SlideShare a Scribd company logo
1 of 255
Download to read offline
Buku Ajar
utrisi Bedah
(Disorders of Nutrition and Metabolism
In Clinical Surgery:
Understanding and Management)
Graham L. Hill
Foreword by J.e. Goligher
Churchill Livingstone Farmedia
Buku Ajar Nutrisi Bedah
(Disorders of Nutrition and Metabolism
In Clini~al. Surgery:
Understanding and Management)
Graham L. Hill MD ChM FRACS FRCS FACS
Professor of Surgery, University ofAuckland, New Zealand
Foreword by
J.C. GoligherChM(edin) FRCS (Edin & Eng) HonDSc(leeds) HonMD(Mult)
HonFRCS(I) HonFRACS HonFACS
Emeritus Professor ofSurgery, University of Leeds; Consulting Surgeon,
St Mark's Hospital for Diseases ofthe Rectum and Colon, London
Alih Bahasa:
dr Iyan Darmawan
Editor:
dr Benny Philippi, SpBD(K)D(K)
T
FARMEDIA
Bab 1. Memahami Perawatan Metabolik 
 
PENDAHULUAN 
 
Banyak ahli bedah merasa bahwa metabolisme pasien bedah sebagai topik yang rumit dan sukar
dipahami. Memang beberapa buku ajar dan sebagian pakar menyajikan prinsip-prinsip metabolism dengan
terlalu rinci. Namun demikian ada sejumlah konsep dasar yang perlu diketahui dokter bedah untuk bisa
mengelola banyak permasalahan metabolisme. 
Dalam bab ini, kami akan memberikan konsep-konsep dasar tersebut. Tinjauan umum tentang komposisi
kimia tubuh akan diberikan, termasuk respons tubuh terhadap starvasi akan dibandingkan dengan respons
metabolik terpadu terhadap trauma dan sepsis berat. Ini merupakan landasan pengetahuan untuk
memahami perawatan metabolik dengan mudah. 
================================================================================ 
BAGIAN I 
KOMPOSISI KIMIA TUBUH 
Gambar 1.1. memperlihatkan komposisi kimia tubuh dari pria normal berusia 40 tahun. 
LEMAK TUBUH 
Bisa dilihat bahwa pria normal berusia 40 tahun terdiri atas 15 kg lemak. Sebagian besar,kira-kira 12 kg,
merupakan lemak simpanan, yaitu lemak di subkutan, intermuskular, intraabdomen dan intratorakal.
Sisanya 3 kg disebut lemak esensial, yakni lipid di sumsum tulang dan lipid di susunan saraf pusat dan
organ-organ lain.  
 
Lemak simpanan adalah dalam bentuk trigliserida yang secara kimiawi dan fisika mirip minyak
zaitun. Disimpan terutama dalam sel-sel khusus disebut adiposit, lemak ini tidak disertai air. Bila
dibutuhkan sebagai bahan bakar untuk jantung, otot rangka, hati atau ginjal, lemak dihidrolisis menjadi tiga
asam lemak dan gliserol (suatu karbohidrat). Berikatan erat dengan albumin, asam-asam lemak ini
diangkut ke organ-organ tersebut di mana pembakarannya menghasilkan 9,4 kcal untuk setiap asam lemak
yang dibakar. 
MASSA TUBUH NON-LEMAK 
Gambar 1.1 memperlihatkan bahwa massa tubuh non-lemak terdiri atas air, glikogen, protein dan mineral. 
Air tubuh 
Dari Gambar 1.1 bisa dilihat bahwa air merupakan komponen terbesar dari tubuh. Secara klinis, ini penting
karena berarti setiap penambahan atau penurunan berat badan dalam waktu singkat disebabkan terutama
oleh perubahan kandungan air tubuh. Hidrasi dari massa tubuh non-lemak bersifat konstan. Pada manusia
dan beberapa hewan yang diukur, 73% dari massa tubuh non-lemak berupa air. Kita akan lihat kemudian
bahwa hampir semua penyakit bedah selalu diikuti ekspansi air dari massa non-lemak. Bahkan pada
pasien dengan kondisi khusus, koefisien hidrasi bisa mencapai 80% atau lebih. 
Karbohidrat 
Simpanan karbohidrat dalam tubuh sangat sedikit (600-700 gr). Karbohidrat disimpan sebagai glikogen;
500 gr dalam otot dan 200 gr dalam hati. Glikogen terbentuk dari molekul-molekul glukosa dengan rantai
cabang besar yang membentuk gel bersama-sama dengan air yang kaya kalium di antara rantai-rantai
tersebut. Ketika sel-sel membentuk glikogen 2-4 gr air disimpan untuk setiap gram glikogen. Simpanan
karbohidrat yang sedikit ini tidak penting sebagai cadangan energi tetapi menjadi sangat berarti pada
keadaan-keadaan stres dimana glikogenolisis menghasilkan glukosa yang diperlukan segera. Replesi
glikogen tubuh menghasilkan peningkatan kalium total tubuh dan air total tubuh. 
Protein Tubuh 
Tidak semua dari 12 atau 13 kg protein tubuh tersedia untuk konversi metabolik (metabolic interchange).
Kira-kira 45% merupakan penyangga tubuh – yakni protein struktural dari kolagen, fasia, ligamen, dermis
dan dinding pembuluh darah. Bila jaringan tubuh terkuras pada penyakit-penyakit katabolik, struktur-
struktur ini tetap utuh sedangkan jaringan seluler dioksidasi. Sisanya 55% terdapat di dalam sel atau
sirkulasi. Inilah yang merupakan mesin dari tubuh. Masing-masing molekul protein memiliki fungsi penting:
sebagai enzim, unit kontraktil atau unit struktural, atau merupakan protein fungsional. Yang penting, jika
protein seluler terpakai sebagai bahan bakar, misal pada penyakit bedah, akan berakibat hilangnya
sebagian fungsi tubuh. Kita akan lihat nanti (Bab 5) bahwa pada saat 20% cadangan protein tubuh telah
terbakar, terbukti ada disfungsi fisiologis dari kebanyakan sistem organ tubuh. Bila jumlah protein tubuh
normal, setiap kelebihan asupan protein dari luar akan dipecah dan nitrogen diekskresi sebagai urea, dan
rangka karbon dari asam amino didaur ulang sebagai energi atau disimpan sebagai lemak. 
Mineral 
Berdasarkan berat, kebanyakan mineral tubuh terdapat dalam rangka. Walaupun sisanya hanya seberat
kurang dari setengah kilogram, mineral ini penting dalam menentukan distribusi air. Kita akan bahas
fisiologi ini lebih rinci pada Bab 4 
================================================================================ 
BAGIAN II 
KEBUTUHAN ENERGI 
KEADAAN ISTIRAHAT 
Dari semua organ tubuh, otak memiliki kebutuhan energi yang paling konstan. Baik dalam keadaan tidur,
ikut ujian atau menonton televisi kebutuhannya konstan. Otak menggunakan kira-kira 20% dari REE
(resting energy expenditure). Hati bersama visera menggunakan 30% REE, jantung 5%, ginjal 10% dan
selebihnya digunakan oleh otot. Pada olah raga, otot bisa mengkonsumsi 90% dari seluruh pemakaian
energi total (TEE = total energy expenditure). 
KEADAAN STRES 
Pada keadaan stress, katekolamin dan glukagon meningkat, dan akibatnya glikogen hati dan otot dipecah
(glikogenolisis) sehingga glukosa dilepas ke sirkulasi. Glikogen merupakan sumber glukosa yang terbatas,
sehingga tidak lama setelah itu produksi glukosa (glukoneogenesis) di hati meningkat juga oleh
perangsangan katekolamin dan glukagon. Bahan mentah untuk glukoneogenesis ini terutama dari asam
amino otot, dua di antaranya yang terpenting adalah alanin dan glutamin. Energi untuk proses pembuatan
ini bukan berasal dari glukosa melainkan dari pemecahan lemak tubuh. 
Perubahan-perubahan dasar yang terlihat pada stress fisiologis ini juga dijumpai pada kondisi
bedah di mana pada trauma dan sepsis kebutuhan glukosa yang meningkat dipenuhi dari asam-asam
amino yang dihasilkan dari pemecahan protein otot. Kita akan lihat bagaimana pada starvasi yang
berkepanjangan, tubuh melakukan adaptasi dengan menghemat protein otot. Namun pada penyakit bedah
serius, proses adaptasi ini tidak efektif, dan terjadi kanibalisasi otot untuk memasok alanin dan glutamin
yang merupakan bahan mentah untuk produksi glukosa. Glukosa yang meningkat ini dihasilkan untuk
memenuhi kebutuhan energi dari otak, luka dan tempat-tempat yang terinfeksi atau cedera. 
================================================================================ 
BAGIAN III 
INTERKONVERSI METABOLIK PADA STARVASI PROGRESIF 
SUBYEK NORMAL SEGERA SETELAH MAKAN 
Glukosa dari karbohidrat yang dikonsumsi dalam makanan diserap dan prioritas utamanya adalah untuk
memberi bahan bakar ke otak yang memerlukan 100-125 gr glukosa per hari. Prioritas berikutnya adalah
mengisi kembali glikogen hati, dan kelebihan glukosa akan disimpan sebagai lemak.  
Protein makanan dipecah menjadi asam amino yang setelah diserap akan mengisi hati dan otot dan
menggantikan protein yang dipecah sejak jam makan sebelumya. Asam amino yang tidak dibutuhkan
untuk sintesis protein akan dilepas dari gugus aminonya untuk membentuk urea dan residu karbohidrat
yang tinggal digunakan hati untuk energi atau sintesis lemak atau untuk pembentukan glukosa baru. Tiga
asam amino (leusin, isoleusin dan valin) yang dikenal sebagai asam amino rantai cabang ( BCAA =
branched-chain amino acids) dimetabolisme di perifer oleh sel adiposit untuk menghasilkan energi. Itulah
sebabnya, telah diduga bahwa pemberian larutan asam amino yang diperkaya dengan BCAA mungkin
membantu menghemat protein pada penyakit bedah serius, sebagaimana telah kita ketahui otot dipecah
untuk memasok alanin dan glutamin sebagai substrat untuk produksi glukosa. 
Lemak dari makanan diserap sebagai trigliserida dan bila bergabung dengan lipoprotein akan
membentuk kilomikron. Pada keadaan puasa, ini digunakan otot sebagai bahan bakar walaupun setelah
makan kilomikron dipindahkan oleh jaringan lemak untuk diserap ke dalam butir lemak dan disimpan
sebagai cadangan energi. 
SUBYEK NORMAL SETELAH PUASA SEMALAM 
Setelah puasa semalam, ketika semua makanan dari makan sebelumnya diserap, otak mengkonsumsi
sebagian besar glukosa walaupun otot rangka mengambil kira-kira sepertiga energinya dari glukosa. Asam
lemak bebas mulai dimobilisasi dari jaringan adiposa untuk melengkapi kebutuhan bahan bakar otot
(Layzer 1991). Produksi glukosa hati dipertahankan oleh glikogenolisis serta glukoneogenesis. Kadar
insulin rendah dan ini mencetuskan pemecahan protein dengan pelepasan asam amino, terutama alanin
dan glutamin. Ini merupakan substrat optimal untuk produksi glukosa baru dalam hati dan ginjal. 
STARVASI DINI 
Gambar 1.2 memperlihatkan metabolisme bahan bakar pada seorang normal yang tidak makan selama 1-2
hari. Sekarang otak tergantung hanya pada glukosa yang baru dihasilkan dari hati. Menjelang hari kedua
starvasi, kira-kira 75 gr protein otot dipecah setiap hari. Ini tidak cukup untuk memasok semua substrat
untuk produksi glukosa yang diperlukan hati. Sebagai kompensasi, gliserol (dari lemak ) dan laktat (dari
utilisasi glukosa di jaringan hemopoietik) digunakan sebagai bahan bakar. Kembalinya laktat ke hati untuk
didaur ulang menjadi glukosa disebut siklus Cori. Prekursor-prekursor glukoneogenik yang berasal dari
perifer ini didorong untuk proses glukoneogenesis dengan efisiensi mendekati 100%. Hati sendiri
mengambil energi langsung dari asam lemak. Gambar 1.2 juga memperlihatkan bahwa kira-kira 160 gr
trigliserida dipecah setiap hari untuk memasok energi. 
 
 
STARVASI LANJUT 
Gambar 1.3 memperlihatkan gambar metabolisme substrat pada puasa berkepanjangan. Saat ini
mekanisme adaptasi telah terjadi dengan tujuan menghindari pemecahan lebih lanjut dari protein otot.
Kadar asetoasetat dan beta-hidroksibutirat (benda keton) dalam darah yang mulai terbentuk pada minggu
pertama starvasi, sekarang sudah cukup tinggi untuk dikonsumsi otak sebagai bahan bakar utama. Sejalan
dengan itu, oksidasi glukosa oleh otak berkurang. Dengan semakin berkurangnya kebutuhan otak terhadap
glukosa, glukoneogenesis hati lebih sedikit diperlukan dan proteolisis otot jauh berkurang. Oleh karena itu,
hanya 20 gr protein otot dikonsumsi, dan nitrogen urin yang pada orang normal berkisar antara 11-15 gram
per hari, pada starvasi lanjut ini menurun menjadi 4-5 gr per hari. Ini disebabkan oleh menurunnya urea
urin secara mencolok (Gambar 1.4). Adaptasi ini memungkinkan otot tubuh banyak dihemat, dan starvasi
bisa berlanjut selama ada trigliserida untuk menghasilkan asam lemak bebas dan gliserol. 
 
 
RESPONS ENDOKRIN TERHADAP PUASA 
Gambar 1.5 melukiskan respons hormonal terhadap puasa. Ada penurunan kadar insulin dan peningkatan
glukagon serta penurunan triyodotironin. Tanda primer yang dijumpai pada starvasi dini adalah kadar
insulin rendah dengan adanya peninggian kadar glukagon akan mencetuskan tidak saja glikogenolisis
melainkan juga glukoneogenesis. Kadar insulin yang rendah mendorong proteolisis dalam otot rangka
dengan pelepasan asam amino. Saat hati memasuki tahap glukoneogenesis, dengan adanya kadar insulin
yang rendah dan dengan kehadiran glukagon, glukokortikoid dan hormon tiroid, hati mulai menghasilkan
benda keton. Puasa mengurangi konversi tiroksin menjadi triyodotironin, sehingga menghasilkan suatu
bentuk hipometabolisme ringan. Ini disusul dengan penurunan penggunaan energi karena berkurangnya
konsumsi oksigen. Juga ada sedikit penurunan kadar katekolamin. 
================================================================================
BAGIAN IV 
INTERKONVERSI METABOLIK PADA TRAUMA 
Trauma menghasilkan respons neuroendokrin yang mengakibatkan perubahan-perubahan kadar hormon
yang sangat berbeda dari yang diamati pada starvasi berkepanjangan. Kortisol, glukagon dan katekolamin,
epinefrin dan norepinefrin meningkat sebanding dengan derajat trauma. Hormon-hormon ini menyebabkan
proteolisis otot (kortisol), glikogenolisis dan peningkatan glukoneogenesis (kortisol dan glukagon), serta
oksidasi lemak (epinefrin, kortisol dan hormon tiroid). Kerja insulin diantagonisir oleh meningkatnya kadar
hormon pertumbuhan dan epinefrin. Hasil bersih terhadap metabolisme bahan bakar terlihat pada Gambar
1.6.  
Perubahan mendasar adalah kebutuhan jaringan luka atau trauma terhadap glukosa dan hilangnya
mekanisme adaptasi, yakni penurunan proteolisis sebagaimana terlihat pada starvasi yang
berkepanjangan.Proteolisis otot memproduksi asam-asam amino rantai cabang yang dikonversi menjadi
alanin dan glutamin sebagai prekursor untuk glukoneogenesis di hati. Glukosa merupakan bahan bakar
yang digunakan oleh jaringan luka dan hemopoietik. Laktat dari jaringan luka dan gliserol dari oksidasi
lemak juga menjadi substrat untuk glukosa baru. Dalam plasma, ada peningkatan mencolok dari asam
lemak bebas, gliserol, glukosa, laktat, dan asam-asam amino khususnya alanin dan glutamin. Alanin
adalah prekursor utama untuk glukoneogenesis. Glutamin adalah bahan bakar untuk saluran cerna (usus),
ginjal dan sel-sel system imun (Gambar 1.7) 
Respons neuroendokrin terhadap trauma akan dibahas lebih rinci pada Bab 4, tetapi patut diketahui
bahwa pemutusan lintasan saraf ke otak tengah bisa menghapus respons ini sama sekali (Hume & Egdahl
1959) Jika injuri terbatas, seperti pada pembedahan elektif, respons bersifat ringan dan sementara. Pada
trauma kecelakaan, respons neuroendokrin demikian mencolok dan efek metaboliknya lebih dahsyat. Bila
trauma sangan parah, apalagi jika terinfeksi, bisa diikuti perubahan hemodinamik yang lebih dalam dan
hipermetabolisme serta proteolisis hebat. Respons neuroendokrin mungkin menjadi penyebab dari respons
hipermetabolisme namun bukan merupakan satu-satunya yang bertanggung jawab. Pada bagian berikut,
kita akan lihat bagaimana faktor-faktor regulasi memainkan peran kunci dalam mencetuskan dan
menyebarkan respons metabolik pada trauma berat dan sepsis serius. 
================================================================================
BAGIAN V 
INTERKONVERSI METABOLIK PADA SEPSIS SERIUS 
Pasien dengan sepsis serius memiliki dimensi hipermetabolisme, proteolisis dan ekspansi cairan
ekstraseluler yang tidak bisa dijelaskan oleh respons neuroendokrin sebagaimana diamati setelah bedah
mayor atau trauma moderat. 
Walaupun pemberian infus hormon-hormon katabolik seperti kortisol, glukagon dan katekolamin
bisa menghasilkan banyak perubahan klinis dan metabolik pada pasien sepsis, hormon-hormon ini tidak
bisa menirukan proteolisis massif yang terlihat pada pasien-pasien sepsis. Sampai 250 gr protein otot
dipecah setiap hari pada pasien sepsis. Kini disadari bahwa peptide regulatory factors, khususnya sitokin
yang dihasilkan dari sel-sel radang pada lokasi infeksi ini sendiri merupakan penghubung antara jaringan
luka atau radang dengan respons metabolik dann imunologik yang terjadi (Fong & Lowry 1990).
Interleukin-interleukin 1,2 dan 6 (IL-1, IL-2, IL-6), tumor necrosis factor (TNF) dan interferon γ memainkan
peran penting. Sedikitnya dua dari sitokin-sitokin ini, TNF dan IL-2 merupakan mediator pasca inflamasi
yang bisa mencetuskan dan menyebarkan respons metabolik pada sepsis serius. Endotoksin merupakan
stimulus kuat untuk produksi TNF. Banyak penelitian memberi kesan bahwa sitokin memperkuat
pembebasan sitokin-sitokin dan mediator lain selain merangsang hormon-hormon klasik, katekolamin,
glukagon, dan kortisol (Michie & Wilmore 1990). Efek-efek sitokin sirkulasi bersifat kuat (Welbourn dkk
1990). Sebagai contoh, TNF telah diperlihatkan menimbulkan hipotensi, syok dan peningkatan
permeabilitas kapiler, demam dan efek hebat terhadap sistem imun. 
 
 
Efek-efek metabolik yang ditimbulkannya meliputi proteolisis otot, peningkatan ambilan asam amino oleh
hati, produksi protein fase akut dan peningkatan lipolisis. IL-1 telah disebut sebagai faktor penginduksi
proteolisis dan juga merupakan penginduksi sintesis protein fase akut. IL-2 dan IL-6 memilki fungsi
dominan sebagai stimulasi sistem imun, walaupun keduanya memiliki efek metabolik. 
Hasil bersih dari pelepasan sitokin ke dalam sirkulasi adalah menginduksi hipermetabolisme
dengan peningkatan konsumsi oksigen tubuh, proteolisis massif dan memperhebat perubahan
metabolisme bahan bakar pada trauma. Gambar 1.8 memperlihatkan perubahan-perubahan dalam
pertukaran substrat antar organ yang terjadi; pada sepsis, sirkulasi hiperdinamiklah yang memungkinkan
perubahan-perubahan ini terjadi. Sel-sel radang pada luka membutuhkan glukosa (mungkin juga
glutamine) sebagai bahan bakar primer. Di sini glukosa membebaskan energinya melalui lintasan glikolisis
dengan CO2, air dan laktat sebagai produk akhir. Laktat yang dihasilkan ini diangkut kembali ke hati untuk
didaur ulang menjadi glukosa. Keseluruhan proses glukoneogenesis membutuhkan energi yang dipasok
oleh asam lemak bebas. Sebagian besar glukosa yang dibutuhkan untuk menyembuhkan luka atau
jaringan radang diproduksi hati tidak hanya dari laktat melainkan juga alanin yang dilepaskan otot, dan
beberapa asam amino lain dalam jumlah lebih sedikit. Otot merupakan pemasok utama dari asam amino.
Asam amino yang terbanyak dilepas dari otot adalah alanin dan glutamin. Glutamin merupakan bahan
bakar utama untuk enterosit (sel usus). Glutamin menghasilkan amonia dan produk-produk lain seperti
alanin yang diangkut kembali ke hati. Glutamin juga membantu sebagai dapar dari kelebihan asam di ginjal
dengan membentuk amonia (lihat Bab 19) 
 
Pada Bab 19 kita akan mempelajari tentang status hemodinamik yang terjadi pada pasien bedah kritis.
Yang penting disimak adalah jaringan radang membutuhkan glukosa lebih banyak dan substrat untuk
glukoneogenesis ini adalah asam amino yang berasal dari pemecahan otot. Untuk mendukung
interkonversi ini yang perlu untuk memenuhi kebutuhan glukosa yang meningkat, kebutuhan seluruh tubuh
terhadap energi juga bertambah; lebih banyak oksigen dikonsumsi dan laju metabolisme meninggi. Untuk
memungkinkan interkonversi ini terjadi peningkatan curah jantung dan sirkulasi menjadi hiperdinamik. 
Pelajaran praktis yang bisa dipetik adalah sampai fokus septik dikendalikan, sitokin akan terus
diproduksi dan hipermetabolisme plus autokanibalisme akan berlanjut tanpa mereda. Sudah lama ahli
bedah mengetahui efek dramatis dan menguntungkan dari drainase pus, membuang jaringan nekrotik dan
mencegah kontaminasi. Kesadaran bahwa peptide regulatory factors dilepaskan dari sel-sel radang di
fokus septik telah mengajarkan kita mengapa efek ini begitu dramatis. Solusi terhadap masalah
hipermetabolisme yang berlanjut ini sering berada di tangan dokter bedah sendiri dan tidak bisa ditegaska
terlalu banyak sebelum produksi sitokin dari sel radang dihentikan. Teknologi rekombinan, dengan
memproduksi antibodi monoklonal terhadap endotoksin dan berbagai sitokin telah membuka era baru
dalam penanganan sepsis serius. 
================================================================================ 
BAGIAN VI 
DAMPAK DARI PERKEMBANGAN MUTAKHIR DI BIDANG BIOTEKNOLOGI DAN
PENATALAKSANAAN SEPSIS SERIUS 
Banyak respons sistemik terhadap bakteremia Gram negative bisa dipicu oleh endotoksin. Endotoksin
adalah komponen lipopolisakarida dari dinding sel bakteri. Suatu antibody monoklonal manusia yang
berikatan dengan komponen endotoksin-lipid A telah diproduksi dan pemberiannya telah diperlihatkan
mengurangi sampai separuh mortalitas pasien-pasien dengan sindroma sepsis (Ziegler 1991). Antibodi
monoklonal lain telah dikembangkan untuk tumor necrosis factor dan komponen-komponen reaksi radang
lainnya. Imunoterapi memiliki potensial untuk mempengaruhi prognosis penyakit bedah kritis seperti halnya
antibiotika di masa lampau (Dunn 1988, shimamoto dkk 1988, Khazaeli dkk 1990). 
================================================================================
BAGIAN VII 
ISTILAH-ISTILAH METABOLIK-BEBERAPA DEFINISI DAN PENJELASAN 
IMBANG NITROGEN 
Diet orang Barat rata-rata mengandung sekitar 80 gr protein. Karena 16% dari protein ini adalah nitrogen
(yakni ada 1 gr N dalam 6,25 gr protein), ini berarti kira-kira 13 gr nitrogen dikonsumsi setiap hari.
Seseorang normal yang beratnya konstan akan mengekskresi nitrogen dalam jumlah sama seperti yang
dimakannya. Orang ini dikatakan memiliki imbang nitrogen nol. Dari 13 gr asupan per hari, 11 gr nitrogen
diekskresikan dalam urin (=70% dalam bentuk urea) dan sisanya dalam tinja (1 gr) dan dari lepasnya
korneum kulit (1 gr). 
Imbang nitrogen bisa memberikan gambaran umum apakah protein total tubuh bertambah (anabolisme)
atau dipecah (katabolisme). Bila imbang nitrogen positif, berarti lebih banyak yang dikonsumsi daripada
yang diekskresi dan protein tubuh disintesis; bila imbang nitrogen negative, ada katabolisme protein tubuh. 
Data imbang nitrogen sering diperlihatkan dalam metabolic chart. Konvensi yang biasanya digunakan
adalah dari Moore dan Ball (1952). 
PERGANTIAN PROTEIN (PROTEIN TURNOVER) 
Protein dan juga proses-proses lain dalam metabolisme berada dalam keadaan dinamis, yakni secara
konstan dipecah dan disintesis. Protein dianggap berada dalam suatu kompartemen atau pool, dan volume
total dari pool dipengaruhi oleh laju penambahan atau pengambilan dari pool tersebut. Laju ini bisa
ditetapkan dengan menginfus sejumlah kecil protein yang diberi label isotop (biasanya asam amino). Pada
steady state, tracer akan tampil dalam pool dan seandainya ukuran pool konstan, laju pemunculan protein
berlabel sama dengan laju menghilangnya dari pool serta laju pergerakan melalui pool. Proses ini diacu
sebagai aliran (flux) atau pergantian (turnover) protein. 
SINTESIS PROTEIN DAN KATABOLISME PROTEIN 
Protein total tubuh dianggap sebagai pool metabolisme tunggal, di mana lalu lintas protein memiliki dua
arah-yakni untuk sintesis protein dan untuk katabolisme (pemecahan) protein. Jika sintesis melampaui
pemecahan, ada penambahan bersih dari protein total tubuh (net protein synthesis), dan jika pemecahan
melebihi sintesis maka akan ada kehilangan bersih dari protein total tubuh (net protein catabolism). 
ASAM AMINO 
Asam amino esensial 
Isoleusin, leusin, valin, lisin, metionin, fenilalanin, treonin dan triptofan merupakan komponen diet esensial.
Kekurangan salah satu unsur ini dalam diet akan menyebakan ketidakmampuan meyimpan protein. Oleh
karena itu, subyek akan mengalami imbang nitrogen negative. Pada dewasa paling sedikit 20% dari protein
makanan mereka harus berbentuk asam amino esensial.  
Asam amino rantai cabang (BCAA= branched-chain amino acids) 
Tiga dari asam amino esensial, isoleusin, leusin dan valin disebut BCAA. Sementara kebanyakan asam
amino diambil dan dimetabolisme oleh hati, asam amino rantai cabang diutilisasi oleh otot rangka. Di otot,
BCAA memasok nitrogen dan glukosa memasok karbon untuk pembentukan alanin dan glutamin. Alanin
merupakan prekursor untuk glukoneogenesis di hati. Glutamin diutilisasi oleh ginjal, usus dan sel-sel
sistem imun. 
Asam amino aromatis 
Fenilalanin, tirosin dan triptofan merupakan asam amino aromatis, yang metabolismenya diatur dalam hati.
Pada gagal hati, kadar plasma dari asam amino aromatis meninggi, lebih banyak masuk ke dalam otak.
Sintesis serotonin otak menjadi tidak terkendali. 
Pool asam amino 
Ini adalah pool asam amino dalam tubuh yang terdapat di plasma, cairan interstisial, dan air sel dan berada
dalam keseimbangan dinamis dengan pool protein total tubuh. Pool ini berisi asam amino sampai kira-kira
100 gr, dan terutama terdiri atas asam amino non-esensial. 
HORMON-HORMON KONTRA-REGULASI 
Massa sel tubuh merupakan jumlah total dari sel-sel tubuh. Oleh karena itu massa sel tubuh mewakili
bagian tubuh di mana semua pertukaran energi terjadi, di mana oksigen dikonsumsi dan CO2 diproduksi.
Massa sel tubuh ditaksir dengan mengalikan kalium tubuh total dengan suatu faktor yang bisa bervariasi
menurut status penyakit pasien. Massa non-lemak (Fat-free mass) adalah massa tubuh yang tinggal
setelah lemak yang bisa diekstraksi eter diangkat. Walaupun sering disebut lean body mass, sebetulnya
berbeda. Lean body mass telah didefinisikan sebagai bagian tubuh yang sama sekali tanpa lemak, kecuali
mengandung sedikit lipid esensial, mungkin 2%. Ada lagi yang mendefinisikan secara salah bahwa lean
body mass adalah selisih antara massa tubuh dan jaringan adiposa. 
PERUBAHAN BERAT BADAN 
Untuk memahami metabolisme bedah secara benar, berat badan harus dipikirkan menurut komponen-
komponennya, antara lain air tubuh total, protein total tubuh, mineral total dan glikogen total. Akan
membantu jika air tubuh dipilah lagi menjadi plasma, air interstisial, dan air intraseluler, protein tubuh
dipilah menjadi protein otot, protein viseral dan protein struktural. Dari Gambar 1.1 bisa dilihat bahwa
sebagian besar berat badan adalah air, sehingga peningkatan berat badan secara bermakna dalam waktu
singkat (kurang dari 48 jam) sebagian besar disebabkan karena penambahan air tubuh. Sintesis jaringan
baru (lean tissue), kira-kira seperlimanya protein dan empat perlimanya air berlangsung lambat, sehingga
baru bisa terlihat setelah seminggu atau lebih. Sintesis jaringan non-lemak jarang lebih cepat dari 150 gr
per hari. Lemak dan protein bisa hilang secepat 200-300 gr per hari, namun kehilangan air yang cepat dari
fistula enterokutan bisa menyebabkan kehilangan berat badan sepuluh kali lebih cepat. Jadi, penurunan
berat badan dalam waktu singkat umumnya menandakan kehilangan garam dan air. Trauma jaringan yang
terus berlanjut dan parah, misal yang menyertai sepsis, bisa menghilangkan kira-kira 500-600 gr per hari.
Penurunan lebih cepat dari ini disebabkan karena kehilangan air. 
PEMINDAHAN ENERGI 
Karena urutan strukturnya yang memiliki derajat tinggi, molekul kompleks yang dikandung dalam lemak,
protein dan karbohidrat mengandung banyak energi kimia, dan selama katabolisme energi ini dibebaskan
dan disimpan sebagai energi kimia yang dikandung dalam struktur ikatan kovalen dari gugus fosfat terminal
dalam molekul ATP. ATP yang terbentuk akan berdifusi bebas ke tempat-tempat dalam sel di mana fungsi
transport, mekanik dan kerja biosintesis dibutuhkan. Hidrolisis ATP atau senyawa fosfat berenergi tinggi
lain membebaskan energi yang bisa ditangkap oleh reaksi-reaksi lain yang membutuhkan energi untuk bisa
berlangsung. Jadi ATP menyediakan energi untuk anabolisme lemak dan protein, kontraksi otot dan
transport membran. ATP dibentuk dari oksidasi nutrien seperti karbohidrat dan lemak, yang pada
pembakaran lengkap menghasilkan CO2 dan air. 
KESEIMBANGAN ENERGI 
Hukum pertama dalam hemodinamik menyatakan bahwa energi tak bisa diciptakan ataupun dihancurkan.
Oleh karena itu jumlah total energi yang diambil oleh tubuh (oral atau intravena) harus diperhitungkan
sesuai dengan energi yang dikeluarkan tubuh menurut persamaan: 
Input energi = output energi
Energi kimia dari makanan = energi panas + energi kerja 
± energi kimia yang disimpan 
Jika asupan energi dari makanan lebih besar dari energi yang dikeluarkan sebagai panas dan kerja, tubuh
akan menyimpan energi dan berat badan pasien bertambah sebagai lemak. Di lain pihak, jika kandungan
kalori dari makanan yang dimakan lebih kecil daripada output, akan ada imbang energi negatif, dan
cadangan protein dan lemak akan digunakan, dan berat badan akan menurun. Penurunan berat badan
yang terjadi setelah operasi mayor hampir seluruhnya disebabkan oleh kurangnya asupan energi, karena
sangat sedikit peningkatan output energi setelah operasi yang tanpa komplikasi (Bab 2). 
Walaupun hukum fisika ini harus berlaku pada pasien bedah, skala waktu untuk pengaturan antara
asupan energi dan pengeluaran energi adalah dalam mingguan bukan beberapa hari , dan ada sedikit
hubungan langsung antara asupan makanan dan output energi selama satu hari. Kebutuhan energi pasien
bedah di rumah sakit dinilai salah berdasarkan selera makan dan telah ditunjukkan bahwa pasien-pasien
yang dirawat di rumah sakit setelah operasi mayor jarang makan lebih banyak dibanding sebelum masuk
rumah sakit, sekalipun output energi mereka meningkat. Akan tetapi, benar bahwa asupan energi
meningkat tajam pada saat pasien kembali di rumah dan pada saat inilah imbang energi positif dicapai dan
berat serta komposisi tubuh kembali normal. 
NILAI ENERGI 
Energi disimpan dalam tiga substrat dalam tubuh: protein, lemak dan karbohidrat (glikogen). Nilai energi
yang bisa dimetabolisme dari ketiga substrat ini telah ditetapkan. Pada pembakaran protein menghasilkan
4,7 kcal/gr, lemak menghasilkan 9,44 kcal/gr dan glikogen 4.18 kcal/gr (Livesay & Elia 1988). Dalam buku
ini dan dalam praktek, umumnya nilai ini dibulatkan menjadi 4,9 dan 4 masing-masingnya. Protein
dianggap 4 kcal/gr karena komposisi protein bervariasi. Dengan berpatokan pada nilai-nilai ini dan data-
data dari Gambar 1.1, nilai energi dari berbagai kompartemen tubuh bisa dihitung (Tabel 1.1) 
RESPIRATORY QUOTIENT (RQ) 
Pengukuran konsumsi oksigen dan produksi karbon dioksida bisa memberikan gagasan kepada dokter
bedah bahan bakar mana yang dikonsumsi pasien. Oksidasi karbohidrat dan lemak menjadi air dan CO2
dalam tubuh adalah lengkap. 
 
