
sehingga toleransi kesalahan plot koordinat semakin kecil, serta ketepatan posisi
lokasi akan semakin akurat.
2. Plot koordinat lokasi dengan menggunakan alat global possesioning system. Hasil
data koordinat yang diperoleh kemudian di plot kedalam peta lokasi yang telah
disedikan. Kemudian lakukan penyesuian terhadap hasil plot koordinat dengan
morfologi disekitar daerah pengamatan.
3.2.2 Pengukuran Strike and Dip
Strike adalah arah garis yang dibentuk dari perpotongan bidang planar dengan
bidang horizontal ditinjau dari arah utara dengan kata lain strike adalah proses
pengukuran kemelurusan suatu singkapan. Sedangkan Dip adalah derajat yang dibentuk
antara bidang planar dan bidang horizontal yang arahnya tegak lurus dari garis strike
atau biasa disebut besar derajat kemiringan suatu singkapan. Strike and dip diukur pada
jenis batuan sedimen yang berlapis atau kekar yang terdapat pada batuan beku serta
pada batuan metamorf.
1. Mengukur Strike
47. 47
Dengan menggunakan sisi E (east) bagian kompas, kemudian geserlah hingga
gelembung udara yang ada dalam bull’s eye level masuk kedalam lingkaran.
Biarkan hingga jarum menjadi stabil kemudian amati sudut yang ditunjuk arah
utara tulislah sesuai dengan format penulisan NX0
E. Cara mengukur strike yaitu
sebagai berikut:
Gambar 3.24 Pengukuran Strike
a. Carilah bidang batuan yang akan diukur strike-nya tempelkan sisi E (east)
bagian kompas ke bidang batuan atau singkapan dengan bagian kompas
harus searah dengan strike.
b. Geserlah sampai gelembung udara pada bull’s eye level tetap ditengah.
c. Catatlah besar derajat strike yang di tunjukkan oleh sisi jarum North (utara)
pada kompas.
2. Mengukur Dip
Dengan menempelkan sisi barat (west) bagian kompas, geser hingga gelembung
48. 48
udara terletak di antara garis dalam klinometer level (berada di tengah),
kemudian baca besar sudut dalam klinometer scale. Cara mengukur dip yaitu:
Gambar 2.25 Pengukuran Dip
a. Menempelkan sisi barat W (west) bagian kompas ke bidang batuan dengan
lengan tegak lurus strike.
b. Pada bagian belakang kompas terdapat ruas kecil untuk memutar level
tabung/klinometer level. Kemudian putarlah level tabung sampai gelembung
tepat di tengah.
c. Kemudian bacalah derajat yang ditunjukkan derajat klinometer derajat dip
900
.
3.2.3 Sketsa Singkapan
Pengambilan gambar singkapan dilakukan dari tempat pengambilan gambar
sketsa. Dalam pengambilan gambar, selalu menggunakan pembanding. Pembanding
dapat berupa benda apa saja, hal ini untuk menunjukkan pembanding ukuran singkapan.
Pengambilan data dimensi dilakukan dengan cara pengukuran dimensi singkapan, yaitu
panjang, tinggi, dan lebar singkapan. Data dimensi yang diambil bukan merupakan data
dimensi keseluruhan singkapan, tetapi data dimensi singkapan yang kita ambil
sampelnya saja (jika mengambil data singkapan keseluruhan, akan sangat panjang dan
luas data dimensi yang kita ambil).
49. 49
Gambar 3.26 Singkapan Perlapisan Pada Stasiun 4
Penggambaran sketsa singkapan dilakukan dengan dua tahapan, yaitu
penggambaran secara umum dan penggambaran khusus. Penggambaran secara umum
dilakukan dengan menggambar keseluruhan singkapan, baik itu vegetasi sekitar, bentuk,
formasi batuan, serta objek lain yang terdapat di sekitar singkapan. Penggambaran
secara khusus dilakukan dengan menggambar sketsa bagian dari singkapan yang diambil
sampelnya saja. Pada penggambaran secara khusus dilakukan dengan memberi kode
batuan pada gambar sketsa, baik itu kode simbol maupun kode warna.
Gambar 3.27 Sketsa Singkapan Perlapisan Pada Stasiun 4
50. 50
3.2.4 Pengambilan sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara memukul singkapan sesuai dengan
alur atau retakan batuan agar mudah diambil. Sampel yang diambil pun harus yang
masih segar agar saat pendeskripsian mudah untuk mengetahui warna segar dan warna
lapuknya, serta komposisi material atau mineral dapat dengan jelas diidentifikasi. Sampel
yang diambil kira-kira sebesar kepalan tangan, ini dimaksudkan agar kandungan material
atau mineral dalam sampel tersebut merepretasikan seluruh singkapan. Setelah
mendapatkan sampel, sampel lalu dimasukkan ke dalam kantong sampel, dan kantong
sampel diberi keterangan stasiun dan sampel.
Gambar 3.28 Pengambilan sampel
3.2.5 Deskripsi Singkapan
Deskripsi singkapan dilakukan dengan mengamati struktur geologi yang terjadi
pada batuan. Serta mengamati jenis batuan yang akan dideskripsi. Seralah itu, isi lembar
deskripsi yang telah disediakan dengan menggunakan bantuan literatur yang tersedia
seperti buku rocks and mineral. Tentukan pula struktur dan tekstur batuan tersebut.
51. 51
Berdasarkan hasil pengamatan dan indikator yang telah diisi, dapat ditentukan nama
dari batuan yang sedang diamati.
Gambar 3.29 Pengamatan dan deskripsi batuan.
52. 52
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Stasiun 1
Stasiun 1 terletak di daerah kota Barru. Letak astronomis daerah stasiun 1 dapat
dinyatakan dengan garis lintang, garis bujur, serta elevasi. Titik koordinat dari stasiun 1
adalah 04°25’17,37” LS, 119º37’12,49” BT dan terletak pada ketinggian 16 meter dari
permukaan laut.
Singkapan ini merupakan bekas galian yang dilakukan oleh warga sekitar, dimana
batuan ini digunakan sebagai pondasi rumah. Morfologi daerah stasiun pengambilan
sampel ditumbuhi berbagai macam vegetasi pohon dan tumbuhan dengan keadaan
daerah yang merupakan daerah perkebunan. Tata guna lahan pengambilan sampel
adalah sebagai perkebunan warga. Singkapan batuan pertama memiliki arah
pengambilan gambar singkapan adalah N18ºE. Singkapan batuan metamorf ini
mempunyai arah strike N274°E dengan dip 9°.
Gambar 4.1 Singkapan Batu Sekis Pada Stasiun 1
53. 53
Gambar 4.2 Sketsa Singkapan Batu Sekis Pada Stasiun 1
Sampel pertama merupakan jenis batuan metamorf. Warna segar sampel ini
adalah putih kekuningan dan warna coklat sebagai warna lapuknya. Struktur sampel ini
adalah foliasi (schistosic) yaitu struktur yang terbentuk karena adanya susunan paralel
mineral-mineral pipih prismatik atau lentikular (umumnya mika atau klorit) yang
berukuran butir sedang sampai kasar. Tekstur sampel ini adalah lepidoblastik, yaitu
teksur dengan mineral-mineral penyusun berbentuk tabular. Merujuk pada buku Rocks
and Minerals, diketahui bahwa sampel ini adalah sekismika.
