Dokumen tersebut menjelaskan makna esensial dari kata "insyâallâh" yang sering diucapkan oleh banyak orang tanpa memahami maknanya. Secara harfiah, "insyâallâh" berarti "jika Allah menghendaki". Ucapan ini menunjukkan bahwa segala sesuatu yang terjadi di masa depan bergantung pada kehendak Allah, bukan manusia. Dokumen tersebut juga menganjurkan agar setelah mengucapkan "insy
1. Ucapkan: “Insyâallâh”
Oleh: Muhsin Hariyanto
Berkali-kali saya dengar (banyak) orang mengucapkan kalimat
insyâallâh, dan selanjutnya mereka merasa tak terbebani dengan ucapan itu,
seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa. “Sekarang berjanji, besok pun
diingkari”. Kenapa hal itu bisa terjadi?
Memang, banyak orang di sekitar kita yang sering mengucapkan kata
insyâallâh tanpa menghayati maknanya. Alih-alih menghayati, bisa jadi
mereka ‘tak benar-benar mengerti’ makna kata insyâallâh itu. Lalu,
pertanyaan kita yang kita jawab (selanjutnya) adalah: “Apa makna esensial
dari kata yang terlalu sering kita dengar itu?
Kata guru ngaji saya, sewaktu saya masih belajar di Madrasah
Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta: “segala sesuatu yang menyangkut
persoalan yang belum terjadi, dalam pengertian ditengarai akan terjadi pada
‘masa yang akan datang’, meskipun sekadar ‘sekejap’, semua orang tidak
bisa memastikan akan benar-benar terjadi, kecuali bila sesuatu itu
dikehendaki Allah untuk benar-benar terjadi.
Nah, sekarang perhatikan makna firman Allah dalam QS al-Kahfi,
[18]: 23-24:
َ
ول تقولن لشيء إِني فاعل ذلك غدا )٣٢ ( إ ِل ّ أن
ً َ َ َِ ٌ ِ َ ّ ٍ ْ َ ِ ّ َ ُ َ َ
َ
يشاء الله واذكر ربك إِذا نسيت وقل عسى أن
َ َ ْ ُ َ َ ِ َ َ َ ّّ ُ ْ َ ُ ّ َ َ
٢٤) )يهدين ربي ل َقرب من هذا رشدا
ً َ َ َ َ ْ ِ َ َ ْ َّ ِ َِ ْ َ
“Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: "Sesungguhnya aku
akan mengerjakan ini besok pagi, kecuali (dengan menyebut): "insyâallâh". Dan
ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: "Mudah-mudahan
Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada
(hal) ini".
Menurut salah satu riwayat, berkaitan dengan sabab an-nuzûl ayat di
atas, ada beberapa orang Quraisy yang bertanya kepada Nabi Muhammad
s.a.w. tentang rûh, kisah ashhâbul kahfi (penghuni gua) dan kisah Dzulqarnain.
Berawal dari pertanyaan itu beliau pun menjawab: “Datanglah besok pagi
1
2. kepadaku agar aku ceritakan (untuk menjawab pertanyaan itu)”. Dan beliau
sama sekali tidak mengucapkan kalimat insyâallâh (jika Allah menghendaki).
Ternyata, sampai esok harinya wahyu (yang diharapkan datang untuk
menjawab pertanyaaan itu) terlambat datang untuk menceritakan
(menjawab) hal-hal (perihal pertanyaan) tersebut, dan Nabi s.a.w. pun
(karena belum turunnya wahyu dari Allah) tidak mampu menjawabnya.
Berkaitan dengan hal itu, maka turunlah QS al-Kahfi, [18]: 23-24, sebagai
pelajaran kepada Nabi Muhammad s.a.w.. Dalam hal ini Allah
mengingatkan Nabi s.a.w. (yang telah) lupa menyebut kalimat insyâallâh
ketika berjanji, dan beliau pun menyadari kekhilafannya.
Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa perkataan Nabi s.a.w. di
atas ‘hendaklah’ disertai dengan kata-kata " insyâallâh" yang artinya "jika
Allah menghendaki atau mengizinkan". Sebab kemungkinan seseorang akan
meninggal dunia sebelum hari besok itu datang dan barangkali ada suatu
halangan, sehingga dia tidak dapat mengerjakan apa yang diucapkannya
itu. Maka bilamana dia menyertakan dengan kata " insyâallâh", tentulah dia
tidak dipandang sebagai pendusta dalam janjinya itu. Sekiranya seseorang
terlupa mengucapkan kata-kata insyâallâh dalam janjinya itu, hendaklah dia
mengucapkan kalimat itu sewaktu dia teringat kapan saja. Sebagai contoh
pernah Rasul s.a.w. mengucapkan kata insyâallâh, setelah dia teringat. Beliau
mengucapkan:
« والله ل َغزون قريشا والله ل َغزون قريشا « . ثم
ّ ُ ً َْ ُ ّ َ ُ ْ ِ ّ َ ً َْ ُ ّ َ ُ ْ ِ ّ َ
ُ .» سكت ساعة ثم قال :» إِن شاء اللّه
َ َ ْ َ َ ّ ُ ً َ َ َ َ َ
"Demi Allah aku pasti akan memerangi orang-orang Quraisy, kemudian beliau
diam sesaat, lalu mengucapkan (kata): "insyâallâh". (HR al-Baihaqi dari
Abdullah bin Abbas)
Sesudah Allah memberikan -- kepada Nabi s.a.w. -- tuntunan tentang
adab terhadap Allah ketika berjanji, atau berniat untuk melakukan suatu
pekerjaan yang akan datang, maka kemudian Allah memerintahkan kepada
rasul-Nya (Muhammad s.a.w.) supaya mengharapkan dengan sangat
kepada-Nya, dengan harapan Allah berkenan untuk memberikan petunjuk
kepada beliau ke jalan yang lebih dekat kepada kebaikan dan lebih kuat
untuk dijadikan alasan bagi kebenaran agama. Allah telah memenuhi
harapan Nabi s.a.w. tersebut dengan menurunkan cerita Nabi-nabi beserta
umat mereka masing-masing pada zaman-zaman yang terkait dengan
3. keberadaan mereka. Dengan kisah para nabi dan umatnya itu, umat Islam
memeroleh pelajaran yang sangat bermanfaat bagi kehidupan mereka
untuk, baik untuk kehidupan dunia dan akhirat. (Al-Qurthubi, al-Jâmi Li
Ahkâm al-Qurân, juz X, hal. 385)
Untuk menjawab pertanyaan mengenai makna (esensial) kalimat
insyâallâh, para ulama menjelaskan, bahwa sesuatu yang menyangkut masa
yang akan datang, minimal mencakup lima unsur: (1) pelaku (subjek); (2)
yang diperlakukan (objek); (3) waktu dan tempat kejadian; (4) sebab-
musabab; (5) kekuatan dan kemampuan yang diperlukan untuk
melaksanakannya.