Ratio CO2/O2 disebut RQ. 
Untuk karbohidrat RQ adalah 1, untuk lemak campuran RQ 0.7. RQ untuk protein tidak jelas karena
komposisi protein bervariasi, dan oksidasi sempurna tidak selalu terjadi. Biasanya RQ untuk protein
dianggap 0,8. Proses lipogenesis di mana asam lemak berasal dari glukosa memiliki RQ lebih dari 1. 
LEMAK TIDAK BISA DIKONVERSI MENJADI KARBOHIDRAT 
Hubungan timbal balik dari ketiga sumber energi dalam tubuh begitu kompleks, namun pokok klinis penting
adalah karbohidrat mudah diubah menjadi lemak dan bisa diaminasi menjadi protein, tetapi tidak ada
konversi lemak menjadi karbohidrat dan sedikit konversi menjadi protein. 
 
2. Manajemen Metabolik Pasien Bedah Mayor
PENDAHULUAN
Sudah lama para ahli bedah tertarik mengetahui respons metabolik dini pada pasien bedah mayor,
khususnya selama mereka masih di rumah sakit, tetapi baru belakangan ini perubahan-perubahan jangka
panjang dalam metabolisme, komposisi tubuh, fungsi fisiologis dan psikologis dikaji selama berminggu-
minggu dan berbulan-bulan pasca operasi. Dalam bab ini kita akan melihat lebih dekat perubahan-
perubahan metabolik yang ditimbulkan prosedur pembedahan dan bagaimana perubahan-perubahan ini
menetap sampai berminggu-minggu dan pada sebagian kasus sampai berbulan-bulan sebelum pasien
sembuh sempurna. Berdasarkan ini kami akan menyusun program manajemen untuk asuhan rawat
metabolik terhadap pasien-pasien yang menjalani pembedahan mayor elektif.
=================================================================================
BAGIAN 1
RESPONS METABOLIK TERHADAP PEMBEDAHAN
Dr David Cuthbertson (1932) memilah respons metabolik terhadap trauma (injury) menjadi ebb phase yang
ditandai oleh hipovolemia disusul oleh respons simpatis dan adrenal; dan fase berikutnya flow phase di
mana pasien mengalami kehilangan protein dalam kecepatan berlebihan. Durasi dari fase flow tergantung
pada keparahan trauma, dan secara berangsur-angsur fase flow ini digantikan oleh suatu fase anabolik
konvalesensi. Pada fase anabolik ini cadangan protein dan energi yang hilang pada periode dini pasca
trauma diisi kembali (Tabel 2.1).
EBB PHASE
Ebb phase disebabkan terutama oleh hipovolemia dan berlangsung sampai volume darah sirkulasi pulih.
Pasien terlihat pucat, lembab dan takikardia. Hume dan Egdahl (1959) menunjukkan pentingnya otak
dalam respons endokrin dini terhadap trauma. Mereka mengisolasi satu tungkai seekor hewan yang telah
dibius, dan menyisakan hanya nervus sciaticus dan pembuluh femoralis sebagai saraf dan pembuluh darah
yang tinggal. Ketika mereka mengukur kadar kortikosteroid dalam aliran darah vena setelah tungkai yang
diisolasi dipaparkan ke luka bakar, mereka mendapatkan kadar kortikosteroid tersebut meninggi cepat;
namun ketika nervus sciaticus dipotong respons ini tidak terjadi. Berikutnya mereka juga memperlihatkan
bahwa respons hormonal dini terhadap trauma tidak terjadi jika system saraf pusat tidak utuh. Dengan
demikian, nyeri, hipovolemia, asidosis dan hipoksia memulai sinyal saraf aferen ke otak, yang diolah di
hipotalamus. Selanjutnya impus ini menyebabkan meningkatnya aktivitas sistem simpato-adrenal yang
diikuti dengan pelepasan adrenocorticotrophic hormone (ACTH) dan growth hormone (GH) dari hipofisis
anterior, serta antidiuretic hormone (ADH) dari hipofisis posterior. Kadar kortisol plasma naik sebagai
akibat pelepasan ACTH dan sistem renin-angiotensin diaktifkan. Pengaruh-pengaruh vasokonstriktor ini
mengurangi aliran darah ginjal, laju filtrasi glomerulus, ekskresi natrium dan produksi urin. Retensi volume
berlanjut melewati ebb phase, namun diuresis terjadi dalam 72 jam pertama pada kebanyakan pasien.
Kadar insulin plasma bervariasi selama ebb phase, tetapi relatif rendah bila dibandingkan dengan kadar
glukosa yang tinggi. Mungkin ini disebabkan penghambatan simpatis terhadap pelepasan insulin dari
pankreas dan resistensi insulin akibat induksi glukagon di jaringan tepi.
Ebb phase bisa memanjang jika pasien menderita perdarahan pasca bedah, atau jarang terjadi
sama sekali jika prosedur pembedahan hanya menghasilkan sedikit kehilangan darah atau kerusakan
jaringan. Segera setelah normovolemia, ebb phase digantikan oleh flow phase.
FLOW PHASE
Flow phase ditandai oleh oksidasi protein otot untuk memasok glukosa sebagai bahan bakar esensial
untuk otak dan jaringan dalam proses penyembuhan. Kehilangan protein yang dipacu ini disebabkan oleh
meningkatnya proteolisis otot bukan karena berkurangnya sintesis. Dalam bab 1 kita lihat bagaimana pada
pasien yang mengalami trauma hebat, misal kecelakaan atau sepsis serius, fase ini disertai dengan
peningkatan laju metabolisme walaupun kita ketahui bahwa pada pasien bedah elektif REE hanya sedikit
meningkat. Kebutuhan energi pasien selama fase ini dipenuhi terutama oleh oksidasi lemak. Kadar plasma
dari hormon-hormon kontra-regulasi menurun selama flow phase, sedangkan kadar insulin meningkat
sampai maksimum walaupun laju kehilangan protein tubuh mencapai maksimum pada saat ini. Alasan
peninggian kadar insulin plasma tidak dipahami, begitu pula halnya resistensi terhadap efek anabolikya
yang lazim.
Karena kadar plasma dari katekolamin, glukagon dan kortisol menurun selama flow phase, sukar
untuk menyatakan bahwa kehilangan protein yang hebat pada fase ini disebabkan oleh aksi katabolik
mereka. Walaupun ada sedikit keraguan bahwa susunan saraf pusat dan respons neuroendokrin terhadap
trauma bedah menjelaskan banyak perubahan metabolik yang diamati selama flow phase operasi mayor,
hormon-hormon stress ini tidak bertanggung jawab penuh terhadap perubahan-perubahan metabolisme.
Kebanyakan penelitian mutakhir berpusat pada peran sitokin yang dilepaskan oleh sel-sel di lokasi luka.
Berbagai jenis sel bisa melepaskan sitokin yang memiliki efek sistemik maupun lokal. Interleukin-1,
Interleukin-6, tumor necrosis factor (TNF) dan interferon gamma merupakan mediator-mediator penting dari
respons metabolik terpadu, tetapi dengan pengecualian Interleukin-6, sitokin-sitokin ini belum ditemukan
dalam plasma pasien-pasien pasca bedah (Cruickshank dkk 1990). Pemberian infus TNF menirukan
banyak gambaran klinis dan metabolik dari sepsis, seperti demam, hipotensi, anoreksia, hiperglikemia dan
imbang nitrogen negative (Tracey dkk 1986, Michie dkk 1988, Flores dkk 1989). Banyak gambaran reaksi
endokrin dan metabolik terhadap sepsis, seperti resistensi insulin dan kehilangan protein ditemukan pada
pasien-pasien yang mengalami cedera. Yang mengherankan sampai sekarang belum dideteksi TNF pada
serum pasien setelah pembedahan mayor.
=================================================================================
BAGIAN II
ENERGETIKA PERIOPERATIF
Selama 2 minggu pasca operasi mayor pasien mengalami defisit energi cukup besar. Hanya separuh dari
kebutuhan energi dipenuhi dari dekstrosa intravena dan makanan. Untuk mencapai imbang energi,
cadangan lemak, glikogen dan otot dibakar.
Pada tahun 1968 Kinney dan rekan-rekan melakukan kajian imbang energi pada 10 pasien bedah mayor.
Kajian yang menonjol dan rinci dari asupan energi dan pemakaian energi ini memperlihatkan bahwa resting
energy expenditure (REE) yang pada orang sehat adalah sekitar 22 kcal/kg/hari, meningkat hanya sedikit
sekali setelah operasi, tetapi selanjutnya jika tidak ada komplikasi akan tetap pada nilai normal (Gambar
2.1).
Energi yang dipakai selama aktivitas fisik turun sampai ke tingkat rendah (kira-kira 1 kcal/kg/hari)
selama 4 hari pertama pasca bedah dan oleh karena itu selama periode ini, kebutuhan energi total sangat
menurun; dari 26 kcal/kg/hari menjadi 22 kcal/kg/hari. Menjelang akhir mingu pertama pasca bedah,
activity energy expenditure (AEE) naik dua kali lipat dan pada akhir minggu kedua, total energy expenditure
(TEE) mendekati nilai normal (25 kcal/kg/hari), dan pada saat ini pasien sudah cukup makan untuk
mendekati imbang energi (Gambar 2.2). Setelah keluar dari rumah sakit, napsu makan membaik dan
imbang energi positif dicapai dengan penimbunana lemak dan protein. Lemak, protein dan berat badan
kembali normal.
=================================================================================
BAGIAN III
PERUBAHAN-PERUBAHAN KOMPOSISI TUBUH SETELAH PEMBEDAHAN 
Kami mengukur perubahan-perubahan komposisi tubuh yang terjadi setelah pembedahan gastrointestinal
mayor yang tidak berkomplikasi pada 46 pasien (23 pria, 23 wanita, usia rata-rata 47 tahun). Tepat
sebelum operasi, masing-masing pasien diukur berat badan, lemak, protein dan air tubuh total dengan cara
yang tertulis pada Lampiran 1. Pengukuran diulang pada 7, 14, 28, 90, 180 dan 360 hari kemudian. Hanya
16 pasien menjalani pengukuran pada lebih dari 90 hari. Tak satupun dari pasien-pasien dalam kajian ini
yang mendapat dukungan nutrisi perioperatif. Pada periode pasca bedah mereka mendapat 2-3 liter
dekstrose 4,3% dan 1/5 Normal saline sebelum mereka bisa minum. 
BERAT BADAN
Setelah operasi tanpa-komplikasi berat badan turun 3 kg. Penurunan berat badan mencapai maksimum
menjelang akhir minggu kedua pasca bedah. Selanjutnya berat badan berangsur-angsur naik (Gambar
2.3). Pada 3 bulan pasca operasi, kehilangan berat badan pada periode pasca operasi telah memulih,
namun pada mereka yang sebelum operasi sudah mengalami defisit, peningkatan berat badan terus
berlanjut sampai nilai normal dicapai-biasanya memakan waktu sampai 6 bulan dan kadang-kadang bisa
sampai satu tahun. Banyak pasien yang berat badannya melonjak lebih dari sebelum operasi, dan setelah
satu tahun kelebihan 2-3 kg. Kelebihan berat badan ini disebabkan penimbunan lemak dan keadaan ini
diistilahkan-posttraumatic obesity.
KOMPOSISI JARINGAN DARI PERUBAHAN BERAT BADAN
Penurunan berat badan pasca bedah diakibatkan oksidasi lemak dan pemecahan protein untuk memasok
energi dan asam amino selama 2 minggu pertama pasca bedah. Gambar 2.4, 2.5 dan 2.6 memperlihatkan
bagaimana 3000 gr berat badan yang hilang selama 2 minggu pertama pasca operasi terdiri atas 1400 gr
lemak, 600 gr protein dan 1000 gr air.
Lemak
Kebanyakan lemak yang hilang terjadi dalam beberapa hari pertama pasca bedah ketika defisit energi
adalah maksimal-paling sedikit satu kg hilang dalam minggu pertama (Gambar 2.4).
Setelah 2 atau 3 bulan, ketika pasien sudah sehat dan cadangan protein sudah terisi, penambahan
lemak mencapai maksimum. Post-traumatic obesity terjadi bila penimbunan lemak berlanjut akibat
terusnya imbang energi positif. Ahli bedah harus mengingatkan pasiennya tentang masalah ini dan
mendorong olah raga dan mengendalikan napsu makan.
Protein
Katabolisme protein terjadi selama 2 minggu pasca bedah dengan kehilangan total kira-kira 600 gr (6%
protein tubuh) (Gambar 2.5).
Setelah itu dengan memulihnya asupan makanan, protein perlahan-lahan kembali ke tingkat
sebelum operasi pada 3 bulan dan mencapai normal pada 6 bulan sampai 1 tahun. Protein yang hilang
terutama berasal dari otot, tetapi pada kajian kami kehilangan kalium dan nitrogen pada 46 pasien ini
memberi kesan ada protein non-seluler yang juga hilang. Kira-kira 3 mmol kalium per gr nitrogen otot, jadi
ratio K:N = 3. Selama 7 hari pertama pasca bedah rasio kehilangan K:N jauh lebih besar (kira-kira 10). Ini
memperlihatkan bahwa kehilangan kalium dari otot melebihi kehilangan nitrogen. Ini disebabkan glikogen
dimobilisasi dan bersama glikogen berikatan air yang kaya kalium, ataupun defisiensi kalium intraseluler
terjadi. Ada kemungkinan kedua mekanisme ini terjadi. Setelah dua minggu ketika imbang energi positif,
kalium diganti dengan ratio 6:1. Ini memberi kesan defisit kalium intraseluler sedang diperbaiki. Pada masa
konvalesen, ketika penambahan protein sedikit, ratio penambahan K:N dalam jaringan < 3, ini
memperlihatkan protein tubuh mulai terbentuk. Kajian-kajian kinetik telah memperlihatkan bahwa
kehilangan protein total tubuh pada periode pasca bedah disebabkan oleh meningkatnya laju katabolisme
lebih daripada penurunan sintesis (Clague dkk 1983). Durasi dan tingkat kehilangan protein tubuh ini
merupakan fungsi cadangan protein tubuh (Lebih besar cadangan protein, lebih besar kehilangannya)
tanpa tergantung apakah pasien mengalami deplesi protein sebelum pembedahan (pasien yang telah
deplesi mengalami lebih sedikit kehilangan protein tubuh).
Kehilangan protein akan lebih besar pada periode pasca bedah dini jika regimen cairan tidak
mengandung dekstrosa. Infus 130-150 gr dekstrosa per hari menghasilkan penurunan ekskresi nitrogen
urin sebesar 40% (Craig dkk 1977, Swaminathan dkk 1980)
Air
Selama minggu pertama pasca bedah ketika kadar hormon antidiuretik tinggi, terjadi retensi air walaupun
dokter bedah berusaha memperhatikan imbang air (Gambar 2.6).
Pasien mengalami hiponatremia karena penambahan air tanpa-natrium yang berasal dari substansi
sel dan oksidasi protein dan lemak. Ini bisa dipahami berdasarkan rujukan pada Gambar 2.4 dan Gambar
2.5. Di sini bisa terlihat bahwa 300 gr protein dioksidasi selama minggu pertama pasca bedah. Karena 1 kg
otot basah mengandung kira-kira 200 gr protein, kehilangan 300 gr protein menunjukkan kehilangan kira-
kira 1500 gr otot basah, yang terdiri atas 300 gr protein dan 1200 ml air tanpa-natrium kaya-kalium, yang
berpindah ke kompartemen ekstraseluler. Lebih dari itu, protein yang dioksidasi sendiri menghasilkan air
bebas; 300 gr protein pada oksidasi lengkap akan menghasilkan kira-kira 120 ml air.
Pada periode yang sama 1100 gr lemak dioksidasi. Karena setiap 1000 gr lemak yang dioksidasi
sempurna menghasilkan 1000 ml air bebas, oksidasi 1100 gr menghasilkan 1100 ml, sehingga total
mendekati 2,5 L (1200+120+1100) air endogen. Karena kadar ADH tinggi pada masa pasca bedah, air
endogen ini tidak diekskresikan secara normal, sehingga menyebabkan imbang air positif, meningkatnya
hidrasi tubuh dan hipotonisitas. Tonisitas kembali ke normal menjelang akhir minggu pertama pasca
bedah. Oliguria serta retensi garam dan air yang terjadi selama beberapa hari pasca bedah juga berkaitan
dengan tingginya aktivitas aldosteron, dan mungkin disebabkan sebagian oleh menurunnya aktivitas atrial
natriuretic peptide. Perubahan tonus vaskuler yang berhubungan dengan ventilasi tekanan positif
mengurangi alir balik vena ke jantung kanan, dan sebagai akibatnya bisa mengurangi sekresi hormon ini.
=================================================================================
BAGIAN IV
LETIH PASCA OPERASI DAN FUNGSI OTOT RANGKA
Salah satu efek yang paling tak menyenangkan dari pembedahan adalah perasaan letih mental dan fisik.
Dalam suatu kajian 84 pasien (37 pria, 47 wanita, usia rata-rata 54 ± 18 tahun) yang menjalani operasi
mayor saluran cerna (Schroeder & Hill, 1992) kami mendapatkan banyak pasien mengeluh letih sebelum
operasi dan menjadi lebih letih setelahnya (Gambar 2.7).
Satu bulan setelah operasi kebanyakan pasien telah merasa mendingan dan menjelang 3 bulan rasa letih
menghilang. Akan tetapi segelintir pasien, khususnya yang penurunan berat badan paling mencolok pada
periode pasca bedah merasakan letih paling berat dan juga paling lama. Hal serupa dilaporkan
sebelumnya (Christiansen & Kehlet 1984). Kami mendapatkan bahwa rasa letih sangat mengganggu pada
mereka yang sebelum dioperasi juga sudah merasa lelah. Ada bukti bahwa pasien dengan cadangan
protein tubuh sedikit (dengan massa otot kecil), usia lanjut dan mereka yang mengidap kanker, sekalipun
operasi kuratif telah dikerjakan, mengalami rasa letih berkepanjangan.
Fungsi otot rangka juga berubah setelah operasi dan kami mendapatkan bahwa pola memburuknya
fungsi ini serupa dengan rasa letih (Gambar 2.7). Ada kemungkinan letih pasca operasi adalah karena
berkurangnya massa otot yang memiliki dampak buruk terhadap fungsi otot, sehingga ini merupakan
keletihan fisik. Sayangnya, yang dijumpai adalah lebih kompleks dari ini. Sebagai contoh, nutrisi enteral
pasca bedah, untuk menghemat cadangan protein pasca bedah tidak mencegah rasa letih pasca bedah
(Schroeder dkk 1991). Di samping itu, fungsi otot polos tidak memburuk seperti halnya otot rangka
(Schroeder & Hill 1991). Jadi rasa letih pasca bedah yang merupakan masalah hanya pada manusia (tidak
terjadi pada hewan) memiliki dasar psikologis maupun fisiologis (Lancet 1979).
Sebagai kesimpulan, rasa letih yang dialami setelah operasi tidak begitu menjadi masalah bagi
mereka yang merasa segar sebelum operasi. Mereka yang sebelum operasi sudah merasa lemah, usia
lanjut dan mengidap kanker adalah mereka yang cenderung mengeluh lelah berkepanjangan setelah
operasi.
=================================================================================
BAGIAN V
FASE KONVALESEN 
Dr Francis D Moore (Moore 1959) melukiskan konvalesensi pasien bedah menurut empat fase berututan,
yang dimulai segera setelah operasi itu sendiri, dan merentang sampai 3 atau bahakn 12 bulan sampai
fungsi pasien kembali seperti seida kala. 
Empat fase Moore adalah injury phase, turning point phase, gain in muscle strength phase dan
phase of fat gain.
Pada Gambar 2.7 bisa dilihat bagaimana keempat fase ini secara lengkap melukiskan proses
trauma bedah dan konvalesensi dipandang dari segi komposisi tubuh, fungsi fisiologis dan letih pasca
bedah. Pada gambar yang sama ebb phase dan flow phase dari Cuthbertson juga diperlihatkan. Pada
bedah mayor elektif, ebb phase terlalu singkat untuk digambarkan.
INJURY PHASE 
Pasien 
Injury phase dari Moore mencakup tidak hanya ebb phase yang diceritakan sebelumnya melainkan juga
bagian dari flow phase. Fase ini berlangsung selama 4 hari pasca bedah. Ini diawali dengan fase tingginya
aktivitas katekolamin dan adrenokortikoid. Ini merupakan fase di mana defisit energi maksimal dan oksidasi
protein dan lemak juga maksimal. Laju sintesis protein sama atau berkurang, sedangkan katabolisme
protein meningkat. Kehilangan kalium melebihi kehilangan nitrogen akibat mobilisasi glikogen dari hati dan
otot. Pada permulaan, pasien dingin dan lembab, pucat dan takikardia. Pasien merasa lemas dan tidak
napsu makan dan lebih senang tidak dibesuk. Lama fase ini tergantung pada besarnya operasi dan
gangguan fisiologis yang ditimbulkan Hipovolemia, atelektasis dan gangguan asam basa semuanya
memperpanjang fase ini. Komplikasi pasca bedah seperti sepsis, peritonitis, embolus atau nekrosis akan
memperpanjang perubahan metabolisme ini.
Luka
Segera setelah penutupan luka bekuan fibrin di antara dua permukaan diinfiltrasi dengan neutrofil dan
makrofag. Menjelang hari ketiga, tunas kapiler muncul dari pinggir luka dan fibroblas bermigrasi ke daerah
tersebut, disusul cepat oleh pembentukan kolagen. Kandungan kolagen dari luka berbanding lurus dengan
kelenturan jaringan pada hari-hari pertama ini. Ada sejumlah variasi dalam respons penyembuhan luka.
Puasa yang dipaksakan sebelum operasi (Windsor Knight & Hill 1988), hipoalbuminemia (Dickhaut dkk
1984), dan defisiensi vitamin C dan zinc (Sanstead dkk 1982) menyebabkan gangguan respons
penyembuhan luka, begitu pula halnya pemberian steroid dosis tinggi (Orgill & Demling 1988). Jadi ahli
bedah harus memperhatikan penutupan luka pada mereka yang kurang makan pada saat-saat menjelang
operasi. Walaupun defisiensi zinc cukup mengganggu penyembuhan luka, ini jarang dijumpai pada pasien-
pasien bedah elektif. Difisiensi vitamin C lebih sering, bisa sampai 25% pada pasien bedah elektif (Hill dkk
1977). Efek bisa menonjol; walaupun jaringan granulasi terbentuk pada daerah luka, fibroblas kurang
orientasi dan akibat defisiensi fosfatase, pembentukan kolagen tidak terjadi.
Secara eksperimental bila diberikan steroid dosis tinggi, jaringan granulasi yang terbentuk sedikit,
fibroblas tetap kecil dan kolagen kurang terbentuk. Dosis steroid ini jauh lebih besar daripada yang
digunakan di klinis. Namun demikian, terbukti bahwa pasien yang mendapat steroid secara kronis lukanya
sukar sembuh, sehingga ahli bedah harus mengusahakan penutupan fasia lengkap dan jahitan atau klip
kulit lebih lama pada pasien yang mendapat steroid dosis tinggi.
Secara umum, respons penyembuhan luka terjadi pada daerah dengan aktivitas metabolik tinggi
sekalipun daerah tubuh lainnya katabolik. Sel-sel radang dalam luka memiliki kapasitas mencolok untuk
metabolisme glikolitik dan glukosa merupakan bahan bakar yang lebih disukai untuk penyembuhan luka.
Hati menghasilkan glukosa ini melalui daur ulang karbon dari laktat, serta glukoneogenesis. Patut dicermati
bahwa luka bersifat anabolik sedangkan bagian tubuh lainnya bersifat katabolik selama fase injury ini. Luka
mensintesis kolagen baru, memperoleh kekuatan untuk sembuh sekalipun oksidasi lemak dan protein
terjadi untuk memasok energi bagian tubuh lain. Prioritas luka ini merupakan gambaran dari fase injury.
Berikutnya prioritas tinggi ini beralih dan jika pasien tetap katabolik untuk wkatu berkepanjangan, luka
berhenti sembuh dan memberi kontribusi ke bagian tubuh lainnya untuk mengkonsumsi jaringan yang
dibutuhkan untuk mempertahankan kehidupan.
TURNING POINT PHASE 
Pasien 
Sekitar pertengahan sampai akhir minggu pertama pasca bedah, pasien mulai tertarik memperhatikan
sekelilingnya dan bertanya-tanya tentang penampilannya yang kusut. Ia ingin bangun dan bercukur atau
menyisir rambut. Pasien wanita mungkin akan mencari cermin dan memakai lipstik. Fase ini biasanya
berlangsung hanya 1 sampai 2 hari, namun jika timbul komplikasi sepsis perubahan ini tidak lengkap dan
lebih lama.
Pada saat inilah hasrat untuk bangun terhambat oleh rasa letih dan pasien segera kembali ke
tempat tidur. Napsu makan dan minum mulai muncul (Gambar 2.8). Pasien mulai merasa lebih segar dan
kekuatan otot membaik. Fungsi endokrin telah kembali normal walaupun katabolisme protein terus
berlanjut. Karena sekarang aktivitas endokrin telah mereda, antara hari ke 3 dan ke 5 terjadi diuresis.
Kehilangan protein dalam urin lebih sedikit jika defisit kalium intraseluler diisi. Hipotonisitas sementara
(akibat hiponatremia kembali normal dan volume ekstrasel yang ekspansi kembali normal. AEE (activity
energy expenditure) menigkat selama fase tititk balik ini, namun karena asupan masih kurang dari normal
(Gambar 2.8) defisit energi berlangsung dengan diimbangi katabolisme lemak dan protein. Kunci
keberhasilan pada stadium ini adalah meningkatkan asupan nutrisi.
Luka
Biasanya luka sangat nyeri tekan walaupun tidak merah. Pinggir-pinggir luka sudah merapat kuat, tetapi
bisa dilepas dengan tarikan kuat. Gambaran mikroskopik memperlihatkan kuatnya aktivitas fibroblas dan
benang-benang kolagen sedang terbentuk. Menjelang hari ke 7 pasca bedah, jahitan bisa dilepas karena
kelenturan yang meningkat ini. Anastomosis usus pada stadium ini mulai berfungsi, tetapi rusaknya
anastomosis atau luka menunjukkan kegagalan untuk mendapatkan kekuatan lentur.
MUSCULAR STRENGTH PHASE 
Pasien 
Sekarang pasien masuk ke periode 2 sampai 8 minggu di mana terjadi perbaikan fungsi fisiologis dan
psikologis yang cepat. Pasien sudah bergairah, makan mulai seperti normal dan luka tidak begitu dirasa
nyeri. Buang air besar sudah normal dan letih menghilang. Pada akhir minggu 8, komposisi tubuh dan
perasaan lelah sudah pulih sempurna seperti sebelum operasi.
Luka
Kandungan kolagen luka mencapai maksimum. Pada perabaan terasa tebal dan menonjol dan garis putih
halus yang diamati segera setelah operasi sekarang sudah lebih kasar dan kemerahan. Kekuatan lentur
semakin bertambah namun dengan persilangan serabut kolagen dan dengan remodeling kolagen baru
secara lisis dan resintesis.
FAT GAIN PHASE
Pasien
Periode akhir dari masa konvalesensi adalah penambahan berat badan karena penimbunan lemak tubuh
dan struktur penyokongnya. Ini terjadi karena imbang energi positif terus berlanjut di mana asupan lebih
besar dari yang digunakan untuk kerja dan panas. Protein yang diperoleh bersama dengan lemak diduga
sebagai struktur yang mendukung jaringan adiposa, karena sedikit perubahan air tubuh total bahkan
sampai satu tahun setelah operasi. Pada fase ini, pasien sudah kembali ke aktivitas normal.
Luka
Kekuatan lentur terus bertambah dengan berlanjutnya persilangan serabut kolagen dan remodeling.
Semua elemen parut menjadi kurang vaskuler dan sekarang menjadi pucat dan kurang menonjol dari
permukaan kulit. Kekuatan lentur maksimum terjadi sekitar 100 hari, dan kekuatan jaringan kira-kira 80%
normal. Jaringan parut mulai mengecil selama maturasi luka dan ini berlanjut selama 3 sampai 12 bulan.
Pada saat ini jaringan parut bisa teregang atau berkontraksi. Defisiensi vitamin C pada stadium ini memiliki
efek buruk terhadap pembentukan kolagen dan parut bisa membuka kembali jika defisiensi berat.
=================================================================================
BAGIAN VI
MENAJEMEN METABOLIK PASIEN YANG MENJALANI OPERASI BESAR 
Rekomendasi kami berdasarkan atas perubahan-perubahan yang diukur dalam metabolisme, komposisi
tubuh, fisiologi dan psikologi. Perubahan-perubahan ini dimulai sebelum pasien memasuki kamar operasi
dan ketika pasien sudah kembali beraktivitas di lingkungan mereka. 
MANAJEMEN PRA BEDAH
Jika ahli bedah meluangkan waktu untuk memberikan gambaran kepada pasien tentang apa yang akan
mereka alami dan rasakan di rumah sakit, terbukti masa perawatan di rumah sakit akan lebih singkat
(Egbert dkk 1964). Si dokter bisa memilih menjelaskan kepada mereka yang cenderung mengalami rasa
letih berlebihan setelah operasi, bahwa masa konvalesensi akan lebih panjang, sehingga kekecewaan
pasien bisa dihindari (Schroeder & Hill 1991). Ahli fisioterapi bisa membantu mengajar latihan-latihan yang
akan dikerjakan pasien pada pasca bedah, cara membalik badan atau bergerak di tempat tidur sehingga
rasa nyeri menjadi jauh berkurang. Jika pemeriksaan telah dilakukan lama sebelum operasi dan jika
asupan makanan sangat kurang, penyembuhan luka akan terganggu sehingga perlu diperhatikan (Windsor
Knight & Hill 1988). Jika ada kecurigaan defisiensi vitamin C perlu diperbaiki. Pemberian antibiotik
profilaktik dan tindakan preventif untuk mencegah trombosis vena akan membantu kelancaran
penyembuhan pada pasca operasi.
PADA SAAT OPERASI
Ahli Bedah
Derajat cedera, jumlah jaringan nekrotik yang ditimbulkan dan ada tidaknya infeksi mempengaruhi
pelepasan sitokin adalah hal-hal yang perlu dipertimbangkan dokter untuk menetapkan tujuan dan strategi
pembedahan. Tujuannya adalah menghindari sitokin dalam sirkulasi. Prosedur yang paling sedikit
merusak, paling sedikit kontaminasi dan berhati-hati adalah cara untuk menghindari ini. Strategi-strategi
tersebut mencakup, pemaparan (exposure) yang baik, diseksi tajam sepanjang bidang anatomis,
hemostasis seksama, aposisi jaringan yang akurat dan jahitan yang rapih tanpa strangulasi. Strategi-
strategi ini mutlak perlu untuk mendapatkan perjalanan pasca operasi yang lancer. Ini perlu dipikirkan
beberapa hari atau jam sebelum bertindak. Ahli bedah yang bijaksana, tanpa perduli apakah ia terbiasa
dengan prosedur harus memeprhatikan langkah-langkah ini.
Sebelum mengakhiri operasi, pembersihan rongga peritoneum yang seksama akan meminimalkan resiko
meninggalkan jaringan nekrotik atau bekuan, dan hemostasis yang seksama memastikan bahwa
hematoma besar tidak mengganggu pemulihan pasca operasi.
Ahli anestesi
Walaupun pembiusan spinal atau epidural mencegah respons endokrin klasik terhadap pembedahan, efek
ini maksimal pada operasi daerah panggul, misal prostatektomi, ginekologi dan prosedur ortopedik tungkai
bawah. Namun kurang bermakna pada operasi abdomen dan toraks karena kurangnya pemblokan pada
saraf aferen (Kehlet 1987). Pada kebanyakan operasi besar membutuhkan anestesi umum, namun efek-
efek hemodinamik yang diinduksi oleh anestesi umum serta prosedur operasi bisa ditangani oleh ahli
anestesi. Hipovolemi harus dicegah, defisit cairan dari prosedur radiologis atau persiapan usus harus
diganti segera setelah induksi tidur. Selama operasi, tekanan darah harus dimanipulasi dalam kisaran 10-
20% tingkat preoperatif dan volume urin dalam kisaran 0,5-1 ml/kg/jam dengan penambahan larutan garam
seimbang dalam jumlah lebih dari yang cukup untuk mempertahankan rumatan. Jumlah ekstra ini
“kebutuhan rongga ketiga” tergantung pada sifat, luas dan lama operasi dan bisa memanjang sampai 12
jam pada periode pasca operasi. Perhatian sepantasnya terhadap volume cairan dan pengendalian
tekanan darah, nadi dan volume urin akan mengurangi respons endokrin terhadap trauma operasi (Roberts
dkk 1985), mengurangi lama fase injury dan mempersingkat masa rawat.
Kebutuhan akan darah (diberikan sebagai packed RBC) selama operasi merupakan topik yang
kontroversial. Keputusan untuk memberikan transfusi membutuhkan pertimbangan klinis yang matang
(NIH 1988), walaupun kombinasi hipovolemia dan anemia bisa mengakibatkan morbiditas dan mortalitas
yang lebih besar. Ada kadar hemoglobin minimum untuk setiap pasien di mana delivery oksigen yang tak
memadai cenderung terjadi. Keputusan untuk memberikan transfusi perlu memperhitungkan ada atau
tidaknya anemia perioperatif, volume intravaskuler, dan luas operasi, kemungkinan kehilangan darah yang
berlanjut dan ada tidaknya kondisi penyerta seperti gangguan fungsi paru, curah jantung yang kurang,
iskemia jantung dan penyakit pembuluh darah otak atau penyakit pembuluh darah perifer.
MANAJEMEN SELAMA FASE PASCA BEDAH
Analgesia
Nyeri pasca operasi tidak memiliki fungsi yang berguna dan jika tidak dikendalikan dengan memadai akan
berdampak buruk terhadap fungsi pernapasan, kebutuhan intrakardiak, mengurangi motilitas usus, dan
menginduksi spasme otot rangka yang selanjutnya menghambat mobilisasi. Jika anestesia regional telah
digunakan, ini harus diteruskan sepanjang operasi dan mungkin diteruskan selama 24-48 jam.
Pemberian opioid sistemik tidak memiliki efek modifikasi penting terhadap respons endokrin.
Namun efeknya sangat penting dalam mengurangi atau menghapus nyeri pasca bedah, memperbaiki
fungsi pernapasan, mengurangi kebutuhan jantung dan mengendalikan spasme otot.
Cairan intravena
Jika sekembalinya ke bangsal pasien mengalami takikardia dan syok (ebb phase) dibutuhkan lebih banyak
kristaloid. Pada kebanyakan situasi ini disediakan oleh larutan Ringer laktat dalam jumlah cukup untuk
menjaga tekanan darah dan nadi mendekati tingkat sebelum operasi dan volume urin 0,5-1 ml/kg/jam.
Pada banyak pasien kehilangan cairan dari kompartemen intravaskuler terus berlanjut selama 12 jam dan
selama periode ini akan dibutuhkan cairan pengganti isotonik.
Setelah beberapa jam, kebocoran kapiler akan berhenti dan cairan perlahan-lahan dimobilisasi dari
perifer ke ruang vaskuler, disusul diuresis. Pada titik ini, cairan harus beralih ke rumatan.
Pada pasien dengan hidrasi cukup dan menjalani prosedur dengan kehilangan darah sedikit, yang
dibutuhkan adalah cairan rumatan. Kebutuhan rumatan untuk pasien 70 kg biasanya 100 ml/jam
dekstrosa/saline ditambahkan dengan 20 mmol kalium per liter. Pemberian 130-150 gr dekstrosa pada
regimen cairan pasca bedah memiliki efek menekan produksi glukosa endogen (protein sparing effect).
Nitrogen urea urin (NUU) berkurang sebesar 40% bila dekstrosa diberikan dengan cara ini (Swaminathan
dkk 1980). Karena sel-sel yang rusak akan membanjiri ruang ekstrasel dengan kalium, dianjurkan untuk
tidak memberikan kalium dalam 24-48 jam pertama pasca bedah.
Energi dan protein yang dipasok melalui enteral atau parenteral bisa mencegah kehilangan protein
setelah operasi mayor tanpa-komplikasi. Sayang tidak jelas ada manfaat dini atau lanjut dari pencegahan
kehilangan protein walaupun beberapa ahli memberi kesan bahwa diet enteral memiliki tempat dalam
mengurangi komplikasi pasca bedah (Bower 1990a, Yeung dkk 1979b). Namun demikian, telah
diperlihatkan bahwa respons penyembuhan luka ditingkatkan oleh dukungan nutrisi pasca bedah dan pada
luka granulasi yang besar, dukungan nutrisi memiliki manfaat klinis (lihat Bab 10, gambar 10.3). Seluruh
topik mengenai nutrisi perioperatif dibahas lebih rinci pada Bab 18. Manipulasi hormonal juga telah dicoba.
Insulin yang ditambahkan ke regiman TPN (total parenteral nutrition) dan pemberian growth hormone
mengurangi kehilangan protein pada periode pasca operasi, mempertahankan komposisi tubuh dan
menambah kekuatan genggam tangan (Jiang dkk 1989, Inculet dkk 1986). Banyak penelitian lanjut
dibutuhkan sebelum regimen ini digunakan secara rutin pada bedah mayor (Ziegler dkk 1990).
Peran perawat, fisioterapis dan ahli gizi
Asuhan perawatan metabolik terbaik pada saat pasien masuk ke “turning point phase” dan sesudah itu
adalah mendorong sikap positif. Ini dilakukan oleh staf perawatan, fisioterapis dan pemberian makanan
bergizi yang menarik oleh ahli gizi. Memang kunci keberhasilan adalah memulihkan pola makan saat fase
anabolik mulai. Pada tahap dini pasca bedah pasien lebih suka karbohidrat daripada protein, tetapi
menjelang pertengahan minggu kedua diet seimbang antara karbohidrat dan protein harus dimulai di
rumah (Gambar 2.8). Sebagian pasien dengan gigi palsu mengalami penyusutan gusi setelah operasi dan
perasaan tidak enak ketika mengunyah sehingga membatasi asupan protein. Pemberian suplemen
makanan pada pasien yang lambat mencapai imbang protein dan energi tampaknya bermanfaat (Isaksson
dkk 1959).
Apakah bisa dilakukan sesuatu untuk membatasi rasa letih pasca operasi?
Nutrisi pasca bedah yang cukup untuk menghapus kehilangan protein belum dibuktikan mengurangi rasa
letih pasca operasi. Di lain pihak, rasa letih ini minimal pada mereka yang bugar sebelum menjalani
operasi.
=================================================================================
Bagian VII
PEMBEDAHAN DENGAN INVASI MINIMAL DAN RESPONS METABOLIK 
Operasi dengan invasi minimal, khususnya kolesistektomi laparoskopi di mana kandung empedu diangkat
melalui insisi abdomen yang kecil telah menarik perhatian ilmiah. Walaupun anestesi umum dibutuhkan
dan prosedur berlangsung lebih lama, ini agaknya disertai dengan mas konvalesensi yang lebih singkat
dan letih pasa bedah yang minimal (Neugebauer dkk 1991). Walaupun penelitian pendahuluan memberi
kesan bahwa respons neuroendokrin sama seperti yang terjadi setelah operasi terbuka (Cuschieri 1991),
masih ditunggu evaluasi ilmiah lengkap terhadap efek-efek metabolik dari prosedur ini serta efek fisiologis
dan psikologis pada periode pasca bedah (Paterson-Brown dkk 1991). 
Ucapan Terima Kasih
Kami mengucapkan terima kasih kepada the World Journal of Surgery untuk izin reproduksi beberapa
bahan yang dikandung dalam makalah kami: Hill G.L. Douglas R.G, Schroeder DS 1992 Metabolic basis of
management of patients undergoing uncomplicated surgery. World J Surg. 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3. Manajemen Metabolik Masalah-Masalah Khusus Pada
Perawatan Perioperatif
Pada bab sebelumnya dilukiskan perubahan-perubahan metabolik yang terkait dengan operasi mayor
elektif dan tanpa-komplikasi. Manajemen perioperatif disusun berdasarkan pemahaman jelas terhadap
perubahan-perubahan endokrin, komposisi tubuh, fisiologi dan psikologi yang diperlihatkan. Namun, tidak
semua pasien masuk kamar operasi dengan “semua sistem normal”, terpisah dari penyakit bedah yang
mereka alami, dan tidak semuanya luput dari komplikasi pasca bedah. Pada bab ini, sebagian dari