Gambar 4.3 Sampel Batusekis Pada Stasiun 1
54. 54
4.2 Stasiun 2
Stasiun 2 terletak di daerah desa Bottolai, Kabupaten Barru. Letak astronomis
daerah stasiun 2 dapat dinyatakan dengan garis lintang, garis bujur, serta elevasi. Titik
koordinat dari stasiun 2 adalah 04°25’47,32” LS, 119º37’53,72” BT dan terletak pada
ketinggian 23 meter dari permukaan laut.
Gambar 4.4 Singkapan Batuan Serpentinit Pada Stasiun 2
Gambar 4.4 Sketsa Singkapan Batuan Serpentinit Pada Stasiun 2
55. 55
Morfologi daerah stasiun pengambilan sampel merupakan daerah yang minim
vegetasi tumbuhan karena merupakan daerah bekas penambangan yang digunakan
sebagai bahan pembuatan rel kereta api. Stasiun ini ditemukan stuktur geologi berupa
kekar pada permukaan batuan metamorf. Singkapan batuan tersebut memiliki arah
pengambilan gambar yaitu N320°E.
Gambar 4.5 Sampel Batuan Serpentinit
Stasiun 2 terdapat sampel batuan metamorf yang terdiri atas warna hijau
kehitaman sebagai warna segar dan warna coklat sebagai warna lapuknya. Struktur
sampel ini adalah foliasi, yaitu struktur yang terbentuk oleh pecahan fragmen batuan
atau mineral berukuran kasar dan umumnya membentuk kenampakan breksiasi. Tekstur
sampel ini adalah kristaloblastik. Merujuk pada buku Rocks and Minerals, diketahui
bahwa sampel ini adalah serpentinit.
4.3 Stasiun 3
Stasiun 3 terletak di daerah Desa Jep’e, Kabupaten Barru. Letak astronomis
daerah stasiun 3 dapat dinyatakan dengan garis lintang, garis bujur, serta elevasi. Titik
koordinat dari stasiun 3 adalah 04°25’33,67” LS, 119º39’46,37” BT dan terletak pada
ketinggian 61 meter dari permukaan laut.
56. 56
Morfologi daerah stasiun pengambilan sampel jarang ditumbuhi tumbuhan
(kecuali bagian puncak) karena daerahnya merupakan daerah penambangan batuan.
Tata guna lahan pengambilan sampel sebagai tempat penambangan batuan untuk
bahan pondasi bangunan dan juga bahan untuk rel kereta api. Stasiun ini terdapat dua
singkapan batuan. Ciri khas dari stasiun ini adalah adanya intrusi batuan beku.
Gambar 4.6 Singkapan Batuan Serpentinit dan Batuan Dasit Pada Stasiun 3
Gambar 4.7 Sketsa Singkapan Batuan Serpentinit dan Batua Dasit Pada Stasiun 3
Singkapan pertama merupakan singkapan dengan intrusi batuan beku, dengan
arah pengambilan gambar sebesar N320°E. Singkapan yang kedua merupakan bekas
Batuan Dasit
Batuan Serpentinit
57. 57
lokasi penambangan dengan manfaat sebagai pembuatan rel kereta api. Pada singkapan
tersebut juga terdapat indikasi endapan besi yang ditandai dengan adanya bagian
singkapan yang berwarna merah. Arah pengambilan gambar pada singkapan sebesar
N320o
E dengan nilai strike and dip sebesar N137°E/82°. Sampel pertama merupakan
sampel batuan beku yang terdiri atas warna abu-abu gelap sebagai warna segar dan
coklat sebagai warna lapuknya. Tekstur dari sampel ini sebagian tersusun oleh kristal
dan sebagian lainnya tersusun atas kaca sehingga tergolong hipokristalin, memiliki
butiran yang kasar sehingga tergolong porfiritik. Bentuk kristalnya sempurna (euhedral)
serta menunjukkan ukuran dan bentuk cenderung sama antar kristal yang satu dengan
yang lainnya (equigranular). Komposisi mineralnya terdiri atas kuarsa dan feldspar
sebagai fenokris dan plagioklas sebagai massa dasar. Merujuk pada buku Rocks and
Minerals, diketahui bahwa sampel ini adalah dasit.
Gambar 4.8 Sampel Batuan Dasit Pada Stasiun 3
Sampel kedua merupakan sampel batuan metamorf yang terdiri atas warna hijau
kehitaman sebagai warna segar dan warna coklat sebagai warna lapuknya. Struktur
58. 58
sampel ini adalah foliasi, yaitu struktur yang terbentuk oleh pecahan fragmen batuan
atau mineral berukuran kasar dan umumnya membentuk kenampakan breksiasi. Tekstur
sampel ini adalah kristaloblastik. Merujuk pada buku Rocks and Minerals, diketahui
bahwa sampel ini adalah serpentinit.
Gambar 4.9 Sampel Batuan Serpentinit Pada Stasiun 3
4.5 Stasiun 4
Stasiun 4 terletak di daerah Sungai Dusun Palakka, Kabupaten Barru, Provinsi
Sulawesi Selatan. Letak astronomis daerah stasiun 4 dapat dinyatakan dengan garis
lintang, garis bujur, serta elevasi. Titik koordinat dari stasiun 4 adalah 04°27’15,11” LS,
119º43’28,88” BT dan terletak pada ketinggian 96 meter dari permukaan laut.
Morfologi daerah stasiun pengambilan sampel merupakan daerah sungai yang
memiliki variasi vegetasi tumbuhan yang beragam. Lapisan stratigrafi pada stasiun ini
disusun oleh lapisan napal (batulempung karbonatan) dan batugamping yang saling
berselingan dengan ketebalan yang bervariasi. Stasiun ini ditemukan singkapan batuan
sedimen yang saling berselingan. Arah pengambilan gambar singkapan adalah N266ºE.
Singkapan lapisan batuan pada stasiun ini mempunyai arah strike N11°E dengan dip 39°
dan memiliki ketebalan 35 cm.
59. 59
Gambar 4.8 Singkapan Perlapisan Batugamping Pada Stasiun 4
Gambar 4.9 Sketsa Singkapan Perlapisan Batugamping Pada Stasiun 4
Sampel pertama pada stasiun 4 merupakan sampel batuan sedimen non-klastik.
Tampak warna dari sampel ini terdiri atas warna putih tulang sebagai warna segar dan
warna coklat sebagai warna lapuknya. Struktur sampel ini adalah oolitik yaitu struktur
60. 60
dimana fragmen klastik diselubungi oleh mineral non-klastik, bersifat konsentris dengan
diameter kurang dari dua mm. Tekstur sampel ini adalah kristalin yaitu tersusun dari
mineral-mineral yang membentuk kristal, komposisi kimia karbonatan, memiliki sortasi
baik, serta kemas tertutup. Merujuk pada buku Rocks and Minerals, diketahui bahwa
sampel ini adalah batugamping. Perlapisan batugamping yang ditemukan tersebut
memiliki ketebalan ± 4 cm setiap perlapisannya.
