Dokumen tersebut memberikan larangan untuk berfikir tentang dzat Allah dan menjelaskan alasannya. Ia menyarankan untuk berfikir tentang ciptaan-Nya saja agar menyadari kebesaran-Nya. Dzat Allah tidak dapat dicapai oleh akal manusia karena sifat-Nya mutlak, sedangkan manusia sangat terbatas. Ajaran Nabi tentang Allah hanya sebatas yang telah diajarkan, yaitu sifat-Nya tanpa bentuk
1. JANGAN BERFIKIR TENTANG DZAT ALLAH SWT
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau
duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau,
maka peliharalahkami dari siksa neraka." (QS. Ali Imran[3]:190-191)
Katakanlah: "Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan
Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak
beriman".(QS.Yunus[10]:101)
"Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. Yang
demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka
akan masuk neraka." (Q.S. Shaad[38]:27)
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Berfikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-sekali engkau berfikir tentang Dzat Allah "
[Hadits hasan, Silsilah al Ahaadiits ash Shahiihah]
Kata dzat yang disandarkan pada Allah kita jumpai pada sabda Nabi saw, "Tafakkaruu fi khalkillah walaa
tafakkaruu fi dzatihi" atau "Berpikirlah kamu tentang ciptaan Allah, tapi jangan berpikir mengenai Dzat-
Nya." (atau dzat Sang Pencipta).
Perhatikanlah Firman Allah subhanahu wata'ala ini:
"Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." (QS. Al-Ikhlas[112]:4)
"Tidak sesuatu pun yang serupa dengan Dia (Allah), dan Dia Maha Mendengar, Maha Melihat." (QS. As -
Syuuraa[26]:11)
"Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan
Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-An'Aam[6]:103)
Dengan demikian, maka setiap kali kita menyebut Dzat Allah, tidak berarti bahwa dzat yang dimaksud
adalah dzat yang sama dengan berbagai dzat ciptaan-Nya sendiri seperti zat cair, zat padat, zat gas,
atau zat-zat lain yang menyerupai itu. Sama hal nya dengan ketika kita berkata bahwa Allah Maha
Mendengar. Ini juga tidak bisa diartikan sesederhana sebagaimanamakhluk ciptaan-Nya mendengar
dengan bantuan panca indera telinga.
Perhatikanlah pula Firman Allah subhanahu wata'ala ini:
2. "Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur'an dan As Sunnah) kepada
siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah
dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil
pelajaran dari firman Allah." (QS. Al-Baqarah[2]:269)
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal." (QS. Ali-Imran[3]:190)
Jika dalam tiga firman sebelumnya Allah menyiratkan bahwa mustahil panca indera manusia akan
mampu mencapai eksistensi-Nya, maka pada dua firman berikutnya (ada puluhan banyaknya yang
serupa), Allah menyiratkan kepada kita bahwa manusia, bila mau merendah dan berfikir, niscaya akan
mampu mencapai eksistensi-Nya melalui perantara akal.
Rasulullah saw berpesan, "Tafakkaruu fi khalkillah walaa tafakkaruu fi dzatihi"
Sabda beliau ini menyiratkan bahwa berfikir tentang ciptaan Allah, walau bagaimanapun, akan
menyadarkan kita bahwa Allah itu ada, dan eksistensi-Nya sangat nyata. Namun Rasulullah saw juga
mengingatkan; cukuplah sampai di situ saja! Jangan coba-coba untuk berpikir lebih jauh, misalnya
tentang bagaimana kira-kira Dzat Allah, atau sosok Allah itu sendiri.
Mengapa demikian? Pertama, karena Allah sendiri sudah mengingatkan kita (Lihat lagi QS. Al-An'Aam [6]
:103 di atas) dan Rasulullah saw juga sudah tegas-tegas melarangnya (perhatikan sabda beliau tadi,
begitu juga makna yang terkandung dalam QS. Yunus[10]:101 di atas).
Tentang larangan ini tentu Rasulullah saw adalah manusia yang paling mengetahui apa alasannya.
Sebab beliau sendiri pernah "bertemu" dengan Allah ketika melakukan perjalanan malam yang kita kenal
dengan sebutan Isra' Mi'raj itu. Ini sekaligus juga menjelaskan bahwa prasangka sebagian umat Kristen
yang mengatakan bahwa Rasulullah saw "tidak tahu" bagaimana sesungguhnya dzat Allah itu adalah
pendapat yang sangat keliru!
Sedangkan alasan yang kedua adalah, walau bagaimanapun kita paksakan, pada kenyataannya seluruh
kemampuan panca indera kita yang sangat terbatas ini pasti tidak akan pernah mampu melihat dzat atau
wujud Allah!
