1. Yusuf dipuji karena menolak godaan wanita dan memilih penjara daripada berzina, meskipun diancam. Ia memohon perlindungan Allah dari tipu daya mereka.
2. Allah mengabulkan doa Yusuf dengan menyelamatkannya dari godaan, menunjukkan ketakwaannya kepada Allah.
1. 1
MATERI KAJIAN KHUSUS TIAP SENIN BAKDA MAGHRIB
AKHLAQ QUR’ANI
MASJID BETENG BINANGUN KADIPATEN WETAN YOGYAKARTA
Tafsir QS Yûsuf/12: 33-34
Keteladanan Yusuf ‘alaihis salâm Dalam Menghadapi Godaan Wanita
A. Nash (Teks) Ayat al-Quran
ۖ
ۚ
“Yusuf berkata: "Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka
kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan diriku dari tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung
untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh. Maka
Rabbnya memerkenankan doa Yusuf, dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka.
Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Yûsuf/12: 33-34)
B. Tafsîr al-Mufradât
: Tipu daya mereka. Maksudnya godaan dan rayuan para wanita
yang berpotensi mengakibatkannya (Yusuf) masuk ke dalam
perangkap tipu-daya setan.
: Aku menyukai atau mencintai mereka. Rangkaian kata ini berasal
dari (kata) shabâ – yashbû – shubuwwan wa shubwatan ilaihi au lahu,
bermakna hanna ilaih, yang berarti ‘cenderung kepada sesuatu
yang dicintai’, mencintai atau menyayangi sesuatu. Sehingga kata
ُبْصَأَّنِهْيَلِإ ditafsirkan oleh para ulama dengan makna: “tentu aku
akan cenderung memenuhi keinginan mereka”.
: Maka ‘Dia’ menghindarkan Yusuf darinya. Maksudnya: “Allah
mengabulkan doa Yusuf, dengan menghindarkan dirinya dari
godaan dan rayuan wanita yang menggodanya, sehingga di
selamatkan dari perzinaan yang dikhawatirkan olehnya”.
C. Al-Îdhâh (Penjelasan)
1. Flash-Back (Kilas Balik) Fitnah Wanita Yang Mengancam Yusuf ‘alaihi
salâm
Setelah selamat dari lubang sumur dan berpindah-tangan ke para pembesar Mesir,
kemudian Yusuf ‘alaihi salâm tinggal dalam kemewahan. Beliau ternyata diperlakukan
dengan baik, bukan layaknya budak belian pada umumnya. Tatkala usianya menginjak
remaja, ketampanan paras menjadi simbol yang melekat pada beliau. Dikisahkan, bahwa
dalam peristiwa Isra`-Mi'râj,
2. 2
“… Aku dibawa lagi naik langit ketiga. Jibril pun meminta supaya dibukakan pintu. Lalu ditanyakan,
'Siapakah kamu? ' Jibril menjawab, 'Jibril'. Jibril ditanya lagi, 'Siapakah bersamamu? 'Jibril menjawab,
'Muhammad'. Jibril ditanya lagi, 'Apakah dia telah diutuskan? 'Jibril menjawab, 'Ya, dia telah
diutuskan'. Pintu pun dibukakan kepada kami. Tiba-tiba aku bertemu dengan Nabi Yusuf ‘alaihis
salâm, ternyata dia telah dikaruniai (oleh Allah) dengan kedudukan yang sangat tinggi berupa separuh
ketampanan (penduduk dunia). Dia pun -- secara spontan -- menyambutku dan mendoakanku dengan
kebaikan.” 1
Ketampanan Yusuf ‘alaihis salâm ini telah membuat isteri majikannya terpikat, dan
ia pun membuat rencana untuk memerdaya dan menjerumuskan Yusuf ‘alaihis salâm ke
dalam perbuatan fâhisyah (perzinaan). Namun, Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ melindungi beliau
dari perbuatan maksiat tersebut.
Berita tergodanya isteri pembesar Mesir dengan budaknya menyebar sampai ke
telinga-telinga kaum Hawa pada masa itu. Awalnya, mereka mencela isteri pembesar Mesir
atas kejadian tersebut. Akan tetapi, wanita isteri pembesar Mesir tidak kurang akal. Ia
menempuh sebuah cara supaya wanita-wanita itu membenarkan dirinya sehingga sampai
terpikat dengan seorang remaja bernama Yusuf ‘alaihis salâm .
Maka didatangkanlah wanita-wanita itu supaya menyaksikan sendiri ketampanan
Yusuf ‘alaihis salâm. Ternyata benar, mereka benar-benar tersihir oleh keelokannya. Bahkan
mereka menganggapnya sebagai malaikat, lantaran sedemikian tampan paras beliau.
