SlideShare a Scribd company logo
1 of 66
1
MAKALAH ANALAISIS HUKUM KESEHATAN, UU KESEHATAN DAN
TENAGA KESEHATAN, INFORMED CONSENT DAN REKAM MEDIK
MENURUT PRODI NEUROLOGI
DOSEN
Prof.Dr. AMRI AMIR, SpF(K), DFM, SH, Sp.AK
OLEH PPDS ILMU PENYAKIT SARAF
MUHAMMAD REZA PUTRA
MUHAMAD IBNU SINA
ERNI BR PURBA
ANDRE LONA
PRATIWI HENDRO PUTRI
MAGISTER ILMU KEDOKTERAN KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2017
2
I. ANALISIS HUKUM KESEHATAN
A. Pengertian Hukum Kesehatan
Istilah hukum kesehatan ( medical law ) dalam negara yang menganut
sistim hukum eropa kontinental ( anglo saxon ) seperti, belanda , perancis
berbeda dengan health law bagi negara yang menganut sistim hukum common
law system ( amerika serikat, inggris ) yang dikarenakan bahwa helath law
merupakan istilah ruang lingkupanya lebih luas dibanding dengan medical law
karena sebagian orang yang menyatakan bahwa medical law adalah bagian dari
health law.
Menurut prof. H.J.J. Leneen mengatakan bahwa hukum kesehatan adalah
semua peraturan – peraturan hukum yang berhubungan langsung dengan
pemberian pelayanan kesehatan dan penerapanya kepada hukum perdata, hukum
pidana, dan hukum administarsi negara.
Dalam undang-undang Republik Indonesia nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan yang di maksud dengan Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan
dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintregasi dan
berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit.
B. Ruang Lingkup Hukum Kesehatan
Dewasa ini kemajuan iptek dibidang kesehatan telah sangat berkembang
pesat dengan di dukung oleh sarana kesehatan semakin canggih, perkembangan
ini turut mempengaruhi jasa profesionalisme di bidang kesehatan yang dari waktu
ke waktu semakin berkembang pula.
Dalam banyak hal yang berhubungan denngan masalah kesehatan , sering di
temui kasus – kasus yang merugikan pasien, oleh sebab itu tidak mengherankan
apabilaprofesi kesehatan ramai di perbincangkan baik di kalangan masyarakat
ataupun di kalangan intelektual. Sehingga sering timbul gugatan dari pasien yang
merasa dirugikan akibat adanya kesehatan atau kelalaian yang di lakukan oleh
tenaga kesehatan di dalam melaksanakan pemberian pelayanan kesehatan, maka
keadaan – keadaan seperti inilah yang menunjukkan suatu gejala, bahwa dunia
kesehatan (pelayan kesehatan ) mulai di landa krisis etik – etik medis, bahkan
juga krisis keterampilan medis yang pada dasarnya semuanya tidak dapat tidak
dapat di selesaikan dengan kode etik etika profesi para tenaga kesehatan semata,
melainkan harus diselesaikan dengan cara yang lebih luas, yaitu melalui jalur
hukum.
Munculnya kasus – kasus pelayanan kesehatan yang terjadi di tengah –
tengah lapisan masyarakat dalam hal masalah kesehata dan bnyaknya kritikan –
kritikan yang muncul terhadap pelayanan kesehatan itu merupakan indikasi bahwa
kesadaran hukum oleh masyarakat dalah hal masalah kesehatan semakin
meningkat pula.
3
Hal ini juga yang menyebabkan masyaraaakat tidak mau lagi menerima
begitu saja cara pelayanan yang kurang efisien yang akan dilakukan para tenaga
medis kesehatan kepada masyaraakat, akan tetapi engin menjalani bagaimana
pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat itu harus dilakukan, serta
bagaimana masyarakat harus bertindak sesuai denagn hak dan kepentinganya
apabila mereka menderita kerugian akibat dari kelalaian pelayanan kesehatan
yang pada dasarnya adalah kesalahan atau kelalaian pelayan kesehatan
merupakan suatu hal yang penting untuk di bicarakan dalam hal ini yang di
sebabkan akibat dari kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan tersebut yang mempunyai
dampak yang sangat merugikan, selain merusak atau mengurangi kepercayaan
masyarakat terhadap profesi pelayanan kesehatan, juga menimbulkan kerugian
terhadap pasien atau masyarakat.
Maka untuk itu di dalam memahami ada tidak adanya kesalahan ataupun
kelalaian yang dilakuakan tenaga medis , maka hal itu harus dihadapkan dengan
kewajiban profesi disamping harus pula memperhatikan aspek hukum yang
mendasari terjadinya hubungan hukum antara dokter dengan pasien, yang di
karenakan bahwa setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan
berdasarkan prinsipnondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka
pembentukan sumber daya manusia Indonesia, serta peningkatan ketahanan dan
daya saing bangsa bagi pembangunan nasional mengingat bahwa kesehatan
merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus
diwujudkan sesuai dengan cita-citabangsa Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
C. Hubungan Hukum Antara Dokter Dengan Pasien
Hubungan hukum antara dokter dengan pasien pada dasarnya adalah
merupakanperjanjian perbintenis yang di karena berupaya untuk mewujudkan apa
yang di perjanjikan kedua pihak antara dokter dengan pasien, yang sebagaimana
diatur dalam pasal 1320 kitab undang hukum perdata tentang sahnya suatu
perjanjian. Ketika hubungan antara dokter dan pasien termasuk dalam ruang
lingkup perjanjian, maka apaun ketentuan – ketentuan yang di atur pada KUHP
berlaku terhadap perjanjian teraupeutik, yang karena pada dasarnya kedatangan
seorang pasien kepada dokter dianggap sudah adanya perjanjian (mutual consent )
Dalam tahapan perkembangan hubungan hukum antara dokter dengan
pasien di dalam memberikan pelayanan kesesahatan ini dikenal menjadi 3 ( tiga )
tahapan perkembangan hubungan hukum yaitu sebagai berikut :
4
1. Hubungan aktif – pasif.
Pada tahapan hubungan ini, pasien tidak memberikan kontribusi apapun,
dimana pasien hanya menyerahkan sepenuhnya akan tindakan dokter yang
akan di lakukan dalam hal pemberian jasa kesehatan.
2. Hubungan kerja sama terpimpin.
Pada tahapan hubungan ini, sudah tampak adanya partisipasi dari pasien
dalam proses pelayanan kesehatan sekalipun peranan dokter masih bersifat
dominan di dalam menetukan tidakan – tindakan yang akan di lakukan,
pada thapan ini pula kedudukan dokter sebagai orang yang di percaya oleh
pasien masih bersifat signifikan.
3. Hubungan partisipasi bersama.
Pada tahapan hubungan ini, pasien menyadari bahwa dirinya, sederajat
dengan dokter dan dengan demikian apabila terbentuk suatu hubungan
hukum maka hubungan tersebut dibangun atas dasar perjanjian yang di
sepakati bersama antara pasien dengan dokter.
Menurut Lumenta hubungan antara dokter dengan pasien ada 3 ( tiga ) hubungan
yanitu :
1. Hubungan patnerlistik.
2. Hubungan individualistik.
3. Hubungan kolegial.
Menurut Dasen sebagai mana di kutip oleh Soejhono Soekanto ada terdapat
beberapa alasan mengapa seorang pasien mendatangi dokter, yaitu :
1. Pasien pergi kedokter semata – mata karena ada merasa sesuatu yang
membahyakan kesehatanya.
2. Pasien pergi kedoter di karenakan mengetahui bahwa dirinya sakit dan
dokter dianggap mampu intuk menyembuhkan.
3. Pasien pergi keokter guna mendapatkan pemeriksaan yang intensif dan
mengobati penyakit yang di temukan.
Di dalam hubungan hukum antara dokter dengan pasien menurut undang-
undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
pada pasal 52 dan pasal 53 dalam hal hak dan kewajiban pasien ditemui hubungan
hukum pasien dengan dokter yaitu :
1. Pasal 52 mengatakan bahwa Pasien, dalam menerima pelayanan pada
praktik kedokteran, mempunyai hak sebagai berikut :
a. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);
b. meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain
c. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis
d. menolak tindakan medis; dan
e. mendapatkan isi rekam medis.
5
2. Dan di Pasal 53 mengatakan bahwa Pasien, dalam menerima pelayanan pada
praktik kedokteran, mempunyai kewajiban sebagai berikut :
a. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah
kesehatannya
b. mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi
c. mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
d. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
D. Asas – Asas Hukum Yang Berkaitan Dengan Dokter Dengan Pasien
Di dalam hubungan hukum antara dokter dengan pasien terdapat beberapa
asas – asas yang di atur di dalam Undang - Undang Republik Indonesia Nomor
29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, pasal 2 sebagai mana di sebutkan
bahwa Praktik kedokteran dilaksanakan berasaskan Pancasila dan didasarkan pada
nilai ilmiah, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, serta perlindungan
dan keselamatan pasien.
Di dalam penjelasan pasal 2 Undang - Undang Republik Indonesia Nomor
29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, dapat diartikan asas – asas tersebut
di dalam pegertianya di uraikan yang mana di dalam ketentuan ini yang dimaksud
adalah :
1. Nilai ilmiah adalah bahwa praktik kedokteran harus didasarkan pada ilmu
pengetahuan dan teknologi yang diperoleh baik dalam pendidikan
termasuk pendidikan berkelanjutan maupun pengalaman serta etika profesi
2. Manfaat adalah bahwa penyelenggaraan praktik kedokteran harus
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dalam
rangka mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
3. Keadilan adalah bahwa penyelenggaraan praktik kedokteran harus mampu
memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada setiap orang dengan
biaya yang terjangkau oleh masyarakat serta pelayanan yang bermutu
4. Kemanusiaan adalah bahwa dalam penyelenggaraan praktik kedokteran
memberikan perlakuan yang sama dengan tidak membedakan suku,
bangsa, agama, status sosial, dan ras
5. Keseimbangan adalah bahwa dalam penyelenggaraan praktik kedokteran
tetap menjaga keserasian serta keselarasan antara kepentingan individu dan
masyarakat
6. Perlindungan dan keselamatan pasien adalah bahwa penyelenggaraan
praktik kedokteran tidak hanya memberikan pelayanan kesehatan semata,
tetapi harus mampu memberikan peningkatan derajat kesehatan dengan
tetap memperhatikan perlindungan dan keselamatan pasien.
Maka selain dari pada itu, ada pula yang menyebutkan beberapa asas yang harus
di pedomani oleh dokter untuk menjadikan dasar dalam pemberian pelayanan
kesehatan yaitu :
6
1. Asas legalitas.
2. Asas keseimbangan.
3. Asas tepat waktu.
4. Asas kejujuran.
5. Asas keterbukaan.
6. Asas kehati – hatian.
Demikian pula di dala informed konsent ( persetujuan medes ) menganut ada 2 (
dua ) unsur antara lain yaitu :
1. Informasi yang di berikan oleh dokter kepada pasien mengenai tindakan
apa yang di lakukan.
2. Persetujuan yang di berikan oleh pasien kepada dokter.
Seperti yang di maksud di dalam Undang - Undang Republik Indonesia Nomor
29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran di dalam pasal 45 yang menyatakan
bahwa :
1. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh
dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien
mendapat penjelasan secara lengkap.
3. Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya
mencakup :
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan
c. alternatif tindakan lain dan risikonya
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
Perjanjian teraupeutik sebagaimana di dalam Surat Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 80 tahun 1969 yang di sempurnakan dengan Surat Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor 483/Men.Kes/X/1982, yang mengatakan tentang
Transaksi Teraupeutik adalah perjanjian antara dokter dan pasien yang berupa
hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak.
Berbeda dengan perjanjian yang pada umumnya, karena ke khususan itu terletak
pada objek yang di perjanjikan, akan tetapi disini adalah yang menjadi objek yang
di perjanjikan adalah upaya untuk melakukan penyembuhan pasien.
Dengan demikian maka perjanjian teraupeutik adalah suatu perjanjian untuk
menetukan atau upaya mencari terapi yang paling tepat bagi pasien yang di
lakukan oleh dokter. Hubungan hukum antara dokter dengan pasien merupaka
perjanjian perbintens, karena berupaya untuk mewujudkan apa yang di
perjanjiakan.
7
Dalam hal terpenuhinya suatu perjanjian transaksi teraupeutik, maka dalam
hal ini pasien bisa saja melakuakan tuntutan hukum kepada tenaga kesehatan
dalam masalah pertanggung jawaban hubungan hukum antara dokter dan pasien,
apabila dokter melakukan penyimpangan, malaui tuntutan, antara lain: dalam
aspek hukum perdata, Wanprestasi pasal 1339 KUHPerdata.
Di katakan wanprestasi pabila :
1. Tidak melakukan apa yang disepakati
2. Melakukan apa yang di sepakati tetapi terlambat
3. Melakukan apa yang di sepakati tetapi tidak sebagaimana yang di
perjanjiakan.
4. Melakukaan surat perbuatan yang menurut hakikatnya perjanjian itu
tidak di perbolehkan.
Onrecht mangitedaad ( perbuatan melawan hukum ) pasal 1365 KUHPerdata.
KUHPerdata pasal 1365 yang mengatakan yang perbuatan melanggar
hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang
karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
Unsur perbuatan melawan hukum ( Onrecht mangitedaad ) yaitu :
Menimbulkan kerugian kepada orang lain, yang di sebabkan antara lain :
1. Adanya kesalahan.
2. Adanya kerugian yang di timbulkan.
3. Adanya hubungan hukum antara kalusual dengan perbuatan yang di
lakukan dalam aspeh hukum pidana
Hubungan hukum antara dokter dengan pasien dalam aspek hukum pidana
dapat dilihat apabila pada saat memberikan pelayanan kesehatan ditemukan
adanya kesalahan dan kerugian yang di timbulkan. Sebagai mana di sebut dalam
pasal 359 dan 361 KUHP yang mengakibatkan orang mati atau luka yang karena
salahnya. Untuk melihat adanya kesalahan dokter dalam memberikan pelayanan
kesehatan adalah dapat dilihat melaui satandart operasional prosedural dan
medical record.
E. Hak Dan Kewajiban Dokter Dalam Memberikan Pelayanan
Kesehatan
Dari sudut pandang sosiologis seorang dokter yang melakukan hubungan
atau transaksi teraupeutik, masing – masing mempunyai kedudukan dan peranan.
Kedudukan yang dimaksud disini adalah kedudukan yang berupa wadah, hak dan
kewajiban. Sedangkan peranan merupakan pelaksanaan hak – hak dan kewajiban
tersebut. Secara sederhana dapat di katakan bahwa hak itu merupakan wewenang
untuk berbuat atau tidak berbuat. Sedangkan kewajiban adalah tugas atau beban
yang harus di laksanakan.
Dahulu kedudukan doter di anggap lebih tinggi dari pasien dan oleh karena
itu perananaya lebih penting pula. Dalam perkembangan kehidupan masyarakat
8
hubungan dokter dengan pasien secara khusus mengalami perubahan bentuk, hal
itu di sebabkan oleh beberapa faktor, antara lainya ialah sebagai berikut ini :
1. Kepercayaan tidak lagi tertuju kepada dokter pribadi, akan tetapi kepada
kemampuan iptek kesehatan.
2. Masyarakat menganggap bahwa tugas dokter itu bukan hanya melakukan
penyembuhan, akan tetapi juga di lakukan pada perawatan.
3. Adanya kecenderungan untuk menyatakan bahwa kesehatan bukan lagi
merupakan keadaan tanpa penyakit, akan tetapi lelbih berarti oada
kesejahteraan fisik, mental, dan sosial.
4. Semakin banyaknya perturan yang memberikan perlindungan hukum
kepada pasien, sehinggga lebih mengetahui dan memahami hak – haknya
dalam hubunganya dengan dokter.
5. Tingkat kecerdasan masyarakat menegenai kesehatan semakin meningkat.
Menurut Leneen sebagaimana yang di kutip olehsoejono soekanto yang
menyatakan bahwa manusia itu mempunyai 2 ( dua ) macam hak asasi yaitu, hak
asasi sosial, dan hak asasi individual. Diamana batas antara keduanya agak kabur,
sehingga di perlukan suatu landasan pemikiran yang berbeda, hal itu dikarenakan
hak asasi individual mempunyai aspek sosial, hal ini berarti kedua kategori hak
asasi tersebut dalam kenyataanya mengungkapkan dimensi individual dan dan
sosial dari keberadaan atau existensi sesuatu hak atas pelayanan kesehatan
merupakan salah satu hak asasi sosial manusia, dengan demikian untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik, pemerintah telah menetapkan
Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan,
sebagai pengganti undang – undang nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan,
khususnya di pasal 48 yang menyatakan bahwa :
1. Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47
dilaksanakan melalui kegiatan :
a. Pelayanan
b. pelayanan kesehatan
c. pelayanan kesehatan tradisional
d. peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit
e. penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan
f. kesehatan reproduksi
g. keluarga berencana
h. kesehatan sekolah
i. kesehatan olahraga
j. pelayanan kesehatan pada bencana
k. pelayanan darah
l. kesehatan gigi dan mulut
m. penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran
n. kesehatan matra
9
o. pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi danalat kesehatan
p. pengamanan makanan dan minuman
q. pengamanan zat adiktif; dan/atau
r. bedah mayat.
2. Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didukung oleh sumber daya kesehatan.
Menurut Leneen kewajiban dokter dalam melaksanakan pelayanan
kesehatan dibagi menjadi 3 ( tiga ) kelompok yaitu :
1. Kewajiban yang timbul dari sifat peralatan medis dimana dokter harus
bertindak, harus sesuai dengan standart profesi medis.
2. Kewajiban untuk menghormati hak – hak pasien yang bersumber dari hak
asasi di bidang kesehatan.
3. Kewajiban yang berhubungan dengan fungsi sosial pemeliharaan kesehatan.
Kewajiban dokter terhadap pasien di dalam melaksanakan pelayanan
kesehatan di atur lebih kongkrit di dalam pasal 51 Undang – Undang Nomor 29
Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran yang berbunyi bahwa Dokter atau dokter
gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban :
1. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien
2. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan
3. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga
setelah pasien itu meninggal dunia
4. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia
yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
5. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran
atau kedokteran gigi.
Selain itu, kewajiban dokter di dalam memberikan pelayanan kesehatan
dapat juga dilihat di dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 34 Tahun
1983 Tentang Kode Etik Kedokteran Indonesia, yang menytakan bahwa dokter
memiliki serangkaian kewajiban yaitu :
1. kewajiban umum.
2. Kewajiban terhadap penderita.
3. Kewajiban terhadap rekan sejawat.
4. Kewajiban terhadap diri sendiri.
Selain dari pada kewajiban dokter di dalam memberikan pelayanan
kesehatan, dokter juga memiliki hak, sebagaimana yang di atur di dalam pasal 50
Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, yang
10
menyatakan bahwa Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik
kedokteran mempunyai hak :
1. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai
dengan standar profesi dan standar prosedur operasional
2. memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur
operasional
3. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya;
dan
4. menerima imbalan jasa.
D. HAK & KEWAJIBAN PASIEN DALAM TRANSAKSI TERAUPEUTIK
Secara normatif hak dan kewajiban pasien di atur di dalam Undang -
Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
pada pasal 52 dan pasal 53 dalam hal hak dan kewajiban pasien ditemui hubungan
hukum pasien dengan dokter yaitu :
1. Pasal 52 mengatakan bahwa Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik
kedokteran, mempunyai hak sebagai berikut :
a. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3).
b. meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain
c. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis
d. menolak tindakan medis; dan
e. mendapatkan isi rekam medis.
2. Dan di Pasal 53 mengatakan bahwa Pasien, dalam menerima pelayanan pada
praktik kedokteran, mempunyai kewajiban sebagai berikut :
a. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah
kesehatannya
b. mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi
c. mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
d. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
Berkaitan dengan hak pasien untuk mendapatkan penjelasan secara
lengkap tentang tindakan medis sebagaimana yang di maksud di dalam Undang -
Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
di dalam pasal 45 yang menyatakan bahwa :
1. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh
dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien
mendapat penjelasan secara lengkap.
3. Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya
mencakup :
4.
11
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan
c. alternatif tindakan lain dan risikonya
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
Selain dari pihak pasien yang di atur di dalam perundang – undangan maka
hak pasien juga di cantumkan di dalam peraturan Kode Etik Profesi Kedokteran
Indonesia yaitu :
1. hak untuk hidup, hak atas tubuhnya, dan hak untuk mati secara wajar.
2. Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan standart profesi
kedokteran.
3. Hak memperoleh penjelasan secara lengkap tenetang diagnosa dan terapi
medis yang di lakukan oleh dokter di dalam mengobatinya.
4. Hak untuk menolak prosedur diagnosis dan terapi yang akan di rencanakan,
bahkan untuk menarik diri dari kontrak teraupeutik.
5. Hak atas kerahasiaan atau rekam medic yang bersifat pribadi.
F. Kesimpilan Hubungan Hukum Kesehatan Dengan Ilmu Neurologi
Setelah membaca teori diatas maka hukum keehatan pasien sangat
berhubungan dengan ilmu saraf. Hal ini menyangkut hubungan dokter pasien
yang harus selalu terjaga baik, selalu menghormati pasien dan meminta izin jika
akan melakukan tidakan-tindakan.
Pasien dan dokter sama-sama memiliki hak dan kewajiban dalam
pengobatan, hal ini harus sangat diperhatikan terutama dalam penjelasan setian
kita akan melakukan tindakan pada pasien ataupun melakukan pemeriksaan
terhadap penyakit yang mereka alami.
12
II. ANALISIS UNDANG-UNDANG KESEHATAN & TENAGA KESEHATAN
A. Pendahuluan
Masyarakat yang sehat, dengan kapasitas fisik dan daya pikir yang kuat, akan
menjadi kontribusi kontribusi positif terhadap komunitasnya, dengan menjadi
individu yang produktif. Kesehatan memiliki daya ungkit yang dapat mendukung
aspek-aspek pembangunan lainnya, sehingga indikator-indikator kesehatan
seringkali digunakan sebagai ukuran kemajuan pembangunan. Upaya penurunan
kemiskinan pun dipengaruhi oleh kebijakan kesehatan yang diberlakukan, seperti
universal health coverage, atau perlindungan kesehatan menyeluruh. Agar dapat
mencapai perlindungan kesehatan yang ideal tersebut, diperlukan sebuah sistem
pelayanan kesehatan yang efisien dan efektif. Sistem ini mencakup akses terhadap
pusat layanan kesehatan, obat-obatan esensial, tenaga kesehatan yang kompeten,
serta tata kelola yang baik.
Dengan diterapkannya sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan
peluncuran Kartu Indonesia Sehat (KIS) pada tahun 2014, Indonesia telah
menunjukkan komitmennya terhadap perbaikan kualitas kesehatan rakyatnya. Hal
ini perlu diikuti dengan penguatan sistem layanan kesehatan primer, dimana
penguatan layanan primer menjadi vital dalam perannya sebagai garda terdepan
menjaga kesehatan masyarakat, dalam, melakukan upaya prevensi atau
pencegahan penyakit secara luas termasuk melalui edukasi kesehatan, konseling
serta skrining/penapisan. Kuatnya sistem pelayanan kesehatan primer akan
memperluas jangkauan layanan kesehatan hingga ke akar rumput dan
meminimalisir ketidakadilan akses terhadap kesehatan antar kelompok
masyarakat.
Dalam realita, Indonesia yang mempunyai geografi berupa daratan, lautan,
pegunungan serta banyaknya pulau-pulau yang tersebar menyebabkan akses
pelayanan kesehatan untuk daerah tertentu sangat sulit dijangkau. Situasi di
daerah tertinggal, perbatasan dan kepulauan (DTPK) dan Daerah Bermasalah
Kesehatan (DBK) sangat berbeda dengan daerah lainnya. Ketersediaan tenaga
kesehatan dan sarana-prasarana merupakan masalah utama yang terjadi di
lapangan. Namun demikian, aktifitas pelayanan wajib dilaksanakan dan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat tidak dapat ditunda. Oleh sebab itu diperlukan
kebijakan khusus mengenai model penempatan tenaga kesehatan di fasilitas
pelayanan kesehatan disesuaikan dengan karakteristik daerah dan tidak
menyamaratakan kebijakan tersebut untuk seluruh wilayah Indonesia.
B. Bab 1 Ketentuan Umum
1. Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
a. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam
bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan
13
melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu
memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
b. Asisten Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri
dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau
keterampilan melalui pendidikan bidang kesehatan di bawah jenjang
Diploma Tiga.
c. Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang
digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik
promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.
d. Upaya Kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan
yang dilakukan secara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan untuk
memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam
bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan
penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat.
e. Kompetensi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang Tenaga
Kesehatan berdasarkan ilmu pengetahuan, keterampiian, dan sikap
profesional untuk dapat menjalankan praktik.
f. Uji Kompetensi adalah proses pengukuran pengetahuan, keterampilan,
dan perilaku peserta didik pada perguruan tinggi yang menyelenggarakan
pendidikan tinggi bidang Kesehatan.
g. Sertilikat Kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap
Kompetensi Tenaga Kesehatan untuk dapat menjalankan praktik di
seluruh Indonesia setelah lulus uji Kompetensi.
h. Sertifikat Profesi adalah surat tanda pengakuan untuk melakukan praktik
profesi yang diperoleh lulusan pendidikan profesi.
i. Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap Tenaga Kesehatan yang
telah memiliki Sertihkat Kompetensi atau Sertifikat Profesi dan telah
mempunyai kualifikasi tertentu lain serta mempunyai pengakuan secara
hukum untuk menjalankan praktik.
j. Surat Tanda Registrasi yang selanjutnya disingkat STR adalah bukti
tertulis yang diberikan oleh konsil masing-masing Tenaga Kesehatan
kepada Tenaga Kesehatan yang telah diregistrasi.
k. Surat Izin Praktik yang selanjutnya disingkat SIP adalah bukti tertulis
yang diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota kepada Tenaga
Kesehatan sebagai pemberian kewenangan untuk menjalankan praktik.
l. Standar Profesi adalah batasan kemampuan minimai berupa pengetahuan,
keterampilan, dan perilaku profesional yang harus dikuasai dan dimiliki
oleh seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya
pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi
bidang kesehatan.
14
m. Standar Pelayanan Profesi adalah pedoman yang diikuti oleh Tenaga
Kesehatan dalam melakukan pelayanan kesehatan.
n. Standar Prosedur Operasional adalah suatu perangkat instruksi / langkah-
langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan proses kerja rutin tertentu
dengan memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan
konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi
pelayanan yang dibuat oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan berdasarkan
Standar Profesi.
o. Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia adalah lembaga yang melaksanakan
tugas secara independen yang terdiri atas konsil masing-masing tenaga
kesehatan.
p. Organisasi Profesi adalah wadah untuk berhimpun tenaga kesehatan yang
seprofesi.
q. Kolegium masing-masing Tenaga Kesehatan adalah badan yang dibentuk
oleh Organisasi Profesi untuk setiap cabang disiplin ilmu kesehatan yang
bertugas mengampu dan meningkatkan mutu pendidikan cabang disiplin
ilmu tersebut.
r. Penerima Pelayanan Kesehatan adalah setiap orang yang melakukan
konsultasi tentang kesehatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan
yang diperlukan,baik secara langsung maupun tidak langsung kepada
tenaga kesehatan.
s. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut pemerintah adalah Presiden
Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintah negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Repubiik Indonesia Tahun 1945.
t. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, dan Wali Kota serta
perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan.
u. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan.
2. Pasal 2
Undang-Undang ini berasaskan:
a. Perikemanusiaan;
b. manfaat;
c. pemerataan;
d. etika dan profesionalitas;
e. penghormatan terhadap hak dan kewajiban;
f. keadilan;
g. pengabdian;
h. norma agama; dan
i. pelindungan.
15
3. Pasal 3
Undang-Undang ini bertujuan untuk:
a. memenuhi kebutuhan masyarakat akan tenaga kesehatan;
b. mendayagunakan tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan masyarakat;
c. memberikan pelindungan kepada masyarakat dalam menerima
penyelenggaraan upaya kesehatan;
d. mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan upaya
kesehatan yang diberikan oleh Tenaga Kesehatan; dan
e. memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan Tenaga Kesehatan.
C. Bab Ii Tanggung Jawab Dan Wewenang Pemerintah Dan Pemerintah
Daerah
1. Pasal 4
Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap:
a. pengaturan, pembinaan, pengawasan, dan peningkatan mutu Tenaga
Kesehatan;
b. perencanaan, pengadaan, dan pendayagunaan Tenaga Kesehatan sesuai
dengan kebutuhan; dan
c. pelindungan kepada Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik.
2. Pasal 5
Dalam melaksanakan tanggung jawabnya, Pemerintah berwenang untuk:
a. menetapkan kebijakan Tenaga prof am Kesehatan skala nasional selaras
dengan kebijakan pembangunan nasional;
b. merencanakan kebutuhan Tenaga Kesehatan;
c. melakukan pengadaan Tenaga Kesehatan;
d. mendayagunakanTenagaKesehatan;
e. membina, mengawasi, dan meningkatkan mutu Tenaga Kesehatan
meialui pelaksanaan kegiatan sertifikasi Kompetensi dan pelaksanaan
Registrasi Tenaga Kesehatan;
f. melaksanakan kerja sama, baik dalam negeri maupun luar negeri di
bidang Tenaga Kesehatan; dan
g. menetapkan kebijakan yang berkaitan dengan TenagaKesehatan yang
akan melakukan pekerjaan atau praktik di luar negeri dan Tenaga
Kesehatan warga negara asing yang akan melakukan pekerjaan atau
praktik di Indonesia.
3. Pasal 6
Dalam melaksanakan tanggung jawabnya, pemerintah daerah provinsi
berwenang untuk:
a. menetapkan kebijakan Tenaga Kesehatan selaras dengan kebijakan
pembangunan nasional;
16
b. melaksanakan kebijakan Tenaga Kesehatan;
c. merencanakan kebutuhan Tenaga Kesehatan;
d. melakukan pengadaan Tenaga Kesehatan;
e. melakukan pendayagunaan melalui pemerataan,
f. pemanfaatan dan pengembangan;
g. membina, mengawasi, dan meningkatkan mutu Tenaga
h. Kesehatan melalui pembinaan dan pengawasan
i. pelaksanaan praktik Tenaga Kesehatan; dan
j. melaksanakan kerja sama dalam negeri di bidang
k. Tenaga Kesehatan.
4. Pasal 7
Dalam melaksanakan tanggung jawabnya, pemerintah daerah kabupaten/kota
berwenang untuk:
a. menetapkan kebijakan Tenaga Kesehatan selaras dengan kebijakan
nasional dan provinsi;
b. melaksanakan kebij akan Tenaga Kesehatan;
c. merencanakan kebutuhan Tenaga Kesehatan;
d. melakukan pengadaan Tenaga Kesehatan;
e. melakukan pendayagunaan melalui pemerataan, pemanfaatan, dan
pengembangan;
f. membina, mengawasi, dan meningkatkan mutu Tenaga Kesehatan
melalui pelaksanaan kegiatan perizinan Tenaga Kesehatan; dan
g. melaksanakan kerja sama dalam negeri di bidangTenaga Kesehatan.
D. Bab III Kualifikasi Dan Pengelompokan Tenaga Kesehatan
1. Pasal 8
Tenaga di bidang kesehatan terdiri atas:
a. Tenaga Kesehatan; dan
b. Asisten Tenaga Kesehatan.
2. Pasal 9
a. Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a harus
memiliki kualifikasi minimum Diploma Tiga, kecuali tenaga medis.
b. Ketentuan lebih lanjut mengenai kualifikasi minimum Tenaga Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
3. Pasal 10
a. Asisten Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b harus
memiliki kualifikasi minimum pendidikan menengah di bidang kesehatan.
b. Asisten Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
bekerja di bawah supervisi Tenaga Kesehatan.
17
c. Ketentuan lebih lanjut mengenai Asisten Tenaga Kesehatan diatur dengan
Peraturan Menteri.
4. Pasal 11
a. Tenaga Kesehatan dikelompokkan ke dalam:
 tenaga medis;
 tenaga psikologi klinis;
 tenaga keperawatan;
 tenaga kebidanan;
 tenaga kefarmasian;
 tenaga kesehatan masyarakat;
 tenaga kesehatan lingkungan;
 tenaga gizi;
 tenaga keterapian fisik;
 tenaga keteknisian medis;
 tenaga teknik biomedika;
 tenaga kesehatan tradisional; dan
 tenaga kesehatan lain.
b. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga medis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas dokter, dokter gigi,
dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis.
c. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga psikologi
klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah psikologi klinis.
d. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga keperawatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas berbagai jenis
perawat.
e. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga kebidanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d adalah bidan.
f. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga kefarmasian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e terdiri atas apoteker dan tenaga
teknis kefarmasian.
g. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga kesehatan
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f terdiri atas
epidemiolog kesehatan, tenaga promosi kesehatan dan ilmu perilaku,
pembimbing kesehatan kerja, tenaga administrasi dan kebijakan kesehatan,
tenaga biostatistik dan kependudukan, serta tenaga kesehatan reproduksi dan
keluarga.
h. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga kesehatan
lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) huruf g terdiri atas tenaga
sanitasi lingkungan, entomolog kesehatan, dan mikrobiolog kesehatan.
18
i. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga gizi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h terdiri atas nutrisionis dan
dietisien.
j. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga keterapian
fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i terdiri atas fisioterapis,
okupasi terapis, terapis wicara, dan akupunktur.
k. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga keteknisian
medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j terdiri atas perekam medis
dan informasi kesehatan, teknik kardiovaskuler, teknisi pelayanan darah,
refraksionis optisien/ optometris, teknisi gigi, penata anestesi, terapis gigi dan
mulut, dan audiologis.
l. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga teknik
biomedika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k terdiri atas
radiografer, elektromedis, ahli teknoiogi laboratorium medik, fisikawan
medik, radioterapis, dan ortotik prostetik.
m. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk daiam kelompok Tenaga Kesehatan
tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) huruf 1 terdiri atas tenaga
kesehatan tradisional ramuan dan tenaga kesehatan tradisional keterampilan.
n. Tenaga Kesehatan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m
ditetapkan oleh Menteri.
5. Pasal 12
Dalam memenuhi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang
kesehatan serta kebutuhan pelayanan kesehatan, Menteri dapat menetapkan
jenis Tenaga Kesehatan lain dalam setiap kelompok sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 1
E. Bab Iv Perencanaan, Pengadaan, Dan Pendayagunaan
1. Pasal 13
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memenuhi kebutuhan Tenaga
Kesehatan, baik dalam jumlah, jenis, maupun dalam kompetensi secara
merata untuk menjamin keberlangsungan pembangunan kesehatan.
2. Pasal 14
a. Menteri menetapkan perencanaan Tenaga memenuhi dan mmenyusun
perencanaan Tenaga Kesehatan secara nasional.
b. Perencanaan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun
secara berjenjang berdasarkan ketersediaan Tenaga Kesehatan dan kebutuhan
penyelenggaraan pembangunan dan Upaya Kesehatan.
c. Ketersediaan dan kebutuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
melalui pemetaan Tenaga Kesehatan.
19
3. Pasal 15
Menteri dalam menyusun perencanaan Tenaga Kesehatan harus
memperhatikan faktor:
a. jenis, kualifikasi, jumlah, pengadaan, dan distribusi Tenaga Kesehatan;
b. penyelenggaraan Upaya Kesehatan;
c. ketersediaan Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
d. kemampuanpembiayaan;
e. kondisi geografis dan sosial budaya; dan
f. kebutuhanmasyarakat.
4. Pasal 16
Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan Tenaga Kesehatan diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
5. Pasal 17
a. Pengadaan Tenaga Kesehatan dilaksanakan sesuai dengan perencanaan dan
pendayagunaan Tenaga Kesehatan.
b. Pengadaan Tenaga Kesehatan dilakukan melalui pendidikan tinggi bidang
kesehatan.
c. Pendidikan tinggi bidang kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (21
diarahkan untuk menghasilkan Tenaga Kesehatan yang bermutu sesuai dengan
Standar Profesi dan Standar Pelayanan profesi.
d. Pendidikan tinggi bidang kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diselenggarakan dengan memperhatikan:
 keseimbangan antara kebutuhan penyelenggaraan Upaya Kesehatan
dan dinamika kesempatan kerja, baik di dalam negeri maupun di luar
negeri;
 keseimbangan antara kemampuan produksi Tenaga Kesehatan dan
sumber daya yang tersedia; dan
 perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
e. Penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilaksanakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat sesuai dengan ketentuan
peraturan Perundang-undangan.
f. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengadaan Tenaga Kesehatan diatur dengan
Peraturan pemerintah.
6. Pasal 18
a. Pendidikan tinggi bidang kesehatan diselenggarakan berdasarkan izin
sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan.
b. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) diberikan setelah
mendapatkan rekomendasi dari Menteri.
20
c. Pembinaan teknis pendidikan tinggi bidang kesehatan dilakukan oleh
Menteri.
d. Pembinaan akademik pendidikan tinggi bidang kesehatan dilakukan
oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
pendidikan.
e. Dalam penyusunan kurikulum pendidikan Tenaga Kesehatan,
penyelenggara pendidikan tinggi bidang kesehatan harus mengacu
pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang ditetapkan oleh menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan
dan berkoordinasi dengan Menteri.
f. Penyelenggaraan pendidikan tinggi bidang kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
7. Pasal 19
a. Dalam rangka penjaminan mutu lulusan, penyelenggara pendidikan
tinggi bidang kesehatan hanya dapat menerima mahasiswa sesuai
dengan kuota nasional.
b. Ketentuan mengenai kuota nasional penerimaan mahasiswa diatur
dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan bidang
pendidikan setelah berkoordinasi dengan Menteri.
8. Pasal 20
a. Penyelenggaraan pendidikan tinggi bidang kesehatan harus memenuhi
Standar Nasional Pendidikan Tenaga Kesehatan.
b. Standar Nasionai Pendidikan Tenaga Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengacu pada Standar Nasional Pendidikan
Tinggi.
c. Standar Nasional Pendidikan Tenaga Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disusun secara bersama oleh kementerian
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan,
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
pendidikan, asosiasi institusi pendidikan, dan Organisasi Profesi.
d. Standar Nasional Pendidikan Tenaga Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan.
9. Pasal 2 1
a. Mahasiswa bidang kesehatan pada akhir masa pendidikan vokasi dan
profesi harus mengikuti Uji Kompetensi secara nasional.
b. Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan
oleh Perguruan Tinggi bekerja sama dengan Organisasi Profesi,
Iembaga pelatihan, atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi.
21
c. Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditujukan untuk
mencapai standar kompetensi lulusan yang memenuhi standar
kompetensi kerja.
d. Standar kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun
oleh Organisasi Profesi dan konsil masing-masing Tenaga Kesehatan
dan ditetapkan oleh Menteri.
e. Mahasiswa pendidikan vokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang lulus Uji Kompetensi memperoleh Sertifikat Kompetensi yang
diterbitkan oleh Perguruan Tinggi.
f. Mahasiswa pendidikan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang lulus Uji Kompetensi memperoleh Sertifikat Profesi yang
diterbitkan oleh Perguruan Tinggi.
g. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan Uji Kompetensi
diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pendidikan.
10. Pasal22
a. Pendayagunaan Tenaga Kesehatan dilakukan oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat sesuai dengan tugas dan
fungsi masing-masing berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-
Undangan.
b. Pendayagunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
pendayagunaan Tenaga Kesehatan di dalam negeri dan luar negeri.
c. Pendayagunaan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dengan memperhatikan aspek pemerataan, pemanfaatan,
dan pengembangan.
11. Pasal 23
a. Dalam rangka pemerataan pelayanan kesehatan dan pemenuhan
kebutuhan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib melakukan penempatan Tenaga Kesehatan
setelah melalui proses seleksi. Penempatan Tenaga Kesehatan oleh
Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan dengan cara:
 pengangkatan sebagai pegawai negeri sipil;
 pengangkatan sebagai pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja;
atau
 penugasan khusus.
b. Selain penempatan Tenaga Kesehatan dengan cara sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dapat menempatkan Tenaga
Kesehatan melalui pengangkatan sebagai anggota TNI/POLRI.
22
c. Pengangkatan sebagai pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah
dengan perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
dan huruf b serta penempatan melalui pengangkatan sebagai anggota
TNI/POLRI dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-Undangan.
d. Penempatan Tenaga Kesehatan melalui penugasan khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan dengan
penempatan dokter pascainternsip, residen senior, pascapendidikan
spesialis dengan ikatan dinas, dan tenaga kesehatan lainnya.
e. Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan dengan penugasan
khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan
Menteri.
12. Pasal 24
a. Penempatan Tenaga Kesehatan dilakukan dengan tetap memperhatikan
pemanfaatan dan pengembangan Tenaga Kesehatan.
b. Penempatan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui seleksi.
13. Pasal 25
a. Pemerintah dalam me meratakan penyebaran Tenaga Kesehatan sesuai
dengan kebutuhan masyarakat dapat mewajibkan Tenaga Kesehatan
lulusan dari perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah
untuk mengikuti seleksi penempatan.
b. Selain Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seleksi
penempatan dapat diikuti oleh Tenaga Kesehatan lulusan perguruan
tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat.
c. Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan Tenaga Kesehatan diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
14. Pasal 26
a. Tenaga Kesehatan yang telah ditempatkan di Fasiiitas Pelayanan
Kesehatan wajib melaksanakan tugas sesuai dengan Kompetensi dan
kewenangannya.
b. Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan/atau kepala daerah yang membawahi Fasilitas Pelayanan
Kesehatan harus mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan sandang,
pangan, papan, dan lokasi, serta keamanan dan keselamatan kerja
Tenaga Kesehatan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-
Undangan.
23
15. Pasal 27
a. Tenaga Kesehatan yang diangkat oleh Pemerintah atau Pemerintah
Daerah dapat dipindahtugaskan antarprovinsi, antarkabupaten, atau
antarkota karena alasan kebutuhan fasilitas pelayanan kesehatan
dan/atau promosi.
b. Tenaga Kesehatan yang bertugas di daerah tertinggal perbatasan dan
kepulauan serta daerah bermasalah kesehatan memperoleh hak
kenaikan pangkat istimewa dan pelindungan dalam pelaksanaan tugas.
c. Dalam hal terjadi kekosongan Tenaga Kesehatan, Pemerintah atau
Pemerintah Daerah wajib menyediakan Tenaga Kesehatan pengganti
untuk menjamin keberlanjutan pelayanan kesehatan pada fasilitas
pelayanan kesehatan yan g bersan gkutan.
d. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemindahtugasan Tenaga Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Tenaga Kesehatan yang
bertugas di daerah tertinggal perbatasan dan kepulauan serta daerah
bermasalah ke sehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
16. Pasal 28
a. Dalam keadaan tertentu Pemerintah dapat memberlakukan ketentuan
wajib kerja kepada Tenaga Kesehatan yang memenuhi kualifikasi
akademik dan Kompetensi untuk melaksanakan tugas sebagai Tenaga
Kesehatan di daerah khusus di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
b. Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah memberikan tunjangan
khusus kepada Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
c. Tenaga Kesehatan yang diangkat oleh Pemerintah atau Pemerintah
Daerah di daerah khusus berhak mendapatkan fasilitas tempat tinggal
atau rumah dinas yang disediakan oleh Pemerintah Daerah.
d. Ketentuan lebih lanjut mengenai penugasan sebagai Tenaga Kesehatan
dalam keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
17. Pasal 29
a. Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dapat menetapkan pola ikatan
dinas bagi calon Tenaga Kesehatan untuk memenuhi kepentingan
pembangunan kesehatan.
b. Ketentuan lebih lanjut mengenai pola ikatan dinas bagi calon Tenaga
Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
24
18. Pasal 30
a. Pengembangan Tenaga Kesehatan diarahkan untuk meningkatkan
mutu dan karier Tenaga Kesehatan.
b. Pengembangan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan serta kesinambungan
dalam menjalankan praktik.
c. Dalam rangka pengembangan Tenaga Kesehatan, kepala daerah dan
pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan bertanggung j awab atas
pemberian kesempatan yang sama kepada Tenaga Kesehatan dengan
mempertimbangkan penilaian kinerja.
19. Pasal 3 1
a. Pelatihan Tenaga Kesehatan dapat diselenggarakan oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan/ atau masyarakat.
b. Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
program pelatihan dan tenaga pelatih yang sesuai dengan Standar
Profesi dan standar kompetensi serta diselenggarakan oleh institusi
penyelenggara pelatihan yang terakreditasi sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundan g-undangan.
c. Ketentuan Iebih lanjut mengenai penyelenggara pelatihan Tenaga
Kesehatan, program dan tenaga pelatih sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
20. Pasal 32
a. Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia ke luar
negeri dapat dilakukan dengan mempertimbangkan keseimbangan
antara kebutuhan Tenaga Kesehatan di Indonesia dan peluang kerja
bagi Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia di luar negeri.
b. Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia ke luar
negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
21. Pasal 33
Ketentuan lebih lanjut mengenai dengan pendayagunaan Tenaga Kesehatan
diatur dengan Peraturan Pemerintah
F. Bab V Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia
1. Pasal 34
a. Untuk meningkatkan mutu Praktik Tenaga Kesehatan serta untuk
memberikan pelindungan dan kepastian hukum kepada Tenaga
Kesehatan dan masyarakat, dibentuk Konsil Tenaga Kesehatan
Indonesia.
25
b. Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri atas konsil masingmasing Tenaga Kesehatan.
c. Konsil masing-masing Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) termasuk Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Praktik
Kedokteran.
d. Konsil masing-masing Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dalam melaksanakan tugasnya bersifat independen.
e. Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri.
2. Pasal 35
Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia berkedudukan di ibu kota negara
Republik Indonesia.
3. Pasal 36
a. Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia mempunyai fungsi sebagai
koordinator konsil masing-masing Tenaga Kesehatan.
b. Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) ,
Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia memiliki tugas:
 memfasilitasi dukungan pelaksanaan tugas konsil masing-masing
Tenaga Kesehatan.
 meiakukan evaluasi tugas konsil masing-masing Tenaga
Kesehatan; dan
 membina dan mengawasi konsil masing-masing Tenaga Kesehatan.
c. Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (i),
Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia memiliki wewenang menetapkan
perencanaan kegiatan untuk konsil masing-masing Tenaga Kesehatan.
4. Pasal 37
Konsil masing-masing tenaga kesehatan mempunyai fungsi pengaturan,
penetapan dan pembinaan tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik
Tenaga Kesehatan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. Dalam
menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) , konsil masing-
masing Te naga Kese hatan memiliki tugas:
a. melakukan Registrasi Tenaga Kesehatan;
b. melakukan pembinaan Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik
Tenaga Kesehatan;
c. men)rusun Standar Nasional Pendidikan TenagaKesehatan;
d. menyrrsun standar praktik dan standar kompetensiTenaga Kesehatan;
dan
e. menegakkan disiplin praktik Tenaga Kesehatan-
26
5. Pasal 38
Dalam menjalankan tugasnya, konsil masing-masing Tenaga Kesehatan
mempunyai wewenang:
a. menyetujui atau menolak permohonan Registrasi Tenaga Kesehatan;
b. menerbitkan atau mencabut STR;
c. menyelidiki dan menangani masalah yang berkaitan dengan
pelanggaran disiplin profesi Tenaga Kesehatan;
d. menetapkan dan memberikan sanksi disiplin profesi Tenaga
Kesehatan; dan
e. memberikan pertimbangan pendirian atau penutupan institusi
pendidikan Tenaga Kesehatan.
6. Pasal 39
Dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang, Konsil Tenaga
Kesehatan Indonesia dibantu sekretariat yang dipimpin oleh seorang
sekretaris.
7. Pasal 40
a. Keanggotaan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia merupakan
pimpinan konsil masing-masing Tenaga Kesehatan.
b. Keanggotaan konsil masing-masing Tenaga Kesehatan terdiri atas
unsur:
 kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan;
 kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang pendidikan;
 Organisasi Profesi;
 Kolegium masing-masing Tenaga Kesehatan;
 asosiasi institusi pendidikan Tenaga Kesehatan;
 asosiasi fasilitas pelayanan kesehatan; dan
 tokoh masyarakat.
8. Pasal 41
Pendanaan untuk pelaksanaan kegiatan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia
dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara dan sumber
lain yang tidak mengikat sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-
undangan.
9. Pasal 42
Ketentuan mengenai pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang Konsil
Tenaga Kesehatan Indonesia diatur dengan Peraturan Menteri.
10. Pasal 43
27
Ketentuan Iebih lanjut mengenai susunan organisasi, pengangkatan,
pemberhentian, serta keanggotaan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia dan
sekretariat Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia diatur dengan Peraturan
Presiden.
G. Bab VI Registrasi Dan Perizinan Tenaga Kesehatan
1. Pasal 44
a. Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik wajib memiliki
STR.
b. STR sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) diberikan oleh konsil
masing-masing Tenaga Kesehatan setelah memenuhi persyaratan.
c. Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
 memiliki ijazah pendidikan di bidang kesehatan;
 memiliki Sertifikat Kompetensi atau Sertifikat Profesi;
 memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental;
 memiliki surat pernyataan telah mengucapkansumpah/janji
profesi; dan
 membuat pernyataan mematuhi dan melaksanakanketentuan
etika profesi.
d. STR berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diregistrasi ulang setelah
memenuhi persyaratan.
e. Persyaratan untuk Registrasi ulang sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) meliputi:
 memiliki STR lama;
 memiliki Sertifikat Kompetensi atau SertifikatProfesi;
 memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental;
 membuat pernyataan mematuhi dan melaksanakan ketentuan
etika profesi.
 telah mengabdikan diri sebagai tenaga profesi atau vokasi di
bidangnya; dan
 memenuhi kecukupan dalam kegiatan pelayanan,pendidikan,
pelatihan, dan/atau kegiatan ilmiah lainnya.
2. Pasal 45
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Registrasi dan Registrasi Ulang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 diatur dengan Peraturan Konsil masing-
masing Tenaga Kesehatan.
3. Pasal 46
a. Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik di bidang pelayanan
kesehatan wajib memiliki izin.
b. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk SIP.
28
c. SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh pemerintah
daerah kabupaten/kota atas rekomendasi pejabat kesehatan yang
berwenang di kabupaten/ kota tempat Tenaga Kesehatan menjalankan
praktiknya.
d. Untuk mendapatkan SIP sebagairnana dirnaksud pada ayat (2, Tenaga
Kesehatan harus memiliki;
 STR yang masih berlaku;
 Rekomendasi dari Organisasi Profesi; dan
e. tempat praktik.
f. SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masing berlaku hanya untuk 1
(satu) tempat
g. SIP masih berlaku sepanjang:
 STR masih berlaku; dan
 tempat praktik masih sesuai dengan yangtercantum dalam SIP.
h. Ketentuan lebih lanjut sesuai dengan yang mengenai perizinan
sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) diatur dengan Peraturan Menteri.
4. Pasal 47
Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik mandiri harus memasang papan
nama praktik.
5. Pasal 48
a. Untuk terselenggaranya praktik tenaga kesehatan yang bermutu dan
pelindungan kepada masyarakat, perlu dilakukan pembinaan praktik terhadap
tenaga kesehatan.
b. Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri
bersama-sama dengan Pemerintah Daerah, konsil masing-masing Tenaga
Kesehatan, dan Organisasi Profesi sesuai dengan kewenangannya.
6. Pasal 49
a. Untuk menegakkan disiplin Tenaga Kesehatan dalam penyelenggaraan
praktik, konsil masing-masing Tenaga Kesehatan menerima pengaduan,
memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin Tenaga Kesehatan.
b. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), konsil
masing-masing Tenaga Kesehatan dapat memberikan sanksi disiplin berupa:
 pemberian peringatan tertulis;
 rekomendasi pencabutan STR atau SIP; dan/atau
 kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan diinstitusi pendidikan
kesehatan.
c. Tenaga Kesehatan dapat mengajukan keberatan atas putusan sanksi disiplin
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Menteri.
29
d. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi disiplin
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Menteri.
H. Bab VII Organisasi Profesi
1. Pasal 50
a. Tenaga Kesehatan harus me mbentuk Organisasi Profesi sebagai wadah
untuk meningkatkan dan/atau mengembangkan pengetahuan dan
keterampilan, martabat, dan etika profesi Tenaga Kesehatan.
b. Setiap jenis Tenaga Kesehatan hanya dapat membentuk 1 (satu) Organisasi
Profesi.
c. Pembentukan Organisasi Profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
2. Pasal 5 1
a. Untuk mengembangkan cabang disiplin ilmu dan standar pendidikan
Tenaga Kesehatan, setiap Organisasi Profesi dapat membentuk Kolegium
masing-masing Tenaga Kesehatan.
b. Kolegium masing-masing Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan badan otonom di dalam Organisasi Profesi.
c. Kolegium masing-masing Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bertanggung jawab kepada Organisasi Profesi.
I. BAB VIII Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia Lulusan Luar
Negeri Dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing
1. Pasal 52 Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia Lulusan Luar Negeri
a. Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia lulusan luar negeri yang akan
melakukan praktik di Indonesia harus mengikuti proses evaluasi kompetensi.
b. Proses evaluasi kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui:
 penilaian kelengkapan administratif; dan
 penilaian kemampuan untuk melakukan praktik.
c. Kelengkapan administratif sebagaimana dimaksudpada ayat (2) huruf a paling
sedikit terdiri atas:
 penilaian keabsahan ij azah oleh menteri yangmenyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidangpendidikan;
 surat keterangan sehat flsik dan mental; dan
 surat pernyataan untuk mematuhi danmelaksanakan ketentuan etika
profesi.
30
d. Penilaian kemampuan untuk melakukan praktik sebagaimana dimaksud pada
.ayat (2) huruf b dilakukan melalui uji kompetensi sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
e. Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia lulusan
f. luar negeri yang telah lulus Uji Kompetensi dan yang akan melakukan praktik
di Indonesia memperolehSTR.
g. Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia lulusan luar negeri yang akan
melakukan praktik sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib memiliki SIP
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
h. STR sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diberikan oleh konsil masing-
masing Tenaga Kesehatan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-
undangan.
i. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara proses evaluasi kompetensi bagi
Tenaga Kesehatan Warga Negara lndonesia lulusan luar negeri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
2. Pasal 53 Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing
a. Fasilitas Pelayanan Kesehatan dapat mendayagunakan Tenaga Kesehatan
warga negara asing sesuai dengan persyaratan.
b. Pendayagunaan Tenaga Kesehatan warga negara asing sebagaimana dimaksud
pada ayat ( 1) dilakukan dengan mempertimbangkan:
c. alih teknologi dan ilmu pengetahuan; dan
d. ketersediaan Tenaga Kesehatan setempat.
3. Pasal 54
a. Tenaga Kesehatan warga negara asing yang akan menjalankan praktik di
Indonesia harus mengikuti evaluasi kompetensi.
b. Evaluasi kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat(1) dilakukan melalui:
 penilaian kelengkapan administratif; dan
 penilaian kemampuan untuk melakukan praktik.
c. Kelengkapan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a paling
sedikit terdiri atas:
 penilaian keabsahan ijazah oleh menteri yang bertanggung jawab di
bidang pendidikan;
 surat keterangan sehat fisik dan mental; dan
 surat pernyataan untuk mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika
profesi.
d. Penilaian kemampuan untuk melakukan praktik sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b dinyatakan dengan surat keterangan yang menyatakan telah
mengikuti program evaluasi kompetensi dan Sertihkat Kompetensi.
31
e. Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Tenaga Kesehatan
warga negara asing harus memenuhi persyaratan lain sesuai dengan
ketentuanPeraturan Perundang-undangan.
4. Pasal 55
a. Tenaga Kesehatan warga negara asing yang telah mengikuti proses evaluasi
kompetensi dan yang akan melakukan praktik di Indonesia harus memiliki
STR Sementara dan SIP.
b. STR sementara bagi Tenaga Kesehatan warga negara asing sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang
hanya untuk 1 (satu) tahun berikutnya.
c. Tenaga Kesehatan warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
melakukan Praktik di Indonesia berdasarkan atas permintaan pengguna
Tenaga Kesehatan warga negara asing.
d. SIP bagi Tenaga Kesehatan warga negara asing berlaku selama 1 (satu) tahun
dan dapat diperpanjang hanya untuk 1 (satu) tahun berikutnya.
5. Pasal 56
Ketentuan lebih lanjut mengenai pendayagunaan dan praktik Tenaga Kesehatan
warga negara asing diatur dengan Peraturan Pemerintah.
J. BAB IX Hak Dan Kewajiban Tenaga Kesehatan
1. Pasal 57
Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak:
a. memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai
dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar
Prosedur Operasional;
b. memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari Penerima
Pelayanan Kesehatan atau keluarganya;
c. menerima imbalan jasa;
d. memperoleh pelindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja,
perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral,
kesusilaan, serta nilainilai agama;
e. mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan profesinya;
f. menolak keinginan Penerima Pelayanan Kesehatan atau pihak lain
yang bertentangan dengan Standar Profesi, kode etik, standar
pelayanan, Standar Prosedur Operasional, atau ketentuan Peraturan
Perundang-undangan; dan
g. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-
undangan.
32
2. Pasal 58
Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik wajib:
a. memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan Standar Profesi,
Standar Pelayanan Profesi, Standar Prosedur Operasional, dan etika
profesi serta kebutuhan kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan;
b. memperoleh persetujuan dari Penerima Pelayanan Kesehatan atau
keluarganya atas tindakan yang akan diberikan;
c. menjaga kerahasiaan kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan;
3. Pasal 77
Setiap Penerima Pelayanan Kesehatan yang dirugikan akibat kesalahan atau
kelalaian Tenaga Kesehatan dapat meminta ganti rugi sesuai dengan ketentuan
peraturan Perundang-undangan.
4. Pasal 78
Dalam hal Tenaga Kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan
profesinya yang menyebabkan kerugian kepada penerima pelayanan kesehatan,
perselisihan yang timbul akibat kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih
dahulu melalui penyelesaian sengketa di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
5. Pasal 79
Penyelesaian perselisihan antara Tenaga Kesehatan dan Fasilitas Pelayanan
Kesehatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
K. Bab XII Pembinaan dan Pengawasan
1. Pasal 80
Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan dan pengawasan
kepada Tenaga Kesehatan dengan melibatkan konsil masing-masing Tenaga
Kesehatan dan Organisasi Profesi sesuai dengan kewenangannya.
2. Pasal 81
a. Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80
diarahkan untuk:
 meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Tenaga
Kesehatan;
 melindungi Penerirna Pelayanan Kesehatan dan masyarakat atas tindakan
yang dilakukan Tenaga Kesehatan; dan
 memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan Tenaga Kesehatan.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat ( 1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
L. Bab XIII Sanksi Administratif
1. Pasal 82
33
1. Setiap Tenaga Kesehatan yang tidak melaksanakan ketentuan Pasal 47,
Pasal 52 ayat (1), Pasal 54 ayat (1), Pasal 58 ayat (I), Pasal 59 ayat (1),
Pasal 62 ayat (1), Pasal 66 ayat (1), Pasal 68 ayat (1), Pasal 70 ayat (1),
Pasal 70 ayat (2), Pasal 70 ayat (3) dan Pasal 73 ayat (1) dikenai sanksi
administratif.
2. Setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang tidak melaksanakan ketentuan
Pasal 26 ayat l2), Pasal 53 ayat (1), Pasal 70 ayat (4), dan Pasal 74 dikenai
sanksi administratif.
3. Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah
kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya memberikan sanksi
administratif kepada Tenaga Kesehatan dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
4. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa:
a. teguran lisan;
b. peringatan tertulis;
c. denda adminstratif; dan/atau
5. pencabutan izin.
6. Tata cara pengenaan sanksi administratif terhadap Tenaga Kesehatan dan
Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan
ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
M. Bab XIV Ketentuan Pidana
1. Pasal 83
Setiap orang yang bukan Tenaga Kesehatan melakukan praktik seolah-olah
sebagai Tenaga Kesehatan yang telah memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 64 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
2. Pasal 84
Setiap Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan
Penerima Pelayanan Kesehatan luka berat dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun.
Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kematian, setiap Tenaga Kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun.
3. Pasal 85
a. Setiap Tenaga Kesehatan yarlg dengan sengaja menjalankan praktik tanpa
memiliki STR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (I) dipidana dengan
pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
b. Setiap Tenaga Kesehatan warga negara asing yang dengan sengaja
memberikan pelayanan kesehatan tanpa memiliki STR Sementara
34
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dipidana dengan pidana denda
paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
4. Pasal 86
a. Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik tanpa memiliki izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) dipidana dengan pidana denda
paling banyak Rp100.000,000,00 (seratus juta rupiah).
b. Setiap Tenaga Kesehatan warga negara asing yang dengan sengaja
memberikan pelayanan kesehatan tanpa memiliki SIP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
N. Bab XV Ketentuan Peralihan
1. Pasal 87
a. Bukti Registrasi dan perizinan Tenaga Kesehatan yang telah dimiliki oleh
Tenaga Kesehatan, pada saat berlakunya Undang-Undang ini, dinyatakan
masih tetap berlaku sampai habis masa berlakunya.
b. Tenaga Kesehatan yang belum memiliki bukti Registrasl dan perizinan
wajib menyesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini paling lama 2
(dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
2. Pasal 88
a. Tenaga Kesehatan lulusan pendidikan di bawah Diploma Tiga yang telah
melakukan praktik sebelum ditetapkan Undang-Undang ini, tetap diberikan
