1. EKSISTENSI PANCASILA
DI TENGAH ERA KEBEBASAN PUBLIK
Adya Sadewo Herlambang
5113415077
Teknik Sipil
Pancasila lahir sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri.
Artinya adalah bahwa mendirikan sebuah negara hanya semata-mata untuk
mewujudkan sebuah tatanan masyarakat yang sejahtera, makmur dan sentosa.
Bahwa tujuan tersebut adalah “kontrak sosial” antara Negara dengan rakyatnya,
dan Negara sebagai organisasi yang mengatur, berkewajiban untuk membawa
rakyatnya kepada tujuan yang dimaksud, tanpa menghilangkan hak-hak rakyatnya
sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, karena rakyatlah yang memiliki negara,
bukan negara yang memiliki rakyat.
Pancasila sebagai landasan ideal bagi bangsa Indonesia dan
ditempatkannya teks Pancasila dalam pembukaan UUD 1945, menimbulkan
dampak besar dalam seluruh segi kehidupan bangsa Indonesia. Dari sudut
pandang yuridis hal ini bisa kita wujudkan dengan sinkronisasi segala bentuk
peraturan perundang-undangan di bawah UUD agar maksud dan tujuan Pancasila
dapat tercapai melalui bentuk penjabaran norma-norma hukum. Namun,
sinkronisasi jiwa Pancasila yang dijabarkan dalam norma-norma hukum itu masih
menyimpan banyak persoalan tentang eksistensi Pancasila dalam kehidupan nyata
bangsa Indonesia. Sebagai suatu norma kita akui Pancasila haruslah menjadi
pedoman bagi segala bentuk penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara
di Bumi Pertiwi ini. Tapi sebagai pandangan hidup adakah Pancasila masih
menjadi satu kesatuan jiwa dan cara berpikir bangsa Indonesia?
Nilai-nilai Pancasila kini telah tergerus oleh globalisasi yang selalu
membawa karakter individualistik dan liberal. Globalisasi sebagai produk
mutakhir dari liberalisme tidak hanya meniadakan batas-batas geografis yang
membangun negara nasional (de-teritorialisasi) secara ekonomis, melainkan juga
merongrong nilai-nilai fundamental yang menjadi ideologi politik dari negara
yang bersangkutan. Pergulatan ini tidak hanya dimaknai sebagai globalitas versus
2. lokalitas, melainkan lebih pada upaya penciptaan kultur global yang berakar pada
pengalaman atau persepsi tentang dunia dengan karakteristik yang baru (khas) dan
mandiri. Artinya kultur tersebut dipandang sebagai praksis sosial dalam
membentuk identitas global yang dinamis, mengalir dari satu peralihan menuju
peralihan yang lain. Meski begitu, gejala ini secara geneologis tetap dipengaruhi
oleh logika industrial.
Globalisasi bukan hanya menjamah pada satu bidang saja, namun
telah menjelajah ke berbagai bidang kehidupan yaitu ekonomi, sosial, budaya,
pendidikan, politik dan bidang-bidang lainnya. Tentu, ini akan memberikan
keuntungan yang berlimpah bagi bangsa-bangsa yang mampu menggunakan
kesempatan dengan sebaik-baiknya. Bangsa yang tidak cenderung menutup diri
akan datangnya globalisasi akan mengikuti arus perkembangan zaman. Tentu saja,
bagi mereka yang kurang atau bahkan tidak terbuka dengan adanya globalisasi
mau tak mau akan mengalami keterpurukan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Tanpa terkecuali, pancasila sebagai basis ideologi dalam berperilaku
bangsa Indonesia (norms for political behavior) juga berada dalam pusaran
wacana ini. Munculnya gagasan untuk menjadikan pancasila sebagai ideologi
yang terbuka, mampu mengintegrasi segala perubahan sosial merupakan indikasi
bahwa pancasila mulai mencoba keluar dari belitan territorialnya (lokalitas).
Pancasila sejak awal memang dirancang menjadi identitas politik sebagai
manifestasi dari simbolisme politik negara nasional berafiliasi dengan Undang-
Undang Dasar 1945 sebagai landasan yuridis. Oleh sebab itu, pancasila meskipun
memuat nilai-nilai yang universal namun lebih sesuai untuk menjadi ideologi
politik bangsa Indonesia sebab bertopang tumbuh dari kultur bangsa kita sendiri.
Cita-cita Soekarno untuk menjadikan pancasila sebagai ideologi dunia pada masa
orde lama lebih bermuatan politis dibandingkan dengan realitas sosial yang
sesungguhnya mengingat pada waktu itu dunia dihadapkan pada kompetisi
perluasan pengaruh dua ideologi besar dunia yaitu sosialisme dan liberalisme.
Namun hal ini adalah wajar, misalnya pada saat ini kita dapat melihat bagaimana
upaya negara-negara barat mencoba menghegemoni negara-negara dunia ketiga
dengan liberalisasi ekonomi dan demokrasi (liberal).