Oleh karena itu, misalnya ketika seseorang berkata: “Besok saya akan
pergi ke tempat Mr. X untuk membicarakan masalah X”, sebenarnya orang
tersebut tidak memiliki jaminan apa pun bahwa ia akan tetap bisa hidup
sampai besok dan berkemampuan untuk datang ke tempat Mr. X untuk
membicarakan masalah yang dijanjikannya. Begitu pula Mr. X yang akan
ditemui olehnya, juga tak memiliki jaminan yang sama untuk bisa bertemu
denganya di tempat dan waktu yang dijanjikan. Kalau pun ‘ia’ pada waktu
yang sudah ditentukan ‘bisa pergi’, mungkin waktunya tidak setepat yang
dijanjikan, atau tempatnya pun bisa berubah; atau mungkin saja pada waktu
dan tempat yang telah dijanjikan, mereka berdua itu tidak berkemampuan
untuk melaksanakan niatnya, atau bahkan juga bisa berubah niat untuk
melaksanakannya pada saat dan tempat yang berbeda.
Kesimpulan pentingnya: “siapa pun sama sekali tidak memiliki
kekuasaan penuh untuk menentukan ‘kelima unsur’ tersebut di atas secara
mandiri, tanpa bergantung pada siapa pun. Semua itu akan terpulang dan
dikembalikan kepada pengaturnya; Allah-lah yang Maha Kuasa untuk
mengatur semua persoalan, termasuk sesuatu yang kita inginkan. Manusia –
sekuat apa pun -- harus menuruti kehendak-Nya. Sehingga ucapan
insyâallâh yang diucapkan oleh setiap orang, bermakna: “Jika Allah
menghendaki atau mengizinkan, semua rencana orang itu pasti akan
terlaksanana. Sebaliknya, bila Allah tidak menghendaki atau mengizinkan,
pasti rencana orang itu pun akan (selalu) gagal.
Selanjutnya, apa yang seharusnya kita sikapi ketika kita sudah benar-
benar mantap mengucapkan kalimat insyâallâh? Kita – setelah
mengucapkannya -- harus berupaya optimal untuk melaksanakan apa yang
kita niatkan dengan seluruh kemampuan kita, dengan dua sikap yang tak
mungkin kita abaikan: “Sabar dan Tawakal”. Sabar, dalam pengertian:
“bersikap pro-aktif untuk meraih sesuatu yang kita niatkan, (kita)
3
4. kehendaki, (kita) inginkan, (kita) harapkan, (kita) cita-citakan tanpa ‘kenal’
putus asa”. Diiringi dengan sikap ‘tawakal’, dalam pengertian:
“menyandarkan diri dalam semua usaha kita hanya kepada Allah semata”.
Jadi, substansi ucapan ‘insyâallâh’ yang telah kita ucapkan, bermakna:
“kita telah benar-benar bertekad untuk melaksanakan apa yang kita niatkan
dan (kita) janjikan seoptimal mungkin, dengan sebuah kesadaran (ilahiah),
bahwa ‘hasil’ dari setiap upaya kita (benar-benar) hanya bergantung pada
kehendak dan izin Allah semata. Tanpa kehendak dan izin Allah, apa pun
yang sudah kita upayakan tidak akan pernah berhasil untuk kita capai,
kapan pun dan di mana pun!
Sebagai seorang muslim, ketika sudah mengucapkan kalimat
insyâallâh, harus berhimmah untuk beramal shalih seoptimal mungkin
(yang berpotensi mengisi kekosongan hati kita), disertai dengan keinginan
kuat untuk meninggalkan perbuatan ‘dosa’ (maksiat) sekecil apa pun (yang
berpotensi mengotori hati kita), dan dengan (mantap) mengucapkan kalimat
yang menunjukkan kekuatan niat kita: “insyâallâh”, agar kita bisa
membangun sikap ikhlas dalam beramal shalih dan (sekaligus) membangun
budaya “kerja keras dan cerdas” dengan pondasi iman dan taqwa kita
sebagai seorang muslim.
Sekarang, dengan pengakuan keislaman kita, “bukan saatnya kita
‘bermimpi’. Buktikan bahwa kita bisa ‘beraksi’. Bersama Allah,
insyâallâh, kita “bisa!”
Penulis adalah Dosen Tetap FAI UM Yogyakarta dan Dosen Tidak Tetap
STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta