1. Dokumen tersebut membahas reformasi pendidikan dan kurikulum di Jepang sejak Perang Dunia Kedua, termasuk tiga kali reformasi besar dan perubahan-perubahan kurikulum. 2. Karakteristik kurikulum SD, SMP, dan SMA di Jepang dijelaskan, dengan penekanan pada bahasa Jepang, matematika, IPA, dan IPS di sekolah dasar, serta penambahan mata pelajaran pilihan di SMP. 3. Reformasi terakhir p
1. BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan di lembaga sekolah tidak bisa berjalan jika hanya ada siswa, guru, bangunan
dan fasilitas sekolah. Proses belajar mengajar dapat berjalan dengan baik jika materi belajar
telah disepakati. Materi belajar tersebut tidak hanya berupa rangkaian kalimat yang
menerangkan cakupan konten pembelajaran, tetapi juga memuat berapa lama harus diajarkan,
tujuan pengajaran, dan bagaimana mengajarkannya. Inilah yang sering disebut sebagai
kurikulum.
Tetapi kurikulum tidaklah sesederhana itu. Ada tiga tugas utama guru/pendidik di
Jepang yaitu gakushū shidōu (membimbing pembelajaran), seito shidō (membimbing siswa),
dan kōmubunshō (tugas administrasi/managerial sekolah). Membimbing pembelajaran
maksudnya adalah mengajarkan mapel dan membina ekskul. Membimbing siswa maksudnya
membina siswa untuk memiliki konsep berfikir yang manusiawi, membiasakan perilaku baik
di dalam kehidupannya. Adapun tugas administrasi misalnya guru berperan sebagai
penanggung jawab perlengkapan sekolah, memberikan bimbingan kelanjutan sekolah, dll.
Agar pengejewantahan ketiga tugas/fungsi guru tersebut dapat berjalan dengan baik, maka
perlu disusun perencanaan. Perencanaan itulah yang disebut kyouiku katei (rencana
kurikulum) di Jepang.
Siapa yang harus membuat rencana kurikulum ? Pada sistem pendidikan tradisional,
kurikulum disusun oleh lembaga pendidikan bersangkutan, namun dengan dijadikannya
pendidikan sebagai bagian yang harus dikelola oleh negara, dan lembaga sekolah mulai
diformalkan, maka otomatis penyusunan kurikulum pun menjadi tanggung-jawab
pemerintah.Pembuatan kurikulum oleh pemerintah memungkinkan keseragaman lembaga
pendidikan di seluruh negeri.Tetapi apa yang disusun oleh pemerintah hanyalah sebuah
standar atau pembakuan yang selanjutnya merupakan acuan/pedoman dalam penyusunan
kurikulum khas sekolah yang menjadi tanggung jawab kepala sekolah dan aparatnya. Jepang
sekalipun telah menstandarkan semua fasilitas pendidikannya dan sekaligus telah menerapkan
standar kualifikasi minimal untuk para gurunya, sehingga pelaksanaan kurikulum di setiap
lembaga sekolah boleh dikatakan seragam, tetap saja tidak bisa menjamin hasil pendidikan
dengan mutu seragam. Perbedaan pemahaman dan intrepretasi terhadap reformasi pendidikan
di kalangan para pendidik adalah hal wajar dan tidak bisa dihindari.
Pembaharuan kurikulum adalah hal yang mutlak terjadi, sebab pendidikan juga berjalan
mengikuti zaman dan perubahan. Sama halnya dengan Indonesia kurikulum pun telah
mengalami perubahan beberapa kali di Jepang. Perubahan tersebut mau tidak mau membawa
2. dampak perubahan permintaan kualifikasi dan kompetensi pendidik di Jepang.
Makalah ini akan menganalisa reformasi pendidikan dan kurikulum yang telah berlangsung di
Jepang sejak perang dunia kedua, sekaligus mengurai fakta serta alasan yang
melatarbelakanginya.Dengan memahami karakteristik kurikulum tersebut, makalah ini akan
menguraikan bagaimana guru dan pendidik dibina dan dikembangkan sejalan dengan
perubahan yang berlangsung.
3. BAB II
PEMAHASAN
A. Reformasi Pendidikan di Jepang
Menurut Hara Kiyoharu (2007:3), reformasi pendidikan di Jepang telah berlangsung
tiga kali yaitu, reformasi pada masa restorasi Meiji, reformasi sesudah PD II, dan reformasi
menuju abad 21.
Reformasi pertama pada masa Meiji (1872-1890) membawa pendidikan di Jepang
memasuki masa modern dengan diterapkannya sistem persekolahan yang terstruktur dan
kesempatan luas bagi warganegara untuk mengakses pendidikan. Tetapi pendidikan pada
masa ini masih terkotak-kotak antara pendidikan elitis dan pendidikan orang kebanyakan.