Gambar 4.10 Sampel Batugamping Pada Stasiun 4
Sampel kedua pada stasiun 4 merupakan sampel batuan sedimen klastik.
Tampak warna dari sampel ini terdiri atas warna hijau keabuan sebagai warna segar dan
coklat sebagai warna lapuknya. Struktur batuan ini adalah bedding. Tekstur dari sampel
ini terdiri dari empat komponen yaitu, ukuran butir yang berdasarkan skala Wentworth
tergolong lempung (<1/256 mm), bentuk butiran pada sampel ini adalah sangat
membundar (well rounded) dengan derajat keseragaman ukuran butir tergolong terpilah
baik (well sorted). Hubungan antar butir pada sampel ini tergolong kemas tertutup yaitu
butiran yang satu dengan yang lainnya saling bersentuhan. Merujuk pada buku Rocks
and Minerals, diketahui bahwa sampel ini adalah batulempung. Perlapisan batulempung
yang ditemukan tersebut memiliki ketebalan ± 1,2 m.
61. 61
Gambar 4.11 Sampel Batulempung Pada Stasiun 4
4.5 Stasiun 5
Stasiun 5 terletak di daerah Sungai Watu, Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi
Selatan. Letak astronomis daerah stasiun 5 dapat dinyatakan dengan garis lintang, garis
bujur, serta elevasi. Titik koordinat dari stasiun 5 adalah 04°29’59,69” LS, 119º43’25,05”
BT dan terletak pada ketinggian 262 meter dari permukaan laut. Pada stasiun ini
terdapat intrusi batuan beku yaitu batuan diorit.
Gambar 4.12 Struktur Kekar yang Terdapat di Permukaan Diorit Pada Stasiun 5
62. 62
Gambar 4.13 Sketsa Singkapan Diorit pada stasiun 5
Batu diorit pada stasiun ini merupakan batuan hasil intrusi yang terjadi di kerak
bumi baik secara dike maupun sill. Batu Diorit pada stasiun ini memiliki warna segar
putih ke abu-abuan dan warna lapuknya coklat kehitaman, dan merupakan jenis batuan
intermediet, struktur pada batuan ini masif. Kristalinitasnya holokristalin, granularitasnya
faneritik sedang, dan bentuk kristalnya euhedral dan adapun relasinya equigranular
karena ukuran butirnya relatif sama.
Gambar 4.14 Sampel Batu Diorit Pada Stasiun 5
63. 63
Terdapar kekar yang ada pada singkapan batuan beku stasiun 5 yaitu kekar
gerus. Sehingga pada stasiun ini juga dilakukan pengukuran pengukuran strike dan dip
pada kekar yaitu hasilnya sebagai berikut N270°E/74° pada kekar 1, N150°E/66° pada
kekar 2, N183°E/73° pada kekar 3, N39°E/80° pada kekar 4, N292°E/85° pada kekar 5,
N198°E/10° pada kekar 6, N79°E/62° pada kekar 7, N200°E/35° pada kekar 8,
N316°E/50° pada kekar 9, N234°E/52° pada kekar 10.
4.6 Stasiun 6
Stasiun 6 terletak di daerah jalan poros Barru-Soppeng. Letak astronomis daerah
stasiun 6 dapat dinyatakan dengan garis lintang, garis bujur, serta elevasi. Titik koordinat
dari stasiun 6 adalah 04°30’36,75” LS, 119º43’24,23” BT dan terletak pada ketinggian
108 meter dari permukaan laut.
Morfologi daerah stasiun pengambilan sampel ditumbuhi berbagai macam
vegetasi pohon dan tumbuhan. Singkapan batuan memiliki arah pengambilan gambar
singkapan adalah N80ºE. Batuan ini terbentuk pada daerah vulkanik (karena merupakan
batuan beku vulkanik), yaitu dengan pembekuan magma yang cenderung cepat
sehingga mineral penyusunnya terlihat lebih kecil. Batuan vulkanik atau biasa disebut
dengan batuan ekstrusi, ini terbentuk di luar gunung berapi. Tetapi terbentuknya bukan
dikarenakan akibat letusan gunung api yang eksplosif namun terbentuk dari lava yang
mengalir. Sehingga mempunyai kenampakan tekstur yang khusus, yaitu tekstur
trachytic. Tekstur trachytic berupa mikrolit yang membentuk orientasi tertentu, karena
dihasilkan oleh mekanisme aliran. Dilihat dari warna batuan trachyte yang cenderung
cerah, trachyte terbentuk dari magma yang bersifat asam. Tetapi magma asam
pembentuk trachyte juga bisa berasosiasi dengan lava lain di daerah vulkanik lalu
terbentuk oleh kristalisasi dan abstraksi dari unsur besi, magnesium dan mineral kalsium
yang berasal dari magma basa. Batuan ini termasuk jenis batuan beku intermediet.
64. 64
Gambar 4.15 Singkapan Batu Trakit Pada Stasiun 6
Gambar 4.16 Sketsa Singkapan Batu Trakit pada Stasiun 6
Batuan trakit memiliki warna segar abu-abu terang dan warna coklat sebagai
warna lapuknya dengan struktur sampel ini adalah masif. Tekstur sampel ini adalah
kristanilitasnya holokristalin-hipokristalin, granularitasnya afanitik-porfiritik, bentuk
kristalnya subhedral, serta hubungan atau keseragaman antar krital inequigranular.
66. 66
BAB V
4 KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari laporan fieldtrip Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan kali
ini yaitu:
1. Secara umum, batuan terbagi atas batuan sedimen, metamorf, dan beku. Ketiga
jenis batuan ini ditemui di lokasi kuliah lapangan (fieldtrip). Batuan metamorf
yakni sekis pada stasiun 1 dan serpentinit pada stasiun 2 dan stasiun 3. Batuan
beku terdapat pada stasiun 3 dasit, stasiun 5 yakni diorit, dan stasiun 6 trakit.
Batuan sedimen yakni batugamping dan batulempung pada stasiun 4.
2. Alat-alat geologi yang digunakan untuk mengambil sampel adalah palu geologi.
Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan palu geologi. Palu batuan
beku berbentuk runcing digunakan untuk memecah batuan keras seperti pada
batuan beku dan metamorfik, sedangkan untuk yang bentuknya berujung datar
umumnya digunakan untuk batuan yang berlapis seperti batuan sedimen.
Kemudian sampel tersebut dimasukkan ke dalam plastik cetik kemudian ditandai
dengan spidol permanen.
3. Batuan memiliki berbagai macam karakteristik, dan memiliki ciri khas masing-
masing, dan yang perlu diketahui bahwa terdapat beberapa sifat-sifat fisik seperti
kilap, warna, kekerasan, cerat, belahan, pecahan, bentuk, berat jenis, sifat dalam,
kemagnetan, kelistrikan dan kandungan mineral.