kewenangan untuk menjalankan praktik sebagai Tenaga Kesehatan untuk
jangka waktu 6 (enam) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan.
b. Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperoleh dengan
mengajukan permohonan mendapatkan STR Tenaga Kesehatan.
3. Pasal 89
Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia dan Komite Farmasi Nasional sebagaimana
diatur dalam peraturan perundangundangan tetap melaksanakan fungsi, tugas,
dan wewenangnya sampai terbentuknya Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia.
4. Pasal 90
a. Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi menjadi bagian dari Konsil
Tenaga Kesehatan Indonesia setelah Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia
terbentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
b. Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2OO4 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2OO4 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 443 1) tetap melaksanakan fungsi, tugas, dan
35
wewenangnya sampai dengan terbentuknya Konsil Tenaga Kesehatan
Indonesia.
c. Sekretariat Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2OO4 Nomor 116, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4431) tetap melaksanakan fungsi dan
tugasnya sampai dengan terbentuknya sekretariat Konsil Tenaga Kesehatan
Indonesia.
O. Bab XVI Ketentuan Penutup
1. Pasal 9 I
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai Tenaga Kesehatan dinyatakan masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang
ini.
2. Pasal 92
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 32
Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3637) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
3. Pasal 93
Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 harus
dibentuk paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini
diundangkan.
4. Pasal 94
a. Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: Pasal 4 ayat (2, Pasal 17,
Pasal 20 ayat (4), dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2OO4 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4431) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; dan
b. Sekretariat Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2OO4 tentang Praktik Kedokteran
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OO4 Nomor 116, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431) menjadi sekretariat
Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia setelah terbentuknya Konsil Tenaga
Kesehatan lndonesia.
36
5. Pasal 95
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2
(dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
6. Pasal 96
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
P. Penjelasan Atas UURI No 36 tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan
Undang Undang tentang Tenaga Kesehatan ini didasarkan pada pemikiran
bahwa Pembukaan UUD 1945 mencantumkan citacita bangsa Indonesia yang
sekaligus merupakan tujuan nasional bangsa Indonesia, yaitu melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa Salah satu wujud
memajukan kesejahteraan umum adalah Pembangunan Kesehatan yang ditujukan
untuk meningkatkan kesadaran' kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap
orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya'
sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif.
Kesehatan merupakan hak asasi manusia, artinya, setiap orang mempunyai
hak yang sama dalam memperoleh akses pelayanan kesehatan. Kualitas pelayanan
kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau juga merupakan hak seluruh
masyarakat Indonesia. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi,
dalam rangka melakukan upaya kesehatan tersebut perlu didukung dengan sumber
daya kesehatan, khususnya Tenaga Kesehatan yang memadai, baik dari segi
kualitas, kuantitas, maupun penyebarannya.
Upaya pemenuhan kebutuhan Tenaga Kesehatan sampai saat ini belum
memadai, baik dari segi jenis, kualifikasi, jumlah, maupun pendayagunaannya.
Tantangan pengembangan Tenaga Kesehatan yang dihadapi dewasa ini dan di
masa depan adalah:
1. pengembangan dan pemberdayaan Tenaga Kesehatan belum dapat
memenuhi kebutuhan Tenaga Kesehatan untuk pembangunan kesehatan;
2. regulasi untuk mendukung upaya pembangunan Tenaga Kesehatan masih
terbatas;
3. perencanaan kebijakan dan program Tenaga Kesehatan masih lemah;
4. kekurangserasian antara kebutuhan dan pengadaan berbagai jenis Tenaga
Kesehatan;
5. kualitas hasil pendidikan dan pelatihan Tenaga Kesehatan pada umumnya
masih belum memadai;
6. pendayagunaan Tenaga Kesehatan, pemerataan dan pemanfaatan Tenaga
Kesehatan berkualitas masih kurang;
7. pengembangan dan pelaksanaan pola pengembangan karir, sistem
penghargaan, dan sanksi belum dilaksanakan sesuai dengan yang
diharapkan;
37
8. pengembangan profesi yang berkelanjutan masih terbatas;
9. pembinaan dan pengawasan mutu Tenaga Kesehatan belum dapat
dilaksanakan sebagaimana yang diharapkan;
10. sumber daya pendukung pengembangan dan pemberdayaan Tenaga
Kesehatan masih terbatas;
11. sistem informasi Tenaga Kesehatan belum sepenuhnya dapat menyediakan
data dan informasi yang akurat, terpercaya, dan tepat waktu; dan
12. dukungan sumber daya pe mbiayaan dan sumber daya lain belum cukup.
Dalam menghadapi tantangan tersebut, diperlukan adanya penguatan regulasi
untuk mendukung pengembangan dan pemberdayaan Tenaga Kesehatan melalui
percepatan pelaksanaannya, pen.ingkatan kerja sama lintas sector, dan
peningkatan pengelolaannya secara berjenjang di pusat dan daerah.
Perencanaan kebutuhan Tenaga Kesehatan secara nasional disesuaikan
dengan kebutuhan berdasarkan masalah kesehatan, kebutuhan pengembangan
program pembangunan kesehatan, serta ketersediaan Tenaga Kesehatan tersebut.
Pengadaan Tenaga Kesehatan sesuai dengan perencanaan kebutuhan
diselenggarakan melalui pendidikan dan pelatihan, baik oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, maupun masyarakat, termasuk swasta.
Pendayagunaan Tenaga Kesehatan meliputi penyebaran Tenaga Kesehatan
yang merata dan berkeadilan, pemanfaatan Tenaga Kesehatan, dan pengembangan
Tenaga Kesehatan, termasuk peningkatan karier.
Pembinaan dan pengawasan mutu Tenaga Kesehatan terutama ditujukan
untuk meningkatkan kualitas Tenaga Kesehatan sesuai dengan Kompetensi yang
diharapkan dalam mendukung penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi seluruh
penduduk Indonesia. Pembinaan dan pengawasan mutu Tenaga Kesehatan
dilakukan melalui peningkatan komitmen dan koordinasi semua pemangku
kepentingan dalam pengembangan Tenaga Kesehatan serta legislasi yang antara
lain meliputi sertifikasi melalui Uji Kompetensi, Registrasi, perizinan, dan hak-
hak Tenaga Kesehatan.
Penguatan sumber daya dalam mendukung pengembangandan pemberdayaan
Tenaga Kesehatan dilakukan melaluipeningkatan kapasitas Tenaga Kesehatan,
penguatan sistem informasi Tenaga Kesehatan, serta peningkatan pembiayaan dan
fasilitas pendukung lainnya.
Dalam rangka memberikan pelindungan hukum dankepastian hukum kepada
Tenaga Kesehatan, baik yang melakukan pelayanan langsung kepada masyarakat
maupun yang tidak langsung, dan kepada masyarakat penerima pelayanan itu
sendiri, diperlukan adanya landasan hukum yang kuat yang sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatanserta sosial
ekonomi dan budaya.
38
Q. Hubungan UU Tenaga Kesehatan Dengan Ilmu Neurologi
Tenaga Kesehatan dalam hal ini khususnya spesialis saraf adalah setiap orang
yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan khusus kulit dan kelamin serta
memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang saraf
yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan.
Tenaga kesehatan saraf memiliki peranan penting untuk meningkatkan
kualitas pelayanan kesehatan yang maksimal kepada masyarakat agar masyarakat
mampu untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan menjaga
kesehatan kulit dan kelamin mereka sehingga akan terwujud derajat kesehatan
yang setinggi-tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya
manusia yang produktif secara sosial dan ekonomi serta sebagai salah satu unsur
kesejahteraan umum sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undangg
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Penyelenggaraan upaya kesehatan kulit dan kelamin harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang bertanggung jawab khususnya spesialis kulit dan kelamin
dan dokter umum, yang memiliki etik dan moral yang tinggi, keahlian, dan
kewenangan yang secara terus menerus harus ditingkatkan mutunya melalui
pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, sertihkasi, registrasi, perizinan, serta
pembinaan, pengawasan, dan pemantauan agar penyelenggaraan upaya kesehatan
memenuhi rasa keadilan dan perikemanusiaan serta sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan.
39
III. INFORM CONSENT
A. Latar Belakang
Pekerjaan dokter mempunyai ciri khusus, antara lain merupakan hubungan
yang sangat pribadi karena didasarkan pada kepercayaan. Pasien senantiasa harus
percaya kepada kemampuan dokter yang menanganinya. Namun keadaan
demikian lama-kelamaan mengalami perubahan, sehubungan dengan
perkembangan yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan semakin
meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap tanggung jawab
atas kesehatannya sendiri, maka kepercayaan yang semula tertuju pada
kemampuan dokter secara pribadi, sekarang bergeser pada kemampuan ilmunya.
Timbul kesadaran masyarakat untuk menuntut suatu hubungan yang seimbang
dan tidak lagi sepenuhnya pasrah kepada dokter. Husein Kerbala mengatakan
bahwa selain kepercayaan tidak lagi pada dokter secara pribadi, akan tetapi
kepada kemampuan ilmu kedokteran, perubahan pola hubungan dokter-pasien
terjadi karena:
a. ada kecenderungan untuk menyatakan bahwa kesehatan itu bukan lagi
keadaan tanpa penyakit, akan tetapi berarti kesejahteraan fisik, mental
dan sosial.
b. semakin banyaknya peraturan yang memberikan perlindungan hukum
kepada pasien.
Dengan demikian terlihat hubungan dokter-pasien tidak hanya bersifat
medis semata, tetapi juga bersifat sosial, yuridis dan ekonomis . Di Indonesia,
kasus Dokter Setyaningrum pada tahun 1980-an untuk pertama kalinya
menggugah kesadaran masyarakat akan hubungan yang seimbang antara dokter
dengan pasien. Sejak kasus itu mencuat, terjadi perubahan pola hubungan pasien-
dokter dari paternalistik menjadi partnership.3 Pasien menjadi sadar akan hak-
haknya, antara lain hak atas informasi dan hak memberikan persetujuan yang
umum disebut dengan informed consent. Banyak kasus bermunculan setelah kasus
dr. Setyaningrum, dimana pasien atau keluarga pasien menggugat dan menuntut
tenaga medis dalam berbagai kasus
malpraktek. Kasus-kasus seperti “Keluarga Bayi Jared-Jayden dan RS Omni”
serta “Keluarga Bayi Ismi dan RS Borromeus” baru-baru ini merupakan contoh
nyata fenomena ini. Dari sini terlihat, pemahaman Informed Consent yang
memadai amat dibutuhkan sebagai upaya preventif tindakan malpraktek.
B. Tinjauan Pustaka Informed Consent
1. Informed Consent Sebagai Hak Pasien
Perikatan medis yang lahir dari perjanjian medis merupakan hubungan
hukum yang bersifat timbal balik. Sebagai hubungan hukum yang bersifat
timbale balik, perjanjian medis selalu mempunyai dua segi yang isinya hak di
40
satu pihak dan kewajiban di pihak lainnya. Dengan lain perkataan bahwa hak
pihak pertama merupakan kewajiban pihak kedua dan sebaliknya kewajiban
pihak pertama itu merupakan hak bagi pihak kedua. Demikian juga dengan
hubungan hukum antara dokter dengan pasiennya pun terdapat hak dan
kewajiban.
Pada literatur hukum kesehatan terdapat beberapa hak pasien antara lain :
a. Hak atas informasi
b. Hak memberikan persetujuan
c. Hak memilih dokter
d. Hak memilih sarana kesehatan (Rumah Sakit)
e. Hak atas rahasia kedokteran
f. Hak menolak pengobatan/perawatan
g. Hak menolak suatu tindakan medis tertentu
h. Hak untuk menghentikan pengobatan/perawatan (di Rumah Sakit
tersedia formulir keluar paksa)
i. Hak atas second opinion (pendapat kedua)
j. Hak melihat rekam medis/hak “inzage” rekam medis
Butir a dan b dinamakan “informed consent”.
Berkaitan dengan informed consent sebagai hak pasien di satu sisi, di sisi
lain lain pasien juga mempunyai kewajiban memberikan penjelasan lengkap,
sebanyak mungkin tentang penyakitnya. Kewajiban pasien ini dapat dikaitkan
dengan hak dokter atas “itikad baik” pasien.
Informed Consent diatur dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, salah satunya Pasal 8 yang menyebutkan Setiap orang berhak
memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan
pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.
Pasal 22 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang
Tenaga Kesehatan menyebutkan kewajiban dari tenaga kesehatan antara lain
adalah memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang
akan dilakukan serta meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan
dilakukan. Selain itu dalam pasal 22 ayat (1) ini juga disebutkan tenaga
kesehatan diwajibkan untuk menghormati hak-hak pasien, yang dalam
penjelasan pasal Peraturan Pemerintah ini dikatakan hak-hak pasien itu meliputi
hak atas informasi dan hak untuk memberikan/menolak persetujuan. Informed
Consent juga diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Berikut
beberapa pasal yang mengatur mengenai informed consent :
Pasal 2
Ayat (1): Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien
harus mendapat persetujuan.
Ayat (3): Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah
41
pasien mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan
kedokteran dilakukan.
Pasal 7
(1) Penjelasan tentang tindakan kedokteran harus diberikan langsung kepada
pasien dan/atau keluarga terdekat, baik diminta maupun tidak diminta.
(2) Dalam hal pasien adalah anak-anak atau orang yang tidak sadar, penjelasan
diberikan kepada keluarganya atau yang mengantar.
(3) Penjelasan tentang tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat :
(1) sekurangkurangnya mencakup:
a. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran;
b. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan;
c. Altematif tindakan lain, dan risikonya;
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
f. Perkiraan pembiayaan
Pasal 8
(1) Penjelasan tentang diagnosis dan keadaan kesehatan pasien dapat
meliputi :
a. Temuan klinis dari hasil pemeriksaan medis hingga saat tersebut;
b. Diagnosis penyakit, atau dalam hal belum dapat ditegakkan, maka
sekurangkurangnya diagnosis kerja dan diagnosis banding;
c. Indikasi atau keadaan klinis pasien yang membutuhkan
dilakukannya tindakan kedokteran;
d. Prognosis apabila dilakukan tindakan dan apabila tidak dilakukan
tindakan.
(2) Penjelasan tentang tindakan kedokteran yang dilakukan meliputi :
a. Tujuan tindakan kedokteran yang dapat berupa tujuan preventif,
diagnostik, terapeutik, ataupun rehabilitatif.
b. Tata cara pelaksanaan tindakan apa yang akan dialami pasien
selama dan sesudah
(3) tindakan, serta efek samping atau ketidaknyamanan yang mungkin terjadi.
a. Alternatif tindakan lain berikut kelebihan dan kekurangannya
dibandingkan dengan
(4) tindakan yang direncanakan.
a. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi pada masing-masing
alternative tindakan.
b. Perluasan tindakan yang mungkin dilakukan untuk mengatasi
keadaan darurat akibat risiko dan komplikasi tersebut atau
keadaan tak terduga lainnya.
42
(5) Penjelasan tentang risiko dan komplikasi tindakan kedokteran adalah
semua risiko dan komplikasi yang dapat terjadi mengikuti tindakan
kedokteran yang dilakukan, kecuali:
a. risiko dan komplikasi yang sudah menjadi pengetahuan umum
b. risiko dan komplikasi yang sangat jarang terjadi atau yang
dampaknya sangat ringan
c. risiko dan komplikasi yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya
(unforeseeable)
(6) Penjelasan tentang prognosis meliputi:
a. Prognosis tentang hidup-matinya (ad vitam);
b. Prognosis tentang fungsinya (ad functionam);
c. Prognosis tentang kesembuhan (ad sanationam)
2. Pengertian Informed Consent
Pada dasarnya, hubungan dokter dengan pasien yang dikenal dengan
kontrak terapeutik itu bertumpu pada dua macam hak manusia, yaitu:
a. Hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self
determination/TROS)
b. Hak atas informasi (the right to information).
Dengan kedua hak dasar itu dokter dan pasien bersama-sama menemukan terapi
(cara penyembuhan) yang paling tepat akan diterapkan pada diri pasien. Dari
sini pangkal informed consent lahir.
Berikut beberapa pendapat yang pernah disampaikan mengenai definisi
informed consent:
a. Secara harfiah, informed consent terdiri dari dua kata yaitu informed dan consent
Informed berarti telah mendapat penjelasan atau keterangan atau informasi.
Sedangkan consent itu berarti suatu persetujuan atau mengizinkan. Dengan
demikian informed consent itu berartisuatu persetujuan yang diberikan setelah
mendapat informasi (informed).
b. D. Veronica Komalawati merumuskan pengertian informed consent sebagai:
“...suatu kesepakatan atau persetujuan pasien atas upaya medis yang akan
dilakukan dokter terhadap dirinya setelah pasien mendapat informasi dari
dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan menolong dirinya disertai
informasi mengenai segala risiko yang mungkin terjadi.”
c. Di dalam Patient Bill of Rights atau American Hospital Assosiation, informed
consent dirumuskan sebagai:
The patient has the right to receive from his physician information necessary to
give. Informed Consent prior to the start of any procedure and/or treatment.”
C. Kode Etik Kedokteran dan Informed Consent
Dari segi etik, penerapan informed consent dianggap sebagai upaya
dokter untuk membuktikan kesungguhannya dalam mematuhi primum non
43
nocere (yang paling diutamakan adalah untuk tidak mencelakakan pasien), serta
prinsip mengutamakan kepentingan pasien. Dokter yang memegang prinsip
primum non nocere akan selalu menerima apa pun yang diputuskan oleh
pasiennya. Sehingga dapat dikatakan bahwa aspek etik dari informed consent
sangatlah luas dan besar dan menjadi landasan moral bagi kalangan tenaga
kesehatan, khususnya para dokter.
Dalam profesi kedokteran, dikenal adanya suatu kode etik yang disusun
berdasarkan asas etik. Dasar etik tersebut berlaku sejak zaman Hippocrates dan
merupakan asas yang tidak pernah berubah, yang secara universal dipakai
diseluruh dunia. Jika dijabarkan terdapat enam asas dalam profesi kedokteran
yakni:
1. Asas menghormati otonomi pasien
Pasien mempunyai kebebasan untuk mengetahui apa yang akan dilakukan
oleh dokter serta memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya sendiri
sehingga kepadanya perlu diberikan informasi yang cukup. Pasien berhak
untuk dihormati pendapat dan keputusannya, dan tidak boleh dipaksa.
Untuk itu maka perlu adanya informed consent.
2. Asas kejujuran
Dokter hendaknya mengatakan hal yang sebenarnya secara jujur akan apa
yang terjadi , apa yang akan dilakukan, serta akibat/risiko yang dapat
terjadi.
3. Asas tidak merugikan
Dokter berpedoman pada primum non nocere, tidak melakukan tindakan
yang tidak perlu, dan mengutamakan tindakan yang tidak merugikan
pasien, serta mengupayakan risiko fisik, risiko psikologis, maupun risiko
sosial akibat tindakan tersebut seminimal mungkin.
4. Asas manfaat
Semua tindakan dokter yang dilakukan terhadap pasien harus bermanfaat
bagi pasien guna mengurangi penderitaan atau emperpanjang hidupnya.
Untuk itu dokter wajib membuat rencana perawatan/tindakan yang
berlandaskan pada pengetahuan yang sahih dan dapat berlaku secara
umum.
5. Asas kerahasiaan
Dokter harus menghormati kerahasiaan pasien, meskipun pasien tersebut
sudah meninggal dunia.
6. Asas keadilan
Dokter harus berlaku adil, tidak memandang kedudukan atau
kepangkatan, tidak memandang kekayaan, dan tidak berat sebelahdalam
merawat pasien.
Dari asas tersebut kemudian disusun peraturan kode etik kedokteran
Indonesia yang menjadi landasan bagi setiap dokter untuk mengambil keputusan
44
etik dalam melakukan tugas profesinya sebagai seorang dokter. Kode etik
kedokteran yang berlaku sekarang dinyatakan mulai berlaku pertama kali dengan
Keputusan Menteri Kesehatan No. 434/Men. Kes/Sk/X/1983 tentang Berlakunya
Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) bagi para dokter di seluruh Indonesia,
baik yang menjadi anggota IDI maupun yang tidak menjadi anggota IDI. Kodeki
berisi tentang kewajiban umum, kewajiban dokter terhadap penderita, kewajiban
dokter terhadap teman sejawat, dan kewajiban dokter terhadap diri sendiri.
D. Aspek Perdata Informed Consent
Telah dijelaskan di muka bahwa informed consent merupakan hubungan
hukum yang lahir dari perjanjian medis. Perjanjian medis yang termasuk
perikatan medis merupakan perikatan pada umumnya yang berlaku ketentuan-
ketentuan umum hukum perikatan sebagaimana diatur dalam Buku III Kitab
Undang- Undang Hukum Perdata. Dengan demikian, syarat sahnya perjanjian
medis juga kontrak terapeutik antara dokter dengan pasien haruslah memenuhi
ketentuan dalam KUHPerdata Buku III Bab II Bagian Kedua Tentang Syarat-
Syarat yang Diperlukan Untuk Sahnya Suatu Perjanjian. Syarat sahnya suatu
perjanjian dalam
pasal 1320 Buku III Bab II Bagian Kedua KUHPerdata disebutkan ada empat,
yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Dua syarat pertama, dinamakan syarat-syarat subjektif, karena mengenai
orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian, sehingga dapat
dimintakan pembatalannya pada pengadilan manakala syarat subjektif ini tidak
terpenuhi. Sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat objektif
karena mengenai perjanjiannya sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang
dilakukan itu. Syarat objektif ini apabila tidak terpenuhi maka perjanjiannya
batal demi hukum.
1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya
Pasal 1321 KUHPerdata menyebutkan bahwa kesepakatan harus
diberikan tanpa adanya kekhilafan, atau diperolehnya tidak dengan dengan
paksaan atau penipuan. Subekti menjelaskan dengan sepakat atau juga
dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subjek yang mengadakan
perjanjian itu harus bersepakat, setuju, seiya-sekata mengenai hal-hal pokok dari
perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki pihak satu, juga
dikehendaki pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara
45
timbal-balik.22 Paksaan terjadi, jika seseorang memberikan persetujuannya
karena takut suatu ancaman. Misalnya rahasianya akan dibuka jika ia tidak
menyetujui suatu perjanjian. Yang diancam harus mengenai suatu perbuatan
yang dilarang undang-undang. Jikalau yang diancam itu suatu perbuatan yang
diizinkan oleh undangundang, misalnnya ancaman akan menggugat yang
bersangkutan di depan hakim dengan penyitaan barang, itu tidak dapat dikatakan
suatu paksaan.
Kekhilafan dapat terjadi, baik menyangkut subjek maupun objeknya.
Misalnya, seseorang yang ingin mengobati penyakitnya datang ke seorang
dokter. Sebenarnya ia ingin berobat kepada seorang dokter spesialis, tetapi
karena ketidaktahuannya ia datang ke dokter umum. Sebaliknya dokter umum
itu mengira bahwa calon pasien itu tahu bahwa dirinya memang hanya seorang
dokter umum dan sungguh ingin berobat kepadanya.25 Kekhilafan mengenai
objeknya, terjadi jika hal yang dijadikan objek perjanjian itu sesungguhnya
bukan yang dimaksudkan oleh pihak-pihak. Penipuan terjadi, apabila satu pihak
dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang tidak benar, disertai
dengan kelicikan-kelicikan, sehingga pihak lain terbujuk karenanya untuk
memberikan perizinan.
Adapun dalam menyatakan persesuaian kehendak itu, dapat dilakukan
dengan berbagai cara, baik secara tegas (expressed contract) mapun diam-diam
(implied contract). Dalam bentuk Expressed Contract sifat atau luas jangkauan
pemberian pelayanan pengobatan sudah ditawarkan oleh sang dokter yang
dilakukan secara nyata dan jelas, baik secara tertulis maupun secara lisan. Dalam
bentuk Implied Contract adanya kontrak disimpulkan dari tindakan-tindakan
para pihak. Timbulnya bukan karena adanya persetujuan, tetapi dianggap ada
oleh hukum berdasarkan akal sehat dan keadilan. Maka jika seorang pasien
datang ke suatu klinik medis dan sang dokter mengambil riwayat penyakitnya,
memeriksa keadaan fisik pasien dan memberikan pengobatan yang diperlukan,
maka dianggap tersirat sudah ada hubungan kontrak antara pasien dan dokter.
Menurut Veronica Komalawati, jika dihubungkan dengan perjanjian
medis (Veronica menyebutnya dengan transaksi terapeutik) sebagai hubungan
interpersonal, maka yang disebut informed consent untuk dilakukan tindakan
medis merupakan konstruksi dari persesuaian kehendak yang harus dinyatakan
baik oleh dokter maupun pasien setelah masing-masing menyatakan
kehendaknya sehingga masing-masing telah mendapatkan informasi secara
bertimbal balik. Oleh karena itu, informed consent diartikan sebagai persetujuan
setelah informasi. Bentuk informed consent tidak harus tertulis, tetapi bisa secara
lisan. Ketentuan mengenai ini tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan
Tindakan Kedokteran yang bunyinya: “Persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)dapat diberikan secara tertulis maupun lisan.” Namun untuk
tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh
46
persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan (Pasal 3 ayat 1 ) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
290/MENKES/PER/III/2008). Berikut Pasal 3 Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.
Pasal 3
(1) Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh
persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan.
(2) Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dengan persetujuan lisan.
(3) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam bentuk
pernyataan yang tertuang dalam formulir khusus yang dibuat untuk itu.
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan dalam bentuk
ucapan setuju atau bentuk gerakan menganggukkan kepala yang dapat diartikan
sebagai ucapan setuju.
(5) Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dianggap meragukan, maka dapat dimintakan persetujuan tertulis.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Pada dasarnya orang yang membuat perjanjian harus cakap menurut
hukum. Cakap menurut hukum maksudnya orang tersebut mempunyai
kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum. Setiap orang adalah cakap
untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak
dinyatakan tidak cakap (Pasal 1329 KUHPerdata). Tak cakap membuat suatu
perjanjian adalah (Pasal 1330 KUHPerdata):
a. Orang-orang yang belum dewasa;
b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan undang-undang,
dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang
membuat perjanjian tertentu. Dengan berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, maka istri telah dianggap cakap untuk melakukan
perbuatan hukum. Selain kecakapan berlandaskan faktor usia, kecakapan juga
ditentukan berdasarkan faktor kesehatan mental.30 Kecakapan juga ditentukan
oleh undang-undang. Misalnya, seorang tenaga kesehatan yang melakukan
tindakan medis haruslah tenaga kesehatan yang telah memperoleh Surat Izin
Praktek dan tindakan medis tersebut adalah sebatas tindakan (wewenang) yang
memang ditulis dalam
Surat Izin Praktek Tenaga Kesehatan itu dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Seringkali ditemui kasus dimana seorang tenaga
kesehatan melampaui wewenangnya, misalnya kasus seorang dokter gigi yang
membuka klinik kecantikan untuk operasi plastik padahal ia hanya mempunyai
47
Surat Izin Praktek (SIP) sebagai dokter gigi yanbg tentu saja wewenangnya
sebatas tindakan medis oleh dokter gigi yang tercantum dalam SIP itu. Lebih
lanjut mengenai SIP akan dibahas dalam sub-bab “Aspek Administratif
Informed Consent”.
3. Suatu hal tertentu
Sebagai syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai
suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua
belah pihak jika timbul suatu perselisihan.32 Barang yang dimaksud paling
sedikit ditentukan jenisnya (Pasal 1333 ayat (1) KUHPerdata). Tidaklah menjadi
halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian
dapat ditentukan atau dihitung (Pasal 1333 ayat (2) KUHPerdata). Menurut
Veronica Komalawati, dihubungkan dengan objek dalam perjanjian medis, maka
urusan yang dimaksudkan adalah sesuatu yang perluditangani, yaitu berupa
upaya penyembuhan. Upaya penyembuhan tersebut harus dapat dijelaskan
karena dalam pelaksanaannya diperlukan kerja sama yang didasarkan sikap
saling percaya antara dokter dan pasien. Oleh karena upaya
penyembuhan yang akan dilakukan itu harus dapat ditentukan, maka diperlukan
adanya standar pelayanan medic.
Dengan demikian, dapat terlihat bahwa ketentuan mengenai objek perjanjian ini
erat kaitannya dengan masalah:
a. pelaksanaan upaya medik sesuaidengan standar pelayanan medik yang
meliputi standar pelayanan penyakit danstandar pelayanan penunjang;
serta
b. masalah infomasi yang diberikan harustidak melebihi dari yang
dibutuhkan oleh pasien. Jadi jika dokter tidak dapatmenentukan dan
menjelaskan, atau memberikan informasi mengenai upaya medicyang akan
dilakukannya, maka berarti syarat ini tidak terpenuhi.
4. Suatu sebab yang halal
Syarat terakhir adalah sebab yang halal. Sebab yang halal maksudnya
adalah isi dari suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang,
ketertiban umum dan kesusilaan. Pengertian tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang di sini adalah undang-undang yang bersifat melindungi
kepentingan umum, sehingga jika dilanggar akan membahayakan kepentingan
umum.35 Misalnya, menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan menentukan bahwa tindakan pengguguran kandungan merupakan
perjanjian dengan sebab terlarang, kecuali berdasarkan indikasi kedaruratan
medis dan kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma
psikologis bagi korban perkosaan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan
undang-undang ini (Pasal 75 dan Pasal 76).
48
Lalu bagaimana bila perjanjian terapeutik dilakukan oleh tenaga
kesehatan dalam rangka melakukan pekerjaan di bawah Rumah Sakit , Dalam
kaitan dengan tanggung jawab Rumah Sakit, maka pada prinsipnya Rumah Sakit
bertanggung jawab secara perdata terhadap semua kegiatan yang dilakukan oleh
tenaga kesehatannya sesuai dengan bunyi pasal 1367 (3) KUHP Perdata. Selain
itu, Rumah Sakit bertanggung jawab atas wanprestasi dan melawan hukum
(1243, 1370, 1371, dan 1365 KUHPerdata) bila tindakan itu dilakukan
pegawainya.
E. Aspek Pidana Informed Consent
Telah dibahas bahwa sebelum tindakan medik dilakukan diperlukan
persetujuan pasien. Mengapa seorang pasien harus memberikan persetujuan itu;
misalnya suatu operasi? Dilihat dari aspek pidananya, hal ini dikaitkan dengan
Pasal 351 KUHP dimana diatur hal penganiayaan. Jika seseorang menusukkan
pisau ke dalam badan seseorang lain.yang menimbulkan luka, perbuatan ini
merupakan penganiayaan. Jika seseorang membius orang lain, ini pun termasuk
penganiayaan. Jika seseorang yang membius tersebut kebetulan seorang dokter,
maka tindakan itu tetap penganiayaan. Tindakan-tindakan itu bukan suatu
penganiayaan menurut Hukum Pidana manakala:
1. orang yang dilukai tersebut memberikan persetujuan;
2. tindakan medik itu berdasarkan suatu indikasi medik, dan ditujukan pada
suatu tujuan yang konkrit; serta
3. tindakan medik itu dilakukan sesuai ilmu kedokteran.
1. Orang yang dilukai tersebut memberikan persetujuan
Telah dikemukakan di muka bahwa keharusan memberikan persetujuan
disyaratkan adanya pemberian informasi terlebih dahulu. Telah dijelaskan pula
bahwa hanya dalam keadaan-keadaan tertentu, persetujuan seperti itu tidak
disyaratkan, misalnya pasien tidak mampu mengucapkan keinginannya atau
dalam keadaan darurat. Dalam hal yang terakhir itu, bukan menjadi masalah
teori mana yang akan dipergunakan yakni berkenaan dengan permasalahan
apakah tindakan medis itu merupakan suatu penganiayaan atau tidak, khususnya
tentang bagaimana caranya tindakan tersebut jangan sampai termasuk dalam
pengertiannya. Jika adanya persetujuan itu pada umumnya tidak dapat
membenarkan adanya suatu penyimpangan terhadap standar profesional medis,
maka hanya dalam satu hal adanya suatu persetujuan itu dapat membuat suatu
tindakan medis yang tidak diindikasikan menjadi suatu tindakan yang dapat
dibenarkan, yakni jika tindakan tersebut sifanya tidak terlarang secara etis.
Tugas prof amri amir sp.f prodi neurologi
Tugas prof amri amir sp.f prodi neurologi
Tugas prof amri amir sp.f prodi neurologi
Tugas prof amri amir sp.f prodi neurologi
Tugas prof amri amir sp.f prodi neurologi
Tugas prof amri amir sp.f prodi neurologi
Tugas prof amri amir sp.f prodi neurologi
Tugas prof amri amir sp.f prodi neurologi
Tugas prof amri amir sp.f prodi neurologi
Tugas prof amri amir sp.f prodi neurologi
Tugas prof amri amir sp.f prodi neurologi
Tugas prof amri amir sp.f prodi neurologi
Tugas prof amri amir sp.f prodi neurologi
Tugas prof amri amir sp.f prodi neurologi
Tugas prof amri amir sp.f prodi neurologi
Tugas prof amri amir sp.f prodi neurologi
Tugas prof amri amir sp.f prodi neurologi
Tugas prof amri amir sp.f prodi neurologi

