2. Department of Family and
Consumer Sciences (IKK)
BuildingHuman Capital for Better Lives
http://ikk.fema.ipb.ac.id
Outline :
1. Tipe Keluarga dan Perkawinan
2. Fungsi Keluarga
3. Keluarga dan Sosialisasi Budaya
4. Keluarga dan Sosialisasi Emosi
5. Interaksi Orangtua-Anak
6. Konflik Orangtua, Perceraian, Penyebab dan
Dampaknya
7. Pengukuran Interaksi Orangtua-Anak
3. • Terdiri dari 2 atau lebih anggota yang diikat oleh pertalian
perkawinan, hubungan darah atau adopsi
• Hidup Bersama dan memperhatikan satu sama lain – berkomunikasi
• Berinteraksi satu sama lain dan menjalankan peran sebagai suami,
istri dan anak-anak
• Memiliki tujuan untuk perkembangan kehidupan – keterampilan dan
kesejahteraan & kebahagiaan
1
4. KELUARGA (Emile Durkheim) :
KELUARGA KONJUGAL – karena ikatan perkawinan
terdiri dari ayah-ibu–anak, disebut juga keluarga inti
atau keluarga batih
KELUARGA KOSANGUIN – karena hubungan darah
atau satu keturunan (marga)
Emile Durkheim (1858-1917):
- Pembagian kerja di dalam masyarakat
- Peran metode sosiologi
- Pembahasan tentang fenomena bunuh diri
• Kesatuan Agama
• Kesatuan Keluarga
• Kesatuan Politik
5. • FUNGSI KELUARGA (George Peter
Murdock) :
• Penghargaan scr seksual - biologis
• Pembagian tugas secara gender antara
laki-laki & perempuan
• Reproduksi
• Enculturation – meneruskan budaya
PENGASUHAN ANAK
IBU MEMBERIKAN KEHANGATAN –
NURTURANCE
PRIMARY BOND – antara ibu dan anak
(Robin Fox)
2
6. Jika Pasangan yang menikah
berbeda Etnis dan Ras :
- ekspresi emosi yang berbeda
- cara penyampaian kasih sayang
berbeda
- tingkat kepuasan perkawinan dan
kebahagiaan berbeda
Pasangan Suami Istri menyesuaikan latar belakang budaya
dan ekspresi emosi
Sehingga tidak ada mis-komunikasi
kesalah pahaman bahasa dan mimik muka serta ungkapan
kasih sayang
Ada pasangan yang terbuka
atau Tertutup
Pasangan yang Terbuka lebih mudah menyesuaikan Diri
3
7. - Marital conflict is not just a
difference of opinion. Rather,
it is a series of events that
have been poorly handled so
as to deeply damage the
marriage relationship.
- Marriage issues have
festered to the point that
stubbornness, pride, anger,
hurt and bitterness prevent
effective marriage
communication.
perkawinan adalah
upaya menekan
perilaku keras kepala
Perkawinan
mengurangi
ketinggian,
kebanggaan
Perkawinan adalah
pengelolaan emosi,
rasa sakit dan pahit
Saling menghargai
keunikan/kepribadian
Saling menghormati
dan menjaga
perasaan
8. Department of Family and
Consumer Sciences (IKK)
BuildingHuman Capital for Better Lives
http://ikk.fema.ipb.ac.id
KELUARGA & SOSIALISASI BUDAYA:
- PERKAWINAN DAN UPAYA MENERUSKAN
BUDAYA KELUARGA
- KETURUNAN DAN NILAI KELUARGA
9. Keeping It in the Family: Female Inheritance, In-marriage, and the Status
of Women (Duman Bahramirad , 2018)
• Terdapat kecenderungan bahwa untuk mempertahankan harta
kekayaan maka wanita yang berasal dari keluarga kaya akan
dikawinkan dengan keluarga satu marga atau satu garis keturunan
ayah (satu suku atau satu marga)
• Hal ini dimaksudkan agar harta warisan tidak jatuh pada keluarga
pihak laki-laki yang jauh relasinya.
• Proses enkulturasi tidak bisa dilepaskan dari isu perkawinan pada
suatu suku.
• Sebagai contoh Orang Suku Tengger akan berusaha dikawinkan
dengan suku Tengger pula.
10. • Pengetahuan tentang emosi
adalah bagian penting untuk
menguasai kompetensi emosi –
yang akan berkontribusi pada
pengaturan emosi yang lebih baik
serta keterampilan “coping”
(Eisenberg et al. 2005; Yang and
Wang 2016).