3. Globalisasi sebenarnya memiliki kontradiksi sistemik, de-teritorialisasi
budaya popular di sisi lain juga menumbuhkan lokalitas yang
semakin menguat. Akselerasi pembentukan kultur global telah menafikan
struktur-struktur etnografis yang menyusun masyarakat, suatu sistem multikultural
dialihfungsikan pada sistem yang monokultural. Padahal strukturasi sosial ini
memang berbeda secara ontologis. Karena itu pandangan untuk kembali pada
nilai- nilai ulayatnya mulai mencuat dan menjadi protagonis globalisasi itu sendiri.
Pancasila sebagai bangunan nilai-nilai dasar bangsa Indonesia dimana
memiliki diferensiasi sosial etnografi yang tinggi seharusnya mampu menjadi
tameng bahkan ideologi tandingan terhadap hegemoni kultur global. Oleh sebab
itu perlu diupayakan pemeliharaan dan revitalisasi budaya nasional dengan
melestarikan nilai-nilai kearifan lokal yang mampu memperkuat kehidupan
berbangsa dan bernegara. Kearifan lokal merupakan basis struktur dalam
membangun nasionalisme untuk memperkuat state nations. Nasionalisme lebih
dari sekedar sentimen nasional melainkan lebih kepada bentuk budaya publik
untuk mempromosikan identitas nasional, otonomi, dan kesatuan nasional. Seperti
diilustrasikan Smith, nasionalisme berupaya membentuk bangsa dengan semangat
dan citra diri otentik dari komunitas etnis sebelumnya untuk ditransformasikan
agar sesuai dengan kondisi geopolitik, ekonomi, dan budaya modern. Oleh sebab
itulah nilai-nilai lokal harus dipertahankan untuk menyangga kelangsungan
sebuah negara bangsa.
Seharusnya Pancasila sanggup menjawab berbagai tantangan di era
globalisasi, karena dari implikasi dari dijadikannya Pancasila sebagai pandangan
hidup maka bangsa yang besar ini haruslah mempunyai sense of belonging dan
sense of pride atas Pancasila. Setidaknya ada dua alasan yang menyebabkan suatu
ideologi tetap eksis. Pertama adalah jumlah penganut atau pengikut. Semakin
banyak pengikut dari suatu ideologi, maka ideologi tersebut akan semakin kuat.
Pancasila merupakan ideologi yang diikuti oleh seluruh rakyat Indonesia. Secara
konseptual, Pancasila adalah ideologi yang kokoh. Pancasila tidak akan musnah
sepanjang masih ada pengikut yang memperjuangkannya. Kedua adalah seberapa
besar pengikut tersebut mempercayai dan menjadikan ideologi sebagai bagian dari
kehidupannya. Semakin kuat kepercayaan seseorang, maka semakin kuat posisi
4. ideologi tersebut. Sebaliknya, walaupun banyak pengikut, tetapi apabila pengikut
tersebut sudah tidak menjadikan ideologi sebagai bagian dari kehidupannya, maka
ideologi dikatakan lemah.
Posisi pancasila di era globalisasi sangat rawan terhadap gangguan.
Secara formal, Pancasila tetap diakui oleh seluruh bangsa Indonesia sebagai
ideologi mereka. Namun di tataran aplikatif, prilaku masyarakat banyak yang
mengalami pergeseran nilai. Secara tidak langsung pergeseran nilai tersebut
membuat masyarakat perlahan-lahan melupakan Pancasila. Salah satu alasan
pancasila masih tetap eksis adalah karena pancasila digali dari nilai-nilai yang ada
di masyarakat seperti ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan
keadilan. Ada atau tidak adanya Pancasila, nilai-nilai tersebut memang sudah ada
di masyarakat sehingga tetap berlaku di masyarakat.
Jika masyarakat melaksanakan nilai dan norma yang berkembang,
secara otomatis masyarakat juga mengamalkan Pancasila. Sebagai contoh ketika
umat islam beribadah. Dasar mereka melakukan ibadah adalah ketaatan terhadap
ajaran agama, bukan karena Pancasila. Namun melaksanakan ibadah secara tidak
langsung mengamalkan sila pertama Pancasila. Demikian pula dengan sila-sila
yang lain, masyarakat pada dasarnya tidak mengamalkan pancasila secara
langsung. Mereka hanya mengikuti tata nilai dan hukum adat masing-masing.
Tetapi karena nilai-nilai itu terangkum dalam Pancasila, maka secara tidak
langsung masyarakat juga menjalankan pancasila.
Dengan demikian eksis dan tidaknya Pancasila di era global sangat
tergantung dari nilai-nilai masyarakat. Jika nilai-nilai tersebut tetap tumbuh dan
berkembang, maka Pancasila juga akan terus eksis. Sebaliknya jika nilai tersebut
mengalami pergeseran, besar kemungkinan Pancasila juga akan mengalami
pergeseran. Jika globalisasi mampu menggeser nilai-nilai di masyarakat dan
mengganti dengan tatanan nilai yang baru, maka besar kemungkinan Eksistensi
pancasila akan runtuh. Oleh karena itu, perlu adanya pemahaman nilai-nilai
Pancasila sebagai dasar, pandangan hidup, dan ideologi sekaligus sebagai benteng
diri dan filterisasi terhadap nilai-nilai yang masuk sebagai dampak dari
globalisasi.