More Related Content

What's hot

Aspek etik dan legal dalam keperawatan gawat darurat ppt
Aspek etik dan legal dalam keperawatan gawat darurat pptAspek etik dan legal dalam keperawatan gawat darurat ppt
Aspek etik dan legal dalam keperawatan gawat darurat pptElon Yunus
 
Aspek Etik dan legal dalam Keperawatan Gawat Darurat
Aspek Etik dan legal dalam Keperawatan Gawat DaruratAspek Etik dan legal dalam Keperawatan Gawat Darurat
Aspek Etik dan legal dalam Keperawatan Gawat DaruratElon Yunus
 
Hub hukum dan tenaga kesehatan dan pasien
Hub hukum dan tenaga kesehatan dan pasienHub hukum dan tenaga kesehatan dan pasien
Hub hukum dan tenaga kesehatan dan pasienElisanggeria22
 
legal etik yang ada di keperawatan
legal etik yang ada di keperawatan legal etik yang ada di keperawatan
legal etik yang ada di keperawatan endahtri2110
 
Hak dan-kewajiban-pasien
Hak dan-kewajiban-pasienHak dan-kewajiban-pasien
Hak dan-kewajiban-pasienChandra Crew
 
Hak & kewajiban tenaga kesehatan (perawat & apoteker blon ada)
Hak & kewajiban tenaga kesehatan (perawat & apoteker blon ada)Hak & kewajiban tenaga kesehatan (perawat & apoteker blon ada)
Hak & kewajiban tenaga kesehatan (perawat & apoteker blon ada)hardione
 
Etika profesi perekam medis dan informasi kesehatan
Etika profesi perekam medis dan informasi kesehatanEtika profesi perekam medis dan informasi kesehatan
Etika profesi perekam medis dan informasi kesehataniyandri tiluk wahyono
 
Sistem Pelayanan Kesehatan
Sistem Pelayanan KesehatanSistem Pelayanan Kesehatan
Sistem Pelayanan Kesehatanpjj_kemenkes
 
Jasa pelayanan kesehatan
Jasa pelayanan kesehatan Jasa pelayanan kesehatan
Jasa pelayanan kesehatan Hell Rohmika
 
Makalah sistem sistem rujukan pelayanan di indonesia
Makalah sistem sistem rujukan pelayanan di indonesiaMakalah sistem sistem rujukan pelayanan di indonesia
Makalah sistem sistem rujukan pelayanan di indonesiaevinurmiftahuljannah
 
Sistem Pelayanan Kesehatan
Sistem Pelayanan KesehatanSistem Pelayanan Kesehatan
Sistem Pelayanan Kesehatanpjj_kemenkes
 
Pelayanan kesehatan
Pelayanan kesehatanPelayanan kesehatan
Pelayanan kesehatanFionna Pohan
 

What's hot (20)

Aspek etik dan legal dalam keperawatan gawat darurat ppt
Aspek etik dan legal dalam keperawatan gawat darurat pptAspek etik dan legal dalam keperawatan gawat darurat ppt
Aspek etik dan legal dalam keperawatan gawat darurat ppt
 
Aspek Etik dan legal dalam Keperawatan Gawat Darurat
Aspek Etik dan legal dalam Keperawatan Gawat DaruratAspek Etik dan legal dalam Keperawatan Gawat Darurat
Aspek Etik dan legal dalam Keperawatan Gawat Darurat
 
Jurnal manajemen pelayanan kesehatan
Jurnal manajemen pelayanan kesehatanJurnal manajemen pelayanan kesehatan
Jurnal manajemen pelayanan kesehatan
 
Hub hukum dan tenaga kesehatan dan pasien
Hub hukum dan tenaga kesehatan dan pasienHub hukum dan tenaga kesehatan dan pasien
Hub hukum dan tenaga kesehatan dan pasien
 
Etika Dan Hukum Dalam Keperawatan Gadar
Etika Dan Hukum Dalam Keperawatan GadarEtika Dan Hukum Dalam Keperawatan Gadar
Etika Dan Hukum Dalam Keperawatan Gadar
 
Kasus moral & etika kesehatan
Kasus moral & etika kesehatanKasus moral & etika kesehatan
Kasus moral & etika kesehatan
 
legal etik yang ada di keperawatan
legal etik yang ada di keperawatan legal etik yang ada di keperawatan
legal etik yang ada di keperawatan
 
Hak dan-kewajiban-pasien
Hak dan-kewajiban-pasienHak dan-kewajiban-pasien
Hak dan-kewajiban-pasien
 
Makalah Malpraktek
Makalah MalpraktekMakalah Malpraktek
Makalah Malpraktek
 
Hak & kewajiban tenaga kesehatan (perawat & apoteker blon ada)
Hak & kewajiban tenaga kesehatan (perawat & apoteker blon ada)Hak & kewajiban tenaga kesehatan (perawat & apoteker blon ada)
Hak & kewajiban tenaga kesehatan (perawat & apoteker blon ada)
 
Kb 1
Kb 1Kb 1
Kb 1
 
1 Etik Legal Gawat Darurat
1 Etik Legal Gawat Darurat1 Etik Legal Gawat Darurat
1 Etik Legal Gawat Darurat
 
Etika profesi perekam medis dan informasi kesehatan
Etika profesi perekam medis dan informasi kesehatanEtika profesi perekam medis dan informasi kesehatan
Etika profesi perekam medis dan informasi kesehatan
 
Sistem Pelayanan Kesehatan
Sistem Pelayanan KesehatanSistem Pelayanan Kesehatan
Sistem Pelayanan Kesehatan
 
Jasa pelayanan kesehatan
Jasa pelayanan kesehatan Jasa pelayanan kesehatan
Jasa pelayanan kesehatan
 
Makalah sistem sistem rujukan pelayanan di indonesia
Makalah sistem sistem rujukan pelayanan di indonesiaMakalah sistem sistem rujukan pelayanan di indonesia
Makalah sistem sistem rujukan pelayanan di indonesia
 
aspek legal
aspek legalaspek legal
aspek legal
 
Sistem Pelayanan Kesehatan
Sistem Pelayanan KesehatanSistem Pelayanan Kesehatan
Sistem Pelayanan Kesehatan
 