Selanjutnya pada era Taishō (1912-1926) diperkenalkan pula pendidikan liberal yang
dipengaruhi oleh paham liberalism yang berkembang di Amerika.
Reformasi kedua sesudah PD II intinya adalah penerapan wajib belajar dan penerapan
pendidikan demokratis. Dengan adanya pembaharuan ini, jumlah siswa yang dapat mengakses
pendidikan dasar meningkat dan pendidikan telah berubah dari pendidikan elit menuju
pendidikan massal.
Reformasi ketiga dirancang oleh Chuuoukyouikusingikai dan Rinjikyouikusingikai,
yaitu Tim Khusus yang ditunjuk oleh Perdana Menteri untuk membantu mencarikan
pemecahan permasalahan pendidikan yang akan diusulkan kepada PM dan diterapkan oleh
Menteri Pendidikan. Tahun 2001 Kementrian Pendidikan Jepang mengeluarkan rencana
reformasi pendidikan di Jepang yang disebut sebagai “Rainbow Plan”.
1. Mengembangkan kemampuan dasar scholastic siswa dalam model pembelajaran yang
menyenangkan. Ada 3 pokok arahan yaitu, pengembangan kelas kecil terdiri dari 20
anak per kelas, pemanfaatan IT dalam proses belajar mengajar, dan pelaksanaan
evaluasi belajar secara nasional
2. Mendorong pengembangan kepribadian siswa menjadi pribadi yang hangat dan
terbuka melalui aktifnya siswa dalam kegiatan kemasyarakatan, juga perbaikan mutu
pembelajaran moral di sekolah
3. Mengembangkan lingkungan belajar yang menyenangkan dan jauh dari tekanan,
diantaranya dengan kegiatan ekstra kurikuler olah raga, seni, dan sosial lainnya.
4. Menjadikan sekolah sebagai lembaga yang dapat dipercaya oleh orang tua dan
masyarakat. Tujuan ini dicapai dengan menerapkan sistem evaluasi sekolah secara
mandiri, dan evaluasi sekolah oleh pihak luar, pembentukan school councillor, komite
4. sekolah yang beranggotakan orang tua, dan pengembangan sekolah berdasarkan
keadaan dan permintaan masyarakat setempat.
5. Melatih guru untuk menjadi tenaga professional, salah satunya dengan pemberlakuan
evaluasi guru, pemberian penghargaan dan bonus kepada guru yang berprestasi, juga
pembentukan suasana kerja yang kondusif untuk meningkatkan etos kerja guru, dan
pelatihan bagi guru yang kurang cakap di bidangnya.
6. Pengembangan universitas bertaraf internasional
7. Pembentukan filosofi pendidikan yang sesuai untuk menyongsong abad baru, melalui
reformasi konstitusi pendidikan kyouiku kihon hou) (MEXT, 2006).
Perubahan Jepang menjadi negara industri membawa dampak yang sangat besar dalam
masyarakatnya. Negara Jepang yang mengalami kekalahan dalam PD II dan pada dasarnya
tidak memiliki sumber daya alam yang memadai terpacu untuk membangun negerinya secara
besar-besaran. Dapat dikatakan bahwa generasi kunci kemajuan Jepang adalah generasi yang
lahir pada masa perang, atau kira-kira berumur 25-30 tahunan pada tahun 60-70an. Mereka
mewarisi jiwa gambarism pendahulunya yang sukses menaklukkan beberapa negara di Asia.
Era 60-an ditandai pula sebagai era shinkansen, transportasi super cepat. Rel-rel dibangun
melintasi wilayah Jepang sekalipun pada waktu itu banyak sekali protes dari masyarakat.
Tetapi proyek shinkansen akhirnya membawa kemajuan ekonomi Jepang semakin pesat,
sekaligus meningkatnya kompetisi dalam masyarakat Jepang yang semula dikenal sangat
homogen.
B. Reformasi Kurikulum di Jepang
Kurikulum sekolah di Jepang disusun oleh bagian perencanaan kurikulum yang terdapat
dalam Kementrian Pendidikan (MEXT). Panduan kurikulum di sekolah disebut Gakushū
shidōyōryō (GS) yang diakui secara hukum, sehingga pelanggaran terhadapnya akan dikenai
sanksi hukum. GS merupakan panduan kurikulum untuk SD (shōgakkō), SMP (chūgakkō),
SMP-SMA satu atap (chūtōkyōikugakkō), SMA (kōtōgakkō), dan SLB
(tokubetsushiengakkō). Sedangkan untuk panduan kurikulum Taman Kanak-Kanak (yōchien)
disebut yōchienkyouikuyōryō[1].