masalah-masalah khusus yang dijumpai dalam perawatan metabolik pasca operasi akan dibahas dan
berdasarkan pemahaman tentang gangguan metabolisme dan fisiologi, dirancang program manajemen. 
=================================================================================
BAGIAN 1
PASIEN YANG MENGALAMI SEPSIS PADA PERIODE PASCA BEDAH DINI 
Respons metabolik normal terhadap pembedahan mayor dan periode konvalesensi normal yang dilukiskan
pada bab sebelumnya, menjadi berantakan jika pasien mengalami komplikasi sepsis pada periode pasca
bedah dini.  
Contoh:
Seorang pria usia 55 tahun menjalani reseksi
anterior rendah dari rektum karena karsinoma
tanpa kolostomi. Operasi berlangsung lancar dan
fase pasca bedah sesuai dengan ramalan sampai
hari kelima ketika setelah buang air encer, pasien
mengeluh nyeri hebat pada abdomen bagian
bawah. Ia menjadi lemas dan cepat kembali ke
tempat tidur. Dalam waktu satu jam ia menjadi
kritis dengan takipnea, tekanan darah sistolik
rendah, nadi cepat dan syok. Ternyata ia berada
pada fase ebb dari syok septik. Pasien ini
merupakan contoh dari jenis komplikasi sepsis
yang terjadi pada pembedahan dan mengancam
jiwa.
GANGGUAN METABOLISME YANG MENYERTAI SEPSIS PASCA BEDAH
Endokrin dan sitokin
Pasien baru saja masuk ke fase titik-balik (turning point phase), mulai bergairah dan mulai bisa makan
tanpa keluhan. Buang air besar, bising usus dan dinding abdomen normal. Ketika itu ia sedang berjalan di
bangsal, walaupun agak sedikit susah, ia merasa senang dan kembali ke tempat tidurnya tidak lama
setelah itu. Hormon-hormnon stress diduga berada dalam kadar normal. Ia sudah tidak demam, namun
dengan kejadian akut tadi suhu badannya segera naik dan ia menjadi syok karena meningginya kadar
katekolamin, kortisol dan glukagon yang diawali dengan pelepasan mediator dalam rongga panggul di
mana telah terjadi kebocoran tinja. Dalam jaringan panggul sekitar bocornya tinja, konsentrasi bakteri
Gram negatif dan dan endotoksin sangat tinggi dan disusul dengan bakteremia Gram negatif. Produksi
Tumor Necrosis Factor dan sitokin meningkat dan bisa dideteksi dalam sirkulasi. Peptida-peptida ini
mengatur respons fase akut, dan memperkuat pelepasan sitokin-sitokin lain dan hormon klasik secara
berantai (Long & Lowry 1990)-lihat Gambar 4.5. Akibatnya adalah kolaps kardiovaskuler, kebocoran
kapiler dan renjatan. Jika situasi tidak cepat dikendalikan, gangguan sirkulasi bisa hebat sehingga terjadi
kegagalan banyak organ. Di samping pelepasan hormon-hormon stress, aldosteron dan ADH berada
dalam kadar tinggi sehingga menyebabkan antidiuresis dengan retensi garam dan air. Situasi ini tidak bisa
diredakan sebelum sepsis dikendalikan dan dieliminasi.
Metabolisme protein, lemak dan air
Pada pasien demikian akan ada peningkatan mencolok dari katabolisme protein dengan banyak
kehilangan asam amino dari otot, peningkatan ambilan asam amino oleh hati dan peningkatan sintesis
protein fase akut walaupun sintesis albumin menurun secara dramatis. Lipolisis mungkin meningkat,
sintesis asam lemak berkurang dan ada ekspansi cairan ekstraseluler karena kebocoran kapiler.
Kehilangan protein tubuh secara masif dan lipolisis serta ekspansi cairan bisa dikurangi tetapi tidak bisa
dicegah oleh obat apapun atau oleh penatalaksanaan yang mencakup terapi nutrisi maksimum, manipulasi
hormonal dan (mungkin) antibodi monoklonal terhadap endotoksin dan TNF. Satu-satunya yang bisa
memulihkan perbahan-perubahan ini adalah eliminasi sepsis itu sendiri.
Komposisi tubuh
Ket : ECW = extracellular water; FFM = fat free mass; RMEm= resting metabolic expenditure yang diukur; RMEp= resting metabolic expenditure yang
diprediksi
Tabel 3.1 memperlihatkan perubahan-perubahan komposisi tubuh yang diduga terjadi pada pasien kami.
Terlihat bahwa perubahan-perubahan pasca bedah yang normal dari berat badan, lemak, protein
dan air sangat dimodifikasi oleh sepsis panggul. Tabel 3.1 memperlihatkan ada lipolisis dan proteolisis
dengan kecepatan yang meningkat secara mencolok serta penambahan 5 L air ekstraseluler yang
berkaitan dengan resusitasi. Resting metabolic expenditure naik sekitar 40%. Kehilangan protein dengan
laju seperti ini memiliki implikasi pada semua pasien pasca bedah, tetapi paling berat dampaknya terhadap
pasien yang sudah mengalami deplesi sebelum operasi.
Energetika
Yang mengherankan, total energy expenditure tidak meningkat. Namun, resting metabolic expenditure naik
38% di atas nilai normal, namun karena pasien kehabisan tenaga dan aktivitas fisik sangat terhambat, total
energy expenditure tidak naik.
Fungsi organ
Fungsi organ, khususnya fungsi otot rangka dan fungsi otot pernapasan dipengaruhi sejak dini karena
perubahan-perubahan dalam kimia seluler dan penurunan resting membrane potential, dan pada tahap
lanjut diakibatkan oleh kehilangan protein sel. Pada pasien yang memiliki cadangan protein banyak dan
sepsis cepat dikendalikan, kehilangan protein sel ini mungkin sedikit bermakna klinis tetapi bisa
menyulitkan pada mereka yang sudah mengalami gangguan fungsi akibat deplesi protein sebelumnya.
MANAJEMEN METABOLIK
Sasaran yang dituju ahli bedah adalah meresusitasi pasien dan mengeliminasi sepsis secepat mungkin.
Antibiotika diberikan dan sepsis dikendalikan secara definitif dengan drainase dan istirahat, segera setelah
sirkulasi stabil. Peran imunoterapi pada sepsis dibahas lengkap pada Bab 19, terapi dosis tunggal antibodi
monoklonal manusia yang mengikat lipid A diindikasikan jika diantisipasi bahwa resolusi bedah secara
cepat tidak berhasil. Pasien-pasien dengan sepsis yang refrakter membutuhkan pemantauan hemodinamik
intensif, dukungan kardiorespiratorik dan terapi nutrisi (lihat Bab 19).
Pertahanan sirkulasi
Pemeriksaan fisik memperlihatkan pasien dengan nyeri hebat. Muka seperti abu dan anggota gerak pucat,
dingin dan lembab. Nadi cepat (130/menit) dan tekanan darah 90/60. Hanya sedikit urin pekat tertampung
dalam kantung urin. Pasien diberikan bolus 2 L Ringer laktat dan antibiotik spectrum luas i.v. Selama 2 jam
berikutnya ia mendapat 3,5 L Ringer laktat untuk mempertahankan pengeluaran urin 30 ml/jam dan
tekanan darah pada 110/80. Jelas bahwa krisis intra-abdomen hebat telah terjadi. Setelah pemeriksaan
rektal menunjukkan defek anastomosis. Diputuskan untuk eksplorasi ulang rongga abdomen tanpa
didahului pemeriksaan lebih lanjut. Sebelum induksi anestesia, sonde nasogastrik dipasang untuk
memastikan lambung tidak berisi cairan.
Drainase
Pada operasi, insisi lama dibuka lagi, dan panggul penuh dengan nanah bercampur tinja. Setelah drainase
terlihat lubang sebesar stempel di bagian depan dari anastomosis yang terletak dalam di rongga panggul.
Anastomosis kolorektal dipisah dengan memencet dengan jari. Kolon diangkat ke fossa iliaca sinistra, dan
dibuat suatu kolostomi satu ujung. Rongga panggul dibilas dengan larutan antiseptik dan tidak diusahakan
untuk menginspeksi ujung rektum yang terbuka. Dua selang vacuum suction ditempatkan dalam panggul
dan abdomen ditutup.
Selama prosedur, karena volume urin pasien turun di bawah 0,5 ml/kg/jam, diberikan tambahan 3 L
larutan kristaloid. Ahli anestesi memilih untuk tidak memberikan koloid pada stadium ini karena albumin
yang diberikan kepada pasien dengan membran endotel yang rusak mudah merembes ke interstisial.
Cairan yang ditambahkan menghasilkan jumlah urin 1 ml/kg/jam dan sirkulasi terus stabil.
Saat kembali ke bangsal pasien terus mendapat cairan rumatan yang mengandung antibiotik
dengan 1 liter kristaloid setiap 4 jam, untuk mempertahankan jumlah urin 0,5-1 ml/kg/jam.
Perawatan pasca bedah
Keesokan harinya pasien sudah bisa duduk di tempat tidur dan kelihatan jauh membaik. Demam sudah
reda, dengan tekanan darah dan nadi normal, jumlah urin cukup dan anggota gerak mendapat perfusi
cukup. Sehari kemudian, diuresis spontan terjadi, kolostomi mulai berfungsi dan ia mulai minum. Albumin
plasma 2,5 gr/dL dan albumin injeksi diberikan untuk menaikkan sampai 3,5 gr/dL. Albumin ini diberikan
untuk memulihkan tekanan osmotik, membantu pengosongan lambung dan mengurangi pembengkakan
usus yakni manifestasi dari kolostomi yang edema.
Respons terhadap penatalaksanaan sepsis pasca bedah tidak selalu berjalan mulus seperti ini.
Keragu-raguan atau kurangnya drainase efektif untuk mengendalikan sepsis panggul mengakibatkan
ketidakstabilan sirkulasi berlanjut, kemungkinan gagal organ dan kehilangan protein masif lebih lanjut. Ini
mengharuskan perawatan di ICU. Manajemen keadaan ini akan dibahas pada Bab 22.
Pasien kami yang semula perjalanan pasca bedahnya normal kemudian terganggu ini mengalami
defisit protein dan energi. Oleh karena itu ada alasan untuk memberikan dukungan nutrisi segera setelah
hemodinamiknya stabil. Referensi untuk Tabel 3.1 memperlihatkan bahwa tanpa dukungan nutrisi, pasien
akan terus kehilangan lemak dan protein tubuh, dan menjelang hari ke 10 pasca bedah, ia sudah
kehilangan total 2,5 kg lemak dan 1,5 kg (15%) protein. Peningkatan bertahap dari jumlah asupan
makanan oral (Gambar 2.8) telah terputus dan tertunda selama 4-5 hari, sehingga diantisipasi kehilangan
lebih lanjut dari lemak dan protein tubuh akan berlanjut. Dukungan nutrisi TPN yang dimulai pada hari ke 6
akan mencegah kehilangan jaringan ini. Sebagai kaidah umum, pasien yang mengalami komplikasi
intrabdomen hebat pada fase dini pasca bedah harus mendapat TPN segera setelah hemodinamiknya
stabil. Pada Bab 5 dan 6 dari buku ini akan dijelaskan bagaimana suplementasi nutrisi diindikasikan bila
deplesi protein diantisipasi sampai ke tingkat yang menggangu fungsi fisiologis. Secara klinis, gangguan
fungsi terjadi jika kehilangan berat badan total lebih dari 15%.
=================================================================================
BAGIAN II
PASIEN USIA LANJUT YANG MENJALANI OPERASI MAYOR 
Terdapat perbedaan mendasar dalam respons dini terhadap pembedahan dan konvalesensi pada pasien
usia lanjut yang dikemukakan pada Bab 2. Walaupun mortalitas akibat pembedahan meningkat dengan
bertambahnya usia, status fisiologis merupakan penentu utama, bukan semata-mata usia (Boyd dkk 1980,
Warner dkk 1988). Oleh karena itu, daya tahan pasien usia lanjut terhadap operasi sangat bervariasi. 
Alasan mengapa pasien usia lanjut lebih rentan terhadap operasi adalah pada hakikatnya ada
kemunduran fungsi fisiologis. Ahli bedah harus menganggapnya sebagai penurunan kesanggupan untuk
mempertahankan homeostasis dengan bertambahnya usia. Patokan untuk manajemen metabolik yang
benar adalah memahami perubahan yang disebabkan oleh penuaan terhadap komposisi tubuh dan cairan
serta elektrolit dan mekanisme homeostasis asam basa.
METABOLISME BEDAH
Perubahan komposisi tubuh dengan bertambahnya usia
Pasien usia 70an dan 80an hanya memiliki massa otot separuh dari ketika mereka masih muda (Crohn dkk
1976). Sebanding dengan itu, lebih banyak terdapat air ekstraseluler dan lebih sedikit air intraseluler pada
usia lanjut, sehingga mereka tidak tahan bila mendapat banyak natrium. Pasien usia lanjut mungkin juga
memiliki berat badan yang konstan selama bertahun-tahun, karena massa lemak yang bertambah
menutupi penciutan otot dan cadangan protein lain. Defisit massa otot disertai dengan berkurangnya fungsi
tubuh, khususnya kekuatan dan ketahanan otot rangka (Larsson dkk 1979) dan sebagian besar fungsi otot
pernapasan (Wahba 1983). Oleh karena itu, pasien memiliki hanya sedikit cadangan jika kehilangan
protein pada pembedahan berlebihan. Ini merupakan fakta bahwa pasien usia lanjut kurang tahan terhadap
komplikasi pasca bedah mayor.
Homeostasis cairan dan elektrolit-perubahan-perubahan dengan bertambahnya usia
Pasien usia lanjut kurang sanggup mempertahankan kompartemen ekstraseluler bila mendapat tantangan
karena:
• kemampuan untuk mengekskresi natrium dan air yang berlebihan berkurang, sehingga merupakan
predisposisi untuk ekspansi cairan ekstraseluler dan hipotonisitas tubuh jika diberikan larutan hipotonik
(Crane & Harris 1976)
• kemampuan untuk memekatkan urin dan menyimpan air berkurang. Bersama-sama dengan gangguan
respons haus dan kepekaan baroreseptor, ini merupakan predisposisi untuk dehidrasi dan
hipernatremia, khususnya bila asupan cairan terbatas dan kehilangan air melalui penguapan banyak
(Helderman dkk 1978)
• respons jantung dan pembuluh darah perifer terganggu. Ini sering pada usia lanjut sehingga
kompensasi untuk mengatasi kekurangan-kekurangan di atas lambat dan tidak efisien.
Imbang asam basa kurang efisien pada usia lanjut
Walaupun pH cairan tubuh hanya sedikit dipengaruhi oleh usia, efisiensi homeostasis asam basa
berkurang pada usia lanjut. Waktu eliminasi beban asam memanjang pada usia lanjut tidak saja karena
sistem dapar memiliki kapasitas terbatas, melainkan juga masa ginjal yang efektif berkurang, dan kapasitas
regulasi ginjal terhadap status asam basa lebih kecil (Rowe 1980).
Respons metabolik terhadap pembedahan pada usia lanjut
Pelepasan hormon dan sitokin sebagai respons terhadap nyeri dan trauma bedah sendiri tampaknya sama
seperti pada subyek yang leibh muda (Watters dkk 1990), namun efeknya terhadap katabolisme protein
dan ginjal berubah. Karena massa otot lebih kecil, jumlah bersih dari protein yang dikatabolisme secara
proporsional lebih sedikit pada usia lanjut dan biasanya bermakna klinis kecil. Namun demikian, situasi
bisa berubah secara radikal jika komplikasi pasca bedah disertai dengan kehilangan banyak protein.
Karena cadangan protein otot rangka berkurang, ini mengakibatkan kemunduran fungsi fisiologi yang cepat
dengan implikasi lebih sulit untuk sembuh.
MANAJEMEN METABOLIK DARI PASIEN BEDAH BERUSIA LANJUT
Berdasarkan pandangan luas bahwa sistem organ penting memiliki cadangan fungsi yang berkurang saat
usia menua, suatu program umum untuk manajemen metabolik pasien usia lanjut yang menjalani
pembedahan mayor bisa disusun dalam tiga tahapan: manajemen pra bedah, manajemen pasca bedah
dan manajemen fase injury dan fase recovery.
Manajemen metabolik sebelum pembedahan
Perhatian yang lebih harus diberikan kepada pasien usia lanjut yang akan menjalani pembedahan.
Penyakit jantung yang tersembunyi diselidiki lebih teliti. Ini mencakup anamnesis, pemeriksaan fisik,
elektrokardiografi dan X-foto toraks. Risiko komplikasi jantung pada pasca bedah jauh lebih besar jika
gagal jantung bendungan tidak dikendalikan (Gerson dkk 1985). Pasien dengan penyakit pembuluh darah
tepi yang simtomatik juga cenderung mengalami masalah. Pasien usia lanjut memiliki risiko lebih besar
untuk komplikasi pernapasan, sehingga spirometri sederhana merupakan tes faal paru yang paling
berguna (Tisi 1979). Pasien usia lanjut dengan kehilangan berat badan dan hipoalbuminemia cenderung
mengalami ekspansi cairan ekstraseluler dan cairan yang mengandung natrium tinggi harus digunakan
dengan hati-hati. Bila gangguan dijumpai sebagai sekunder terhadap penurunan cadangan protein,
suplementasi nutrisi akan bernilai dalam memulihkan fungsi sebelum operasi (lihat Bab 6). Penurunan
fungsi ginjal secara progresif selalu terjadi dengan bertambahnya usia. Kadar kreatinin serum mungkin
normal walaupun ada penurunan laju filtrasi glomerulus; ini disebabkan massa otot yang berkurang serta
laju filtrasi glomerulus yang menurun pada usia lanjut merupakan suatu konsekuensi yang lebih baik dinilai
dengan pengukuran bersihan kreatinin.
Manajemen metabolik intraoperatif
Pemantauan fisiologis intraoperatif penting pada populasi geriatrik karena keterbatasan-keterbatasan
dalam fungsi kardiovaskuler dan pernapasan, serta penurunan kemampuan untuk mempertahankan
homeostasis cairan elektrolit, asam basa dan suhu. Pengukuran kontinyu tekanan darah dan pemantauan
EKG untuk kecepatan dan irama, serta pemantauan laju pernapasan, oksigenasi jaringan tepi dan PCO2,
serta suhu tubuh harus dipikirkan pada semua pasien usia lanjut (Charlson dkk 1990). Kateter urin untuk
memantau jumlah urin diperlukan pada semua pasien bedah mayor di mana diantisipasi pemberian cairan
dalam jumlah bermakna.
Sebagian ahli menganjurkan pemantauan hemodinamik invasif harus digunakan pada hampir
semua pasien usia lanjut yang menjalani operasi abdomen dan toraks (Del Guercio & Cohn 1980). Ini
disebabkan abnormalitas jantung, paru dan transpor oksien yang tidak mudah diidentifikasi dengan cara
biasa mungkin terdeteksi dan diatasi lebih dini.
Pedoman penting untuk ahli anestesi pada perawatan metabolik adalah pencegahan perubahan
besar dalam tekanan darah dan denyut jantung serta pencegahan gangguan cairan, elektrolit dan asam
basa. Yang tidak bisa dipisahkan dari hal-hal tadi adalah pembedahan yang bersih dan tidak merusak juga
penting. Hubungan antara komplikasi yang disebabkan ahli anestesi dan ahli bedah terhadap pemulihan
dan konvalesensi pasien adalah sangat dekat dan sangat penting terhadap perawatan pasien usia lanjut.
Manajemen pasca bedah
Upaya team bedah ditujukan untuk membatasi stres pasca bedah yang timbul karena hipoksemia,
hipotermia dan nyeri.
Komplikasi paru pasca bedah lazim dijumpai pada pasien usia lanjut dengan gagal napas dan
transpor oksigen yang tidak memadai lebih sering dijumpai dibanding pada pasien muda. Komplikasi ini
merupakan penyebab kematian penting pada populasi ini. Tekanan dan kandungan oksigen arteri pada
istirahat menurun secara progresif dengan meningkatnya usia dan penurunan lanjut yang diinduksi operasi
sangat menonjol pada pasien geriatri. Di samping itu, respons ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapnia
tidak sensitif pada usia lanjut. Hipotermia pasca bedah lebih menonjol pada pasien usia lanjut dan
kebutuhan oksigen nyata meningkat dengan menggigil. Prosedur abdomen dengan anestesi umum
menginduksi penurunan kapasitas vital yang bisa menetap sampai dua minggu pasca bedah. Akibatnya,
bronkiolus kolaps dan ketidakimbangan ventilasi-perfusi serta meningkatnya gradien oksigen alveoli-vena.
Taktik yang digunakan untuk meningkatkan oksigenasi termasuk penggunaan anestesi epidural
atau subaraknoid, anestesi lokal dan mobilisasi dini dengan menyuruh pasien duduk dan bergerak.
Spirometri, latihan pernapasan dan IPPB juga bermanfaat dalam mengurangi komplikasi pulmoner dan
membantu mempersingkat masa rawat (Celli dkk 1984). Tambahan oksigen melalui masker atau nasal
prong harus rutin diberikan selama beberapa hari untuk pasien usia lanjut yang menjalani operasi mayor
abdomen atau toraks, sampai pasien bisa bergerak kembali.
Penurunan suhu tubuh sentral sering dijumpai pada pasien usia lanjut dan proporsional dengan
peningkatan usia. Hipotermia harus diminimalkan atau dicegah di kamar operasi dengan mengatur suhu
ruangan, mengurangi pemaparan permukaan tubuh, menghangatkan larutan infus dan gas ventilator serta
selimut panas. Sebagian dari teknik-teknik ini bisa digunakan pada periode pasca bedah.
Analgesia memainkan peran penting dalam memacu mobilisasi dini, meningkatkan volume residual
paru dan memperbaiki pertukaran gas. Nyeri pasca bedah sendiri merupakan stimulus untuk pelepasan
hormon-hormon stres dan karena semua alasan ini, nyeri pasca bedah harus dikelola sebagaimana dirinci
pada Bab 2, namun khusus pada pasien usia lanjut perlu diperhatikan depresi pernapasan yang bisa
ditimbulkan opiat, sehingga harus diperlakukan sebagai cadangan (atau dihindari) pada usia lanjut.
Terapi cairan pasca bedah
Kepekaan pasien usia lanjut untuk beradaptasi dengan beban air dan garam berkurang, dan kesanggupan
untuk menyimpan garam dan air juga menurun ketika diperlukan. Penurunan laju filtrasi glomerulus
menjelaskan penurunan akut dari kemampuan ginjal untuk mengekskresikan beban air dan garam, dan ini
merupakan predisposisi untuk kelebihan beban air. Hiponatremia plus intoksikasi air merupakan gangguan
serius yang bisa menyebabkan anoreksia, kelemahan, letargi, kebingungan dan mungkin koma. Pasien
usia lanjut cenderung untuk mensekresi ADH berlebihan, khususnya selama stres pembedahan. Kelebihan
sekresi ADH ini disertai dengan ekspansi cairan ekstraseluler, hiponatremia dan gangguan pemekatan urin
(Rowe 1980). Tidak ada cara selain memberikan air dan garam dengan titrasi hati-hati pada periode pasca
bedah.
==============================================================================
BAGIAN III
PASIEN IKTERUS YANG MEMBUTUHKAN OPERASI MAYOR
Manajemen pasien dengan ikterus obstruksi berevolusi karena adanya fakta-fakta berikut:
* Terdapat defisit energi yang disebabkan malabsorpsi lemak dan jika ikterus menetap lebih dari 2 minggu,
selalu diikuti malnutrisi
* Defisiensi vit K terjadi dan pembekuan darah tidak normal
* Empedu terinfeksi dan pembedahan menyebabkan bakteremia dengan kemungkinan penyebaran sepsis
* Gagal ginjal merupakan risiko pada pasien ikterus yang menjalani operasi
* Respons penyembuhan luka mungkin terganggu pada pasien dengan ikterus obstruksi.
PERSIAPAN METABOLIK PRA BEDAH
Dekompresi dengan terapi nutrisional
Jika obstruksi berlanjut sampai beberapa minggu, malabsorpsi lemak dan vitamin larut-lemak
mengakibatkan tidak hanya malnutrisi protein energi, melainkan juga defisiensi vitamin K dengan
menurunnya kadar protrombin. Ada bukti bahwa dekompresi pra bedah baik secara endoskopik atau
transhepatik bisa memperbaiki prognosis hanya jika disertai dukungan nutrisi (Foschi dkk 1986). Jadi, jika
malnutrisi protein energi memiliki intensitas cukup untuk mengganggu kinerga fisiologis (lihat Bab 5),
kombinasi dekompresi dan dukungan nutrisi jangka pendek (TPN atau EN) harus diberikan selama kira-
kira 5 hari akan menghasilkan peningkatan dalam kekuatan genggam, fungsi pernapasan dan pemulihan
kadar protein plasma waktu-paruh singkat, seperti prealbumin dan retinol binding protein (lihat Bab 6).
Pencegahan gagal ginjal
Jika pengeluaran urin tidak diperhatikan pada pasien bedah dengan ikterus yang tak mereda, gagal ginjal
akut bisa terjadi. Kerusakan ginjal agaknya berasal dari efek nefrotoksik endotoksin bakteri. Jika pasien
sudah menjalani pemeriksaan atau prosedur yang menimbulkan dehidrasi (seperti persiapan usus secara
mekanis) infus intravena harus dimulai pada malam sebelum operasi dan 2 liter dekstrosa dan saline
diberikan semalaman. Karena semua duktus biliaris terkontaminasi, antibiotika diberikan selama 24 jam
sebelum operasi, dan jika operasi sangat luas atau terkontaminasi, antibiotika harus dilanjutkan selama 5
hari sesudahnya.
Normalisasi pembekuan darah
Vitamin K, 10 mg setiap hari selama 5 hari, dianjurkan tetapi dosis lebih besar dari ini bisa menekan kadar
protrombin (Cohn 1975). Biasanya terapi ini akan mengkoreksi defisiensi vit K yang disebabkan obstruksi
saluran empedu.
PERAWATAN INTRAOPERATIF
Ahli bedah berperan utama dalam mengusahakan bahwa hemostasis akurat, pembedahan mulus dan tdak
merusak, dan kontaminasi diusahakan minimum. Perhatian khusus diberikan kepada teknik penutupan
luka. Peran utama dari penata anestesi adalah mencegah hipovolemia dan memastikan bahwa selama
prosedur, pengeluaran urin dijaga 1 ml/kg/jam.
PERAWATAN PASCA BEDAH
Setelah operasi relatif lebih banyak kristaloid diberikan dengan harapan mencegah gagal ginjal pasca
bedah. Setelah ikterus obstruksi mereda, pengeluaran empedu bisa lebih dari 3 liter per hari dan deplesi
garam bisa segera berkembang jika imbang natrium tidak diperhatikan dengan seksama. Jika volume
drainase besar, sebaiknya empedu dikumpulkan dan kandungan natriumnya dianalisis, karena pada
beberapa keadaan kadar natrium dalam empedu bisa lebih tinggi daripada plasma.
Jika nutrisi parenteral pra bedah telah diberikan, maka harus dilanjutkan pada periode pasca bedah
sampai pasien mendapat 1000 kcal/hari melalui oral. Vitamin K harus diteruskan sampai saat ini juga.
Umumnya, setelah operasi jenis ini, pasien sukar makan dan keluarga pasien perlu didorong untuk
memberikan makanan yang disukai pasien. Pemberian suplemen nutrisi dengan pipet mungkin berguna.
Ada baiknya memperhatikan efek buruk dari hipoalbuminemia pada pasien pasca bedah. Tidak hanya
pengosongan lambung yang melambat, penyerapan usus juga terganggu karena edema usus yang terjadi
pasien hipoalbuminemia.
==============================================================================
BAGIAN IV
MANAJEMEN PASIEN DENGAN INSUFISIENSI ADRENAL YANG AKAN MENJALANI OPERASI
MAYOR
Dalam praktek kedokteran modern, jarang dilakukan pembedahan pada pasien yang sedang mendapat
steroid. Biasanya, dokter bedah menjumpai keadaan ini pada pasien-pasien penyakit radang usus
(inflammatory bowel disease) atau pada mereka yang mendapat steroid untuk pengobatan asma atau
kondisi kronis lainnya. Pada pasien demikian, sekresi adrenokortikoid terhambat dan penghambatan ini
bisa menetap lama setelah steroid dihentikan, sampai kira-kira satu tahun (Br Med J Editorial 1980). Ini
diakibatkan oleh penekanan sekresi CRF (corticotrophin releasing factor) di hipotalamus atau
penghambatan pelepasan ACTH (adrenocorticotrophic hormone) di hipofisis anterior. Masalah
penghambatan ini tidak begitu besar jika steroid telah diberikan setiap dua hari, namun pada kasus apapun
dokter bedah sebaiknya mengadopsi regimen standar pada semua pasien yang sedang mendapat steroid
untuk jangka lama dan direncanakan operasi mayor (Harris & Kendall-Taylor 1989).
MANAJEMEN
Malam sebelum operasi
Berikan hidrokortison hemisuksinat 100 mg inramuskuler (prednison empat kali lebih kuat daripada
hidrokortison). 
Hari operasi
100 mg hidrokortison hemisuksinat i.m. pagi dan malam hari. Selama operasi hidrokortison dilanjutkan 100-
300 mg.i.v.
Hari pertama pasca bedah
100 mg hidrokortison i.m. setiap 12 jam.
3 hari berikutnya
50 mg hidrokortison i.m. setiap 12 jam.
3 hari berikutnya dan setelah itu
25 mg hidrokortison setiap 12 jam. Dosis diparuh setiap 3 hari dengan tujuan menghentikan steroid 3 atau 4
minggu sejak pembedahan.
Jika timbul komplikasi pasca bedah dosis harus paling sedikit 100 mg i.m. setiap hari sampai pasien pulih
Tekanan darah mungkin merupakan pemeriksaan dini tentang ketidakcukupan dosis steroid. Ini harus
diperiksa setiap jam untuk 48 jam pertama dan setelah itu setiap 6 jam sampai pasien stabil. 
Pada keadaan-keadaan pengecualian terutama bila dosis hidrokortison lebih rendah dari 100 mg per hari,
pasien mengalami deplesi garam. Biasanya ini terjadi pada mereka yang telah dioperasi untuk penyakit
radang usus, dengan kehilangan lebih dari biasanya dari ileostomi. Penatalaksanaan yang tepat adalah
memperlambat output dari ileostomi dengan pemberian obat penginduksi konstipasi dan mengganti
kehilangan cairan dengan Ringer laktat.
Belakangan ini sebagian ahli menganjurkan regimen steroid yang digariskan di atas dengan dosis
kortikosteroid lebih tinggi (Kahlet 1975). Kesimpulan ini didasarkan pada percobaan hewan dan kajian
manusia di mana pembedahan yang lebih ringan dan komplikasi cenderung lebih sedikit daripada yang
biasa dibutuhkan pada operasi pasien dengan penyakit radang usus (Kehlet & Binder 1973). Menurut
pandangan kami, berbahaya jika digunakan regimen yang lebih sedikit. Ada konsensus bahwa pengobatan
dengan hidrokortison dosis tinggi selama beberapa hari yang disusul dengan penurunan cepat terlihat
memberi perlindungan, tanpa disertai akibat buruk ini merupakan penatalaksanaan yang sesuai pada
pasien yang mendapat terapi steroid dosis tinggi dalam setahun sebelum operasi.
MASALAH KHUSUS DARI PASIEN YANG MENDAPAT STEROID
Pada pasien yang mendapat steroid dosis tinggi, ada dampak mendasar terhadap imunitas sistemik
dengan menurunnya akumulasi sel darah putih pada lokasi kerusakan jaringan, dan ini mempengaruhi
penyembuhan. Seluruh rantai kejadian ini menghasilkan gangguan penyembuhan dan pengendalian
radang, yakni melambat pada pasien-pasien yang mendapat steroid. Dalam praktek, respons
penyembuhan luka lambat, kesanggupan rongga peritoneum untuk melokalisasi sepsis berkurang dan
infeksi serius muncul lambat karena tanda-tanda fisik tidak jelas (Fauci dkk 1976). Ahli bedah harus
memastikan bahwa jahitan tidak menjepit, akurat dan penutupan fasia dilakukan dengan bahan permanen
serta benang jahitan kulit didamkan lebih lama daripada biasa. Pada keadaan darurat, anastomosis yang
dilakukan di daerah yang tercemar dihindarkan. Disini lebih sering dilakukan defungsionalisasi dan kulit
dibiarkan terbuka.
==============================================================================
BAGIAN V
MANAJEMEN PASIEN BEDAH MAYOR DENGAN KEHILANGAN BERAT BADAN MASSIF
Walaupun pasien bedah mayor dengan kehilangan berat badan massif akan dibahas rinci kemudian (Bab
18), beberapa prinsip umum akan digariskan di sini.
Kehilangan berat badan sendiri mungkin tidak penting dan jika gangguan fungsi tidak ada, komplikasi
pasca bedah tampaknya tidak lebih tinggi daripada pasien yang berat badannya normal. Di lain pihak, bila
kehilangan berat badan disertai dengan gangguan fungsi organ yang jelas, antara lain fungsi pernapasan,
fungsi otot rangka, fungsi psikologis, penyembuhan luka dan hipoalbuminemia, maka komplikasi pasca
bedah lebih sering dan masa rawat lebih lama. Pasien-pasien dengan kehilangan berat lebih dari 20%
hampir selalu mengalami gangguan fisiologis dan risiko komplikasi pasca bedah lebih tinggi. Mereka
dengan kehilangan berat badan kurang dari 10%, kebanyakan tidak memiliki gangguan fungsi dan
komplikasi pasca bedah memiliki frekuensi sama dengan mereka dengan berat badan normal. Pada
pasien-pasien dengan kehilangan berat badan antara 10 dan 20% inilah perlu diperiksa dengan seksama
untuk melihat gangguan fisiologis, dan jika ada terapi nutrisi perioperatif perlu dipertimbangkan. Akan
tetapi, sekarang jelas bahwa TPN pra bedah lebih banyak merugikan daripada menguntungkan pada
pasien dengan malnutrisi marginal, namun pada mereka dengan malnutrisi berat (dan ini harus benar-
benar jelas dengan pemeriksaan fisik), dukungan nutrisi singkat kira-kira 7 hari adalah efektif (Bab 18).
BAGIAN VI
MANAJEMEN PASIEN KANKER YANG AKAN MENJALANI OPERASI MAYOR
Banyak kepustakaan tentang efek-efek metabolik dari kanker (lihat tinjauan Douglas & Shaw 1990) dan
dokter bedah bisa dimaklumi jika bingung tentang perhatian-perhatian khusus yang harus diberikan kepada
pasien kanker selama periode perioperatif. Masalahnya bisa disederhanakan dengan mempertimbangkan
tiga keadaan klinis berikut:
PASIEN DENGAN KEGANASAN TERLOKALISASI DAN AKAN MENJALANI BEDAH EKSISI
Pasien dengan adenokarsinoma kolon, lambung, pankreas dan saluran hepatobilier tanpa tumor yang
sangat besar atau bukti penyebaran harus dipandang sebagai pasien dengan status metabolisme serupa
dengan pasien tumor jinak (Shaw & Wolfe 1988b). Kehilangan berat badan pra bedah, yang disebabkan
perubahan sensasi pengecapan, anoreksia, atau efek lokal tumor kadang-kadang bisa massif (Theologides
1979) tetapi ini jarang bermasalah. Jika gangguan fungsi fisiologis bermakna maka diindikasikan dukungan
nutrisi dan bisa diantisipasi bahwa protein akan dideposit dengan laju yang sama seperti pada pasien
tumor jinak (Hill dkk 1991). Demikian halnya, pada masa pasca bedah, seperti pasien tanpa kanker, infus
dekstrosa menghasilkan efek menghemat protein dan jika dibutuhkan TPN, kehilangan protein bisa
dicegah (Shaw & Wolfe 1988b). Satu-satunya perbedaan yang dimiliki pasien kanker dibanding pasien
tumor jinak adalah rasa letih pasca bedah cenderung lebih lama. Pada kajian faktor-faktor pra bedah yang
cenderung diikuti rasa letih pasca bedah, kami mendapatkan bahwa pasien-pasien dengan diagnosis
kanker, baik yang akan diterapi kuratif atau tidak, mengeluh rasa letih lebih lama pada masa pasca bedah
(Schroeder & Hill 1992).
PASIEN DENGAN TUMOR BESAR ATAU DENGAN METASTASIS
Pasien dengan sarkoma (Shaw & Humberstone 1988), limfoma (Humberstone & Shaw 1988), tumor besar
(Shaw & Wolfe 1988b) dan mereka dengan tumor yang telah menyebar ke hati dan tempat lain (MacFie
dkk 1982) bersifat hipermetabolik. Kecil kemungkinannya, tumor itu sendiri yang menyebabkan
hipermetabolisme, dan agaknya ada peptide regulatory factors yang terlibat (Douglas & Shaw
1990).Pasien-pasien ini mengalami perubahan metabolisme dan pertukaran substrat antar organ (Gambar
3.1) yang tidak berbeda dengan yang terlihat pada sepsis (Brennan 1977, Douglas & Shaw 1990, Chen
dkk 1991).
Jika dibutuhkan operasi mayor pada pasien malnutrisi berat dengan kanker lanjut, tidak bisa diharapkan
bahwa dukungan nutrisi akan mengisi kembali cadangan protein tubuh (Shaw & Wolfe 1988b). Namun
demikian, pemberian nutrisi dalam beberapa hari akan memulihkan sebagian aspek dari fungsi fisiologis
dan kadar plasma dari protein-protein waktu-paruh singkat (lihat Bab 6). Perawatan pasca bedah harus
mencakup perhatian khusus terhadap imbang cairan (menghindari kelebihan natrium, karena ditakuti
ekspansi volume ekstraseluler) dan dukungan nutrisi untuk mencegah deplesi protein lebih lanjut.
PASIEN DENGAN KEGANASAN SALURAN CERNA DAN AKAN MENJALANI PEMBEDAHAN
EKSTIRPASI
Contoh tipikal dari pasien ini meliputi mereka dengan tumor esofagus dan esofagus plus gaster. Pasien-
pasien ini mungkin sangat kurus dan memerlukan prosedur operasi yang sukar dan lama sehingga risiko
komplikasi pasca bedah tinggi.
Tabel 3.2 melukiskan pengukuran komposisi tubuh, protein plasma dan pemakaian energi metabolisme
yang kami kerjakan pada 17 pasien yang menjalani gastrektomi total dan esofagektomi distal karena
adenokarsinoma lambung proksimal/esofagus bawah (Hill 1988). Sebelum operasi diusahakan untuk
menyingkirkan adanya metastasis dan tak seorangpun memiliki metastasis ke hati, paru atau peritoneum.
Setiap pasien menjalani prosedur sesuai rencana, namun tak ada yang bertahan lama (yakni lebih dari 3
tahun). Ini memberi kesan tumor primer sudah luput dari pengendalian lokal selama pembedahan. Dari
tabel bisa dilihat bahwa perubahan-perubahan komposisi tubuh yang disebabkan neoplasma sangat
serupa dengan yang disebabkan oleh starvasi sederhana (lihat Bab 5 Tabel 5.3). Terpisah dari RME
(resting metabolic expenditure) yang sedikit meningkat dan penurunan ringan dari albumin plasma, sedikit
kemungkinan metabolisme septik. Seandainya perbaikan status nutrisi sudah dibutuhkan sebelum
pembedahan, bisa diantisipasi peningkatan ringan dari protein total tubuh. TPN pasca bedah diberikan ke
masing-masing pasien, dan menghasilkan penghematan cadangan protein tubuh, pemulihan protein
plasma sampai normal dan sedikit peningkatan cadangan lemak tubuh.
Kami berkesimpulan bahwa data-data yang memperlihatkan pasien bedah dengan tumor
gastrointestinal yang sangat besar yang secara klinis belum beranak sebar, bisa dobati dengan cara yang
amat serupa dengan pasien tanpa keganasan.
APAKAH NUTRISI PARENTERAL TOTAL (TPN) MENCEGAH PERTUBUHAN KANKER?
Data pada hewan memberi kesan bahwa nutrien yang diberikan dengan nutrisi parenteral dikonsumsi lebih
banyak oleh tumor (Fried dkk 1985, Grube dkk 1985) walaupun ada banyak perdebatan tentang hal ini
pada kanker manusia (Fischer 1984, Heys dkk 1991). Beberapa cara eksperimental (Mullen dkk 1980) dan
logika klinis (Copeland 1990) member kesan jika terjadi perangsangan pertumbuhan tumor secara
bermakna, pasti sudah menjadi masalah klinis sekarang .
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah
Nutrisi Bedah

