1. 1
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Perdebatan teologis dalam Islam menarik untuk dikaji, salah satunya faksi Sunni dan
Syiah. Yang disayangkan justru kemunculannya bukan berlatarbelakang teologi murni
melain1kan lahir karena pandangan politik perihal siapa yang berhak mewarisi kepimpinan
umat Islam sepeninggal Nabi Muhammad.
Perdebatan tersebut menjadi menarik ketika membahas pandangan kedua faksi tersebut
tentang otentisitas al-Qur’an. Di satu sisi pandangan Sunni-awal menyodorkan fakta ketidak-
sempurnaan al-Qur’an dalam pengumpulannya, di sisi lain Syiah-awal, dengan merujuk
sumber Sunni-awal, turut serta mempersoalkan kecacatan al-Qur’an tersebut. Meski Sunni
dan Syi’ah belakangan “sepakat” untuk tidak lagi mempersoalkan otentisitas al-Qur’an,
kalangan Syiah ekstrimis bersikukuh akan ketidak-sempurnaan al-Qur’an sehingga dirasa
perlu merujuk
kepada al-Qur’an versi Ali.
Makalah ini berisi sub-bab yang disusun secara kronologis. Artinya, telaah atas tulisan ini
hendaknya dilakukan secara runtut, dengan harapan pertanyaan “mengapa terjadi perdebatan
sengit perihal otentisitas al-Qur’an di kalangan Islam dapat dengan jelas dan lugas terjawab.
Makalah ini terdiri atas: 1) pendahuluan: yang menjadi pengantar secara khusus kepada
perdebatan Sunni-Syi’ah mengenai otentisitas al-Qur’an, 2) pandangan Sunni-Syiah awal
perihal otentisitas al-Qur’an, dengan menyuguhkan data-data mengenai ayat-ayat al-Qur’an
yang luput dari pencatatan tim pengumpul al-Qur’an versi Usman 3) faksi Syiah ekstrimis
yang berseberangan sikap Sunni-Syiah moderat sehingga memperuncing perdebatan
otentisitas al-Qur‟an, adapun usaha-usaha Sunni-Syiah moderat menyongosong kajian baru
al-Qur’an tanpa perselisihan juga dipaparkan, dan 4) kesimpulan yang menggambarkan di
balik perdebatan otentisitas al-Qur’an yang pelik.
1
Slamet Untung,Melacak Historisitas Syi>„ah: Kontrovesi Seputar Ahl al-Bait Nabi
(Semarang: Pustaka Rizki Putra Semarang, 2009), hlm. 3.
2. 2
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Keotentikan mushaf al – qur’an ?
2. Bagaimana Keotentikan mushaf al – qur’an prespektif sunni dan syiah ?
3. Apa perbedaan Keotentikan mushaf al – qur’an prespektif sunni dan syiah ?
C. Tujuan Pembahasan
1. Mampu memahami Keotentikan mushaf al – qur’an.
2. Mampu mengetahui Keotentikan mushaf al – qur’an prespektif sunni dan syiah.
3. Mampu mengetahui perbedaan Keotentikan mushaf al – qur’an prespektif sunni dan
syiah.
3. 3
BAB II
PEMBAHASAN
A. PANDANGAN SUNNI-SYIAH AWAL PERIHAL OTENTISITAS ALQUR’AN
Pandangan umum Sunni perihal historisitas al-Qur’an adalah sebagai berikut.
