hakikat Hak penarikan kembali/recall oleh partai politik terhadap keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat adalah agar anggota partai politik yang duduk di kursi parlemen tetap di awasi oleh partai politik sebagai organisasi politik yang mengusung dalam pentas demokrasi agar tunduk dan patuh terhadap kebijakan partai sekalipun bertentangan dengan semangat perjuangan wakil rakyat
Hak penarikan kembali/Recall Partai Politik tidak sesuai dengan prinsip-prinsip negara demokrasi
Jika hak penarikan kembali dipertahankan di tangan partai politik, maka konsekuensi yuridisnya dibatasi hak politik dan kewajiban sebagai anggota DPR
\\
1. PROMOSI DOKTOR
HAKIKAT HAK PENARIKAN KEMBALI PARTAI POLITIK TERHADAP KEANGGOTAAN DPR DALAM
SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA
MUHAMAD ALJEBRA ALIKSAN RAUF
0017. DIH 017. 2015
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2018
2. Prof. Dr. H. La Ode Husen, SH., MH (Promotor)
Dr. Ilham Abbas, SH., MH (Ko-Promotor)
Dr. Nurul Qamar, SH., MH (Ko-Promotor)
Tim Penilai
Prof. Dr. H. Syahruddin Nawi, SH., MH
Prof. Dr. H. Sufirman Rahman, SH., MH
Prof. Dr. H. Said Sampara, SH., MH
Dr. H. Hamza Baharuddin, SH., MH
3. A. Latar Belakang Masalah
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
NRI 1945) Pasal 1 ayat (2) mengatakan bahwa “kedaulatan berada
ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar”.
Dalam Kedaulatan itu sendiri diartikan oleh Jean Bodin sebagai bapak
teori kedaulatan. Jean bodin dalam Hendra Nurtjahjo (2005;30)
mengartikan kedaulatan sebagai “ wewenang tertinggi yang tidak dapat
dibatasi”. Kedaulatan sendiri berarti kekuasaan tertinggi, dalam suatu
negara rakyatlah yang memegang kekuasaan tertinggi. Dengan
menyandang prinsip kedaulatan rakyat inilah yang mengantarkan
Indonesia untuk menganut sistem demokrasi sebagai metode awal
penyelenggaraan negara.
BAB I
PENDAHULUAN
4. dalam Negara demokrasi moderen yang hanya dapat dilakukan melalui sistem
demokrasi perwakilan, membutuhkan adanya lembaga Negara yang kita kenal
sebagai Representation people yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai wakil
rakyat yang bertindak untuk dan atas nama rakyat yang memilihnya. Rakyat yang
memilih berarti rakyat harus terlibat langsung dalam dalam merencanakan,
mengatur,
DPR sebagai bagian dari lembaga perwakilan rakyat yang hadir dalam sistim ketatanegaraan
Indonesia merupakan perwujudan dari pelaksanaan amanat UUD NRI 1945. Keberadaan
lembaga perwakilan rakyat dalam tema sentral yaitu wakil yang dapat bertindak mewakili
aspirasi dari orang-orang yang diwakilinya. Prinsip kedaulatan rakyat mengharuskan adanya
lembaga perwakilan rakyat yang pengisiannya berdasarkan pemilihan umum. Pemilihan
umum merupakan sarana untuk mendudukan para wakil rakyat yang akan mewakili
kepentingan mereka. Dengan adanya pemilihan umum itulah, rakyat mempunyai hak untuk
memilih wakilnya berdasarkan aturan hukum yang mendasarinya.
5. untuk dapat diangkat menjadi anggota DPR, seseorang harus dipilih
melalui suatu pemilihan umum yang dilaksanakan secara langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur dan adil yang dilaksanakan dalam kurun waktu lima
tahun sekali sebagaimana ketentuan Pasal 19 ayat (1) junto Pasal 22E ayat
(1) dan (2) UUD 1945.
Dalam praktek untuk memilih anggota DPR, partai politik diletakkan
sebagai peserta dalam suatu pemilihan umum yang memilih anggota DPR.