More Related Content

What's hot

Menu makanan untuk penderita hepatitis
Menu makanan untuk penderita hepatitisMenu makanan untuk penderita hepatitis
Menu makanan untuk penderita hepatitisAndre Milanisti
 
Diit ginjal dan saluran kemih
Diit ginjal dan saluran kemihDiit ginjal dan saluran kemih
Diit ginjal dan saluran kemihCahya
 
Pertemuan 3 konversi pangan mentah dan terolah
Pertemuan 3 konversi pangan mentah dan terolahPertemuan 3 konversi pangan mentah dan terolah
Pertemuan 3 konversi pangan mentah dan terolahSutyawan
 
Brosur Diet Rendah Lemak dan Kholesterol
Brosur Diet Rendah Lemak dan KholesterolBrosur Diet Rendah Lemak dan Kholesterol
Brosur Diet Rendah Lemak dan KholesterolGuss No
 
JENIS DIET DAN HUBUNGANNYA DENGAN PENYAKIT
JENIS DIET DAN HUBUNGANNYA DENGAN PENYAKIT JENIS DIET DAN HUBUNGANNYA DENGAN PENYAKIT
JENIS DIET DAN HUBUNGANNYA DENGAN PENYAKIT pjj_kemenkes
 
Kasus ggk dan hipertensi grade ii
Kasus ggk dan hipertensi grade iiKasus ggk dan hipertensi grade ii
Kasus ggk dan hipertensi grade iiDessycis
 
ADIME NCP PAGT Diet Kasus Pernapasan (PPOK)
ADIME NCP PAGT Diet Kasus Pernapasan (PPOK)ADIME NCP PAGT Diet Kasus Pernapasan (PPOK)
ADIME NCP PAGT Diet Kasus Pernapasan (PPOK)Shela Rizky Tarinda
 
4 TIPE SISTEM PENYELENGGARAAN MAKANAN.pptx
4 TIPE SISTEM PENYELENGGARAAN MAKANAN.pptx4 TIPE SISTEM PENYELENGGARAAN MAKANAN.pptx
4 TIPE SISTEM PENYELENGGARAAN MAKANAN.pptxWidyaPangestika16
 
Konsep gizi seimbang
Konsep gizi seimbangKonsep gizi seimbang
Konsep gizi seimbangAgnescia Sera
 
Kasus k empedu kolelitiasis
Kasus k empedu kolelitiasisKasus k empedu kolelitiasis
Kasus k empedu kolelitiasis'Rheyfan Caspian
 
Modul who penilaian status gizi
Modul who penilaian status giziModul who penilaian status gizi
Modul who penilaian status gizimeiwulandari24
 
Leaflet _ Diet Gerd
Leaflet _ Diet GerdLeaflet _ Diet Gerd
Leaflet _ Diet Gerdlidyasrprb
 
Brosur diet-diabetes-melitus
Brosur diet-diabetes-melitusBrosur diet-diabetes-melitus
Brosur diet-diabetes-melitusPraja Putri
 
DIET PADA IBU HAMIL DENGAN KOMPLIKASI
DIET PADA IBU HAMIL DENGAN KOMPLIKASIDIET PADA IBU HAMIL DENGAN KOMPLIKASI
DIET PADA IBU HAMIL DENGAN KOMPLIKASIpjj_kemenkes
 

What's hot (20)

Kasus obes dewasa
Kasus obes dewasaKasus obes dewasa
Kasus obes dewasa
 
Kasus stroke hipertensi
Kasus stroke hipertensiKasus stroke hipertensi
Kasus stroke hipertensi
 
Menu makanan untuk penderita hepatitis
Menu makanan untuk penderita hepatitisMenu makanan untuk penderita hepatitis
Menu makanan untuk penderita hepatitis
 
Nutrisi enteral parenteral
Nutrisi enteral parenteralNutrisi enteral parenteral
Nutrisi enteral parenteral
 
Diit ginjal dan saluran kemih
Diit ginjal dan saluran kemihDiit ginjal dan saluran kemih
Diit ginjal dan saluran kemih
 
Pertemuan 3 konversi pangan mentah dan terolah
Pertemuan 3 konversi pangan mentah dan terolahPertemuan 3 konversi pangan mentah dan terolah
Pertemuan 3 konversi pangan mentah dan terolah
 
Brosur Diet Rendah Lemak dan Kholesterol
Brosur Diet Rendah Lemak dan KholesterolBrosur Diet Rendah Lemak dan Kholesterol
Brosur Diet Rendah Lemak dan Kholesterol
 
JENIS DIET DAN HUBUNGANNYA DENGAN PENYAKIT
JENIS DIET DAN HUBUNGANNYA DENGAN PENYAKIT JENIS DIET DAN HUBUNGANNYA DENGAN PENYAKIT
JENIS DIET DAN HUBUNGANNYA DENGAN PENYAKIT
 
Kasus ggk dan hipertensi grade ii
Kasus ggk dan hipertensi grade iiKasus ggk dan hipertensi grade ii
Kasus ggk dan hipertensi grade ii
 
Ilmu gizi 1
Ilmu gizi 1Ilmu gizi 1
Ilmu gizi 1
 
ADIME NCP PAGT Diet Kasus Pernapasan (PPOK)
ADIME NCP PAGT Diet Kasus Pernapasan (PPOK)ADIME NCP PAGT Diet Kasus Pernapasan (PPOK)
ADIME NCP PAGT Diet Kasus Pernapasan (PPOK)
 
4 TIPE SISTEM PENYELENGGARAAN MAKANAN.pptx
4 TIPE SISTEM PENYELENGGARAAN MAKANAN.pptx4 TIPE SISTEM PENYELENGGARAAN MAKANAN.pptx
4 TIPE SISTEM PENYELENGGARAAN MAKANAN.pptx
 
Konsep gizi seimbang
Konsep gizi seimbangKonsep gizi seimbang
Konsep gizi seimbang
 
Kasus dislipidemia
Kasus dislipidemiaKasus dislipidemia
Kasus dislipidemia
 
Kasus k empedu kolelitiasis
Kasus k empedu kolelitiasisKasus k empedu kolelitiasis
Kasus k empedu kolelitiasis
 
Modul who penilaian status gizi
Modul who penilaian status giziModul who penilaian status gizi
Modul who penilaian status gizi
 
Leaflet _ Diet Gerd
Leaflet _ Diet GerdLeaflet _ Diet Gerd
Leaflet _ Diet Gerd
 
Konsep ncp 2018
Konsep ncp 2018Konsep ncp 2018
Konsep ncp 2018
 
Brosur diet-diabetes-melitus
Brosur diet-diabetes-melitusBrosur diet-diabetes-melitus
Brosur diet-diabetes-melitus
 
DIET PADA IBU HAMIL DENGAN KOMPLIKASI
DIET PADA IBU HAMIL DENGAN KOMPLIKASIDIET PADA IBU HAMIL DENGAN KOMPLIKASI
DIET PADA IBU HAMIL DENGAN KOMPLIKASI
 

Similar to Nutrisi Bedah

Similar to Nutrisi Bedah (20)

Efek metabolik dari sangat rendah karbohidrat1
Efek metabolik dari sangat rendah karbohidrat1Efek metabolik dari sangat rendah karbohidrat1
Efek metabolik dari sangat rendah karbohidrat1
 
Askep nutrisi
Askep nutrisiAskep nutrisi
Askep nutrisi
 
UTS WAODE AISYAH FEA REVISI
UTS WAODE AISYAH FEA REVISIUTS WAODE AISYAH FEA REVISI
UTS WAODE AISYAH FEA REVISI
 
Biokimia
BiokimiaBiokimia
Biokimia
 
Biokimia
BiokimiaBiokimia
Biokimia
 
Ipa7 kd6-f
Ipa7 kd6-fIpa7 kd6-f
Ipa7 kd6-f
 
Gizi pada atlet
Gizi pada atletGizi pada atlet
Gizi pada atlet
 
PPT KEL 5.pptx
PPT KEL 5.pptxPPT KEL 5.pptx
PPT KEL 5.pptx
 
Kel. 2_Glikoneogenesis & Homeostatis.pdf
Kel. 2_Glikoneogenesis & Homeostatis.pdfKel. 2_Glikoneogenesis & Homeostatis.pdf
Kel. 2_Glikoneogenesis & Homeostatis.pdf
 
hubungan metabolisme zat pangan baca saja.ppt
hubungan metabolisme zat pangan baca saja.ppthubungan metabolisme zat pangan baca saja.ppt
hubungan metabolisme zat pangan baca saja.ppt
 
Makalah Botani Farmasi: 6. Metabolisme Karbohidrat | Kelas: 2H | Dosen: Yayuk...
Makalah Botani Farmasi: 6. Metabolisme Karbohidrat | Kelas: 2H | Dosen: Yayuk...Makalah Botani Farmasi: 6. Metabolisme Karbohidrat | Kelas: 2H | Dosen: Yayuk...
Makalah Botani Farmasi: 6. Metabolisme Karbohidrat | Kelas: 2H | Dosen: Yayuk...
 
