pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
MK NO. 102 INTERPRETASI
1. 1
1.Undang-undang No. 42 Tahun 2008
2.Undang-undang No. 42 Tahun 2008
3.Putusan MK No.102/PUU-VII/2009
Nama : Yuni Arifiani
Nim : 11010113120035
Kelas : B
Tanda Tangan :
1. Penafsiran yang digunakan oleh MK dalam Putusan MK No. 102/PUU-VII/2009
Awal putusan MK No.102/PUU-VII/2009 adalah adanya pengajuan judial review
kepada MK yang dilakukan oleh pemohon atas nama (1) Refly Harun dan (2) Maheswara
Prabandono. Mereka mengajukan judicial review terhadap Pasal 28 Undang-undang No 42
Tahun 2008 yang berbunyi “ Untuk dapat menggunakan hak memilih, Warga Negara
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 harus terdaftar dalam daftar pemilih” 1
dan Pasal 111 ayat (1) UU No 42 Tahun 2008 yang berbunyi 2 “ pemilih yang berhak
mengikuti pemungutan suara di TPS meliputi :
1. Pemilih yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap pada TPS yang bersangkutan; dan
2. Pemilih yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tambahan
Menurut mereka dengan adanya Pasal 28 dan Pasal 111 ayat (1) UU No. 42 Tahun
2008 telah bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD
NRI Tahun 1945 serta berpotensi merugikan hak konstitusional para pemohon yaitu hak
memilih padahal hak memilih dijamin dalam konstitusi. Para pemohon terancam tidak
memilih dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tanggal 8 Juli 2009 bila
tidak tercantum dalam daftar pemilih tetap (DPT), meskipun dirinya sudah berusia 17
tahun dan/atau sudah kawin.
Penafsiran yang dilakukan oleh MK dalam putusan ini adalah dengan menggunakan
metode sosiologis yaitu metode penafsiran yang mendasarkan diri pada penafsiran yang
bersifat sosiolgis yang didasarkan pada konteks sosial ketika naskah tersebut dibentuk.
Penafsiran ini dilakukan apabila makna undang-undang ditetapkan berdasarkan tujuan
kemasyarakatan. Disini peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan
situasi sosial yang baru, jadi peraturan hukum yang lama disesuaikan dengan keadaan baru
atau dengan kata lain peraturan yang lama dibuat aktual. Hal itu ditunjukan dalam
pertimbangan MK bahwa dalam persidangan Mahkamah menemukan fakta hukum, sebagai
berikut 3:
Bahwa para pemohon kehilangan haknya untuk memilih pada Pemilu DPR,DPD, dan
DPRD Tahun 2009 karena tidak terdaftar dalam DPT;
Bahwa para pemohon sama sekali tidak mendapatkan informasi sosialisasi yang
memadai tentang DPT;
Bahwa para pemohon telah berusaha sedemikian rupa untuk berpartisipasi dalam
Pemilu dengan memeriksa DPT dan undangan pada alamat lama para Pemohon pada
Pemilu Tahun 2004 dan pada alamat para Pemohon saat ini, namun belum
memperoleh informasi dan undangan untuk memilih di TPS
2. Berdasarkan fakta hukum tersebut yang dihubungkan dengan kondisi saat ini dalam
menyongsong Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, maka Mahkamah berpendapat
diperlukan adanya solusi untk dapat melengkapi DPT yang sudah ada sehingga
penggunaan hak pilih warga negara terlindungi karena ketenttuan yang mengharuskan
seorang warga negara yang terdaftar sebagai pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT)
lebih merupakan prosedur administratif dan tidak boleh menegasikan hal-hal yang bersifat
substansial yaitu hak warga negara untuk memilih dalam pemilihan umum.
Maka berdasarkan pertimbangan Mahkamah tersebut, MK memberikan putusan untuk
mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian dan menyatakan Pasal 28 dan
Pasal 111 UU No.42 Tahun 2008 adalah konstutisional sepanjang diartikan mencakup
warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT dengan syarat dan cara yang telah
ditentukan.
Dengan adanya putusan tersebut jika dikaitakan dengan metode penafsiran sosiologis,
MK telah memberikan keputusan yang memperhatikan maksud dan tujuan dari UU
tersebut dengan melindungi hak memilih dari warga negara yaitu dengan cara
memberikan Putusan yang bersifat self executing yang langsung dapat diterapkan oleh
KPU tanpa memerlukan Peraturan Pengganti Undang-undang (Perpu) guna melindungi,
menjamin dan memenuhi hak konstitusinal warga negara untuk menggunakan hak
pilihnya. Dalam hal ini MK tidak membatalkan Pasal 28 dan Pasal 111 ayat (1) UU No.
42 Tahun 2008 dan tetap menyatakan konstitusional, dalam hal ini adalah konstitsioanl
bersyarat karena Pasal tersebut masih berlaku sah sepanjang dimaknai apa yang diminta
oleh MK. Putusan ini dimaksudkan agar sesuai dengan hukum dan rasa keadilan
masyrakat.