Sistem yankes
Sistem yankesSistem yankes
Sistem yankes
 
Pelayanan kesehatan
Pelayanan kesehatanPelayanan kesehatan
Pelayanan kesehatan
 

Similar to Tugas prof amri amir sp.f prodi neurologi

perlindungan hukum pasien.pdf
perlindungan hukum pasien.pdfperlindungan hukum pasien.pdf
perlindungan hukum pasien.pdfzulkifli44314
 
makalah hukum kesehatan kel 1-RUANG LINGKUP KESEHATAN.docx
makalah hukum kesehatan kel 1-RUANG LINGKUP KESEHATAN.docxmakalah hukum kesehatan kel 1-RUANG LINGKUP KESEHATAN.docx
makalah hukum kesehatan kel 1-RUANG LINGKUP KESEHATAN.docxNurmaYanti40
 
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...Operator Warnet Vast Raha
 
Transaksi TERAPEUTIK-KELOMPOK-5.docx
Transaksi TERAPEUTIK-KELOMPOK-5.docxTransaksi TERAPEUTIK-KELOMPOK-5.docx
Transaksi TERAPEUTIK-KELOMPOK-5.docxNurmaYanti40
 
DOKTER-PASIEN.rev22.pdf
DOKTER-PASIEN.rev22.pdfDOKTER-PASIEN.rev22.pdf
DOKTER-PASIEN.rev22.pdfwyantono
 
implementasi mediasi dalam sengketa medik
implementasi mediasi dalam sengketa medikimplementasi mediasi dalam sengketa medik
implementasi mediasi dalam sengketa medikLalu Guntur Payasan
 
HUKUM_KESEHATAN_BHP.pptx
HUKUM_KESEHATAN_BHP.pptxHUKUM_KESEHATAN_BHP.pptx
HUKUM_KESEHATAN_BHP.pptxHarisWidodo7
 
HUKUM DAN KEbIJAKAN KESEHATAN pertemuan 1.pptx
HUKUM DAN KEbIJAKAN KESEHATAN pertemuan 1.pptxHUKUM DAN KEbIJAKAN KESEHATAN pertemuan 1.pptx
HUKUM DAN KEbIJAKAN KESEHATAN pertemuan 1.pptxLuhAriyani1
 
modul hukum kesehatan&etika review fachriah 1-pdf
modul hukum kesehatan&etika review fachriah 1-pdfmodul hukum kesehatan&etika review fachriah 1-pdf
modul hukum kesehatan&etika review fachriah 1-pdfljjkadinkes
 
Hukum Kesehatan dalam Kebidanan
Hukum Kesehatan dalam Kebidanan Hukum Kesehatan dalam Kebidanan
Hukum Kesehatan dalam Kebidanan pjj_kemenkes
 
HUKUM DAN KEBIJAKAN KESEHATAN 1 Pengertian Hukum Kesehatan.pptx
HUKUM DAN KEBIJAKAN KESEHATAN 1 Pengertian Hukum Kesehatan.pptxHUKUM DAN KEBIJAKAN KESEHATAN 1 Pengertian Hukum Kesehatan.pptx
HUKUM DAN KEBIJAKAN KESEHATAN 1 Pengertian Hukum Kesehatan.pptxLuhAriyani1
 
Paparan Tesis 2022.pptx
Paparan Tesis 2022.pptxPaparan Tesis 2022.pptx
Paparan Tesis 2022.pptxRsmSukses
 
Penyelesaian sengketa medis
Penyelesaian sengketa medisPenyelesaian sengketa medis
Penyelesaian sengketa medisTrini Handayani
 
Penyelesaian sengketa medis
Penyelesaian sengketa medisPenyelesaian sengketa medis
Penyelesaian sengketa medisTrini Handayani
 
KP 1.1.3.2 kewajiban dokter pasien
KP 1.1.3.2  kewajiban dokter pasienKP 1.1.3.2  kewajiban dokter pasien
KP 1.1.3.2 kewajiban dokter pasienCarlo Prawira
 

Similar to Tugas prof amri amir sp.f prodi neurologi (20)

Hukum kesehatan
Hukum kesehatanHukum kesehatan
Hukum kesehatan
 
Aaaaa
AaaaaAaaaa
Aaaaa
 
perlindungan hukum pasien.pdf
perlindungan hukum pasien.pdfperlindungan hukum pasien.pdf
perlindungan hukum pasien.pdf
 
makalah hukum kesehatan kel 1-RUANG LINGKUP KESEHATAN.docx
makalah hukum kesehatan kel 1-RUANG LINGKUP KESEHATAN.docxmakalah hukum kesehatan kel 1-RUANG LINGKUP KESEHATAN.docx
makalah hukum kesehatan kel 1-RUANG LINGKUP KESEHATAN.docx
 
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
 
Transaksi TERAPEUTIK-KELOMPOK-5.docx
Transaksi TERAPEUTIK-KELOMPOK-5.docxTransaksi TERAPEUTIK-KELOMPOK-5.docx
Transaksi TERAPEUTIK-KELOMPOK-5.docx
 
DOKTER-PASIEN.rev22.pdf
DOKTER-PASIEN.rev22.pdfDOKTER-PASIEN.rev22.pdf
DOKTER-PASIEN.rev22.pdf
 
implementasi mediasi dalam sengketa medik
implementasi mediasi dalam sengketa medikimplementasi mediasi dalam sengketa medik
implementasi mediasi dalam sengketa medik
 
MI1
MI1MI1
MI1
 
HUKUM_KESEHATAN_BHP.pptx
HUKUM_KESEHATAN_BHP.pptxHUKUM_KESEHATAN_BHP.pptx
HUKUM_KESEHATAN_BHP.pptx
 
HUKUM DAN KEbIJAKAN KESEHATAN pertemuan 1.pptx
HUKUM DAN KEbIJAKAN KESEHATAN pertemuan 1.pptxHUKUM DAN KEbIJAKAN KESEHATAN pertemuan 1.pptx
HUKUM DAN KEbIJAKAN KESEHATAN pertemuan 1.pptx
 
modul hukum kesehatan&etika review fachriah 1-pdf
modul hukum kesehatan&etika review fachriah 1-pdfmodul hukum kesehatan&etika review fachriah 1-pdf
modul hukum kesehatan&etika review fachriah 1-pdf
 
Hukum Kesehatan dalam Kebidanan
Hukum Kesehatan dalam Kebidanan Hukum Kesehatan dalam Kebidanan
Hukum Kesehatan dalam Kebidanan
 
HUKUM DAN KEBIJAKAN KESEHATAN 1 Pengertian Hukum Kesehatan.pptx
HUKUM DAN KEBIJAKAN KESEHATAN 1 Pengertian Hukum Kesehatan.pptxHUKUM DAN KEBIJAKAN KESEHATAN 1 Pengertian Hukum Kesehatan.pptx
HUKUM DAN KEBIJAKAN KESEHATAN 1 Pengertian Hukum Kesehatan.pptx
 
Etika keseahatan AKPER PEMKAB MUNA
Etika keseahatan AKPER PEMKAB MUNA Etika keseahatan AKPER PEMKAB MUNA
Etika keseahatan AKPER PEMKAB MUNA
 
Paparan Tesis 2022.pptx
Paparan Tesis 2022.pptxPaparan Tesis 2022.pptx
Paparan Tesis 2022.pptx
 
Penyelesaian sengketa medis
Penyelesaian sengketa medisPenyelesaian sengketa medis
Penyelesaian sengketa medis
 
Penyelesaian sengketa medis
Penyelesaian sengketa medisPenyelesaian sengketa medis
Penyelesaian sengketa medis
 
62500039 kodeki
62500039 kodeki62500039 kodeki
62500039 kodeki
 
KP 1.1.3.2 kewajiban dokter pasien
KP 1.1.3.2  kewajiban dokter pasienKP 1.1.3.2  kewajiban dokter pasien
KP 1.1.3.2 kewajiban dokter pasien
 

Recently uploaded

PEMBUATAN STR BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptx
PEMBUATAN STR  BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptxPEMBUATAN STR  BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptx
PEMBUATAN STR BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptxpuspapameswari
 
2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar Kep
2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar Kep2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar Kep
2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar KepHaslianiBaharuddin
 
Presentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah Sakit
Presentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah SakitPresentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah Sakit
Presentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah SakitIrfanNersMaulana
 
Laporan kasus restorasi kelas 2 komposit.pdf
Laporan kasus restorasi kelas 2 komposit.pdfLaporan kasus restorasi kelas 2 komposit.pdf
Laporan kasus restorasi kelas 2 komposit.pdfHilalSunu
 
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar KeperawatanHaslianiBaharuddin
 
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinanDwiNormaR
 
Presentasi materi antibiotik kemoterapeutika
Presentasi materi antibiotik kemoterapeutikaPresentasi materi antibiotik kemoterapeutika
Presentasi materi antibiotik kemoterapeutikassuser1cc42a
 
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptx
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptxTUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptx
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptxTriNurmiyati
 
konsep komunikasi terapeutik dalam keperawatan.ppt
konsep komunikasi terapeutik dalam keperawatan.pptkonsep komunikasi terapeutik dalam keperawatan.ppt
konsep komunikasi terapeutik dalam keperawatan.pptKianSantang21
 
ppt hipotiroid anak end tf uygu g uygug o.pptx
ppt hipotiroid anak end tf uygu g uygug o.pptxppt hipotiroid anak end tf uygu g uygug o.pptx
ppt hipotiroid anak end tf uygu g uygug o.pptxmarodotodo
 
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdfMeboix
 
PPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdf
PPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdfPPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdf
PPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdfhurufd86
 
FARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal Diabetes
FARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal DiabetesFARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal Diabetes
FARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal DiabetesNadrohSitepu1
 
Asuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh Diri
Asuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh DiriAsuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh Diri
Asuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh Diriandi861789
 
PPT Diskusi Topik - Stroke Iskemik (Rotasi G).pdf
PPT Diskusi Topik - Stroke Iskemik (Rotasi G).pdfPPT Diskusi Topik - Stroke Iskemik (Rotasi G).pdf
PPT Diskusi Topik - Stroke Iskemik (Rotasi G).pdfSeruniArdhia
 
Materi Asuhan Keperawatan Jiwa Halusinasi
Materi Asuhan Keperawatan Jiwa HalusinasiMateri Asuhan Keperawatan Jiwa Halusinasi
Materi Asuhan Keperawatan Jiwa Halusinasiantoniareong
 
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANAN
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANANETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANAN
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANANDianFitriyani15
 
MATERI TENTANG STUNTING BAGI REMAJA (Materi sosialisasi).ppt
MATERI TENTANG STUNTING BAGI REMAJA (Materi sosialisasi).pptMATERI TENTANG STUNTING BAGI REMAJA (Materi sosialisasi).ppt
MATERI TENTANG STUNTING BAGI REMAJA (Materi sosialisasi).pptbambang62741
 
LAPORAN KASUS HB demam tifoid dr syarifuddin rauf
LAPORAN KASUS HB demam tifoid dr syarifuddin raufLAPORAN KASUS HB demam tifoid dr syarifuddin rauf
LAPORAN KASUS HB demam tifoid dr syarifuddin raufalmahdaly02
 
ATRIBUT BIDAN PROFESIONAL DALAM KEBIDANAN.pptx
ATRIBUT BIDAN PROFESIONAL DALAM KEBIDANAN.pptxATRIBUT BIDAN PROFESIONAL DALAM KEBIDANAN.pptx
ATRIBUT BIDAN PROFESIONAL DALAM KEBIDANAN.pptxDesiNatalia68
 

Recently uploaded (20)

PEMBUATAN STR BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptx
PEMBUATAN STR  BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptxPEMBUATAN STR  BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptx
PEMBUATAN STR BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptx
 
2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar Kep
2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar Kep2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar Kep
2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar Kep
 
Presentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah Sakit
Presentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah SakitPresentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah Sakit
Presentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah Sakit
 
Laporan kasus restorasi kelas 2 komposit.pdf
Laporan kasus restorasi kelas 2 komposit.pdfLaporan kasus restorasi kelas 2 komposit.pdf
Laporan kasus restorasi kelas 2 komposit.pdf
 
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan
 
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
 
Presentasi materi antibiotik kemoterapeutika
Presentasi materi antibiotik kemoterapeutikaPresentasi materi antibiotik kemoterapeutika
Presentasi materi antibiotik kemoterapeutika
 
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptx
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptxTUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptx
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptx
 
konsep komunikasi terapeutik dalam keperawatan.ppt
konsep komunikasi terapeutik dalam keperawatan.pptkonsep komunikasi terapeutik dalam keperawatan.ppt
konsep komunikasi terapeutik dalam keperawatan.ppt
 
ppt hipotiroid anak end tf uygu g uygug o.pptx
ppt hipotiroid anak end tf uygu g uygug o.pptxppt hipotiroid anak end tf uygu g uygug o.pptx
ppt hipotiroid anak end tf uygu g uygug o.pptx
 
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf
 
PPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdf
PPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdfPPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdf
PPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdf
 
FARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal Diabetes
FARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal DiabetesFARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal Diabetes
FARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal Diabetes
 
Asuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh Diri
Asuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh DiriAsuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh Diri
Asuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh Diri
 
PPT Diskusi Topik - Stroke Iskemik (Rotasi G).pdf
PPT Diskusi Topik - Stroke Iskemik (Rotasi G).pdfPPT Diskusi Topik - Stroke Iskemik (Rotasi G).pdf
PPT Diskusi Topik - Stroke Iskemik (Rotasi G).pdf
 
Materi Asuhan Keperawatan Jiwa Halusinasi
Materi Asuhan Keperawatan Jiwa HalusinasiMateri Asuhan Keperawatan Jiwa Halusinasi
Materi Asuhan Keperawatan Jiwa Halusinasi
 
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANAN
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANANETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANAN
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANAN
 
MATERI TENTANG STUNTING BAGI REMAJA (Materi sosialisasi).ppt
MATERI TENTANG STUNTING BAGI REMAJA (Materi sosialisasi).pptMATERI TENTANG STUNTING BAGI REMAJA (Materi sosialisasi).ppt
MATERI TENTANG STUNTING BAGI REMAJA (Materi sosialisasi).ppt
 
LAPORAN KASUS HB demam tifoid dr syarifuddin rauf
LAPORAN KASUS HB demam tifoid dr syarifuddin raufLAPORAN KASUS HB demam tifoid dr syarifuddin rauf
LAPORAN KASUS HB demam tifoid dr syarifuddin rauf
 
ATRIBUT BIDAN PROFESIONAL DALAM KEBIDANAN.pptx
ATRIBUT BIDAN PROFESIONAL DALAM KEBIDANAN.pptxATRIBUT BIDAN PROFESIONAL DALAM KEBIDANAN.pptx
ATRIBUT BIDAN PROFESIONAL DALAM KEBIDANAN.pptx
 