Proposisi ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945
menyebutkan bahwa “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota
Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
adalah partai politik”. Pasal tersebut menunjukkan bahwa penempatan
seorang anggota DPR adalah merupakan pemberian mandat dari sebuah
partai politik.
6. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, khususnya pada pasal
22B menyatakan, “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari
jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang”,
inilah yang menjadi dasar dalam pengaturan tentang recall. Di dalam undang-
undang organiknya tercantum pada ketentuan Pasal 239 Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah DPRD).
pada ayat (2) terdapat 3 poin tentang pemberhentian anggota DPR yang
terkesan aneh adalah pada huruf d, g dan huruf h yang menyatakan anggota
DPR diberhentikan antar waktu karena diusulkan oleh partai politiknya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, diberhentikan sebagai anggota partai
politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undang, dan menjadi
anggota partai politiklainnya.
7. B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut:
1 Apakah hak recall terhadap anggota DPR oleh partai politik sesuai
dengan prinsip-prinsip negara demokrasi yang berdasarkan hukum?
2 Bagaimanakah konsekuensi yuridis hak recall apabila tetap
dipertahankan berada ditangan kekuasaan partai politik?
3 Bagaimana mekanisme recall yang tepat dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia sehingga tidak mencederai hak hak
konstituen?
8. BA B I I
T I N JAUA N P U S TA K A
A. Landasa Teori
1. Teori Konstitusi
2. Teori Kedaulatan
3. Teori Negara Hukum
4. Teori Demokrasi
5. Teori Perwakilan
6. Teori Hak
9. BAB IV
A. HAKIKAT HAK RECAL PARPOL
Recall telah hadir dan dikenal secara formal di Indonesia sejak Orde Baru
berkuasa di pemerintahan, yakni tahun 1966 melalui UU No. 10 Tahun 1966
tentang Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong Menjelang Pemilihan Umum
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 telah mengalami perubahan tiga
kali dan yang terakhir dengan UU No. 2 Tahun 1985. Di dalam Pasal 43 ayat (1)
UU No. 2 Tahun 1985 ditentukan, “Hak mengganti wakil organisasi peserta
pemilu atau golongan karya ABRI ada pada organisasi peserta pemilu yang
bersangkutan atau pada Panglima Angkatan Bersenjata, dan pelaksanaannya
terlebih dahulu harus dimusyawarahkan dengan Pimpinan DPR”.
10. Setelah Orde Baru tumbang digantikan Orde Reformasi, mekanisme recall oleh
partai politik yang selama Orde Baru efektif digunakan oleh partai politik untuk
menyingkirkan “lawan politik” di tubuh partainya, tidak lagi diatur dalam UU No. 4
Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
Akan tetapi pengaturan recall kembali muncul dalam UU No. 22 Tahun 2003
tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
Bahwa hakikat Hak penarikan kembali/recall oleh partai politik terhadap
keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat adalah agar anggota partai politik yang
duduk di kursi parlemen tetap di awasi oleh partai politik sebagai organisasi politik
yang mengusung dalam pentas demokrasi agar tunduk dan patuh terhadap
kebijakan partai sekalipun bertentangan dengan semangat perjuangan wakil rakyat
11. Dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD,
dan DPRD yang menggantikan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, tidak banyak diubah mengenai
ketentuan hak recall di dalamnya. Dalam Pasal 239 ayat (1) dinyatakan bahwa
Anggota DPR berhenti antarwaktu karena:
a. Meninggal dunia;
b. Mengundurkan diri; atau
c. Diberhentikan
12. Dalam hal ini, anggota DPR yang di-recall memang harus berdasarkan alasan-alasan yang jelas atau yang
sudah diatur berdasarkan ketentuan dalam undang-undang sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal
239 ayat (2) UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD
a. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota
DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun;
b. Melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR;
c. Dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau
lebih;
d. Diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD;
f. Melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini;
g. Diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; atau
h. Menjadi anggota partai politik lain
13. Undang-Undang tentang Partai Politik tepatnya pada ketentuan Pasal 16 ayat (1)
huruf d, ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang
menyatakan bahwa:
(1) Anggota Partai Politik diberhentikan keanggotaannya dari Partai Politik apabila:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri secara tertulis;
c. menjadi anggota Partai Politik lain; atau
d. melanggar AD dan ART.