Keterpukauan dan kekaguman ini sampai mengakibatkan mereka tidak menyadari
telah mengiris tangan-tangan mereka sendiri dengan pisau-pisau yang sengaja telah
disediakan oleh isteri pembesar Mesir, untuk membalas tipu daya wanita-wanita tersebut,
yang sebenarnya juga memendam hasrat besar untuk menyaksikan keelokan wajah Yusuf
‘alaihis salâm dengan mata kepala mereka sendiri. Bukan murni untuk mencela isteri sang
pembesar Mesir itu.
Selanjutnya, isteri pembesar Mesir memberitahukan kepada para wanita yang
hadir, mengenai kepribadian bagus yang tertanam pada diri Yusuf ‘alaihis salâm . Yaitu, sifat
'iffah (ketangguhan untuk menjaga kehormatan diri), tidak sudi menyambut ajakan berbuat
tidak senonoh. Karena penolakan itu, muncullah ancaman dari mulut wanita isteri
pembesar Mesir itu. Yakni dijeblosankannya Yusuf ‘alaihis salâm ke dalam penjara dan hidup
dalam keadaan terhina.
2. Yusuf ‘alaihis salâm Memohon Perlindungan kepada Allah Subhânahu Wa
Ta’âlâ
Saat itulah Yusuf ‘alaihis salâm berlindung diri dengan Rabbnya, dan beliau
memohon pertolongan kepada-Nya dari keburukan dan tipu-daya,
“Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku”.
Ini menunjukkan bahwa para wanita itu menyarankan Yusuf ‘alaihis salâm supaya
patuh terhadap tuan putrinya, dan mengupayakan untuk memerdaya Yusuf ‘alaihis salâm
dalam masalah ini. Akan tetapi, Yusuf ‘alaihis salâm lebih menyukai terkurung dalam
penjara dan siksaan duniawi ketimbang kenikmatan sesaat yang akan mendatangkan siksaan
pedih.2
1
HR Muslim dari Anas bin Mâlik, Shahîh Muslim, juz I, hal. 99, hadits no. 162.
2
Abu 'Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshâri al-Qurthubi, Al-Jâmi' li
3. 3
Sekaligus, ayat di atas juga mencerminkan bahwasanya isteri pejabat masih saja
mendesak Yusuf ‘alaihis salâm untuk mau menerima ajakannya, dan mengancamnya dengan
penjara dan kurungan, bila menolak ajakan itu. Pasalnya, seandainya wanita itu tidak
menekan dan melancarkan ancaman, maka mustahil membuat Yusuf ‘alaihis salâm sampai
mengatakan "Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka
kepadaku".3
Walaupun banyak kondisi yang sangat mendukung terjadinya perbuatan zina yang
nanti akan dikemukakan satu-persatu, tetapi Yusuf ‘alaihis salâm lebih mengutamakan ridha
dan rasa takut kepada Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ. Begitu juga kecintaan kepada-Nya, telah
mendorongnya untuk memilih hari-harinya hidup di bui daripada berbuat zina,4
“Dan jika tidak Engkau hindarkan diriku dari tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk
(memenuhi keinginan mereka.”
Jika Engkau (wahai Rabbku) menyerahkan pengendalian urusan ini kepada diriku
sendiri, sesungguhnya aku lemah, tiada daya, tidak mempunyai kekuatan, tidak sanggup
mendatangkan bahaya dan kemanfaatan kecuali dengan bantuan dan kekuatan-Mu.
Engkaulah tempat memohon pertolongan, kepada-Mulah tempat sandaran, jangan Engkau
serahkan pada diriku sendiri,5
“dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.”
Ath-Thabari mengatakan: "Dengan kecondonganku kepada mereka, aku akan
menjadi orang-orang yang tidak mengetahui hak-Mu dan menentang perintah dan larangan-
Mu."6
Penyambutan terhadap ajakan itu, menyebabkan seseorang terjerumus dalam
dosa dan berhak menyandang celaan atau telah bertindak dengan perbuatan orang-orang
yang tolol. Karena berarti lebih mengutamakan kenikmatan sesaat, dan akan sangat
menyengsarakannya di akhirat kelak daripada kenikmatan abadi dan kesenangan yang
beraneka macam di Jannatun-Na'îm. Orang yang memilih ini daripada itu, apakah ada orang
yang lebih bodoh darinya?7
Dan berdasarkan ijmâ' (kesepakatan atau konsensus) para
ulama, orang yang dipaksa berzina dengan ancaman penjara, tetap saja tidak boleh untuk
melakukannya.8
Ahkâmil Qur`ân, juz IX, Cet. IV, Tahqîq: 'Abdur Razzâq al-Mahdi (Kairo: Dârul Kitâbil
'Arabiy, 1422 H./2001 M.)hal. 159 dan 'Allâmah Syaikh Abdur-Rahmân bin Nâshir as-
Sa'di, Taisîrul Karîmir Rahmân, Cet. I, (Riyâdh: Dârul-Mughni, 1419 H./1999 M.) hal. 419.