Pertama. Bahwa penulisan al-Qur’an tuntas ketika Nabi masih hidup.3 Hal ini menjadi
mungkin karena Nabi memiliki kuttab al-wahy yang senantiasa siap diminta Nabi untuk
menulis ayat-ayat al-Qur’an setiap kali diturunkan.4 Kedua. Bahwa kegiatan penghimpunan
al-Qur’an dilakukan selama 3 kali. Satu kali pada saat Nabi masih hidup, sebagaimana
pengakuan Zaid bin Shabit,
“Kunna inda Rasulillah nuallif al-Qur’an min al-riqa Kedua kalinya dihimpun pada
kekhalifahan Abu Bakr atas insiatif Umar. Ketika itu terjadi Perang Yamamah dan para
huffad al-Qur’an berguguran. Umar berinisiatif dengan mengusulkan kepada Abu Bakar
perihal pengumpulan naksah yang ada pada sahabat. Abu Bakar setuju dan menunjuk Zaid
bersama timnya sebagai pihak yang diberi wewenang penuh pengumpulan al-Qur’an. Metode
yang ditempuh Zaid dalam menyeleksi naskah yang diterima mensyaratkan minimal
dikuatkan
oleh dua saksi, sehingga yang tidak memenuhi unsur ini tertolak. Salah satu di antara tertolak
adalah ayat yang disampaikan Umar (tentang hukuman rajam), karena tidak dapat
menunjukkan bentuk fisik naskahnya. Sekumpulan naskah tersebut lalu disimpan Abu Bakar
hingga wafatnya, lalu berada di tangan Umar ketika menjadi amir al-mu‟minin hingga
wafatnya, dan disimpan Hafsah (puteri„Umar) pasca Umar wafat.
Adapun penghimpunan ketiga terjadi pada tahun 25 H atau (menurut informasi lain
akhir 30 H) dengan alasan kekhawatiran akan perbedaan “versi” al-Qur’an di kalangan umat
Islam, serta menghindarikan dari kesimpangsiuran mengenai dialek al-Qur’an yang beragam.
Dipilihlah dialek Quraysh sebagai dialek resmi al-Qur’an versi Usman. Kekhawatiran ini
pertama kali diutarakan oleh Huzaifah dan ditanggapi dengan persetujuan oleh Usman. Teks
yang ada di
tangan Hafsah diminta Usman dan disalin ulang. Sementara teks selain yang dimiliki Usman
“diperintahkan” untuk dimusnahkan. Salinan mushaf yang berjumlah tujuh dikirimkan ke
beberapa daerah, antara lain Makkah, Syam, Yaman, Bahrain, Basrah, Kufah, dan salinan
utama berada di Madinah bersama Usman. Naskah-naskah ini dikenal dengan Mushaf Usman
4. 4
Dari penjelasan di atas, lalu muncul pertanyaan besar. 1) Apakah pengumpulan al-Qur’an
oleh Abu bakar telah mencakup keseluruhan teks yang ada pada saat itu? 2) bukankah
insiatif Usman atas saran Huzaifah dengan cara menulis ulang al-Qur’an “hanya” dalam
dialek Quraysh justru meninggalkan kesan bahwa al-Qur’an yang ada sekarang ini adalah al-
Qur’an ala Usman dan bukan al-Qur’an yang sesungguhnya, yang hadir dalam begaram
dialek? Beragam kerancuan ini ternyata berkait-kelindan dengan fakta di lapangan bahwa
pada proses pengumpulan al Qur’an hingga penulisannya memang masih menyimpan
beberapa tanda tanya besar.
Berikut ini beberapa fakta yang patut dicermati dan ditelaah secara kritis. Pertama,
soal hilangnya naskah. Diceritakan bahwa „Umar menghafal suatu ayat tentang rajam.
Dirinya teringat bahwa yang memiliki rekaman dalam bentuk naskah tertulis adalah
seseorang yang gugur di Perang Yamamah.Umar lantas bersaksi di hadapan tim pengumpul
naskah, namun tetap ditolak lantaran tidak mencapai syarat minimal 2 saksi dan naskah
tertulisnya.Aisyah mengalami kehilangan naskah tatkala ada seekor hewan gembalaan masuk
ke kamarnya dan memakan kertas yang berisi rekaman tulisan ayat al-Qur’an. Ketika itu
Aisyah sedang sibuk menghadiri pemakaman Nabi. Dalam informasi lain, beberapa naskah
al-Qur’an pernah tercecer dalam penjagaan para sahabat Nabi, beberapa di antaranya adalah
ayat-ayat terkait kewajiaban terhadap orang tua dan tentang peperangan. Hal ini sebagaimana
dituturkan Umar dan beberapa sahabat yang otoritatif di bidang pengumpulan al-Qur’an
(Zaid bin Sabit Abdullah bin Abbas, dan Ubay bin Kaab).
Kedua, beberapa ayat dan surat yang bersumber dari naskah-naskah para sahabat tidak
termuat dalam Mushaf Usmani. Contoh pertama adalah tidak dimuatnya surat al-Khul dan
al-Hafd dalam naskah Ubay.
اخللع ةرسو46
الرحيم الرمحن هللا بسم
نس ّنإ ّاللهمتعلك(51)ونستغفرك(50)عليك نثين و(49)نكفرك وال(48)يفجرك من ونرتك خنلع و
احلفد ةرسو52
الرحيم الرمحن هللا بسم
(ىّلنص ولك نعبد ايك اللهم53عذابك وخنشى رمحتك نرجو حنفظ و نسعى وإليك نسجد و )(55)
بالكفار(54)ملحق
5. 5
Meskipun kedua surat tersebut telah ditelaah secara cermat dan disimpulkan sebagai bukan
bagian dari al-qur’an karena beberapa sebab,2 hal ini tetap menjadi sebuah pertanyaan yang
belum final terjawab secara ontologis. Contoh lain, masih dalam naskah Ubay, adalah adanya
suatu ayat yang seharusnya disisipkan di antara ayat 24 dan 25 pada QS 10.
هللا ويتوب ابرتال اال آدم ابن ميألجوف ثالثاوال ادياو البتغى مال من اديانو آدم ابن ان لوباب من ى ى
Sekali lagi, analisa linguistik menyatakan ayat yang dimaksud bukan ayat al- Qur’an.
Namun demikian, hal-hal tersebut tetap menjadi misteri yang belum final terjawab secara
ontologis.3
Menurut informasi lainnya, terdapat beberapa surat yang dilaporkan menyusut dan
berkurang secara kuantitas. Yang semula utuh, kini (dalam Mushaf Usmani) hanya tersisa
sepertiga atau seperempatnya saja (misalnya, QS al - Taubah). Hal ini sebagaimana penuturan
Huzaifah bin al-Yaman. Beberapa surat lain yang terjadi perbedaan kuantitas adalah QS al-
Hijr dan QS al-Nur.
Ketiga, fakta bahwa Ali memiliki al-Qur’an versi tersendiri. Kejadian ini dapat dirujuk
tatkala Ali absen secara publik selama beberapa hari termasuk saat pembaiatan Abu Bakar
ditunjuk menjadi khalifah pengganti Nabi. Ketika Ali menyerahkan naskah yang dimilikinya
kepada panitia pengumpulan al-Quran dimasa Usman, naskah Ali tidak diterima lantaran
Usman memprioritaskan naskah-naskah yang berasal dari para sahabat lainnya. Karenanya,
Ali membawa pulang naskah yang dimilikinya. Selain naskah Ali naskah Ibnu Masud juga
mengalami penolakan serupa meskipun diyakini kebenarannya oleh sebagian besar kalangan
Syiah bahwa Ali memiliki naskah, menurut Nöldeke, hal ini perlu ditinjau ulang. Asalan
Nöldeke adalah karena Ali tidak pernah menyinggung perihal naskah yang dimilikinya pada
periode pra-pengumpulan naskah oleh Usman dilakukan. Berikut pernyataan Nöldeke.4
Nöldeke juga menganggap para pengikut yang meyakini kesucian Ali telah mengada-
ada soal naskah Ali. Selain keberadaannya diragukan, kalangan Syiah kemunculan naskah
tersebut bersamaan dengan kemunculan Imam Keduabelas “yang dijanjikan”.Sambil
2
Lihat ulasannya dalam Theodor Nöldeke, dkk., History of The Qur‟an,terj. Wolfgang
H. Behn (Leiden: Brill, 2013) hlm. 240-242. Lihat juga Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah
Al-Qur‟an, Edisi Digital (Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi, 2011), hlm. 267-268.
3
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur‟an, hlm. 261. Masih ada beberapa
contoh lain, Rujuk ibid., hlm. 262-270.