Panduan kurikulum yang pernah berlaku di Jepang adalah GS 1947, GS 1951, GS 1961,
GS 1971, GS 1980, GS 1992, dan GS 2002. Penamaan tersebut berdasarkan tahun
penerapannya di level SD. Sebagai contoh, kurikulum 1947 adalah kurikulum yang disusun
dua atau tiga tahun sebelumnya, dan diterapkan secara tuntas di level SD pada tahun 1947.
Pengecualian untuk kurikulum SMA yang mengalami pembaharuan juga pada tahun 1956.
5. Kurikulum yang rencananya akan diterapkan pada dekade selanjutnya adalah GS 2011.
Penyusunan dan publikasi kurikulum ini dilakukan tiga tahun sebelum diterapkan. Misalnya
untuk reformasi kurikulum SD yang direncanakan akan diterapkan pada tahun 2011 dan SMP
yang akan diterapkan tahun 2012, telah terselesaikan penyusunannya pada 28 Maret 2008.
Sementara itu kurikulum untuk SMA dan SLB yang akan diterapkan tahun 2013 telah
diselesaikan penyusunannya dan diumumkan ke publik untuk mendapatkan masukan pada 9
Maret 2009.
Kurikulum pertama, GS 1947 adalah kurikulum yang banyak dipengaruhi oleh
reformasi pendidikan pasca perang. Beberapa mata pelajaran pada jaman sebelum perang
seperti shūshin (mental/spirit education), geografi (chiri) dan sejarah (rekishi) dihapus di level
SD[2], dan mapel baru diperkenalkan yaitu IPS dan Jiyūkenkyū (penelitian bebas), serta
pelajaran keterampilan (homemaking) diberikan tanpa membedakan jenis kelamin siswa (co-
education)[3].
[1]. TK di Jepang lebih cenderung merupakan lembaga pengembangan dan pelatihan
kebiasaan sehari-hari, oleh karena itu pendidikan di level TK bukanlah pengajaran
(gakushū), tetapi lebih tepat disebut kyōiku (pendidikan)
[2]. Mapel ini diberikan pula di Kokumingakkō (Sekolah Rakyat) di Indonesia pada masa
pendudukan Jepang.
[3]. Homemaking pada masa sebelum PD II diajarkan terpisah, sebagaimana kita ketahui
SD, SMP dan SMA pada masa pendudukan Jepang di Indonesia juga menerapkan sistem
pemisahan siswa dan siswi.
C. Sifat dan Karakteristik Kurikulum Jepang
1. SD
Kurikulum SD di Jepang hampir sama dengan kurikulum SD di Indonesia. Perbedaan
nyata terlihat pada mata pelajaran seikatsuka (kebiasaan hidup) yang diajarkan di kelas 1 dan
2. Mapel ini bertujuan untuk membiasakan anak-anak dengan cara hidup mandiri sehari-hari.
Daripada mulai mengajarkan IPA atau IPS, Jepang lebih memilih memperkenalkan tata cara
kehidupan sehari-hari kepada anak-anak yang baru menyelesaikan pembelajaran di TK yang
lebih memfokuskan kegiatan bermain daripada belajar di dalam kelas.
Pembelajaran bahasa Jepang dan berhitung diajarkan lebih banyak dibandingkan
pelajaran lainnya. Pendidikan OR juga menjadi mapel yang diajarkan dalam jumlah yang
melebihi mapel lainnya selain bahasa dan berhitung. Adapun pendidikan moral diajarkan
tidak secara khusus dalam mapel tertentu, tetapi diajarkan oleh wali kelas sejam seminggu
atau diintegrasikan melalui pembelajaran mapel lain. Sekolah-sekolah agama diperkenankan
6. mengajarkan agama (Kristen, Buddha, Sinto) sebagai bagian dari pendidikan moral. Selain
pendidikan akademik, pendidikan estetika berupa musik dan menggambar juga diajarkan
dalam porsi besar di kelas 1 dan 2.
2. SMP
Kurikulum SMP juga menitikberatkan pada pendidikan bahasa Jepang, matematika,
IPA dan IPS. Pelajaran bahasa asing diajarkan dalam bentuk mapel pilihan, di antaranya
bahasa Inggris, bahasa Perancis, dan bahasa Jerman. Pelajaran bahasa Inggris baru dijadikan
mapel wajib di level SMP pada kurikulum 2002.
Pendidikan kesehatan jasmani diajarkan dalam jumlah jam belajar yang sama dengan
SD (90 jam), tetapi berbeda dengan SD, pendidikan kesehatan di SMP terdiri atas Olahraga
dan pendidikan jasmani.
