SlideShare a Scribd company logo
1 of 20
Download to read offline
Jurnal Mimbar Justitia
369
PENYELESAIAN SENGKETA MEDIS MELALUI MEDIASI
DIHUBUNGKAN DENGAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG
NOMOR I TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR
MEDIASI DI PENGADILAN
Trini Handayani
Fakultas Hukum Universitas Suryakancana Alamat Kantor Jl. Pasir Gede Raya
Cianjur, E-mail : trinihandayani2012@gmail.com
ABSTRAK
Banyaknya masyarakat yang kritis dan mulai melek hukum membuat para
penjual jasa pelayanan khususnya jasa pelayanan kesehatan harus ekstra hati-hati
dalam melakukan pelayanan kesehatan. Berbagai kemungkinan dapat terjadi,
apalagi sebagai penyedia jasa di bidang medis, tidak terlepas dari berbagai
kemungkinan yang merupakan hasil terapi (pengobatan). Hasil terapi dapat berupa
reaksi alergi, reaksi efek samping tindakan ataupun cacat bahkan kematian.
Mindset masyarakat langsung mengarah pada adanya malpraktik oleh tenaga
kesehatan apabila terjadi reaksi tersebut.
Apabila standar prosedur dalam pengobatan sudah ditempuh, sebenarnya
bukan merupakan suatu malpraktik tetapi suatu risiko medis. Menghadapi situasi
tersebut, perlu adanya mediasi untuk mendamaikan pihak pasien ataupun dokter
yang mengalami sengketa medis. Tetapi ternyata mediasi yang difasilitasi oleh
mediator tidak memuaskan semua pihak, sehingga tidak dapat memuaskan pihak
yang berseteru.
Adanya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2008
tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan merupakan salah satu alternatif yang
dapat digunakan untuk penyelesaian sengketa medis tersebut. Prosedur mediasi
dalam peraturan tersebut memungkinkan dipatuhinya hasil mediasi para pihak
karena hasil tersebut dikuatkan dengan putusan pengadilan.
Kata kunci: Sengketa medis, mediasi, Perma.
ABSTRACT
The number of critical community and begin to make the sellers legal
literacy services, especially health services must be extra careful in doing health
care. Various possibilities can occur, especially as service providers in the
medical field, not out of the possibility that the outcome of therapy (treatment).
The results of therapy can be allergic reactions, or adverse reaction to disability
and even death action. Given the reaction, the public mindset directly lead to
malpractice.
In fact, if the procedure adopted in the treatment been taken, not a medical
malpractice but a risk. Faced with this situation, the need for mediation to
reconcile the patient or the physician who suffered a medical dispute. But it turns
370
Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014.
out mediation facilitated by the mediator does not satisfy all parties, so it can not
satisfy the warring parties.
The existence of the 1st Court Regulation on 2008 about Mediation
Procedures in court is one alternative that can be used for medical dispute
resolution. Mediation procedures in compliance with the regulations allow the
parties to mediation results because these results confirmed by a court decision.
Key Words: medical disputes, mediation, High Court Regulation.
I. PENDAHULUAN.
Dalam amandemen Undang-undang Dasar 1945 tercantum “Setiap orang
berhak mendapatkan pelayanan kesehatan”. Hak untuk sehat oleh banyak orang
sering ditafsirkan sebatas hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan,
khususnya pelayanan medik/ kuratif. Pelayanan kesehatan kuratif hanya sebagian
kecil dari hak untuk sehat karena sehat bukan hanya “tersembuhkan dari penyakit”
tetapi meliputi hal yang jauh lebih luas. Pelayanan kesehatan lainnya meliputi
promotif, preventif dan rehabilitatif. Banyak faktor yang ikut berperan terhadap
kesehatan seseorang, antara lain pendidikan, perlindungan terhadap penyakit
menular, tersedianya lingkungan (baik fisik maupun sosial) yang sehat, air bersih
(safe water), makanan bergizi seimbang, dan rumah (shelter) yang sehat.1
Bekerja di bidang kesehatan adalah pekerjaan kemanusiaan yang mulia,
bukan semata-mata karena kemampuan dalam menolong orang lain, namun lebih
karena semua yang dikerjakan menyangkut kepentingan sesama. Memberikan
pelayanan kesehatan tentunya harus dengan sikap professional, dengan
ketinggian moral dan keluhuran budi yang memberikan kebahagiaan tertinggi dan
dapat dirasakan oleh pemberi pelayanan maupun penerima pelayanan kesehatan.2
Ada satu hal yang jarang disadari dokter dalam menjalankan kesehatan
atau kedokteran, yaitu bahwa pada saat menerima pasien untuk mengatasi
masalah kesehatan baik di bidang kuratif, promotif, preventif maupun rehabilitatif
sebetulnya telah terjadi transaksi atau persetujuan/ perjanjian antara kedua belah
1
Kartono Muhammad, Penerapan Hak Untuk Sehat, disampaikan pada Workshop and
Conference Health and Human Right, 19-20 Maret 2003 di Jakarta, hlm 151.
2
Uton Muchtar Rafei, Health Politic – Menjangkau yang Tak Terjangkau, Health & Hospital
Indonesia, Jakarta, 2007, hlm 221.
371
Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014.
pihak dalam bidang kesehatan. 3
Di dalam hukum positif Indonesia, ketentuan
mengenai kontrak/perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata tentang
Perikatan (Van Verbintenissen), yang meletakkan hak-hak dan kewajiban kepada
para pihak secara timbali balik.
Dokter berkewajiban memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar
profesi dan standar prosedur operasional sesuai dengan kode etik kedokteran,
merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan setelah
pasien meninggal dunia, serta menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti
perkembangan ilmu kedokteran.
Oleh karena itu pada dasarnya, seorang dokter dalam memberikan
pelayanan medik kepada pasien selalu dituntut untuk mengutamakan rasa puas
pasien (patient statisfaction) yaitu secara bertanggung jawab berupaya demi
kesembuhan pasien.4
Salah satu prinsip dalam etika kedokteran adalah ‘primum
non nocere’ yang maksudnya adalah bermaksud baik dan tidak ingin merugikan.5
Hal yang perlu dipahami terhadap pelayanan kesehatan yang dilakukan
oleh dokter bahwa pelayanan kesehatan yang dilakukan dokter merupakan sebuah
usaha untuk menyembuhkan dan meningkatkan derajat kesehatan, yang memiliki
kemungkinan berhasil tetapi juga bisa gagal.
Kecelakaan medis dapat terjadi karena malpraktik medik ataupun adanya
suatu risiko medis. Malpraktik terjadi karena kesalahan atau kelalaian dokter
dalam melakukan tindakan medik dan dokter tidak melaksanakan profesinya
sesuai standar pelayanan medis. Pada risiko medis, dokter sudah melaksanakan
pelayanan medis sesuai standar tetapi terjadi risiko pada pelayanan medis, seperti
adanya efek samping suatu obat atau adanya reaksi hipersensitif terhadap obat
tertentu.6
Keadaan tersebut dapat menimbulkan terjadinya konflik atau sengketa
antara dokter dengan pasien.
3
M. Jusuf Hanafiah & Amri Amir, Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan, Edisi ke-3, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1997, hlm 38-39
4
Jurnal Hukum Fakultas Hukum Universitas Suryakancana, Volume V, No 03, Edisi Februari-Mei
2009, Trini Handayani, Malpraktik dan Risiko Medis, hlm 105.
5
Ibid.
6
Jurnal Hukum, Op Cit, hlm 105.
372
Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014.
Sarana untuk menyelesaikan sengketa di bidang kesehatan pada dasarnya
dapat ditempuh 3 (tiga) cara. Pertama, negosiasi atau alternatif sengketa (ADR);
kedua, arbitrase; dan ketiga melalui lembaga peradilan.7
Merujuk pada ketiga cara penyelesaian sengketa tersebut, secara historis,
penyelesaian sengketa melalui cara mediasi telah lama dikenal dalam praktik
hukum Islam. Hukum Islam yang dimaksud adalah hukum yang sumbernya dari
wahyu Allah. Mediasi di dalam Islam disebut dengan tahkim yang berasal dari
bahasa Arab dan berarti “Menyerahkan putusan pada seseorang dan menerima
putusan itu”. 8
Praktik mediasi (tahkim) ini pernah juga dilakukan antara Ali bin Abi
Thalib ra dengan Mu’awiyah bin Abu Sufyan kerabat dekat Usman dalam perang
Shiffin. Perundingan damai berlangsung pada bulan Ramadan 34, setiap pihak
menunjuk wakil yang akan menjadi juru penengah. Peristiwa ini dikenal dengan
tahkim (arbitrase).9
Praktik mediasi lebih jelas lagi bila dilihat dalam kasus-kasus
pertengkaran dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dinyatakan dalam Surat
An-Nisa ayat 35:
Artinya:
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka
kirimlah seorang hakam (juru penengah) dari keluarga laki-laki dan
seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu
bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada
suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal”.
7
P. Lindawaty S. Sewu, Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, Bahan Kuliah pada
Program Magister Hukum Kesehatan, Universitas Katolik Soegijapranata.
8
Siti Juniah, Potret Mediasi dalam Islam, diunduh dari internet, 24 Oktober 2009, hlm 1.
9
Ensiklopedia Islam, jilid 1, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1993, hlm 113.
373
Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014.
Secara umum, mediasi adalah salah satu alternatif penyelesaian sengketa.
Ada 2 jenis mediasi, yaitu di dalam pengadilan dan di luar pengadilan. Mediasi di
luar pengadilan ditangani oleh mediator swasta, perorangan, maupun sebuah
lembaga independen alternatif penyelesaian sengketa yang dikenal sebagai Pusat
Mediasi Nasional (PMN). Mahkamah Agung RI telah mengeluarkan PERMA
No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, sebagai
penyempurnaan Surat Edaran (SEMA) No.1 Tahun 2002 tentang pemberdayaan
Pengadilan Tingkat Pertama menerapkan lembaga Damai (Eks Pasal 130 HIR/154
RBg).
Setelah dievaluasi pelaksanaan Prosedur Mediasi di Pengadilan
berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 ditemukan beberapa
permasalahan, sehingga Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003
direvisi dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang
Prosedur Mediasi Di Pengadilan, untuk tujuan lebih mendayagunakan mediasi
yang terkait dengan proses penyelesaian sengketa di Pengadilan.10
Kemudian penyelesaian sengketa melalui lembaga non peradilan atau
penyelesaian sengketa di luar peradilan atau disebut juga Alternative Dispute
Resolution (ADR) yang dilakukan dengan cara negosiasi, mediasi, konsiliasi dan
penetapan ahli.11
Penyelesaian sengketa melalui mediasi dalam lembaga ini
sifatnya tidak formal, melihat ke depan, kooperatif dan berdasarkan kepentingan.
Seorang mediator membantu pihak-pihak yang bersedia merangkai kesepakatan
dan memandang ke depan serta memenuhi kebutuhan sesuai dengan standar
kejujuran mereka sendiri.12
Manfaat penyelesaian sengketa medik melalui mediasi, yaitu: (1). Lebih
sederhana daripada penyelesaian melalui proses hukum acara perdata;
(2). Efisien; (3). Waktu singkat; (4). Rahasia; (5). Menjaga hubungan baik para
pihak; (6). Hasil mediasi merupakan kesepakatan; (7). Berkekuatan hukum tetap,
10
Ibid.
11
Siti Juniah, Op Cit, hlm 3.
12
Ibid.
374
Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014.
dan (8). Akses yang luas bagi para pihak yang bersengketa untuk memperoleh
rasa keadilan.
Namun demikian, meskipun penyelesaian sengketa medik melalui mediasi
ini memiliki banyak manfaat, pada praktiknya tidak terlepas dari hambatan-
hambatan yaitu belum adanya aturan yang secara khusus mengatur mengenai hal
tersebut, masih adanya aparat penegak yang memiliki paradigma berpikir bahwa
kasus-kasus malpraktik merupakan kasus yang menguntungkan sehingga sering
dijadikan alat untuk melakukan kompromi hukum yang mengesampingkan
hukum, serta masih rendahnya pengetahuan masyarakat tentang hukum dan ilmu
kedokteran selalu dimanfaatkan untuk melindungi dirinya dalam penyelesaian
suatu sengketa.
II. PEMBAHASAN.
Salah satu tujuan pembangunan kesehatan adalah untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang dalam rangka
mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur
kesejahteraan umum sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Bentuk sengketa beraneka ragam dan keanekaragamannya menentukan inti
permasalahan, setiap permasalahan memiliki lika-liku yang pada akhirnya muncul
ke permukaan. Berbagai faktor individual maupun pengaruh lingkungan dapat
menguasai emosi para pihak yang bersengketa melalui pertentangan tertentu yang
kadang-kadang tidak dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Oleh karena itu
akan paling efektif kalau dapat diselesaikan pada putusan final dan mengikat
melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), baik melalui bentuk APS
tertentu maupun arbitrase. Sengketa tersebut dapat diputus atau setidak-tidaknya
diklarifikasi dengan mempersemit persoalannya melalui mekanisme APS yang
375
Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014.
tepat. Beberapa bentuk sengketa dapat diselesaikan melalui negosiasi langsung
oleh para pihak tanpa perlu bantuan pihak ketiga. 13
Kesehatan sebagai hak asasi manusia harus diwujudkan dalam bentuk
pemberian berbagai upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui
penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang berkualitas.
Penyelenggaraan praktik kedokteran yang merupakan inti dari berbagai
kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan harus dilakukan oleh dokter
yang memiliki etik dan moral yang tinggi, keahlian dan kewenangan yang secara
terus menerus mutunya perlu ditingkatkan melalui pendidikan.
Berdasarkan perangkat keilmuan yang dimilikinya, dokter mempunyai
karakteristik yang khas. Kekhasannya ini terlihat dari pembenaran yang diberikan
oleh hukum yaitu diperkenankannya dokter melakukan tindakan medis terhadap
tubuh manusia dalam upaya memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan.
Namun demikian, meskipun dokter memiliki kekhasan untuk melakukan
tindakan medis terhadap tubuh manusia, tindakan dokter tersebut baru dapat
dilakukan apabila ada persetujuan terlebih dahulu khususnya dari pasien, sehingga
timbullah hubungan hukum antara pasien dengan dokter.
Praktik kedokteran dilaksanakan berasaskan Pancasila dan didasarkan
pada nilai ilmiah, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, serta
perlindungan dan keselamatan pasien.
Dalam melaksanakan praktik kedokterannya, dokter mempunyai
kewajiban : (1). Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan
standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien; (2). Merujuk pasien
ke dokter atau dokter lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih
baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan; (3).
Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga
setelah pasien itu meninggal dunia; (4). Melakukan pertolongan darurat atas dasar
perikemanusiaan, kecuali bila dokter yakin ada orang lain yang bertugas dan
13
H. Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif penyelesaian Sengketa (sebuah pengantar),
PT Fikahati Aneska bekerja sama dengan BANI, Jakarta, 2002, hal. 1-2.
376
Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014.
mampu melakukannya; dan (5). Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti
perkembangan ilmu kedokteran.
Adapun Hak Pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran,
yaitu : (1) Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis; (2).
Meminta pendapat dokter atau dokter lain; (3). Mendapatkan pelayanan sesuai
dengan kebutuhan medis; (4). Menolak tindakan medis; dan (5). Mendapatkan isi
rekam medis.
Selain memiliki hak, pasien pun dalam menerima pelayanan pada praktik
kedokteran, mempunyai kewajiban : (1). Memberikan informasi yang lengkap dan
jujur tentang masalah kesehatannya; (2). Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter
(3). Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan (4).
Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
Pelaksanaan hak-hak dan kewajiban yang dilakukan dokter maupun pasien
adakalanya tidak dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Mungkin saja
pasien tidak memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah
kesehatannya, sehingga hasil tindakan medis tersebut tidak sesuai harapan,
bahkan berdampak pada adanya risiko medik yang tidak diharapkan dari pasien.
Bahkan pada praktek kedokteran selalu mungkin terjadi adanya kejadian yang
tidak diharapkan seperti ketidaknyamanan, kecacatan, sampai kematian dari
pasien, padahal para pihak telah melaksanakan hak-hak dan kewajibannya secara
baik. 14
Dampak dari semua itu, menimbulkan konflik atau sengketa antara dokter
dan pasien. Konflik’ berasal mula dari kata asing conflict yang berasal dari
kata confligere (yang berarti bersama atau bersaling-silang)+ fligere (yang berarti
‘tubruk’ atau ‘bentur’). Jika didefinisikan secara bebas dari arti harafiahnya itu,
‘konflik’ adalah ‘perbenturan’ antara dua pihak yang tengah berjumpa dan
bersilang jalan pada suatu titik kejadian, yang berujung pada terjadinya benturan.
Konflik atau sengketa adalah perselisihan atau perbedaan pendapat
(persepsi) yang terjadi antara dua pihak atau lebih karena adanya pertentangan
14
Wawang S. Sukarya, Gugatan Pasien dan Patien Safety, Seminar Penyelesaian Sengketa Medik
Melalui Mediasi, Hotel Panghegar, Bandung, 3 November 2008, hlm. 1.
377
Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014.
kepentingan yang berdampak pada terganggunya pencapaian tujuan yang
diinginkan oleh para pihak.15
Oleh karena itu, konflik atau sengketa yang terjadi
harus cepat diselesaikan oleh para pihak dengan menggunakan lembaga atau
pranata yang tersedia, baik secara formal (melalui lembaga litigasi) maupun non-
formal (nonlitigasi).16
Menurut Priyatna Abdurayid, sengketa juga berhubungan dengan soal
yang sederhana atau kompleks dan melibatkan berbagai jenis persoalan, misalnya:
1. Kenyataan yang mungkin timbul akibat kredibilitas para pihak itu sendiri,
atau dari data yang diberikan oleh pihak ketiga termasuk penjelasan-
penjelasan tentang kenyataan data tersebut;
2. Masalah hukum yang pada umumnya akibat dari pendapat atau tafsiran
menyesatkan yang diberikan oleh para ahli hukum;
3. Akibat perbedaan teknis, termasuk perbedaan pendapat dari ahli teknik
dan professional dari para pihak;
4. Perbedaan pemahaman tentang sesuatu hal yang muncul, misalnya dalam
penggunaan kata-kata yang membingungkan atau adanya perbedaan
asumsi;
5. Perbedaan persepsi mengenai keadilan, konsep keadilan dan moralitas,
budaya, nilai-nilai dan sikap.17
Menurut penulis, sengketa medis adalah sengketa yang terjadi antara
dokter dan pasien atau keluarga pasien atas hasil diagnosa penyakit atau
pengobatan penyakit yang tidak memuaskan pasien atau keluarganya. Adanya
suatu efek samping obat atau tindakan tertentu, adanya suatu reaksi allergi
(idiosinkrasi), adanya kegagalan pengobatan sering dianggap oleh pasien maupun
keluarganya sebagai suatu malpraktik kedokteran.
Berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap dokter, maraknya
tuntutan hukum oleh masyarakat pada dewasa ini disebabkan oleh kegagalan
15
Candra Irawan, Aspek Hukum dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan
(Alternative Dispute Resolution) di Indonesia, C. V. Mandar Maju, 2010, hlm 2.
16
Ibid.
17
Priyatna Abdurasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Suatu Pengantar), PT
Fikahati dan BANI, Jakarta, 2002, hlm 5-6.
378
Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014.
upaya penyembuhan oleh dokter. Walaupun kegagalan penerapan ilmu
pengetahuan kedokteran tidak selalu identik dengan gagalnya dalam tindakan
pelayanan.18
Pada kasus di negara maju, dapat disimpulkan bahwa kategori-kategori
malpraktik medik yang banyak terjadi seringkali berkaitan dengan hal-hal sebagai
berikut:
1. Kegagalan atau salah dalam melakukan diagnosa (failure to diagnose);
2. Kesalahan teknis dalam pembedahan (technical surgical errors);
3. Reaksi terhadap kerugian akibat ketidakcocokan obat khususnya penisilin
dan tetanus antitoksin (pendapat penulis, merupakan reaksi alergi/
idiosinkrasi terhadap antibiotik maupun antitoksin dan ini merupakan
adverse effect/ efek yang tidak diharapkan);
4. Pelayanan yang salah atau tidak patut (improper treatment);
5. Ketiadaan proper informed consent;
6. Improper supervision.19
Perbuatan Malpraktik Medik akan berdampak yuridis luas, baik dalam
bidang hukum perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi/ disipliner.
Dalam bidang hukum perdata misalnya, melakukan wanprestasi, melakukan
perbuatan melawan hukum, kelalaian yang mengakibatkan kerugian, melalaikan
pekerjaan sebagai penanggung jawab. Beberapa contoh kasus dalam bidang
hukum pidana, misalnya penipuan terhadap pasien, membuat surat keterangan
palsu, kelalaian yang menyebabkan mati atau luka, pelanggaran kesusilaan,
pengguguran tanpa indikasi medis, pembocoran rahasia pasien, menelantarkan
pasien, euthanasia. Dalam bidang hukum administrasi/ disipliner misalnya praktik
tanpa izin, melanggar kode etik, dan sebagainya.20
Sebagaimana telah disebutkan di atas, sarana untuk menyelesaikan
sengketa di bidang kesehatan pada dasarnya dapat ditempuh 3 (tiga) cara.
18
S. Soetrisno, Malpraktek Medik dan Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, Telaga
Ilmu, 2010, hlm 1.
19
Idem, hlm 7.
20
Ibid.
379
Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014.
Pertama, negosiasi atau alternatif sengketa (ADR); kedua, arbitrase; dan ketiga
melalui lembaga peradilan.21
Di dalam upaya mengatasi kemungkinan penumpukan perkara di
pengadilan, maka dilakukanlah pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara
di pengadilan, karena mediasi sebagaimana diatur dalam Perma No. 1 Tahun 2008
adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan
dibantu oleh mediator, yang dapat dilakukan secara lebih cepat, murah, serta
dapat memberikan akses kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh
keadilan atau penyelesaian yang memuaskan atas sengketa yang dihadapi.
Ruang lingkup penyelesaian sengketa secara mediasi yang dapat dilakukan
melalui Perma No. 3 Tahun 2002 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
(sekarang diubah menjadi Perma Nomor 1 Tahun 2008), termasuk di dalamnya
penyelesaian sengketa medis antara dokter dengan pasien.
Penyelesaian sengketa termasuk di dalamnya penyelesaian sengketa medis
memang sulit, namun mediasi dapat memberikan keuntungan penyelesaian
sengketa, yaitu :
1. Mediasi diharapkan menyelesaikan sengketa secara cepat dan relatif
murah,
2. Mediasi akan memfokuskan para pihak pada kepentingannya secara nyata
dan pada kebutuhan emosi atau psikologisnya,
3. Mediasi akan memberikan kesempatan kepada para pihak untuk
berpartisipasi secara langsung dan secara informal dalam menyelesaian
perselisihannya,
4. Memberi para pihak kemampuan untuk melakukan kontrol terhadap proses
dan hasilnya,
5. Memberikan hasil yang akan mampu menciptakan saling pengertian yang
lebih baik di antara para pihak yang bersengketa karena mereka sendiri
yang memutuskan.
21
P. Lindawaty S. Sewu, Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, Bahan Kuliah pada
Program Magister Hukum Kesehatan, Universitas Katolik Soegijapranata.
380
Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014.
Bentuk sengketa beraneka ragam, dan keanekaragamannya menentukan
inti permasalahan yang pada akhirnya intinya akan muncul ke permukaan.
Berbagai faktor dapat mempengaruhi emosi para pihak yang bersengketa,
sehingga pertentangan seringkali tidak dapat diselesaikan dalam waktu singkat.
Penyelesaian sengketa yang paling efektif apabila diputuskan secara final dan
mengikat melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) maupun arbitrase.
Sengketa akhirnya dapat diselesaikan atau diklarifikasi dengan mempersempit
persoalan melalui mekanisme APS yang tepat. Beberapa sengketa dapat
diselesaikan melalui negosiasi langsung oleh para pihak tanpa bantuan pihak
ketiga. Sengketa lainnya menghendaki bantuan dan ketajaman pihak ketiga yang
independen dengan mekanisme yang disusun secara cermat melalui penelitian,
evaluasi permasalahan, penjajagan kepentingan, juga meempelajari faktor emosi
yang tersembunyi serta menerapkan cara yang efektif dengan memanfa’atkan APS
sehingga tercapai suatu penyelesaian final dan mengikat.22
Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution = ADR)
menawarkan berbagai bentuk proses penyelesaian sengketa yang fleksibel dengan
menerapkan satu atau beberapa mekanisme yang dirancang sesuai dengan
kebutuhan sehingga penyelesaian sengketa mencapai suatu penyelesaian final.
Memahami sengketa secara tepat dengan memperhitungkan berbagai
implikasinya, akan membantu pihak ketiga dalam menyelesaikan sengketa
tersebut. Pihak ketiga yang independen diharapkan memiliki keyajaman analisis
(pandangan), motivasi, aspirasi serta memperhatikan kepentingan para pihak yang
bersengketa. Pada akkhirnya, pihak ketiga yang independen ini akan bekerja
secara teliti dan efektif sesuai dengan permasalahan yang dihadapi.23
Ada beberapa cara yang dapat ditempuh oleh para pihak dalam
menyelesaikan perselisihan yang timbul, antara lain:
a. Melalui perjanjian informal;
b. Melalui konsiliasi;
22
H. Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Fikahati Aneska,
Jakarta, 2002, hlm. 1-2.
23
ibid, hlm. 2-3.
381
Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014.
c. Melalui arbitrase;
d. Melalui pengadilan.24
Apabila para pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa yang timbul
secara baik-baik, penyelesaian sengketa tersebut dapat diperjanjikan untuk
diselesaikan di luar hukum acara. Perjanjian yang telah disepakati bersama
merupakan undang-undang bagi yang bersangkutan (pacta sunt servanda). Ini
berarti bahwa yang dijadikan dasar hukum dalam Alternative Dispute Resolution
(ADR) atau mekanisme penyelesaian sengketa untuk menyelesaikan
perselisihannya di luar hakim negara.25
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok-pokok Kekuasaan
Kehakiman Pasal 58, menyebutkan bahwa upaya penyelesaian sengketa perdata
dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif
penyelesaian sengketa. Selanjutnya pada Pasal 59 menjelaskan bahwa arbitrase
merupakan cara penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan yang didasarkan
pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa. Selanjutnya di ayat berikut dijelaskan bahwa putusan arbitrase
bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap serta mengikat para pihak.
Apabila para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan
dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri atas permohonan salah
satu pihak yang bersengketa. Selanjutnya pada Pasal 60 dijelaskan tentang
alternatif penyelesaian sengketa merupakan lembaga atau penyelesaian sengketa
beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di
luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau
penilaian ahli. Pada ayat berikutnya dijelaskan bahwa hasil kesepakatan
penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa dituangkan ke
dalam kesepakatan tertulis. Pada ayat terakhir disampaikan bahwa kesepakatan
tertulis tersebut bersifat final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan
itikad baik.
24
Suyud Margono, Alternative Dispute Resolution & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek
Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004, hlm. 15-16.
25
Ibid.
382
Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014.
Selanjutnya dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa disampaikan bahwa penyelesaian
sengketa harus diselesaikan pada pertemuan langsung para pihak dalam waktu
paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan pada suatu kesepakatan
tertulis. Apabila tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis, para
pihak meminta bantuan seorang atau lebih penasihat ahli maupun melalui seorang
mediator. Apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari tidak tercapai kesepakatan
lagi, maka para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrasi atau lembaga
alternatif penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator. Dalam waktu
paling lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi harus sudah dapat dimulai, kemudian
dalam waktu maksimal 30 (tigapuluh) hari harus sudah tercapai kesepakatan
dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak yang terkait. Pada
ayat terakhir dijelaskan bahwa kesepakatan penyelesaian sengketa adalah final
dan mengikat para pihak untuk dapat dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib
didaftarkan ke Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tigapuluh) hari
sejak penandatanganan.
Menurut Philip D. Bostwick, Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah ‘a
set of practices and legal techniques that aim’ (suatu perangkat praktis dan cara
yang resmi dengan tujuan):
1. To permit legal disputes to be resolved outside the courts for the benefit of
all disputants (menyelesaikan sengketa hukum di luar pengadilan demi
keuntungan para pihak);
2. To reduce the cost of conventional litigation and the delay to which it is
ordinarily subjected (mengurangi biaya litigasi konvensional dan lamanya
waktu yang diperlukan);
3. To pevent legal disputes that would otherwise likely be brought to the
court (mencegah terjadinya sengketa hukum yang biasanya diajukan ke
pengadilan).26
26
H. Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Fikahati Aneska,
Jakarta, 2002, hlm. 15.
383
Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014.
Karakteristik Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), yaitu:
1. Bukan merupakan badan peradilan negara yang mempunyai kewenangan
memaksa, seperti Pengadilan Negeri;
2. Merupakan lembaga penyelesaian sengketa swasta yang biasa disebut
sebagai lembaga ekstrayudisial;
3. Dipilih para pihak sebagai pilihan penyelesaian sengketa secara sukarela
sesuai dengan perjanjian atau kesepakatan bersama;
4. Eksekusi putusan tidak serta merta, tetapi masih memerlukan eksekusi
dari Pengadilan Negeri, kecuali para pihak dengan segenap kesadaran dan
sukarela melaksanakan putusan tersebut.27
Pencarian metode alternatif untuk mencegah dan menyelesaikan sengketa
adalah sesuatu yang urgen dalam masyarakat. Para ahli yang biasanya terdiri dari
ahli non-hukum banyak mengeluarkan energi dan inovasi untuk mengkreasikan
berbaga bentuk penyelesaian sengketa, baik formal maupun informal dan dapat
dijadikan acuan untuk menjawab sengketa yang mungkin timbul.28
Proses
Penyelesaian Sengketa:
1. Proses adjudikasi (adjudicative processes);
2. Arbitrase (arbitration);
3. Proses adjudikasi semu (quasi adjudicatory processes).
Pada proses adjudikasi (adjudicative processes) terdapat 2 (dua) proses,
yaitu litigasi (litigation) dan arbitrase (arbitration). Adjudikasi publik atau
litigasi menjamin perlakuan yang adil kepada para pihak, kesempatan para pihak
untuk didengar, serta menyelesaikan sengketa dan menjaga ketertiban umum
sehingga dapat menjunjung nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
Litigasi adalah proses gugatan atas suatu konflik yang diritualisasikan
untuk menggantikan konflik yang sesungguhnya, di mana para pihak
menyerahkan kepada seorang pengambil keputusan atas 2 (dua) pilihan yang
27
Candra Irawan, Aspek Hukum dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan
(Alternative Dispute Resolution) di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2010, hlm. 26.
28
Suyud Margono, Alternative Dispute Resolution & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek
Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004, hlm.23.
384
Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014.
bertentangan. Litigasi merupakan proses yang sangat dikenal (familiar) bagi para
lawyer dengan karakteristik adanya pihak ketiga yang mempunyai kekuatan
untuk memutuskan (to impose) solusi diantara para pihak yang bersengketa.
Litigasi diartikan sebagai proses administrasi dan peradilan (court and
administrative proceeding). Menurut Eisenberg litigation are court and
administrative proceedings, the most familiar process to lawyer, features a third
party with power to imposed solution upon the disputants. It usually produce a
“win/ los” result. 29
Litigasi sangat bermanfa’at untuk menemukan kesalahan dan masalah
pihak lawan. Litigasi juga memberikan suatu standar prosedur yang adil dan
memberikan peluang yang luas kepada para pihak untuk didengar keterangannya
sebelum diambil keputusan.30
Kelemahan litigasi adalah memaksa para pihak pada posisi yang ekstrim
dan memerlukan pembelaan atas setiap maksud yang dapat mempengaruhi
putusan. Litigasi juga mengangkat seluruh persoalan dalam suatu perkara, baik
persoalan materi maupun prosedur dan mendorong para pihak melakukan
penyelidikan fakta. Litgasi tidak cocok untuk sengketa yang bersifat polisentris
(melibatkan banyak pihak, banyak persoalan dan beberapa kemungkinan
alternatif penyelesaian sengketa). Proses litigasi mensyaratkan pembatasan
sengketa dan persoalan-persoalan sehingga para hakim atau para pengambil
keputusan lainnya dapat lebih siap membuat keputusan. Kelemahan litigasi yang
lainnya adalah memaksa pihak yang tidak memiliki sumber daya yang sama
untuk menyelesaiakn masalah menurut syarat-syarat yang menguntungkan pihak
lain.31
Pada arbitrase, para pihak setuju untuk menyelesaikan sengketanya
kepada pihak netral yang mereka pilih untuk menyelesaikan sengketa. Arbitrase
merupakan salah satu bentuk adjudikasi privat, namun dalam beberapa hal
29
Suyud Margono, Alternative Dispute Resolution & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek
Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004, hlm.24.
30
Idem.
31
Ibid, hlm. 25.
385
Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014.
mempunyai kelebihan dan kelemahan seperti adjudikasi publik. Arbitrase pada
prinsipnya adalah menghindari pengadilan. Dibandingkan dengan litigasi,
arbitrase lebih memberikan kebebasan, pilihan penyelesaian sengketa, otonomi
dan menjamin kerahasiaan para pihak yang bersengketa. Para pihak dapat
memilih hakim yang mereka inginkan, berbeda dengan sistem pengadilan yang
hakimnya telah ditetapkan terlebih dahulu. Hal ini dapat menjamin kenetralan
dan keahlian yang mereka anggap perlu dalam menangani sengketa mereka.
Proses arbitrase dapat berlangsung lebih cepat dan murah karena para pihak
memilih hakimnya sendiri, lebih informal, prosedur tidak terlalu kaku dan dapat
menyesuaikan kondisi para pihak yang bersengketa. Berdasarkan Undang-
undang Nomor 30 Tahun 1999, pengertian arbitrase adalah suatu kesepakatan
berupa klausul arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulia dan
dibuat para pihak sebelum timbulnya sengketa atau suatu perjanjian arbitrase
tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.32
III. PENUTUP.
a. Kesimpulan.
Sengketa medis antara pasien dan dokter terjadi akibat efek yang tidak
diharapkan terhadap hasil pengobatan. Hasil pengobatan yang tidak sesuai
harapan, seperti terjadinya efek samping dari pengobatan, terjadinya kecacatan
bahkan kematian ataupun adanya reaksi alergi yang tidak dapat diduga
sebelumnya dapat memicu adanya sengketa tersebut.
Penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan
dibantu oleh mediator, dapat lebih cepat, murah, serta dapat memberikan akses
kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan atau
penyelesaian sengketa yang memuaskan.
Ruang lingkup penyelesaian sengketa secara mediasi yang dapat dilakukan
melalui Perma No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan,
termasuk di dalamnya penyelesaian sengketa medis antara dokter dengan pasien.
32
Suyud Margono, Alternative Dispute Resolution & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek
Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004, hlm.26-27.
386
Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014.
Penyelesaian sengketa medis memang sulit, namun mediasi dapat
memberikan keuntungan penyelesaian sengketa, yaitu: cepat, relatif murah dan
yang terpenting dari semua itu adalah semua pihak merasa puas karena mereka
yang memutuskan penyelesaian tersebut.
b. Saran.
Melaksanakan kegiatan audit medis pada setiap kasus sengketa medis
antara pasien dan dokter, dalam upaya penyelesaian sengketa medis yang
memenuhi rasa keadilan, para pihak diundang untuk menghadiri kegiatan tersebut.
Pada kegiatan audit medis, dihadirkan dokter spesialis yang sesuai dengan bidang
sengketa medis sehingga dapat dipahami pada semua pihak dan objek sengketa
menjadi lebih jelas dan diharapkan memudahkan untuk diselesaikan secara
mediasi. Apabila salah satu pihak atau para pihak mengharapkan putusannya
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dapat dimintakan untuk didaftarkan ke
pengadilan dan dibuat putusan pengadilan sesuai dengan prosedur yang telah
ditentukan.
387
Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku.
Abdurrahman, Penyelesaian Sengketa melalui Mediasi Pengadilan dan Mediasi
Alternatif Penyelesaian Sengketa, dalam buku Perspektif Pembaharuan,
Perum Percetakan Negara Republik Indonesia, Jakarta, 2008.
Anny Isfandyarie, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter, Buku I,
Prestasi Pustaka, Jakarta.
Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan-Pertanggungjawaban Dokter, PT
Rineka Cipta, Jakarta, 2005.
Candra Irawan, Aspek Hukum dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa di Luar
Pengadilan (Alternative Dispute Resolution) di Indonesia, Mandar Maju,
Bandung, 2010.
H. Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
Fikahati Aneska, Jakarta, 2002.
_____________________, Arbitrase dan Alternatif penyelesaian Sengketa
(sebuah pengantar), PT Fikahati Aneska bekerja sama dengan BANI,
Jakarta, 2002.
Munir Fuady, Sumpah Hippocrates (Aspek Hukum Malpraktik Dokter), PT Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2005.
M. Jusuf Hanafiah & Amri Amir, Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan, Edisi
ke-3, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1997.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia,
1984.
S. Soetrisno, Malpraktek Medik dan Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian
Sengketa, Telaga Ilmu, 2010.
Suyud Margono, Alternative Dispute Resolution & Arbitrase Proses
Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004.
Uton Muchtar Rafei, Health Politic-Menjangkau yang Tak Terjangkau, Health &
Hospital Indonesia, Jakarta, 2007.
388
Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014.
B. Peraturan Atau Undang-Undang.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata;
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Penyelesaian Sengketa
dengan Mediasi melalui Lembaga Peradilan.
C. Makalah, Artikel, Jurnal, Majalah, Internet, dan Lain-Lain.
Bahan Kuliah Alternatif Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan pada Program
Magister Hukum Kesehatan, Universitas Katolik Soegijapranata. P.
Lindawaty S. Sewu.
Ensiklopedia Islam, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1993.
Jurnal Hukum, Fakultas Hukum Universitas Suryakancana Cianjur, Volume V,
Nomor 03, Edisi Februari-Maret 2009.
Kartono Muhammad, Penerapan Hak Untuk Sehat, disampaikan pada Workshop
and Conference Health and Human Right, 19-20 Maret 2003 di Jakarta.
Makalah Seminar Perselisihan Kedokteran dan ADR oleh Kazuto Inaba (Guru
Besar Fakultas Kedokteran Universitas Kurume & Sekolah Hukum
Universitas Chukyo).
Siti Juniah (Calon Hakim Pengadilan Agama Balikpapan), Potret Mediasi dalam
Islam, diunduh dari internet, 24 Oktober 2009.
Wawang S. Sukarya, Gugatan Pasien dan Patien Safety, Seminar Penyelesaian
Sengketa Medik Melalui Mediasi, Hotel Panghegar, Bandung, 3
November 2008.

