1. 1
Al-Isyfâq
Beberapa saat yang lalu, kita pernah membahas tentang makna
khasy-yah, yang disebut oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah sebagai bagian dari
tempat persinggahan iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in. Setelah itu, beliau pun
menyebut tempat persinggahan yang lain, yaitu: isyfâq, sebagaimana
firmanNya,
َينِ
ذ
اَّلََنْوش
ْ
َيَمُهذّبرََِبْيغ
ْ
الِبَم
ُ
هوََن
ّ
ِمََِةاع ذالّسََون
ُ
قِف
ْ
شُم
"(Yaitu) orang-orang yang takut akan adzab) Rabb mereka, sedang mereka tidak
melihat-Nya, dan mereka merasa takut akan (tibanya) hari kiamat." (QS al-
Anbiyâ'/21: 49).
َلب
ْ
قأوََْمُه ُض
ْ
عبََىَعََض
ْ
عبََون
ُ
لاءّستيَ﴿٥٢﴾َوا
ُ
القَا
ذ
ّنِإَا
ذ
ّن
ُ
كََ
ُ
لْبقََ ِفَ
اّنِل
ْ
هأََيِقِف
ْ
شُمَ﴿٥٢﴾ََذنمفََُ ذ
اّللَاّنْيلعَااّنقووََابذعََِومُم ذالّسَ﴿٥٢﴾
"Dan, sebagian mereka menghadap kepada sebagian yang lain saling tanya-
menanya. Mereka berkata, Sesungguhnya kami dahulu, sewaktu berada di tengah-
tengah keluarga kami, merasa takut (akan adzab). Maka Allah memberikan karunia
kepada kami dan memelihara kami dari adzab neraka'." (QS ath-Thûr/52: 25-27).
Isyfaq --- dalam pengertian etimologis – bermakna siuman atau
‘sadar. Berasal dari kata ‘asyfaqa - yusyfiqu - isyfâqan. Sedang dalam pengertian
terminologis, bermankan ‘rasa takut yang amat lembut’ terhadap sesuatu
atau seorang yang ditakutinya. Perbandingannya dengan rasa takut seperti
rasa belas kasihan dengan kasih sayang. Jadi hal ini merupakan ‘kasih
sayang yang amat lembut’. Oleh karena itu al-Harawi, di dalam kitab
Manazilus-Sa'irin menyatakan bahwa "iyfaq adalah kewaspadaan secara terus-
menerus yang disertai dengan rasa kasih-sayang.
Beliau menyatakan bahwa isyfâq memiliki tiga tingkatan.
1. Isyfâq terhadap jiwa, dalam ranngka mengantisipasi agar diri kita tidak
terjebak ke dalam pengingkaran terhadap Allah, mengikuti jalan nafsu
dan kedurhakaan serta pengingkaran ‘ubudiyah. Sedangkan isyfâq
terhadap amal ialah: mengantisipasi agar diri kita tidak terjebak ke dalam
tindakan (amal) yang sia-sia. Artinya kita memiliku rasa khawatir,
jangan-jangan amal (tindakan) kita seperti apa yang difirmankan oleh
Allah,
2. 2
اّن
ْ
مِدقوََىلِإَامَوا
ُ
لِمعََْنِمََلمعََُاهّن
ْ
لعجفََاءبهَاور
ُ
ّنث
ذ
مَ
"Dan, Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal
itu (bagaikan) debu yang beterbangan." (QS al-Furqân/25: 23).