Adanya mata pelajaran pilihan di SMP, yaitu bahasa Jepang, IPS,
Matematika,IPA,Musik, Art, Pendidikan Jasmani Kesehatan, Keterampilan/ Homemaking,
dan bahasa Asing, merupakan perbedaan khas antara kurikulum SMP di Indonesia dan
Jepang. Alokasi waktu pembelajaran integrated course juga diberikan lebih besar
dibandingkan dengan mapel yang sama di SD.
Pendidikan dasar di Jepang juga dilengkapi dengan tokubetsukatsudou yang dapat
diterjemahkan sebagai aktivitas khusus atau semacam ekstra kurikuler di Indonesia, tetapi
agak berbeda karena kegiatan ini meliputi OSIS, kegiatan kelas, kegiatan klub olahraga dan
seni, event sekolah dan pendidikan moral. Event sekolah seperti festival sekolah (gakkousai)
dipersiapkan per kelas dengan bimbingan penuh dari wali kelas.
3. SMA
Dibandingkan kurikulum SD dan SMP, kurikulum SMA di Jepang paling sering
berubah. Perubahan tampak pada nomenklatur mapel, kategorisasi, dan sistem penjurusan.
Sifat khas kurikulum SMA adalah kompleksnya mapel yang diajarkan.
Pelajaran bahasa Jepang tidak saja dibedakan atas tatabahasa dan sastra, tetapi
dikelompokkan lebih detil lagi menjadi pendidikan bahasa Jepang, literature klasik dan
literature modern. Bahasa Asing sebelum kurikulum 2002 masih memperkenalkan bahasa
Jerman dan bahasa Perancis, tetapi sejak kurikulum 2002 yang dimaksud dengan bahasa asing
adalah bahasa Inggris yang diajarkan dalam secara detil.
Penjurusan dilakukan sejak kelas 3 SMA, dan jurusan yang ada pada dasarnya adalah
jurusan rika (IPA) dan bunka (budaya/sosial). Tetapi penjurusan mengalami perkembangan
semenjak semakin banyak lulusan SMA yang memilih akademi atau college dan memilih
7. bekerja.Penjurusan dikembangkan dengan beragam mapel yang terkait dengan teknik,
pertanian,perikanan, kesejahteraan masyarakat, dll.Beberapa sekolah membagi lebih detil lagi
penjurusan menjadi Jurusan yang dipersiapkan untuk menghadapi ujian masuk universitas
negeri dan Jurusan yang memilih universitas swasta. Misalnya, Rika A adalah kombinasi
jurusan IPA dan persiapan ujian masuk PTN. Selain integrated course, pelajaran IT juga baru
dimasukkan dalam kurikulum 2002.
4. Yutorikyouiku, 5 hari sekolah, Ikiru chikara, dan Sōgotekina gakushū jikan
Kurikulum SD cenderung statis dari segi perubahan mata pelajaran, tetapi terlihat
kecenderungan penurunan jumlah jam belajar per tahun. Penurunan jam pelajaran ini terlihat
secara nyata sejak tahun 1980, yaitu ketika yutorikyouiku mulai diperkenalkan.Kurikulum
1971 adalah kurikulum yang sangat sarat materi sementara sekolah-sekolah di Jepang belum
memadai baik dari segi fasilitas maupun kemampuan guru-gurunya. Sehingga kurikulum
tersebut terlalu memberatkan dan kurang berhasil. Oleh karena itu muncullah ide untuk
memberikan pendidikan yang lebih mementingkan keleluasaan waktu dan ruang. Itulah yang
disebut yutorikyouiku. Jumlah jam pelajaran SD per tahun berkurang sebanyak 36 jam, dan
SMP sebanyak 385 jam.
Pelaksanaan yutorikyouiku membawa dampak yang kurang bagus kepada anak-anak
Jepang. Guru-guru Jepang tidak semuanya siap dan dapat memahami konsep yutorikyouiku
dengan baik. Tindakan memberikan ruang dan waktu kepada siswa SD dan SMP memang
terbukti dapat mengurangi rasa stress siswa akibat pelaksanaan kurikulum yang ketat
sebelumnya, tetapi sekaligus menyebabkan minat belajar yang menurun. Kedisiplinan mulai
mengendor, dan beberapa pihak mulai memprotes sistem yutorikyouiku.