4. Terdapat beberapa struktur geologi yang di temukan di lokasi fieldtrip yaitu
struktur geologi primer yaitu struktur yang terbentuk pada saat pembentukan
batuan seperti struktur sedimen pada batuan sedimen, struktur aliran pada
67. 67
batuan beku dan struktur foliasi pada batuan metamorf. Struktur geologi
sekunder yaitu struktur yang terbentuk setelah proses pembentukan batuan
terutama akibat adanya tegasan eksternal seperti kekar, sesar, patahan dan
lipatan. Struktur geologi yang ditemui di lapangan itu jenisnya beragam yang
seluruhnya merupakan hasil dari aktivitas tektonik, yakni intrusi batuan dasit
pada stasiun 3, kekar gerus pada stasiun 2, 3, dan 5, dan intrusi diorit pada
stasiun 5.
5. Terdapat sumber daya mineral yang di temukan di daerah Kabupaten Barru
seperti batugamping, batulempung, sekis, diorit, dasit, serpentinit, trakit.
5.2 Saran
Adapun saran pada laporan kuliah lapangan (fieldtrip) kali ini, yaitu:
1. Peserta fieldtrip harus lebih disisplin di lapangan, agar tidak membuang banyak
waktu
2. Peserta fieldtrip disarankan lebih teliti dalam pengukuran baik dimensi maupun
strike dan dip.
3. Sampel yang diambil juga sebaiknya berukuran ideal.
68. 68
BAB IV
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Stasiun 1
Stasiun 1A berada pada koordinat 04o
25’ 17,52” LS - 119o
37’ 12,18” BT dengan
69. 69
elevasi 12 M diatas permukaan laut. Pada stasiun ini, terdapat sebuah singkapan batu
seperti pada gambar di bawah ini.
Gambar 4.1 Sketsa Singkapan Batuan Stasiun 1A
Singkapan batuan yang ditunjukkan pada gambar 4.1 merupakan singkapan
batuan metamorf, Singkapan batuan pada stasiun ini memiliki strike foliasi sebesar N
250o
E dan dip foliasi sebesar 14o
, memiliki arah pengambilan gambar yaitu N 350o
E dan
jaraknya sekitar 7,1 M serta memiliki ketinggian lereng yaitu 9 M serta lebarnya 9 M.
Morfologi daerah ini dipenuhi dengan tumbuhan liar. Berikut adalah sampel yang
ditemukan di stasiun 1A.
70. 70
Gambar 4.2 Sekis Mika
Gambar 4.2 merupakan sampel yang didapatkan pada stasiun 1A. Sampel ini
berwarna abu-abu untuk warna segarnya. Warna lapuknya adalah coklat, memiliki
tekstur kristaloblastik (lepidoblastik) memiliki struktur foliasi. Dari pendeskripsian yang
dilakukan, didapatkan hasil bahwa sampel tersebut merupakan jenis batuan metamorf
bernama sekis mika.
Stasiun 1B berada pada koordinat 04o
25’ 29” LS - 119o
37’ 20,3” BT dengan
elevasi 12 M di atas permukaan laut. Pada stasiun ini, memiliki arah pengambilan gambar
yaitu N 350o
E dan jaraknya sekitar 4 M serta memiliki ketebalan lereng yaitu 90 CM.
Pada stasiun ini ditemukan banyak batuan metamorf yang bertekstur granoblastik,
lokasinya tidak terlalu berjauhan dengan stasiun 1A, namun ketinggiannya lebih rendah,
lokasi ini juga dekat dengan perumahan warga morfologi daerah ini dipenuhi dengan
tumbuhan liar.
71. 71
Gambar 4.3 Sketsa Singkapan Batuan Stasiun 1B
Singkapan batuan yang ditunjukkan pada stasiun ini merupakan singkapan
batuan metamorf, singkapan batuan pada stasiun ini memiliki strike sebesar N 324o
E
dan dip sebesar 28o
. Berikut sampel yang ditemukan.
Gambar 4.4 Kuarsit
Gambar 4.4 merupakan sampel yang didapatkan pada stasiun 1B. Sampel ini
72. 72
berwarna abuabu untuk warna segarnya. Warna lapuknya adalah coklat, memiliki tekstur
kristaloblastik (lapidoblastik) memiliki struktur non-foliasi. Dari pendeskripsian yang
dilakukan, didapatkan hasil bahwa sampel tersebut merupakan jenis batuan metamorf
bernama kuarsit.
4.2 Stasiun 2
Stasiun 2 berada pada koordinat 04o
24’ 47,40” LS - 119o
38’ 40” BT dengan elevasi 45
M diatas permukaan laut. Pada stasiun ini, terdapat sebuah singkapan batuan beku seperti pada
gambar di bawah ini. Pada stasiun 2 ini terdapat adanya struktur geologi terutama kekar.
Gambar 4.5 Sketsa Singkapan Batuan Stasiun 2
Tabel 4.1 Kolom Kekar Stasiun 2
73. 73
No. Joint Kedudukan Joint
1 Kekar 1 N 292o
E / 30o
2 Kekar 2 N 36o
E / 28o
3 Kekar 3 N 271o
E / 50o
4 Kekar 4 N 295o
E / 55o
5 Kekar 5 N 306o
E / 63o
6 Kekar 6 N 292o
E / 49o
7 Kekar 7 N 129o
E / 45o
8 Kekar 8 N 136o
E / 58o
9 Kekar 9 N 270o
E / 34o
10 Kekar 10 N 235o
E / 30o
Gambar 4.6 Peridotit
Gambar 4.6 merupakan sampel yang didapatkan pada stasiun 2. Sampel ini
berwarna hitam untuk warna segarnya. Warna lapuknya adalah coklat, memiliki
kristanilitas holokristalin, granulitas faneritik, bentuk kristal euhedral, relasi equigranular,
fenokris yakni kuarsa dan massa dasarnya yakni feldsphar dan amphibol, struktur masif.
Dari pendeskripsian yang dilakukan, didapatkan hasil bahwa sampel tersebut merupakan
jenis batuan beku bernama peridotit.
74. 74
4.3 Stasiun 3
Stasiun 3 merupakan lokasi bekas penambangan material bangunan dan terbagi
menjadi 3A dan 3B. Stasiun 3A berada pada koordinat 4o
24’ 33,51” LS - 119O
43’ 45,49”
BT. Stasiun 3A ini terdapat sebuah singkapan batu seperti pada gambar di bawah ini.
Gambar 4.7 Sketsa Singkapan Batuan Stasiun 3A
Singkapan batuan yang ditunjukkan pada gambar 4.7 merupakan singkapan
batuan beku yang mengalami intrusi sehingga terjadi kontak litologi. Adapun strike
sebesar N 210o
E dan dip sebesar 40o
. Tebal singkapan 1,3 M. Arah pengambilan gambar
yang didapatkan yaitu N 50o
E dengan jarak pengamatan dari singkapan sejauh 9,7 M.