4 Theodor Nöldeke, dkk., History of The Qur‟an,hlm. 219-220.
6. 6
menunggu kedatangan Imam Kedua belas dan al-Qur’an versi Ali yang dibawanya, sebagai
solusi temporalnya, kalangan Syiah tetap menggunakan Mushaf Usmani sebagai kitab suci.5
Bersandar pada fakta bahwa Ali absen dari publik untuk menyusun naskah al-
Qur’an, kalangan Syiah memandang dan meyakini naskah Ali memang benar-benar ada.
Wajar jika muncul klaim bahwa Ali, “was the one who established the official and standard
Qur’an”.
Namun demikian, ini patut dipertanyakan mengingat ada himbauan dari Usman
untuk membumihanguskan teks selain milik Usman yang dianggap paling otoritatif saat itu.
Ali, hemat
kami, bukan sosok yang tidak bijaksana dalam berinteraksi dengan koleganya.
Wajar jika dikatakan Ali turut serta membumihanguskan naskah yang ada padanya.
Terlebih, Ali secara tegas tidak menolak integritas Mushaf Usmani. Karenanya, wajar jika
teks Ali diragukan masih ada saat itu, apalagi saat ini. Dari ketiga fakta di atas, dapat
disimpulkan bahwa tradisi Sunni-awal mengkonfirmasi adanya kecacatan al-Qur‟an dari sisi
data. Selain faktor “alami”, misalnya naskah yang hilang, faktor “non-alami” berupa otoritas
„Usman dalam
menyeleksi al-Qur’an berperan penting dalam “kecacatan” al-Qur’an tersebut.
Sementara itu dalam tradisi Syiah-awal, secara khusus sebelum abad 3H/9M,
golongan Syiah banyak merujuk sumber Sunni di atas. Hanya setelah abad 3H/9M kalangan
Syiah mengutip tradisi mereka sendiri. Tradisi Syiah yang dimaksud tak lain adalah
representasi pandangan para Imam mereka, yang sekalipun pandangan tersebut patut dikritisi
karena memunculan polemik dan menghadirkan “data aneh” (alien material), tetap dijadikan
rujukan di kalangan Syiah.
B. SYIAH EKSTRIMIS, SUNNI MODERAT, DAN SYIAH MODERAT
Setidaknya ada tiga sikap kelompok yang muncul dalam menanggapi persoalan
otentisitas
al-Qur’an, yang sebagian faktanya telah dipaparkan di atas. Kelompok yang dimaksud antara
lain: Syiah ekstirims, Sunni moderat, dan Syiah moderat. Kelompok pertama cenderung
serampangan dan lebih mendekati kepada menyimpang daripada benar, sementara dua
kelompok lainnya menampakkan sikap apologetik dalam berteologi.
5 Theodor Nöldeke, dkk., History of The Qur‟an..., hlm. 289.
7. 7
A. Syiah Ektrimis
Kelompok ini menuduh bahwa telah terjadi penyimpangan (tahrif) dan perubahan (tabdil)
dalam al-Qur’an yang dilakukan oleh Usman secara sengaja. Al-Quran, menurut mereka,
semula memuat kisah-kisah keluarga Ali dan di dalam kisah-kisah tersebut terdapat kisaran
70 ayat yang secara khusus membicarakan tentang AlPemuka syiah abad 4H, Abu al-Hasan
Ali Ibn Ibrahim al-Qummi, menyatakan bahwa ada sekitar 500 tempat di dalam al-Quran
yang telah diubah. Dan masih banyak kasus penyimpangan dan perubahan redaksi teks lain
dalam al-Quran.6
Penyimpangan yang dianggap paling menarik sekaigus mengejutkan adalah adanya
sikap tendensius Syiah ektrimis ini yang seolah ingin mengubah al-Qur‟an secara maknawi
menurut pemikiran mereka. Mereka menilai ada usaha yang sengaja dilakukan dalam
menghilangkan redaksiredaksi kata tertentu di dalam al-Quran. Misalnya, sisipan kata Aliy
dan Al yang“hilang” pada beberapa ayat. Belum lagi frasa Shirat „Aliy yang diuba menjadi
Shirat Mustaqim. Selain itu, pada beberapa ayat berlatar dialog, kelompok ektrimis ini juga
membubuhi kata panggil ya Aliy. Selain itu, kata ummah di dalam al-Qur’an yang dianggap
seharusnya menjadi
aimmah, yang merujuk pada konsep Imamah dalam tradisi Syiah.7
Pada sumber lain, dalam manuskrip Bankipur, ditemukan pula“ayat Syiah” yang
isinya adalah pengagungan Ali dan keluarganya yang sengaja ditolak keberadaannya di
Mushaf Usmani. Ayat-ayat ini, setelah diteliti secara mendalam, tak lain adalah rekayasa
semata di era belakangan.8
Selain itu, Syiah ekstrimis juga menganggap adanya unsur kesengajaan para
pengumpul al-Qur’an dengan tidak memasukkan empat surat dari naskah Ubay: surat al-KhaI
al-Hafd, al-Nurayn, dan al- Walayah.9
B.Sunni Moderat
6 Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, hlm. 271.
