1. Meraih Tujuan Puasa
Jawaban halal-haram, sah-batal tentang persoalan kehidupan, meskipun masih
diperlukan, ternyata tidak seluruhnya mengobati rasa dahaga umat, termasuk di
dalamnya: "problematika puasa". Pertanyaan orang tentang puasa tidak terbatas pada
keinginan orang untuk mendapatkan jawaban tentang halal-haram sah-batal. Lebih
jauh dari itu, umat Islam sudah sampai pada pertanyaan tentang “untuk apa” kita
berpuasa. Pertanyaan tentang puasa dari sejumlah muslim kritis ini memerlukan
jawaban lebih dalam daripada sekadar jawaban-jawaban yang selama ini banyak
dikemas dalam buku-buku pedoman fiqih puasa pada umumnya. Saatnya umat Islam,
‘kini’ mendapatkan jawaban terbaik tentang berpuasa untuk menjadi “pribadi dan
komunitas muttaqîn (orang-orang yang bertaqwa) dan bahkan (menjadi) khairun nâs
(manusia terbaik) dan khairu ummah (umat yang terbaik)”.
Allah telah berjanji akan mengubah karakter orang-orang yang berpuasa
menjadi “orang-orang yang bertaqwa”. Sebagaimana firman Allah:
نَ ذنيَِنيلللَّا ل ىللَ عَ بَ للتَِنيكُت ل المَ كَ مُتي اَ للصِّ ال مُتكُت يُْكلَ عَ بَ تَِنيكُت اُْكاونُتمَ آ نَ ذنيَِنيلَّا ه اَ نيُّهأَ ني اَ
نَ قاوُتتَّتَ مُْك كُت لَّعَ لَ مُْك كُت لَِنيبُْكقَ منَِني
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-
orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS al-Baqarah [2]: 183). Danm siapakah mereka?
Di antara karakter orang-orang yang bertaqwa adalah (sebagaimana firman
Allah):
نَ فيَِنيل العَ لُْكاوَ ظَ يُْكغَ لُْكا نَ ميَِني ظَِني ك اَ لُْكاوَ راءَّ ضَّ والَ راءَّ سَّ ال ف يَِني نَ قاوُتفَِنينينُت نَ ذنيَِنيلَّا
) نَ نيَِنيللسَِني حُْك مُت لُْكا بُّه للحَِني نيُت للللَُّت واَ سَِني ل النَّال نَِني للعَ ١٣٤(لاواللُتعَ فَ ذاَ إَِني نَ ذنيَِنيلللَّواَ
نُْك للمَ وَ مُْك هَِني بَِنياونُتذُتلللَِني رواُت فَ غُْك تَ للسُْك ف اَ للللََّ ا رواُت كَ ذَ مُْك هُت سَ فُتنُْكأَ ماواُت لَ ظَ وُْك أَ ةً أ شَ حَِني ف اَ
) نَ لاولمُت لَ عُْك نيَ مُْك هُت وَ لاواُتعَ فَ م اَ ل ىَ عَ رواُّه صَِني نيُت مُْك لَ وَ للَُّت ا الَّ إَِني بَ ناوُتذُّهال رُت فَِنيغُْك نيَ
١٣٥)
“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-
orang yang menahan amarahnya serta mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang
yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau
menganiaya diri sendiri (Perbuatan keji [fâhisyah] ialah: dosa besar yang madharat [dampak buruk]-
nya tidak hanya menimpa diri sendiri, tetapi juga menimpa orang lain, seperti zina, berjudi dan
korupsi. Menganiaya diri sendiri [zhalama nafsah] ialah: melakukan dosa yang madharat [dampak
buruk]-nya hanya menimpa diri sendiri baik yang besar atau kecil), mereka ingat akan Allah, lalu
memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain
Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS Âli
‘Imrân [3]: 134-135)
1
2. Puasa yang kita lakukan dengan sepenuh hati – setelah memahami kandungan
rangkaian ayat al-Quran tersebut di atas -- akan membentuk karakter diri kita menjadi
orang yang bertaqwa, yang antara lain terekspresi menjadi: (1) pribadi-pribadi yang
berkesediaan dan berkemampuan untuk berinfak dalam keadaan apa pun (berkepribadian
munfiq), sehingga — diri pribadi kita — terbebas dari sikap ’bakhil’ dalam bentuk apa
pun; (2) pribadi-pribadi yang berkesediaan dan berkemampuan untuk menahan amarah,
sehingga terbebas dari sikap “pemarah”, terbebas dari sikap anarkis dalam situasi dan
kondisi apa pun; (3) pribadi-pribadi yang berkesediaan dan berkemampuan untuk
memaafkan (kesalahan) siapa pun yang pernah bersalah kepada diri kita, sehingga –
minimal – kita terbebas dari sikap benci dan dendam kepada siapa pun; dan (4) ) pribadi-
pribadi yang berkesediaan dan berkemampuan untuk bermuhâsabah (melakukan
introspeksi), mengakui kesalahan yang pernah kita perbuat, menyesali dan tak pernah lagi
mengulanginya dengan penuh kesadaran. Sehingga – dampak positifnya – kita menjadi
pribadi-pribadi yang yang selalu berhati-hati dalam bersikap dan bertindak, dengan
harapan ’tidak-lagi’ mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama di mana pun, kapan pun
kepada siapa pun dalam bentuk apa pun.
Akhirnya, dengan melaksanakan puasa sepenuh hati, kekhawatiran Rasulullah
s.a.w. terhadap kesia-siaan ibadah puasa bagi setiap orang yang telah merasa berpuasa,
sebagaimana sabdanya yang sangat populer, yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal
dari Abu Hurairah r.a.:
مٍ لئِمقئاققَا نقْ ق ققمِم مقْ ق ققكَا وَا عق ،قُ قعوقجُ لْ قا القَّ ا إِم هقِم مِم يئاَاققصِم نقْ ق مِم هقُ لَا سقَا يْ قلَا مقٍ لئِمصئاَا نقْ ق مِم مقْ ق كَا ق
رُ هَا سَّ ا الق الَّ ا إِم هقِم مِم يئاَاقِم نقْ ق مِم هقُ لَا سقَا يْ قلَا
“Betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tak pernah menggapai pahala puasanya kecuali lapar
(dan termasuk di dalamnya “dahaga”), dan betapa banyak orang yang melakukan qiyâm (al-lail)
yang tak pernah mendapatkan manfaat apa pun kecuali sekadar berjaga (begadang) di malam hari”,
tidak akan pernah lagi terjadi pada setiap orang yang beriman (yang – karena iman dan
keikhlasannya -- benar-benar selalu menjalani ibadah puasanya dengan sepenuh hati).
Bagaimana dengan diri kita? Sudahkah kita jalani ibadah puasa kita selama ini
dengan sepenuh hati, hingga berhasil meraih tujuan puasa kita?
Semoga diri kita – segera – ’menjadi’ orang yang berkesediaan dan
berkemampuan untuk ’menjadi’ yang pertama dan utama dalam melaksanakan ibadah
puasa yang menyertakan hati kita sepenuhnya, dan meraih tujuan esensial puasa:
“menjadi orang yang bertaqwa”.
Âmîn, Yâ Mujîbas Sâilîn.
2