Tugas geokimia membahas kontroversi hubungan stratigrafi antara lava bantal Watuadeg dengan Formasi Semilir berdasarkan hasil penanggalan radiometri. Penelitian sebelumnya mengusulkan ketidakselarasan karena perbedaan umur yang besar, namun penelitian selanjutnya menunjukkan kesamaan batuan, umur, dan mineral ubahan yang mengindikasikan pembentukan bersamaan secara selaras.
Contoh PPT Pelaksanaan Pekerjaan Gedung Konstruksi
Ā
Tugas geokimia
1. TUGAS GEOKIMIA
Oleh :
Emanuel Grace Manek
18/434728/PTK/12291
MAGISTER TEKNIK GEOLOGI
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS GAJAH MADA YOGYAKARTA
2019
2. Soal
Bronto dkk (2008) menyitir ke Ngkoimani (2005) bahwa umur lava bantal di Watuadeg
adalah 56Ā±3,8 Ma. Ngkoimani (2005) menggunakan metode penanggalan K-Ar dalam
penelitiannya.
Tugas anda adalah membuat penilaian terhadap hasil umur tersebut, dengan
mempertimbangkan persyaratan penanggalan radiometri menggunakan metode K-Ar, geologi
Pegunungan Selatan, dll.
Jawaban :
Secara umum tektonika di selatan Pulau Jawa dipengaruhi oleh zona subduksi dari
lempeng Samudra Hindia-Australia di bawah kerak benua Eropa-Asia yang terjadi sejak
pertengahan Zaman Tersier. Akibat pergerakan subduksi tersebut menghasilkan gejala
magmatisme-volkanisme. Hal ini dibuktikan dengan adanya batuan gunung api berumur
Tersier (gunung api purba) yang diperkuat dengan munculnya lava dan breksi gunung api di
beberapa tempat di Yogyakarta. Gunung api purba tersebut tercermin sebagai bukit-bukit
terisolir, yang membentang dari Berbah-Imogiri. Lokasi tersebut merupakan perbatasan
antara rangkaian Pegunungan Selatan Yogyakarta bagian barat dengan Dataran Yogyakarta.
Periode vulkanisme pada Pegunungan Selatan dilanjutkan secara selaras oleh Formasi
Semilir. Formasi Ini tersusun oleh hasil dari proklastik jatuhan, surge, dan aliran dengan
struktur dune dan antidune, lapisan kristal, laminasi butiran dengan sortasi baik, lapisan
diffuse, breksi (dengan blok pumis yang tebal), tutupan material ukuran debu, dan cukup
fragmen arang (Smyth dkk., 2011). Secara setempat dijumpai Formasi Semilir hasil dari
endapan pada lingkungan lereng marine. Hal ini didasarkan atas struktur scouring, flame,
endapan traksi dan suspensi, dan lipatan slump. Umur formasi ini adalah Miosen Awal
(Smyth dkk., 2011; Surono, 2008b). Lingkungan pengendapan formasi ini pada bagian bawah
berada di laut yang mendangkal ke atas menjadi darat pada Formasi Semilir Bagian Atas.
Perubahan lingkungan ini tidak dijelaskan pada titik mana oleh peneliti. Kemudian Formasi
Nglanggran terendapkan menjari dengan Formasi Semilir dan beberapa tempat selaras.
Formasi Nglanggran ini memiliki ketebalan 200 ā 500 m berupa breksi andesit yang masif
dan resisten, batupasir kaya akan kristal, dan sedikit lava (Smyth dkk., 2011). Didalam
(Surono, 2009) menjelaskan formasi ini tersusun atas breksi gunung api, tuf, aglomerat
berlapis buruk, lava bantal andesit-basal, breksi autoklastik dan hyaloklastik. Lalu terjadi
penurunan aktivitas vulkanik, sehingga berkembang pembentukan karbonat. Periode ini
diawali oleh pengendapan batuan vulkaniklastik yang berlanjut menjadi batuan karbonat dari
3. Formasi Sambipitu, kemudian ditindih secara selaras oleh Formasi Oyo, laluWonosari, dan
paling atas adalah Formasi Kepek
Berbeda dengan penelitian oleh (Bronto dkk, 2008), mereka menginterpretasi bahwa
lava bantal Watuadeg ditumpangi secara tidak selaras oleh Formasi Semilir berdasarkan
perbedaan umur yang sangat mencolok antara umur lava bantal dan Formasi semilir, yaitu 56
Ā± 3,8 juta tahun lalu (Ngkoimani dkk., 2006) dan Miosen Awal ā Miosen Tengah (Surono
dkk., 1992 dan Rahardjo, 2007), secara berurutan. Bukti lain yang digunakan oleh Bronto
dkk. (2008) adalah keberadaan fragmen batuan pecahan lava bantal di dalam Formasi Semilir
yang diinterpretasikan sebagai hasil dari erosi karena ada selang pengendapan. Kesimpulan
penelitian (Bronto dkk, 2008) menyatakan bahwa kedudukan stratigrafi lava bantal itu tidak
selaras di bawah Formasi Semilir karena perbedaan ciri litologi, waktu pemben-tukan, dan di
antaranya terjadi ketidakselarasan, maka lava bantal Watuadeg tidak dimasukkan ke dalam
Formasi Semilir.Lava bantal Watuadeg ini mungkin dapat dikorelasikan dengan lava bantal
lainnya di Pegunungan Selatan.