3
Abu Ja'far Muhammad bin Jarîr ath-Thabari, Jâmi'ul-Bayân 'an Ta`wîli Āyil Qur`ân,
juz XII Cet. I (Beirut: Dâr Ibni Hazm, 1423 H./2002 M.), hal. 262.
4
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Ad-Dâ` wad Dawâ`, Cet. III (Jeddah: Majma’ al-Fiqh al-
Islâmiy, 1419 H./1999 M.) hal. 322.
A
-Hafizh Abû al-Fidâ’ Ismâ'îl ibn 'Umar ibn Katsîr al-Qurasyiy, Tafsîrul-Qur`ânil-
'Azhîm, juz IV, Tahqîq: Sâmi bin Muhammad as-Salâmah, Cet. I (Riyâdh: Dâr Thaibah,
1422 H./2002 M.) hal. 386.
6
Abû Ja'far Muhammad ibn Jarîr ath-Thabariy, Jâmi'ul-Bayân 'an Ta`wîli Ayil
Qur`ân, juz XII, Cet. I (Beirut: Dâr Ibni Hazm, 1423 H./2002 M.) hal. 263.
7
As-Sa’di, Taisîrul Karîmir Rahmân, hal. 419.
8
Ibnul 'Arabi, Ahkâmul-Qur`ân, juz III, Cet. I, Tahqiq: 'Abdur Razzâq al-Mahdi
4. 4
Ibnul-Qayyim al-Jauziyah berkata: "Ia mengetahui kalau dirinya tidak mampu
menghindarkan diri dari ajakan itu. Seandainya Rabbnya tidak menjaga dan
menyelamatkannya dari makar para wanita itu, atas dasar nalurinya akan condong kepada
mereka dan termasuk dalam golongan orang-orang yang bodoh. Ini merupakan indikasi
kesempurnaan ma'rifat beliau kepada Allah dan dirinya (yang lemah)".9
Dengan ini, Yusuf ‘alaihis salâm berarti telah mencapai kedudukan yang sempurna.
Faktor-faktor yang mendukung terjadinya perzinaan, seperti usianya yang remaja dan
anugerah ketampanan dan kesempurnaan pribadi, digoda oleh majikan wanita, seorang
isteri pejabat Mesir yang juga berwajah elok, kaya dan berkedudukan, namun keadaan
seperti itu tidak menggoyahkan keteguhan hati Yusuf ‘alaihis salâm. Beliau lebih memilih
hidup terhina dalam jeruji penjara daripada melakukan perbuatan buruk, karena beliau takut
kepada Allah Subhânahu wa Ta’âlâ dan berharap pahala dari-Nya.10
As-Sa'di menjelaskan bahwa rahasia Yusuf ‘alaihis salâm dapat selamat dari
keadaan genting tersebut, yakni: setelah mendapatkan taufik dari Allah Subhânahu wa Ta’âlâ,
juga karena ilmu dan akal pikiran sehat yang mengajaknya untuk lebih mengutamakan
kemaslahatan dan kenikmatan yang terbesar, serta lebih mengedepankan perkara yang
kesudahannya terpuji.11
Artinya, ketika aspek jahâlah (kebodohan) membelenggu manusia, baik masih
dalam taraf yang ringan ataupun sudah pekat. Hawa nafsu manusia selalu berbisik kepada
obyek yang buruk-buruk, yang tidak bermanfaat lagi membahayakannya di hari esok.
Demikian ini, lantaran sisi jahâlah (kebodohan) yang menguasai jiwa tersebut. Oleh karena
itu, siapa saja yang mencermati al-Qur`anul Karim, maka akan berhenti pada kesimpulan
bahwa faktor kebodohanlah yang menjadi pemicu terjadinya dosa-dosa dan maksiat. Tidak
mengherankan bila Yusuf ‘alaihis salâm, seperti yang diceritakan oleh Allah Subhânahu wa
Ta’âlâ pada ayat di atas, akan menilai dirinya sebagai manusia bodoh jika menyambut ajakan
wanita isteri penguasa Mesir, majikannya. Yusuf ‘alaihis salâm berkata: "Dan jika tidak
Engkau hindarkan diriku dari tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk
(memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh".
Al-Baghawi menyatakan: "Pada ayat ini terdapat dalil, bahwa seorang mukmin
yang berbuat dosa, ia melakukannya karena dorongan unsur jahâlah (kebodohan pada
dirinya)"12
. Begitu juga Abu Bakar al-Jazâiri mengatakan, al-jahlu (ketidaktahuan/tidak
mengenal) Allah, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, janji baik dan ancaman, serta tidak
mengenal syariatnya merupakan penyebab terjadinya setiap kejahatan di dunia.13
Banyak
ayat yang menjelaskan pengertian yang sama (al-jahlu) dengan ayat di atas.