7 Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, hlm. 273-274.
8 Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, hlm. 285.
9
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, hlm. 277. Penjelasan keempat
surat tersebut dapat dilihat pada ibid., hlm. 277-285 dan 266-268.
8. 8
Adanya beberapa bukti kecacatan al-Quran membuat siapa saja tidak nyaman.
Kalangan Sunni, dalam tataran teologis, menanggapi hal tersebut dengan menunjukkan sikap
apologetik. Dari sinilah konsep naskh dalam al-Quran muncul10 bahwa ayat-ayat dan surat
yang tidak dimuat
dalam Mushaf Usmani boleh jadi ternaskh. Konsep ini akan membuat semua kecacatan al-
Quran masuk akal (logical) dan bisa diterima dengan baik oleh semua kalangan. Konsep ini
dianggap telah “berhasil” membalikkan fakta al-Qur’an yang cacat menjadi anti-cacat.
Yang hendak dibidik dari konsep ini adalah ayat-ayat yang para periwayatnya masih
mengingat ayat yang diriwayatkannya namun tidak didukung bukti fisik naskah. misalnya
adalah kisah Umar tatkala teringat ayat rajm. Ketika berhadapan dengan tim pengumpul al-
Qur’an, Umar tak memiliki bukti naskahnya lantaran pemiliknya telah gugur di perang
Yamamah. Karenanya, ayat rajm tersebut tertolak. Secara eksplisit, sunni menilai ayat
yang“luput tercatat dalam Mushaf Usmani dihukumi sebagai naskh. Yang menarik, sampai
saat ini konsep ini masih berlaku di kalangan sebagian Sunni.
C.Syi’ah Moderat
Sikap moderat ini ditunjukkan dengan sikap “menerima’’ mushaf Usmani sebagai
kitab suci mereka.11 Bahkan, seorang ahli hadis kalangan Syiah Muhammad Ibn Babawayh
mengatakan bahwa penerimaan tersebut dihitung sebagai keimanan sikap yang menyatakan
tidak adanya “kecacatan” (non-alteration) dalam al-Qur’an.12 Tentu hal ini menjadi angin
segar akan pemahaman ontologis al-Qur’an.
Namun begitu, sikap moderat ini menyisakan catatan lain, yaitu adanya pandangan
yang baku mengenai Mushaf „Usmani. Pandangan baku yang tampak teologis ini mencakup
dual hal: pandangan Imamah dan pandangan terhadap status beberapa surat dalam Mushaf
Usmani.
Imamah, dalam pandangan Syiah, adalah konsep kepemimpinan dalam Islam yang
merupakan warisan dari kepemimpinan Nabi dan dimulai dari Ali. Sumber yang secara
eksplisit menyatakan hal ini adalah hadis Nabi yang disampaikan di Ghadir Khumm. Hadis
10
Penjelasan tentang konsep naskh yang dimaksud dalam Taufik Adnan Amal,
Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, hlm. 260-261.