Kehadiran lava bantal didaerah tersebut biasa digunakan untuk menandai vulkanisme
bawah air oleh karena itu ia biasa dijumpai tersingkap bersama dengan batuan sedimen. Akan
tetapi, hubungan stratigrafi antaralava bantal dan batuan sedimen, seperti misalnya
vulkaniklastik kaya pumis, yang hadir bersamamungkin membingungkan karena perbedaan
mekanisme pembentukannya. Ada beberapa singkapan lava bantal di Pegunungan Selatan
dan salah satunya terdapat di Watuadeg, Kecamatan Berbah Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
Lava bantal di lokasi ini terdapat bersama dengan batuan vulkaniklastik bagian dari Formasi
Semilir, dimana hubungan stratigrafi yang telah diusulkan oleh peneliti terdahulu masih
kontroversi (harijoko dkk, 2014). Dimana G. Watuadeg berlokasi di dusun Sumber kidul,
Desa Kalitirto, Kecamatan Berbah, di simpulkan memiliki Aliran lava basal piroksin
berstruktur bantal, struktur aliran berarah U70ĀŗT di bagian utara sampai dengan U150ĀŗT di
bagian selatan Kali Opak, 200 m di sebelah baratnya terdapat bukit kecil juga tersusun oleh
basal piroksen berumur 56,3Ā± 3,8 Ma (Bronto dkk, 2008). Jika lava bantal panas dan sedimen
hadir bersamaan maka akan terjadi ubahan hidrotermal. Untuk mencapai tujuan tersebut
maka (harijoko dkk, 2014) melakukan pengamatan geologi lapangan dan beberapa analisis
laboratorium seperti pengamatan sayatan tipis, analisis difaksi sinar-X (XRD) dan analisis
paleontologi dengan sampel batuan sedimen yang terjebak di antara bongkah lava bantal dan
batuan sedimen yang menumpangi lava bantal. Pengamatan sayatan tipis dan analisis XRD
menunjukkan bahwa sedimen antar bongkah lava bantal adalah sama dengan batuan
vulkaniklastik yang menumpangi lava bantal. Mineral ubahan seperti smektit, kristobalit dan
4. heulandit (zeolit) hadir hanya di batuan sedimen yang terjebak di antara bongkah lava bantal
dan diinterpretasi sebagai hasil dari ubahan hidrotermal setempat ketika lava panas
bersinggungan dengan air laut. Analisis paleontologi terhadap batuan sedimen di antara
bongkah lava bantal menemukan fosil foraminifera (Goboquadrina altispira and Globorotalia
peripheroronda) yang menandakan umur Miosen Tengah sedangkan fosil foraminifera
bentonik (Amphistegina lessonii) menandakan lingkungan pengendapan neritik. Kesamaan
batuan, umur dan kehadiran mineral ubahan hidrotermal menunjukkan bahwa lava bantal di
Watuadeg dan vulkaniklastik terbentuk bersamaan, oleh karena itu (harijoko dkk, 2014)
mengusulkan bahwa hubungan stratigrafinya adalah selaras serta lingkungan erupsi lava
bantal diperkirakan adalah neritik dalam ā tengah..