Di antaranya Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman saat menceritakan kaum Nabi
Musa ‘alaihis salâm,
ۚ
“Mereka (Kaum Bani Israil) berkata: "Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah ilah (berhala)
(Kairo: Dârul Kitâbil 'Arabi, 1421 H./2000 M.), hal. 39.
9
Ibu Qayyim al-Jauziyah, Ad-Dâ` wad-Dawâ`, hal. 322.
10
Ibnu Katsir, Tafsîrul-Qur`ânil 'Azhîm, juz IV, hal. 386-387.
11
As-Sa’di, Taisîrul Karîmir Rahmân, hal. 419.
12
Imam Abu Muhammad al-Husain bin Mas'ûd al-Baghawi, Ma'âlimut Tanzîl, juz
IV, Tahqîq dan Takhrîj: Muhammad 'Abdullâh an-Namr, 'Utsmân Jum'ah Dhumairiyyah
dan Sulaimân Muslim al-Kharsy (Riyâdh:Dâr Thaibah, 1411 H.) hal. 239.
13
Abu Bakar Jâbir al-Jazâiri, Aisarut Tafâsîr, juz II, Cet. VI (Madînah: Maktabah
'Ulûm wal Hikam, 1430 H./2009 M.) hal. 610.
5. 5
sebagaimana mereka mempunyai beberapa ilah (berhala)". Musa menjawab: "Sesungguhnya kamu ini
adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Ilah)." (QS al-A'râf/7: 138)
Firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ,
ۚ
Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya: "Mengapa kamu mengerjakan
perbuatan fâhisyah itu sedang kamu melihat(nya)?" Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk
(memenuhi) nafsu(mu), bukan (mendatangi) wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak
mengetahui (akibat perbuatanmu)." (QS an-Naml/27: 54-55]
Firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ,
“Katakanlah:"Maka apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allah, hai orang-orang yang tidak
berpengetahuan?" (QS az-Zumâr/39: 64).
Oleh sebab itu, siapa saja yang bermaksiat kepada Allah dan melakukan perbuatan
dosa, maka orang itu adalah jâhil (bodoh), sebagaimana telah menjadi kenyataan yang
dimaklumi oleh generasi Salafush Shâlih.
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman:
ۗ
“Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan
lantaran kejahilan [Maksudnya: 1. orang yang berbuat maksiat dengan tidak mengetahui bahwa
perbuatan itu adalah maksiat kecuali jika dipikirkan lebih dahulu. 2. orang yang durhaka kepada
Allah baik dengan sengaja atau tidak. 3. orang yang melakukan kejahatan karena kurang kesadaran
lantaran sangat marah atau karena dorongan hawa nafsu.], yang kemudian mereka bertaubat dengan
segera, Maka mereka Itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana.” (QS an-Nisâ`/4: 17).
Makna bi jahâlah adalah kebodohan (ketidaktahuan) pelakunya terhadap akibat
buruk dari perbuatannya, yang dapat mendatangkan kemurkaan dan siksa Allah Subhânahu
wa Ta’âlâ. Sehingga setiap orang yang bermaksiat kepada Allah Subhânahu wa Ta’âlâ, maka ia
bodoh ditinjau dari segi ini. Kendatipun ia mengetahui (memiliki ilmu) kalau perbuatan itu
memang diharamkan; kebodohannya terhadap pengawasan Allah Subhânahu wa Ta’âlâ,
kebodohannya terhadap dampak maksiat yang bisa mengurangi keimanan atau
menghapuskannya.
Qatadah berkata,"Para sahabat Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam pernah
berkumpul, dan mereka memandang setiap perkara yang dengannya Allah didurhakai,
berarti itu bentuk jahâlah (kebodohan), baik dikerjakan dengan sengaja maupun tidak."
As-Suddi berkata: "Selama seseorang masih bermaksiat kepada Allah Subhânahu
6. 6
wa Ta’âlâ, berarti ia masih bodoh".14
3. Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ Mengabulkan Permohonan Yusuf ‘alaihis salâm
Dalam ayat di atas dinyatakan:
“Maka Rabbnya memerkenankan doa Yusuf ‘alaihis salâm, saat memanjatkan doa kepada-Nya.”
“dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka”: wanita itu masih saja bernafsu menggoda
Yusuf ‘alaihis salâm , dan ia menempuh segala cara yang mampu ia lakukan, tetapi Yusuf
‘alaihis salâm bergeming, dan membuatnya patah arang, dan Allah pun memalingkan tipu-
daya mereka dari Yusuf ‘alaihis salâm.
“Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar” doa Yusuf ‘alaihis salâm. Saat ia berdoa dengan
harapan agar Allah menghindarkannya dari tipu daya kaum wanita, dan doa setiap makhluk-
Nya (lagi Maha Mengetahui), keinginan dan kebutuhan Yusuf ‘alaihis salâm dan setiap hal
yang dapat memerbaiki kondisinya serta mengetahui kebutuhan seluruh makhluk, dan hal-
hal yang dapat memerbaiki keadaan mereka15
. Ini merupakan wujud pertolongan Allah
Subhânahu wa Ta’âlâ kepada Yusuf Subhânahu wa Ta’âlâ dari fitnah yang menghimpit dan
berat ini.16
Mengapa disebutkan bahwa Allah Subhânahu wa Ta’âlâ memerkenankan doa
Yusuf ‘alaihis salâm, padahal tidak ada doa yang muncul dari bibirnya, dan Yusuf ‘alaihis
salâm hanya memberitahukan jika penjara lebih disukainya daripada bermaksiat kepada
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ?
Jawabnya, lantaran dengan itulah Yusuf ‘alaihis salâm menyampaikan pengaduan
kepada Allah Subhânahu wa Ta’âlâ dan [Dan jika tidak Engkau hindarkan diriku dari tipu daya
mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka)] mengandung makna
permohonan doa Yusuf ‘alaihis salâm kepada Allah Subhânahu wa Ta’âlâ untuk
menghindarkan dari makar para penggoda. Oleh karena itu, lantas Allah Subhânahu wa
Ta’âlâ mengabulkan doanya.17
Dalam konteks ini, sudah tentu Yusuf ‘alaihis salâm masuk dalam kandungan
hadits tujuh golongan yang meraih naungan Allah Subhânahu wa Ta’âlâ pada hari tiada
naungan kecuali naungan-Nya. Rasulullah shallâllahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
14
Tentang korelasi antara kebodohan dengan perbuatan maksiat seorang muslim,
dikutip dari kitab 'Abdur-Razzâq bin Abdul-Muhsin al-'Abbâd, Asbâbu Ziyâdatil Imâni wa
Nuqshânih, Cet III, (Kuwait: Ghirâs, 1424 H./2013 M.), hal. 62-64.
15
Ath-Thabari, Jâmi'ul-Bayân 'an Ta`wîli Āyil Qur`ân, juz XII, hal. 264.
16
As-Sa’di, Taisîrul Karîmir Rahmân, hal. 419.
17
Ath-Thabari, Jâmi'ul Bayân 'an Ta`wîli Āyil Qur`ân, juz XII, hal. 264.
7. 7
“Ada tujuh golongan manusia yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tidak ada naungan
kecuali naungan-Nya, yaitu: pemimpin yang adil; seorang pemuda (pemudi) yang menyibukkan dirinya
dengan beribadah kepada Rabbnya; seorang yang hatinya terpaut dengan masjid; dua orang yang saling
mencintai karena Allah, mereka tidak bertemu kecuali karena Allah dan berpisah karena Allah;
seorang laki-laki yang diajak berbuat maksiat oleh seorang wanita kaya lagi cantik lalu dia berkata:
'Aku takut kepada Allah'; dan seorang yang bersedekah dengan menyembunyikannya hingga tangan
kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya; serta seorang yang berdzikir
kepada Allah dengan mengasingkan diri hingga kedua matanya basah karena menangis.” (HR al-
Bukhari, Shahîh al-Bukhâriy, juz I, hal. 168, hadits no. 660 dan Muslim, Shahîh Muslim, juz
III, hal. 93, hadits no. 2427, dari Abu Hurairah)
4. Wanita, Fitnah Paling Berbahaya Bagi Lelaki
Rasulullah shallâllahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan kepada kaum lelaki,
bahwa fitnah wanita merupakan fitnah terberat yang dirasakan seorang lelaki. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidaklah aku tinggalkan sepeninggalkan sebuah fitnah yang lebih berbahaya bagi kaum lelaki melebihi
fitnah wanita.” (HR al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâriy, juz VII, hal 11, hadits no. 5096, dan
Muslim, Shahîh Muslim, juz VII., hal. 52, hadits no. 7121, dari Usamah bin Zaid)
Bahkan sejumlah ulama menyimpulkan, bahwasanya makar dan tipu daya wanita
lebih berbahaya dari pada tipu daya setan. Yaitu dengan membandingkan penjelasan Allah
Subhânahu Wa Ta’âlâ tentang tipu daya setan dengan tipu daya wanita dalam surat ini.