Yutorikyouiku telah disalahartikan dalam penerapannya. Sistem pendidikan ini
sebenarnya bukan bermaksud mengendorkan kedisiplinan tetapi hanya mengurangi materi
belajar yang memberatkan pada setiap mapel. Dengan sistem ini diharapkan anak-anak dapat
berkembang sesuai dengan minat dan kesukaannya. Pembelajaran di sekolah seharusnya
diselenggarakan secara lebih menyenangkan. Oleh karena itu istilah tanoshii jugyou (kelas
yang menyenangkan) juga diperkenalkan sebagai salah satu alternatif implementasi
yutorikyouiku. Tetapi banyak guru yang kesulitan menciptakan kelas yang menyenangkan,
atau sebaliknya guru terpaku pada kata menyenangkan, sehingga mengurangi kedisiplinan dan
motivasi belajar siswa. Akibat akhirnya justru berdampak pada menurunnya prestasi
akademik siswa-siswa Jepang.
Indikator pemerintah untuk mengukur keberhasilan pendidikan di Jepang adalah
pengukuran internasional yang diselenggarakan negara-negara OECD, yaitu PISA dan
TIMMS, sebab Jepang tidak menerapkan sistem ujian nasional. Pada tahun 1995, prestasi
8. siswa SD dan SMP Jepang menempati urutan pertama, namun tahun-tahun selanjutnya
mengalami penurunan. Pemerintah dan masyarakat mulai meragukan proses pendidikan di
sekolah, dan guru-guru mendapat sorotan yang tajam sebagai pihak yang tidak mampu
mendidik dengan baik.
Dalam rangka pelaksanaan yutorikyouiku, pemerintah juga menerapkan 5 hari sekolah,
yaitu dari hari Senin sampai Jumat. Tujuan kebijakan ini adalah agar siswa dapat lebih banyak
menghabiskan waktunya dengan keluarga dan belajar lebih banyak di lingkungannya pada
akhir pekan. Akan tetapi alih-alih belajar di lingkungan atau di keluarga, anak-anak dan orang
tuanya justru kurang memahami hal ini, sehingga anak-anak bermain game di rumah, ikut
ibunya berbelanja, atau banyak juga anak yang malah memanfaatkan waktu tersebut untuk
ikut berbagai les privat.
Anak-anak yang memanfaatkan waktu liburnya dengan belajar, tentu saja memiliki
prestasi akademik yang baik pula, tetapi sebagian besar anak justru menghabiskan waktu
untuk bermain, sehingga wajar saja prestasi akademik anak-anak kemudian menurun.
Dengan hasil PISA yang mengecewakan, pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan
untuk melaksanakan kembali gakuryoku tesuto (tes kemampuan akademik) tahun 2007, yang
sebenarnya pernah dilaksanakan pertama kali pada tahun 1960, tetapi kemudian dihentikan
pada tahun 1968 karena kenyataannya wilayah/distrik secara alami memiliki perbedaan dari
sumber daya yang kemudian mengakibatkan perbedaan pelaksanaan pendidikan. Kebijakan
ini dilaksanakan kembali setelah tidak berjalan kurang lebih 43 tahun.
Karakteristik kurikulum Jepang yang lainnya adalah ide ikiru chikara dan sōgōtekina
gakushū jikan. Konsep ikiru chikara adalah konsep yang hendak membudayakan jiwa dan
melatih kekuatan dan kemampuan untuk hidup di tengah masyarakat. Konsep ini dijabarkan
sebagai hal yang harus dididikkan untuk mempersiapkan generasi muda Jepang memasuki
abad 21.
Konsep ikiru chikara selanjutnya diikuti dengan kebijakan sōgōtekina gakushū jikan
pada kurikulum 2002. Konsep sōgōteki gakushū jikan adalah konsep pembelajaran tematik,
mengajak siswa untuk mengenal lingkungan, budaya dan alam sekitarnya, kehidupan
masyarakat, ekonomi desanya, industri yang ada di lingkungan tinggalnya.
Implementasinya misalnya, sebuah sekolah menerapkan weekly trial, yaitu kesempatan bagi
anak-anak untuk mencoba menjadi penjual, nelayan, pelayan di restoran, dll.
Pada dasarnya pemahaman guru terhadap sōgōteki gakushuu jikan menurut Kiyohara (2007)
masih sangat rendah. Beberapa sekolah yang tidak memiliki konsep yang baik, terpaksa
meniru penerapan di sekolah lain.Konsep sōgōtekina gakushū jikan bukan sekedar belajar di
luar buku pelajaran atau pembelajaran ekstra kurikuler, tetapi dalam penerapannya anak-anak
9. tetap harus diasah dan diuji kemampuan kerja otak, jiwa, dan tubuhnya. Oleh karena itu ketika
berperan sebagai nelayan misalnya, mereka belajar prinsip-prinsip matematika, belajar
berkomunikasi dengan baik, belajar tentang ilmu bumi dan cuaca. Bukan sekedar pengalaman
kerja (lih.Ramli, 2008a).