Data yang digunakan (Bronto dkk, 2008) sebagai dasar interpretasi kurang handal,
dimana umur lava bantal yang dilaporkan (Ngkoimani dkk, 2006) 56 Ā± 3,8 juta tahun lalu
bertentangan dengan hasil penelitian sebelumnya seperti: Hall (1995) menjelaskan
pembentukan palung Sunda-Jawa dimulai pada 40 jtl. Lebih lanjut lagi, berdasarkan hasil
penanggalan mutlak batuan menggunakan metode jejak belah zirkon yang terkandung dalam
batuan vulkaniklastik pertama yang muncul pada Pegunungan Selatan, (Smyth dkk, 2011)
mengungkapkan bahwa inisiasi busur Pegunungan Selatan dan penunjaman di bawah Jawa
dimulai pada Kala Eosen Tengah (42 jtl). Selain itu pembentukan breksi dengan fragmen lava
bantal bisa diinterpretasikan dengan mekanisme selain proses erosi, sehingga argumen
masuknya pecahan lava bantal ke dalam breksi sebagai bukti ketidakselarasan menjadi lemah.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh (Ngkoimani, 2005) untuk mengetahui umur
absolut menggunakan metode K/Ar lebih tepat dalam menentukan umur batuan dibandingkan
dengan melakukan penelitian statigrafi lapangan yang menekankan hubungan antar lapisan
sedangkan Batu-batuan gunung berapi yang bersifat seperti kaca sering kali dipilih untuk
tujuan ini oleh karena batu-batuan itu dipandang tidak dapat ditembus oleh gas dan
mempunyai daya tahan yang mantap terhadap pengaruh cuaca. Asumsi pertama ialah bahwa
apabila batu-batuan gunung berapi itu telah menjadi keras dan tidak lagi lumer, maka ia
hanya memuat bahan radioktif K-40 dan tidak mengandung gas Ar-40, oleh karena gas
Argon-40 pasti telah lolos pada waktu terjadi pembekuan batu itu. Lalu selang waktu tertentu,
K-40 akan mengalami kemerosotan dan membentuk Ar-40 yang tidak lagi dapat lepas. Maka,
dengan mengukur jumlah K-40 dan Ar-40, terbukalah kemungkinan untuk memperkirakan
berapa lama waktunya sejak terjadi pembekuan batu-batuan itu. Tetapi, tetap ada masalah
kontaminasi pada sampel.
5. Kesalahan maupun kekeliruan yang mungkin dapat terjadi dalam metodeiniantara lain
sebagai berikut : 1) Dapat diketahui jumlah kelimpahan K-40 di dalam lapisan kulit Bumi
hanyalah 4 bagian setiap jutanya. Bahan radioktifnya akan sulit diukur karena bahan tersebut
sudah mengalami kemerosotan pada jumlah kadar yang sangat rendah. 2) Setiap ada lepasnya
K-40 dari bahan asli atau ke dalam bahan asli dari batu-batuan sekitarnya akan sangat
mempengaruhi ketepatan penghitungan perkiraan umur. 3) Dari setiap sembilan atom dari K-
40 yang mengalami kemerosotan hanya ada satu atom Ar-40 yang terbentuk, maka jumlah
argon yang harus dijajaki secara kimiawi akan sangat kecil jumlahnya. 4) Ar-40 lazimnya
terdapat secara alamiah di udara di mana jumlahnya 1% (33 kali lebih tinggi dari jumlah
konsentrasi karbon dioksida yang terdapat di udara). 5) Apabila sejumlah kecil argon dari
udara bocor masuk ke dalam batu-batuan maka umur batu-batuan itu akan menghasilkan
perkiraan umur terlalu tinggi.
Pustaka Acuan
Bronto, S., Partama, Hartono, dan Sayudi. 1994. Penyelidikan Awal Lava Bantal Watuadeg,
Bayat, dan Karangsambung, Jawa Tengah. Proceedings Geologi dan Geotektonik Pulau
Jawa. Hal 143-150.
Bronto, S., S. Mulyanigsih, G. Hartono, dan B. Hastuti. 2008. Gunung api purba Watuadeg:
Sumber erupsi dan posisi stratigrafi. Jurnal Geologi Indonesia, 3 (3) September 2008.
Hal: 117-128
Harijoko, dkk. 2014. Re-Interpretasi Hubungan Lava Bantal WATUADEG dengan Batuan
Vulkaniklastik di Desa Watuadeg, Berbah, Sleman, D. I. Yogyakarta. Jurusan Teknik
Geologi, Fakultas Teknik, UGM, Jalan Grafika No. 2 Kampus UGM, Indonesia.
Ngkoimani, La Ode, Satria Bijaksana, Challid I. A., Paleo-magnetic and Geochronological
Constraints On The Cretaceous-Miocene Tectonic Evolution of Java. Proceedings,
Jakarta 2006 Geosciences Conference and Exhibition.
Smyth, H, R. Hall, J. Hamilton, Pete Kinny, 2011. A-Toba scale eruption in the Early
Miocene: The Semilir eruption, East Java, Indonesia. Elsevier B. V.
Surono. 2009. Litostratigrafi Pegunungan Selatan Bagian Timur Daerah Istimewa
Yogyakarta dan Jawa Tengah, J. S. D. Geologi Vol. 19 (3) Juni 2009. hal 1-13
Surono. 2008a. Litostratigrafi dan sedimentasi Formasi Kebo dan Formasi Butak di
Pegunungan Baturagung, Jawa Tengah Bagian Selatan, Jurnal Geologi Indonesia Vol. 3
(4) Desember 2008, hal 15-25.
Surono. 2008b. Sedimentasi Formasi Semilir di Desa Sendang, Wuryantoro, Wonogiri, Jawa
Tengah. J.S.D. Geol. Vol 18 No. 1 Februari 2008, hal 29-41.