Teks tersebut membahas tentang pentingnya kesadaran akan kehidupan di dunia yang bersifat sementara dan ujian, serta persiapan untuk kehidupan abadi di akhirat. Ditekankan pula pentingnya memanfaatkan waktu saat ini untuk berbuat kebaikan dan mendekati Allah."
1. Oleh: Farid Ahmad Okbah. MA
Beruntunglah seorang mukmin yang sadar bahwa hidup ini adalah ujian sesaat, yang sebentar
lagi kita akan meninggalkan dunia ini menuju kehidupan abadi. Rugilah mereka yang
menjadikan dunia ini tempat bersenang-senang, mencari kesenangan sesaat, dan lupa akan
tanggung jawab akhiratnya.
Setiap orang akan mengalami lima masa;
Pertama, Yaumun Mafqud (hari yang telah berlalu).
Hendaknya masing-masing melihat apa yang terjadi pada masa lalunya. Apabila ada yang
tidak baik dari masa lalu kita, baik pelanggaran terhadap hak Allah, ataupun kesalahan
kepada sesama manusia, maka mintalah maaf kepada manusia dan ampun kepada Allah.
Apabila pada masa lalunya ia mendapati banyak amal shalih yang ia kerjakan, maka mintalah
kepada Allah supaya diterima sebagai amal shalih dan tercatat dalam catatan kebaikannya.
Kedua, Yaumun Masyhud (hari ini).
Hendaknya kita melihat apa yang terjadi pada diri kita hari ini. Ini lah yang ada di tangan
kita, jangan sampai kita gunakan untuk melanggar Allah sedikitpun. Jangan sampai ada
waktu kita yang terbuang sia-sia, dan gunakanlah semaksimal mungkin untuk ketaatan.
Karena hari inilah yang menentukan diri kita.
Jangan lupa terhadap sabda Rasulullah `,
ِميِاتَوَْاْلِب ُالَمَْعألا اَمَّنِإَو
“Sesungguhnya amal itu ditentukan akhirnya.”1[1]
Jika hari ini kita meninggal, kita harus berusaha dalam amal shalih, saat mengikuti khutbah
jum’at, shalat berjamaah, dan amal-amal shalih lainnya. Kita gunakan waktu untuk beramal
ketaatan, karena inilah waktu yang harus kita isi. Betapa beruntungnya mereka yang
meninggal dalam kondisi beramal shalih.
Adapun mereka yang mengisi waktunya dengan hal yang sia-sia, rugilah orang yang seperti
itu, dan jangan sampai kita menjadi orang semacam itu.
Ketiga, Yamun Maurud (Hari esok)
Ini adalah waktu hanya Allah yang tahu. Karena itulah Allah Ta’ala berfirman,
﴾ُماَّلل َاءَشَي ْنَأ مَلِإ . اًدَغ َكِلَذ ٌلِاعَف ِِّنِإ ٍءْيَشِل منَلوُقَت ََلَ﴿و
“Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: “Sesungguhnya aku akan
mengerjakan ini besok pagi, kecuali (dengan menyebut): “Insya Allah”.” (QS. Al-Kahfi: 23-
24)
Jangan memastikan sesuatu yang bukan di tangan kita, sebab kita tidak tahu apakah bertemu
dengan hari esok atau tidak.
Suatu kali ada seorang kawan membeli sepeda kecil baru dan menghadiahkan kepada penulis,
seraya mengatakan, “Ini untuk anakmu!”, lalu beliau berpamitan untuk memberikan kuliah di
salah satu perguruan tinggi di Padang. Beliau bergelar profesor doktor dalam bidang bahasa
arab. Pada saat penyampaian kuliah pertama, beliau didampingi oleh moderator, saat itu
moderator mengatakan, “Akan berbicara di hadapan anda sekalian Prof. DR. Kamal Badri
Rahimahullah!”
Sontak sang profesor ahli bahasa ini tersenyum seraya mengomentari, “Di dalam bahasa
arab kata ‘Rahimahullah’ ditujukan untuk orang yang sudah meninggal, sedangkan saya
masih hidup, mengapa disebut Rahimahullah?”
Para hadirinpun tersenyum mendengar hal itu. Ternyata itulah akhir perjalanan hidup beliau.
Di tengah-tengah menyampaikan kuliah tiba-tiba beliau meninggal dunia di tempat itu, beliau
benar-benar “Rahimahullah”. Siapa yang menyangka beliau mengakhiri hidupnya, padahal
2. beliau berbicara lantang, bahkan sempat mengomentari kata-kata itu, namun ternyata maut
telah menanti.
Maka dari itu, untuk hari esok jangan banyak berharap. Hari inilah yang harus kita tunaikan,
adapun hari esok kita pasrahkan kepada Allah Ta’ala.
Keempat, Yaumun Mau’ud (Hari kematian yang dijanjikan)
Hari kematian sudah pasti, namun kita tidak tahu kapan, di mana, dan dalam kondisi apa kita
mati. Itu adalah rahasia Allah Ta’ala. Oleh karenanya, Allah mengingatkan,
﴾ُنيِقَيْلا َكَيِتْأَي مَّتَح َكمبَر ْدُبْاعَ﴿و
“Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).” (QS. Al-Hijr: 99)
Mengapa kematian disebut al-Yaqin? Karena datangnya kematian adalah suatu kepastian.