Pertukaran budaya asing (internasionalisasi) termasuk wacana yang diusung dalam
sougotekina gakushū jikan. Pengenalan terhadap budaya asing diberikan melalui presentasi
mahasiswa asing di kelas-kelas TK, SD, SMP, dan SMA. Ini bisa dilakukan dengan
mengedarkan permintaan kepada universitas-universitas di daerah setempat. Siswa-siswa juga
diminta mencari informasi sebanyak mungkin tentang negara asing dan menyusun sebuah
presentasi. Beberapa sekolah menerjemahkan pembelajaran budaya asing ini dengan misalnya
mengumpulkan bantuan untuk anak-anak korban bencana di Indonesia, seperti yang dilakukan
oleh beberapa sekolah di Aichi.
D. Impelementasi Kurikulum dan Kompetensi Guru
Pedoman pembelajaran/kurikulum harus diramu di sekolah agar menjadi bahan ajar
yang cocok dengan kondisi siswa dan sekolah. Pekerjaan meramu ini bukan pekerjaan yang
mudah dan banyak guru yang gagal, lalu hanya sekedar meniru ramuan sekolah lain. Proses
peramuan memerlukan analisa dan survey yang detil tentang kondisi dan potensi siswa dan
sekolah (termasuk guru).Oleh karena itu untuk menerapkan hal ini, pertama, sekolah-sekolah
di Jepang mengembangkan survey sekolah secara berkala (lih.Ramli,2009). Survey yang
diselenggarakan termasuk dalam rangkaian evaluasi sekolah, misalnya survey tentang
kesehatan siswa, kebiasaan sehari-hari, jam belajar siswa, dll.Kedua, sekolah (guru)
mempelajari potensi daerah yang selayaknya diajarkan kepada siswa. Setelah pemahaman ini
ditangkap, kepala sekolah dan guru mengontak pihak terkait untuk bekerja sama menerapkan
kurikulum yang diinginkan. Ketiga, membicarakan penerapannya dengan pihak orang tua
yang tergabung dalam Parent Teacher Association (PTA).
Termasuk dalam pembinaan kompetensi aparat sekolah dan guru adalah kewajiban
untuk membuat laporan tertulis. Sistem pelaporan ini sekaligus melatih guru untuk
mengembangkan kemampuan menulis ilmiah. Terkadang laporan tersebut dikembangkan
sebagai penelitian terpadu dan dipresentasikan di seminar-seminar.
Sebagaimana dikritik oleh beberapa pakar pendidikan bahwa kebanyakan kebijakan
pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang muncul bukan dari pemikiran bawah.
Oleh karena itu banyak yang tidak bisa diterapkan di sekolah secara optimal, dan pada
akhirnya mendapat protes keras dari Teacher Union (Nikkyouso dan Zenkyou).
Ketidakmampuan guru-guru di Jepang untuk segera dapat menerjemahkan keinginan
10. pemerintah/pembuat kebijakan barangkali karena konsep-konsep baru yang diadopsi berbeda
dengan konsep yang mereka pelajari saat mengikuti pendidikan guru. Guru-guru di Jepang
adalah lulusan dari Normal School (semacam SPG), Kyouiku daigaku (Educational College),
atau Fakultas Pendidikan Universitas.
Sistem sertifikat mengajar telah dikembangkan di Jepang sejak tahun 1886, yang hanya
diberikan kepada guru yang lolos dalam ujian seleksi guru. Guru-guru tersebut bertugas di
Ordinary Normal School, Ordinary Middle School, dan Girl High School.
Jenis sertifikat ada empat, yaitu sertifikat kelas satu, kelas dua, kelas tiga dan non kelas.
Perubahan jenis sertifikat dapat terjadi jika seorang guru telah memiliki pengalaman
mengajar. Pada tahun 1892, pemberian sertifikat kepada guru pengajar ordinary normal
school dibuat secara terpisah, dengan tetap mempertahankan sertifikat kelas satu dan kelas
dua. Sedangkan kelas tiga dan non kelas diberikan kepada asisten guru. Pelaksanannya
berlangsung dua tahap, yaitu tahap pertama secara otomatis pemilik gelar sarjana atau lulusan
sekolah keguruan memperoleh sertifikat kelas satu, tanpa atau dengan mengikuti ujian khusus
untuk menjadi guru, sedangkan non lulusan sekolah keguruan atau kesarjanaan yang
mengikuti ujian guru dan lolos akan memperoleh sertifikat kelas dua.Tahap kedua diberikan
setelah mengabdi beberapa tahun sebagai guru (lih.Ramli,2008b).