Firman Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ tentang tipu daya setan,
“… karena sesungguhnya tipu daya setan itu adalah lemah.” (QS an-Nisâ`/4: 76); sedangkan
mengenai tipu-daya wanita, Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ berfirman,
“Sesungguhnya tipu daya mereka itu sangat besar.” (QS Yûsuf/12: 28). Komparasi ini
menunjukkan bahwa tipu daya wanita bagi laki-laki – pada umumnya --- lebih berbahaya
daripada tipu daya setan dengan segala caranya.18
5. Kedahsyatan Fitnah Yang Menimpa Yusuf ‘alaihis salâm19
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ telah menyampaikan betapa besarnya fitnah perzinaan
yang menghadang Yusuf ‘alaihis salâm. Banyak faktor yang dapat menjerumuskan Yusuf
‘alaihis salâm ke dalam lembah kenistaan, yang tidak pernah dijumpai oleh siapa pun.
Penjelasannya sebagai berikut.
18
Syaikh Muhammad al-Amîn asy-Syinqithi, Adhwâul Bayân, juz III, (Kairo:
Maktabah Ibni Taimiyyah, 1415 H./1995 M.) hal. 63.
19
Diringkas dari kitab Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Ad-Dâ' wad Dawâ', hal. 319-322.
Lihat, Ibnu Katsir, Tafsîrul Qur'anil ‘Azhim, juz IV, hal. 387 dan As-Sa’di, Taisîrul Karîmir
Rahmân, hal. 419.
8. 8
1. Insting (naluri)20
Yusuf ‘alaihis salâm sebagai lelaki, beliau memiliki hasrat terhadap
perempuan.
2. Status sebagai pemuda, yang umumnya memiliki rangsangan nafsu syahwat yang kuat.
Terlebih lagi statusnya juga masih lajang, tanpa atau pun budak perempuan yang dapat
dijadikan untuk menyalurkan hasrat kelelakiannya, sekaligus tak ada anggota keluarga
yang membebaninya.
3. Ketampanan yang dimiliki Yusuf ‘alaihis salâm menjadi sumber daya pikat yang sangat
berpengaruh, sehingga menyebabkan wanita tertarik kepadanya.
4. Keberadaannya sebagai orang asing, jauh dari keluarga dan kampung halaman.
Kebiasaan orang yang bermukim di lingkungan sendiri akan merasa malu berbuat tidak
senonoh. Khawatir bila perbuatan nistanya terbongkar, yang pada gilirannya
kehormatannya pun bisa terpuruk di mata masyarakatnya. Akan tetapi, meski di
tempat asing, Yusuf ‘alaihis salâm tidak ternoda godaan.
5. Statusnya yang seperti mamlûk (budak belian). Seorang budak, ia sering keluar-masuk
ke tempat majikan. Dia pun tidak terlalu memikirkan hal-hal yang dihindari oleh
seseorang yang merdeka.
6. Si wanita penggoda memiliki status sosial tinggi, sekaligus rupawan.
7. Yang memulai menggoda adalah wanita itu, bukan Yusuf ‘alaihis salâm . Sehingga
hilanglah beban seorang lelaki untuk melancarkan jurus-jurus cinta untuk bisa merayu
seorang wanita. Hilang pula perasaan takut ditolak wanita itu. Belum lagi agresivitas
wanita tersebut dalam mendekati Yusuf ‘alaihis salâm, yang berarti tindakannya itu
bukan ditujukan untuk menguji ketahanan dan kesucian Yusuf ‘alaihis salâm , tetapi
benar-benar mengajaknya berbuat nista. Akan tetapi, Yusuf ‘alaihis salâm bisa menjaga
diri sehingga terhindar dari perbuatan yang menjijikkan.
8. Tempat kejadian berada di dalam rumah yang berada dalam kekuasaan pemilik, yaitu
wanita penggoda tersebut. Sehingga ia leluasa dan mengetahui waktu-waktu yang sepi,
hingga memungkinkannya melakukan perzinaan tanpa diketahui orang lain. Wanita itu
pun melakukan ancaman bila hasratnya tidak dipenuhi, Tetapi Yusuf ‘alaihis salâm
menghindar dan menolaknya. Begitu pula wanita pemilik rumah telah mengunci pintu-
pintu dengan rapat, untuk mengantipasi masuknya seseorang secara mendadak.
Keadaan rumah benar-benar kosong kecuali Yusuf ‘alaihis salâm dan wanita itu. Tetapi
Yusuf ‘alaihis salâm bergeming untuk tidak melakukannya.
9. Ketika gagal menggoda dan merayu Yusuf ‘alaihis salâm, maka wanita (isteri pembesar)
itu mengundang kaum wanita lainnya, sehingga timbul opini untuk memojokkan
Yusuf ‘alaihis salâm.
10. Adapun suami wanita (penggoda dan perayu Yusuf ‘alaihis salâm) itu tidak terlalu
memerlihatkan kecemburuan, sehingga memisahkan keduanya. Terhadap perbuatan
nista isterinya, sang pembesar hanya meminta agar Yusuf ‘alaihis salâm melupakan
kejadian tersebut, dan menuntut isterinya untuk bertaubat. Padahal, kecemburuan
seorang suami dapat menjadi penangkal yang tepat dalam kasus semacam ini, supaya
tidak terulang di kemudian hari.