Suatu kali Abu Hazim ditanya oleh Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik, “Wahai Abu Hazim,
mengapa kita takut mati?” maka beliau menjawab,
َنْوُهَْركَتَف َةَرِخ ْاْل ُمُتْبمرَخَو اَيُّْنالد ُُُتْرممَعِابَرِْاْل ََلِإ ِانَرْمُعْلا َنِم َجْوُرُاْل
“Karena kalian membangun dunia, namun merusak akhirat kalian. Sehingga kalian tidak mau
berpindah dari tempat yang dibangun menuju tempat yang dirusak.”2[2]
Siapa yang memperbanyak bangunan akhiratnya, maka ia akan senantiasa senang kembali
kepada akhiratnya. Oleh karena itu, mengapa kita takut mati, karena kita belum banyak
beramal untuk membangun akhirat, dan terlalu banyak memperhatikan dunia.
Kematianlah yang menentukan nasib seseorang, dan kita masih diberi kesempatan hidup oleh
Allah untuk digunakan semaksimal mungkin ketaatan kepada Allah di sisa umur ini.
Kita jangan lupa, bahwasanya setiap nikmat yang kita peroleh, namun tidak digunakan untuk
taat kepada Allah, niscaya nikmat itu akan berbalik menjadi bala. Na’udzu billahi min dzalik.
Kelima, Yaumun Mahdud (Hari yang pasti)
Hari yang pasti, ini lah hari akhirat. Di sanalah kita akan dimintai pertanggung jawaban,
entah menuju surga atau menuju neraka. Kehidupan yang sukses adalah kehidupan yang
menghantarkan ke surga. Karena itulah, Allah Ta’ala mengingatkan,
﴾َازَف ْدَقَف َةمنَْاْل َلِخُْدأَو ِرمانال ِنَع َِحزْحُز ْنَمَف﴿
“Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia
telah beruntung.” (QS. Ali Imran: 185)
Pembaca yang budiman, inilah kenyataan yang harus kita hadapi, yang tak akan mungkin
dapat lari darinya.
Ali bin Abi Thalib z mengingatkan,
اوُنوُكَف َنوُنَب اَمُهْنِم ٍدِاحَو ِِلُكِلَو ٌةَلِبْقُم َةَرِخ ْاْل منِإَو , ًةَرِبْدُم ْتَلمحَرَت ْدَق اَيُّْنالد منِإٌلَمَع َمْوَيْلا منِإَف ِةَرِخ ْاْل ِاءَنَْبأ ْنِم
َلَمَع ََلَو ٌابَسِح اًدَغَو َابَسِح ََلَو
“Dunia pasti berlalu dan akhirat datang menghampiri. Masing-masing memiliki anak, dan
jadilah anak-anak akhirat. Karena hari ini untuk beramal tanpa hisab, sedangkan esok hisab
tanpa amal.”3[3]
Allah Ta’ala berfirman,
ْلَمْعَن اَنْع ِجْارَف اَنْعََِسَو اَنْرَصَْبأ اَنمبَر ْمِِِّبَر َدْنِع ْمِهِوسُءُر وُسِاكَن َنوُمِرْجُمْلا ِذِإ ىَرَت ْوَلَ﴿واَنْئِش ْوَلَو . َنوُنِوقُم مانِإ اً
ِاِلَص
اَدُه ٍسْفَن ملُكاَنْيَت َْل﴾َنيِعََْْجأ ِماسنالَو ِمةنِْاْل َنِم َممنَهَج منَََلَْمَأل ِِّنِم ُلْوَقْلا مقَح ْنِكَلَو اَه
3. “Dan, jika sekiranya kamu melihat mereka ketika orang-orang yang berdosa itu
menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata): “Ya Tuhan kami, kami
telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), kami akan mengerjakan
amal saleh, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang yakin.” Dan kalau Kami
menghendaki niscaya Kami akan berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk, akan tetapi telah
tetaplah perkataan dari padaKu: “Sesungguhnya akan Aku penuhi neraka jahannam itu
dengan jin dan manusia bersama-sama”.” (QS. As-Sajdah: 12-13)
Kita jangan sampai menjadi orang yang menyesal di akhirat, hingga memohon kepada Allah
untuk dikembalikan ke dunia. Padahal saat itu tidak ada lagi kesempatan untuk kembali ke
dunia. Oleh karenanya, kita gunakan semaksimal mungkin sisa hidup ini untuk meraih ridha,
ampunan, dan surga Allah. Jika itu semua terlewatkan dari diri kita, maka rugilah kita
selama-lamanya.
Demikianlah lima masa yang akan dijalani oleh seseorang. Semoga kita mendapat taufik
untuk menjadi hamba yang beruntung di dunia dan akhirat. Aamiin.
Tanskrip, Ta’liq, dan Takhrij: Muizz Abu Turob هللا حفظه
4[1] HR. Bukhari, no. 6607
5[2] Hilyah al-Auliya’, Abu Nu’aim al-Ashfahani, III/234.
6[3] Az-Zuhd, Ibnu al-Mubarak, no. 255