Sifat Allah adalah mutlak (absolute). Tidak mungkin dibatasi oleh apa pun, apalagi oleh alam pikiran
manusia. Sementara sifat manusia sendiri serba sangat terbatas. Untuk membuktikan betapa kecilnya
kita dibandingkan dengan betapa Maha Besarnya Allah, salah satu contoh yang saya pikir sangat mudah
untuk difahami misalnya adalah begini:
Kita yang sangat kecil ini hidup, berdiri, berjalan, tidur dlsb di atas permukaan bumi yang kita yakini betul
bahwa wujudnya ada dan nyata. Tapi jika kemudian ada orangyang bertanya, " Dapatkah anda melihat
wujud bumi ini seutuhnya dari tempat anda sekarang berdiri? " Kira-kira apa jawaban anda?
3. Padahal bumi hanya salah satu dari bermilyar-milyar ciptaan Allah yang bertebaran di seluruh jagad raya
ini. Dapatkah kita, dari tempat berdiri sekarang ini misalnya, melihat benda-benda langit yang konon
katanya ada yang ukurannya berlipat-lipat kali lebih besar dari bumi?
Jika anda katakan "Dapat", maka dapat pula dipastikan bahwa anda pasti sedang berdusta. Sedangkan
jika anda katakan "Tidak," dan memang demikianlah adanya, lalu bagaimana mungkin kita coba
mengandalkan panca indera yang sangat terbatas ini untuk melihat Dzat Allah yang sejatinya adalah
Sang Pencipta seluruh benda, atau wujud-wujud lain di alam semesta yang jelas-jelas tidak mampu kita
lihat itu?
Jadi, gampangnya begini: sedangkan untuk melihat ciptaan-Nya saja kita sudah tidak sanggup, apalagi
untuk melihat sang Penciptanya sendiri?
Maka pengetahuan kita tentang Dzat Allah dengan sendirinya tidak akan mungkin melampaui
pengetahuan yang sudah diajarkan oleh Allah sendiri kepada kita seperti misalnya bagaimana sifat-sifat-
Nya, bagaimana harus menyebut nama-Nya, apa yang dikehendaki-Nya, apa yang tidak disukai-Nya,
dan lain-lain tentang Allah sebagaimana yang sejak awal peradaban manusia telah diajarkan oleh para
Nabi dan Rasul-Nya kepada umat manusia. Baik itu melalui wahyu Allah yang diturunkan langsung
kepada mereka, maupun yang diturunkan melalui kitab-kitab wahyu Allah seperti Taurat, Zabur, Injil dan
Al-Qur'an.
Adapun bagi umat Muslim, tentu saja pengenalan kepada Allah menjadi seperti apa yang diajarkan di
dalam Al-Qur'an dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad saw. Dan dari sinilah umat Muslim menjadi faham
betul bahwa konsep Ketuhanan Allah dalam Islam sudah sangat mapan, sehingga tidak ada lagi yang
perlu dipermasalahkan, terutama bagi orang-orang yang berpikir dengan menggunakan akalnya secara
paripurna.
Jadi, jika kita tetap memaksakan dirijuga untuk "mewujudkan" sosok Allah dalam pikiran kita, maka
seperti sudah dijelaskan di atas, bagaimanapun bentuk pewujudan itu, PASTI SALAH! Sebab, bukankah
selama ini pengetahuan kita tentang bentuk atau wujud selalu berdasarkan pada persepsi yang
bersandar pada segala sesuatu yang pernah kita lihat? Sedangkan dari seluruh ajaran Nabi dan Rasul
sebelum Nabi Muhammad saw (termasuk Nabi Isa) sampai kepada Nabi Muhammad sendiri tentang
wujud Allah, kita belajar bahwa semuanya bermuara pada satu persamaan yang hakiki yaitu: Allah sama
sekali tidak serupa dengan apa pun yang dapat dibayangkan oleh akal dan dicapai oleh panca indera
manusia. Allah kita MAHA GHAIB!
Perhatikan juga ini:
"Bukankah Allah bersemayam di langit yang tinggi? Lihatlah bintang-bintang yang tertinggi, betapa
tingginya!" (Ayub 22:12)
"Bapa yang mengutus Aku, Dialah yang bersaksi tentang Aku. Kamu tidak pernah mendengar suara-Nya,
rupa-Nyapun tidak pernah kamu lihat," (Yohanes 5:37)
4. "Lalu Ia menjawab: "Kepadamu diberi karunia untuk mengetahui rahasia Kerajaan Allah, tetapi kepada
orang-orang lain hal itu diberitakan dalam perumpamaan, supaya sekalipun memandang, mereka tidak
melihat dan sekalipun mendengar, mereka tidak mengerti." (Lukas 8:10)
Itu sebabnya mengapa ketika ajaran para Nabi dan Rasul Allah sebelum Nabi Muhammad saw tentang
eksistensi Allah "dibenturkan" pada konsep Trinitas yang TIDAK PERNAH diajarkan oleh Nabi Isa as
(Yesus) sendiri, maka turunlah peringatan Allah melalui firman-Nya di dalam Al-Qur'an seperti berikut ini:
"Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan
terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, 'Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah
dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan)
roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu
mengatakan: "(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah
Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah
kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah menjadi Pemelihara." (QS. An-Nisaa[4]:171)
wallahu a'lam