(2) Tata cara pemberhentian keanggotaan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam peraturan Partai Politik.
(3) Dalam hal anggota Partai Politik yang diberhentikan adalah anggota lembaga
perwakilan rakyat, pemberhentian dari keanggotaan Partai Politik diikuti dengan
pemberhentian dari keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan
14. Pasal 240 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD menegaskan:
(1) Pemberhentian anggota DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239 ayat (1)
huruf a dan huruf b serta pada ayat (2) huruf c, huruf d, huruf g, dan huruf h
diusulkan oleh pimpinan partai politik kepada pimpinan DPR dengan tembusan
kepada Presiden.
(2) Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak diterimanya usulan pemberhentian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPR wajib menyampaikan usul pemberhentian
anggota DPR kepada Presiden untuk memperoleh peresmian pemberhentian.
(3) Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling
lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya usul pemberhentian anggota DPRdari
pimpinan DPR
15. B. Hak Recall Terhadap Anggota DPR Oleh Partai Politik Berkenaan Dengan Prinsip-Prinsip Negara
Demokrasi
Indonesia merupakan negara yang berkedaulatan rakyat sesuai Pasal 1 ayat (2) amandemen ketiga
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) bahwa kedaulatan berada
ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar. Kedaulatan sendiri berarti kekuasaan
tertinggi dalam suatu negara dan itu berarti rakyatlah yang memegang kekuasaan tertinggi di Indonesia.
Dengan menyandang prinsip kedaulatan rakyat inilah mengantarkan Indonesia untuk menganut sistem
demokrasi sebagai metode awal penyelenggaraan negara. Dalam sistem demokrasi haruslah dijamin bahwa
rakyat terlibat penuh dalam merencanakan, mengatur, melaksanakan, dan melakukan pengawasan serta menilai
pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan. Konstitusi menempatkan rakyat disatu pihak sebagai pemilik kedaulatan
tertinggi, dan lembaga negara sesuai dengan fungsinya masing-masing dipihak yang lain sebagai pelaksana
kedaulatan tersebut.
Prinsip-prinsip pemerintahan demokratik tersebut harus dijalankan oleh setiap pemerintah yang
berkuasa. Begitu juga halnya dengan pemerintah Indonesia, karena UUD 1945 juga menganut paham atau
ajaran demokrasi. Hal ini dapat dilihat pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu pada kalimat “Negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat”. Selanjutnya pada sila keempat Pancasila yang juga terdapat
pada Pembukaan UUD 1945 tertulis “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan”.
16. Ada beberapa norma dasar yang secara tersirat maupun tersurat terkandung dalam
demokrasi ini. Pertama, prinsip “musyawarah untuk mencapai kata mufakat”
merupakan landasan unik dan spesifik yang terdapat dalam demokrasi Indonesia.
Kedua, prinsip “musyawarah/mufakat” itu mencerminkan landasan ideal yang
bersumber dari semangat gotong royong dan kekeluargaan yang dianggap sebagai
cermin sejati dari budaya politik Indonesia. Ketiga, dengan ciri “gotong royong dan
kekeluargaan” ini, Demokrasi Pancasila menolak pemikiran yang dikembangkan
dalam demokrasi liberal Barat yang menempatkan kepentingan individual sebagai
sentral isu. Keempat, penolakan yang tegas terhadap format yang menempatkan
oposisi dan konflik sebagai bagian dari persaingan politik. Begitu juga tata cara
Demokrasi Pancasila ketika harus mengambil keputusan tersebut bukan pilihan
secara langsung tetapi melalui perwakilan
17. Setelah adanya perubahan UUD 1945 konsep kedaulatan rakyat telah mengalami
perubahan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945
menegaskan bahwa: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar.”