More Related Content

What's hot

Pengambilan Keputusan dalam Pelayanan Kebidanan
Pengambilan Keputusan dalam Pelayanan KebidananPengambilan Keputusan dalam Pelayanan Kebidanan
Pengambilan Keputusan dalam Pelayanan Kebidananpjj_kemenkes
 
Legislasi,registrasi,lisensi praktek kebidanan
Legislasi,registrasi,lisensi praktek kebidananLegislasi,registrasi,lisensi praktek kebidanan
Legislasi,registrasi,lisensi praktek kebidananfebriok
 
Informed Choice dan Informed Consent
Informed Choice dan Informed Consent Informed Choice dan Informed Consent
Informed Choice dan Informed Consent pjj_kemenkes
 
Konsep dasar mutu pelayanan kesehatan dan kebidanan
Konsep dasar mutu pelayanan kesehatan dan kebidananKonsep dasar mutu pelayanan kesehatan dan kebidanan
Konsep dasar mutu pelayanan kesehatan dan kebidananyolandaputri18
 
Makalah etika kebidanan
Makalah etika kebidananMakalah etika kebidanan
Makalah etika kebidananasep nababan
 
KOMUNIKASI INTERPERSONAL / KONSELING (KIP/K)
KOMUNIKASI INTERPERSONAL / KONSELING (KIP/K) KOMUNIKASI INTERPERSONAL / KONSELING (KIP/K)
KOMUNIKASI INTERPERSONAL / KONSELING (KIP/K) Kristyawan Sutriyanto
 