11 Theodor Nöldeke, dkk., History of The Qur‟an..., hlm. 289.
12 Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, hlm. 286.
9. 9
ini masih debatable. Lebih jauh, kalaupun asumsi ini benar adanya, Hossein Modarressi
menyatakan tidak
adanya satu ayatpun dalam al-Quran yang menyinggung Ali berikut Imamah yang dimaksud.
Ayat-ayat yang diduga sebagai “korban” eksploitasi kalangan Syiah antara lain: QS 5:67, QS
3:33, QS 56:10-12, QS 25:1, dan QS 24:35.
Syiah menerima Mushaf Usmani dengan beberapa opsi yang tidak disepakati, yaitu
bahwa QS 105-106 dan QS 93-94 adalah satu kesatuan surat. Sumber rujukan Syiah adalah
mushaf Ubay. Pendapat tentang kesatuan QS 93-94 diperkuat dengan pernyataan Umar Ibn
Abd al-„Aziz dan seorang tabiin Tawus al-Kaysan.
Dari ketiga sikap kelompok di atas, secara implisit dapat dikatakan bahwa memang ada
celah untuk mengatakan al-Quran memiliki kecacatan. Ada seorang ulama Syiah belakangan
yang berusaha membuktikan asumsi kecacatan al- Quran. Melalui tafsirnya Bayan fi Tafsir
al-Qur‟an (The Prolegomena to The Qur’an, terj. Abdul Aziz A. Sachedina), secara khusus
dalam pengantar, al-Sayyid Abu al-Qasim al-Musawi al-Khui membantai semua gagasan
yang menyatakan ada tahrif (penyimpangan) dalam al-Qur‟an, baik dari kalangan Sunni
maupun Syiah. Cara yang ditempuh adalah dengan menganalisa semua sumber-sumber yang
dijadikan rujukan untuk menyatakan ketersimpangan al-Quran, untuk lalu dipatahkan semua
argumentasi-argumentasinya.13
13 Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur‟an…, hlm. 286.
10. 10
BAB III
KESIMPULAN
Secara umum, perihal meragukan validitas Mushaf Usmani yang terjadi di dunia
Islam (dalam hal ini sekte-sekte dalam Islam) bertumpu pada factor dogmatis sinis dan bukan
kritik historis murni. Hal ini sebagaimana tampak pada ketiga faksi di atas. Contoh lainnya
adalah aliran Mu’tazilah. Mereka berpandangan bahwa al-Qur’an yang suci mustahil memuat
hal-hal yang tidak suci, semisal hujatan kepada musuh-musuh nabi pada QS 111. Sementara
itu sekte Maimuniyah dari aliran Khawarij menolak keberadaan QS 12 yang berisi cerita
kisah cinta Nabi Yusuf. Kisah ini dianggap tidak layak menjadi bagian dari
kesucian al-Qur’an.14
Beberapa argumen kecacatan al-Quran, bagaimanapun, tidak lantas dapat dikonfirmasi
kebenarannya. Pembuktian melalui analisa kebahasaan, sedikit banyak menolak afirmasi
argumen kecacatan al-Quran. Barangkali memang perlu dikedepankan studi kritis historis
daripada dogmatis. Barangkali juga perlu dikedepankan “kesamaan” pandangan bahwa al-
Qur’an tidak cacat dan darinya umat Islam mendapatkan h}ikmah bagi kehidupan, daripada
terpaku pada aspek problematis yang mengundang perdebatan tanpa akhir.
14Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur‟an…, hlm. 270-271.
11. 11
DAFTAR PUSTAKA
Amal, Taufik Adnan. 2011. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, Edisi Digital. Jakarta:
Yayasan Abad Demokrasi.
Nöldeke, Theodor, dkk. 2013. History of The Qur’an, terj. Wolfgang H. Behn.
Leiden:
Brill.
Quraish,Shihab. 1994. Membumikan Al – Qur’an,Bandung : Mizan.
Al – A’zami.2005. The history of the qur’anic teks. Jakarta : Gema insani.