Menurut aturan UUD 1945, kedaulatan yaitu kekuasaan tertinggi dan lazimnya
disebut “kekuasaan negara” berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
UUD 1945. Secara konstitusional, jelas sekali disebutkan bahwa negara Indonesia
menganut paham kedaulatan rakyat (democratie). Pemilik kekuasaan tertinggi yang
sesungguhnya adalah rakyat, dimana dalam pelaksanaanya disalurkan dan
diselenggarakan menurut prosedur konstitusional yang ditetapkan dalam hukum
dan konstitusi (constitutional democracy Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
18. Prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana ditandai oleh hadirnya pemilihan yang jujur untuk
menentukan wakil-wakil rakyat melalui partai politik. Prinsip ‘mayoritas melalui pemilihan
umum’ secara ideal memang dapat memberikan jaminan terhadap dihormatinya prinsip ‘rakyat
berdaulat’. Dengan demikian makna kedaulatan dibangun untuk menandakan keberadaan
orang dalam komunitas politik tertentu.
Demokrasi yang mengisyaratkan adanya pelaksanaan hak-hak dasar, seperti hak menyatakan
pendapat, baik lisan maupun tulisan, berkumpul dan berserikat, sudah barang tentu
memerlukan adanya aturan main yang jelas dan dipatuhi secara bersama. Tanpa adanya sebuah
aturan main yang demikian, maka proses pelaksanaan hak-hak tersebut akan mengalami
berbagai hambatan karena adanya perbedaan-perbedaan dalam akses, kemampuan, status,
gender, kelas sosial, dan sebagainya. Dengan menggunakan aturan main yang tidak bias baik
terhadap individu maupun kelompok tertentu, maka akan dapat dicapai semacam kondisi
kesetaraan, yakni kesetaraan di muka umum sehingga masing-masing pihak dapat berpartisipasi
secara penuh, terbuka dan adil. Guna menjamin tercapainya partisipasi tersebut tentunya harus
dituangkan dalam sebuah ketentuan hukum yang mendasar
19. Prinsip Kebebasan
Prinsip kebebasan dalam UUD 1945 telah tercermin dalam ketentuan Pasal 28,
Pasal 28E, Pasal 28G ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2). Pasal 28 UUD 1945
menyatakan bahwan ”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-
undang”. Jika dilihat dari tugas dan kewajiban dari anggota DPR sebagai wakil
rakyat yang duduk di parlemen termasuk sebagaimana yang telah diatur dalam
undang-undang, maka dengan adanya hak recall oleh partai politik dapat
membatasi apa yang ingin diwujudkan dari ketentuan Pasal 28 yang memberikan
hak masing-masing individu untuk mengeluarkan pikiran baik secara tertulis
maupun secara lisan
20. Prinsip Persamaan atau Kesetaraan
Prinsip Persamaan atau Kesetaraan telah tercermin dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1), Pasal
28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1) telah
menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlidnungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Dalam hal ini, anggota DPR
yang di-recall memang harus berdasarkan alasan-alasan yang jelas atau yang sudah diatur
berdasarkan ketentuan dalam undang-undang sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 239
ayat (2) UU Nomor 17 tahun 2014 .
Jika alasan recalling disebabkan oleh alasan yang tercantum dalam Pasal 239 ayat (2) UU Nomor
17 tahun 2014 maka akan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Mengapa dapat disebut
demikian? Dalam hal ini, anggota DPR sudah memiliki kedudukan sebagai pejabat negara
bukan sebagai petugas parpol lagi, maka dengan adanya alasan tersebut maka hak recall tidak
sesuai dengan harapan yang ingin diwujudkan dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
21. Prinsip Suara Mayoritas
Dalam hal melibatkan konstituen mengenai usulan hak recall oleh partai
politik juga belum diakomodir dalam UU No. 27 Tahun 2009, UU No. 17
Tahun 2014 maupun undang- undang tentang partai politik. Padahal sistem
pemilu yang digunakan dalam memilih anggota legislatif dalam hal ini anggota
DPR salah satunya, yaitu menggunakan sistem proporsional terbuka
berdasarkan suara terbanyak. Sehingga konstituen juga berhak mendapatkan
kesempatan untuk mengusulkan adanya recall terhadap anggota DPR yang
menurutnya bermasalah berdasarkan alasan yang telah diatur dalam ketentuan
yang ada dalam undang-undang mengenai pemberhentian anggota DPR.