Sejarah perkembangan pelayanan dan pendidikan bidan indonesia
Sejarah perkembangan pelayanan dan pendidikan bidan indonesiaSejarah perkembangan pelayanan dan pendidikan bidan indonesia
Sejarah perkembangan pelayanan dan pendidikan bidan indonesiaAKADEMI KEBIDANAN CIANJUR
 
Pengambilan Keputusan Dalam Pelayanan Kebidanan
Pengambilan Keputusan Dalam Pelayanan KebidananPengambilan Keputusan Dalam Pelayanan Kebidanan
Pengambilan Keputusan Dalam Pelayanan KebidananUFDK
 
Modul 1 kb 2 mutu layanan kesehatan dan kebijakan kesehatan
Modul 1 kb 2 mutu layanan kesehatan dan kebijakan kesehatanModul 1 kb 2 mutu layanan kesehatan dan kebijakan kesehatan
Modul 1 kb 2 mutu layanan kesehatan dan kebijakan kesehatanUwes Chaeruman
 
Tanggung jawab bidan di tatanan pelayanan kesehatan
Tanggung jawab bidan di tatanan pelayanan kesehatanTanggung jawab bidan di tatanan pelayanan kesehatan
Tanggung jawab bidan di tatanan pelayanan kesehatanmilanurmilayanti
 
Informed choice & informed consent
Informed choice & informed consentInformed choice & informed consent
Informed choice & informed consentTriana Septianti
 
12 lingkup praktik kebidanan
12 lingkup praktik kebidanan12 lingkup praktik kebidanan
12 lingkup praktik kebidananSyamsul Arifin
 
Soap imunisasi BCG dan Polio 1
Soap imunisasi BCG dan Polio 1Soap imunisasi BCG dan Polio 1
Soap imunisasi BCG dan Polio 1AjEn9
 
Pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan.8
Pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan.8Pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan.8
Pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan.8Muhammad Muqouwis. AT
 
Jenjang Karir Bidan
Jenjang Karir BidanJenjang Karir Bidan
Jenjang Karir Bidanyantiyanti45
 
ASUHAN KEPERAWATAN SISTEM REPRODUKSI
ASUHAN KEPERAWATAN SISTEM REPRODUKSIASUHAN KEPERAWATAN SISTEM REPRODUKSI
ASUHAN KEPERAWATAN SISTEM REPRODUKSIYaa Muthmainnah
 
PENDEKATAN-PENDEKATAN DALAM PROMOSI KESEHATAN
PENDEKATAN-PENDEKATAN DALAM PROMOSI KESEHATANPENDEKATAN-PENDEKATAN DALAM PROMOSI KESEHATAN
PENDEKATAN-PENDEKATAN DALAM PROMOSI KESEHATANLindarti Marsiyah
 

What's hot (20)

Asuhan kebidanan pada ibu hamil normal. PKK 1
Asuhan kebidanan pada ibu hamil normal. PKK 1Asuhan kebidanan pada ibu hamil normal. PKK 1
Asuhan kebidanan pada ibu hamil normal. PKK 1
 
Pengambilan Keputusan dalam Pelayanan Kebidanan
Pengambilan Keputusan dalam Pelayanan KebidananPengambilan Keputusan dalam Pelayanan Kebidanan
Pengambilan Keputusan dalam Pelayanan Kebidanan
 
Legislasi,registrasi,lisensi praktek kebidanan
Legislasi,registrasi,lisensi praktek kebidananLegislasi,registrasi,lisensi praktek kebidanan
Legislasi,registrasi,lisensi praktek kebidanan
 
Informed Choice dan Informed Consent
Informed Choice dan Informed Consent Informed Choice dan Informed Consent
Informed Choice dan Informed Consent
 
Konsep dasar mutu pelayanan kesehatan dan kebidanan
Konsep dasar mutu pelayanan kesehatan dan kebidananKonsep dasar mutu pelayanan kesehatan dan kebidanan
Konsep dasar mutu pelayanan kesehatan dan kebidanan
 
Makalah etika kebidanan
Makalah etika kebidananMakalah etika kebidanan
Makalah etika kebidanan
 
KOMUNIKASI INTERPERSONAL / KONSELING (KIP/K)
KOMUNIKASI INTERPERSONAL / KONSELING (KIP/K) KOMUNIKASI INTERPERSONAL / KONSELING (KIP/K)
KOMUNIKASI INTERPERSONAL / KONSELING (KIP/K)
 
Sejarah perkembangan pelayanan dan pendidikan bidan indonesia
Sejarah perkembangan pelayanan dan pendidikan bidan indonesiaSejarah perkembangan pelayanan dan pendidikan bidan indonesia
Sejarah perkembangan pelayanan dan pendidikan bidan indonesia
 
Pengambilan Keputusan Dalam Pelayanan Kebidanan
Pengambilan Keputusan Dalam Pelayanan KebidananPengambilan Keputusan Dalam Pelayanan Kebidanan
Pengambilan Keputusan Dalam Pelayanan Kebidanan
 
Modul 1 kb 2 mutu layanan kesehatan dan kebijakan kesehatan
Modul 1 kb 2 mutu layanan kesehatan dan kebijakan kesehatanModul 1 kb 2 mutu layanan kesehatan dan kebijakan kesehatan
Modul 1 kb 2 mutu layanan kesehatan dan kebijakan kesehatan
 
Tanggung jawab bidan di tatanan pelayanan kesehatan
Tanggung jawab bidan di tatanan pelayanan kesehatanTanggung jawab bidan di tatanan pelayanan kesehatan
Tanggung jawab bidan di tatanan pelayanan kesehatan
 
Informed choice & informed consent
Informed choice & informed consentInformed choice & informed consent
Informed choice & informed consent
 
12 lingkup praktik kebidanan
12 lingkup praktik kebidanan12 lingkup praktik kebidanan
12 lingkup praktik kebidanan
 
Soap imunisasi BCG dan Polio 1
Soap imunisasi BCG dan Polio 1Soap imunisasi BCG dan Polio 1
Soap imunisasi BCG dan Polio 1
 
Pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan.8
Pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan.8Pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan.8
Pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan.8
 
Jenjang Karir Bidan
Jenjang Karir BidanJenjang Karir Bidan
Jenjang Karir Bidan
 
ASUHAN KEPERAWATAN SISTEM REPRODUKSI
ASUHAN KEPERAWATAN SISTEM REPRODUKSIASUHAN KEPERAWATAN SISTEM REPRODUKSI
ASUHAN KEPERAWATAN SISTEM REPRODUKSI
 
Makalah manajemen kebidanan
Makalah manajemen kebidananMakalah manajemen kebidanan
Makalah manajemen kebidanan
 
PENDEKATAN-PENDEKATAN DALAM PROMOSI KESEHATAN
PENDEKATAN-PENDEKATAN DALAM PROMOSI KESEHATANPENDEKATAN-PENDEKATAN DALAM PROMOSI KESEHATAN
PENDEKATAN-PENDEKATAN DALAM PROMOSI KESEHATAN
 
informed choice
informed choiceinformed choice
informed choice
 

Viewers also liked

Komunikasi dokter pasien
Komunikasi dokter pasienKomunikasi dokter pasien
Komunikasi dokter pasienRonika Hutagaol
 
Penyelesaian sengketa medis
Penyelesaian sengketa medisPenyelesaian sengketa medis
Penyelesaian sengketa medisTrini Handayani
 
Ctu 311:Kemuncak Kecemerlangan Inovasi Islam Yang Ditandai Oleh Keunggulan In...
Ctu 311:Kemuncak Kecemerlangan Inovasi Islam Yang Ditandai Oleh Keunggulan In...Ctu 311:Kemuncak Kecemerlangan Inovasi Islam Yang Ditandai Oleh Keunggulan In...
Ctu 311:Kemuncak Kecemerlangan Inovasi Islam Yang Ditandai Oleh Keunggulan In...MARYAM ARIFFIN
 
Standar pelayanan keperawatan. By. Pangestu Chaesar S. Dkk
Standar pelayanan keperawatan. By. Pangestu Chaesar S. Dkk Standar pelayanan keperawatan. By. Pangestu Chaesar S. Dkk
Standar pelayanan keperawatan. By. Pangestu Chaesar S. Dkk Pangestu S
 
Standar Pelayanan Keperawatan. manajemen keperawatan By Pangestu Chaesar S
Standar Pelayanan Keperawatan. manajemen keperawatan By Pangestu Chaesar SStandar Pelayanan Keperawatan. manajemen keperawatan By Pangestu Chaesar S
Standar Pelayanan Keperawatan. manajemen keperawatan By Pangestu Chaesar SPangestu S
 
kasus konsultasi hukum
kasus konsultasi hukumkasus konsultasi hukum
kasus konsultasi hukumDELA ASFARINA
 

Viewers also liked (7)

Komunikasi dokter pasien
Komunikasi dokter pasienKomunikasi dokter pasien
Komunikasi dokter pasien
 
Penyelesaian sengketa medis
Penyelesaian sengketa medisPenyelesaian sengketa medis
Penyelesaian sengketa medis
 
Ctu 311:Kemuncak Kecemerlangan Inovasi Islam Yang Ditandai Oleh Keunggulan In...
Ctu 311:Kemuncak Kecemerlangan Inovasi Islam Yang Ditandai Oleh Keunggulan In...Ctu 311:Kemuncak Kecemerlangan Inovasi Islam Yang Ditandai Oleh Keunggulan In...
Ctu 311:Kemuncak Kecemerlangan Inovasi Islam Yang Ditandai Oleh Keunggulan In...
 