Tugas prof amri amir sp.f prodi neurologi

  • 1. 1 MAKALAH ANALAISIS HUKUM KESEHATAN, UU KESEHATAN DAN TENAGA KESEHATAN, INFORMED CONSENT DAN REKAM MEDIK MENURUT PRODI NEUROLOGI DOSEN Prof.Dr. AMRI AMIR, SpF(K), DFM, SH, Sp.AK OLEH PPDS ILMU PENYAKIT SARAF MUHAMMAD REZA PUTRA MUHAMAD IBNU SINA ERNI BR PURBA ANDRE LONA PRATIWI HENDRO PUTRI MAGISTER ILMU KEDOKTERAN KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2017
  • 2. 2 I. ANALISIS HUKUM KESEHATAN A. Pengertian Hukum Kesehatan Istilah hukum kesehatan ( medical law ) dalam negara yang menganut sistim hukum eropa kontinental ( anglo saxon ) seperti, belanda , perancis berbeda dengan health law bagi negara yang menganut sistim hukum common law system ( amerika serikat, inggris ) yang dikarenakan bahwa helath law merupakan istilah ruang lingkupanya lebih luas dibanding dengan medical law karena sebagian orang yang menyatakan bahwa medical law adalah bagian dari health law. Menurut prof. H.J.J. Leneen mengatakan bahwa hukum kesehatan adalah semua peraturan – peraturan hukum yang berhubungan langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan dan penerapanya kepada hukum perdata, hukum pidana, dan hukum administarsi negara. Dalam undang-undang Republik Indonesia nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang di maksud dengan Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit. B. Ruang Lingkup Hukum Kesehatan Dewasa ini kemajuan iptek dibidang kesehatan telah sangat berkembang pesat dengan di dukung oleh sarana kesehatan semakin canggih, perkembangan ini turut mempengaruhi jasa profesionalisme di bidang kesehatan yang dari waktu ke waktu semakin berkembang pula. Dalam banyak hal yang berhubungan denngan masalah kesehatan , sering di temui kasus – kasus yang merugikan pasien, oleh sebab itu tidak mengherankan apabilaprofesi kesehatan ramai di perbincangkan baik di kalangan masyarakat ataupun di kalangan intelektual. Sehingga sering timbul gugatan dari pasien yang merasa dirugikan akibat adanya kesehatan atau kelalaian yang di lakukan oleh tenaga kesehatan di dalam melaksanakan pemberian pelayanan kesehatan, maka keadaan – keadaan seperti inilah yang menunjukkan suatu gejala, bahwa dunia kesehatan (pelayan kesehatan ) mulai di landa krisis etik – etik medis, bahkan juga krisis keterampilan medis yang pada dasarnya semuanya tidak dapat tidak dapat di selesaikan dengan kode etik etika profesi para tenaga kesehatan semata, melainkan harus diselesaikan dengan cara yang lebih luas, yaitu melalui jalur hukum. Munculnya kasus – kasus pelayanan kesehatan yang terjadi di tengah – tengah lapisan masyarakat dalam hal masalah kesehata dan bnyaknya kritikan – kritikan yang muncul terhadap pelayanan kesehatan itu merupakan indikasi bahwa kesadaran hukum oleh masyarakat dalah hal masalah kesehatan semakin meningkat pula.
  • 3. 3 Hal ini juga yang menyebabkan masyaraaakat tidak mau lagi menerima begitu saja cara pelayanan yang kurang efisien yang akan dilakukan para tenaga medis kesehatan kepada masyaraakat, akan tetapi engin menjalani bagaimana pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat itu harus dilakukan, serta bagaimana masyarakat harus bertindak sesuai denagn hak dan kepentinganya apabila mereka menderita kerugian akibat dari kelalaian pelayanan kesehatan yang pada dasarnya adalah kesalahan atau kelalaian pelayan kesehatan merupakan suatu hal yang penting untuk di bicarakan dalam hal ini yang di sebabkan akibat dari kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan tersebut yang mempunyai dampak yang sangat merugikan, selain merusak atau mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap profesi pelayanan kesehatan, juga menimbulkan kerugian terhadap pasien atau masyarakat. Maka untuk itu di dalam memahami ada tidak adanya kesalahan ataupun kelalaian yang dilakuakan tenaga medis , maka hal itu harus dihadapkan dengan kewajiban profesi disamping harus pula memperhatikan aspek hukum yang mendasari terjadinya hubungan hukum antara dokter dengan pasien, yang di karenakan bahwa setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsipnondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia, serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional mengingat bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-citabangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. C. Hubungan Hukum Antara Dokter Dengan Pasien Hubungan hukum antara dokter dengan pasien pada dasarnya adalah merupakanperjanjian perbintenis yang di karena berupaya untuk mewujudkan apa yang di perjanjikan kedua pihak antara dokter dengan pasien, yang sebagaimana diatur dalam pasal 1320 kitab undang hukum perdata tentang sahnya suatu perjanjian. Ketika hubungan antara dokter dan pasien termasuk dalam ruang lingkup perjanjian, maka apaun ketentuan – ketentuan yang di atur pada KUHP berlaku terhadap perjanjian teraupeutik, yang karena pada dasarnya kedatangan seorang pasien kepada dokter dianggap sudah adanya perjanjian (mutual consent ) Dalam tahapan perkembangan hubungan hukum antara dokter dengan pasien di dalam memberikan pelayanan kesesahatan ini dikenal menjadi 3 ( tiga ) tahapan perkembangan hubungan hukum yaitu sebagai berikut :
  • 4. 4 1. Hubungan aktif – pasif. Pada tahapan hubungan ini, pasien tidak memberikan kontribusi apapun, dimana pasien hanya menyerahkan sepenuhnya akan tindakan dokter yang akan di lakukan dalam hal pemberian jasa kesehatan. 2. Hubungan kerja sama terpimpin. Pada tahapan hubungan ini, sudah tampak adanya partisipasi dari pasien dalam proses pelayanan kesehatan sekalipun peranan dokter masih bersifat dominan di dalam menetukan tidakan – tindakan yang akan di lakukan, pada thapan ini pula kedudukan dokter sebagai orang yang di percaya oleh pasien masih bersifat signifikan. 3. Hubungan partisipasi bersama. Pada tahapan hubungan ini, pasien menyadari bahwa dirinya, sederajat dengan dokter dan dengan demikian apabila terbentuk suatu hubungan hukum maka hubungan tersebut dibangun atas dasar perjanjian yang di sepakati bersama antara pasien dengan dokter. Menurut Lumenta hubungan antara dokter dengan pasien ada 3 ( tiga ) hubungan yanitu : 1. Hubungan patnerlistik. 2. Hubungan individualistik. 3. Hubungan kolegial. Menurut Dasen sebagai mana di kutip oleh Soejhono Soekanto ada terdapat beberapa alasan mengapa seorang pasien mendatangi dokter, yaitu : 1. Pasien pergi kedokter semata – mata karena ada merasa sesuatu yang membahyakan kesehatanya. 2. Pasien pergi kedoter di karenakan mengetahui bahwa dirinya sakit dan dokter dianggap mampu intuk menyembuhkan. 3. Pasien pergi keokter guna mendapatkan pemeriksaan yang intensif dan mengobati penyakit yang di temukan. Di dalam hubungan hukum antara dokter dengan pasien menurut undang- undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran pada pasal 52 dan pasal 53 dalam hal hak dan kewajiban pasien ditemui hubungan hukum pasien dengan dokter yaitu : 1. Pasal 52 mengatakan bahwa Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak sebagai berikut : a. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3); b. meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain c. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis d. menolak tindakan medis; dan e. mendapatkan isi rekam medis.
  • 5. 5 2. Dan di Pasal 53 mengatakan bahwa Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai kewajiban sebagai berikut : a. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya b. mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi c. mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan d. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima. D. Asas – Asas Hukum Yang Berkaitan Dengan Dokter Dengan Pasien Di dalam hubungan hukum antara dokter dengan pasien terdapat beberapa asas – asas yang di atur di dalam Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, pasal 2 sebagai mana di sebutkan bahwa Praktik kedokteran dilaksanakan berasaskan Pancasila dan didasarkan pada nilai ilmiah, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, serta perlindungan dan keselamatan pasien. Di dalam penjelasan pasal 2 Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, dapat diartikan asas – asas tersebut di dalam pegertianya di uraikan yang mana di dalam ketentuan ini yang dimaksud adalah : 1. Nilai ilmiah adalah bahwa praktik kedokteran harus didasarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperoleh baik dalam pendidikan termasuk pendidikan berkelanjutan maupun pengalaman serta etika profesi 2. Manfaat adalah bahwa penyelenggaraan praktik kedokteran harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat 3. Keadilan adalah bahwa penyelenggaraan praktik kedokteran harus mampu memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada setiap orang dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat serta pelayanan yang bermutu 4. Kemanusiaan adalah bahwa dalam penyelenggaraan praktik kedokteran memberikan perlakuan yang sama dengan tidak membedakan suku, bangsa, agama, status sosial, dan ras 5. Keseimbangan adalah bahwa dalam penyelenggaraan praktik kedokteran tetap menjaga keserasian serta keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat 6. Perlindungan dan keselamatan pasien adalah bahwa penyelenggaraan praktik kedokteran tidak hanya memberikan pelayanan kesehatan semata, tetapi harus mampu memberikan peningkatan derajat kesehatan dengan tetap memperhatikan perlindungan dan keselamatan pasien. Maka selain dari pada itu, ada pula yang menyebutkan beberapa asas yang harus di pedomani oleh dokter untuk menjadikan dasar dalam pemberian pelayanan kesehatan yaitu :
  • 6. 6 1. Asas legalitas. 2. Asas keseimbangan. 3. Asas tepat waktu. 4. Asas kejujuran. 5. Asas keterbukaan. 6. Asas kehati – hatian. Demikian pula di dala informed konsent ( persetujuan medes ) menganut ada 2 ( dua ) unsur antara lain yaitu : 1. Informasi yang di berikan oleh dokter kepada pasien mengenai tindakan apa yang di lakukan. 2. Persetujuan yang di berikan oleh pasien kepada dokter. Seperti yang di maksud di dalam Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran di dalam pasal 45 yang menyatakan bahwa : 1. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan. 2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap. 3. Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup : a. diagnosis dan tata cara tindakan medis b. tujuan tindakan medis yang dilakukan c. alternatif tindakan lain dan risikonya d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. Perjanjian teraupeutik sebagaimana di dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 80 tahun 1969 yang di sempurnakan dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 483/Men.Kes/X/1982, yang mengatakan tentang Transaksi Teraupeutik adalah perjanjian antara dokter dan pasien yang berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Berbeda dengan perjanjian yang pada umumnya, karena ke khususan itu terletak pada objek yang di perjanjikan, akan tetapi disini adalah yang menjadi objek yang di perjanjikan adalah upaya untuk melakukan penyembuhan pasien. Dengan demikian maka perjanjian teraupeutik adalah suatu perjanjian untuk menetukan atau upaya mencari terapi yang paling tepat bagi pasien yang di lakukan oleh dokter. Hubungan hukum antara dokter dengan pasien merupaka perjanjian perbintens, karena berupaya untuk mewujudkan apa yang di perjanjiakan.
  • 7. 7 Dalam hal terpenuhinya suatu perjanjian transaksi teraupeutik, maka dalam hal ini pasien bisa saja melakuakan tuntutan hukum kepada tenaga kesehatan dalam masalah pertanggung jawaban hubungan hukum antara dokter dan pasien, apabila dokter melakukan penyimpangan, malaui tuntutan, antara lain: dalam aspek hukum perdata, Wanprestasi pasal 1339 KUHPerdata. Di katakan wanprestasi pabila : 1. Tidak melakukan apa yang disepakati 2. Melakukan apa yang di sepakati tetapi terlambat 3. Melakukan apa yang di sepakati tetapi tidak sebagaimana yang di perjanjiakan. 4. Melakukaan surat perbuatan yang menurut hakikatnya perjanjian itu tidak di perbolehkan. Onrecht mangitedaad ( perbuatan melawan hukum ) pasal 1365 KUHPerdata. KUHPerdata pasal 1365 yang mengatakan yang perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Unsur perbuatan melawan hukum ( Onrecht mangitedaad ) yaitu : Menimbulkan kerugian kepada orang lain, yang di sebabkan antara lain : 1. Adanya kesalahan. 2. Adanya kerugian yang di timbulkan. 3. Adanya hubungan hukum antara kalusual dengan perbuatan yang di lakukan dalam aspeh hukum pidana Hubungan hukum antara dokter dengan pasien dalam aspek hukum pidana dapat dilihat apabila pada saat memberikan pelayanan kesehatan ditemukan adanya kesalahan dan kerugian yang di timbulkan. Sebagai mana di sebut dalam pasal 359 dan 361 KUHP yang mengakibatkan orang mati atau luka yang karena salahnya. Untuk melihat adanya kesalahan dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan adalah dapat dilihat melaui satandart operasional prosedural dan medical record. E. Hak Dan Kewajiban Dokter Dalam Memberikan Pelayanan Kesehatan Dari sudut pandang sosiologis seorang dokter yang melakukan hubungan atau transaksi teraupeutik, masing – masing mempunyai kedudukan dan peranan. Kedudukan yang dimaksud disini adalah kedudukan yang berupa wadah, hak dan kewajiban. Sedangkan peranan merupakan pelaksanaan hak – hak dan kewajiban tersebut. Secara sederhana dapat di katakan bahwa hak itu merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat. Sedangkan kewajiban adalah tugas atau beban yang harus di laksanakan. Dahulu kedudukan doter di anggap lebih tinggi dari pasien dan oleh karena itu perananaya lebih penting pula. Dalam perkembangan kehidupan masyarakat
  • 8. 8 hubungan dokter dengan pasien secara khusus mengalami perubahan bentuk, hal itu di sebabkan oleh beberapa faktor, antara lainya ialah sebagai berikut ini : 1. Kepercayaan tidak lagi tertuju kepada dokter pribadi, akan tetapi kepada kemampuan iptek kesehatan. 2. Masyarakat menganggap bahwa tugas dokter itu bukan hanya melakukan penyembuhan, akan tetapi juga di lakukan pada perawatan. 3. Adanya kecenderungan untuk menyatakan bahwa kesehatan bukan lagi merupakan keadaan tanpa penyakit, akan tetapi lelbih berarti oada kesejahteraan fisik, mental, dan sosial. 4. Semakin banyaknya perturan yang memberikan perlindungan hukum kepada pasien, sehinggga lebih mengetahui dan memahami hak – haknya dalam hubunganya dengan dokter. 5. Tingkat kecerdasan masyarakat menegenai kesehatan semakin meningkat. Menurut Leneen sebagaimana yang di kutip olehsoejono soekanto yang menyatakan bahwa manusia itu mempunyai 2 ( dua ) macam hak asasi yaitu, hak asasi sosial, dan hak asasi individual. Diamana batas antara keduanya agak kabur, sehingga di perlukan suatu landasan pemikiran yang berbeda, hal itu dikarenakan hak asasi individual mempunyai aspek sosial, hal ini berarti kedua kategori hak asasi tersebut dalam kenyataanya mengungkapkan dimensi individual dan dan sosial dari keberadaan atau existensi sesuatu hak atas pelayanan kesehatan merupakan salah satu hak asasi sosial manusia, dengan demikian untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik, pemerintah telah menetapkan Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan, sebagai pengganti undang – undang nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan, khususnya di pasal 48 yang menyatakan bahwa : 1. Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dilaksanakan melalui kegiatan : a. Pelayanan b. pelayanan kesehatan c. pelayanan kesehatan tradisional d. peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit e. penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan f. kesehatan reproduksi g. keluarga berencana h. kesehatan sekolah i. kesehatan olahraga j. pelayanan kesehatan pada bencana k. pelayanan darah l. kesehatan gigi dan mulut m. penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran n. kesehatan matra
  • 9. 9 o. pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi danalat kesehatan p. pengamanan makanan dan minuman q. pengamanan zat adiktif; dan/atau r. bedah mayat. 2. Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didukung oleh sumber daya kesehatan. Menurut Leneen kewajiban dokter dalam melaksanakan pelayanan kesehatan dibagi menjadi 3 ( tiga ) kelompok yaitu : 1. Kewajiban yang timbul dari sifat peralatan medis dimana dokter harus bertindak, harus sesuai dengan standart profesi medis. 2. Kewajiban untuk menghormati hak – hak pasien yang bersumber dari hak asasi di bidang kesehatan. 3. Kewajiban yang berhubungan dengan fungsi sosial pemeliharaan kesehatan. Kewajiban dokter terhadap pasien di dalam melaksanakan pelayanan kesehatan di atur lebih kongkrit di dalam pasal 51 Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran yang berbunyi bahwa Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban : 1. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien 2. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan 3. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia 4. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan 5. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi. Selain itu, kewajiban dokter di dalam memberikan pelayanan kesehatan dapat juga dilihat di dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 34 Tahun 1983 Tentang Kode Etik Kedokteran Indonesia, yang menytakan bahwa dokter memiliki serangkaian kewajiban yaitu : 1. kewajiban umum. 2. Kewajiban terhadap penderita. 3. Kewajiban terhadap rekan sejawat. 4. Kewajiban terhadap diri sendiri. Selain dari pada kewajiban dokter di dalam memberikan pelayanan kesehatan, dokter juga memiliki hak, sebagaimana yang di atur di dalam pasal 50 Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, yang
  • 10. 10 menyatakan bahwa Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak : 1. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional 2. memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional 3. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya; dan 4. menerima imbalan jasa. D. HAK & KEWAJIBAN PASIEN DALAM TRANSAKSI TERAUPEUTIK Secara normatif hak dan kewajiban pasien di atur di dalam Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran pada pasal 52 dan pasal 53 dalam hal hak dan kewajiban pasien ditemui hubungan hukum pasien dengan dokter yaitu : 1. Pasal 52 mengatakan bahwa Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak sebagai berikut : a. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3). b. meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain c. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis d. menolak tindakan medis; dan e. mendapatkan isi rekam medis. 2. Dan di Pasal 53 mengatakan bahwa Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai kewajiban sebagai berikut : a. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya b. mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi c. mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan d. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima. Berkaitan dengan hak pasien untuk mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana yang di maksud di dalam Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran di dalam pasal 45 yang menyatakan bahwa : 1. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan. 2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap. 3. Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup : 4.
  • 11. 11 a. diagnosis dan tata cara tindakan medis b. tujuan tindakan medis yang dilakukan c. alternatif tindakan lain dan risikonya d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. Selain dari pihak pasien yang di atur di dalam perundang – undangan maka hak pasien juga di cantumkan di dalam peraturan Kode Etik Profesi Kedokteran Indonesia yaitu : 1. hak untuk hidup, hak atas tubuhnya, dan hak untuk mati secara wajar. 2. Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan standart profesi kedokteran. 3. Hak memperoleh penjelasan secara lengkap tenetang diagnosa dan terapi medis yang di lakukan oleh dokter di dalam mengobatinya. 4. Hak untuk menolak prosedur diagnosis dan terapi yang akan di rencanakan, bahkan untuk menarik diri dari kontrak teraupeutik. 5. Hak atas kerahasiaan atau rekam medic yang bersifat pribadi. F. Kesimpilan Hubungan Hukum Kesehatan Dengan Ilmu Neurologi Setelah membaca teori diatas maka hukum keehatan pasien sangat berhubungan dengan ilmu saraf. Hal ini menyangkut hubungan dokter pasien yang harus selalu terjaga baik, selalu menghormati pasien dan meminta izin jika akan melakukan tidakan-tindakan. Pasien dan dokter sama-sama memiliki hak dan kewajiban dalam pengobatan, hal ini harus sangat diperhatikan terutama dalam penjelasan setian kita akan melakukan tindakan pada pasien ataupun melakukan pemeriksaan terhadap penyakit yang mereka alami.
  • 12. 12 II. ANALISIS UNDANG-UNDANG KESEHATAN & TENAGA KESEHATAN A. Pendahuluan Masyarakat yang sehat, dengan kapasitas fisik dan daya pikir yang kuat, akan menjadi kontribusi kontribusi positif terhadap komunitasnya, dengan menjadi individu yang produktif. Kesehatan memiliki daya ungkit yang dapat mendukung aspek-aspek pembangunan lainnya, sehingga indikator-indikator kesehatan seringkali digunakan sebagai ukuran kemajuan pembangunan. Upaya penurunan kemiskinan pun dipengaruhi oleh kebijakan kesehatan yang diberlakukan, seperti universal health coverage, atau perlindungan kesehatan menyeluruh. Agar dapat mencapai perlindungan kesehatan yang ideal tersebut, diperlukan sebuah sistem pelayanan kesehatan yang efisien dan efektif. Sistem ini mencakup akses terhadap pusat layanan kesehatan, obat-obatan esensial, tenaga kesehatan yang kompeten, serta tata kelola yang baik. Dengan diterapkannya sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan peluncuran Kartu Indonesia Sehat (KIS) pada tahun 2014, Indonesia telah menunjukkan komitmennya terhadap perbaikan kualitas kesehatan rakyatnya. Hal ini perlu diikuti dengan penguatan sistem layanan kesehatan primer, dimana penguatan layanan primer menjadi vital dalam perannya sebagai garda terdepan menjaga kesehatan masyarakat, dalam, melakukan upaya prevensi atau pencegahan penyakit secara luas termasuk melalui edukasi kesehatan, konseling serta skrining/penapisan. Kuatnya sistem pelayanan kesehatan primer akan memperluas jangkauan layanan kesehatan hingga ke akar rumput dan meminimalisir ketidakadilan akses terhadap kesehatan antar kelompok masyarakat. Dalam realita, Indonesia yang mempunyai geografi berupa daratan, lautan, pegunungan serta banyaknya pulau-pulau yang tersebar menyebabkan akses pelayanan kesehatan untuk daerah tertentu sangat sulit dijangkau. Situasi di daerah tertinggal, perbatasan dan kepulauan (DTPK) dan Daerah Bermasalah Kesehatan (DBK) sangat berbeda dengan daerah lainnya. Ketersediaan tenaga kesehatan dan sarana-prasarana merupakan masalah utama yang terjadi di lapangan. Namun demikian, aktifitas pelayanan wajib dilaksanakan dan pelayanan kesehatan kepada masyarakat tidak dapat ditunda. Oleh sebab itu diperlukan kebijakan khusus mengenai model penempatan tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan disesuaikan dengan karakteristik daerah dan tidak menyamaratakan kebijakan tersebut untuk seluruh wilayah Indonesia. B. Bab 1 Ketentuan Umum 1. Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: a. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan
  • 13. 13 melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. b. Asisten Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan bidang kesehatan di bawah jenjang Diploma Tiga. c. Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat. d. Upaya Kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat. e. Kompetensi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang Tenaga Kesehatan berdasarkan ilmu pengetahuan, keterampiian, dan sikap profesional untuk dapat menjalankan praktik. f. Uji Kompetensi adalah proses pengukuran pengetahuan, keterampilan, dan perilaku peserta didik pada perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan tinggi bidang Kesehatan. g. Sertilikat Kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap Kompetensi Tenaga Kesehatan untuk dapat menjalankan praktik di seluruh Indonesia setelah lulus uji Kompetensi. h. Sertifikat Profesi adalah surat tanda pengakuan untuk melakukan praktik profesi yang diperoleh lulusan pendidikan profesi. i. Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap Tenaga Kesehatan yang telah memiliki Sertihkat Kompetensi atau Sertifikat Profesi dan telah mempunyai kualifikasi tertentu lain serta mempunyai pengakuan secara hukum untuk menjalankan praktik. j. Surat Tanda Registrasi yang selanjutnya disingkat STR adalah bukti tertulis yang diberikan oleh konsil masing-masing Tenaga Kesehatan kepada Tenaga Kesehatan yang telah diregistrasi. k. Surat Izin Praktik yang selanjutnya disingkat SIP adalah bukti tertulis yang diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota kepada Tenaga Kesehatan sebagai pemberian kewenangan untuk menjalankan praktik. l. Standar Profesi adalah batasan kemampuan minimai berupa pengetahuan, keterampilan, dan perilaku profesional yang harus dikuasai dan dimiliki oleh seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi bidang kesehatan.
  • 14. 14 m. Standar Pelayanan Profesi adalah pedoman yang diikuti oleh Tenaga Kesehatan dalam melakukan pelayanan kesehatan. n. Standar Prosedur Operasional adalah suatu perangkat instruksi / langkah- langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan proses kerja rutin tertentu dengan memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan berdasarkan Standar Profesi. o. Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia adalah lembaga yang melaksanakan tugas secara independen yang terdiri atas konsil masing-masing tenaga kesehatan. p. Organisasi Profesi adalah wadah untuk berhimpun tenaga kesehatan yang seprofesi. q. Kolegium masing-masing Tenaga Kesehatan adalah badan yang dibentuk oleh Organisasi Profesi untuk setiap cabang disiplin ilmu kesehatan yang bertugas mengampu dan meningkatkan mutu pendidikan cabang disiplin ilmu tersebut. r. Penerima Pelayanan Kesehatan adalah setiap orang yang melakukan konsultasi tentang kesehatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan,baik secara langsung maupun tidak langsung kepada tenaga kesehatan. s. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintah negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Repubiik Indonesia Tahun 1945. t. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, dan Wali Kota serta perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan. u. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan. 2. Pasal 2 Undang-Undang ini berasaskan: a. Perikemanusiaan; b. manfaat; c. pemerataan; d. etika dan profesionalitas; e. penghormatan terhadap hak dan kewajiban; f. keadilan; g. pengabdian; h. norma agama; dan i. pelindungan.
  • 15. 15 3. Pasal 3 Undang-Undang ini bertujuan untuk: a. memenuhi kebutuhan masyarakat akan tenaga kesehatan; b. mendayagunakan tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan masyarakat; c. memberikan pelindungan kepada masyarakat dalam menerima penyelenggaraan upaya kesehatan; d. mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan upaya kesehatan yang diberikan oleh Tenaga Kesehatan; dan e. memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan Tenaga Kesehatan. C. Bab Ii Tanggung Jawab Dan Wewenang Pemerintah Dan Pemerintah Daerah 1. Pasal 4 Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap: a. pengaturan, pembinaan, pengawasan, dan peningkatan mutu Tenaga Kesehatan; b. perencanaan, pengadaan, dan pendayagunaan Tenaga Kesehatan sesuai dengan kebutuhan; dan c. pelindungan kepada Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik. 2. Pasal 5 Dalam melaksanakan tanggung jawabnya, Pemerintah berwenang untuk: a. menetapkan kebijakan Tenaga prof am Kesehatan skala nasional selaras dengan kebijakan pembangunan nasional; b. merencanakan kebutuhan Tenaga Kesehatan; c. melakukan pengadaan Tenaga Kesehatan; d. mendayagunakanTenagaKesehatan; e. membina, mengawasi, dan meningkatkan mutu Tenaga Kesehatan meialui pelaksanaan kegiatan sertifikasi Kompetensi dan pelaksanaan Registrasi Tenaga Kesehatan; f. melaksanakan kerja sama, baik dalam negeri maupun luar negeri di bidang Tenaga Kesehatan; dan g. menetapkan kebijakan yang berkaitan dengan TenagaKesehatan yang akan melakukan pekerjaan atau praktik di luar negeri dan Tenaga Kesehatan warga negara asing yang akan melakukan pekerjaan atau praktik di Indonesia. 3. Pasal 6 Dalam melaksanakan tanggung jawabnya, pemerintah daerah provinsi berwenang untuk: a. menetapkan kebijakan Tenaga Kesehatan selaras dengan kebijakan pembangunan nasional;
  • 16. 16 b. melaksanakan kebijakan Tenaga Kesehatan; c. merencanakan kebutuhan Tenaga Kesehatan; d. melakukan pengadaan Tenaga Kesehatan; e. melakukan pendayagunaan melalui pemerataan, f. pemanfaatan dan pengembangan; g. membina, mengawasi, dan meningkatkan mutu Tenaga h. Kesehatan melalui pembinaan dan pengawasan i. pelaksanaan praktik Tenaga Kesehatan; dan j. melaksanakan kerja sama dalam negeri di bidang k. Tenaga Kesehatan. 4. Pasal 7 Dalam melaksanakan tanggung jawabnya, pemerintah daerah kabupaten/kota berwenang untuk: a. menetapkan kebijakan Tenaga Kesehatan selaras dengan kebijakan nasional dan provinsi; b. melaksanakan kebij akan Tenaga Kesehatan; c. merencanakan kebutuhan Tenaga Kesehatan; d. melakukan pengadaan Tenaga Kesehatan; e. melakukan pendayagunaan melalui pemerataan, pemanfaatan, dan pengembangan; f. membina, mengawasi, dan meningkatkan mutu Tenaga Kesehatan melalui pelaksanaan kegiatan perizinan Tenaga Kesehatan; dan g. melaksanakan kerja sama dalam negeri di bidangTenaga Kesehatan. D. Bab III Kualifikasi Dan Pengelompokan Tenaga Kesehatan 1. Pasal 8 Tenaga di bidang kesehatan terdiri atas: a. Tenaga Kesehatan; dan b. Asisten Tenaga Kesehatan. 2. Pasal 9 a. Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a harus memiliki kualifikasi minimum Diploma Tiga, kecuali tenaga medis. b. Ketentuan lebih lanjut mengenai kualifikasi minimum Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. 3. Pasal 10 a. Asisten Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b harus memiliki kualifikasi minimum pendidikan menengah di bidang kesehatan. b. Asisten Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat bekerja di bawah supervisi Tenaga Kesehatan.
  • 17. 17 c. Ketentuan lebih lanjut mengenai Asisten Tenaga Kesehatan diatur dengan Peraturan Menteri. 4. Pasal 11 a. Tenaga Kesehatan dikelompokkan ke dalam:  tenaga medis;  tenaga psikologi klinis;  tenaga keperawatan;  tenaga kebidanan;  tenaga kefarmasian;  tenaga kesehatan masyarakat;  tenaga kesehatan lingkungan;  tenaga gizi;  tenaga keterapian fisik;  tenaga keteknisian medis;  tenaga teknik biomedika;  tenaga kesehatan tradisional; dan  tenaga kesehatan lain. b. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis. c. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga psikologi klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah psikologi klinis. d. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas berbagai jenis perawat. e. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga kebidanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d adalah bidan. f. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e terdiri atas apoteker dan tenaga teknis kefarmasian. g. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f terdiri atas epidemiolog kesehatan, tenaga promosi kesehatan dan ilmu perilaku, pembimbing kesehatan kerja, tenaga administrasi dan kebijakan kesehatan, tenaga biostatistik dan kependudukan, serta tenaga kesehatan reproduksi dan keluarga. h. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga kesehatan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) huruf g terdiri atas tenaga sanitasi lingkungan, entomolog kesehatan, dan mikrobiolog kesehatan.