22. Prinsip Pertanggung jawaban
alasan pemberhentian anggota DPR tidak hanya karena pelanggaran hukum namun
juga alasan kinerja yang tidak sesuai dengan arah kebijakan partai atau kinerja buruk
dapat diusulkan recall oleh partai politik. Hal ini dapat dikatakan bahwa mekanisme
hak recall tidak sesuai dengan prinsip pertanggungjawaban. Padahal tugas sebagai
pejabat publik dalam hal ini sebagai anggota DPR yaitu bertanggungjawab atas tugas
dan kewajibannya kepada rakyat. Maka bukan pertanggungjawaban kepada partai
politik lagi, tetapi pertanggungjawaban kepada rakyat. Padahal berdasarkan dengan
teori kedaulatan rakyat bahwa kedaulatan rakyat dalam suatu sistem demokrasi
tercermin juga dari ungkapan bahwa demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan
dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (government of the people, by the people, for the
people). Maka anggota DPR yang terpilih saat ini merupakan hasil dari legitimasi
rakyat melalui pemilihan umum, maka pertanggungjawabannya pun secara otomatis
kepada masyarakat yang telah memberikan legitimasi
23. C. Konsekuensi Yuridis Hak Recall Tetap Berada Pada Partai Politik
Mekanisme recall sebagai sebagai perwujudan kekuasaan partai politik.
Klausul Penggantian Antar Waktu seringkali dimanfaatkan oleh partaipartai
politik untuk “menghukum” anggotanya yang dianggap menyimpang dari garis
kebijakan partai, tanpa adanya dasar pelanggaran yang jelas. Padahal soal
pemberhentian anggota DPR tidak dapat dilakukan tanpa kriteria dan prosedur
yang jelas mengingat asumsi bahwa ia dipilih secara ketat dalam pemilihan
umum dan memiliki pertanggungjawaban politik kepada kelompok konstituen
tertentu. Disamping itu, lembaga recall yang dimiliki oleh setiap partai politik
sebagai senjata untuk menarik anggota-anggotanya dari kursi DPR dengan
pertimbangan bersifat sepihak, harus dihapus.
24. hak recall apabila tetap dipertahankan berada ditangan kekuasaan partai politik,
maka hak atas partisipasi politik anggota DPR menyikapi dan menyalurkan
serta menindaklanjuti aspirasi rakyat yang diwakilinya untuk menyampaikan
usul dan pendapat secara leluasa tidak ada jaminan kemandirian sesuai dengan
panggilan hati nurani serta kredibilitasnya, karena dapat diarahkan oleh siapa
pun di dalam proses pengambilan keputusan.
25. KESIMPULAN
hakikat Hak penarikan kembali/recall oleh partai politik terhadap keanggotaan
Dewan Perwakilan Rakyat adalah agar anggota partai politik yang duduk di kursi
parlemen tetap di awasi oleh partai politik sebagai organisasi politik yang
mengusung dalam pentas demokrasi agar tunduk dan patuh terhadap kebijakan
partai sekalipun bertentangan dengan semangat perjuangan wakil rakyat
Hak penarikan kembali/Recall Partai Politik tidak sesuai dengan prinsip-prinsip
negara demokrasi
Jika hak penarikan kembali dipertahankan di tangan partai politik, maka
konsekuensi yuridisnya dibatasi hak politik dan kewajiban sebagai anggota DPR