Standar pelayanan keperawatan. By. Pangestu Chaesar S. Dkk
Standar pelayanan keperawatan. By. Pangestu Chaesar S. Dkk Standar pelayanan keperawatan. By. Pangestu Chaesar S. Dkk
Standar pelayanan keperawatan. By. Pangestu Chaesar S. Dkk
 
Standar Pelayanan Keperawatan. manajemen keperawatan By Pangestu Chaesar S
Standar Pelayanan Keperawatan. manajemen keperawatan By Pangestu Chaesar SStandar Pelayanan Keperawatan. manajemen keperawatan By Pangestu Chaesar S
Standar Pelayanan Keperawatan. manajemen keperawatan By Pangestu Chaesar S
 
kasus konsultasi hukum
kasus konsultasi hukumkasus konsultasi hukum
kasus konsultasi hukum
 
Range Of Motion (ROM)
Range Of Motion (ROM)Range Of Motion (ROM)
Range Of Motion (ROM)
 

Similar to Penyelesaian sengketa medis

implementasi mediasi dalam sengketa medik
implementasi mediasi dalam sengketa medikimplementasi mediasi dalam sengketa medik
implementasi mediasi dalam sengketa medikLalu Guntur Payasan
 
19384 id-tanggung-jawab-dokter-terkait-persetujuan-tindakan-medis-informed-co...
19384 id-tanggung-jawab-dokter-terkait-persetujuan-tindakan-medis-informed-co...19384 id-tanggung-jawab-dokter-terkait-persetujuan-tindakan-medis-informed-co...
19384 id-tanggung-jawab-dokter-terkait-persetujuan-tindakan-medis-informed-co...MichelleAngelika
 
Issue Legal dan Tantangan Praktik Keperawatan Profesional
Issue Legal dan Tantangan Praktik Keperawatan ProfesionalIssue Legal dan Tantangan Praktik Keperawatan Profesional
Issue Legal dan Tantangan Praktik Keperawatan Profesionalpjj_kemenkes
 
Issue Legal dan Tantangan Praktik Keperawatan Profesional
Issue Legal dan Tantangan Praktik Keperawatan ProfesionalIssue Legal dan Tantangan Praktik Keperawatan Profesional
Issue Legal dan Tantangan Praktik Keperawatan Profesionalpjj_kemenkes
 
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...Operator Warnet Vast Raha
 
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...Operator Warnet Vast Raha
 
Hub hukum dan tenaga kesehatan dan pasien
Hub hukum dan tenaga kesehatan dan pasienHub hukum dan tenaga kesehatan dan pasien
Hub hukum dan tenaga kesehatan dan pasienElisanggeria22
 
MI 1 Bahan Bacaan
MI 1 Bahan BacaanMI 1 Bahan Bacaan
MI 1 Bahan Bacaanljjkadinkes
 
Analisis hukum kesehatan dan uu tenaga kesehatan
Analisis hukum kesehatan dan uu tenaga kesehatanAnalisis hukum kesehatan dan uu tenaga kesehatan
Analisis hukum kesehatan dan uu tenaga kesehatanABSTRACTPIT
 
Transaksi TERAPEUTIK-KELOMPOK-5.docx
Transaksi TERAPEUTIK-KELOMPOK-5.docxTransaksi TERAPEUTIK-KELOMPOK-5.docx
Transaksi TERAPEUTIK-KELOMPOK-5.docxNurmaYanti40
 
A. INFOMRED CONCENT.docx
A. INFOMRED CONCENT.docxA. INFOMRED CONCENT.docx
A. INFOMRED CONCENT.docxYogiAndrew
 
Tugas prof amri amir sp.f prodi neurologi
Tugas prof amri amir sp.f prodi neurologiTugas prof amri amir sp.f prodi neurologi
Tugas prof amri amir sp.f prodi neurologiABSTRACTPIT
 
TRANSAKSI TERAPEUTIK_materi_8.pptx
TRANSAKSI TERAPEUTIK_materi_8.pptxTRANSAKSI TERAPEUTIK_materi_8.pptx
TRANSAKSI TERAPEUTIK_materi_8.pptxNurmaYanti40
 
perlindungan hukum pasien.pdf
perlindungan hukum pasien.pdfperlindungan hukum pasien.pdf
perlindungan hukum pasien.pdfzulkifli44314
 

Similar to Penyelesaian sengketa medis (20)

implementasi mediasi dalam sengketa medik
implementasi mediasi dalam sengketa medikimplementasi mediasi dalam sengketa medik
implementasi mediasi dalam sengketa medik
 
Modul 3 kb 4
Modul 3 kb 4Modul 3 kb 4
Modul 3 kb 4
 
Informed consent
Informed consentInformed consent
Informed consent
 
19384 id-tanggung-jawab-dokter-terkait-persetujuan-tindakan-medis-informed-co...
19384 id-tanggung-jawab-dokter-terkait-persetujuan-tindakan-medis-informed-co...19384 id-tanggung-jawab-dokter-terkait-persetujuan-tindakan-medis-informed-co...
19384 id-tanggung-jawab-dokter-terkait-persetujuan-tindakan-medis-informed-co...
 
Issue Legal dan Tantangan Praktik Keperawatan Profesional
Issue Legal dan Tantangan Praktik Keperawatan ProfesionalIssue Legal dan Tantangan Praktik Keperawatan Profesional
Issue Legal dan Tantangan Praktik Keperawatan Profesional
 
Issue Legal dan Tantangan Praktik Keperawatan Profesional
Issue Legal dan Tantangan Praktik Keperawatan ProfesionalIssue Legal dan Tantangan Praktik Keperawatan Profesional
Issue Legal dan Tantangan Praktik Keperawatan Profesional
 
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
 
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
 
Informed consent.2222
Informed consent.2222Informed consent.2222
Informed consent.2222
 
Jurnal manajemen pelayanan kesehatan
Jurnal manajemen pelayanan kesehatanJurnal manajemen pelayanan kesehatan
Jurnal manajemen pelayanan kesehatan
 
Hub hukum dan tenaga kesehatan dan pasien
Hub hukum dan tenaga kesehatan dan pasienHub hukum dan tenaga kesehatan dan pasien
Hub hukum dan tenaga kesehatan dan pasien
 
MI 1 Bahan Bacaan
MI 1 Bahan BacaanMI 1 Bahan Bacaan
MI 1 Bahan Bacaan
 
Analisis hukum kesehatan dan uu tenaga kesehatan
Analisis hukum kesehatan dan uu tenaga kesehatanAnalisis hukum kesehatan dan uu tenaga kesehatan
Analisis hukum kesehatan dan uu tenaga kesehatan
 
Transaksi TERAPEUTIK-KELOMPOK-5.docx
Transaksi TERAPEUTIK-KELOMPOK-5.docxTransaksi TERAPEUTIK-KELOMPOK-5.docx
Transaksi TERAPEUTIK-KELOMPOK-5.docx
 
Aspek hukum praktek kebidanan
Aspek hukum praktek kebidananAspek hukum praktek kebidanan
Aspek hukum praktek kebidanan
 
Aspek hukum praktek kebidanan
Aspek hukum praktek kebidananAspek hukum praktek kebidanan
Aspek hukum praktek kebidanan
 
A. INFOMRED CONCENT.docx
A. INFOMRED CONCENT.docxA. INFOMRED CONCENT.docx
A. INFOMRED CONCENT.docx
 
Tugas prof amri amir sp.f prodi neurologi
Tugas prof amri amir sp.f prodi neurologiTugas prof amri amir sp.f prodi neurologi
Tugas prof amri amir sp.f prodi neurologi
 
TRANSAKSI TERAPEUTIK_materi_8.pptx
TRANSAKSI TERAPEUTIK_materi_8.pptxTRANSAKSI TERAPEUTIK_materi_8.pptx
TRANSAKSI TERAPEUTIK_materi_8.pptx
 
perlindungan hukum pasien.pdf
perlindungan hukum pasien.pdfperlindungan hukum pasien.pdf
perlindungan hukum pasien.pdf
 

Recently uploaded

Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptx
Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptxKelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptx
Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptxbinsar17
 
Etika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.ppt
Etika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.pptEtika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.ppt
Etika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.pptAlMaliki1
 
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan Pendahuluan
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan PendahuluanSosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan Pendahuluan
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan PendahuluanIqbaalKamalludin1
 
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan pptpembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan pptJhonatanMuram
 
Pengertian & Prinsip-Prinsip Anti Korupsi.pptx
Pengertian & Prinsip-Prinsip Anti Korupsi.pptxPengertian & Prinsip-Prinsip Anti Korupsi.pptx
Pengertian & Prinsip-Prinsip Anti Korupsi.pptxEkoPriadi3
 
5E _ Kel 4 _ Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi.pptx
5E _ Kel 4 _ Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi.pptx5E _ Kel 4 _ Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi.pptx
5E _ Kel 4 _ Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi.pptxYudisHaqqiPrasetya
 
pengantar Kapita selekta hukum bisnis
pengantar    Kapita selekta hukum bisnispengantar    Kapita selekta hukum bisnis
pengantar Kapita selekta hukum bisnisilhamsumartoputra
 
Sesi 3 MKDU 4221 PAI 2020 Universitas Terbuka
Sesi 3 MKDU 4221 PAI 2020 Universitas TerbukaSesi 3 MKDU 4221 PAI 2020 Universitas Terbuka
Sesi 3 MKDU 4221 PAI 2020 Universitas TerbukaYogaJanuarR
 
Luqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertama
Luqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertamaLuqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertama
Luqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertamaIndra Wardhana
 
BPN Sesi 3 - Hukum Perkawinan.ppppppppptx
BPN Sesi 3 - Hukum Perkawinan.ppppppppptxBPN Sesi 3 - Hukum Perkawinan.ppppppppptx
BPN Sesi 3 - Hukum Perkawinan.ppppppppptxendang nainggolan
 
HUKUM PERDATA di Indonesia (dasar-dasar Hukum Perdata)
HUKUM PERDATA di Indonesia (dasar-dasar Hukum Perdata)HUKUM PERDATA di Indonesia (dasar-dasar Hukum Perdata)
HUKUM PERDATA di Indonesia (dasar-dasar Hukum Perdata)ErhaSyam
 

Recently uploaded (11)

Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptx
Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptxKelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptx
Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptx
 
Etika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.ppt
Etika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.pptEtika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.ppt
Etika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.ppt
 
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan Pendahuluan
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan PendahuluanSosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan Pendahuluan
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan Pendahuluan
 
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan pptpembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
 
Pengertian & Prinsip-Prinsip Anti Korupsi.pptx
Pengertian & Prinsip-Prinsip Anti Korupsi.pptxPengertian & Prinsip-Prinsip Anti Korupsi.pptx
Pengertian & Prinsip-Prinsip Anti Korupsi.pptx
 