Metabolisme_lemak-Metabolisme_lemak-Metabolisme_lemak.pdf
Metabolisme_lemak-Metabolisme_lemak-Metabolisme_lemak.pdfMetabolisme_lemak-Metabolisme_lemak-Metabolisme_lemak.pdf
Metabolisme_lemak-Metabolisme_lemak-Metabolisme_lemak.pdf
 
Pp pencenaan
Pp pencenaanPp pencenaan
Pp pencenaan
 
Biokimia
BiokimiaBiokimia
Biokimia
 
Makalah gizi pada atlet
Makalah gizi pada atletMakalah gizi pada atlet
Makalah gizi pada atlet
 
Dinamika sumber energi dan zat gizi dalam tubuh
Dinamika sumber energi dan zat gizi dalam tubuhDinamika sumber energi dan zat gizi dalam tubuh
Dinamika sumber energi dan zat gizi dalam tubuh
 
Tugas makalah biokimia
Tugas makalah biokimiaTugas makalah biokimia
Tugas makalah biokimia
 
metabolisme karbohidrat
metabolisme karbohidratmetabolisme karbohidrat
metabolisme karbohidrat
 
Tugas uts biokimia waambe nim O1A120048
Tugas uts biokimia waambe nim O1A120048Tugas uts biokimia waambe nim O1A120048
Tugas uts biokimia waambe nim O1A120048
 
Askep marasmus
Askep marasmusAskep marasmus
Askep marasmus
 

More from Dr Iyan Darmawan

Case-based approach in parenteral fluid therapy
Case-based approach in parenteral fluid therapyCase-based approach in parenteral fluid therapy
Case-based approach in parenteral fluid therapyDr Iyan Darmawan
 
Update on fluid therapy in dhf
Update on fluid therapy in dhfUpdate on fluid therapy in dhf
Update on fluid therapy in dhfDr Iyan Darmawan
 
Handbook of parenteral fluid & nutrition therapy current literature review
Handbook of parenteral fluid & nutrition therapy current literature reviewHandbook of parenteral fluid & nutrition therapy current literature review
Handbook of parenteral fluid & nutrition therapy current literature reviewDr Iyan Darmawan
 
The rationale of intradialytic amino acid supplementation
The rationale of intradialytic amino acid supplementationThe rationale of intradialytic amino acid supplementation
The rationale of intradialytic amino acid supplementationDr Iyan Darmawan
 
Stewart approach in acid base balance
Stewart approach in acid base balanceStewart approach in acid base balance
Stewart approach in acid base balanceDr Iyan Darmawan
 
Introduction to clinical nutrition
Introduction to clinical nutritionIntroduction to clinical nutrition
Introduction to clinical nutritionDr Iyan Darmawan
 

More from Dr Iyan Darmawan (12)

Hypocalcemia
HypocalcemiaHypocalcemia
Hypocalcemia
 
Case-based approach in parenteral fluid therapy
Case-based approach in parenteral fluid therapyCase-based approach in parenteral fluid therapy
Case-based approach in parenteral fluid therapy
 
Syok pada anak
Syok pada anak Syok pada anak
Syok pada anak
 
Sepsis
SepsisSepsis
Sepsis
 
Fluid therapy in stroke
Fluid therapy in strokeFluid therapy in stroke
Fluid therapy in stroke
 
Update on fluid therapy in dhf
Update on fluid therapy in dhfUpdate on fluid therapy in dhf
Update on fluid therapy in dhf
 
Handbook of parenteral fluid & nutrition therapy current literature review
Handbook of parenteral fluid & nutrition therapy current literature reviewHandbook of parenteral fluid & nutrition therapy current literature review
Handbook of parenteral fluid & nutrition therapy current literature review
 
The rationale of intradialytic amino acid supplementation
The rationale of intradialytic amino acid supplementationThe rationale of intradialytic amino acid supplementation
The rationale of intradialytic amino acid supplementation
 
Hipokalemia
HipokalemiaHipokalemia
Hipokalemia
 
Resistensi insulin
Resistensi insulinResistensi insulin
Resistensi insulin
 
Stewart approach in acid base balance
Stewart approach in acid base balanceStewart approach in acid base balance
Stewart approach in acid base balance
 
Introduction to clinical nutrition
Introduction to clinical nutritionIntroduction to clinical nutrition
Introduction to clinical nutrition
 

Recently uploaded

414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptx
414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptx414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptx
414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptxrachmatpawelloi
 
PERHITUNGAN_DAN_KATEGORI_STATUS_GIZI.ppt
PERHITUNGAN_DAN_KATEGORI_STATUS_GIZI.pptPERHITUNGAN_DAN_KATEGORI_STATUS_GIZI.ppt
PERHITUNGAN_DAN_KATEGORI_STATUS_GIZI.pptika291990
 
PPT presentasi tentang ekshumasi stase forensik
PPT presentasi tentang ekshumasi stase forensikPPT presentasi tentang ekshumasi stase forensik
PPT presentasi tentang ekshumasi stase forensikSavitriIndrasari1
 
SWAMEDIKASI ALERGI PRODI SARJANA FARMASI.pdf
SWAMEDIKASI ALERGI PRODI SARJANA FARMASI.pdfSWAMEDIKASI ALERGI PRODI SARJANA FARMASI.pdf
SWAMEDIKASI ALERGI PRODI SARJANA FARMASI.pdfFatimaZalamatulInzan
 
MPI 3. Pengendalian Penyakit pada JH 2023 Kadar.pptx
MPI 3. Pengendalian Penyakit pada JH 2023 Kadar.pptxMPI 3. Pengendalian Penyakit pada JH 2023 Kadar.pptx
MPI 3. Pengendalian Penyakit pada JH 2023 Kadar.pptxISKANDARSYAPARI
 
konsep nutrisi pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler.pptx
konsep nutrisi pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler.pptxkonsep nutrisi pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler.pptx
konsep nutrisi pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler.pptxrittafarmaraflesia
 
Strategi_Pengendalian_RisikoZSFADXSCFQ.pdf
Strategi_Pengendalian_RisikoZSFADXSCFQ.pdfStrategi_Pengendalian_RisikoZSFADXSCFQ.pdf
Strategi_Pengendalian_RisikoZSFADXSCFQ.pdfhsetraining040
 
SEDIAAN EMULSI : DEFINISI, TIPE EMULSI, JENIS EMULGATOR DAN CARA PEMBUATAN
SEDIAAN EMULSI : DEFINISI, TIPE EMULSI, JENIS EMULGATOR DAN CARA PEMBUATANSEDIAAN EMULSI : DEFINISI, TIPE EMULSI, JENIS EMULGATOR DAN CARA PEMBUATAN
SEDIAAN EMULSI : DEFINISI, TIPE EMULSI, JENIS EMULGATOR DAN CARA PEMBUATANYayahKodariyah
 
PANDUAN TUGAS AKHIR SKRIPSI PRODI KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI PROGRAM SARJANA T...
PANDUAN TUGAS AKHIR SKRIPSI PRODI KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI PROGRAM SARJANA T...PANDUAN TUGAS AKHIR SKRIPSI PRODI KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI PROGRAM SARJANA T...
PANDUAN TUGAS AKHIR SKRIPSI PRODI KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI PROGRAM SARJANA T...AdekKhazelia
 
penyuluhan terkait kanker payudara oleh mahasiswa k3s
penyuluhan terkait kanker payudara oleh mahasiswa k3spenyuluhan terkait kanker payudara oleh mahasiswa k3s
penyuluhan terkait kanker payudara oleh mahasiswa k3smwk57khb29
 
Toksikologi obat dan macam-macam obat yang toksik dan berbahaya.ppt
Toksikologi obat dan macam-macam obat yang toksik dan berbahaya.pptToksikologi obat dan macam-macam obat yang toksik dan berbahaya.ppt
Toksikologi obat dan macam-macam obat yang toksik dan berbahaya.pptRoniAlfaqih2
 
PPT KONTRASEPSI KB HORMONAL DAN NON HORMONAL
PPT KONTRASEPSI KB HORMONAL DAN NON HORMONALPPT KONTRASEPSI KB HORMONAL DAN NON HORMONAL
PPT KONTRASEPSI KB HORMONAL DAN NON HORMONALMayangWulan3
 
PERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.ppt
PERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.pptPERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.ppt
PERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.pptbekamalayniasinta
 
materi tentang sistem imun tubuh manusia
materi tentang sistem  imun tubuh manusiamateri tentang sistem  imun tubuh manusia
materi tentang sistem imun tubuh manusiastvitania08
 
Laporan Kasus - Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut.pptx
Laporan Kasus - Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut.pptxLaporan Kasus - Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut.pptx
Laporan Kasus - Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut.pptxkaiba5
 
Pelajaran Distosia Bahu pada persalinann
Pelajaran Distosia Bahu pada persalinannPelajaran Distosia Bahu pada persalinann
Pelajaran Distosia Bahu pada persalinannandyyusrizal2
 
anatomi fisiologi sistem penginderaan.ppt
anatomi fisiologi sistem penginderaan.pptanatomi fisiologi sistem penginderaan.ppt
anatomi fisiologi sistem penginderaan.pptRoniAlfaqih2
 
456720224-1-Antenatal Care-Terpadu-10-T-ppt.ppt
456720224-1-Antenatal Care-Terpadu-10-T-ppt.ppt456720224-1-Antenatal Care-Terpadu-10-T-ppt.ppt
456720224-1-Antenatal Care-Terpadu-10-T-ppt.pptDesiskaPricilia1
 

Recently uploaded (18)

414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptx
414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptx414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptx
414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptx
 
PERHITUNGAN_DAN_KATEGORI_STATUS_GIZI.ppt
PERHITUNGAN_DAN_KATEGORI_STATUS_GIZI.pptPERHITUNGAN_DAN_KATEGORI_STATUS_GIZI.ppt
PERHITUNGAN_DAN_KATEGORI_STATUS_GIZI.ppt
 
PPT presentasi tentang ekshumasi stase forensik
PPT presentasi tentang ekshumasi stase forensikPPT presentasi tentang ekshumasi stase forensik
PPT presentasi tentang ekshumasi stase forensik
 
SWAMEDIKASI ALERGI PRODI SARJANA FARMASI.pdf
SWAMEDIKASI ALERGI PRODI SARJANA FARMASI.pdfSWAMEDIKASI ALERGI PRODI SARJANA FARMASI.pdf
SWAMEDIKASI ALERGI PRODI SARJANA FARMASI.pdf
 
MPI 3. Pengendalian Penyakit pada JH 2023 Kadar.pptx
MPI 3. Pengendalian Penyakit pada JH 2023 Kadar.pptxMPI 3. Pengendalian Penyakit pada JH 2023 Kadar.pptx
MPI 3. Pengendalian Penyakit pada JH 2023 Kadar.pptx
 
konsep nutrisi pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler.pptx
konsep nutrisi pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler.pptxkonsep nutrisi pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler.pptx
konsep nutrisi pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler.pptx
 
Strategi_Pengendalian_RisikoZSFADXSCFQ.pdf
Strategi_Pengendalian_RisikoZSFADXSCFQ.pdfStrategi_Pengendalian_RisikoZSFADXSCFQ.pdf
Strategi_Pengendalian_RisikoZSFADXSCFQ.pdf
 
SEDIAAN EMULSI : DEFINISI, TIPE EMULSI, JENIS EMULGATOR DAN CARA PEMBUATAN
SEDIAAN EMULSI : DEFINISI, TIPE EMULSI, JENIS EMULGATOR DAN CARA PEMBUATANSEDIAAN EMULSI : DEFINISI, TIPE EMULSI, JENIS EMULGATOR DAN CARA PEMBUATAN
SEDIAAN EMULSI : DEFINISI, TIPE EMULSI, JENIS EMULGATOR DAN CARA PEMBUATAN
 
PANDUAN TUGAS AKHIR SKRIPSI PRODI KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI PROGRAM SARJANA T...
PANDUAN TUGAS AKHIR SKRIPSI PRODI KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI PROGRAM SARJANA T...PANDUAN TUGAS AKHIR SKRIPSI PRODI KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI PROGRAM SARJANA T...
PANDUAN TUGAS AKHIR SKRIPSI PRODI KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI PROGRAM SARJANA T...
 
penyuluhan terkait kanker payudara oleh mahasiswa k3s
penyuluhan terkait kanker payudara oleh mahasiswa k3spenyuluhan terkait kanker payudara oleh mahasiswa k3s
penyuluhan terkait kanker payudara oleh mahasiswa k3s
 
Toksikologi obat dan macam-macam obat yang toksik dan berbahaya.ppt
Toksikologi obat dan macam-macam obat yang toksik dan berbahaya.pptToksikologi obat dan macam-macam obat yang toksik dan berbahaya.ppt
Toksikologi obat dan macam-macam obat yang toksik dan berbahaya.ppt
 
PPT KONTRASEPSI KB HORMONAL DAN NON HORMONAL
PPT KONTRASEPSI KB HORMONAL DAN NON HORMONALPPT KONTRASEPSI KB HORMONAL DAN NON HORMONAL
PPT KONTRASEPSI KB HORMONAL DAN NON HORMONAL
 
PERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.ppt
PERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.pptPERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.ppt
PERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.ppt
 
materi tentang sistem imun tubuh manusia
materi tentang sistem  imun tubuh manusiamateri tentang sistem  imun tubuh manusia
materi tentang sistem imun tubuh manusia
 
Laporan Kasus - Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut.pptx
Laporan Kasus - Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut.pptxLaporan Kasus - Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut.pptx
Laporan Kasus - Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut.pptx
 
Pelajaran Distosia Bahu pada persalinann
Pelajaran Distosia Bahu pada persalinannPelajaran Distosia Bahu pada persalinann
Pelajaran Distosia Bahu pada persalinann
 
anatomi fisiologi sistem penginderaan.ppt
anatomi fisiologi sistem penginderaan.pptanatomi fisiologi sistem penginderaan.ppt
anatomi fisiologi sistem penginderaan.ppt
 
456720224-1-Antenatal Care-Terpadu-10-T-ppt.ppt
456720224-1-Antenatal Care-Terpadu-10-T-ppt.ppt456720224-1-Antenatal Care-Terpadu-10-T-ppt.ppt
456720224-1-Antenatal Care-Terpadu-10-T-ppt.ppt
 