Tahun 1894 lahir peraturan sertifikasi baru yang tidak mengkelas-kelaskan jenis
sertifikasi, tetapi memberikan lisensi mengajar kepada semua lulusan universitas umum dan
universitas khusus wanita (yang berkecimpung di bidang pendidikan keguruan. Hanya ada
satu di Jepang waktu itu, yaitu di Nara).Tahun 1896, hak memberikan sertifikasi guru
diberikan sepenuhnya kepada rektor universitas. Tahun 1899 berlaku peraturan sertifikasi
untuk lulusan universitas negeri maupun swasta, college, dan universitas asing.Tahun 1990
sistem sertifikasi sepenuhnya dipegang oleh MEXT dan lisensi hanya diberikan kepada
lulusan sekolah keguruan atau fakultas pendidikan universitas. Bagi non lulusan fakultas
pendidikan diperkenankan mengikuti ujian seleksi yang penanganannya dilakukan oleh
komite khusus sertifikasi guru (MEXT, 2007).
Monbukagakusho memberlakukan sistem `school councillor`, yang pada tahun 2003
tercatat hampir 7000 sekolah memiliki badan ini. Pemerintah juga menganjurkan sekolah
untuk lebih terbuka kepada masyarakat dan orang tua melalui pelaksanaan evaluasi sekolah
oleh pihak luar sekolah (gaibu gakkou hyouka), yang dengan ini pula sekolah harus lebih
transparan dalam mengungkapkan proses belajar mengajar di sekolah, juga admnistrasi dan
manajemen sekolah.
Sistem sertifikasi ulang yang dikenal dengan `kyōinmenkyokōsinsei` (=sistem
pembaruan sertifikasi guru) tidak saja merupakan jawaban terhadap perubahan sosial
11. masyarakat tetapi juga sebagai salah satu instrument pelengkap pelaksanaan sekolah yang
terbuka kepada konsumernya.Dengan kebijakan ini, guru-guru diharuskan untuk mengikuti
`training penyegaran` setiap 10 tahun sekali. Dalam definisi
Monbukagakusho, kriteria guru yang bermutu harus disesuaikan dengan era global dan
perubahan struktur masyarakat Jepang yaitu, karena semakin panjangnya daya hidup orang
Jepang dan semakin menurunnya jumlah kelahiran, yang menyebabkan masyarakat Jepang
menuju kepada `aging society`, yaitu masyarakat dengan populasi penduduk usia tua lebih
banyak daripada penduduk usia muda.
Ide untuk melaksanakan sertifikasi ulang terhadap lisensi mengajar bukan hal yang
mudah diterima oleh kalangan guru di Jepang, apalagi data guru yang tidak layak mengajar
(shidō fuzoku kyouin) sebagian besar adalah guru-guru senior. Sebagaimana dipahami
masyarakat Jepang sangat menghormati system senioritas, terbukti dengan adanya sistem gaji
berdasarkan senioritas dan masa kerja yang lama, pun juga berbagai kelebihan dalam dunia
bisnis yang dimiliki oleh senior. Gaji guru yang telah bekerja 20 tahun di Jepang lebih besar
daripada gaji guru yang sudah bekerja 5 tahun. Dalam bisnis di Jepang pun sangat mudah
terjadi transfer pekerjaan dari satu tempat ke tempat lain, baik dalam perusahaan yang sama
ataupun perusahaan yang berbeda bidang.Sistem training di dalam tempat bekerja pun
menjadi hal yang lazim (Watanabe & Edwin,1993).
Sistem pengembangan profesionalisme guru di Jepang juga menganut sistem senioritas,
yaitu guru-guru senior berkewajiban membimbing guru-guru baru. Penulis hendak mengutip
apa yang pernah penulis tuliskan dalam blog Berguru, blog tentang pendidikan Jepang dan
Indonesia yang penulis buat sebagai berikut : “Tradisi pelatihan guru muda di Jepang tidak
berubah, yaitu setahun pertama semua guru fresh graduated harus menjalani in-service
training, untuk mengenali semua tugas dan kewajiban administratur sekolah (kepala sekolah,
wakasek, dan pejabat lain), serta memahami tugas guru. Penulis pernah membaca sebuah
laporan hasil training seorang guru muda dan sangat mengagumkan karena guru tersebut
menuliskan secara detil apa saja kegiatan yang harus dilakukannya detik per detik sejak dia
datang ke sekolah hingga pulang. Dan yang lebih mencengangkan, dia telah mengamati
seharian kerja wakasek, sehingga secara detil mengurutkan apa yang harus dilakukannya
setiap hari. Di sekolah-sekolah Jepang, orang yang paling sibuk sehari-harinya adalah
wakasek. Wakasek hanya ada satu orang, dan dia yang bertugas mulai dari mengecek bel
sekolah sampai mengagendakan kegiatan harian kepala sekolah.