5E _ Kel 4 _ Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi.pptx
5E _ Kel 4 _ Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi.pptx5E _ Kel 4 _ Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi.pptx
5E _ Kel 4 _ Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi.pptx
 
pengantar Kapita selekta hukum bisnis
pengantar    Kapita selekta hukum bisnispengantar    Kapita selekta hukum bisnis
pengantar Kapita selekta hukum bisnis
 
Sesi 3 MKDU 4221 PAI 2020 Universitas Terbuka
Sesi 3 MKDU 4221 PAI 2020 Universitas TerbukaSesi 3 MKDU 4221 PAI 2020 Universitas Terbuka
Sesi 3 MKDU 4221 PAI 2020 Universitas Terbuka
 
Luqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertama
Luqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertamaLuqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertama
Luqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertama
 
BPN Sesi 3 - Hukum Perkawinan.ppppppppptx
BPN Sesi 3 - Hukum Perkawinan.ppppppppptxBPN Sesi 3 - Hukum Perkawinan.ppppppppptx
BPN Sesi 3 - Hukum Perkawinan.ppppppppptx
 
HUKUM PERDATA di Indonesia (dasar-dasar Hukum Perdata)
HUKUM PERDATA di Indonesia (dasar-dasar Hukum Perdata)HUKUM PERDATA di Indonesia (dasar-dasar Hukum Perdata)
HUKUM PERDATA di Indonesia (dasar-dasar Hukum Perdata)
 