Nutrisi Bedah

  • 1. Buku Ajar utrisi Bedah (Disorders of Nutrition and Metabolism In Clinical Surgery: Understanding and Management) Graham L. Hill Foreword by J.e. Goligher Churchill Livingstone Farmedia
  • 2. Buku Ajar Nutrisi Bedah (Disorders of Nutrition and Metabolism In Clini~al. Surgery: Understanding and Management) Graham L. Hill MD ChM FRACS FRCS FACS Professor of Surgery, University ofAuckland, New Zealand Foreword by J.C. GoligherChM(edin) FRCS (Edin & Eng) HonDSc(leeds) HonMD(Mult) HonFRCS(I) HonFRACS HonFACS Emeritus Professor ofSurgery, University of Leeds; Consulting Surgeon, St Mark's Hospital for Diseases ofthe Rectum and Colon, London Alih Bahasa: dr Iyan Darmawan Editor: dr Benny Philippi, SpBD(K)D(K) T FARMEDIA
  • 3. Bab 1. Memahami Perawatan Metabolik    PENDAHULUAN    Banyak ahli bedah merasa bahwa metabolisme pasien bedah sebagai topik yang rumit dan sukar dipahami. Memang beberapa buku ajar dan sebagian pakar menyajikan prinsip-prinsip metabolism dengan terlalu rinci. Namun demikian ada sejumlah konsep dasar yang perlu diketahui dokter bedah untuk bisa mengelola banyak permasalahan metabolisme.  Dalam bab ini, kami akan memberikan konsep-konsep dasar tersebut. Tinjauan umum tentang komposisi kimia tubuh akan diberikan, termasuk respons tubuh terhadap starvasi akan dibandingkan dengan respons metabolik terpadu terhadap trauma dan sepsis berat. Ini merupakan landasan pengetahuan untuk memahami perawatan metabolik dengan mudah.  ================================================================================  BAGIAN I  KOMPOSISI KIMIA TUBUH  Gambar 1.1. memperlihatkan komposisi kimia tubuh dari pria normal berusia 40 tahun.  LEMAK TUBUH  Bisa dilihat bahwa pria normal berusia 40 tahun terdiri atas 15 kg lemak. Sebagian besar,kira-kira 12 kg, merupakan lemak simpanan, yaitu lemak di subkutan, intermuskular, intraabdomen dan intratorakal. Sisanya 3 kg disebut lemak esensial, yakni lipid di sumsum tulang dan lipid di susunan saraf pusat dan organ-organ lain.     Lemak simpanan adalah dalam bentuk trigliserida yang secara kimiawi dan fisika mirip minyak zaitun. Disimpan terutama dalam sel-sel khusus disebut adiposit, lemak ini tidak disertai air. Bila dibutuhkan sebagai bahan bakar untuk jantung, otot rangka, hati atau ginjal, lemak dihidrolisis menjadi tiga asam lemak dan gliserol (suatu karbohidrat). Berikatan erat dengan albumin, asam-asam lemak ini diangkut ke organ-organ tersebut di mana pembakarannya menghasilkan 9,4 kcal untuk setiap asam lemak yang dibakar.  MASSA TUBUH NON-LEMAK  Gambar 1.1 memperlihatkan bahwa massa tubuh non-lemak terdiri atas air, glikogen, protein dan mineral.  Air tubuh  Dari Gambar 1.1 bisa dilihat bahwa air merupakan komponen terbesar dari tubuh. Secara klinis, ini penting karena berarti setiap penambahan atau penurunan berat badan dalam waktu singkat disebabkan terutama oleh perubahan kandungan air tubuh. Hidrasi dari massa tubuh non-lemak bersifat konstan. Pada manusia dan beberapa hewan yang diukur, 73% dari massa tubuh non-lemak berupa air. Kita akan lihat kemudian bahwa hampir semua penyakit bedah selalu diikuti ekspansi air dari massa non-lemak. Bahkan pada pasien dengan kondisi khusus, koefisien hidrasi bisa mencapai 80% atau lebih. 
  • 4. Karbohidrat  Simpanan karbohidrat dalam tubuh sangat sedikit (600-700 gr). Karbohidrat disimpan sebagai glikogen; 500 gr dalam otot dan 200 gr dalam hati. Glikogen terbentuk dari molekul-molekul glukosa dengan rantai cabang besar yang membentuk gel bersama-sama dengan air yang kaya kalium di antara rantai-rantai tersebut. Ketika sel-sel membentuk glikogen 2-4 gr air disimpan untuk setiap gram glikogen. Simpanan karbohidrat yang sedikit ini tidak penting sebagai cadangan energi tetapi menjadi sangat berarti pada keadaan-keadaan stres dimana glikogenolisis menghasilkan glukosa yang diperlukan segera. Replesi glikogen tubuh menghasilkan peningkatan kalium total tubuh dan air total tubuh.  Protein Tubuh  Tidak semua dari 12 atau 13 kg protein tubuh tersedia untuk konversi metabolik (metabolic interchange). Kira-kira 45% merupakan penyangga tubuh – yakni protein struktural dari kolagen, fasia, ligamen, dermis dan dinding pembuluh darah. Bila jaringan tubuh terkuras pada penyakit-penyakit katabolik, struktur- struktur ini tetap utuh sedangkan jaringan seluler dioksidasi. Sisanya 55% terdapat di dalam sel atau sirkulasi. Inilah yang merupakan mesin dari tubuh. Masing-masing molekul protein memiliki fungsi penting: sebagai enzim, unit kontraktil atau unit struktural, atau merupakan protein fungsional. Yang penting, jika protein seluler terpakai sebagai bahan bakar, misal pada penyakit bedah, akan berakibat hilangnya sebagian fungsi tubuh. Kita akan lihat nanti (Bab 5) bahwa pada saat 20% cadangan protein tubuh telah terbakar, terbukti ada disfungsi fisiologis dari kebanyakan sistem organ tubuh. Bila jumlah protein tubuh normal, setiap kelebihan asupan protein dari luar akan dipecah dan nitrogen diekskresi sebagai urea, dan rangka karbon dari asam amino didaur ulang sebagai energi atau disimpan sebagai lemak.  Mineral  Berdasarkan berat, kebanyakan mineral tubuh terdapat dalam rangka. Walaupun sisanya hanya seberat kurang dari setengah kilogram, mineral ini penting dalam menentukan distribusi air. Kita akan bahas fisiologi ini lebih rinci pada Bab 4  ================================================================================  BAGIAN II  KEBUTUHAN ENERGI  KEADAAN ISTIRAHAT  Dari semua organ tubuh, otak memiliki kebutuhan energi yang paling konstan. Baik dalam keadaan tidur, ikut ujian atau menonton televisi kebutuhannya konstan. Otak menggunakan kira-kira 20% dari REE (resting energy expenditure). Hati bersama visera menggunakan 30% REE, jantung 5%, ginjal 10% dan selebihnya digunakan oleh otot. Pada olah raga, otot bisa mengkonsumsi 90% dari seluruh pemakaian energi total (TEE = total energy expenditure).  KEADAAN STRES  Pada keadaan stress, katekolamin dan glukagon meningkat, dan akibatnya glikogen hati dan otot dipecah (glikogenolisis) sehingga glukosa dilepas ke sirkulasi. Glikogen merupakan sumber glukosa yang terbatas, sehingga tidak lama setelah itu produksi glukosa (glukoneogenesis) di hati meningkat juga oleh perangsangan katekolamin dan glukagon. Bahan mentah untuk glukoneogenesis ini terutama dari asam amino otot, dua di antaranya yang terpenting adalah alanin dan glutamin. Energi untuk proses pembuatan ini bukan berasal dari glukosa melainkan dari pemecahan lemak tubuh.  Perubahan-perubahan dasar yang terlihat pada stress fisiologis ini juga dijumpai pada kondisi bedah di mana pada trauma dan sepsis kebutuhan glukosa yang meningkat dipenuhi dari asam-asam amino yang dihasilkan dari pemecahan protein otot. Kita akan lihat bagaimana pada starvasi yang berkepanjangan, tubuh melakukan adaptasi dengan menghemat protein otot. Namun pada penyakit bedah serius, proses adaptasi ini tidak efektif, dan terjadi kanibalisasi otot untuk memasok alanin dan glutamin yang merupakan bahan mentah untuk produksi glukosa. Glukosa yang meningkat ini dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan energi dari otak, luka dan tempat-tempat yang terinfeksi atau cedera.  ================================================================================  BAGIAN III 
  • 5. INTERKONVERSI METABOLIK PADA STARVASI PROGRESIF  SUBYEK NORMAL SEGERA SETELAH MAKAN  Glukosa dari karbohidrat yang dikonsumsi dalam makanan diserap dan prioritas utamanya adalah untuk memberi bahan bakar ke otak yang memerlukan 100-125 gr glukosa per hari. Prioritas berikutnya adalah mengisi kembali glikogen hati, dan kelebihan glukosa akan disimpan sebagai lemak.   Protein makanan dipecah menjadi asam amino yang setelah diserap akan mengisi hati dan otot dan menggantikan protein yang dipecah sejak jam makan sebelumya. Asam amino yang tidak dibutuhkan untuk sintesis protein akan dilepas dari gugus aminonya untuk membentuk urea dan residu karbohidrat yang tinggal digunakan hati untuk energi atau sintesis lemak atau untuk pembentukan glukosa baru. Tiga asam amino (leusin, isoleusin dan valin) yang dikenal sebagai asam amino rantai cabang ( BCAA = branched-chain amino acids) dimetabolisme di perifer oleh sel adiposit untuk menghasilkan energi. Itulah sebabnya, telah diduga bahwa pemberian larutan asam amino yang diperkaya dengan BCAA mungkin membantu menghemat protein pada penyakit bedah serius, sebagaimana telah kita ketahui otot dipecah untuk memasok alanin dan glutamin sebagai substrat untuk produksi glukosa.  Lemak dari makanan diserap sebagai trigliserida dan bila bergabung dengan lipoprotein akan membentuk kilomikron. Pada keadaan puasa, ini digunakan otot sebagai bahan bakar walaupun setelah makan kilomikron dipindahkan oleh jaringan lemak untuk diserap ke dalam butir lemak dan disimpan sebagai cadangan energi.  SUBYEK NORMAL SETELAH PUASA SEMALAM  Setelah puasa semalam, ketika semua makanan dari makan sebelumnya diserap, otak mengkonsumsi sebagian besar glukosa walaupun otot rangka mengambil kira-kira sepertiga energinya dari glukosa. Asam lemak bebas mulai dimobilisasi dari jaringan adiposa untuk melengkapi kebutuhan bahan bakar otot (Layzer 1991). Produksi glukosa hati dipertahankan oleh glikogenolisis serta glukoneogenesis. Kadar insulin rendah dan ini mencetuskan pemecahan protein dengan pelepasan asam amino, terutama alanin dan glutamin. Ini merupakan substrat optimal untuk produksi glukosa baru dalam hati dan ginjal.  STARVASI DINI  Gambar 1.2 memperlihatkan metabolisme bahan bakar pada seorang normal yang tidak makan selama 1-2 hari. Sekarang otak tergantung hanya pada glukosa yang baru dihasilkan dari hati. Menjelang hari kedua starvasi, kira-kira 75 gr protein otot dipecah setiap hari. Ini tidak cukup untuk memasok semua substrat untuk produksi glukosa yang diperlukan hati. Sebagai kompensasi, gliserol (dari lemak ) dan laktat (dari utilisasi glukosa di jaringan hemopoietik) digunakan sebagai bahan bakar. Kembalinya laktat ke hati untuk didaur ulang menjadi glukosa disebut siklus Cori. Prekursor-prekursor glukoneogenik yang berasal dari perifer ini didorong untuk proses glukoneogenesis dengan efisiensi mendekati 100%. Hati sendiri mengambil energi langsung dari asam lemak. Gambar 1.2 juga memperlihatkan bahwa kira-kira 160 gr trigliserida dipecah setiap hari untuk memasok energi. 
  • 6.     STARVASI LANJUT  Gambar 1.3 memperlihatkan gambar metabolisme substrat pada puasa berkepanjangan. Saat ini mekanisme adaptasi telah terjadi dengan tujuan menghindari pemecahan lebih lanjut dari protein otot. Kadar asetoasetat dan beta-hidroksibutirat (benda keton) dalam darah yang mulai terbentuk pada minggu pertama starvasi, sekarang sudah cukup tinggi untuk dikonsumsi otak sebagai bahan bakar utama. Sejalan dengan itu, oksidasi glukosa oleh otak berkurang. Dengan semakin berkurangnya kebutuhan otak terhadap
  • 7. glukosa, glukoneogenesis hati lebih sedikit diperlukan dan proteolisis otot jauh berkurang. Oleh karena itu, hanya 20 gr protein otot dikonsumsi, dan nitrogen urin yang pada orang normal berkisar antara 11-15 gram per hari, pada starvasi lanjut ini menurun menjadi 4-5 gr per hari. Ini disebabkan oleh menurunnya urea urin secara mencolok (Gambar 1.4). Adaptasi ini memungkinkan otot tubuh banyak dihemat, dan starvasi bisa berlanjut selama ada trigliserida untuk menghasilkan asam lemak bebas dan gliserol.   
  • 8.   RESPONS ENDOKRIN TERHADAP PUASA  Gambar 1.5 melukiskan respons hormonal terhadap puasa. Ada penurunan kadar insulin dan peningkatan glukagon serta penurunan triyodotironin. Tanda primer yang dijumpai pada starvasi dini adalah kadar insulin rendah dengan adanya peninggian kadar glukagon akan mencetuskan tidak saja glikogenolisis melainkan juga glukoneogenesis. Kadar insulin yang rendah mendorong proteolisis dalam otot rangka dengan pelepasan asam amino. Saat hati memasuki tahap glukoneogenesis, dengan adanya kadar insulin yang rendah dan dengan kehadiran glukagon, glukokortikoid dan hormon tiroid, hati mulai menghasilkan benda keton. Puasa mengurangi konversi tiroksin menjadi triyodotironin, sehingga menghasilkan suatu bentuk hipometabolisme ringan. Ini disusul dengan penurunan penggunaan energi karena berkurangnya konsumsi oksigen. Juga ada sedikit penurunan kadar katekolamin.  ================================================================================ BAGIAN IV  INTERKONVERSI METABOLIK PADA TRAUMA  Trauma menghasilkan respons neuroendokrin yang mengakibatkan perubahan-perubahan kadar hormon yang sangat berbeda dari yang diamati pada starvasi berkepanjangan. Kortisol, glukagon dan katekolamin, epinefrin dan norepinefrin meningkat sebanding dengan derajat trauma. Hormon-hormon ini menyebabkan proteolisis otot (kortisol), glikogenolisis dan peningkatan glukoneogenesis (kortisol dan glukagon), serta oksidasi lemak (epinefrin, kortisol dan hormon tiroid). Kerja insulin diantagonisir oleh meningkatnya kadar hormon pertumbuhan dan epinefrin. Hasil bersih terhadap metabolisme bahan bakar terlihat pada Gambar 1.6.  
  • 9. Perubahan mendasar adalah kebutuhan jaringan luka atau trauma terhadap glukosa dan hilangnya mekanisme adaptasi, yakni penurunan proteolisis sebagaimana terlihat pada starvasi yang berkepanjangan.Proteolisis otot memproduksi asam-asam amino rantai cabang yang dikonversi menjadi alanin dan glutamin sebagai prekursor untuk glukoneogenesis di hati. Glukosa merupakan bahan bakar yang digunakan oleh jaringan luka dan hemopoietik. Laktat dari jaringan luka dan gliserol dari oksidasi lemak juga menjadi substrat untuk glukosa baru. Dalam plasma, ada peningkatan mencolok dari asam lemak bebas, gliserol, glukosa, laktat, dan asam-asam amino khususnya alanin dan glutamin. Alanin adalah prekursor utama untuk glukoneogenesis. Glutamin adalah bahan bakar untuk saluran cerna (usus), ginjal dan sel-sel system imun (Gambar 1.7)  Respons neuroendokrin terhadap trauma akan dibahas lebih rinci pada Bab 4, tetapi patut diketahui bahwa pemutusan lintasan saraf ke otak tengah bisa menghapus respons ini sama sekali (Hume & Egdahl 1959) Jika injuri terbatas, seperti pada pembedahan elektif, respons bersifat ringan dan sementara. Pada trauma kecelakaan, respons neuroendokrin demikian mencolok dan efek metaboliknya lebih dahsyat. Bila trauma sangan parah, apalagi jika terinfeksi, bisa diikuti perubahan hemodinamik yang lebih dalam dan hipermetabolisme serta proteolisis hebat. Respons neuroendokrin mungkin menjadi penyebab dari respons hipermetabolisme namun bukan merupakan satu-satunya yang bertanggung jawab. Pada bagian berikut, kita akan lihat bagaimana faktor-faktor regulasi memainkan peran kunci dalam mencetuskan dan menyebarkan respons metabolik pada trauma berat dan sepsis serius.  ================================================================================ BAGIAN V  INTERKONVERSI METABOLIK PADA SEPSIS SERIUS  Pasien dengan sepsis serius memiliki dimensi hipermetabolisme, proteolisis dan ekspansi cairan ekstraseluler yang tidak bisa dijelaskan oleh respons neuroendokrin sebagaimana diamati setelah bedah mayor atau trauma moderat.  Walaupun pemberian infus hormon-hormon katabolik seperti kortisol, glukagon dan katekolamin bisa menghasilkan banyak perubahan klinis dan metabolik pada pasien sepsis, hormon-hormon ini tidak bisa menirukan proteolisis massif yang terlihat pada pasien-pasien sepsis. Sampai 250 gr protein otot dipecah setiap hari pada pasien sepsis. Kini disadari bahwa peptide regulatory factors, khususnya sitokin yang dihasilkan dari sel-sel radang pada lokasi infeksi ini sendiri merupakan penghubung antara jaringan luka atau radang dengan respons metabolik dann imunologik yang terjadi (Fong & Lowry 1990). Interleukin-interleukin 1,2 dan 6 (IL-1, IL-2, IL-6), tumor necrosis factor (TNF) dan interferon γ memainkan peran penting. Sedikitnya dua dari sitokin-sitokin ini, TNF dan IL-2 merupakan mediator pasca inflamasi yang bisa mencetuskan dan menyebarkan respons metabolik pada sepsis serius. Endotoksin merupakan stimulus kuat untuk produksi TNF. Banyak penelitian memberi kesan bahwa sitokin memperkuat pembebasan sitokin-sitokin dan mediator lain selain merangsang hormon-hormon klasik, katekolamin, glukagon, dan kortisol (Michie & Wilmore 1990). Efek-efek sitokin sirkulasi bersifat kuat (Welbourn dkk 1990). Sebagai contoh, TNF telah diperlihatkan menimbulkan hipotensi, syok dan peningkatan permeabilitas kapiler, demam dan efek hebat terhadap sistem imun. 
  • 10.     Efek-efek metabolik yang ditimbulkannya meliputi proteolisis otot, peningkatan ambilan asam amino oleh hati, produksi protein fase akut dan peningkatan lipolisis. IL-1 telah disebut sebagai faktor penginduksi proteolisis dan juga merupakan penginduksi sintesis protein fase akut. IL-2 dan IL-6 memilki fungsi dominan sebagai stimulasi sistem imun, walaupun keduanya memiliki efek metabolik.  Hasil bersih dari pelepasan sitokin ke dalam sirkulasi adalah menginduksi hipermetabolisme dengan peningkatan konsumsi oksigen tubuh, proteolisis massif dan memperhebat perubahan metabolisme bahan bakar pada trauma. Gambar 1.8 memperlihatkan perubahan-perubahan dalam pertukaran substrat antar organ yang terjadi; pada sepsis, sirkulasi hiperdinamiklah yang memungkinkan
  • 11. perubahan-perubahan ini terjadi. Sel-sel radang pada luka membutuhkan glukosa (mungkin juga glutamine) sebagai bahan bakar primer. Di sini glukosa membebaskan energinya melalui lintasan glikolisis dengan CO2, air dan laktat sebagai produk akhir. Laktat yang dihasilkan ini diangkut kembali ke hati untuk didaur ulang menjadi glukosa. Keseluruhan proses glukoneogenesis membutuhkan energi yang dipasok oleh asam lemak bebas. Sebagian besar glukosa yang dibutuhkan untuk menyembuhkan luka atau jaringan radang diproduksi hati tidak hanya dari laktat melainkan juga alanin yang dilepaskan otot, dan beberapa asam amino lain dalam jumlah lebih sedikit. Otot merupakan pemasok utama dari asam amino. Asam amino yang terbanyak dilepas dari otot adalah alanin dan glutamin. Glutamin merupakan bahan bakar utama untuk enterosit (sel usus). Glutamin menghasilkan amonia dan produk-produk lain seperti alanin yang diangkut kembali ke hati. Glutamin juga membantu sebagai dapar dari kelebihan asam di ginjal dengan membentuk amonia (lihat Bab 19)    Pada Bab 19 kita akan mempelajari tentang status hemodinamik yang terjadi pada pasien bedah kritis. Yang penting disimak adalah jaringan radang membutuhkan glukosa lebih banyak dan substrat untuk glukoneogenesis ini adalah asam amino yang berasal dari pemecahan otot. Untuk mendukung interkonversi ini yang perlu untuk memenuhi kebutuhan glukosa yang meningkat, kebutuhan seluruh tubuh terhadap energi juga bertambah; lebih banyak oksigen dikonsumsi dan laju metabolisme meninggi. Untuk memungkinkan interkonversi ini terjadi peningkatan curah jantung dan sirkulasi menjadi hiperdinamik.  Pelajaran praktis yang bisa dipetik adalah sampai fokus septik dikendalikan, sitokin akan terus diproduksi dan hipermetabolisme plus autokanibalisme akan berlanjut tanpa mereda. Sudah lama ahli bedah mengetahui efek dramatis dan menguntungkan dari drainase pus, membuang jaringan nekrotik dan mencegah kontaminasi. Kesadaran bahwa peptide regulatory factors dilepaskan dari sel-sel radang di fokus septik telah mengajarkan kita mengapa efek ini begitu dramatis. Solusi terhadap masalah hipermetabolisme yang berlanjut ini sering berada di tangan dokter bedah sendiri dan tidak bisa ditegaska terlalu banyak sebelum produksi sitokin dari sel radang dihentikan. Teknologi rekombinan, dengan memproduksi antibodi monoklonal terhadap endotoksin dan berbagai sitokin telah membuka era baru dalam penanganan sepsis serius.  ================================================================================  BAGIAN VI  DAMPAK DARI PERKEMBANGAN MUTAKHIR DI BIDANG BIOTEKNOLOGI DAN PENATALAKSANAAN SEPSIS SERIUS 
  • 12. Banyak respons sistemik terhadap bakteremia Gram negative bisa dipicu oleh endotoksin. Endotoksin adalah komponen lipopolisakarida dari dinding sel bakteri. Suatu antibody monoklonal manusia yang berikatan dengan komponen endotoksin-lipid A telah diproduksi dan pemberiannya telah diperlihatkan mengurangi sampai separuh mortalitas pasien-pasien dengan sindroma sepsis (Ziegler 1991). Antibodi monoklonal lain telah dikembangkan untuk tumor necrosis factor dan komponen-komponen reaksi radang lainnya. Imunoterapi memiliki potensial untuk mempengaruhi prognosis penyakit bedah kritis seperti halnya antibiotika di masa lampau (Dunn 1988, shimamoto dkk 1988, Khazaeli dkk 1990).  ================================================================================ BAGIAN VII  ISTILAH-ISTILAH METABOLIK-BEBERAPA DEFINISI DAN PENJELASAN  IMBANG NITROGEN  Diet orang Barat rata-rata mengandung sekitar 80 gr protein. Karena 16% dari protein ini adalah nitrogen (yakni ada 1 gr N dalam 6,25 gr protein), ini berarti kira-kira 13 gr nitrogen dikonsumsi setiap hari. Seseorang normal yang beratnya konstan akan mengekskresi nitrogen dalam jumlah sama seperti yang dimakannya. Orang ini dikatakan memiliki imbang nitrogen nol. Dari 13 gr asupan per hari, 11 gr nitrogen diekskresikan dalam urin (=70% dalam bentuk urea) dan sisanya dalam tinja (1 gr) dan dari lepasnya korneum kulit (1 gr).  Imbang nitrogen bisa memberikan gambaran umum apakah protein total tubuh bertambah (anabolisme) atau dipecah (katabolisme). Bila imbang nitrogen positif, berarti lebih banyak yang dikonsumsi daripada yang diekskresi dan protein tubuh disintesis; bila imbang nitrogen negative, ada katabolisme protein tubuh.  Data imbang nitrogen sering diperlihatkan dalam metabolic chart. Konvensi yang biasanya digunakan adalah dari Moore dan Ball (1952).  PERGANTIAN PROTEIN (PROTEIN TURNOVER)  Protein dan juga proses-proses lain dalam metabolisme berada dalam keadaan dinamis, yakni secara konstan dipecah dan disintesis. Protein dianggap berada dalam suatu kompartemen atau pool, dan volume total dari pool dipengaruhi oleh laju penambahan atau pengambilan dari pool tersebut. Laju ini bisa ditetapkan dengan menginfus sejumlah kecil protein yang diberi label isotop (biasanya asam amino). Pada steady state, tracer akan tampil dalam pool dan seandainya ukuran pool konstan, laju pemunculan protein berlabel sama dengan laju menghilangnya dari pool serta laju pergerakan melalui pool. Proses ini diacu sebagai aliran (flux) atau pergantian (turnover) protein.  SINTESIS PROTEIN DAN KATABOLISME PROTEIN  Protein total tubuh dianggap sebagai pool metabolisme tunggal, di mana lalu lintas protein memiliki dua arah-yakni untuk sintesis protein dan untuk katabolisme (pemecahan) protein. Jika sintesis melampaui pemecahan, ada penambahan bersih dari protein total tubuh (net protein synthesis), dan jika pemecahan melebihi sintesis maka akan ada kehilangan bersih dari protein total tubuh (net protein catabolism).  ASAM AMINO  Asam amino esensial  Isoleusin, leusin, valin, lisin, metionin, fenilalanin, treonin dan triptofan merupakan komponen diet esensial. Kekurangan salah satu unsur ini dalam diet akan menyebakan ketidakmampuan meyimpan protein. Oleh karena itu, subyek akan mengalami imbang nitrogen negative. Pada dewasa paling sedikit 20% dari protein makanan mereka harus berbentuk asam amino esensial.   Asam amino rantai cabang (BCAA= branched-chain amino acids)  Tiga dari asam amino esensial, isoleusin, leusin dan valin disebut BCAA. Sementara kebanyakan asam amino diambil dan dimetabolisme oleh hati, asam amino rantai cabang diutilisasi oleh otot rangka. Di otot, BCAA memasok nitrogen dan glukosa memasok karbon untuk pembentukan alanin dan glutamin. Alanin merupakan prekursor untuk glukoneogenesis di hati. Glutamin diutilisasi oleh ginjal, usus dan sel-sel sistem imun.  Asam amino aromatis 
  • 13. Fenilalanin, tirosin dan triptofan merupakan asam amino aromatis, yang metabolismenya diatur dalam hati. Pada gagal hati, kadar plasma dari asam amino aromatis meninggi, lebih banyak masuk ke dalam otak. Sintesis serotonin otak menjadi tidak terkendali.  Pool asam amino  Ini adalah pool asam amino dalam tubuh yang terdapat di plasma, cairan interstisial, dan air sel dan berada dalam keseimbangan dinamis dengan pool protein total tubuh. Pool ini berisi asam amino sampai kira-kira 100 gr, dan terutama terdiri atas asam amino non-esensial.  HORMON-HORMON KONTRA-REGULASI  Massa sel tubuh merupakan jumlah total dari sel-sel tubuh. Oleh karena itu massa sel tubuh mewakili bagian tubuh di mana semua pertukaran energi terjadi, di mana oksigen dikonsumsi dan CO2 diproduksi. Massa sel tubuh ditaksir dengan mengalikan kalium tubuh total dengan suatu faktor yang bisa bervariasi menurut status penyakit pasien. Massa non-lemak (Fat-free mass) adalah massa tubuh yang tinggal setelah lemak yang bisa diekstraksi eter diangkat. Walaupun sering disebut lean body mass, sebetulnya berbeda. Lean body mass telah didefinisikan sebagai bagian tubuh yang sama sekali tanpa lemak, kecuali mengandung sedikit lipid esensial, mungkin 2%. Ada lagi yang mendefinisikan secara salah bahwa lean body mass adalah selisih antara massa tubuh dan jaringan adiposa.  PERUBAHAN BERAT BADAN  Untuk memahami metabolisme bedah secara benar, berat badan harus dipikirkan menurut komponen- komponennya, antara lain air tubuh total, protein total tubuh, mineral total dan glikogen total. Akan membantu jika air tubuh dipilah lagi menjadi plasma, air interstisial, dan air intraseluler, protein tubuh dipilah menjadi protein otot, protein viseral dan protein struktural. Dari Gambar 1.1 bisa dilihat bahwa sebagian besar berat badan adalah air, sehingga peningkatan berat badan secara bermakna dalam waktu singkat (kurang dari 48 jam) sebagian besar disebabkan karena penambahan air tubuh. Sintesis jaringan baru (lean tissue), kira-kira seperlimanya protein dan empat perlimanya air berlangsung lambat, sehingga baru bisa terlihat setelah seminggu atau lebih. Sintesis jaringan non-lemak jarang lebih cepat dari 150 gr per hari. Lemak dan protein bisa hilang secepat 200-300 gr per hari, namun kehilangan air yang cepat dari fistula enterokutan bisa menyebabkan kehilangan berat badan sepuluh kali lebih cepat. Jadi, penurunan berat badan dalam waktu singkat umumnya menandakan kehilangan garam dan air. Trauma jaringan yang terus berlanjut dan parah, misal yang menyertai sepsis, bisa menghilangkan kira-kira 500-600 gr per hari. Penurunan lebih cepat dari ini disebabkan karena kehilangan air.  PEMINDAHAN ENERGI  Karena urutan strukturnya yang memiliki derajat tinggi, molekul kompleks yang dikandung dalam lemak, protein dan karbohidrat mengandung banyak energi kimia, dan selama katabolisme energi ini dibebaskan dan disimpan sebagai energi kimia yang dikandung dalam struktur ikatan kovalen dari gugus fosfat terminal dalam molekul ATP. ATP yang terbentuk akan berdifusi bebas ke tempat-tempat dalam sel di mana fungsi transport, mekanik dan kerja biosintesis dibutuhkan. Hidrolisis ATP atau senyawa fosfat berenergi tinggi lain membebaskan energi yang bisa ditangkap oleh reaksi-reaksi lain yang membutuhkan energi untuk bisa berlangsung. Jadi ATP menyediakan energi untuk anabolisme lemak dan protein, kontraksi otot dan transport membran. ATP dibentuk dari oksidasi nutrien seperti karbohidrat dan lemak, yang pada pembakaran lengkap menghasilkan CO2 dan air.  KESEIMBANGAN ENERGI  Hukum pertama dalam hemodinamik menyatakan bahwa energi tak bisa diciptakan ataupun dihancurkan. Oleh karena itu jumlah total energi yang diambil oleh tubuh (oral atau intravena) harus diperhitungkan sesuai dengan energi yang dikeluarkan tubuh menurut persamaan:  Input energi = output energi Energi kimia dari makanan = energi panas + energi kerja  ± energi kimia yang disimpan  Jika asupan energi dari makanan lebih besar dari energi yang dikeluarkan sebagai panas dan kerja, tubuh akan menyimpan energi dan berat badan pasien bertambah sebagai lemak. Di lain pihak, jika kandungan
  • 14. kalori dari makanan yang dimakan lebih kecil daripada output, akan ada imbang energi negatif, dan cadangan protein dan lemak akan digunakan, dan berat badan akan menurun. Penurunan berat badan yang terjadi setelah operasi mayor hampir seluruhnya disebabkan oleh kurangnya asupan energi, karena sangat sedikit peningkatan output energi setelah operasi yang tanpa komplikasi (Bab 2).  Walaupun hukum fisika ini harus berlaku pada pasien bedah, skala waktu untuk pengaturan antara asupan energi dan pengeluaran energi adalah dalam mingguan bukan beberapa hari , dan ada sedikit hubungan langsung antara asupan makanan dan output energi selama satu hari. Kebutuhan energi pasien bedah di rumah sakit dinilai salah berdasarkan selera makan dan telah ditunjukkan bahwa pasien-pasien yang dirawat di rumah sakit setelah operasi mayor jarang makan lebih banyak dibanding sebelum masuk rumah sakit, sekalipun output energi mereka meningkat. Akan tetapi, benar bahwa asupan energi meningkat tajam pada saat pasien kembali di rumah dan pada saat inilah imbang energi positif dicapai dan berat serta komposisi tubuh kembali normal.  NILAI ENERGI  Energi disimpan dalam tiga substrat dalam tubuh: protein, lemak dan karbohidrat (glikogen). Nilai energi yang bisa dimetabolisme dari ketiga substrat ini telah ditetapkan. Pada pembakaran protein menghasilkan 4,7 kcal/gr, lemak menghasilkan 9,44 kcal/gr dan glikogen 4.18 kcal/gr (Livesay & Elia 1988). Dalam buku ini dan dalam praktek, umumnya nilai ini dibulatkan menjadi 4,9 dan 4 masing-masingnya. Protein dianggap 4 kcal/gr karena komposisi protein bervariasi. Dengan berpatokan pada nilai-nilai ini dan data- data dari Gambar 1.1, nilai energi dari berbagai kompartemen tubuh bisa dihitung (Tabel 1.1)  RESPIRATORY QUOTIENT (RQ)  Pengukuran konsumsi oksigen dan produksi karbon dioksida bisa memberikan gagasan kepada dokter bedah bahan bakar mana yang dikonsumsi pasien. Oksidasi karbohidrat dan lemak menjadi air dan CO2 dalam tubuh adalah lengkap.    Ratio CO2/O2 disebut RQ.  Untuk karbohidrat RQ adalah 1, untuk lemak campuran RQ 0.7. RQ untuk protein tidak jelas karena komposisi protein bervariasi, dan oksidasi sempurna tidak selalu terjadi. Biasanya RQ untuk protein dianggap 0,8. Proses lipogenesis di mana asam lemak berasal dari glukosa memiliki RQ lebih dari 1.  LEMAK TIDAK BISA DIKONVERSI MENJADI KARBOHIDRAT  Hubungan timbal balik dari ketiga sumber energi dalam tubuh begitu kompleks, namun pokok klinis penting adalah karbohidrat mudah diubah menjadi lemak dan bisa diaminasi menjadi protein, tetapi tidak ada konversi lemak menjadi karbohidrat dan sedikit konversi menjadi protein.   
  • 15. 2. Manajemen Metabolik Pasien Bedah Mayor PENDAHULUAN Sudah lama para ahli bedah tertarik mengetahui respons metabolik dini pada pasien bedah mayor, khususnya selama mereka masih di rumah sakit, tetapi baru belakangan ini perubahan-perubahan jangka panjang dalam metabolisme, komposisi tubuh, fungsi fisiologis dan psikologis dikaji selama berminggu- minggu dan berbulan-bulan pasca operasi. Dalam bab ini kita akan melihat lebih dekat perubahan- perubahan metabolik yang ditimbulkan prosedur pembedahan dan bagaimana perubahan-perubahan ini menetap sampai berminggu-minggu dan pada sebagian kasus sampai berbulan-bulan sebelum pasien sembuh sempurna. Berdasarkan ini kami akan menyusun program manajemen untuk asuhan rawat metabolik terhadap pasien-pasien yang menjalani pembedahan mayor elektif. ================================================================================= BAGIAN 1 RESPONS METABOLIK TERHADAP PEMBEDAHAN Dr David Cuthbertson (1932) memilah respons metabolik terhadap trauma (injury) menjadi ebb phase yang ditandai oleh hipovolemia disusul oleh respons simpatis dan adrenal; dan fase berikutnya flow phase di mana pasien mengalami kehilangan protein dalam kecepatan berlebihan. Durasi dari fase flow tergantung pada keparahan trauma, dan secara berangsur-angsur fase flow ini digantikan oleh suatu fase anabolik konvalesensi. Pada fase anabolik ini cadangan protein dan energi yang hilang pada periode dini pasca trauma diisi kembali (Tabel 2.1). EBB PHASE Ebb phase disebabkan terutama oleh hipovolemia dan berlangsung sampai volume darah sirkulasi pulih. Pasien terlihat pucat, lembab dan takikardia. Hume dan Egdahl (1959) menunjukkan pentingnya otak dalam respons endokrin dini terhadap trauma. Mereka mengisolasi satu tungkai seekor hewan yang telah dibius, dan menyisakan hanya nervus sciaticus dan pembuluh femoralis sebagai saraf dan pembuluh darah yang tinggal. Ketika mereka mengukur kadar kortikosteroid dalam aliran darah vena setelah tungkai yang diisolasi dipaparkan ke luka bakar, mereka mendapatkan kadar kortikosteroid tersebut meninggi cepat; namun ketika nervus sciaticus dipotong respons ini tidak terjadi. Berikutnya mereka juga memperlihatkan bahwa respons hormonal dini terhadap trauma tidak terjadi jika system saraf pusat tidak utuh. Dengan demikian, nyeri, hipovolemia, asidosis dan hipoksia memulai sinyal saraf aferen ke otak, yang diolah di hipotalamus. Selanjutnya impus ini menyebabkan meningkatnya aktivitas sistem simpato-adrenal yang diikuti dengan pelepasan adrenocorticotrophic hormone (ACTH) dan growth hormone (GH) dari hipofisis anterior, serta antidiuretic hormone (ADH) dari hipofisis posterior. Kadar kortisol plasma naik sebagai akibat pelepasan ACTH dan sistem renin-angiotensin diaktifkan. Pengaruh-pengaruh vasokonstriktor ini mengurangi aliran darah ginjal, laju filtrasi glomerulus, ekskresi natrium dan produksi urin. Retensi volume