Berikut adalah sampel yang didapatkan pada stasiun 3A.
75. 75
Gambar 4.8 Dasit
Gambar 4.8 merupakan sampel yang didapatkan pada stasiun 3A. Sampel ini
hijau gelap untuk warna segarnya untuk warna lapuknya berwarna coklat. Kristalinitas
yaitu hipokristalin, granularitas faneritik, bentuk kristalnya euhedral, relasi equigranular
strukturnya masif. Komposisi mineralnya fenokris kuarsa, massa dasar plagioklas.
Didapatkan hasil bahwa sampel tersebut merupakan jenis batuan beku, bernama dasit.
Gambar 4.9 Sketsa Singkapan Batuan Stasiun 3B
Stasiun 3B berada pada koordinat 4o
24’ 32,99” LS - 119o
39’ 47,03” BT dengan
elevasi 54 M di atas permukaan laut. Singkapan batuan yang ditunjukkan pada gambar
76. 76
4,9 merupakan singkapan batuan serpentinit. Adapun strike sebesar N 29o
E dan dip
sebesar 19o
. Pada stasiun ini. Arah pengambilan gambar yang didapatkan pada stasiun
ini N 343o
E dengan jarak pengambilan gambar 8,17 M.
Gambar 4.10 Serpentinit.
Gambar 4.10 merupakan sampel yang didapatkan pada stasiun 3B. Sampel ini
berwarna abu-abu kehijauan untuk warna segarnya untuk warna lapuknya berwarna
coklat. Kristalinitas yang dimiliki oleh batuan ini yaitu holokristalin dengan granularitas
faneritik. Bentuk kristalnya euhedral dengan relasi equigranular. Strukturnya masif.
Komposisi mineralnya disusun oleh fenokris olivine dengan massa dasar piroksin. Dari
pendeskripsian yang dilakukan, didapatkan hasil bahwa sampel tersebut bernama
serpentinit.
4.4 Stasiun 4
Stasiun 4 merupakan lokasi yang terletak di area sungai. Stasiun ini berada pada
koordinat 4o
27’ 42,86” LS – 119o
43’ 1,36” BT. Stasiun 4 ini merupakan formasi tonasa.
Stasiun ini terdapat sebuah singkapan batu seperti pada gambar di bawah ini.
77. 77
Gambar 4.11 Sketsa Singkapan Batuan Stasiun 4
Singkapan batuan yang ditunjukkan pada gambar 4.11 merupakan singkapan
yang terdiri atas 2 lapisan batuan sedimen yaitu batugamping dan batulempung
karbonatan atau napal. Kedudukan batugamping yang didapatkan yaitu strike sebesar N
326o
E dan dip sebesar 26o
dan betulempung dengan strike sebesar N 266o
E dan dip
sebesar 21o
lebar singkapan yaitu 12,48 M yang arah menjurusnya mengarah ke hulu
sungai. Arah pengambilan gambarnya N 222o
E dengan jarak 11,5 M. Panjang kedudukan
batuan yaitu 18,6 M. Tebal batugamping pertama yaitu yaitu 23 CM, batugamping kedua
yaitu 11 CM, batugamping ketiga yaitu 9 CM, batugamping keempat yaitu 10 CM, dan
batulempung pertama yaitu 95 CM, batulempung kedua 95 CM, batulempung ketiga 125
CM, batulempung keempat 120 CM, serta arah kemiringan batuan yang didapatkan yaitu
N 94o
E M. Morfologi daerah ini di tepi sungai dan ditumbuhi tanaman hijau.
78. 78
Tabel 4.2 Kolom Litologi Stasiun 4
No. Jenis Batuan
Kedudukan
Batuan
Ketebalan Formasi
Simbol
Litologi
Lingkungan
1 Batugamping
N 326o
E /
26o
23 cm Tonasa
Paralis sampai
laut dangkal
2 Batulempung
N 266o
E /
21o
95 cm Tonasa
Paralis sampai
laut dangkal
Gambar 4.12 Batugamping
Gambar 4.12 merupakan sampel pertama yang didapatkan pada stasiun 4.
Sampel ini berwarna abu-abu untuk warna segarnya dan warna lapuknya berwarna
coklat. Teksturnya kristalin dengan struktur oolitik. Komposisi kimianya CaCO3 dengan
fragmen, matriks dan semennya tersusun oleh kalsit. Ukuran butir dari fragmen dan
matriksnya adalah pasir halus. Sortasinya baik dengan kemas tertutup. Didapatkan hasil
bahwa sampel tersebut merupakan jenis batuan sedimen, bernama batugamping.
Gambar 4.13 Batulempung
79. 79
Gambar 4.13 merupakan sampel kedua yang didapatkan pada stasiun 4. Sampel
ini hijau keabuan untuk warna segarnya dan warna lapuknya berwarna coklat.
Teksturnya membulat baik dengan struktur parallel bedding. Komposisi kimia nya CaCO3
dengan fragmen dan matriksnya lempung, dan semennya karbonat. Ukuran butir dari
fragmen dan matriksnya adalah lempung. Sortasinya sangat baik sehingga memiliki
kemas tertutup. Didapatkan hasil bahwa sampel tersebut merupakan jenis batuan
sedimen, bernama batulempung karbonatan.
4.5 Stasiun 5
Stasiun 5 berada pada koordinar 4O
27’ 42,86” LS - 119O
43’ 1,35” BT dengan
elevasi 126 M di atas permukaan laut tepat berada di jalan poros Buludua - Soppeng
Kabupaten Barru. Kami berada di stasiun ini pada pukul 16.10 WITA.
Gambar 4.14 Sketsa Singkapan Batuan Stasiun 5
80. 80
Tabel 4.3 Kolom Litologi Stasiun 5
No. Jenis Batuan
Kedudukan
Batuan
Ketebalan Formasi
Simbol
Litologi
Lingkungan
1 Batugamping
N 325o
E /
35o
72 cm Tonasa
Paralis sampai
laut dangkal
Singkapan batuan yang ditunjukkan pada gambar 4.14 merupakan singkapan
batuan beku. Adapun strike and dip pada stasiun ini adalah N 325o
E / 35o
. Batuan yang
kami temukan pada stasiun ini adalah batugamping. Berikut pendeskripsiannya.
Gambar 4.15 Batugamping
Gambar 4.15 merupakan sampel yang didapatkan pada stasiun 5. Sampel ini
berwarna abu-abu dan warna segarnya dan warna lapuknya coklat, dengan tekstur
kristalin dan struktur oolitik memiliki kompisisi kimia CaCO3 untuk fragmen, matriks dan
semennya terdiri dari kalsit, untuk bentuk butir dan ukuran butir yaitu membundar dan
berukuran pasir halus, dengan sortasi baik dan kemas tertutup. Dari pendeskripsian di
atas, didapatkan hasil bahwa sampel tersebut merupakan jenis batuan sedimen,
bernama batugamping.