2. Penafsiran sistematis “dipilih secara demokratis”
Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 menyebutkan “ Gubernur, bupati dan
walikota masing-masing sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara
demokratis.” Pasal ini ditafsirkan secara sistematis yang artinya dilakukan dengan cara
mencari makna kata yang terdapat di suatu peraturan perundang-undangan yang terkait
dan melihat kaidah yang terkandung didalamnya.
Pasal ini dikaitkan dengan pasal-pasal yang terdapat dalam UUD NRI 1945.
Yang pertama adalah Pasal 1 ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia
adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik. Pasal 1 ayat (1) UUD NRI 1945
menunjukan bahwa Negara kesatuan ditinjau dari segi susunannya adalah negara yang
tidak tersusun dari beberapa negara (federasi), tetapi hanya ada satu negara atau dengan
kata lain tidak ada negara didalam negara. Seperti halnya di Indonesia, tidak mempunyai
daerah didalam lingkungannya yang bersifat staat atau negara, yang ada hanya daerah-
daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten dan kota yang diperkuat oleh
pasal 18 Ayat (1) UUDNRI Tahun 1945, dimana daerah-daerah tersebut masih dalam
wadah NKRI. Pemerintahan pun hanya ada satu yaitu pemerintah pusat yang mempunyai
kekuasaan tertinggi disegala bidang pemerintahan.
Selain itu pada Pasal 1 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 ini juga menyatakan
Negara Indonesia berbentuk Republik, yang artinya kekuasaan pemerintahan bersumber
dari rakyat bukan dari prinsip keturunan sehinnga Indonesia dipimpin atau dikepalai oleh
seorang Presiden. Dan untuk mewujudkan pasal tersebut bahwa seorang Presiden dipilih
oleh rakyat maka dalam Pasal 2 UUDNRI Tahun 1945 menyatakan kedaulatan itu berada
ditangan rakyat artinya sumber kekuasaan itu berasal dari rakyat. Sedangkan perwujudan
dari kedaulatan rakyat itu sendiri adalah demokrasi yang merupakan sistem yang tegak
3. 3
1.Undang-undang No. 42 Tahun 2008
2.Undang-undang No. 42 Tahun 2008
3.Putusan MK No.102/PUU-VII/2009
diatas prinsip kedaulatan rakyat, dengan dua nilai pokok yang melekat padanya, yaitu
kebebasan dan kesederajatan.
Sebagai perwujudan demokrasi, didalam Internasional Commission Of Jurist,
Bangkok Tahun 1965,dirumuskan bahwa” penyelenggraan pemilihan umum yang bebas
merupakan salah satu syarat dari enam syarat dasar bagi negara demokrai perwakilan
dibawah rule of law. Pemilihan umum adalah suatu lembaga yang berfungsi sebagai
sarana penyampaian hak-hak demokrasi rakyat dan pelakasaanya sendiri sudah dijamin
didalam Pasal 22E UUDNRI Tahun 1945. Pemilu dilakukan guna memilih
DPD,DPR,Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD (Pasal 6A dan Pasal 22E ayat (2)
UUDNRI tahun 1945), termasuk didalamnya adalah Pemilihan Kepala Daerah, yaitu
Gubernur,Bupati dan Walikota juga dipilih secara demokratis (Pasal 18 ayat (4) UUDNRI
Tahun 1945).
Kepala daerah adalah orang yang diberikan kewenangan oleh pemerintah pusat
untuk menjalakan pemerintahan di daerah dan kedudukannya sama tinggi dengan DPRD.
Pemerintahan daerah itu sendiri terdiri dari Kepala daerah dan lembaga eksekutif yaitu
DPRD. Dalam menjalankan tugasnya kepala daerah dibantu oleh Wakil Kepala Daerah
beserta perangkatnya sama seperti halnya Presiden pada Pasal 4 UUD NRI Tahun 1945
Presiden dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh satu orang wakil presiden. Dalam
pemilihan pun sama dengan pemilihan Presiden yaitu merujuk pada Pasal 6A ayat (1)
UUD NRI Tahun 1945 dimana Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan
secara langsung oleh rakyat. Ditunjukan dengan adanya Pasal 18 ayat (4) UUD NRI
Tahun 1945 bahwa Kepala daerah dipilih secara demokratis.
Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 (sesudah perubahan) belum memungkinkan
mencantumkan secara eksplisit bahwa Kepala Daerah dipilih secara langsung, oleh sebab
itu diambil kesepakatan kepala daerah dipilih secara demokratis.
Jimmly Asshiddiqie mengatakan bahwa pengertian “dipilih secara
demokratis” maknanya bersifat luwes sehingga dalam pengaturan selanjutnya bisa dipilih
secara langsung atau tetap dipilih oleh DPRD sebagaimana praktik sebelumnya. Berbeda
untuk pemilihan anggota DPRD yang secara eksplisit ditegaskan dipilih melalui Pemilu.
Pengaturan ini kecuali melembagakan cara pengisian anggota DPRD dalam konstitusi,
namun yang lebih penting dari pada itu sebenarnya juga menegaskan tidak ada lagi
pengisian anggota DPRD melalui pengangkatan seperti dalam praktuk sebelumnya.