  • 16. berlanjut melewati ebb phase, namun diuresis terjadi dalam 72 jam pertama pada kebanyakan pasien. Kadar insulin plasma bervariasi selama ebb phase, tetapi relatif rendah bila dibandingkan dengan kadar glukosa yang tinggi. Mungkin ini disebabkan penghambatan simpatis terhadap pelepasan insulin dari pankreas dan resistensi insulin akibat induksi glukagon di jaringan tepi. Ebb phase bisa memanjang jika pasien menderita perdarahan pasca bedah, atau jarang terjadi sama sekali jika prosedur pembedahan hanya menghasilkan sedikit kehilangan darah atau kerusakan jaringan. Segera setelah normovolemia, ebb phase digantikan oleh flow phase. FLOW PHASE Flow phase ditandai oleh oksidasi protein otot untuk memasok glukosa sebagai bahan bakar esensial untuk otak dan jaringan dalam proses penyembuhan. Kehilangan protein yang dipacu ini disebabkan oleh meningkatnya proteolisis otot bukan karena berkurangnya sintesis. Dalam bab 1 kita lihat bagaimana pada pasien yang mengalami trauma hebat, misal kecelakaan atau sepsis serius, fase ini disertai dengan peningkatan laju metabolisme walaupun kita ketahui bahwa pada pasien bedah elektif REE hanya sedikit meningkat. Kebutuhan energi pasien selama fase ini dipenuhi terutama oleh oksidasi lemak. Kadar plasma dari hormon-hormon kontra-regulasi menurun selama flow phase, sedangkan kadar insulin meningkat sampai maksimum walaupun laju kehilangan protein tubuh mencapai maksimum pada saat ini. Alasan peninggian kadar insulin plasma tidak dipahami, begitu pula halnya resistensi terhadap efek anabolikya yang lazim. Karena kadar plasma dari katekolamin, glukagon dan kortisol menurun selama flow phase, sukar untuk menyatakan bahwa kehilangan protein yang hebat pada fase ini disebabkan oleh aksi katabolik mereka. Walaupun ada sedikit keraguan bahwa susunan saraf pusat dan respons neuroendokrin terhadap trauma bedah menjelaskan banyak perubahan metabolik yang diamati selama flow phase operasi mayor, hormon-hormon stress ini tidak bertanggung jawab penuh terhadap perubahan-perubahan metabolisme. Kebanyakan penelitian mutakhir berpusat pada peran sitokin yang dilepaskan oleh sel-sel di lokasi luka. Berbagai jenis sel bisa melepaskan sitokin yang memiliki efek sistemik maupun lokal. Interleukin-1, Interleukin-6, tumor necrosis factor (TNF) dan interferon gamma merupakan mediator-mediator penting dari respons metabolik terpadu, tetapi dengan pengecualian Interleukin-6, sitokin-sitokin ini belum ditemukan dalam plasma pasien-pasien pasca bedah (Cruickshank dkk 1990). Pemberian infus TNF menirukan banyak gambaran klinis dan metabolik dari sepsis, seperti demam, hipotensi, anoreksia, hiperglikemia dan imbang nitrogen negative (Tracey dkk 1986, Michie dkk 1988, Flores dkk 1989). Banyak gambaran reaksi endokrin dan metabolik terhadap sepsis, seperti resistensi insulin dan kehilangan protein ditemukan pada pasien-pasien yang mengalami cedera. Yang mengherankan sampai sekarang belum dideteksi TNF pada serum pasien setelah pembedahan mayor. ================================================================================= BAGIAN II ENERGETIKA PERIOPERATIF Selama 2 minggu pasca operasi mayor pasien mengalami defisit energi cukup besar. Hanya separuh dari kebutuhan energi dipenuhi dari dekstrosa intravena dan makanan. Untuk mencapai imbang energi, cadangan lemak, glikogen dan otot dibakar.
  • 17. Pada tahun 1968 Kinney dan rekan-rekan melakukan kajian imbang energi pada 10 pasien bedah mayor. Kajian yang menonjol dan rinci dari asupan energi dan pemakaian energi ini memperlihatkan bahwa resting energy expenditure (REE) yang pada orang sehat adalah sekitar 22 kcal/kg/hari, meningkat hanya sedikit sekali setelah operasi, tetapi selanjutnya jika tidak ada komplikasi akan tetap pada nilai normal (Gambar 2.1).
  • 18. Energi yang dipakai selama aktivitas fisik turun sampai ke tingkat rendah (kira-kira 1 kcal/kg/hari) selama 4 hari pertama pasca bedah dan oleh karena itu selama periode ini, kebutuhan energi total sangat menurun; dari 26 kcal/kg/hari menjadi 22 kcal/kg/hari. Menjelang akhir mingu pertama pasca bedah, activity energy expenditure (AEE) naik dua kali lipat dan pada akhir minggu kedua, total energy expenditure (TEE) mendekati nilai normal (25 kcal/kg/hari), dan pada saat ini pasien sudah cukup makan untuk mendekati imbang energi (Gambar 2.2). Setelah keluar dari rumah sakit, napsu makan membaik dan imbang energi positif dicapai dengan penimbunana lemak dan protein. Lemak, protein dan berat badan kembali normal. ================================================================================= BAGIAN III PERUBAHAN-PERUBAHAN KOMPOSISI TUBUH SETELAH PEMBEDAHAN  Kami mengukur perubahan-perubahan komposisi tubuh yang terjadi setelah pembedahan gastrointestinal mayor yang tidak berkomplikasi pada 46 pasien (23 pria, 23 wanita, usia rata-rata 47 tahun). Tepat sebelum operasi, masing-masing pasien diukur berat badan, lemak, protein dan air tubuh total dengan cara yang tertulis pada Lampiran 1. Pengukuran diulang pada 7, 14, 28, 90, 180 dan 360 hari kemudian. Hanya 16 pasien menjalani pengukuran pada lebih dari 90 hari. Tak satupun dari pasien-pasien dalam kajian ini yang mendapat dukungan nutrisi perioperatif. Pada periode pasca bedah mereka mendapat 2-3 liter dekstrose 4,3% dan 1/5 Normal saline sebelum mereka bisa minum.  BERAT BADAN Setelah operasi tanpa-komplikasi berat badan turun 3 kg. Penurunan berat badan mencapai maksimum menjelang akhir minggu kedua pasca bedah. Selanjutnya berat badan berangsur-angsur naik (Gambar 2.3). Pada 3 bulan pasca operasi, kehilangan berat badan pada periode pasca operasi telah memulih, namun pada mereka yang sebelum operasi sudah mengalami defisit, peningkatan berat badan terus
  • 19. berlanjut sampai nilai normal dicapai-biasanya memakan waktu sampai 6 bulan dan kadang-kadang bisa sampai satu tahun. Banyak pasien yang berat badannya melonjak lebih dari sebelum operasi, dan setelah satu tahun kelebihan 2-3 kg. Kelebihan berat badan ini disebabkan penimbunan lemak dan keadaan ini diistilahkan-posttraumatic obesity. KOMPOSISI JARINGAN DARI PERUBAHAN BERAT BADAN Penurunan berat badan pasca bedah diakibatkan oksidasi lemak dan pemecahan protein untuk memasok energi dan asam amino selama 2 minggu pertama pasca bedah. Gambar 2.4, 2.5 dan 2.6 memperlihatkan bagaimana 3000 gr berat badan yang hilang selama 2 minggu pertama pasca operasi terdiri atas 1400 gr lemak, 600 gr protein dan 1000 gr air. Lemak Kebanyakan lemak yang hilang terjadi dalam beberapa hari pertama pasca bedah ketika defisit energi adalah maksimal-paling sedikit satu kg hilang dalam minggu pertama (Gambar 2.4). Setelah 2 atau 3 bulan, ketika pasien sudah sehat dan cadangan protein sudah terisi, penambahan lemak mencapai maksimum. Post-traumatic obesity terjadi bila penimbunan lemak berlanjut akibat terusnya imbang energi positif. Ahli bedah harus mengingatkan pasiennya tentang masalah ini dan mendorong olah raga dan mengendalikan napsu makan.
  • 20. Protein Katabolisme protein terjadi selama 2 minggu pasca bedah dengan kehilangan total kira-kira 600 gr (6% protein tubuh) (Gambar 2.5). Setelah itu dengan memulihnya asupan makanan, protein perlahan-lahan kembali ke tingkat sebelum operasi pada 3 bulan dan mencapai normal pada 6 bulan sampai 1 tahun. Protein yang hilang terutama berasal dari otot, tetapi pada kajian kami kehilangan kalium dan nitrogen pada 46 pasien ini memberi kesan ada protein non-seluler yang juga hilang. Kira-kira 3 mmol kalium per gr nitrogen otot, jadi ratio K:N = 3. Selama 7 hari pertama pasca bedah rasio kehilangan K:N jauh lebih besar (kira-kira 10). Ini memperlihatkan bahwa kehilangan kalium dari otot melebihi kehilangan nitrogen. Ini disebabkan glikogen dimobilisasi dan bersama glikogen berikatan air yang kaya kalium, ataupun defisiensi kalium intraseluler terjadi. Ada kemungkinan kedua mekanisme ini terjadi. Setelah dua minggu ketika imbang energi positif, kalium diganti dengan ratio 6:1. Ini memberi kesan defisit kalium intraseluler sedang diperbaiki. Pada masa konvalesen, ketika penambahan protein sedikit, ratio penambahan K:N dalam jaringan < 3, ini memperlihatkan protein tubuh mulai terbentuk. Kajian-kajian kinetik telah memperlihatkan bahwa kehilangan protein total tubuh pada periode pasca bedah disebabkan oleh meningkatnya laju katabolisme lebih daripada penurunan sintesis (Clague dkk 1983). Durasi dan tingkat kehilangan protein tubuh ini merupakan fungsi cadangan protein tubuh (Lebih besar cadangan protein, lebih besar kehilangannya) tanpa tergantung apakah pasien mengalami deplesi protein sebelum pembedahan (pasien yang telah deplesi mengalami lebih sedikit kehilangan protein tubuh). Kehilangan protein akan lebih besar pada periode pasca bedah dini jika regimen cairan tidak mengandung dekstrosa. Infus 130-150 gr dekstrosa per hari menghasilkan penurunan ekskresi nitrogen urin sebesar 40% (Craig dkk 1977, Swaminathan dkk 1980)
  • 21. Air Selama minggu pertama pasca bedah ketika kadar hormon antidiuretik tinggi, terjadi retensi air walaupun dokter bedah berusaha memperhatikan imbang air (Gambar 2.6). Pasien mengalami hiponatremia karena penambahan air tanpa-natrium yang berasal dari substansi sel dan oksidasi protein dan lemak. Ini bisa dipahami berdasarkan rujukan pada Gambar 2.4 dan Gambar 2.5. Di sini bisa terlihat bahwa 300 gr protein dioksidasi selama minggu pertama pasca bedah. Karena 1 kg otot basah mengandung kira-kira 200 gr protein, kehilangan 300 gr protein menunjukkan kehilangan kira- kira 1500 gr otot basah, yang terdiri atas 300 gr protein dan 1200 ml air tanpa-natrium kaya-kalium, yang berpindah ke kompartemen ekstraseluler. Lebih dari itu, protein yang dioksidasi sendiri menghasilkan air bebas; 300 gr protein pada oksidasi lengkap akan menghasilkan kira-kira 120 ml air. Pada periode yang sama 1100 gr lemak dioksidasi. Karena setiap 1000 gr lemak yang dioksidasi sempurna menghasilkan 1000 ml air bebas, oksidasi 1100 gr menghasilkan 1100 ml, sehingga total mendekati 2,5 L (1200+120+1100) air endogen. Karena kadar ADH tinggi pada masa pasca bedah, air endogen ini tidak diekskresikan secara normal, sehingga menyebabkan imbang air positif, meningkatnya hidrasi tubuh dan hipotonisitas. Tonisitas kembali ke normal menjelang akhir minggu pertama pasca bedah. Oliguria serta retensi garam dan air yang terjadi selama beberapa hari pasca bedah juga berkaitan dengan tingginya aktivitas aldosteron, dan mungkin disebabkan sebagian oleh menurunnya aktivitas atrial natriuretic peptide. Perubahan tonus vaskuler yang berhubungan dengan ventilasi tekanan positif mengurangi alir balik vena ke jantung kanan, dan sebagai akibatnya bisa mengurangi sekresi hormon ini.
  • 22. ================================================================================= BAGIAN IV LETIH PASCA OPERASI DAN FUNGSI OTOT RANGKA Salah satu efek yang paling tak menyenangkan dari pembedahan adalah perasaan letih mental dan fisik. Dalam suatu kajian 84 pasien (37 pria, 47 wanita, usia rata-rata 54 ± 18 tahun) yang menjalani operasi mayor saluran cerna (Schroeder & Hill, 1992) kami mendapatkan banyak pasien mengeluh letih sebelum operasi dan menjadi lebih letih setelahnya (Gambar 2.7).
  • 23. Satu bulan setelah operasi kebanyakan pasien telah merasa mendingan dan menjelang 3 bulan rasa letih menghilang. Akan tetapi segelintir pasien, khususnya yang penurunan berat badan paling mencolok pada periode pasca bedah merasakan letih paling berat dan juga paling lama. Hal serupa dilaporkan
  • 24. sebelumnya (Christiansen & Kehlet 1984). Kami mendapatkan bahwa rasa letih sangat mengganggu pada mereka yang sebelum dioperasi juga sudah merasa lelah. Ada bukti bahwa pasien dengan cadangan protein tubuh sedikit (dengan massa otot kecil), usia lanjut dan mereka yang mengidap kanker, sekalipun operasi kuratif telah dikerjakan, mengalami rasa letih berkepanjangan. Fungsi otot rangka juga berubah setelah operasi dan kami mendapatkan bahwa pola memburuknya fungsi ini serupa dengan rasa letih (Gambar 2.7). Ada kemungkinan letih pasca operasi adalah karena berkurangnya massa otot yang memiliki dampak buruk terhadap fungsi otot, sehingga ini merupakan keletihan fisik. Sayangnya, yang dijumpai adalah lebih kompleks dari ini. Sebagai contoh, nutrisi enteral pasca bedah, untuk menghemat cadangan protein pasca bedah tidak mencegah rasa letih pasca bedah (Schroeder dkk 1991). Di samping itu, fungsi otot polos tidak memburuk seperti halnya otot rangka (Schroeder & Hill 1991). Jadi rasa letih pasca bedah yang merupakan masalah hanya pada manusia (tidak terjadi pada hewan) memiliki dasar psikologis maupun fisiologis (Lancet 1979). Sebagai kesimpulan, rasa letih yang dialami setelah operasi tidak begitu menjadi masalah bagi mereka yang merasa segar sebelum operasi. Mereka yang sebelum operasi sudah merasa lemah, usia lanjut dan mengidap kanker adalah mereka yang cenderung mengeluh lelah berkepanjangan setelah operasi. ================================================================================= BAGIAN V FASE KONVALESEN  Dr Francis D Moore (Moore 1959) melukiskan konvalesensi pasien bedah menurut empat fase berututan, yang dimulai segera setelah operasi itu sendiri, dan merentang sampai 3 atau bahakn 12 bulan sampai fungsi pasien kembali seperti seida kala.  Empat fase Moore adalah injury phase, turning point phase, gain in muscle strength phase dan phase of fat gain. Pada Gambar 2.7 bisa dilihat bagaimana keempat fase ini secara lengkap melukiskan proses trauma bedah dan konvalesensi dipandang dari segi komposisi tubuh, fungsi fisiologis dan letih pasca bedah. Pada gambar yang sama ebb phase dan flow phase dari Cuthbertson juga diperlihatkan. Pada bedah mayor elektif, ebb phase terlalu singkat untuk digambarkan. INJURY PHASE  Pasien  Injury phase dari Moore mencakup tidak hanya ebb phase yang diceritakan sebelumnya melainkan juga bagian dari flow phase. Fase ini berlangsung selama 4 hari pasca bedah. Ini diawali dengan fase tingginya aktivitas katekolamin dan adrenokortikoid. Ini merupakan fase di mana defisit energi maksimal dan oksidasi protein dan lemak juga maksimal. Laju sintesis protein sama atau berkurang, sedangkan katabolisme protein meningkat. Kehilangan kalium melebihi kehilangan nitrogen akibat mobilisasi glikogen dari hati dan otot. Pada permulaan, pasien dingin dan lembab, pucat dan takikardia. Pasien merasa lemas dan tidak napsu makan dan lebih senang tidak dibesuk. Lama fase ini tergantung pada besarnya operasi dan gangguan fisiologis yang ditimbulkan Hipovolemia, atelektasis dan gangguan asam basa semuanya memperpanjang fase ini. Komplikasi pasca bedah seperti sepsis, peritonitis, embolus atau nekrosis akan memperpanjang perubahan metabolisme ini. Luka Segera setelah penutupan luka bekuan fibrin di antara dua permukaan diinfiltrasi dengan neutrofil dan makrofag. Menjelang hari ketiga, tunas kapiler muncul dari pinggir luka dan fibroblas bermigrasi ke daerah tersebut, disusul cepat oleh pembentukan kolagen. Kandungan kolagen dari luka berbanding lurus dengan kelenturan jaringan pada hari-hari pertama ini. Ada sejumlah variasi dalam respons penyembuhan luka. Puasa yang dipaksakan sebelum operasi (Windsor Knight & Hill 1988), hipoalbuminemia (Dickhaut dkk 1984), dan defisiensi vitamin C dan zinc (Sanstead dkk 1982) menyebabkan gangguan respons penyembuhan luka, begitu pula halnya pemberian steroid dosis tinggi (Orgill & Demling 1988). Jadi ahli bedah harus memperhatikan penutupan luka pada mereka yang kurang makan pada saat-saat menjelang operasi. Walaupun defisiensi zinc cukup mengganggu penyembuhan luka, ini jarang dijumpai pada pasien-
  • 25. pasien bedah elektif. Difisiensi vitamin C lebih sering, bisa sampai 25% pada pasien bedah elektif (Hill dkk 1977). Efek bisa menonjol; walaupun jaringan granulasi terbentuk pada daerah luka, fibroblas kurang orientasi dan akibat defisiensi fosfatase, pembentukan kolagen tidak terjadi. Secara eksperimental bila diberikan steroid dosis tinggi, jaringan granulasi yang terbentuk sedikit, fibroblas tetap kecil dan kolagen kurang terbentuk. Dosis steroid ini jauh lebih besar daripada yang digunakan di klinis. Namun demikian, terbukti bahwa pasien yang mendapat steroid secara kronis lukanya sukar sembuh, sehingga ahli bedah harus mengusahakan penutupan fasia lengkap dan jahitan atau klip kulit lebih lama pada pasien yang mendapat steroid dosis tinggi. Secara umum, respons penyembuhan luka terjadi pada daerah dengan aktivitas metabolik tinggi sekalipun daerah tubuh lainnya katabolik. Sel-sel radang dalam luka memiliki kapasitas mencolok untuk metabolisme glikolitik dan glukosa merupakan bahan bakar yang lebih disukai untuk penyembuhan luka. Hati menghasilkan glukosa ini melalui daur ulang karbon dari laktat, serta glukoneogenesis. Patut dicermati bahwa luka bersifat anabolik sedangkan bagian tubuh lainnya bersifat katabolik selama fase injury ini. Luka mensintesis kolagen baru, memperoleh kekuatan untuk sembuh sekalipun oksidasi lemak dan protein terjadi untuk memasok energi bagian tubuh lain. Prioritas luka ini merupakan gambaran dari fase injury. Berikutnya prioritas tinggi ini beralih dan jika pasien tetap katabolik untuk wkatu berkepanjangan, luka berhenti sembuh dan memberi kontribusi ke bagian tubuh lainnya untuk mengkonsumsi jaringan yang dibutuhkan untuk mempertahankan kehidupan. TURNING POINT PHASE  Pasien  Sekitar pertengahan sampai akhir minggu pertama pasca bedah, pasien mulai tertarik memperhatikan sekelilingnya dan bertanya-tanya tentang penampilannya yang kusut. Ia ingin bangun dan bercukur atau menyisir rambut. Pasien wanita mungkin akan mencari cermin dan memakai lipstik. Fase ini biasanya berlangsung hanya 1 sampai 2 hari, namun jika timbul komplikasi sepsis perubahan ini tidak lengkap dan lebih lama. Pada saat inilah hasrat untuk bangun terhambat oleh rasa letih dan pasien segera kembali ke tempat tidur. Napsu makan dan minum mulai muncul (Gambar 2.8). Pasien mulai merasa lebih segar dan kekuatan otot membaik. Fungsi endokrin telah kembali normal walaupun katabolisme protein terus berlanjut. Karena sekarang aktivitas endokrin telah mereda, antara hari ke 3 dan ke 5 terjadi diuresis. Kehilangan protein dalam urin lebih sedikit jika defisit kalium intraseluler diisi. Hipotonisitas sementara (akibat hiponatremia kembali normal dan volume ekstrasel yang ekspansi kembali normal. AEE (activity energy expenditure) menigkat selama fase tititk balik ini, namun karena asupan masih kurang dari normal (Gambar 2.8) defisit energi berlangsung dengan diimbangi katabolisme lemak dan protein. Kunci keberhasilan pada stadium ini adalah meningkatkan asupan nutrisi. Luka Biasanya luka sangat nyeri tekan walaupun tidak merah. Pinggir-pinggir luka sudah merapat kuat, tetapi bisa dilepas dengan tarikan kuat. Gambaran mikroskopik memperlihatkan kuatnya aktivitas fibroblas dan benang-benang kolagen sedang terbentuk. Menjelang hari ke 7 pasca bedah, jahitan bisa dilepas karena kelenturan yang meningkat ini. Anastomosis usus pada stadium ini mulai berfungsi, tetapi rusaknya anastomosis atau luka menunjukkan kegagalan untuk mendapatkan kekuatan lentur.
  • 26. MUSCULAR STRENGTH PHASE  Pasien  Sekarang pasien masuk ke periode 2 sampai 8 minggu di mana terjadi perbaikan fungsi fisiologis dan psikologis yang cepat. Pasien sudah bergairah, makan mulai seperti normal dan luka tidak begitu dirasa nyeri. Buang air besar sudah normal dan letih menghilang. Pada akhir minggu 8, komposisi tubuh dan perasaan lelah sudah pulih sempurna seperti sebelum operasi. Luka Kandungan kolagen luka mencapai maksimum. Pada perabaan terasa tebal dan menonjol dan garis putih halus yang diamati segera setelah operasi sekarang sudah lebih kasar dan kemerahan. Kekuatan lentur semakin bertambah namun dengan persilangan serabut kolagen dan dengan remodeling kolagen baru secara lisis dan resintesis. FAT GAIN PHASE Pasien Periode akhir dari masa konvalesensi adalah penambahan berat badan karena penimbunan lemak tubuh dan struktur penyokongnya. Ini terjadi karena imbang energi positif terus berlanjut di mana asupan lebih besar dari yang digunakan untuk kerja dan panas. Protein yang diperoleh bersama dengan lemak diduga sebagai struktur yang mendukung jaringan adiposa, karena sedikit perubahan air tubuh total bahkan sampai satu tahun setelah operasi. Pada fase ini, pasien sudah kembali ke aktivitas normal. Luka Kekuatan lentur terus bertambah dengan berlanjutnya persilangan serabut kolagen dan remodeling. Semua elemen parut menjadi kurang vaskuler dan sekarang menjadi pucat dan kurang menonjol dari permukaan kulit. Kekuatan lentur maksimum terjadi sekitar 100 hari, dan kekuatan jaringan kira-kira 80% normal. Jaringan parut mulai mengecil selama maturasi luka dan ini berlanjut selama 3 sampai 12 bulan.
  • 27. Pada saat ini jaringan parut bisa teregang atau berkontraksi. Defisiensi vitamin C pada stadium ini memiliki efek buruk terhadap pembentukan kolagen dan parut bisa membuka kembali jika defisiensi berat. ================================================================================= BAGIAN VI MENAJEMEN METABOLIK PASIEN YANG MENJALANI OPERASI BESAR  Rekomendasi kami berdasarkan atas perubahan-perubahan yang diukur dalam metabolisme, komposisi tubuh, fisiologi dan psikologi. Perubahan-perubahan ini dimulai sebelum pasien memasuki kamar operasi dan ketika pasien sudah kembali beraktivitas di lingkungan mereka.  MANAJEMEN PRA BEDAH Jika ahli bedah meluangkan waktu untuk memberikan gambaran kepada pasien tentang apa yang akan mereka alami dan rasakan di rumah sakit, terbukti masa perawatan di rumah sakit akan lebih singkat (Egbert dkk 1964). Si dokter bisa memilih menjelaskan kepada mereka yang cenderung mengalami rasa letih berlebihan setelah operasi, bahwa masa konvalesensi akan lebih panjang, sehingga kekecewaan pasien bisa dihindari (Schroeder & Hill 1991). Ahli fisioterapi bisa membantu mengajar latihan-latihan yang akan dikerjakan pasien pada pasca bedah, cara membalik badan atau bergerak di tempat tidur sehingga rasa nyeri menjadi jauh berkurang. Jika pemeriksaan telah dilakukan lama sebelum operasi dan jika asupan makanan sangat kurang, penyembuhan luka akan terganggu sehingga perlu diperhatikan (Windsor Knight & Hill 1988). Jika ada kecurigaan defisiensi vitamin C perlu diperbaiki. Pemberian antibiotik profilaktik dan tindakan preventif untuk mencegah trombosis vena akan membantu kelancaran penyembuhan pada pasca operasi. PADA SAAT OPERASI Ahli Bedah Derajat cedera, jumlah jaringan nekrotik yang ditimbulkan dan ada tidaknya infeksi mempengaruhi pelepasan sitokin adalah hal-hal yang perlu dipertimbangkan dokter untuk menetapkan tujuan dan strategi pembedahan. Tujuannya adalah menghindari sitokin dalam sirkulasi. Prosedur yang paling sedikit merusak, paling sedikit kontaminasi dan berhati-hati adalah cara untuk menghindari ini. Strategi-strategi tersebut mencakup, pemaparan (exposure) yang baik, diseksi tajam sepanjang bidang anatomis, hemostasis seksama, aposisi jaringan yang akurat dan jahitan yang rapih tanpa strangulasi. Strategi- strategi ini mutlak perlu untuk mendapatkan perjalanan pasca operasi yang lancer. Ini perlu dipikirkan beberapa hari atau jam sebelum bertindak. Ahli bedah yang bijaksana, tanpa perduli apakah ia terbiasa dengan prosedur harus memeprhatikan langkah-langkah ini. Sebelum mengakhiri operasi, pembersihan rongga peritoneum yang seksama akan meminimalkan resiko meninggalkan jaringan nekrotik atau bekuan, dan hemostasis yang seksama memastikan bahwa hematoma besar tidak mengganggu pemulihan pasca operasi. Ahli anestesi Walaupun pembiusan spinal atau epidural mencegah respons endokrin klasik terhadap pembedahan, efek ini maksimal pada operasi daerah panggul, misal prostatektomi, ginekologi dan prosedur ortopedik tungkai bawah. Namun kurang bermakna pada operasi abdomen dan toraks karena kurangnya pemblokan pada saraf aferen (Kehlet 1987). Pada kebanyakan operasi besar membutuhkan anestesi umum, namun efek- efek hemodinamik yang diinduksi oleh anestesi umum serta prosedur operasi bisa ditangani oleh ahli anestesi. Hipovolemi harus dicegah, defisit cairan dari prosedur radiologis atau persiapan usus harus diganti segera setelah induksi tidur. Selama operasi, tekanan darah harus dimanipulasi dalam kisaran 10- 20% tingkat preoperatif dan volume urin dalam kisaran 0,5-1 ml/kg/jam dengan penambahan larutan garam seimbang dalam jumlah lebih dari yang cukup untuk mempertahankan rumatan. Jumlah ekstra ini “kebutuhan rongga ketiga” tergantung pada sifat, luas dan lama operasi dan bisa memanjang sampai 12 jam pada periode pasca operasi. Perhatian sepantasnya terhadap volume cairan dan pengendalian tekanan darah, nadi dan volume urin akan mengurangi respons endokrin terhadap trauma operasi (Roberts dkk 1985), mengurangi lama fase injury dan mempersingkat masa rawat. Kebutuhan akan darah (diberikan sebagai packed RBC) selama operasi merupakan topik yang kontroversial. Keputusan untuk memberikan transfusi membutuhkan pertimbangan klinis yang matang
  • 28. (NIH 1988), walaupun kombinasi hipovolemia dan anemia bisa mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang lebih besar. Ada kadar hemoglobin minimum untuk setiap pasien di mana delivery oksigen yang tak memadai cenderung terjadi. Keputusan untuk memberikan transfusi perlu memperhitungkan ada atau tidaknya anemia perioperatif, volume intravaskuler, dan luas operasi, kemungkinan kehilangan darah yang berlanjut dan ada tidaknya kondisi penyerta seperti gangguan fungsi paru, curah jantung yang kurang, iskemia jantung dan penyakit pembuluh darah otak atau penyakit pembuluh darah perifer. MANAJEMEN SELAMA FASE PASCA BEDAH Analgesia Nyeri pasca operasi tidak memiliki fungsi yang berguna dan jika tidak dikendalikan dengan memadai akan berdampak buruk terhadap fungsi pernapasan, kebutuhan intrakardiak, mengurangi motilitas usus, dan menginduksi spasme otot rangka yang selanjutnya menghambat mobilisasi. Jika anestesia regional telah digunakan, ini harus diteruskan sepanjang operasi dan mungkin diteruskan selama 24-48 jam. Pemberian opioid sistemik tidak memiliki efek modifikasi penting terhadap respons endokrin. Namun efeknya sangat penting dalam mengurangi atau menghapus nyeri pasca bedah, memperbaiki fungsi pernapasan, mengurangi kebutuhan jantung dan mengendalikan spasme otot. Cairan intravena Jika sekembalinya ke bangsal pasien mengalami takikardia dan syok (ebb phase) dibutuhkan lebih banyak kristaloid. Pada kebanyakan situasi ini disediakan oleh larutan Ringer laktat dalam jumlah cukup untuk menjaga tekanan darah dan nadi mendekati tingkat sebelum operasi dan volume urin 0,5-1 ml/kg/jam. Pada banyak pasien kehilangan cairan dari kompartemen intravaskuler terus berlanjut selama 12 jam dan selama periode ini akan dibutuhkan cairan pengganti isotonik. Setelah beberapa jam, kebocoran kapiler akan berhenti dan cairan perlahan-lahan dimobilisasi dari perifer ke ruang vaskuler, disusul diuresis. Pada titik ini, cairan harus beralih ke rumatan. Pada pasien dengan hidrasi cukup dan menjalani prosedur dengan kehilangan darah sedikit, yang dibutuhkan adalah cairan rumatan. Kebutuhan rumatan untuk pasien 70 kg biasanya 100 ml/jam dekstrosa/saline ditambahkan dengan 20 mmol kalium per liter. Pemberian 130-150 gr dekstrosa pada regimen cairan pasca bedah memiliki efek menekan produksi glukosa endogen (protein sparing effect). Nitrogen urea urin (NUU) berkurang sebesar 40% bila dekstrosa diberikan dengan cara ini (Swaminathan dkk 1980). Karena sel-sel yang rusak akan membanjiri ruang ekstrasel dengan kalium, dianjurkan untuk tidak memberikan kalium dalam 24-48 jam pertama pasca bedah. Energi dan protein yang dipasok melalui enteral atau parenteral bisa mencegah kehilangan protein setelah operasi mayor tanpa-komplikasi. Sayang tidak jelas ada manfaat dini atau lanjut dari pencegahan kehilangan protein walaupun beberapa ahli memberi kesan bahwa diet enteral memiliki tempat dalam mengurangi komplikasi pasca bedah (Bower 1990a, Yeung dkk 1979b). Namun demikian, telah diperlihatkan bahwa respons penyembuhan luka ditingkatkan oleh dukungan nutrisi pasca bedah dan pada luka granulasi yang besar, dukungan nutrisi memiliki manfaat klinis (lihat Bab 10, gambar 10.3). Seluruh topik mengenai nutrisi perioperatif dibahas lebih rinci pada Bab 18. Manipulasi hormonal juga telah dicoba. Insulin yang ditambahkan ke regiman TPN (total parenteral nutrition) dan pemberian growth hormone mengurangi kehilangan protein pada periode pasca operasi, mempertahankan komposisi tubuh dan menambah kekuatan genggam tangan (Jiang dkk 1989, Inculet dkk 1986). Banyak penelitian lanjut dibutuhkan sebelum regimen ini digunakan secara rutin pada bedah mayor (Ziegler dkk 1990). Peran perawat, fisioterapis dan ahli gizi Asuhan perawatan metabolik terbaik pada saat pasien masuk ke “turning point phase” dan sesudah itu adalah mendorong sikap positif. Ini dilakukan oleh staf perawatan, fisioterapis dan pemberian makanan bergizi yang menarik oleh ahli gizi. Memang kunci keberhasilan adalah memulihkan pola makan saat fase anabolik mulai. Pada tahap dini pasca bedah pasien lebih suka karbohidrat daripada protein, tetapi menjelang pertengahan minggu kedua diet seimbang antara karbohidrat dan protein harus dimulai di rumah (Gambar 2.8). Sebagian pasien dengan gigi palsu mengalami penyusutan gusi setelah operasi dan perasaan tidak enak ketika mengunyah sehingga membatasi asupan protein. Pemberian suplemen makanan pada pasien yang lambat mencapai imbang protein dan energi tampaknya bermanfaat (Isaksson dkk 1959).
  • 29. Apakah bisa dilakukan sesuatu untuk membatasi rasa letih pasca operasi? Nutrisi pasca bedah yang cukup untuk menghapus kehilangan protein belum dibuktikan mengurangi rasa letih pasca operasi. Di lain pihak, rasa letih ini minimal pada mereka yang bugar sebelum menjalani operasi. ================================================================================= Bagian VII PEMBEDAHAN DENGAN INVASI MINIMAL DAN RESPONS METABOLIK  Operasi dengan invasi minimal, khususnya kolesistektomi laparoskopi di mana kandung empedu diangkat melalui insisi abdomen yang kecil telah menarik perhatian ilmiah. Walaupun anestesi umum dibutuhkan dan prosedur berlangsung lebih lama, ini agaknya disertai dengan mas konvalesensi yang lebih singkat dan letih pasa bedah yang minimal (Neugebauer dkk 1991). Walaupun penelitian pendahuluan memberi kesan bahwa respons neuroendokrin sama seperti yang terjadi setelah operasi terbuka (Cuschieri 1991), masih ditunggu evaluasi ilmiah lengkap terhadap efek-efek metabolik dari prosedur ini serta efek fisiologis dan psikologis pada periode pasca bedah (Paterson-Brown dkk 1991).  Ucapan Terima Kasih Kami mengucapkan terima kasih kepada the World Journal of Surgery untuk izin reproduksi beberapa bahan yang dikandung dalam makalah kami: Hill G.L. Douglas R.G, Schroeder DS 1992 Metabolic basis of management of patients undergoing uncomplicated surgery. World J Surg.                                   
  • 30. 3. Manajemen Metabolik Masalah-Masalah Khusus Pada Perawatan Perioperatif Pada bab sebelumnya dilukiskan perubahan-perubahan metabolik yang terkait dengan operasi mayor elektif dan tanpa-komplikasi. Manajemen perioperatif disusun berdasarkan pemahaman jelas terhadap perubahan-perubahan endokrin, komposisi tubuh, fisiologi dan psikologi yang diperlihatkan. Namun, tidak semua pasien masuk kamar operasi dengan “semua sistem normal”, terpisah dari penyakit bedah yang mereka alami, dan tidak semuanya luput dari komplikasi pasca bedah. Pada bab ini, sebagian dari masalah-masalah khusus yang dijumpai dalam perawatan metabolik pasca operasi akan dibahas dan berdasarkan pemahaman tentang gangguan metabolisme dan fisiologi, dirancang program manajemen.  ================================================================================= BAGIAN 1 PASIEN YANG MENGALAMI SEPSIS PADA PERIODE PASCA BEDAH DINI  Respons metabolik normal terhadap pembedahan mayor dan periode konvalesensi normal yang dilukiskan pada bab sebelumnya, menjadi berantakan jika pasien mengalami komplikasi sepsis pada periode pasca bedah dini.   Contoh: Seorang pria usia 55 tahun menjalani reseksi anterior rendah dari rektum karena karsinoma tanpa kolostomi. Operasi berlangsung lancar dan fase pasca bedah sesuai dengan ramalan sampai hari kelima ketika setelah buang air encer, pasien mengeluh nyeri hebat pada abdomen bagian bawah. Ia menjadi lemas dan cepat kembali ke tempat tidur. Dalam waktu satu jam ia menjadi kritis dengan takipnea, tekanan darah sistolik rendah, nadi cepat dan syok. Ternyata ia berada pada fase ebb dari syok septik. Pasien ini merupakan contoh dari jenis komplikasi sepsis yang terjadi pada pembedahan dan mengancam jiwa. GANGGUAN METABOLISME YANG MENYERTAI SEPSIS PASCA BEDAH Endokrin dan sitokin Pasien baru saja masuk ke fase titik-balik (turning point phase), mulai bergairah dan mulai bisa makan tanpa keluhan. Buang air besar, bising usus dan dinding abdomen normal. Ketika itu ia sedang berjalan di bangsal, walaupun agak sedikit susah, ia merasa senang dan kembali ke tempat tidurnya tidak lama setelah itu. Hormon-hormnon stress diduga berada dalam kadar normal. Ia sudah tidak demam, namun dengan kejadian akut tadi suhu badannya segera naik dan ia menjadi syok karena meningginya kadar katekolamin, kortisol dan glukagon yang diawali dengan pelepasan mediator dalam rongga panggul di mana telah terjadi kebocoran tinja. Dalam jaringan panggul sekitar bocornya tinja, konsentrasi bakteri Gram negatif dan dan endotoksin sangat tinggi dan disusul dengan bakteremia Gram negatif. Produksi Tumor Necrosis Factor dan sitokin meningkat dan bisa dideteksi dalam sirkulasi. Peptida-peptida ini mengatur respons fase akut, dan memperkuat pelepasan sitokin-sitokin lain dan hormon klasik secara berantai (Long & Lowry 1990)-lihat Gambar 4.5. Akibatnya adalah kolaps kardiovaskuler, kebocoran kapiler dan renjatan. Jika situasi tidak cepat dikendalikan, gangguan sirkulasi bisa hebat sehingga terjadi kegagalan banyak organ. Di samping pelepasan hormon-hormon stress, aldosteron dan ADH berada dalam kadar tinggi sehingga menyebabkan antidiuresis dengan retensi garam dan air. Situasi ini tidak bisa diredakan sebelum sepsis dikendalikan dan dieliminasi. Metabolisme protein, lemak dan air