  • 18. 18 i. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h terdiri atas nutrisionis dan dietisien. j. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga keterapian fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i terdiri atas fisioterapis, okupasi terapis, terapis wicara, dan akupunktur. k. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga keteknisian medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j terdiri atas perekam medis dan informasi kesehatan, teknik kardiovaskuler, teknisi pelayanan darah, refraksionis optisien/ optometris, teknisi gigi, penata anestesi, terapis gigi dan mulut, dan audiologis. l. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga teknik biomedika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k terdiri atas radiografer, elektromedis, ahli teknoiogi laboratorium medik, fisikawan medik, radioterapis, dan ortotik prostetik. m. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk daiam kelompok Tenaga Kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) huruf 1 terdiri atas tenaga kesehatan tradisional ramuan dan tenaga kesehatan tradisional keterampilan. n. Tenaga Kesehatan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m ditetapkan oleh Menteri. 5. Pasal 12 Dalam memenuhi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan serta kebutuhan pelayanan kesehatan, Menteri dapat menetapkan jenis Tenaga Kesehatan lain dalam setiap kelompok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 1 E. Bab Iv Perencanaan, Pengadaan, Dan Pendayagunaan 1. Pasal 13 Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memenuhi kebutuhan Tenaga Kesehatan, baik dalam jumlah, jenis, maupun dalam kompetensi secara merata untuk menjamin keberlangsungan pembangunan kesehatan. 2. Pasal 14 a. Menteri menetapkan perencanaan Tenaga memenuhi dan mmenyusun perencanaan Tenaga Kesehatan secara nasional. b. Perencanaan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun secara berjenjang berdasarkan ketersediaan Tenaga Kesehatan dan kebutuhan penyelenggaraan pembangunan dan Upaya Kesehatan. c. Ketersediaan dan kebutuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui pemetaan Tenaga Kesehatan.
  • 19. 19 3. Pasal 15 Menteri dalam menyusun perencanaan Tenaga Kesehatan harus memperhatikan faktor: a. jenis, kualifikasi, jumlah, pengadaan, dan distribusi Tenaga Kesehatan; b. penyelenggaraan Upaya Kesehatan; c. ketersediaan Fasilitas Pelayanan Kesehatan; d. kemampuanpembiayaan; e. kondisi geografis dan sosial budaya; dan f. kebutuhanmasyarakat. 4. Pasal 16 Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan Tenaga Kesehatan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 5. Pasal 17 a. Pengadaan Tenaga Kesehatan dilaksanakan sesuai dengan perencanaan dan pendayagunaan Tenaga Kesehatan. b. Pengadaan Tenaga Kesehatan dilakukan melalui pendidikan tinggi bidang kesehatan. c. Pendidikan tinggi bidang kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 diarahkan untuk menghasilkan Tenaga Kesehatan yang bermutu sesuai dengan Standar Profesi dan Standar Pelayanan profesi. d. Pendidikan tinggi bidang kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diselenggarakan dengan memperhatikan:  keseimbangan antara kebutuhan penyelenggaraan Upaya Kesehatan dan dinamika kesempatan kerja, baik di dalam negeri maupun di luar negeri;  keseimbangan antara kemampuan produksi Tenaga Kesehatan dan sumber daya yang tersedia; dan  perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. e. Penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan. f. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengadaan Tenaga Kesehatan diatur dengan Peraturan pemerintah. 6. Pasal 18 a. Pendidikan tinggi bidang kesehatan diselenggarakan berdasarkan izin sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan. b. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) diberikan setelah mendapatkan rekomendasi dari Menteri.
  • 20. 20 c. Pembinaan teknis pendidikan tinggi bidang kesehatan dilakukan oleh Menteri. d. Pembinaan akademik pendidikan tinggi bidang kesehatan dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan. e. Dalam penyusunan kurikulum pendidikan Tenaga Kesehatan, penyelenggara pendidikan tinggi bidang kesehatan harus mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan dan berkoordinasi dengan Menteri. f. Penyelenggaraan pendidikan tinggi bidang kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 7. Pasal 19 a. Dalam rangka penjaminan mutu lulusan, penyelenggara pendidikan tinggi bidang kesehatan hanya dapat menerima mahasiswa sesuai dengan kuota nasional. b. Ketentuan mengenai kuota nasional penerimaan mahasiswa diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan bidang pendidikan setelah berkoordinasi dengan Menteri. 8. Pasal 20 a. Penyelenggaraan pendidikan tinggi bidang kesehatan harus memenuhi Standar Nasional Pendidikan Tenaga Kesehatan. b. Standar Nasionai Pendidikan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi. c. Standar Nasional Pendidikan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun secara bersama oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan, asosiasi institusi pendidikan, dan Organisasi Profesi. d. Standar Nasional Pendidikan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan. 9. Pasal 2 1 a. Mahasiswa bidang kesehatan pada akhir masa pendidikan vokasi dan profesi harus mengikuti Uji Kompetensi secara nasional. b. Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi bekerja sama dengan Organisasi Profesi, Iembaga pelatihan, atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi.
  • 21. 21 c. Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditujukan untuk mencapai standar kompetensi lulusan yang memenuhi standar kompetensi kerja. d. Standar kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun oleh Organisasi Profesi dan konsil masing-masing Tenaga Kesehatan dan ditetapkan oleh Menteri. e. Mahasiswa pendidikan vokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang lulus Uji Kompetensi memperoleh Sertifikat Kompetensi yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi. f. Mahasiswa pendidikan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang lulus Uji Kompetensi memperoleh Sertifikat Profesi yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi. g. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan Uji Kompetensi diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan. 10. Pasal22 a. Pendayagunaan Tenaga Kesehatan dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang- Undangan. b. Pendayagunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas pendayagunaan Tenaga Kesehatan di dalam negeri dan luar negeri. c. Pendayagunaan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan aspek pemerataan, pemanfaatan, dan pengembangan. 11. Pasal 23 a. Dalam rangka pemerataan pelayanan kesehatan dan pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan penempatan Tenaga Kesehatan setelah melalui proses seleksi. Penempatan Tenaga Kesehatan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara:  pengangkatan sebagai pegawai negeri sipil;  pengangkatan sebagai pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja; atau  penugasan khusus. b. Selain penempatan Tenaga Kesehatan dengan cara sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dapat menempatkan Tenaga Kesehatan melalui pengangkatan sebagai anggota TNI/POLRI.
  • 22. 22 c. Pengangkatan sebagai pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b serta penempatan melalui pengangkatan sebagai anggota TNI/POLRI dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. d. Penempatan Tenaga Kesehatan melalui penugasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan dengan penempatan dokter pascainternsip, residen senior, pascapendidikan spesialis dengan ikatan dinas, dan tenaga kesehatan lainnya. e. Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan dengan penugasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri. 12. Pasal 24 a. Penempatan Tenaga Kesehatan dilakukan dengan tetap memperhatikan pemanfaatan dan pengembangan Tenaga Kesehatan. b. Penempatan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui seleksi. 13. Pasal 25 a. Pemerintah dalam me meratakan penyebaran Tenaga Kesehatan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dapat mewajibkan Tenaga Kesehatan lulusan dari perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah untuk mengikuti seleksi penempatan. b. Selain Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seleksi penempatan dapat diikuti oleh Tenaga Kesehatan lulusan perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat. c. Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan Tenaga Kesehatan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 14. Pasal 26 a. Tenaga Kesehatan yang telah ditempatkan di Fasiiitas Pelayanan Kesehatan wajib melaksanakan tugas sesuai dengan Kompetensi dan kewenangannya. b. Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau kepala daerah yang membawahi Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, papan, dan lokasi, serta keamanan dan keselamatan kerja Tenaga Kesehatan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang- Undangan.
  • 23. 23 15. Pasal 27 a. Tenaga Kesehatan yang diangkat oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat dipindahtugaskan antarprovinsi, antarkabupaten, atau antarkota karena alasan kebutuhan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau promosi. b. Tenaga Kesehatan yang bertugas di daerah tertinggal perbatasan dan kepulauan serta daerah bermasalah kesehatan memperoleh hak kenaikan pangkat istimewa dan pelindungan dalam pelaksanaan tugas. c. Dalam hal terjadi kekosongan Tenaga Kesehatan, Pemerintah atau Pemerintah Daerah wajib menyediakan Tenaga Kesehatan pengganti untuk menjamin keberlanjutan pelayanan kesehatan pada fasilitas pelayanan kesehatan yan g bersan gkutan. d. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemindahtugasan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Tenaga Kesehatan yang bertugas di daerah tertinggal perbatasan dan kepulauan serta daerah bermasalah ke sehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 diatur dengan Peraturan Pemerintah. 16. Pasal 28 a. Dalam keadaan tertentu Pemerintah dapat memberlakukan ketentuan wajib kerja kepada Tenaga Kesehatan yang memenuhi kualifikasi akademik dan Kompetensi untuk melaksanakan tugas sebagai Tenaga Kesehatan di daerah khusus di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. b. Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah memberikan tunjangan khusus kepada Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). c. Tenaga Kesehatan yang diangkat oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah di daerah khusus berhak mendapatkan fasilitas tempat tinggal atau rumah dinas yang disediakan oleh Pemerintah Daerah. d. Ketentuan lebih lanjut mengenai penugasan sebagai Tenaga Kesehatan dalam keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 17. Pasal 29 a. Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dapat menetapkan pola ikatan dinas bagi calon Tenaga Kesehatan untuk memenuhi kepentingan pembangunan kesehatan. b. Ketentuan lebih lanjut mengenai pola ikatan dinas bagi calon Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
  • 24. 24 18. Pasal 30 a. Pengembangan Tenaga Kesehatan diarahkan untuk meningkatkan mutu dan karier Tenaga Kesehatan. b. Pengembangan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan serta kesinambungan dalam menjalankan praktik. c. Dalam rangka pengembangan Tenaga Kesehatan, kepala daerah dan pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan bertanggung j awab atas pemberian kesempatan yang sama kepada Tenaga Kesehatan dengan mempertimbangkan penilaian kinerja. 19. Pasal 3 1 a. Pelatihan Tenaga Kesehatan dapat diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/ atau masyarakat. b. Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi program pelatihan dan tenaga pelatih yang sesuai dengan Standar Profesi dan standar kompetensi serta diselenggarakan oleh institusi penyelenggara pelatihan yang terakreditasi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundan g-undangan. c. Ketentuan Iebih lanjut mengenai penyelenggara pelatihan Tenaga Kesehatan, program dan tenaga pelatih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 20. Pasal 32 a. Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia ke luar negeri dapat dilakukan dengan mempertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan Tenaga Kesehatan di Indonesia dan peluang kerja bagi Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia di luar negeri. b. Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia ke luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. 21. Pasal 33 Ketentuan lebih lanjut mengenai dengan pendayagunaan Tenaga Kesehatan diatur dengan Peraturan Pemerintah F. Bab V Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia 1. Pasal 34 a. Untuk meningkatkan mutu Praktik Tenaga Kesehatan serta untuk memberikan pelindungan dan kepastian hukum kepada Tenaga Kesehatan dan masyarakat, dibentuk Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia.
  • 25. 25 b. Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas konsil masingmasing Tenaga Kesehatan. c. Konsil masing-masing Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Praktik Kedokteran. d. Konsil masing-masing Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam melaksanakan tugasnya bersifat independen. e. Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri. 2. Pasal 35 Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia. 3. Pasal 36 a. Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia mempunyai fungsi sebagai koordinator konsil masing-masing Tenaga Kesehatan. b. Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) , Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia memiliki tugas:  memfasilitasi dukungan pelaksanaan tugas konsil masing-masing Tenaga Kesehatan.  meiakukan evaluasi tugas konsil masing-masing Tenaga Kesehatan; dan  membina dan mengawasi konsil masing-masing Tenaga Kesehatan. c. Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (i), Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia memiliki wewenang menetapkan perencanaan kegiatan untuk konsil masing-masing Tenaga Kesehatan. 4. Pasal 37 Konsil masing-masing tenaga kesehatan mempunyai fungsi pengaturan, penetapan dan pembinaan tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik Tenaga Kesehatan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) , konsil masing- masing Te naga Kese hatan memiliki tugas: a. melakukan Registrasi Tenaga Kesehatan; b. melakukan pembinaan Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik Tenaga Kesehatan; c. men)rusun Standar Nasional Pendidikan TenagaKesehatan; d. menyrrsun standar praktik dan standar kompetensiTenaga Kesehatan; dan e. menegakkan disiplin praktik Tenaga Kesehatan-
  • 26. 26 5. Pasal 38 Dalam menjalankan tugasnya, konsil masing-masing Tenaga Kesehatan mempunyai wewenang: a. menyetujui atau menolak permohonan Registrasi Tenaga Kesehatan; b. menerbitkan atau mencabut STR; c. menyelidiki dan menangani masalah yang berkaitan dengan pelanggaran disiplin profesi Tenaga Kesehatan; d. menetapkan dan memberikan sanksi disiplin profesi Tenaga Kesehatan; dan e. memberikan pertimbangan pendirian atau penutupan institusi pendidikan Tenaga Kesehatan. 6. Pasal 39 Dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang, Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia dibantu sekretariat yang dipimpin oleh seorang sekretaris. 7. Pasal 40 a. Keanggotaan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia merupakan pimpinan konsil masing-masing Tenaga Kesehatan. b. Keanggotaan konsil masing-masing Tenaga Kesehatan terdiri atas unsur:  kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan;  kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan;  Organisasi Profesi;  Kolegium masing-masing Tenaga Kesehatan;  asosiasi institusi pendidikan Tenaga Kesehatan;  asosiasi fasilitas pelayanan kesehatan; dan  tokoh masyarakat. 8. Pasal 41 Pendanaan untuk pelaksanaan kegiatan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara dan sumber lain yang tidak mengikat sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang- undangan. 9. Pasal 42 Ketentuan mengenai pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia diatur dengan Peraturan Menteri. 10. Pasal 43
  • 27. 27 Ketentuan Iebih lanjut mengenai susunan organisasi, pengangkatan, pemberhentian, serta keanggotaan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia dan sekretariat Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia diatur dengan Peraturan Presiden. G. Bab VI Registrasi Dan Perizinan Tenaga Kesehatan 1. Pasal 44 a. Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik wajib memiliki STR. b. STR sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) diberikan oleh konsil masing-masing Tenaga Kesehatan setelah memenuhi persyaratan. c. Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:  memiliki ijazah pendidikan di bidang kesehatan;  memiliki Sertifikat Kompetensi atau Sertifikat Profesi;  memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental;  memiliki surat pernyataan telah mengucapkansumpah/janji profesi; dan  membuat pernyataan mematuhi dan melaksanakanketentuan etika profesi. d. STR berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diregistrasi ulang setelah memenuhi persyaratan. e. Persyaratan untuk Registrasi ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi:  memiliki STR lama;  memiliki Sertifikat Kompetensi atau SertifikatProfesi;  memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental;  membuat pernyataan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.  telah mengabdikan diri sebagai tenaga profesi atau vokasi di bidangnya; dan  memenuhi kecukupan dalam kegiatan pelayanan,pendidikan, pelatihan, dan/atau kegiatan ilmiah lainnya. 2. Pasal 45 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Registrasi dan Registrasi Ulang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 diatur dengan Peraturan Konsil masing- masing Tenaga Kesehatan. 3. Pasal 46 a. Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik di bidang pelayanan kesehatan wajib memiliki izin. b. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk SIP.
  • 28. 28 c. SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota atas rekomendasi pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/ kota tempat Tenaga Kesehatan menjalankan praktiknya. d. Untuk mendapatkan SIP sebagairnana dirnaksud pada ayat (2, Tenaga Kesehatan harus memiliki;  STR yang masih berlaku;  Rekomendasi dari Organisasi Profesi; dan e. tempat praktik. f. SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masing berlaku hanya untuk 1 (satu) tempat g. SIP masih berlaku sepanjang:  STR masih berlaku; dan  tempat praktik masih sesuai dengan yangtercantum dalam SIP. h. Ketentuan lebih lanjut sesuai dengan yang mengenai perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) diatur dengan Peraturan Menteri. 4. Pasal 47 Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik mandiri harus memasang papan nama praktik. 5. Pasal 48 a. Untuk terselenggaranya praktik tenaga kesehatan yang bermutu dan pelindungan kepada masyarakat, perlu dilakukan pembinaan praktik terhadap tenaga kesehatan. b. Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri bersama-sama dengan Pemerintah Daerah, konsil masing-masing Tenaga Kesehatan, dan Organisasi Profesi sesuai dengan kewenangannya. 6. Pasal 49 a. Untuk menegakkan disiplin Tenaga Kesehatan dalam penyelenggaraan praktik, konsil masing-masing Tenaga Kesehatan menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin Tenaga Kesehatan. b. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), konsil masing-masing Tenaga Kesehatan dapat memberikan sanksi disiplin berupa:  pemberian peringatan tertulis;  rekomendasi pencabutan STR atau SIP; dan/atau  kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan diinstitusi pendidikan kesehatan. c. Tenaga Kesehatan dapat mengajukan keberatan atas putusan sanksi disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Menteri.
  • 29. 29 d. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri. H. Bab VII Organisasi Profesi 1. Pasal 50 a. Tenaga Kesehatan harus me mbentuk Organisasi Profesi sebagai wadah untuk meningkatkan dan/atau mengembangkan pengetahuan dan keterampilan, martabat, dan etika profesi Tenaga Kesehatan. b. Setiap jenis Tenaga Kesehatan hanya dapat membentuk 1 (satu) Organisasi Profesi. c. Pembentukan Organisasi Profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. 2. Pasal 5 1 a. Untuk mengembangkan cabang disiplin ilmu dan standar pendidikan Tenaga Kesehatan, setiap Organisasi Profesi dapat membentuk Kolegium masing-masing Tenaga Kesehatan. b. Kolegium masing-masing Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan otonom di dalam Organisasi Profesi. c. Kolegium masing-masing Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Organisasi Profesi. I. BAB VIII Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia Lulusan Luar Negeri Dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing 1. Pasal 52 Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia Lulusan Luar Negeri a. Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia lulusan luar negeri yang akan melakukan praktik di Indonesia harus mengikuti proses evaluasi kompetensi. b. Proses evaluasi kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:  penilaian kelengkapan administratif; dan  penilaian kemampuan untuk melakukan praktik. c. Kelengkapan administratif sebagaimana dimaksudpada ayat (2) huruf a paling sedikit terdiri atas:  penilaian keabsahan ij azah oleh menteri yangmenyelenggarakan urusan pemerintahan di bidangpendidikan;  surat keterangan sehat flsik dan mental; dan  surat pernyataan untuk mematuhi danmelaksanakan ketentuan etika profesi.
  • 30. 30 d. Penilaian kemampuan untuk melakukan praktik sebagaimana dimaksud pada .ayat (2) huruf b dilakukan melalui uji kompetensi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. e. Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia lulusan f. luar negeri yang telah lulus Uji Kompetensi dan yang akan melakukan praktik di Indonesia memperolehSTR. g. Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia lulusan luar negeri yang akan melakukan praktik sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib memiliki SIP sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. h. STR sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diberikan oleh konsil masing- masing Tenaga Kesehatan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang- undangan. i. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara proses evaluasi kompetensi bagi Tenaga Kesehatan Warga Negara lndonesia lulusan luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. 2. Pasal 53 Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing a. Fasilitas Pelayanan Kesehatan dapat mendayagunakan Tenaga Kesehatan warga negara asing sesuai dengan persyaratan. b. Pendayagunaan Tenaga Kesehatan warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) dilakukan dengan mempertimbangkan: c. alih teknologi dan ilmu pengetahuan; dan d. ketersediaan Tenaga Kesehatan setempat. 3. Pasal 54 a. Tenaga Kesehatan warga negara asing yang akan menjalankan praktik di Indonesia harus mengikuti evaluasi kompetensi. b. Evaluasi kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat(1) dilakukan melalui:  penilaian kelengkapan administratif; dan  penilaian kemampuan untuk melakukan praktik. c. Kelengkapan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a paling sedikit terdiri atas:  penilaian keabsahan ijazah oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang pendidikan;  surat keterangan sehat fisik dan mental; dan  surat pernyataan untuk mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi. d. Penilaian kemampuan untuk melakukan praktik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dinyatakan dengan surat keterangan yang menyatakan telah mengikuti program evaluasi kompetensi dan Sertihkat Kompetensi.
  • 31. 31 e. Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Tenaga Kesehatan warga negara asing harus memenuhi persyaratan lain sesuai dengan ketentuanPeraturan Perundang-undangan. 4. Pasal 55 a. Tenaga Kesehatan warga negara asing yang telah mengikuti proses evaluasi kompetensi dan yang akan melakukan praktik di Indonesia harus memiliki STR Sementara dan SIP. b. STR sementara bagi Tenaga Kesehatan warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang hanya untuk 1 (satu) tahun berikutnya. c. Tenaga Kesehatan warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan Praktik di Indonesia berdasarkan atas permintaan pengguna Tenaga Kesehatan warga negara asing. d. SIP bagi Tenaga Kesehatan warga negara asing berlaku selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang hanya untuk 1 (satu) tahun berikutnya. 5. Pasal 56 Ketentuan lebih lanjut mengenai pendayagunaan dan praktik Tenaga Kesehatan warga negara asing diatur dengan Peraturan Pemerintah. J. BAB IX Hak Dan Kewajiban Tenaga Kesehatan 1. Pasal 57 Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak: a. memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional; b. memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari Penerima Pelayanan Kesehatan atau keluarganya; c. menerima imbalan jasa; d. memperoleh pelindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan, serta nilainilai agama; e. mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan profesinya; f. menolak keinginan Penerima Pelayanan Kesehatan atau pihak lain yang bertentangan dengan Standar Profesi, kode etik, standar pelayanan, Standar Prosedur Operasional, atau ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan g. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang- undangan.
  • 32. 32 2. Pasal 58 Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik wajib: a. memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, Standar Prosedur Operasional, dan etika profesi serta kebutuhan kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan; b. memperoleh persetujuan dari Penerima Pelayanan Kesehatan atau keluarganya atas tindakan yang akan diberikan; c. menjaga kerahasiaan kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan; 3. Pasal 77 Setiap Penerima Pelayanan Kesehatan yang dirugikan akibat kesalahan atau kelalaian Tenaga Kesehatan dapat meminta ganti rugi sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan. 4. Pasal 78 Dalam hal Tenaga Kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya yang menyebabkan kerugian kepada penerima pelayanan kesehatan, perselisihan yang timbul akibat kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui penyelesaian sengketa di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. 5. Pasal 79 Penyelesaian perselisihan antara Tenaga Kesehatan dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. K. Bab XII Pembinaan dan Pengawasan 1. Pasal 80 Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan dan pengawasan kepada Tenaga Kesehatan dengan melibatkan konsil masing-masing Tenaga Kesehatan dan Organisasi Profesi sesuai dengan kewenangannya. 2. Pasal 81 a. Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 diarahkan untuk:  meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Tenaga Kesehatan;  melindungi Penerirna Pelayanan Kesehatan dan masyarakat atas tindakan yang dilakukan Tenaga Kesehatan; dan  memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan Tenaga Kesehatan. 3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. L. Bab XIII Sanksi Administratif 1. Pasal 82
  • 33. 33 1. Setiap Tenaga Kesehatan yang tidak melaksanakan ketentuan Pasal 47, Pasal 52 ayat (1), Pasal 54 ayat (1), Pasal 58 ayat (I), Pasal 59 ayat (1), Pasal 62 ayat (1), Pasal 66 ayat (1), Pasal 68 ayat (1), Pasal 70 ayat (1), Pasal 70 ayat (2), Pasal 70 ayat (3) dan Pasal 73 ayat (1) dikenai sanksi administratif. 2. Setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang tidak melaksanakan ketentuan Pasal 26 ayat l2), Pasal 53 ayat (1), Pasal 70 ayat (4), dan Pasal 74 dikenai sanksi administratif. 3. Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya memberikan sanksi administratif kepada Tenaga Kesehatan dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). 4. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa: a. teguran lisan; b. peringatan tertulis; c. denda adminstratif; dan/atau 5. pencabutan izin. 6. Tata cara pengenaan sanksi administratif terhadap Tenaga Kesehatan dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah. M. Bab XIV Ketentuan Pidana 1. Pasal 83 Setiap orang yang bukan Tenaga Kesehatan melakukan praktik seolah-olah sebagai Tenaga Kesehatan yang telah memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. 2. Pasal 84 Setiap Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan Penerima Pelayanan Kesehatan luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun. Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian, setiap Tenaga Kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. 3. Pasal 85 a. Setiap Tenaga Kesehatan yarlg dengan sengaja menjalankan praktik tanpa memiliki STR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (I) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). b. Setiap Tenaga Kesehatan warga negara asing yang dengan sengaja memberikan pelayanan kesehatan tanpa memiliki STR Sementara