IBU MEMBERIKAN KEHANGATAN – NURTURANCE
PRIMARY BOND – antara ibu dan anak (Robin Fox)
PERKAWINAN DAN KELUARGA : PROSES
PEMBERIAN KASIH SAYANG DAN
PERLINDUNGAN PADA ANAK
Kemampuan Anak :
• Mengekspresikan EMOSI
• Mengendalikan EMOSI
4
11. Building Human Capital for Better Lives
• Sejak usia dini anak mendapatkan
pengetahuan ttg emosi dari orangtuanya.
• Pada keluarga kelas menengah di keluarga
Eropa Amerika, orangtua terlibat dalam
percakapan yg melibatkan emosi dengan
anaknya (Wang et al. 2006). Pada budaya ini
orangtua merupakan pelatih emosi “emotion
coaches,” membantu anak untuk mengerti
emosi (Denham et al. 1994).
• Tidak semua orangtua menjadi pelatih
emosi. Di China orangtua menganggap
emosi adalah mengganggu dan berbahaya
bagi hubungan sosial (emotions as disruptive
and potentially dangerous to social
relationships), mereka mengajar anak
anaknya untuk menahan emosi (Wang et al.
2006).
Wang and colleagues (Wang 2003; Wang et al. 2006)
memperlihatkan bahwa :
di usia 3 tahun anak Eropa Amerika telah mengenal
emosi dibandingkan anak anak China yang tinggal di
Beijing ataupun Amerika Serikat.
Artinya perbedaan budaya dalam pengasuhan dan
sosialisasi emosi dapat mengarahkan pada
perbedaan pengenalan emosi anak. Oleh karenanya
sejumlah pengenalan emosi diperlukan bagi
keberhasilan dalam suatu masyarakat, tergantung
pada budaya dan norma yang berlaku atau
dianutnya.
12. • Ibu-ibu Jerman, berharap ekspresi emosi yang lebih dini
dibandingkan ibu-ibu Cameroon- mereka juga menilai
ekspresi emosi secara berbeda (Keller and Otto 2009).
• Ibu Cameron percaya bahwa bayi harus mengendalikan
emosi, terutama emosi negative, di tiga tahun pertama
kehidupannya
• Ibu Jerman tidak setuju dengan tujuan tersebut, dan lebih
menghargai otonomi dan ekspresi emosi dari anak-anaknya.
• Mereka berusaha menerangkan penampilan perasaan anak,
misalnya bertanya : “apa kamu lapar nak?”
• Sebagai konsekuensinya, ibu Cameroon menunjukkan
perasaan emosi yang adaptif strategis dengan kalem dan
tidak ekspresif, sedangkan ibu Jerman lebih ekspresif.
13. Building Human Capital for Better Lives
KELUARGA MEMBENTUK EMOSI POSITIF PADA ANAK
• Pada budaya Eropa Amerika, kebahagiaan adalah tujuan utama dan menjadi
indikator keberhasilan sukses pribadi (Ma et al. 2018). Oleh sebab itu saat
mereka merasakan emosi positif, maka hal itu ditunjukkan (allows them to savor
rather than dampen those positive feelings (Ma et al. 2018).
• Sementara pada budaya Asia Timur, emosi positif digambarkan sebagaitidak
permanen “viewed as fleeting” diajarkan kepada anak bahwa hal ini akan
menimbulkan konsekuensi negative (e.g., envy, avoidance of reality; Ma et al.
2018).
• Ma and colleagues (2018) : menemukan bahwa orang Jepang kurang menghargai
perasaan positif dibandingkan orang Amerika.
• Artinya budaya dan kepercayaan tentang perasaan (emosi) dipengaruhi oleh
pengelolaan thd intensitas dan lamanya perasaan positif yang dialami.
14. Emotional Expressiveness
• Anak anak belajar mengungkapkan perasaan dari berbagai pengaruh – orangtua, guru,
teman.
• Keluarga dan Norma budaya mempengaruhi gaya pengasuhan – juga interaksi sosialnya
– melalui peraturan terkait emosi “emotion display rules” (McDowell and Parke 2000).
• Peraturan ini mengarahkan intensitas dan frekuensi dimana anak mengungkapkan emosi
positif maupun negative.
• Pada orang Amerika kelas menengah, emosi dipandang sebagai pengalaman
intrapersonal – dan ekspresi emosi digambarkan sbg ekspresi kepribadiannya (Lee et al.
2017).
• Oleh karena itu, anak belajar bahwa ungkapan emosi, baik positif maupun negative
dapat diterima oleh orangtua (Keller and Otto 2009)
15. Emotional Expressiveness
• Di Korea, emosi digunakan untuk merawat harmoni sosial, dan ekspresi
kebutuhan individu atau personal dinilai sebagai “selfish” (Kim et al. 2008).