  • 31. Pada pasien demikian akan ada peningkatan mencolok dari katabolisme protein dengan banyak kehilangan asam amino dari otot, peningkatan ambilan asam amino oleh hati dan peningkatan sintesis protein fase akut walaupun sintesis albumin menurun secara dramatis. Lipolisis mungkin meningkat, sintesis asam lemak berkurang dan ada ekspansi cairan ekstraseluler karena kebocoran kapiler. Kehilangan protein tubuh secara masif dan lipolisis serta ekspansi cairan bisa dikurangi tetapi tidak bisa dicegah oleh obat apapun atau oleh penatalaksanaan yang mencakup terapi nutrisi maksimum, manipulasi hormonal dan (mungkin) antibodi monoklonal terhadap endotoksin dan TNF. Satu-satunya yang bisa memulihkan perbahan-perubahan ini adalah eliminasi sepsis itu sendiri. Komposisi tubuh Ket : ECW = extracellular water; FFM = fat free mass; RMEm= resting metabolic expenditure yang diukur; RMEp= resting metabolic expenditure yang diprediksi Tabel 3.1 memperlihatkan perubahan-perubahan komposisi tubuh yang diduga terjadi pada pasien kami. Terlihat bahwa perubahan-perubahan pasca bedah yang normal dari berat badan, lemak, protein dan air sangat dimodifikasi oleh sepsis panggul. Tabel 3.1 memperlihatkan ada lipolisis dan proteolisis dengan kecepatan yang meningkat secara mencolok serta penambahan 5 L air ekstraseluler yang berkaitan dengan resusitasi. Resting metabolic expenditure naik sekitar 40%. Kehilangan protein dengan laju seperti ini memiliki implikasi pada semua pasien pasca bedah, tetapi paling berat dampaknya terhadap pasien yang sudah mengalami deplesi sebelum operasi. Energetika Yang mengherankan, total energy expenditure tidak meningkat. Namun, resting metabolic expenditure naik 38% di atas nilai normal, namun karena pasien kehabisan tenaga dan aktivitas fisik sangat terhambat, total energy expenditure tidak naik. Fungsi organ Fungsi organ, khususnya fungsi otot rangka dan fungsi otot pernapasan dipengaruhi sejak dini karena perubahan-perubahan dalam kimia seluler dan penurunan resting membrane potential, dan pada tahap lanjut diakibatkan oleh kehilangan protein sel. Pada pasien yang memiliki cadangan protein banyak dan sepsis cepat dikendalikan, kehilangan protein sel ini mungkin sedikit bermakna klinis tetapi bisa menyulitkan pada mereka yang sudah mengalami gangguan fungsi akibat deplesi protein sebelumnya. MANAJEMEN METABOLIK Sasaran yang dituju ahli bedah adalah meresusitasi pasien dan mengeliminasi sepsis secepat mungkin. Antibiotika diberikan dan sepsis dikendalikan secara definitif dengan drainase dan istirahat, segera setelah sirkulasi stabil. Peran imunoterapi pada sepsis dibahas lengkap pada Bab 19, terapi dosis tunggal antibodi monoklonal manusia yang mengikat lipid A diindikasikan jika diantisipasi bahwa resolusi bedah secara cepat tidak berhasil. Pasien-pasien dengan sepsis yang refrakter membutuhkan pemantauan hemodinamik intensif, dukungan kardiorespiratorik dan terapi nutrisi (lihat Bab 19).
  • 32. Pertahanan sirkulasi Pemeriksaan fisik memperlihatkan pasien dengan nyeri hebat. Muka seperti abu dan anggota gerak pucat, dingin dan lembab. Nadi cepat (130/menit) dan tekanan darah 90/60. Hanya sedikit urin pekat tertampung dalam kantung urin. Pasien diberikan bolus 2 L Ringer laktat dan antibiotik spectrum luas i.v. Selama 2 jam berikutnya ia mendapat 3,5 L Ringer laktat untuk mempertahankan pengeluaran urin 30 ml/jam dan tekanan darah pada 110/80. Jelas bahwa krisis intra-abdomen hebat telah terjadi. Setelah pemeriksaan rektal menunjukkan defek anastomosis. Diputuskan untuk eksplorasi ulang rongga abdomen tanpa didahului pemeriksaan lebih lanjut. Sebelum induksi anestesia, sonde nasogastrik dipasang untuk memastikan lambung tidak berisi cairan. Drainase Pada operasi, insisi lama dibuka lagi, dan panggul penuh dengan nanah bercampur tinja. Setelah drainase terlihat lubang sebesar stempel di bagian depan dari anastomosis yang terletak dalam di rongga panggul. Anastomosis kolorektal dipisah dengan memencet dengan jari. Kolon diangkat ke fossa iliaca sinistra, dan dibuat suatu kolostomi satu ujung. Rongga panggul dibilas dengan larutan antiseptik dan tidak diusahakan untuk menginspeksi ujung rektum yang terbuka. Dua selang vacuum suction ditempatkan dalam panggul dan abdomen ditutup. Selama prosedur, karena volume urin pasien turun di bawah 0,5 ml/kg/jam, diberikan tambahan 3 L larutan kristaloid. Ahli anestesi memilih untuk tidak memberikan koloid pada stadium ini karena albumin yang diberikan kepada pasien dengan membran endotel yang rusak mudah merembes ke interstisial. Cairan yang ditambahkan menghasilkan jumlah urin 1 ml/kg/jam dan sirkulasi terus stabil. Saat kembali ke bangsal pasien terus mendapat cairan rumatan yang mengandung antibiotik dengan 1 liter kristaloid setiap 4 jam, untuk mempertahankan jumlah urin 0,5-1 ml/kg/jam. Perawatan pasca bedah Keesokan harinya pasien sudah bisa duduk di tempat tidur dan kelihatan jauh membaik. Demam sudah reda, dengan tekanan darah dan nadi normal, jumlah urin cukup dan anggota gerak mendapat perfusi cukup. Sehari kemudian, diuresis spontan terjadi, kolostomi mulai berfungsi dan ia mulai minum. Albumin plasma 2,5 gr/dL dan albumin injeksi diberikan untuk menaikkan sampai 3,5 gr/dL. Albumin ini diberikan untuk memulihkan tekanan osmotik, membantu pengosongan lambung dan mengurangi pembengkakan usus yakni manifestasi dari kolostomi yang edema. Respons terhadap penatalaksanaan sepsis pasca bedah tidak selalu berjalan mulus seperti ini. Keragu-raguan atau kurangnya drainase efektif untuk mengendalikan sepsis panggul mengakibatkan ketidakstabilan sirkulasi berlanjut, kemungkinan gagal organ dan kehilangan protein masif lebih lanjut. Ini mengharuskan perawatan di ICU. Manajemen keadaan ini akan dibahas pada Bab 22. Pasien kami yang semula perjalanan pasca bedahnya normal kemudian terganggu ini mengalami defisit protein dan energi. Oleh karena itu ada alasan untuk memberikan dukungan nutrisi segera setelah hemodinamiknya stabil. Referensi untuk Tabel 3.1 memperlihatkan bahwa tanpa dukungan nutrisi, pasien akan terus kehilangan lemak dan protein tubuh, dan menjelang hari ke 10 pasca bedah, ia sudah kehilangan total 2,5 kg lemak dan 1,5 kg (15%) protein. Peningkatan bertahap dari jumlah asupan makanan oral (Gambar 2.8) telah terputus dan tertunda selama 4-5 hari, sehingga diantisipasi kehilangan lebih lanjut dari lemak dan protein tubuh akan berlanjut. Dukungan nutrisi TPN yang dimulai pada hari ke 6 akan mencegah kehilangan jaringan ini. Sebagai kaidah umum, pasien yang mengalami komplikasi intrabdomen hebat pada fase dini pasca bedah harus mendapat TPN segera setelah hemodinamiknya stabil. Pada Bab 5 dan 6 dari buku ini akan dijelaskan bagaimana suplementasi nutrisi diindikasikan bila deplesi protein diantisipasi sampai ke tingkat yang menggangu fungsi fisiologis. Secara klinis, gangguan fungsi terjadi jika kehilangan berat badan total lebih dari 15%. ================================================================================= BAGIAN II PASIEN USIA LANJUT YANG MENJALANI OPERASI MAYOR  Terdapat perbedaan mendasar dalam respons dini terhadap pembedahan dan konvalesensi pada pasien usia lanjut yang dikemukakan pada Bab 2. Walaupun mortalitas akibat pembedahan meningkat dengan
  • 33. bertambahnya usia, status fisiologis merupakan penentu utama, bukan semata-mata usia (Boyd dkk 1980, Warner dkk 1988). Oleh karena itu, daya tahan pasien usia lanjut terhadap operasi sangat bervariasi.  Alasan mengapa pasien usia lanjut lebih rentan terhadap operasi adalah pada hakikatnya ada kemunduran fungsi fisiologis. Ahli bedah harus menganggapnya sebagai penurunan kesanggupan untuk mempertahankan homeostasis dengan bertambahnya usia. Patokan untuk manajemen metabolik yang benar adalah memahami perubahan yang disebabkan oleh penuaan terhadap komposisi tubuh dan cairan serta elektrolit dan mekanisme homeostasis asam basa. METABOLISME BEDAH Perubahan komposisi tubuh dengan bertambahnya usia Pasien usia 70an dan 80an hanya memiliki massa otot separuh dari ketika mereka masih muda (Crohn dkk 1976). Sebanding dengan itu, lebih banyak terdapat air ekstraseluler dan lebih sedikit air intraseluler pada usia lanjut, sehingga mereka tidak tahan bila mendapat banyak natrium. Pasien usia lanjut mungkin juga memiliki berat badan yang konstan selama bertahun-tahun, karena massa lemak yang bertambah menutupi penciutan otot dan cadangan protein lain. Defisit massa otot disertai dengan berkurangnya fungsi tubuh, khususnya kekuatan dan ketahanan otot rangka (Larsson dkk 1979) dan sebagian besar fungsi otot pernapasan (Wahba 1983). Oleh karena itu, pasien memiliki hanya sedikit cadangan jika kehilangan protein pada pembedahan berlebihan. Ini merupakan fakta bahwa pasien usia lanjut kurang tahan terhadap komplikasi pasca bedah mayor. Homeostasis cairan dan elektrolit-perubahan-perubahan dengan bertambahnya usia Pasien usia lanjut kurang sanggup mempertahankan kompartemen ekstraseluler bila mendapat tantangan karena: • kemampuan untuk mengekskresi natrium dan air yang berlebihan berkurang, sehingga merupakan predisposisi untuk ekspansi cairan ekstraseluler dan hipotonisitas tubuh jika diberikan larutan hipotonik (Crane & Harris 1976) • kemampuan untuk memekatkan urin dan menyimpan air berkurang. Bersama-sama dengan gangguan respons haus dan kepekaan baroreseptor, ini merupakan predisposisi untuk dehidrasi dan hipernatremia, khususnya bila asupan cairan terbatas dan kehilangan air melalui penguapan banyak (Helderman dkk 1978) • respons jantung dan pembuluh darah perifer terganggu. Ini sering pada usia lanjut sehingga kompensasi untuk mengatasi kekurangan-kekurangan di atas lambat dan tidak efisien. Imbang asam basa kurang efisien pada usia lanjut Walaupun pH cairan tubuh hanya sedikit dipengaruhi oleh usia, efisiensi homeostasis asam basa berkurang pada usia lanjut. Waktu eliminasi beban asam memanjang pada usia lanjut tidak saja karena sistem dapar memiliki kapasitas terbatas, melainkan juga masa ginjal yang efektif berkurang, dan kapasitas regulasi ginjal terhadap status asam basa lebih kecil (Rowe 1980). Respons metabolik terhadap pembedahan pada usia lanjut Pelepasan hormon dan sitokin sebagai respons terhadap nyeri dan trauma bedah sendiri tampaknya sama seperti pada subyek yang leibh muda (Watters dkk 1990), namun efeknya terhadap katabolisme protein dan ginjal berubah. Karena massa otot lebih kecil, jumlah bersih dari protein yang dikatabolisme secara proporsional lebih sedikit pada usia lanjut dan biasanya bermakna klinis kecil. Namun demikian, situasi bisa berubah secara radikal jika komplikasi pasca bedah disertai dengan kehilangan banyak protein. Karena cadangan protein otot rangka berkurang, ini mengakibatkan kemunduran fungsi fisiologi yang cepat dengan implikasi lebih sulit untuk sembuh. MANAJEMEN METABOLIK DARI PASIEN BEDAH BERUSIA LANJUT Berdasarkan pandangan luas bahwa sistem organ penting memiliki cadangan fungsi yang berkurang saat usia menua, suatu program umum untuk manajemen metabolik pasien usia lanjut yang menjalani pembedahan mayor bisa disusun dalam tiga tahapan: manajemen pra bedah, manajemen pasca bedah dan manajemen fase injury dan fase recovery.
  • 34. Manajemen metabolik sebelum pembedahan Perhatian yang lebih harus diberikan kepada pasien usia lanjut yang akan menjalani pembedahan. Penyakit jantung yang tersembunyi diselidiki lebih teliti. Ini mencakup anamnesis, pemeriksaan fisik, elektrokardiografi dan X-foto toraks. Risiko komplikasi jantung pada pasca bedah jauh lebih besar jika gagal jantung bendungan tidak dikendalikan (Gerson dkk 1985). Pasien dengan penyakit pembuluh darah tepi yang simtomatik juga cenderung mengalami masalah. Pasien usia lanjut memiliki risiko lebih besar untuk komplikasi pernapasan, sehingga spirometri sederhana merupakan tes faal paru yang paling berguna (Tisi 1979). Pasien usia lanjut dengan kehilangan berat badan dan hipoalbuminemia cenderung mengalami ekspansi cairan ekstraseluler dan cairan yang mengandung natrium tinggi harus digunakan dengan hati-hati. Bila gangguan dijumpai sebagai sekunder terhadap penurunan cadangan protein, suplementasi nutrisi akan bernilai dalam memulihkan fungsi sebelum operasi (lihat Bab 6). Penurunan fungsi ginjal secara progresif selalu terjadi dengan bertambahnya usia. Kadar kreatinin serum mungkin normal walaupun ada penurunan laju filtrasi glomerulus; ini disebabkan massa otot yang berkurang serta laju filtrasi glomerulus yang menurun pada usia lanjut merupakan suatu konsekuensi yang lebih baik dinilai dengan pengukuran bersihan kreatinin. Manajemen metabolik intraoperatif Pemantauan fisiologis intraoperatif penting pada populasi geriatrik karena keterbatasan-keterbatasan dalam fungsi kardiovaskuler dan pernapasan, serta penurunan kemampuan untuk mempertahankan homeostasis cairan elektrolit, asam basa dan suhu. Pengukuran kontinyu tekanan darah dan pemantauan EKG untuk kecepatan dan irama, serta pemantauan laju pernapasan, oksigenasi jaringan tepi dan PCO2, serta suhu tubuh harus dipikirkan pada semua pasien usia lanjut (Charlson dkk 1990). Kateter urin untuk memantau jumlah urin diperlukan pada semua pasien bedah mayor di mana diantisipasi pemberian cairan dalam jumlah bermakna. Sebagian ahli menganjurkan pemantauan hemodinamik invasif harus digunakan pada hampir semua pasien usia lanjut yang menjalani operasi abdomen dan toraks (Del Guercio & Cohn 1980). Ini disebabkan abnormalitas jantung, paru dan transpor oksien yang tidak mudah diidentifikasi dengan cara biasa mungkin terdeteksi dan diatasi lebih dini. Pedoman penting untuk ahli anestesi pada perawatan metabolik adalah pencegahan perubahan besar dalam tekanan darah dan denyut jantung serta pencegahan gangguan cairan, elektrolit dan asam basa. Yang tidak bisa dipisahkan dari hal-hal tadi adalah pembedahan yang bersih dan tidak merusak juga penting. Hubungan antara komplikasi yang disebabkan ahli anestesi dan ahli bedah terhadap pemulihan dan konvalesensi pasien adalah sangat dekat dan sangat penting terhadap perawatan pasien usia lanjut. Manajemen pasca bedah Upaya team bedah ditujukan untuk membatasi stres pasca bedah yang timbul karena hipoksemia, hipotermia dan nyeri. Komplikasi paru pasca bedah lazim dijumpai pada pasien usia lanjut dengan gagal napas dan transpor oksigen yang tidak memadai lebih sering dijumpai dibanding pada pasien muda. Komplikasi ini merupakan penyebab kematian penting pada populasi ini. Tekanan dan kandungan oksigen arteri pada istirahat menurun secara progresif dengan meningkatnya usia dan penurunan lanjut yang diinduksi operasi sangat menonjol pada pasien geriatri. Di samping itu, respons ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapnia tidak sensitif pada usia lanjut. Hipotermia pasca bedah lebih menonjol pada pasien usia lanjut dan kebutuhan oksigen nyata meningkat dengan menggigil. Prosedur abdomen dengan anestesi umum menginduksi penurunan kapasitas vital yang bisa menetap sampai dua minggu pasca bedah. Akibatnya, bronkiolus kolaps dan ketidakimbangan ventilasi-perfusi serta meningkatnya gradien oksigen alveoli-vena. Taktik yang digunakan untuk meningkatkan oksigenasi termasuk penggunaan anestesi epidural atau subaraknoid, anestesi lokal dan mobilisasi dini dengan menyuruh pasien duduk dan bergerak. Spirometri, latihan pernapasan dan IPPB juga bermanfaat dalam mengurangi komplikasi pulmoner dan membantu mempersingkat masa rawat (Celli dkk 1984). Tambahan oksigen melalui masker atau nasal prong harus rutin diberikan selama beberapa hari untuk pasien usia lanjut yang menjalani operasi mayor abdomen atau toraks, sampai pasien bisa bergerak kembali. Penurunan suhu tubuh sentral sering dijumpai pada pasien usia lanjut dan proporsional dengan peningkatan usia. Hipotermia harus diminimalkan atau dicegah di kamar operasi dengan mengatur suhu
  • 35. ruangan, mengurangi pemaparan permukaan tubuh, menghangatkan larutan infus dan gas ventilator serta selimut panas. Sebagian dari teknik-teknik ini bisa digunakan pada periode pasca bedah. Analgesia memainkan peran penting dalam memacu mobilisasi dini, meningkatkan volume residual paru dan memperbaiki pertukaran gas. Nyeri pasca bedah sendiri merupakan stimulus untuk pelepasan hormon-hormon stres dan karena semua alasan ini, nyeri pasca bedah harus dikelola sebagaimana dirinci pada Bab 2, namun khusus pada pasien usia lanjut perlu diperhatikan depresi pernapasan yang bisa ditimbulkan opiat, sehingga harus diperlakukan sebagai cadangan (atau dihindari) pada usia lanjut. Terapi cairan pasca bedah Kepekaan pasien usia lanjut untuk beradaptasi dengan beban air dan garam berkurang, dan kesanggupan untuk menyimpan garam dan air juga menurun ketika diperlukan. Penurunan laju filtrasi glomerulus menjelaskan penurunan akut dari kemampuan ginjal untuk mengekskresikan beban air dan garam, dan ini merupakan predisposisi untuk kelebihan beban air. Hiponatremia plus intoksikasi air merupakan gangguan serius yang bisa menyebabkan anoreksia, kelemahan, letargi, kebingungan dan mungkin koma. Pasien usia lanjut cenderung untuk mensekresi ADH berlebihan, khususnya selama stres pembedahan. Kelebihan sekresi ADH ini disertai dengan ekspansi cairan ekstraseluler, hiponatremia dan gangguan pemekatan urin (Rowe 1980). Tidak ada cara selain memberikan air dan garam dengan titrasi hati-hati pada periode pasca bedah. ============================================================================== BAGIAN III PASIEN IKTERUS YANG MEMBUTUHKAN OPERASI MAYOR Manajemen pasien dengan ikterus obstruksi berevolusi karena adanya fakta-fakta berikut: * Terdapat defisit energi yang disebabkan malabsorpsi lemak dan jika ikterus menetap lebih dari 2 minggu, selalu diikuti malnutrisi * Defisiensi vit K terjadi dan pembekuan darah tidak normal * Empedu terinfeksi dan pembedahan menyebabkan bakteremia dengan kemungkinan penyebaran sepsis * Gagal ginjal merupakan risiko pada pasien ikterus yang menjalani operasi * Respons penyembuhan luka mungkin terganggu pada pasien dengan ikterus obstruksi. PERSIAPAN METABOLIK PRA BEDAH Dekompresi dengan terapi nutrisional Jika obstruksi berlanjut sampai beberapa minggu, malabsorpsi lemak dan vitamin larut-lemak mengakibatkan tidak hanya malnutrisi protein energi, melainkan juga defisiensi vitamin K dengan menurunnya kadar protrombin. Ada bukti bahwa dekompresi pra bedah baik secara endoskopik atau transhepatik bisa memperbaiki prognosis hanya jika disertai dukungan nutrisi (Foschi dkk 1986). Jadi, jika malnutrisi protein energi memiliki intensitas cukup untuk mengganggu kinerga fisiologis (lihat Bab 5), kombinasi dekompresi dan dukungan nutrisi jangka pendek (TPN atau EN) harus diberikan selama kira- kira 5 hari akan menghasilkan peningkatan dalam kekuatan genggam, fungsi pernapasan dan pemulihan kadar protein plasma waktu-paruh singkat, seperti prealbumin dan retinol binding protein (lihat Bab 6). Pencegahan gagal ginjal Jika pengeluaran urin tidak diperhatikan pada pasien bedah dengan ikterus yang tak mereda, gagal ginjal akut bisa terjadi. Kerusakan ginjal agaknya berasal dari efek nefrotoksik endotoksin bakteri. Jika pasien sudah menjalani pemeriksaan atau prosedur yang menimbulkan dehidrasi (seperti persiapan usus secara mekanis) infus intravena harus dimulai pada malam sebelum operasi dan 2 liter dekstrosa dan saline diberikan semalaman. Karena semua duktus biliaris terkontaminasi, antibiotika diberikan selama 24 jam sebelum operasi, dan jika operasi sangat luas atau terkontaminasi, antibiotika harus dilanjutkan selama 5 hari sesudahnya. Normalisasi pembekuan darah
  • 36. Vitamin K, 10 mg setiap hari selama 5 hari, dianjurkan tetapi dosis lebih besar dari ini bisa menekan kadar protrombin (Cohn 1975). Biasanya terapi ini akan mengkoreksi defisiensi vit K yang disebabkan obstruksi saluran empedu. PERAWATAN INTRAOPERATIF Ahli bedah berperan utama dalam mengusahakan bahwa hemostasis akurat, pembedahan mulus dan tdak merusak, dan kontaminasi diusahakan minimum. Perhatian khusus diberikan kepada teknik penutupan luka. Peran utama dari penata anestesi adalah mencegah hipovolemia dan memastikan bahwa selama prosedur, pengeluaran urin dijaga 1 ml/kg/jam. PERAWATAN PASCA BEDAH Setelah operasi relatif lebih banyak kristaloid diberikan dengan harapan mencegah gagal ginjal pasca bedah. Setelah ikterus obstruksi mereda, pengeluaran empedu bisa lebih dari 3 liter per hari dan deplesi garam bisa segera berkembang jika imbang natrium tidak diperhatikan dengan seksama. Jika volume drainase besar, sebaiknya empedu dikumpulkan dan kandungan natriumnya dianalisis, karena pada beberapa keadaan kadar natrium dalam empedu bisa lebih tinggi daripada plasma. Jika nutrisi parenteral pra bedah telah diberikan, maka harus dilanjutkan pada periode pasca bedah sampai pasien mendapat 1000 kcal/hari melalui oral. Vitamin K harus diteruskan sampai saat ini juga. Umumnya, setelah operasi jenis ini, pasien sukar makan dan keluarga pasien perlu didorong untuk memberikan makanan yang disukai pasien. Pemberian suplemen nutrisi dengan pipet mungkin berguna. Ada baiknya memperhatikan efek buruk dari hipoalbuminemia pada pasien pasca bedah. Tidak hanya pengosongan lambung yang melambat, penyerapan usus juga terganggu karena edema usus yang terjadi pasien hipoalbuminemia. ============================================================================== BAGIAN IV MANAJEMEN PASIEN DENGAN INSUFISIENSI ADRENAL YANG AKAN MENJALANI OPERASI MAYOR Dalam praktek kedokteran modern, jarang dilakukan pembedahan pada pasien yang sedang mendapat steroid. Biasanya, dokter bedah menjumpai keadaan ini pada pasien-pasien penyakit radang usus (inflammatory bowel disease) atau pada mereka yang mendapat steroid untuk pengobatan asma atau kondisi kronis lainnya. Pada pasien demikian, sekresi adrenokortikoid terhambat dan penghambatan ini bisa menetap lama setelah steroid dihentikan, sampai kira-kira satu tahun (Br Med J Editorial 1980). Ini diakibatkan oleh penekanan sekresi CRF (corticotrophin releasing factor) di hipotalamus atau penghambatan pelepasan ACTH (adrenocorticotrophic hormone) di hipofisis anterior. Masalah penghambatan ini tidak begitu besar jika steroid telah diberikan setiap dua hari, namun pada kasus apapun dokter bedah sebaiknya mengadopsi regimen standar pada semua pasien yang sedang mendapat steroid untuk jangka lama dan direncanakan operasi mayor (Harris & Kendall-Taylor 1989). MANAJEMEN Malam sebelum operasi Berikan hidrokortison hemisuksinat 100 mg inramuskuler (prednison empat kali lebih kuat daripada hidrokortison).  Hari operasi 100 mg hidrokortison hemisuksinat i.m. pagi dan malam hari. Selama operasi hidrokortison dilanjutkan 100- 300 mg.i.v. Hari pertama pasca bedah 100 mg hidrokortison i.m. setiap 12 jam. 3 hari berikutnya 50 mg hidrokortison i.m. setiap 12 jam.
  • 37. 3 hari berikutnya dan setelah itu 25 mg hidrokortison setiap 12 jam. Dosis diparuh setiap 3 hari dengan tujuan menghentikan steroid 3 atau 4 minggu sejak pembedahan. Jika timbul komplikasi pasca bedah dosis harus paling sedikit 100 mg i.m. setiap hari sampai pasien pulih Tekanan darah mungkin merupakan pemeriksaan dini tentang ketidakcukupan dosis steroid. Ini harus diperiksa setiap jam untuk 48 jam pertama dan setelah itu setiap 6 jam sampai pasien stabil.  Pada keadaan-keadaan pengecualian terutama bila dosis hidrokortison lebih rendah dari 100 mg per hari, pasien mengalami deplesi garam. Biasanya ini terjadi pada mereka yang telah dioperasi untuk penyakit radang usus, dengan kehilangan lebih dari biasanya dari ileostomi. Penatalaksanaan yang tepat adalah memperlambat output dari ileostomi dengan pemberian obat penginduksi konstipasi dan mengganti kehilangan cairan dengan Ringer laktat. Belakangan ini sebagian ahli menganjurkan regimen steroid yang digariskan di atas dengan dosis kortikosteroid lebih tinggi (Kahlet 1975). Kesimpulan ini didasarkan pada percobaan hewan dan kajian manusia di mana pembedahan yang lebih ringan dan komplikasi cenderung lebih sedikit daripada yang biasa dibutuhkan pada operasi pasien dengan penyakit radang usus (Kehlet & Binder 1973). Menurut pandangan kami, berbahaya jika digunakan regimen yang lebih sedikit. Ada konsensus bahwa pengobatan dengan hidrokortison dosis tinggi selama beberapa hari yang disusul dengan penurunan cepat terlihat memberi perlindungan, tanpa disertai akibat buruk ini merupakan penatalaksanaan yang sesuai pada pasien yang mendapat terapi steroid dosis tinggi dalam setahun sebelum operasi. MASALAH KHUSUS DARI PASIEN YANG MENDAPAT STEROID Pada pasien yang mendapat steroid dosis tinggi, ada dampak mendasar terhadap imunitas sistemik dengan menurunnya akumulasi sel darah putih pada lokasi kerusakan jaringan, dan ini mempengaruhi penyembuhan. Seluruh rantai kejadian ini menghasilkan gangguan penyembuhan dan pengendalian radang, yakni melambat pada pasien-pasien yang mendapat steroid. Dalam praktek, respons penyembuhan luka lambat, kesanggupan rongga peritoneum untuk melokalisasi sepsis berkurang dan infeksi serius muncul lambat karena tanda-tanda fisik tidak jelas (Fauci dkk 1976). Ahli bedah harus memastikan bahwa jahitan tidak menjepit, akurat dan penutupan fasia dilakukan dengan bahan permanen serta benang jahitan kulit didamkan lebih lama daripada biasa. Pada keadaan darurat, anastomosis yang dilakukan di daerah yang tercemar dihindarkan. Disini lebih sering dilakukan defungsionalisasi dan kulit dibiarkan terbuka. ============================================================================== BAGIAN V MANAJEMEN PASIEN BEDAH MAYOR DENGAN KEHILANGAN BERAT BADAN MASSIF Walaupun pasien bedah mayor dengan kehilangan berat badan massif akan dibahas rinci kemudian (Bab 18), beberapa prinsip umum akan digariskan di sini. Kehilangan berat badan sendiri mungkin tidak penting dan jika gangguan fungsi tidak ada, komplikasi pasca bedah tampaknya tidak lebih tinggi daripada pasien yang berat badannya normal. Di lain pihak, bila kehilangan berat badan disertai dengan gangguan fungsi organ yang jelas, antara lain fungsi pernapasan, fungsi otot rangka, fungsi psikologis, penyembuhan luka dan hipoalbuminemia, maka komplikasi pasca bedah lebih sering dan masa rawat lebih lama. Pasien-pasien dengan kehilangan berat lebih dari 20% hampir selalu mengalami gangguan fisiologis dan risiko komplikasi pasca bedah lebih tinggi. Mereka dengan kehilangan berat badan kurang dari 10%, kebanyakan tidak memiliki gangguan fungsi dan komplikasi pasca bedah memiliki frekuensi sama dengan mereka dengan berat badan normal. Pada pasien-pasien dengan kehilangan berat badan antara 10 dan 20% inilah perlu diperiksa dengan seksama untuk melihat gangguan fisiologis, dan jika ada terapi nutrisi perioperatif perlu dipertimbangkan. Akan tetapi, sekarang jelas bahwa TPN pra bedah lebih banyak merugikan daripada menguntungkan pada pasien dengan malnutrisi marginal, namun pada mereka dengan malnutrisi berat (dan ini harus benar- benar jelas dengan pemeriksaan fisik), dukungan nutrisi singkat kira-kira 7 hari adalah efektif (Bab 18). BAGIAN VI MANAJEMEN PASIEN KANKER YANG AKAN MENJALANI OPERASI MAYOR
  • 38. Banyak kepustakaan tentang efek-efek metabolik dari kanker (lihat tinjauan Douglas & Shaw 1990) dan dokter bedah bisa dimaklumi jika bingung tentang perhatian-perhatian khusus yang harus diberikan kepada pasien kanker selama periode perioperatif. Masalahnya bisa disederhanakan dengan mempertimbangkan tiga keadaan klinis berikut: PASIEN DENGAN KEGANASAN TERLOKALISASI DAN AKAN MENJALANI BEDAH EKSISI Pasien dengan adenokarsinoma kolon, lambung, pankreas dan saluran hepatobilier tanpa tumor yang sangat besar atau bukti penyebaran harus dipandang sebagai pasien dengan status metabolisme serupa dengan pasien tumor jinak (Shaw & Wolfe 1988b). Kehilangan berat badan pra bedah, yang disebabkan perubahan sensasi pengecapan, anoreksia, atau efek lokal tumor kadang-kadang bisa massif (Theologides 1979) tetapi ini jarang bermasalah. Jika gangguan fungsi fisiologis bermakna maka diindikasikan dukungan nutrisi dan bisa diantisipasi bahwa protein akan dideposit dengan laju yang sama seperti pada pasien tumor jinak (Hill dkk 1991). Demikian halnya, pada masa pasca bedah, seperti pasien tanpa kanker, infus dekstrosa menghasilkan efek menghemat protein dan jika dibutuhkan TPN, kehilangan protein bisa dicegah (Shaw & Wolfe 1988b). Satu-satunya perbedaan yang dimiliki pasien kanker dibanding pasien tumor jinak adalah rasa letih pasca bedah cenderung lebih lama. Pada kajian faktor-faktor pra bedah yang cenderung diikuti rasa letih pasca bedah, kami mendapatkan bahwa pasien-pasien dengan diagnosis kanker, baik yang akan diterapi kuratif atau tidak, mengeluh rasa letih lebih lama pada masa pasca bedah (Schroeder & Hill 1992). PASIEN DENGAN TUMOR BESAR ATAU DENGAN METASTASIS Pasien dengan sarkoma (Shaw & Humberstone 1988), limfoma (Humberstone & Shaw 1988), tumor besar (Shaw & Wolfe 1988b) dan mereka dengan tumor yang telah menyebar ke hati dan tempat lain (MacFie dkk 1982) bersifat hipermetabolik. Kecil kemungkinannya, tumor itu sendiri yang menyebabkan hipermetabolisme, dan agaknya ada peptide regulatory factors yang terlibat (Douglas & Shaw 1990).Pasien-pasien ini mengalami perubahan metabolisme dan pertukaran substrat antar organ (Gambar 3.1) yang tidak berbeda dengan yang terlihat pada sepsis (Brennan 1977, Douglas & Shaw 1990, Chen dkk 1991). Jika dibutuhkan operasi mayor pada pasien malnutrisi berat dengan kanker lanjut, tidak bisa diharapkan bahwa dukungan nutrisi akan mengisi kembali cadangan protein tubuh (Shaw & Wolfe 1988b). Namun demikian, pemberian nutrisi dalam beberapa hari akan memulihkan sebagian aspek dari fungsi fisiologis dan kadar plasma dari protein-protein waktu-paruh singkat (lihat Bab 6). Perawatan pasca bedah harus mencakup perhatian khusus terhadap imbang cairan (menghindari kelebihan natrium, karena ditakuti ekspansi volume ekstraseluler) dan dukungan nutrisi untuk mencegah deplesi protein lebih lanjut.
  • 39. PASIEN DENGAN KEGANASAN SALURAN CERNA DAN AKAN MENJALANI PEMBEDAHAN EKSTIRPASI Contoh tipikal dari pasien ini meliputi mereka dengan tumor esofagus dan esofagus plus gaster. Pasien- pasien ini mungkin sangat kurus dan memerlukan prosedur operasi yang sukar dan lama sehingga risiko komplikasi pasca bedah tinggi. Tabel 3.2 melukiskan pengukuran komposisi tubuh, protein plasma dan pemakaian energi metabolisme yang kami kerjakan pada 17 pasien yang menjalani gastrektomi total dan esofagektomi distal karena adenokarsinoma lambung proksimal/esofagus bawah (Hill 1988). Sebelum operasi diusahakan untuk menyingkirkan adanya metastasis dan tak seorangpun memiliki metastasis ke hati, paru atau peritoneum. Setiap pasien menjalani prosedur sesuai rencana, namun tak ada yang bertahan lama (yakni lebih dari 3 tahun). Ini memberi kesan tumor primer sudah luput dari pengendalian lokal selama pembedahan. Dari tabel bisa dilihat bahwa perubahan-perubahan komposisi tubuh yang disebabkan neoplasma sangat serupa dengan yang disebabkan oleh starvasi sederhana (lihat Bab 5 Tabel 5.3). Terpisah dari RME (resting metabolic expenditure) yang sedikit meningkat dan penurunan ringan dari albumin plasma, sedikit kemungkinan metabolisme septik. Seandainya perbaikan status nutrisi sudah dibutuhkan sebelum pembedahan, bisa diantisipasi peningkatan ringan dari protein total tubuh. TPN pasca bedah diberikan ke masing-masing pasien, dan menghasilkan penghematan cadangan protein tubuh, pemulihan protein plasma sampai normal dan sedikit peningkatan cadangan lemak tubuh. Kami berkesimpulan bahwa data-data yang memperlihatkan pasien bedah dengan tumor gastrointestinal yang sangat besar yang secara klinis belum beranak sebar, bisa dobati dengan cara yang amat serupa dengan pasien tanpa keganasan. APAKAH NUTRISI PARENTERAL TOTAL (TPN) MENCEGAH PERTUBUHAN KANKER? Data pada hewan memberi kesan bahwa nutrien yang diberikan dengan nutrisi parenteral dikonsumsi lebih banyak oleh tumor (Fried dkk 1985, Grube dkk 1985) walaupun ada banyak perdebatan tentang hal ini pada kanker manusia (Fischer 1984, Heys dkk 1991). Beberapa cara eksperimental (Mullen dkk 1980) dan logika klinis (Copeland 1990) member kesan jika terjadi perangsangan pertumbuhan tumor secara bermakna, pasti sudah menjadi masalah klinis sekarang .