81. 81
4.6 Stasiun 6
Stasiun 6 terdapat pada lokasi bekas penambangan pasir kuarsa. Stasiun 6 ini
berada pada koordinat 4o
30’ 10,65” LS - 119o
13,42” BT dengan elevasi 86 M di atas
permukaan laut tepat berada di di desa Padang Lampe kecamatan Tanete Riajang.
Gambar 4.16 Sketsa Singkapan Batuan Stasiun 6
Singkapan batuan yang ditunjukkan pada gambar 4.16 merupakan singkapan
batuan sedimen klastik. Singkapan batuan pada stasiun ini memiliki satuan Formasi
Mallawa. Untuk batupasir kasar ditemukan arah strike sebesar N 54o
E dan dip sebesar
24o
, dan untuk batupasir halus ditemukan arah strike sebesar N 65o
E dan dip sebesar
29o
. Pada stasiun ini juga kami dapatkan kekar dengan arah Strike and Dip N 300o
E /
68o
. Ketebalan kekar yaitu 17,2 CM.
82. 82
Gambar 4.17 Sketsa Kekar Pada Stasiun 6
Ketebalan kekar ini yaitu 19 CM dengan panjang kekar 6,12 M. Pada 1 meter
pertama panjang kekar yaitu 16 CM, pada 2 meter yaitu 18 CM pada 3 meter yaitu 8
CM, pada jarak 4 meter yaitu 6 CM pada jarak 5 m yaitu 11 CM dan pada jarak 6 meter
yaitu 10 CM. Pada stasiun ini kami mengambil dua buah sampel.
Tabel 4.4 Kolom Kekar Stasiun 6
No. Joint Jarak
1 Kekar 1 1,16 Meter
2 Kekar 2 2,18 Meter
3 Kekar 3 3,8 Meter
4 Kekar 4 4,6 Meter
5
6
Kekar 5
Kekar 6
5,11 Meter
6,1 Meter
83. 83
Gambar 4.18 Batupasir Kasar
Gambar 4.18 merupakan sampel yang juga didapatkan pada stasiun 6. Sampel
ini berwarna abu-abu untuk warna segarnya dan warna lapuknya coklat. Strukturnya
rainprint dengan komposisi kimia CaCO3. Komponen fragmennya berupa pasir kuarsa
dengan ukuran butir pasir sedang dan bentuk butir membulat, matriksnya hematite,
siderite dengan ukuran butir pasir halus dan bentuk butir membulat dan semennya kalsit.
Didapatkan hasil bahwa sampel tersebut merupakan jenis batuan sedimen klastik,
bernama batupasir kasar.
Gambar 4.19 Batupasir Halus
84. 84
Gambar 4.19 merupakan sampel yang didapatkan pada stasiun 6. Sampel ini
berwarna abu-abu untuk warna segarnya dan warna lapuknya coklat. Struktur dari
batuan ini adalah paralel bedding dengan komposisi kimia yaitu CaCO3. Batuan ini
memiliki kemas terbuka dengan memiliki sortasi buruk. Komponen fragmennya berupa
pasir kuarsa dengan ukuran butir yaitu pasir sedang dan bentuk butir membulat,
matriksnya yaitu pasir halus dan semennya Silika. Dari pendeskripsian yang dilakukan,
didapatkan hasil bahwa sampel tersebut merupakan jenis batuan sedimen klastik,
bernama batupasir halus.
Tabel 4.5 Kolom Litologi Stasiun 6
No. Jenis Batuan
Kedudukan
Batuan
Ketebalan Formasi
Simbol
Litologi
Lingkungan
1
Batupasir
kasar
N 54o
E /
24o
89 cm Tonasa
Paralis sampai
laut dangkal
2
Batupasir
halus
N 65o
E /
29o
32 cm Tonasa
Paralis sampai
laut dangkal
4.7 Stasiun 7
Stasiun 7 berada pada koordinat 4o
30’ 15” LS dan 119o
42’ 4,77” BT dengan
elevasi 105 M di atas permukaan laut tepat berada di di desa Padang Lampe kecamatan
Tanete Riajang. Morfologi daerah ini dipenuhi oleh tumbuhan hijau dan terdapat bukit
Pada stasiun ini, banyak ditemukan batuan-batuan sedimen khususnya batubara.
Singkapan batuan yang ditunjukkan pada stasiun ini merupakan singkapan batuan
sedimen non-klastik. Pada stasiun ini kami mengambil dua sampel yaitu batubara dan
batugampung Stasiun 7 ditempuh degan berjalan kaki dengan jarak kurang lebih sejauh
600 M dari stasiun 6 dengan waktu keberangkatan dimulai dari pukul 08:45 dan tiba
pada pukul 09:20 WITA. Pada stasiun ini, terdapat sebuah singkapan batu seperti pada
gambar di bawah ini.
85. 85
Gambar 4.20 Sketsa Singkapan Batuan Stasiun 7
Singkapan batuan yang ditunjukkan pada gambar 4.20 merupakan singkapan
batuan sedimen non-klastik. Pada stasiun ini kami mengambil dua sampel yaitu batubara
dan batugamping, pada batubara memilikin arah singkapan batuan pada yaitu strike
sebesar N 255o
E dan dip sebesar 17o
, dan pada batugamping kami mendapatkan arah
singkapan yaitu strike N 355o
E dan dip sebesar 12o
. Morfologi daerah ini dipenuhi oleh
tumbuhan hijau dan terdapat bukit Pada stasiun ini, banyak ditemukan batuan-batuan
sedimen khususnya batubara. Berikut adalah sampel yang didapatkan pada stasiun 7.
Tabel 4.6 Kolom Litologi Stasiun 7
No. Jenis Batuan
Kedudukan
Batuan
Ketebalan Formasi
Simbol
Litologi
Lingkungan
1 Batugamping
N 355o
E /
12o
78 cm Mallawa
Paralis sampai
laut dangkal
2 Batubara
N 255o
E /
17o
25 cm Mallawa
Paralis sampai
laut dangkal
86. 86
Gambar 4.21 Batubara
Gambar 4.21 merupakan sampel yang didapatkan pada stasiun 7. Sampel ini
berwarna hitam untuk warna segarnya dan warna lapuknya coklat. Teksturnya berupa
amorf dan strukturnya fosiliferous. Sortasinya baik dan kemasnya tertutup. Dari
pendeskripsian yang dilakukan, didapatkan hasil bahwa sampel tersebut merupakan
jenis batuan sedimen non-klastik, bernama batubara.
Gambar 4.22 Batugamping
87. 87
Gambar 4.22 merupakan sampel pertama yang didapatkan pada stasiun 7.
Sampel ini berwarna abu-abu warna segarnya dan warna lapuknya berwarna coklat.
Teksturnya kristalin dengan struktur oolitik. Komposisi kimia nya CaCO3 dengan fragmen,
matriks dan semennya tersusun oleh kalsit. Ukuran butir dari fragmen dan matriksnya
adalah pasir halus. Sortasi nya baik sehingga memiliki kemas tertutup. Didapatkan hasil
bahwa sampel tersebut merupakan jenis batuan sedimen, bernama batugamping.