Walaupun suasananya sangat mencekam, Yusuf ‘alaihis salâm tidak sudi
menyambut ajakan wanita itu. Dia lebih mengutamakan hak Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ
daripada hak majikan wanitanya. Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ telah menjaga kehormatannya.
Mengapa Yusuf ‘alaihis salâm dikatakan berhasil menjaga kehormatannya, padahal al-Qur`ân
menyatakan kalau Yusuf ‘alaihis salâm pun (sebenarnya) memiliki keinginan.
Firman Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ menyebutkan:
20
Naluri atau insting adalah suatu pola perilaku dan reaksi terhadap suatu
rangsangan tertentu yang tidak dipelajari tapi telah ada sejak kelahiran suatu makhluk hidup
dan diperoleh secara turun-temurun (filogenetik). Dalam psikoanalisis, naluri dianggap
sebagai tenaga psikis bawah sadar yang dibagi atas naluri kehidupan (eros) dan naluri
kematian (thanos). (http://id.wikipedia.org/wiki/Naluri)
9. 9
ۖ
“Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun
bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Rabbnya.”
(QS Yûsuf/12: 24)
Jawabnya21
, al-hamm (keinginan) yang muncul dari beliau hanya sekadar khatharât
(bisikan hati semata), yang kemudian ia singkirkan karena Allah Subhânahu wa Ta’âlâ. Maka
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ membalasnya dengan kebaikan. Sedangkan hasrat yang
berkecamuk pada wanita itu adalah hamm ishrâr (hasrat yang terus-menerus). Dia
mengerahkan segala upaya untuk mewujudkannya. Akan tetapi gagal. Jadi, dua keinginan
yang ada pada Yusuf ‘alaihis salâm dengan wanita itu berbeda.
Ahmad bin Hanbal berkata: "Keinginan itu ada dua macam, hamm khatharât dan
ishrâr. Hammul khatharât tidak diperhitungkan sebagai dosa, dan hammul-ishrâr
diperhitungkan sebagai dosa".
Ringkasnya, Allah Subhânahu wa Ta’âlâ telah memberikan perlindungan kepada
Yusuf ‘alaihis salâm dengan berbagai faktor pendukung, sehingga beliau terhindar dari
perbuatan nista tersebut. Faktor-faktor itu meliputi: ketakwaan kepada Allah,
memerhatikan hak majikan yang telah memuliakannya, memelihara diri dari tindakan aniaya
yang tidak akan membuat pelakunya selamat. Begitu juga, Allah Subhânahu wa Ta’âlâ
memberikan anugerah berupa keteguhan iman, sehingga menghasilkan ketaatan untuk
mengerjakan perintah-perintah dan menghindari larangan-larangan-Nya.
Substansi dari perlindungan itu, Allah Subhânahu wa Ta’âlâ telah memalingkan
Yusuf ‘alaihis salâm dari keburukan dan perbuatan keji, karena ia tergolong hamba-Nya yang
ikhlas kepada-Nya dalam beribadah. Allah juga telah mengikhlaskan hati, memilih dan
mengistimewakannya bagi diri-Nya, mencurahkan kepadanya berbagai kenikmatan, dan
menyelamatkannya dari berbagai keburukan. Dengan pemeliharaan Allah itu, ia pun
menjadi insan pilihan-Nya.
ۚ
“Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf
itu termasuk hamba-hamba kami yang terpilih.” (QS Yûsuf/12: 24).
Ibnu Taimiyah berkata: "Seandainya Yusuf ‘alaihis salâm telah berbuat dosa,
niscaya akan bertaubat. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’alatidak menyebutkan
kejadian dosa pada nabi kecuali disertai dengan taubat. Sedangkan (di sini), Allah Subhânahu
wa Ta’âlâ tidak menyebut masalah taubat. Sehingga dalam kasus yang dialaminya itu dapat
diketahui, beliau sama sekali tidak berbuat dosa.22
‘Al-Ibrah (Pelajaran Yang Dapat Diperoleh)
Dari pembahasan di atas, dapat diperoleh berapa pelajaran yang berharga. Antara
lain:
1. Kita bisa belajar dari figur Yusuf ‘alaihis salâm yang lebih memilih untuk menghuni
penjara daripada berbuat maksiat. Demikianlah seharusnya seorang hamba, bila di
21
Muhammad bin Mûsa Ālu Nashr dan Salîm bin 'Îd al-Hilâli, Ithâful Ilf bi Dzikril-
Fawâidil-Alfi wan-Naif min Sûrati Yûsuf , juz I, Cet. I (Maktabah ar-Rusyd, 1424 H./2003 M.),
hal. 324.