• Sebagai konsekuensinya anak di Korea belajar mengendalikan perasaan
negative, akibatnya ekspresi perasaan rendah atau kurang (Lee et al. 2017).
• Dengan demikian Ekspresi emosi dianggap sbg kompetensi bds budaya – dan
dianggap diterima “acceptable” sesuai budaya “level of emotional expression
is clearly culturally specific”.
16. • Bagi bayi fungsi primer dari emosi dan perasaan adalah untuk
mengelola tindakan pengasuhnya (Holodynski and Friedlmeier
2012).
• Menangis akan membawa pengasuh dan ibu memenuhi kebutuhan
bayi, dan interaksi interpersonal yang membentuk perilaku pengasuh
• Namun pengasuh atau ibu juga membentuk perilaku emosi bayi,
sesuai dengan pandangan para “ parental ethno-theories tentang
emosi.
• Sebagai contoh, ibu Cameroon tidak mempedulikan senyuman bayi
sebagai alat untuk melakukan kontak sosial- mereka jarang terlibat
dalam face-to-face interactions, serta mutual gaze
(berpandangan) dengan bayinya. Karenanya saat bayi Cameroon
tersenyum pada ibu, maka si ibu tidak membalas senyuman
tersebut.
• Sementara ibu Jerman berinteraksi face-to-face interactions, dan
ibu mendorong bayi tersenyum dengan membalas senyumannya.
Sebagai hasilnya bayi Jerman memperlihatkan frekuensi senyuman
lebih banyak dalam 3 bulan pertama kehidupannya (Wörmann et al.
2014).
17. • PENTINGNYA ATMOSFER EMOSI DI DALAM KELUARGA :
• Sebagai determinant dari psychological problems pada anak
anak (Fauber & Long, 1991; Ginsburg, Silverman, & Kurtines,
1995; Kashani, Vaidya, Soltys, et al., 1990; Kaslow, Deering,
& Racusin, 1994; Rapee, 1997).
• Banyak riset mengaitkan “ineffective parenting” dengan
“disruptive child behaviour” (Cernkovic, & Giordano, 1987;
Dishion, Patterson, Stoolmiller, & Skinner, 1991; Frick, Lahey,
Loeber, et al., 1992; Radziszewska, Richerdson, Dent, & Flay,
1996; Webster- Stratton, 1998;Wootton, Frick, Shelton, &
Silverthorn, 1997).
• Ineffective parenting dicirikan oleh kurangnya supervisi,
keterlibatan orangtua, dan penghargaan positif “positive
reinforcement” terhadap anak
• In studying the effects of parenting on child
psychopathology, it is important to have valid and reliable
instruments to assess the quality of parent-child
relationships.
18. INTERAKSI ORANGTUA – ANAK
Apakah ada Relasi antara kualitas perkawinan dengan kualitas Interaksi
O-A yang lemah ?
Kurangnya supervisi orangtua ?
Rendahnya keterlibatan orangtua ?
Kurangnya penghargaan positif ?
KUALITAS PERKAWINAN
DAN RELASI PASANGAN
SUAMI – ISTRI
5
19. KONFLIK ANTARA PASANGAN ORANGTUA
• Anak yang terpapar konflik orangtuanya berada dalam resiko untuk
mengalami permasalahan psikologis (e.g., depression and anxiety),
social adjustment difficulties, and behavioral difficulties (e.g.,
disruptive behaviors and aggression) selama masa kanak kanak
bahkan hingga ia tumbuh dewasa (Gerard et al., 2006; Grych, 2005;
Grych & Fincham, 2001; Kelly, 2000).
20. • Analisis konflik pasangan pada anak sebagai dampak relasi orangtua anak
harus melibatkan beberapa atribut pada orangtua dan anak itu sendiri.
• Atribut ini termasuk “coping resources and conflict management strategies”
yang dimiliki orangtua dan anak, demikian pula praktek sosialisasi dari
orangtuanya.
• Faktor lain adalah kualitas relasi orangtua-anak, kualitas perkawinan, relasi
pasangan, dan kelekatan dalam keluarga.