4.8 Stasiun 8
Stasiun 8 berada pada koordinat 4o
30’ 1,27” LS - 119o
41’ 45,65” BT tepat berada
di desa Padang Lampe kecamatan Tanete Riajang. Stasiun 8 ditempuh degan berjalan
kaki dengan jarak kurang lebih sejauh 2 KM dari stasiun 7 dengan waktu keberangkatan
dimulai dari pukul 09:45 dan tiba pada pukul 10:10 WITA.
Gambar 4.23 Sketsa Singkapan Batuan Stasiun 8
88. 88
Singkapan batuan yang ditunjukkan pada gambar 4.23 merupakan singkapan
batuan sedimen non-klastik. Singkapan batuan ini memiliki strike sebesar N 65o
E dan
dip sebesar 4o
. Pada stasiun ini, banyak ditemukan batuan-batuan sedimen khususnya
batubara dan batugamping. Berikut adalah sampel yang didapatkan pada stasiun 8.
Tabel 4.7 Kolom Litologi Stasiun 8
No. Jenis Batuan
Kedudukan
Batuan
Ketebalan Formasi
Simbol
Litologi
Lingkungan
1 Batugamping
N 230o
E /
19o
50 cm Mallawa
Paralis sampai
laut dangkal
2 Batubara
N 205o
E /
22o
130 cm Mallawa
Paralis sampai
laut dangkal
Gambar 4.24 Batubara
Gambar 4.24 merupakan sampel yang didapatkan pada stasiun 7. Sampel ini
berwarna hitam untuk warna segarnya dan warna lapuknya coklat. Teksturnya berupa
amorf dan strukturnya fosiliferous. Sortasinya baik dan kemasnya tertutup. Fragmen dan
matriksnya adalah lempung. Sortasi yang dimiliki sampel batuan ini sangat baik sehingga
memiliki kemas tertutup. Dari pendeskripsian yang dilakukan, didapatkan hasil bahwa
sampel tersebut merupakan jenis batuan sedimen non-klastik, bernama batubara.
89. 89
Gambar 4.25 Batugamping
Gambar 4.25 merupakan sampel kedua yang didapatkan pada stasiun 8. Sampel
ini berwarna abu-abu untuk warna segarnya untuk warna lapuknya berwarna coklat.
Teksturnya kristalin dengan struktur oolitik. Komposisi kimia dari batuan ini yaitu CaCO3
dengan fragmen, matriks dan semennya tersusun oleh kalsit. Ukuran butir dari fragmen
dan matriksnya adalah pasir halus. Sortasi yang dimiliki sampel batuan ini baik sehingga
memiliki kemas tertutup. Dari pendeskripsian yang dilakukan, didapatkan hasil bahwa
sampel tersebut merupakan jenis batuan sedimen, bernama batugamping.
4.9 Stasiun 9
Stasiun 9 berada pada koordinat 4o
30’ 7,35” LS - 119o
43’ 31,75” BT dengan
elevasi 114 m. Stasiun 9 ditempuh dengan mengendarai bus dikarenakan lokasi stasiun
ini berada di pinggir jalan yang berada di pinggiran sungai yang ditempuh sekitar 15
menit dari stasiun 8 dengan waktu keberangkatan dimulai dari pukul 11:15. Adapun
singkapannya.
90. 90
Gambar 4.26 Sketsa Singkapan Batuan Stasiun 9
Singkapan batuan yang ditunjukkan pada gambar 4.26 merupakan singkapan
batuan sedimen non-klastik. Singkapan batuan pada stasiun ini memiliki strike sebesar
N 300o
E dan dip sebesar 10o
. Pada stasiun ini, banyak ditemukan batuan-batuan
sedimen khususnya batulempung dan batugamping.
Tabel 4.8 Kolom Litologi Stasiun 9
No. Jenis Batuan
Kedudukan
Batuan
Ketebalan Formasi
Simbol
Litologi
Lingkungan
1 Batugamping
N 300o
E /
10o
57 cm Tonasa
Paralis sampai
laut dangkal
2 Batulempung
N 295o
E /
13o
20 cm Tonasa
Paralis sampai
laut dangkal
91. 91
Gambar 4.27 Batugamping
Gambar 4.27 merupakan sampel pertama yang didapatkan pada stasiun 9.
Sampel ini berwarna abu-abu untuk warna segarnya untuk warna lapuknya berwarna
coklat. Teksturnya kristalin dengan struktur oolitik. Komposisi kimia dari batuan ini yaitu
CaCO3 dengan fragmen, matriks dan semennya tersusun oleh kalsit. Ukuran butir dari
fragmen dan matriksnya adalah pasir halus. Sortasi yang dimiliki sampel batuan ini baik
sehingga memiliki kemas tertutup. Dari pendeskripsian yang dilakukan, didapatkan hasil
bahwa sampel tersebut merupakan jenis batuan sedimen, bernama batugamping.
Gambar 4.28 Batulempung
92. 92
Gambar 4.28 merupakan sampel kedua yang didapatkan pada stasiun 9. Sampel
ini hijau keabuan untuk warna segarnya untuk warna lapuknya berwarna coklat.
Teksturnya membulat baik dengan struktur parallel bedding. Komposisi kimia dari batuan
ini yaitu CaCO3 dengan fragmen dan matriksnya lempung, dan semennya karbonat.
Ukuran butir dari fragmen dan matriksnya adalah lempung. Didapatkan hasil bahwa
sampel tersebut merupakan jenis batuan sedimen, bernama batulempung karbonatan.
4.10 Stasiun 10
Stasiun 10A berada pada koordinat 4o
29’ 59,76” LS - 119o
43’ 24,80” BT serta
elevasinya sebesar 100 M di atas permukaan laut. Pada stasiun ini, terdapat sebuah
singkapan batu seperti pada gambar di bawah ini.
Gambar 4.29 Sketsa Singkapan Batuan Stasiun 10
93. 93
Singkapan batuan yang ditunjukkan pada gambar 4.29 merupakan singkapan
batuan beku. Nama batuan ini yaitu diorit. Berikut adalah sampel yang didapatkan pada
stasiun 10.
Gambar 4.30 Diorit
Gambar 4.30 merupakan sampel yang didapatkan pada stasiun 10A. Sampel ini
berwarna abu-abu untuk warna segarnya untuk warna lapuknya berwarna coklat.
Kristalitas holokristalin, granularitas faneritik, bentuk kristal euhedral, relasi
eqiugranular, struktur masif, komposisi mineral plagioklas, ortoklas, kuarsa dan piroksin.
Didapatkan hasil bahwa sampel tersebut merupakan jenis batuan beku, bernama diorit.