  • 34. 34 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 4. Pasal 86 a. Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik tanpa memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000,000,00 (seratus juta rupiah). b. Setiap Tenaga Kesehatan warga negara asing yang dengan sengaja memberikan pelayanan kesehatan tanpa memiliki SIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). N. Bab XV Ketentuan Peralihan 1. Pasal 87 a. Bukti Registrasi dan perizinan Tenaga Kesehatan yang telah dimiliki oleh Tenaga Kesehatan, pada saat berlakunya Undang-Undang ini, dinyatakan masih tetap berlaku sampai habis masa berlakunya. b. Tenaga Kesehatan yang belum memiliki bukti Registrasl dan perizinan wajib menyesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan. 2. Pasal 88 a. Tenaga Kesehatan lulusan pendidikan di bawah Diploma Tiga yang telah melakukan praktik sebelum ditetapkan Undang-Undang ini, tetap diberikan kewenangan untuk menjalankan praktik sebagai Tenaga Kesehatan untuk jangka waktu 6 (enam) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan. b. Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperoleh dengan mengajukan permohonan mendapatkan STR Tenaga Kesehatan. 3. Pasal 89 Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia dan Komite Farmasi Nasional sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan tetap melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya sampai terbentuknya Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia. 4. Pasal 90 a. Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi menjadi bagian dari Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia setelah Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia terbentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. b. Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2OO4 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OO4 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 443 1) tetap melaksanakan fungsi, tugas, dan
  • 35. 35 wewenangnya sampai dengan terbentuknya Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia. c. Sekretariat Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OO4 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431) tetap melaksanakan fungsi dan tugasnya sampai dengan terbentuknya sekretariat Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia. O. Bab XVI Ketentuan Penutup 1. Pasal 9 I Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai Tenaga Kesehatan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. 2. Pasal 92 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3637) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 3. Pasal 93 Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 harus dibentuk paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. 4. Pasal 94 a. Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: Pasal 4 ayat (2, Pasal 17, Pasal 20 ayat (4), dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OO4 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; dan b. Sekretariat Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2OO4 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OO4 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431) menjadi sekretariat Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia setelah terbentuknya Konsil Tenaga Kesehatan lndonesia.
  • 36. 36 5. Pasal 95 Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. 6. Pasal 96 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. P. Penjelasan Atas UURI No 36 tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan Undang Undang tentang Tenaga Kesehatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa Pembukaan UUD 1945 mencantumkan citacita bangsa Indonesia yang sekaligus merupakan tujuan nasional bangsa Indonesia, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa Salah satu wujud memajukan kesejahteraan umum adalah Pembangunan Kesehatan yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran' kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya' sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif. Kesehatan merupakan hak asasi manusia, artinya, setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses pelayanan kesehatan. Kualitas pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau juga merupakan hak seluruh masyarakat Indonesia. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam rangka melakukan upaya kesehatan tersebut perlu didukung dengan sumber daya kesehatan, khususnya Tenaga Kesehatan yang memadai, baik dari segi kualitas, kuantitas, maupun penyebarannya. Upaya pemenuhan kebutuhan Tenaga Kesehatan sampai saat ini belum memadai, baik dari segi jenis, kualifikasi, jumlah, maupun pendayagunaannya. Tantangan pengembangan Tenaga Kesehatan yang dihadapi dewasa ini dan di masa depan adalah: 1. pengembangan dan pemberdayaan Tenaga Kesehatan belum dapat memenuhi kebutuhan Tenaga Kesehatan untuk pembangunan kesehatan; 2. regulasi untuk mendukung upaya pembangunan Tenaga Kesehatan masih terbatas; 3. perencanaan kebijakan dan program Tenaga Kesehatan masih lemah; 4. kekurangserasian antara kebutuhan dan pengadaan berbagai jenis Tenaga Kesehatan; 5. kualitas hasil pendidikan dan pelatihan Tenaga Kesehatan pada umumnya masih belum memadai; 6. pendayagunaan Tenaga Kesehatan, pemerataan dan pemanfaatan Tenaga Kesehatan berkualitas masih kurang; 7. pengembangan dan pelaksanaan pola pengembangan karir, sistem penghargaan, dan sanksi belum dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan;
  • 37. 37 8. pengembangan profesi yang berkelanjutan masih terbatas; 9. pembinaan dan pengawasan mutu Tenaga Kesehatan belum dapat dilaksanakan sebagaimana yang diharapkan; 10. sumber daya pendukung pengembangan dan pemberdayaan Tenaga Kesehatan masih terbatas; 11. sistem informasi Tenaga Kesehatan belum sepenuhnya dapat menyediakan data dan informasi yang akurat, terpercaya, dan tepat waktu; dan 12. dukungan sumber daya pe mbiayaan dan sumber daya lain belum cukup. Dalam menghadapi tantangan tersebut, diperlukan adanya penguatan regulasi untuk mendukung pengembangan dan pemberdayaan Tenaga Kesehatan melalui percepatan pelaksanaannya, pen.ingkatan kerja sama lintas sector, dan peningkatan pengelolaannya secara berjenjang di pusat dan daerah. Perencanaan kebutuhan Tenaga Kesehatan secara nasional disesuaikan dengan kebutuhan berdasarkan masalah kesehatan, kebutuhan pengembangan program pembangunan kesehatan, serta ketersediaan Tenaga Kesehatan tersebut. Pengadaan Tenaga Kesehatan sesuai dengan perencanaan kebutuhan diselenggarakan melalui pendidikan dan pelatihan, baik oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, maupun masyarakat, termasuk swasta. Pendayagunaan Tenaga Kesehatan meliputi penyebaran Tenaga Kesehatan yang merata dan berkeadilan, pemanfaatan Tenaga Kesehatan, dan pengembangan Tenaga Kesehatan, termasuk peningkatan karier. Pembinaan dan pengawasan mutu Tenaga Kesehatan terutama ditujukan untuk meningkatkan kualitas Tenaga Kesehatan sesuai dengan Kompetensi yang diharapkan dalam mendukung penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia. Pembinaan dan pengawasan mutu Tenaga Kesehatan dilakukan melalui peningkatan komitmen dan koordinasi semua pemangku kepentingan dalam pengembangan Tenaga Kesehatan serta legislasi yang antara lain meliputi sertifikasi melalui Uji Kompetensi, Registrasi, perizinan, dan hak- hak Tenaga Kesehatan. Penguatan sumber daya dalam mendukung pengembangandan pemberdayaan Tenaga Kesehatan dilakukan melaluipeningkatan kapasitas Tenaga Kesehatan, penguatan sistem informasi Tenaga Kesehatan, serta peningkatan pembiayaan dan fasilitas pendukung lainnya. Dalam rangka memberikan pelindungan hukum dankepastian hukum kepada Tenaga Kesehatan, baik yang melakukan pelayanan langsung kepada masyarakat maupun yang tidak langsung, dan kepada masyarakat penerima pelayanan itu sendiri, diperlukan adanya landasan hukum yang kuat yang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatanserta sosial ekonomi dan budaya.
  • 38. 38 Q. Hubungan UU Tenaga Kesehatan Dengan Ilmu Neurologi Tenaga Kesehatan dalam hal ini khususnya spesialis saraf adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan khusus kulit dan kelamin serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang saraf yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Tenaga kesehatan saraf memiliki peranan penting untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan yang maksimal kepada masyarakat agar masyarakat mampu untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan menjaga kesehatan kulit dan kelamin mereka sehingga akan terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomi serta sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undangg Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Penyelenggaraan upaya kesehatan kulit dan kelamin harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang bertanggung jawab khususnya spesialis kulit dan kelamin dan dokter umum, yang memiliki etik dan moral yang tinggi, keahlian, dan kewenangan yang secara terus menerus harus ditingkatkan mutunya melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, sertihkasi, registrasi, perizinan, serta pembinaan, pengawasan, dan pemantauan agar penyelenggaraan upaya kesehatan memenuhi rasa keadilan dan perikemanusiaan serta sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan.
  • 39. 39 III. INFORM CONSENT A. Latar Belakang Pekerjaan dokter mempunyai ciri khusus, antara lain merupakan hubungan yang sangat pribadi karena didasarkan pada kepercayaan. Pasien senantiasa harus percaya kepada kemampuan dokter yang menanganinya. Namun keadaan demikian lama-kelamaan mengalami perubahan, sehubungan dengan perkembangan yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan semakin meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap tanggung jawab atas kesehatannya sendiri, maka kepercayaan yang semula tertuju pada kemampuan dokter secara pribadi, sekarang bergeser pada kemampuan ilmunya. Timbul kesadaran masyarakat untuk menuntut suatu hubungan yang seimbang dan tidak lagi sepenuhnya pasrah kepada dokter. Husein Kerbala mengatakan bahwa selain kepercayaan tidak lagi pada dokter secara pribadi, akan tetapi kepada kemampuan ilmu kedokteran, perubahan pola hubungan dokter-pasien terjadi karena: a. ada kecenderungan untuk menyatakan bahwa kesehatan itu bukan lagi keadaan tanpa penyakit, akan tetapi berarti kesejahteraan fisik, mental dan sosial. b. semakin banyaknya peraturan yang memberikan perlindungan hukum kepada pasien. Dengan demikian terlihat hubungan dokter-pasien tidak hanya bersifat medis semata, tetapi juga bersifat sosial, yuridis dan ekonomis . Di Indonesia, kasus Dokter Setyaningrum pada tahun 1980-an untuk pertama kalinya menggugah kesadaran masyarakat akan hubungan yang seimbang antara dokter dengan pasien. Sejak kasus itu mencuat, terjadi perubahan pola hubungan pasien- dokter dari paternalistik menjadi partnership.3 Pasien menjadi sadar akan hak- haknya, antara lain hak atas informasi dan hak memberikan persetujuan yang umum disebut dengan informed consent. Banyak kasus bermunculan setelah kasus dr. Setyaningrum, dimana pasien atau keluarga pasien menggugat dan menuntut tenaga medis dalam berbagai kasus malpraktek. Kasus-kasus seperti “Keluarga Bayi Jared-Jayden dan RS Omni” serta “Keluarga Bayi Ismi dan RS Borromeus” baru-baru ini merupakan contoh nyata fenomena ini. Dari sini terlihat, pemahaman Informed Consent yang memadai amat dibutuhkan sebagai upaya preventif tindakan malpraktek. B. Tinjauan Pustaka Informed Consent 1. Informed Consent Sebagai Hak Pasien Perikatan medis yang lahir dari perjanjian medis merupakan hubungan hukum yang bersifat timbal balik. Sebagai hubungan hukum yang bersifat timbale balik, perjanjian medis selalu mempunyai dua segi yang isinya hak di
  • 40. 40 satu pihak dan kewajiban di pihak lainnya. Dengan lain perkataan bahwa hak pihak pertama merupakan kewajiban pihak kedua dan sebaliknya kewajiban pihak pertama itu merupakan hak bagi pihak kedua. Demikian juga dengan hubungan hukum antara dokter dengan pasiennya pun terdapat hak dan kewajiban. Pada literatur hukum kesehatan terdapat beberapa hak pasien antara lain : a. Hak atas informasi b. Hak memberikan persetujuan c. Hak memilih dokter d. Hak memilih sarana kesehatan (Rumah Sakit) e. Hak atas rahasia kedokteran f. Hak menolak pengobatan/perawatan g. Hak menolak suatu tindakan medis tertentu h. Hak untuk menghentikan pengobatan/perawatan (di Rumah Sakit tersedia formulir keluar paksa) i. Hak atas second opinion (pendapat kedua) j. Hak melihat rekam medis/hak “inzage” rekam medis Butir a dan b dinamakan “informed consent”. Berkaitan dengan informed consent sebagai hak pasien di satu sisi, di sisi lain lain pasien juga mempunyai kewajiban memberikan penjelasan lengkap, sebanyak mungkin tentang penyakitnya. Kewajiban pasien ini dapat dikaitkan dengan hak dokter atas “itikad baik” pasien. Informed Consent diatur dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, salah satunya Pasal 8 yang menyebutkan Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan. Pasal 22 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan menyebutkan kewajiban dari tenaga kesehatan antara lain adalah memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan serta meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan. Selain itu dalam pasal 22 ayat (1) ini juga disebutkan tenaga kesehatan diwajibkan untuk menghormati hak-hak pasien, yang dalam penjelasan pasal Peraturan Pemerintah ini dikatakan hak-hak pasien itu meliputi hak atas informasi dan hak untuk memberikan/menolak persetujuan. Informed Consent juga diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Berikut beberapa pasal yang mengatur mengenai informed consent : Pasal 2 Ayat (1): Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Ayat (3): Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah
  • 41. 41 pasien mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran dilakukan. Pasal 7 (1) Penjelasan tentang tindakan kedokteran harus diberikan langsung kepada pasien dan/atau keluarga terdekat, baik diminta maupun tidak diminta. (2) Dalam hal pasien adalah anak-anak atau orang yang tidak sadar, penjelasan diberikan kepada keluarganya atau yang mengantar. (3) Penjelasan tentang tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat : (1) sekurangkurangnya mencakup: a. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran; b. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan; c. Altematif tindakan lain, dan risikonya; d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. f. Perkiraan pembiayaan Pasal 8 (1) Penjelasan tentang diagnosis dan keadaan kesehatan pasien dapat meliputi : a. Temuan klinis dari hasil pemeriksaan medis hingga saat tersebut; b. Diagnosis penyakit, atau dalam hal belum dapat ditegakkan, maka sekurangkurangnya diagnosis kerja dan diagnosis banding; c. Indikasi atau keadaan klinis pasien yang membutuhkan dilakukannya tindakan kedokteran; d. Prognosis apabila dilakukan tindakan dan apabila tidak dilakukan tindakan. (2) Penjelasan tentang tindakan kedokteran yang dilakukan meliputi : a. Tujuan tindakan kedokteran yang dapat berupa tujuan preventif, diagnostik, terapeutik, ataupun rehabilitatif. b. Tata cara pelaksanaan tindakan apa yang akan dialami pasien selama dan sesudah (3) tindakan, serta efek samping atau ketidaknyamanan yang mungkin terjadi. a. Alternatif tindakan lain berikut kelebihan dan kekurangannya dibandingkan dengan (4) tindakan yang direncanakan. a. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi pada masing-masing alternative tindakan. b. Perluasan tindakan yang mungkin dilakukan untuk mengatasi keadaan darurat akibat risiko dan komplikasi tersebut atau keadaan tak terduga lainnya.
  • 42. 42 (5) Penjelasan tentang risiko dan komplikasi tindakan kedokteran adalah semua risiko dan komplikasi yang dapat terjadi mengikuti tindakan kedokteran yang dilakukan, kecuali: a. risiko dan komplikasi yang sudah menjadi pengetahuan umum b. risiko dan komplikasi yang sangat jarang terjadi atau yang dampaknya sangat ringan c. risiko dan komplikasi yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya (unforeseeable) (6) Penjelasan tentang prognosis meliputi: a. Prognosis tentang hidup-matinya (ad vitam); b. Prognosis tentang fungsinya (ad functionam); c. Prognosis tentang kesembuhan (ad sanationam) 2. Pengertian Informed Consent Pada dasarnya, hubungan dokter dengan pasien yang dikenal dengan kontrak terapeutik itu bertumpu pada dua macam hak manusia, yaitu: a. Hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self determination/TROS) b. Hak atas informasi (the right to information). Dengan kedua hak dasar itu dokter dan pasien bersama-sama menemukan terapi (cara penyembuhan) yang paling tepat akan diterapkan pada diri pasien. Dari sini pangkal informed consent lahir. Berikut beberapa pendapat yang pernah disampaikan mengenai definisi informed consent: a. Secara harfiah, informed consent terdiri dari dua kata yaitu informed dan consent Informed berarti telah mendapat penjelasan atau keterangan atau informasi. Sedangkan consent itu berarti suatu persetujuan atau mengizinkan. Dengan demikian informed consent itu berartisuatu persetujuan yang diberikan setelah mendapat informasi (informed). b. D. Veronica Komalawati merumuskan pengertian informed consent sebagai: “...suatu kesepakatan atau persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya setelah pasien mendapat informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan menolong dirinya disertai informasi mengenai segala risiko yang mungkin terjadi.” c. Di dalam Patient Bill of Rights atau American Hospital Assosiation, informed consent dirumuskan sebagai: The patient has the right to receive from his physician information necessary to give. Informed Consent prior to the start of any procedure and/or treatment.” C. Kode Etik Kedokteran dan Informed Consent Dari segi etik, penerapan informed consent dianggap sebagai upaya dokter untuk membuktikan kesungguhannya dalam mematuhi primum non
  • 43. 43 nocere (yang paling diutamakan adalah untuk tidak mencelakakan pasien), serta prinsip mengutamakan kepentingan pasien. Dokter yang memegang prinsip primum non nocere akan selalu menerima apa pun yang diputuskan oleh pasiennya. Sehingga dapat dikatakan bahwa aspek etik dari informed consent sangatlah luas dan besar dan menjadi landasan moral bagi kalangan tenaga kesehatan, khususnya para dokter. Dalam profesi kedokteran, dikenal adanya suatu kode etik yang disusun berdasarkan asas etik. Dasar etik tersebut berlaku sejak zaman Hippocrates dan merupakan asas yang tidak pernah berubah, yang secara universal dipakai diseluruh dunia. Jika dijabarkan terdapat enam asas dalam profesi kedokteran yakni: 1. Asas menghormati otonomi pasien Pasien mempunyai kebebasan untuk mengetahui apa yang akan dilakukan oleh dokter serta memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya sendiri sehingga kepadanya perlu diberikan informasi yang cukup. Pasien berhak untuk dihormati pendapat dan keputusannya, dan tidak boleh dipaksa. Untuk itu maka perlu adanya informed consent. 2. Asas kejujuran Dokter hendaknya mengatakan hal yang sebenarnya secara jujur akan apa yang terjadi , apa yang akan dilakukan, serta akibat/risiko yang dapat terjadi. 3. Asas tidak merugikan Dokter berpedoman pada primum non nocere, tidak melakukan tindakan yang tidak perlu, dan mengutamakan tindakan yang tidak merugikan pasien, serta mengupayakan risiko fisik, risiko psikologis, maupun risiko sosial akibat tindakan tersebut seminimal mungkin. 4. Asas manfaat Semua tindakan dokter yang dilakukan terhadap pasien harus bermanfaat bagi pasien guna mengurangi penderitaan atau emperpanjang hidupnya. Untuk itu dokter wajib membuat rencana perawatan/tindakan yang berlandaskan pada pengetahuan yang sahih dan dapat berlaku secara umum. 5. Asas kerahasiaan Dokter harus menghormati kerahasiaan pasien, meskipun pasien tersebut sudah meninggal dunia. 6. Asas keadilan Dokter harus berlaku adil, tidak memandang kedudukan atau kepangkatan, tidak memandang kekayaan, dan tidak berat sebelahdalam merawat pasien. Dari asas tersebut kemudian disusun peraturan kode etik kedokteran Indonesia yang menjadi landasan bagi setiap dokter untuk mengambil keputusan
  • 44. 44 etik dalam melakukan tugas profesinya sebagai seorang dokter. Kode etik kedokteran yang berlaku sekarang dinyatakan mulai berlaku pertama kali dengan Keputusan Menteri Kesehatan No. 434/Men. Kes/Sk/X/1983 tentang Berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) bagi para dokter di seluruh Indonesia, baik yang menjadi anggota IDI maupun yang tidak menjadi anggota IDI. Kodeki berisi tentang kewajiban umum, kewajiban dokter terhadap penderita, kewajiban dokter terhadap teman sejawat, dan kewajiban dokter terhadap diri sendiri. D. Aspek Perdata Informed Consent Telah dijelaskan di muka bahwa informed consent merupakan hubungan hukum yang lahir dari perjanjian medis. Perjanjian medis yang termasuk perikatan medis merupakan perikatan pada umumnya yang berlaku ketentuan- ketentuan umum hukum perikatan sebagaimana diatur dalam Buku III Kitab Undang- Undang Hukum Perdata. Dengan demikian, syarat sahnya perjanjian medis juga kontrak terapeutik antara dokter dengan pasien haruslah memenuhi ketentuan dalam KUHPerdata Buku III Bab II Bagian Kedua Tentang Syarat- Syarat yang Diperlukan Untuk Sahnya Suatu Perjanjian. Syarat sahnya suatu perjanjian dalam pasal 1320 Buku III Bab II Bagian Kedua KUHPerdata disebutkan ada empat, yaitu: 1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal. Dua syarat pertama, dinamakan syarat-syarat subjektif, karena mengenai orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian, sehingga dapat dimintakan pembatalannya pada pengadilan manakala syarat subjektif ini tidak terpenuhi. Sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat objektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. Syarat objektif ini apabila tidak terpenuhi maka perjanjiannya batal demi hukum. 1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya Pasal 1321 KUHPerdata menyebutkan bahwa kesepakatan harus diberikan tanpa adanya kekhilafan, atau diperolehnya tidak dengan dengan paksaan atau penipuan. Subekti menjelaskan dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju, seiya-sekata mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki pihak satu, juga dikehendaki pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara
  • 45. 45 timbal-balik.22 Paksaan terjadi, jika seseorang memberikan persetujuannya karena takut suatu ancaman. Misalnya rahasianya akan dibuka jika ia tidak menyetujui suatu perjanjian. Yang diancam harus mengenai suatu perbuatan yang dilarang undang-undang. Jikalau yang diancam itu suatu perbuatan yang diizinkan oleh undangundang, misalnnya ancaman akan menggugat yang bersangkutan di depan hakim dengan penyitaan barang, itu tidak dapat dikatakan suatu paksaan. Kekhilafan dapat terjadi, baik menyangkut subjek maupun objeknya. Misalnya, seseorang yang ingin mengobati penyakitnya datang ke seorang dokter. Sebenarnya ia ingin berobat kepada seorang dokter spesialis, tetapi karena ketidaktahuannya ia datang ke dokter umum. Sebaliknya dokter umum itu mengira bahwa calon pasien itu tahu bahwa dirinya memang hanya seorang dokter umum dan sungguh ingin berobat kepadanya.25 Kekhilafan mengenai objeknya, terjadi jika hal yang dijadikan objek perjanjian itu sesungguhnya bukan yang dimaksudkan oleh pihak-pihak. Penipuan terjadi, apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang tidak benar, disertai dengan kelicikan-kelicikan, sehingga pihak lain terbujuk karenanya untuk memberikan perizinan. Adapun dalam menyatakan persesuaian kehendak itu, dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik secara tegas (expressed contract) mapun diam-diam (implied contract). Dalam bentuk Expressed Contract sifat atau luas jangkauan pemberian pelayanan pengobatan sudah ditawarkan oleh sang dokter yang dilakukan secara nyata dan jelas, baik secara tertulis maupun secara lisan. Dalam bentuk Implied Contract adanya kontrak disimpulkan dari tindakan-tindakan para pihak. Timbulnya bukan karena adanya persetujuan, tetapi dianggap ada oleh hukum berdasarkan akal sehat dan keadilan. Maka jika seorang pasien datang ke suatu klinik medis dan sang dokter mengambil riwayat penyakitnya, memeriksa keadaan fisik pasien dan memberikan pengobatan yang diperlukan, maka dianggap tersirat sudah ada hubungan kontrak antara pasien dan dokter. Menurut Veronica Komalawati, jika dihubungkan dengan perjanjian medis (Veronica menyebutnya dengan transaksi terapeutik) sebagai hubungan interpersonal, maka yang disebut informed consent untuk dilakukan tindakan medis merupakan konstruksi dari persesuaian kehendak yang harus dinyatakan baik oleh dokter maupun pasien setelah masing-masing menyatakan kehendaknya sehingga masing-masing telah mendapatkan informasi secara bertimbal balik. Oleh karena itu, informed consent diartikan sebagai persetujuan setelah informasi. Bentuk informed consent tidak harus tertulis, tetapi bisa secara lisan. Ketentuan mengenai ini tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran yang bunyinya: “Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dapat diberikan secara tertulis maupun lisan.” Namun untuk tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh
  • 46. 46 persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan (Pasal 3 ayat 1 ) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008). Berikut Pasal 3 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Pasal 3 (1) Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan. (2) Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dengan persetujuan lisan. (3) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam bentuk pernyataan yang tertuang dalam formulir khusus yang dibuat untuk itu. (4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan dalam bentuk ucapan setuju atau bentuk gerakan menganggukkan kepala yang dapat diartikan sebagai ucapan setuju. (5) Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap meragukan, maka dapat dimintakan persetujuan tertulis. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan Pada dasarnya orang yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum. Cakap menurut hukum maksudnya orang tersebut mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum. Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap (Pasal 1329 KUHPerdata). Tak cakap membuat suatu perjanjian adalah (Pasal 1330 KUHPerdata): a. Orang-orang yang belum dewasa; b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian tertentu. Dengan berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka istri telah dianggap cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Selain kecakapan berlandaskan faktor usia, kecakapan juga ditentukan berdasarkan faktor kesehatan mental.30 Kecakapan juga ditentukan oleh undang-undang. Misalnya, seorang tenaga kesehatan yang melakukan tindakan medis haruslah tenaga kesehatan yang telah memperoleh Surat Izin Praktek dan tindakan medis tersebut adalah sebatas tindakan (wewenang) yang memang ditulis dalam Surat Izin Praktek Tenaga Kesehatan itu dan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Seringkali ditemui kasus dimana seorang tenaga kesehatan melampaui wewenangnya, misalnya kasus seorang dokter gigi yang membuka klinik kecantikan untuk operasi plastik padahal ia hanya mempunyai
  • 47. 47 Surat Izin Praktek (SIP) sebagai dokter gigi yanbg tentu saja wewenangnya sebatas tindakan medis oleh dokter gigi yang tercantum dalam SIP itu. Lebih lanjut mengenai SIP akan dibahas dalam sub-bab “Aspek Administratif Informed Consent”. 3. Suatu hal tertentu Sebagai syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan.32 Barang yang dimaksud paling sedikit ditentukan jenisnya (Pasal 1333 ayat (1) KUHPerdata). Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung (Pasal 1333 ayat (2) KUHPerdata). Menurut Veronica Komalawati, dihubungkan dengan objek dalam perjanjian medis, maka urusan yang dimaksudkan adalah sesuatu yang perluditangani, yaitu berupa upaya penyembuhan. Upaya penyembuhan tersebut harus dapat dijelaskan karena dalam pelaksanaannya diperlukan kerja sama yang didasarkan sikap saling percaya antara dokter dan pasien. Oleh karena upaya penyembuhan yang akan dilakukan itu harus dapat ditentukan, maka diperlukan adanya standar pelayanan medic. Dengan demikian, dapat terlihat bahwa ketentuan mengenai objek perjanjian ini erat kaitannya dengan masalah: a. pelaksanaan upaya medik sesuaidengan standar pelayanan medik yang meliputi standar pelayanan penyakit danstandar pelayanan penunjang; serta b. masalah infomasi yang diberikan harustidak melebihi dari yang dibutuhkan oleh pasien. Jadi jika dokter tidak dapatmenentukan dan menjelaskan, atau memberikan informasi mengenai upaya medicyang akan dilakukannya, maka berarti syarat ini tidak terpenuhi. 4. Suatu sebab yang halal Syarat terakhir adalah sebab yang halal. Sebab yang halal maksudnya adalah isi dari suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Pengertian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang di sini adalah undang-undang yang bersifat melindungi kepentingan umum, sehingga jika dilanggar akan membahayakan kepentingan umum.35 Misalnya, menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menentukan bahwa tindakan pengguguran kandungan merupakan perjanjian dengan sebab terlarang, kecuali berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan undang-undang ini (Pasal 75 dan Pasal 76).
  • 48. 48 Lalu bagaimana bila perjanjian terapeutik dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam rangka melakukan pekerjaan di bawah Rumah Sakit , Dalam kaitan dengan tanggung jawab Rumah Sakit, maka pada prinsipnya Rumah Sakit bertanggung jawab secara perdata terhadap semua kegiatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatannya sesuai dengan bunyi pasal 1367 (3) KUHP Perdata. Selain itu, Rumah Sakit bertanggung jawab atas wanprestasi dan melawan hukum (1243, 1370, 1371, dan 1365 KUHPerdata) bila tindakan itu dilakukan pegawainya. E. Aspek Pidana Informed Consent Telah dibahas bahwa sebelum tindakan medik dilakukan diperlukan persetujuan pasien. Mengapa seorang pasien harus memberikan persetujuan itu; misalnya suatu operasi? Dilihat dari aspek pidananya, hal ini dikaitkan dengan Pasal 351 KUHP dimana diatur hal penganiayaan. Jika seseorang menusukkan pisau ke dalam badan seseorang lain.yang menimbulkan luka, perbuatan ini merupakan penganiayaan. Jika seseorang membius orang lain, ini pun termasuk penganiayaan. Jika seseorang yang membius tersebut kebetulan seorang dokter, maka tindakan itu tetap penganiayaan. Tindakan-tindakan itu bukan suatu penganiayaan menurut Hukum Pidana manakala: 1. orang yang dilukai tersebut memberikan persetujuan; 2. tindakan medik itu berdasarkan suatu indikasi medik, dan ditujukan pada suatu tujuan yang konkrit; serta 3. tindakan medik itu dilakukan sesuai ilmu kedokteran. 1. Orang yang dilukai tersebut memberikan persetujuan Telah dikemukakan di muka bahwa keharusan memberikan persetujuan disyaratkan adanya pemberian informasi terlebih dahulu. Telah dijelaskan pula bahwa hanya dalam keadaan-keadaan tertentu, persetujuan seperti itu tidak disyaratkan, misalnya pasien tidak mampu mengucapkan keinginannya atau dalam keadaan darurat. Dalam hal yang terakhir itu, bukan menjadi masalah teori mana yang akan dipergunakan yakni berkenaan dengan permasalahan apakah tindakan medis itu merupakan suatu penganiayaan atau tidak, khususnya tentang bagaimana caranya tindakan tersebut jangan sampai termasuk dalam pengertiannya. Jika adanya persetujuan itu pada umumnya tidak dapat membenarkan adanya suatu penyimpangan terhadap standar profesional medis, maka hanya dalam satu hal adanya suatu persetujuan itu dapat membuat suatu tindakan medis yang tidak diindikasikan menjadi suatu tindakan yang dapat dibenarkan, yakni jika tindakan tersebut sifanya tidak terlarang secara etis.