21. Coping Resources
• Sumberdaya untuk Penyelesaian Masalah
• Sumberdaya Manusia dan Materi serta Waktu
• SDM : bagaimana kualitas individu di dalam keluarga untuk
menyelesaikan konflik - tingkat ketangguhan, kesabaran
• Sumberdaya Materi yang dimiliki oleh keluarga untuk
menyelesaikan konflik : keuangan, kekayaan keluarga dan akses
keluarga untuk menyelesaikan masalah
• Sumberdaya Waktu yang dimiliki oleh keluarga, sehingga dapat
menyelesaikan masalah dengan baik
22. CONFLICT MANAGEMENT STRATEGIES :
• SD Materi : digunakan untuk menyelesaikan masalah -
sehingga dapat mencari sumber informasi : konseling,
pengetahuan, ketenangan, kenyamanan, spiritualitas anggota
keluarga yang meningkat --> dapat menyelesaikan stress dan
depresi perkawinan
• SD Materi dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah
keluarga - dapat membayar jasa konselor, pengacara,
penasehat perkawinan, sumber2 agama untuk membantu
penyelesaian konflik keluarga
23. @ THE FREQUENCY AND SEVERITY OF CONFLICT;
@THE EXTENT OF CHILDREN’S EXPOSURE TO; AND
@ INVOLVEMENT IN REOCCURRING PATTERNS OF
CONFLICT.
Faktor Di Atas Berperan Besar karena :
Terbukti Dampak Konflik Orangtua, Hubungan Orangtua-
anak terhadap Outcome Pada Anak (Deboard-lucas Et Al.,
2010; Grych, 2005).
ISU YANG PENTING DALAM MENJELASKAN PENGARUH
KONFLIK ORANGTUA ADALAH:
6
24. • Rhoades (2008) : respon anak terhadap kualitas
interaksi orangtua-anak – serta konsekuensi
dan dampaknya pada kualitas anak
• Menggunakan sampel anak usia 5 - 19 tahun,
Rhoades melaporkan effect size kecil hingga
moderate – hubungan antara : children’s
responses to IPC and children’s outcomes, with
negative responses by the young being
predictive of negative child outcomes.
25. Salah satu resiko perkawinan :
menikah muda
• Ketidaksiapan sebagai pasangan suami - istri
• ketidaksiapan sebagai orangtua : ayah dan
ibu
26. PERKAWINAN DI USIA ANAK DAN EFEKNYA PADA KEMAMPUAN SBG ORANGTUA
(KOALISI PEREMPUAN.OR.ID) :
27. RISET DARI SNF- FEB – UNIVERSITAS
INDONESIA :
Dampak Pernikahan Usia Anak
melanggar hak anak untuk tumbuh
kembang
28. PERKAWINAN DI USIA ANAK :
• Kemampuan sebagai seorang istri Kapasitas sebagai ibu
• FUNGSI ISTRI : Penyedia kasih sayang dan fungsi ekspresif dalam
keluarga.
• Memastikan apakah ibu muda (kurang dari 18 tahun) siap
menjalankan peran sebagai ibu yang harus menjalankan fungsi
kasih sayang dan sentral dalam mengelola serta mengatur
rumahtangganya.
• Seberapa kekuatan personal, mental dan intelektualnya dalam
menjalankan peran tersebut akan menjadi faktor penentu dalam
keberhasilannya atau kegagalannya sebagai istri dan ibu
29. PERKAWINAN USIA ANAK :
• Bagaiaman kesiapan Pasangan
menjadi suami-istri secara biologis
dan psikologis ?
• Kesiapan untuk hidup mandiri dan
bertanggungjawab sebagai kepala
keluarga ?
• Kematangan psikologis dalam
membina relasi dan interaksi
sebagai suami – istri
• Selanjutnya sebagai orangtua
kepada anak anaknya.
• Perkawinan usia anak, mengapa
berujung pada konflik, perceraian ?
• Mengapa terjadi lebih banyak
kekerasan pada keluarga ini?
• Bagaimana jika yang terjadi adalah
perkawinan antara pasangan yang
sama sama berusia anak (suami dan
istri berada pada usia anak)
• Bagaimana jika suami sudah dewasa
dan istri berada pada usia anak?
30. EFEK PERCERAIAN ORANGTUA PADA ANAK :
• Studi longitudinal : efek perceraian pada anak bervariasi tgt pada level
konflik yang terjadi sebelum putusan perceraian terjadi ( Amato, 2001;
Amato & Keith, 1991).
• Orangtua yang frekuensi konfliknya rendah dan tidak terlihat nyata
(tersembunyi atau konflik tidak diperlihatkan), maka anak anak
mengalami penurunan kemampuan penyesuaian setelah perceraian
terjadi. (Amato, Loomis, & Booth, 1995; Hanson, 1999; Jekielek, 1998;
Morrison & Coiro, 1999). Hal ini terjadi karena perceraian itu dipandang
mengejutkan – anak kaget.