22
Ibnu Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwa, juz XV, hal. 149 dan juz XVII, 30-31).
10. 10
hadapkan pada dua pilihan ujian: berbuat maksiat atau hukuman duniawi, maka ia
memilih sanksi duniawi ketimbang melakukan perbuatan dosa yang mendatangkan
hukuman berat di dunia dan akhirat. Karena itulah, termasuk dari tanda keimanan,
yaitu seorang hamba benci kembali kepada kekufuran setelah diselamatkan Allah
Subhânahu wa Ta’âlâ darinya, sebagaimana ia benci dicampakkan ke nyala api. Yusuf
‘alaihis salâm memilih masuk penjara daripada melakukan kemaksiatan meskipun di
bawah ancaman. Sikap ini termasuk dalam kategori tanda kebenaran iman. Yusuf
‘alaihis salâm memilih bahaya yang lebih ringan (akhaffudh dhararain). Ini merupakan
kaedah syar'iyyah (bagian dari al-Qawâid asy-Syar’iyyah) yang telah dipakai oleh para
ulama terdahulu, untuk menghindari bahaya yang lebih berat.23
2. Menghuni penjara tidak selalu menjadi petunjuk bahwa orang itu berkelakukan buruk.
Sebab, seperti dicontohkan, Yusuf ‘alaihis salâm adalah kekasih Allah Subhânahu wa
Ta’âlâ. Bahkan masuk penjara bisa menjadi tonggak awal bagi masa depan yang lebih
baik.
3. Jika seorang hamba menyaksikan sebuah tempat yang mengandung fitnah dan faktor-
faktor penggoda untuk berbuat maksiat, semestinya ia bergegas pergi dan menjauh
darinya.
4. Kita [selamanya] harus mewaspadai bahaya khalwat, yaitu berduaan antara laki-laki dan
wanita yang bukan mahramnya, yang dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah. Juga,
harus mewaspadai getaran cinta yang ditakutkan memantik bahaya – ketika khahwat
terjadi -- dengan melakukan tindakan antisipatif untuk menjauhinya.
5. Hasrat yang muncul pada Yusuf ‘alaihis salâm – sebagai seorang laki-laki -- terhadap
wanita tersebut, yang kemudian ia singkirkan karena Allah, menjadi salah satu tangga
yang mengangkatnya kepada Allah menuju kedudukan yang dekat dengan-Nya.
6. Seorang hamba, seharusnya selalu mencari perlindungan kepada Allah dan bernaung di
bawah pemeliharaan-Nya ketika berhadapan dengan pemicu-pemicu maksiat,
kemudian berlepas diri sikap percaya diri yang ada pada daya dan kekuatan pribadinya.
7. Seseorang tidak akan pernah terpelihara dari maksiat, kecuali karena pertolongan dari
Allah ‘Azza wa Jallâ.
8. Allah tidak akan menyia-nyiakan keteguhan iman, keseriusan hati, dan usaha seorang
hamba yang memiliki sikap ihsân.
9. Seseorang yang sudah tercelup keimanan pada hatinya, ia adalah seorang yang ikhlas
karena Allah pada semua perbuatannya. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ akan menyingkirkan
berbagai kejelekan, perbuatan keji dan maksiat (dari dirinya) dengan kekuatan iman
dan keikhlasannya, sebagai balasan bagi keimanan dan keikhlasannya. Allah Subhânahu
wa Ta’âlâ telah berfirman, yang artinya: “Demikianlah agar Kami memalingkan darinya
kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf ‘alaihis salâm itu termasuk hamba-
hamba Kami yang terpilih”. Kisah ini menunjukkan keindahan kondisi batin (hâl)
Yusuf ‘alaihis salâm, yaitu kemampuannya untuk menjaga keberadaan sifat iffah
(kemampuan untuk menjaga kehormatan diri) yang besar dari godaan maksiat.
10. Sesungguhnya ilmu yang benar dan akal yang sehat akan membimbing pemiliknya
kepada kebaikan dan menahannya dari kejelekan. Sebaliknya, kebodohan akan
menjerumuskan seseorang selalu memerturutkan bisikan hawa nafsunya, walaupun
merupakan maksiat yang berbahaya bagi pelakunya. Dan kisah dalam ayat ini
memerlihatkan tentang buruknya kebodohan, dan celaan bagi orang bodoh (jâhil).
23
Kaedah ini antara lain diungkapkan dalam kalimat:
إذاتعارضتمفسدتانروعيأعظمهماضررابارتكابأخفهما (Apabila ada dua mafsadat
berhadap-hadapan, maka dipilah [mana] yang lebih besar risikonya [dan ditinggalkan] dan
kemudian dipilih yang lebih kecil risikonya [untuk diamalkan])