Barangkali tidak sama dengan Indonesia yang guru-guru mudanya lebih “berani”
berkata keras atau berselisih paham dengan guru senior, di Jepang hal ini hampir tidak pernah
ditemukan. Tradisi yang kuat berakar bahwa senior harus didengarkan dan dihormati masih
12. terus dipegang, dan orang yang menentangnya akan segera dikucilkan.Lalu bagaimana kalau
berselisih paham? Jika memiliki ide baru, si guru muda harus membuktikannya dalam
perbuatan dulu. Maksudnya tidak sekedar dalam taraf ucapan, tapi harus sampai pada taraf
aplikasi. Dan satu hal yang harus diingat, kalimat dan ucapan yang harus dipergunakan ketika
berbicara dengan guru senior adalah kalimat yang sangat sopan. Biasanya lulusan perguruan
tinggi telah belajar sistem penghormatan kepada senior di level SMA dan di PT.
Sama halnya dengan Indonesia, tidak semua guru senior di Jepang adalah guru yang baik.
Tetapi sistem pendidikan guru dan perekrutannya sudah diusahakan baik, maka harapannya
jika sistem berjalan baik, tentunya akan meraih sukses seperti yang dimaui. Ibaratnya kita
membicarakan hukum pemberantasan korupsi, jika hukumnya telah baik, maka tinggalah
mendidik agar oknumnya 50% lebih mematuhi dan menjalankan hukum itu. Dan saya berani
menyimpulkan bahwa 50% lebih guru Jepang menjalankan sistem dengan baik. Guru senior
berkewajiban mendidik guru junior. Tentu saja jika guru seniornya kurang baik, maka
hasilnya bisa saja guru junior pun kurang baik, atau bisa juga guru junior mampu
memperbaiki diri. Tapi pola pembinaan senior junior adalah mutlak dilakukan”.
13. BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kurikulum di Jepang memiliki
karakteristik pengembangan yang berusaha menyesuaikan kondisi dan pemikiran masyarakat
Jepang. Perubahan tersebut juga mengikuti perkembangan yang terjadi di dunia internasional.
Perubahan kurikulum di fase awal pasca perang dunia kedua berlangsung dalam waktu yang
singkat, sementara perubahan selanjutnya berlangsung 10 tahunan. Penyusunan kurikulum
telah diselesaikan tiga tahun sebelum dipublikasikan kepada khalayak untuk mendapatkan
masukan, dan selanjutnya diterapkan secara bertahap di sekolah. Kurikulum pendidikan dasar
(SD) tidak mengalami perubahan yang drastis, namun kurikulum pendidikan menengah (SMP
dan SMA) cukup berkembang sesuai zamannya.
Namun tidak semua perubahan tersebut dapat dimengerti oleh guru dengan baik. Untuk
mempersiapkan guru dengan kompetensi dan kualifikasi dasar yang sama, pemerintah Jepang
telah mempersiapkan sistem penerimaan guru yang sistematis dan berlaku dalam waktu yang
panjang dan program pelatihan guru baru, in-service training yang terus menerus.
Kompetensi guru diperbaharui melalui program pembaruan sertifikasi guru yang berlangsung
per sepuluh tahunan, dan proses komunikasi, konsultasi dan pelaporan.Melalui program ini,
perubahan-perubahan dalam kurikulum Jepang dapat dimasyarakatkan di kalangan guru.
14. DAFTAR PUSTAKA
Hara, K. 2007. Gakkō kyōikukateiron. Tokyo: Gakkobunsya
Watanabe, A. and Edwin L. Herr. 1993. “Career Development Issues Among Japanese Work
Groups.” Journal of Career Development, Vol. 20, pp 61-72
Ramli,M. 2008a. Apa Yang Seharusnya Diajarkan Kepada Anak Tentang Kota Dan
Transportasi ? Inovasi Online, 10 (10), pp. 61-66.PPI Jepang
———-. 2008b. Kebijakan Evaluasi Guru di Jepang,Educationist,2(2), pp.112-122.
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung bekerjasama dengan LPTKI
———-. 2009.Membina Siswa dan Sekolah Sehat di Jepang. Inovasi Online,13(22), pp.35-
47.PPI Jepang
KARAKTERISTIK KURIKULUM DI JEPANG
O
L
15. E
H
KELOMPOK II : 1. DEWI LESTARI ( )
2. DIAH RETNO ( )
3. HADI RITONO ( )
4. HAFNI SURYATIS ( )
KELAS : A – 3
PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN MATEMATIKA
TAHUN 2014