31. EFEK PERCERAIAN ORANGTUA PADA ANAK :
• Sebaliknya anak yang orangtuanya konflik parah, jelas, intensif dan tidak
terpecahkan terus maka anak tersebut memiliki penyesuaian yang lebih
baik saat orangtua mereka benar benar bercerai.
• Fakta ini menunjukkan bahwa anak yg orangtuanya berkonflik diam diam,
tidak diperlihatkan pada anak – maka akan terkejut, kaget dan akhirnya
menimbulkan stress pada anak (Amato, 2001).
• Anak yang orangtuanya konflik di depannya – tidak melihat perceraian sbg
sesuatu yg mengejutkan. Akibatnya lebih sedikit mengalami stress dan
bahkan merasa lega.
32. Building Human Capital for Better Lives
Pengukuran Interaksi Orangtua-Anak :
• The current study presents results concerning the development and the
psychometric properties of the revised Parent-Child Interaction
Questionnaire (PACHIQ-R).
• This instrument is designed to assess the quality of the parenting
relationship between the individual parents and any (or all) of their
individual children.
• This instrument focuses both on attitudes and the behavioral interaction
between parent and child. A parent version and a child version of the
questionnaire have been developed.
• The items are formulated to avoid curvilinearity between the latent
construct of interest and the test scores: the higher the score, the better
the relationship.
7
33. Terdapat 2 Dimensi untuk menilai Parent-Child Interaction Questionnaire (PACHIQ) : Resolusi Konflik dan
Penerimaan dari Orangtua terhadap anak
34. PARENT-CHILD INTERACTION :
• Adanya perngahargaan pada anak
• Ada/tidaknya konflik tidak terselesaikan
antara orangtua-anak
• Adanya kekecewaan
• Keengganan atau keinginan mendengar anak
• Kebersamaan dengan anak menimbulkan
ketegangan
• Tidak memaksa anak jika ia sedang malas
mengerjakan tugas
• Merasa bahwa anak sbg “boss” di rumah
• Tidak menerima kritik
• Tidak mempercayai orangtua
• Melanggar peraturan di rumah sangat sering
• Tidak peduli jika anak tidak mau patuh
• Memutuskan mana teman untuk anak saya
• Bangga pada anak
• Anak Mendengarkan orangtua saat diberikan
penjelasan
• Orangtua memberikan pujian
• Punya waktu untuk mendengar anak
• Orangtua mendengarkan cerita anak
• Jika berbeda pendapat dengan anak, saya
akan berteriak padanya
• Orangtua sulit mengatakan hal baik pada
anak
• Saya menikmati kontak fisik dan
kebersamaan fisik dengan anak
• Jika anak sedang kecewa, sulit bagi orangtua
untuk mengerti apa yang sedang terjadi.
RESOLUSI KONFLIK PENERIMAAN
35. HUBUNGAN ORANGTUA-ANAK (PETERSEN & BUSH, 2012):
• Sepanjang masa kanak-kanak, hubungan orangtua anak bersifat kompleks,
beragam, dan fleksibel dan tergantung pada pengaruh ekologi sosial dan
dinamika internal yang terjadi.
• Comprehensive models of parent–child relationships – untuk ke depan –
penelitian sebaiknya menganalisis variabel dari lingkungan ekologi keluarga-
misalnya tetangga dan masyarakat sekitar, keragaman struktur keluarga seperti
pendapatan, komposisi keluarga, perceraian, kehadiran orangtua tiri, dll.
Termasuk juga proses interaksi (misal gaya pengasuhan dan praktek
pengasuhan) dalam konteks mikro system orangtua-anak.
36. Department of Family and
Consumer Sciences (IKK)
BuildingHuman Capital for Better Lives
http://ikk.fema.ipb.ac.id
TERIMA KASIH
dwihastuti@apps.ipb.ac.id
37. Building Human Capital for Better Lives
TUGAS PB 10 – IKK 704 :
• Carilah kasus 2 keluarga (utuh dan cerai, atau orangtua lengkap dan
orangtua tunggal) untuk setiap mahasiswa
• Wawancarai keluarga ini, dan gunakan instrument PACHIQ untuk menilai
interaksi orangtua dengan anak
• Buatlah dalam bentuk laporan dengan format sebagai berikut :
Pendahuluan, Hasil Wawancara dan penilaian PACHIQ, Pembahasan,
Simpulan dan Saran, Daftar Pustaka.
• Laporan diserahkan melalui link : course.ipb.ac.id paling lambat tanggal 9
Mei pukul 23.00 WIB.