Amal yang diibaratkan debu yang beterbangan itu ialah: amal-amal yang
dimaksudkan untuk selain Allah, tidak menurut perintah-Nya dan
Sunnah Rasul-Nya. Rasa takut ini juga berlaku untuk amal-amal yang
akan datang, jangan-jangan seseorang terjebak dalam kondisi
‘meninggalkannya’ atau (dalam kondisi) kedurhakaan yang
dilakukannya, sehingga amal-amal itu pun menjadi hilang maknya,
sehingga keadaannya seperti apa yang difirmankan Allah,
َ
ّ
دويأََْم
ُ
كُدحأَنأََون
ُ
كتََُلََة
ذ
ّنجَن
ّ
ِمََيلِ
ذ
َّنََابّن
ْ
عأوَيِر
ْ
َتَنِمَ
اهِت
ْ
َتََُاره
ْ
ن
ْ
اْلََُلَايهِفَنِمََ
ّ
ِ
ُ
كََِاترمذاّثلََ
ُ
هابصأوََُبِك
ْ
الََُلوََةذّيّ
ِر
ُ
ذَ
َُاءفع ُضََهابصأفاََارص
ْ
عِإََِهيِفََارّنََْتقَت
ْ
احفَۗذكىَٰكِلََُ ّ
ِيبُيََُ ذ
اّللَ
َُم
ُ
كلََِاتي
ْ
اْلََْم
ُ
ك
ذ
لعلََونُر
ذ
كفتتَ
"Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma
dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; Dia mempunyai dalam
kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada
orang itu sedang Dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun
itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. Demikianlah
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya
[Inilah perumpamaan orang yang menafkahkan hartanya karena riya,
membangga-banggakan tentang pemberiannya kepada orang lain, dan menyakiti
hati orang]." (QS al-Baqarah/2: 266).
Sebagai sebuah ilustrasi, kita bisa belajar pada kisah Umar bin
al-Khaththab ketika bercengkerama dengan para sahabatnya.
Suatu saat, Umar bin al-Khaththab pernah bertanya kepada para
shahabat, "Kepada siapakah ayat ini diturunkan?"
Mereka pun menjawab, "Allahlah yang lebih mengetahuinya."
Mendengar jawaban mereka ini, Umar pun marah, lalu dia
berkata, "Katakan saja, kami tahu atau kami tidak tahu."
3. 3
Lalu, Abdullah bin Abbas pun berkata, "Wahai Amirul-
Mukminin, aku mempnyai selintas pengertian tentang ayat ini."
Umar pun menyahut, "Wahai anak saudaraku, katakanlah, dan
janganlah engkau terlalu merendah diri."
Abdullah bin Abbas berkata, "Ayat ini merupakan
perumpamaan tentang suatu amal."
"Amal semacam apakah itu?" tanya Umar.
Abdullah bin Abbas menjawab, "Tentang seseorang yang kaya
raya dan juga rajin melakukan ketaatan kepada Allah, lalu Allah
mengutus setan kepadanya, dan dia pun melakukan kedurhakaan,
sehingga menenggelamkan semua amalnya."
2. Isyfâq terhadap waktu, dalam rangka untuk mengantisipasi agar kita atau
seseorang tidak ternodai oleh perpisahan. Dengan kata lain, seseorang
mewaspadai waktunya agar tidak tercampuri sesuatu yang bisa
memisahkan kebersamaannya dengan Allah. Sedangkan isyfâq terhadap
hati, kalau-kalau ia terisi penghalang, apakah halangan atau hambatan
yang berupa syubhat, syahwat atau sebab apa pun yang menghambat
perjalanannya menuju pada kedekatannya kepada Allah.
3. Isyfâq dalam rangka menjaga upaya seorang hamba dari sikap ‘ujub,
menahannya agar tidak memusuhi akhlak mulia dan membawanya agar
mampu menjaga dirinya pada kesungguhannya dalam beribadah kepada
Allah.
Isyfâq yang pertama berkaitan dengan amal, yang kedua
berkaitan dengan akhlak dan yang ketiga berkaitan dengan kehendak.
Pada masing-masing bagian ini ada sesuatu yang bisa merusaknya. ‘Ujub
merusak amal. Merasa takut terhadap usahanya yang bisa dirusak ‘ujub
ini dapat menjaga usaha tersebut. Memusuhi akhlak merupakan perusak
akhlak. Merasa takut terhadap akhlak yang bisa dirusaknya ini dapat
menjaga akhlak tersebut. Keinginan bisa dirusak oleh tidak adanya
kesungguhan, yaitu canda dan senda gurau. Merasa takut terhadap
keinginan yang bisa dirusak senda gurau ini dapat menjaga keinginan
tersebut.
Jadi, isyfâq bisa dimaknai sebagai sebuah sikap kehati-hatian dalam
rangka mengantisipasi terjadinya sesuatu yang tidak baik, dan untuk
selanjutnya bersikap proaktif dengan cara melakukan tindakan apa pun yang
bisa mencegah terjadinya keburukan-keburukan itu dengan jalan yang
terbaik. (Lihat: Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Madârijus Sâlikîn, juz I, hal. 517-
520)