Gambar 4.31 Aglomerat
94. 94
Pada stasiun 10B terdapat sebuah bongkahan batuan beku vulkanik yang
merupakan akumulasi material yang berasal dar erupsi gunung api (vulkanik). Gambar
4.31 merupakan sampel yang didapatkan pada stasiun 10B. Sampel ini hitam keabu-
abuan untuk warna segarnya untuk warna lapuknya berwarna coklat. Kristalitas
holokristalin, granularitas faneritik, bentuk kristal euhedral, relasi eqiugranular, struktur
masif, komposisi mineral plagioklas, ortoklas, kuarsa, piroksin. Dari hasil pendeskripsian,
didapatkan hasil bahwa sampel tersebut merupakan jenis batuan beku, bernama
aglomerat.
4.11 Stasiun 11
Stasiun 11 berada pada koordinat 4o
30’ 0,13” LS - 119o
43’ 0,91” BT dengan
elevasi 94 M diatas permukaan laut. Pada stasiun ini, terdapat sebuah singkapan batu
seperti pada gambar di bawah ini.
Gambar 4.32 Sketsa Kekar Stasiun 11A
Singkapan batuan yang ditunjukkan pada gambar 4.32 merupakan singkapan batuan
beku. Terdapat kekar pada stasiun ini yakni:
95. 95
Tabel 4.9 Kolom Kekar Stasiun 11
No. Joint Kedudukan Joint Jarak
1 Kekar 1 N 321o
E / 61o
55 cm
2 Kekar 2 N 124o
E / 40o
112 cm
3 Kekar 3 N 92o
E / 61o
140 cm
4 Kekar 4 N 92o
E / 61o
144 cm
5 Kekar 5 N 161o
E / 60o
147 cm
6 Kekar 6 N 170o
E / 45o
180 cm
7 Kekar 7 N 136o
E / 63o
260 cm
8 Kekar 8 N 245o
E / 25o
300 cm
9 Kekar 9 N 145o
E / 46o
320 cm
10
11
12
Kekar 10
Kekar 11
Kekar 12
N 292o
E / 90o
N 300o
E / 85o
N 300o
E / 85o
370 cm
420 cm
440 cm
Stasiun 11B berada pada koordinat 4o
30’ 0,13” LS - 119o
43’ 0,91” BT dengan
elevasi 94 m diatas permukaan laut. Pada stasiun ini, terdapat sebuah cermin sesar dan
terdapat banyak kekar dan patahan seperti yang ditunjukkan pada gambar 4.33
merupakan singkapan batuanbeku. Arah pengambilan gambar yang didapatkan pada
stasiun ini N 336o
E.
Gambar 4.33 Singkapan Batuan Stasiun 11B
96. 96
BAB V
6 KESIMPULAN
Jadi kesimpulan dari laporan fieldtrip Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan kali ini
yaitu:
1. Lokasi penelitian memiliki berbagai jenis batuan. Sampel-sampel batuan yang
didapatkan saat fieldtrip adalah batuan beku yang terdiri atas diorit dan peridotit.
Batuan sedimen yaitu batugamping, batulempung, batupasir dan batubara, serta
batuan metamorfik yaitu sekis mika, serpentinit dan kuarsit.
2. Alat-alat geologi yang digunakan untuk mengambil sampel adalah palu geologi.
Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan palu geologi. Palu batuan
beku berbentuk runcing digunakan untuk memecah batuan keras seperti pada
batuan beku dan metamorfik, sedangkan untuk yang bentuknya berujung datar
umumnya digunakan untuk batuan yang berlapis seperti batuan sedimen.
Kemudian sampel tersebut dimasukkan ke dalam plastik cetik kemudian ditandai
dengan spidol permanen.
3. Batuan memiliki berbagai macam karakteristik, dan memiliki ciri khas masing-
masing, dan yang perlu diketahui bahwa terdapat beberapa sifat-sifat fisik seperti
kilap, warna, kekerasan, cerat, belahan, pecahan, bentuk, berat jenis, sifat dalam,
kemagnetan, kelistrikan dan kandungan mineral.
4. Terdapat beberapa struktur geologi yang di temukan di lokasi fieldtrip yaitu
struktur geologi primer yaitu struktur yang terbentuk pada saat pembentukan
batuan seperti struktur sedimen pada batuan sedimen, struktur aliran pada
batuan beku dan struktur foliasi pada batuan metamorf. Struktur geologi
sekunder yaitu struktur yang terbentuk setelah proses pembentukan batuan
97. 97
terutama akibat adanya tegasan eksternal seperti kekar, sesar, patahan dan
lipatan.
5. Terdapat sumber daya mineral yang di temukan di daerah Kabupaten Barru
seperti batupasir kuarsa, batugamping dan batubara.
6. Scanline merupakan salah satu metode dalam discontinuity survey. Metode ini
dapat digunakan untuk mengetahui orientasi bidang diskontinuitas pada
permukaan yang dianggap mewakili orientasi bidang diskontinuitas batuan
secara keseluruhan. Metode scanline ini kami gunakan pada stasiun sebelas yaitu
mengukur berapa jumlah kekar yang kami dapatkan dalam panjang dua meter.
98. 98
DAFTAR PUSTAKA
Asikin, Sukendar. 1972. Dasar-Dasar Geologi Struktur. Bandung: Departemen Teknik
Geologi ITB
Graha, D.S. 1987.Batuan dan Mineral, Bandung: Penerbit Nova.
Karly, Orlando. 2014. Petrologi Umum. Gowa: Universitas Hasanuddin
Koesoemadinata, R.P., dan Matasak, T.,1981, Stratigraphy and Sedimentation
Ombilin Basin Central Sumatra (West Sumatra Province), Proceedings
Indonesian Petroleum Association 10th Annual Convetion, hal 217 – 249.
Nandi. (2010). Geologi Lingkungan: Batuan, Mineral, dan Batubara. Bandung: UPI
Noor, Djauhari., 2009, Pengantar Geologi, Bogor, Program Studi Teknik Geologi Fakultas
Teknik Universitas Pakuan.
Noor, D. (2012). Pengantar Geologi Edisi Kedua . Bogor : Erlangga.
Pettijohn, F.J., 1975, Sedimentary Rocks, Third Edition, Franchis Pettijohn, Printed in
USA, 7,18 p.
Ragan, Donal M.,1973. Structural Geology An Introduction to Geometrical
Techniques. Second Edition. John Willey & Sons. Inc, New York.
Raymond, L.A., 2002, Petrology: the study of igneous, sedimentary, and metamorphic
rocks, Second Edition, Waveland Press, Inc., USA, 720 p.
Sapiie, benyamin dkk.geologi fisik.bandung : penerbit ITB
Sukamto, R., dan Supriatna, S., 1982, “Geologi Lembar Pangkajene dan Watampone
Bagian Barat Sulawesi”. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Direktorat
Jenderal Pertambangan Umum Depatemen Pertambangan dan Energi, Bandung,
Indonesia.
Susanto. A. 2008. Modul Praktikum Petrologi. Bandung: Laboratorium Petrologi dan
Endapan Mineral ITB.
Williams, H., F. J. Turner and M. Gilbert, 1954, Petrography, W. H. Freeman and Co.,
San Fransisco, 406 p.
Winter, J., 2001. An Introduction to Igneous and Metamorphic Petrology