Penyelesaian sengketa medis

  • 1. Jurnal Mimbar Justitia 369 PENYELESAIAN SENGKETA MEDIS MELALUI MEDIASI DIHUBUNGKAN DENGAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR I TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN Trini Handayani Fakultas Hukum Universitas Suryakancana Alamat Kantor Jl. Pasir Gede Raya Cianjur, E-mail : trinihandayani2012@gmail.com ABSTRAK Banyaknya masyarakat yang kritis dan mulai melek hukum membuat para penjual jasa pelayanan khususnya jasa pelayanan kesehatan harus ekstra hati-hati dalam melakukan pelayanan kesehatan. Berbagai kemungkinan dapat terjadi, apalagi sebagai penyedia jasa di bidang medis, tidak terlepas dari berbagai kemungkinan yang merupakan hasil terapi (pengobatan). Hasil terapi dapat berupa reaksi alergi, reaksi efek samping tindakan ataupun cacat bahkan kematian. Mindset masyarakat langsung mengarah pada adanya malpraktik oleh tenaga kesehatan apabila terjadi reaksi tersebut. Apabila standar prosedur dalam pengobatan sudah ditempuh, sebenarnya bukan merupakan suatu malpraktik tetapi suatu risiko medis. Menghadapi situasi tersebut, perlu adanya mediasi untuk mendamaikan pihak pasien ataupun dokter yang mengalami sengketa medis. Tetapi ternyata mediasi yang difasilitasi oleh mediator tidak memuaskan semua pihak, sehingga tidak dapat memuaskan pihak yang berseteru. Adanya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk penyelesaian sengketa medis tersebut. Prosedur mediasi dalam peraturan tersebut memungkinkan dipatuhinya hasil mediasi para pihak karena hasil tersebut dikuatkan dengan putusan pengadilan. Kata kunci: Sengketa medis, mediasi, Perma. ABSTRACT The number of critical community and begin to make the sellers legal literacy services, especially health services must be extra careful in doing health care. Various possibilities can occur, especially as service providers in the medical field, not out of the possibility that the outcome of therapy (treatment). The results of therapy can be allergic reactions, or adverse reaction to disability and even death action. Given the reaction, the public mindset directly lead to malpractice. In fact, if the procedure adopted in the treatment been taken, not a medical malpractice but a risk. Faced with this situation, the need for mediation to reconcile the patient or the physician who suffered a medical dispute. But it turns
  • 2. 370 Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014. out mediation facilitated by the mediator does not satisfy all parties, so it can not satisfy the warring parties. The existence of the 1st Court Regulation on 2008 about Mediation Procedures in court is one alternative that can be used for medical dispute resolution. Mediation procedures in compliance with the regulations allow the parties to mediation results because these results confirmed by a court decision. Key Words: medical disputes, mediation, High Court Regulation. I. PENDAHULUAN. Dalam amandemen Undang-undang Dasar 1945 tercantum “Setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan”. Hak untuk sehat oleh banyak orang sering ditafsirkan sebatas hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan medik/ kuratif. Pelayanan kesehatan kuratif hanya sebagian kecil dari hak untuk sehat karena sehat bukan hanya “tersembuhkan dari penyakit” tetapi meliputi hal yang jauh lebih luas. Pelayanan kesehatan lainnya meliputi promotif, preventif dan rehabilitatif. Banyak faktor yang ikut berperan terhadap kesehatan seseorang, antara lain pendidikan, perlindungan terhadap penyakit menular, tersedianya lingkungan (baik fisik maupun sosial) yang sehat, air bersih (safe water), makanan bergizi seimbang, dan rumah (shelter) yang sehat.1 Bekerja di bidang kesehatan adalah pekerjaan kemanusiaan yang mulia, bukan semata-mata karena kemampuan dalam menolong orang lain, namun lebih karena semua yang dikerjakan menyangkut kepentingan sesama. Memberikan pelayanan kesehatan tentunya harus dengan sikap professional, dengan ketinggian moral dan keluhuran budi yang memberikan kebahagiaan tertinggi dan dapat dirasakan oleh pemberi pelayanan maupun penerima pelayanan kesehatan.2 Ada satu hal yang jarang disadari dokter dalam menjalankan kesehatan atau kedokteran, yaitu bahwa pada saat menerima pasien untuk mengatasi masalah kesehatan baik di bidang kuratif, promotif, preventif maupun rehabilitatif sebetulnya telah terjadi transaksi atau persetujuan/ perjanjian antara kedua belah 1 Kartono Muhammad, Penerapan Hak Untuk Sehat, disampaikan pada Workshop and Conference Health and Human Right, 19-20 Maret 2003 di Jakarta, hlm 151. 2 Uton Muchtar Rafei, Health Politic – Menjangkau yang Tak Terjangkau, Health & Hospital Indonesia, Jakarta, 2007, hlm 221.
  • 3. 371 Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014. pihak dalam bidang kesehatan. 3 Di dalam hukum positif Indonesia, ketentuan mengenai kontrak/perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata tentang Perikatan (Van Verbintenissen), yang meletakkan hak-hak dan kewajiban kepada para pihak secara timbali balik. Dokter berkewajiban memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional sesuai dengan kode etik kedokteran, merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan setelah pasien meninggal dunia, serta menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran. Oleh karena itu pada dasarnya, seorang dokter dalam memberikan pelayanan medik kepada pasien selalu dituntut untuk mengutamakan rasa puas pasien (patient statisfaction) yaitu secara bertanggung jawab berupaya demi kesembuhan pasien.4 Salah satu prinsip dalam etika kedokteran adalah ‘primum non nocere’ yang maksudnya adalah bermaksud baik dan tidak ingin merugikan.5 Hal yang perlu dipahami terhadap pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh dokter bahwa pelayanan kesehatan yang dilakukan dokter merupakan sebuah usaha untuk menyembuhkan dan meningkatkan derajat kesehatan, yang memiliki kemungkinan berhasil tetapi juga bisa gagal. Kecelakaan medis dapat terjadi karena malpraktik medik ataupun adanya suatu risiko medis. Malpraktik terjadi karena kesalahan atau kelalaian dokter dalam melakukan tindakan medik dan dokter tidak melaksanakan profesinya sesuai standar pelayanan medis. Pada risiko medis, dokter sudah melaksanakan pelayanan medis sesuai standar tetapi terjadi risiko pada pelayanan medis, seperti adanya efek samping suatu obat atau adanya reaksi hipersensitif terhadap obat tertentu.6 Keadaan tersebut dapat menimbulkan terjadinya konflik atau sengketa antara dokter dengan pasien. 3 M. Jusuf Hanafiah & Amri Amir, Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan, Edisi ke-3, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1997, hlm 38-39 4 Jurnal Hukum Fakultas Hukum Universitas Suryakancana, Volume V, No 03, Edisi Februari-Mei 2009, Trini Handayani, Malpraktik dan Risiko Medis, hlm 105. 5 Ibid. 6 Jurnal Hukum, Op Cit, hlm 105.
  • 4. 372 Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014. Sarana untuk menyelesaikan sengketa di bidang kesehatan pada dasarnya dapat ditempuh 3 (tiga) cara. Pertama, negosiasi atau alternatif sengketa (ADR); kedua, arbitrase; dan ketiga melalui lembaga peradilan.7 Merujuk pada ketiga cara penyelesaian sengketa tersebut, secara historis, penyelesaian sengketa melalui cara mediasi telah lama dikenal dalam praktik hukum Islam. Hukum Islam yang dimaksud adalah hukum yang sumbernya dari wahyu Allah. Mediasi di dalam Islam disebut dengan tahkim yang berasal dari bahasa Arab dan berarti “Menyerahkan putusan pada seseorang dan menerima putusan itu”. 8 Praktik mediasi (tahkim) ini pernah juga dilakukan antara Ali bin Abi Thalib ra dengan Mu’awiyah bin Abu Sufyan kerabat dekat Usman dalam perang Shiffin. Perundingan damai berlangsung pada bulan Ramadan 34, setiap pihak menunjuk wakil yang akan menjadi juru penengah. Peristiwa ini dikenal dengan tahkim (arbitrase).9 Praktik mediasi lebih jelas lagi bila dilihat dalam kasus-kasus pertengkaran dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dinyatakan dalam Surat An-Nisa ayat 35: Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam (juru penengah) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. 7 P. Lindawaty S. Sewu, Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, Bahan Kuliah pada Program Magister Hukum Kesehatan, Universitas Katolik Soegijapranata. 8 Siti Juniah, Potret Mediasi dalam Islam, diunduh dari internet, 24 Oktober 2009, hlm 1. 9 Ensiklopedia Islam, jilid 1, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1993, hlm 113.
  • 5. 373 Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014. Secara umum, mediasi adalah salah satu alternatif penyelesaian sengketa. Ada 2 jenis mediasi, yaitu di dalam pengadilan dan di luar pengadilan. Mediasi di luar pengadilan ditangani oleh mediator swasta, perorangan, maupun sebuah lembaga independen alternatif penyelesaian sengketa yang dikenal sebagai Pusat Mediasi Nasional (PMN). Mahkamah Agung RI telah mengeluarkan PERMA No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, sebagai penyempurnaan Surat Edaran (SEMA) No.1 Tahun 2002 tentang pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama menerapkan lembaga Damai (Eks Pasal 130 HIR/154 RBg). Setelah dievaluasi pelaksanaan Prosedur Mediasi di Pengadilan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 ditemukan beberapa permasalahan, sehingga Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 direvisi dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan, untuk tujuan lebih mendayagunakan mediasi yang terkait dengan proses penyelesaian sengketa di Pengadilan.10 Kemudian penyelesaian sengketa melalui lembaga non peradilan atau penyelesaian sengketa di luar peradilan atau disebut juga Alternative Dispute Resolution (ADR) yang dilakukan dengan cara negosiasi, mediasi, konsiliasi dan penetapan ahli.11 Penyelesaian sengketa melalui mediasi dalam lembaga ini sifatnya tidak formal, melihat ke depan, kooperatif dan berdasarkan kepentingan. Seorang mediator membantu pihak-pihak yang bersedia merangkai kesepakatan dan memandang ke depan serta memenuhi kebutuhan sesuai dengan standar kejujuran mereka sendiri.12 Manfaat penyelesaian sengketa medik melalui mediasi, yaitu: (1). Lebih sederhana daripada penyelesaian melalui proses hukum acara perdata; (2). Efisien; (3). Waktu singkat; (4). Rahasia; (5). Menjaga hubungan baik para pihak; (6). Hasil mediasi merupakan kesepakatan; (7). Berkekuatan hukum tetap, 10 Ibid. 11 Siti Juniah, Op Cit, hlm 3. 12 Ibid.
  • 6. 374 Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014. dan (8). Akses yang luas bagi para pihak yang bersengketa untuk memperoleh rasa keadilan. Namun demikian, meskipun penyelesaian sengketa medik melalui mediasi ini memiliki banyak manfaat, pada praktiknya tidak terlepas dari hambatan- hambatan yaitu belum adanya aturan yang secara khusus mengatur mengenai hal tersebut, masih adanya aparat penegak yang memiliki paradigma berpikir bahwa kasus-kasus malpraktik merupakan kasus yang menguntungkan sehingga sering dijadikan alat untuk melakukan kompromi hukum yang mengesampingkan hukum, serta masih rendahnya pengetahuan masyarakat tentang hukum dan ilmu kedokteran selalu dimanfaatkan untuk melindungi dirinya dalam penyelesaian suatu sengketa. II. PEMBAHASAN. Salah satu tujuan pembangunan kesehatan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bentuk sengketa beraneka ragam dan keanekaragamannya menentukan inti permasalahan, setiap permasalahan memiliki lika-liku yang pada akhirnya muncul ke permukaan. Berbagai faktor individual maupun pengaruh lingkungan dapat menguasai emosi para pihak yang bersengketa melalui pertentangan tertentu yang kadang-kadang tidak dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Oleh karena itu akan paling efektif kalau dapat diselesaikan pada putusan final dan mengikat melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), baik melalui bentuk APS tertentu maupun arbitrase. Sengketa tersebut dapat diputus atau setidak-tidaknya diklarifikasi dengan mempersemit persoalannya melalui mekanisme APS yang
  • 7. 375 Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014. tepat. Beberapa bentuk sengketa dapat diselesaikan melalui negosiasi langsung oleh para pihak tanpa perlu bantuan pihak ketiga. 13 Kesehatan sebagai hak asasi manusia harus diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang berkualitas. Penyelenggaraan praktik kedokteran yang merupakan inti dari berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan harus dilakukan oleh dokter yang memiliki etik dan moral yang tinggi, keahlian dan kewenangan yang secara terus menerus mutunya perlu ditingkatkan melalui pendidikan. Berdasarkan perangkat keilmuan yang dimilikinya, dokter mempunyai karakteristik yang khas. Kekhasannya ini terlihat dari pembenaran yang diberikan oleh hukum yaitu diperkenankannya dokter melakukan tindakan medis terhadap tubuh manusia dalam upaya memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan. Namun demikian, meskipun dokter memiliki kekhasan untuk melakukan tindakan medis terhadap tubuh manusia, tindakan dokter tersebut baru dapat dilakukan apabila ada persetujuan terlebih dahulu khususnya dari pasien, sehingga timbullah hubungan hukum antara pasien dengan dokter. Praktik kedokteran dilaksanakan berasaskan Pancasila dan didasarkan pada nilai ilmiah, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, serta perlindungan dan keselamatan pasien. Dalam melaksanakan praktik kedokterannya, dokter mempunyai kewajiban : (1). Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien; (2). Merujuk pasien ke dokter atau dokter lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan; (3). Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia; (4). Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila dokter yakin ada orang lain yang bertugas dan 13 H. Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif penyelesaian Sengketa (sebuah pengantar), PT Fikahati Aneska bekerja sama dengan BANI, Jakarta, 2002, hal. 1-2.
  • 8. 376 Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014. mampu melakukannya; dan (5). Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran. Adapun Hak Pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, yaitu : (1) Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis; (2). Meminta pendapat dokter atau dokter lain; (3). Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis; (4). Menolak tindakan medis; dan (5). Mendapatkan isi rekam medis. Selain memiliki hak, pasien pun dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai kewajiban : (1). Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya; (2). Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter (3). Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan (4). Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima. Pelaksanaan hak-hak dan kewajiban yang dilakukan dokter maupun pasien adakalanya tidak dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Mungkin saja pasien tidak memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya, sehingga hasil tindakan medis tersebut tidak sesuai harapan, bahkan berdampak pada adanya risiko medik yang tidak diharapkan dari pasien. Bahkan pada praktek kedokteran selalu mungkin terjadi adanya kejadian yang tidak diharapkan seperti ketidaknyamanan, kecacatan, sampai kematian dari pasien, padahal para pihak telah melaksanakan hak-hak dan kewajibannya secara baik. 14 Dampak dari semua itu, menimbulkan konflik atau sengketa antara dokter dan pasien. Konflik’ berasal mula dari kata asing conflict yang berasal dari kata confligere (yang berarti bersama atau bersaling-silang)+ fligere (yang berarti ‘tubruk’ atau ‘bentur’). Jika didefinisikan secara bebas dari arti harafiahnya itu, ‘konflik’ adalah ‘perbenturan’ antara dua pihak yang tengah berjumpa dan bersilang jalan pada suatu titik kejadian, yang berujung pada terjadinya benturan. Konflik atau sengketa adalah perselisihan atau perbedaan pendapat (persepsi) yang terjadi antara dua pihak atau lebih karena adanya pertentangan 14 Wawang S. Sukarya, Gugatan Pasien dan Patien Safety, Seminar Penyelesaian Sengketa Medik Melalui Mediasi, Hotel Panghegar, Bandung, 3 November 2008, hlm. 1.
  • 9. 377 Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014. kepentingan yang berdampak pada terganggunya pencapaian tujuan yang diinginkan oleh para pihak.15 Oleh karena itu, konflik atau sengketa yang terjadi harus cepat diselesaikan oleh para pihak dengan menggunakan lembaga atau pranata yang tersedia, baik secara formal (melalui lembaga litigasi) maupun non- formal (nonlitigasi).16 Menurut Priyatna Abdurayid, sengketa juga berhubungan dengan soal yang sederhana atau kompleks dan melibatkan berbagai jenis persoalan, misalnya: 1. Kenyataan yang mungkin timbul akibat kredibilitas para pihak itu sendiri, atau dari data yang diberikan oleh pihak ketiga termasuk penjelasan- penjelasan tentang kenyataan data tersebut; 2. Masalah hukum yang pada umumnya akibat dari pendapat atau tafsiran menyesatkan yang diberikan oleh para ahli hukum; 3. Akibat perbedaan teknis, termasuk perbedaan pendapat dari ahli teknik dan professional dari para pihak; 4. Perbedaan pemahaman tentang sesuatu hal yang muncul, misalnya dalam penggunaan kata-kata yang membingungkan atau adanya perbedaan asumsi; 5. Perbedaan persepsi mengenai keadilan, konsep keadilan dan moralitas, budaya, nilai-nilai dan sikap.17 Menurut penulis, sengketa medis adalah sengketa yang terjadi antara dokter dan pasien atau keluarga pasien atas hasil diagnosa penyakit atau pengobatan penyakit yang tidak memuaskan pasien atau keluarganya. Adanya suatu efek samping obat atau tindakan tertentu, adanya suatu reaksi allergi (idiosinkrasi), adanya kegagalan pengobatan sering dianggap oleh pasien maupun keluarganya sebagai suatu malpraktik kedokteran. Berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap dokter, maraknya tuntutan hukum oleh masyarakat pada dewasa ini disebabkan oleh kegagalan 15 Candra Irawan, Aspek Hukum dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Alternative Dispute Resolution) di Indonesia, C. V. Mandar Maju, 2010, hlm 2. 16 Ibid. 17 Priyatna Abdurasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Suatu Pengantar), PT Fikahati dan BANI, Jakarta, 2002, hlm 5-6.
  • 10. 378 Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014. upaya penyembuhan oleh dokter. Walaupun kegagalan penerapan ilmu pengetahuan kedokteran tidak selalu identik dengan gagalnya dalam tindakan pelayanan.18 Pada kasus di negara maju, dapat disimpulkan bahwa kategori-kategori malpraktik medik yang banyak terjadi seringkali berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut: 1. Kegagalan atau salah dalam melakukan diagnosa (failure to diagnose); 2. Kesalahan teknis dalam pembedahan (technical surgical errors); 3. Reaksi terhadap kerugian akibat ketidakcocokan obat khususnya penisilin dan tetanus antitoksin (pendapat penulis, merupakan reaksi alergi/ idiosinkrasi terhadap antibiotik maupun antitoksin dan ini merupakan adverse effect/ efek yang tidak diharapkan); 4. Pelayanan yang salah atau tidak patut (improper treatment); 5. Ketiadaan proper informed consent; 6. Improper supervision.19 Perbuatan Malpraktik Medik akan berdampak yuridis luas, baik dalam bidang hukum perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi/ disipliner. Dalam bidang hukum perdata misalnya, melakukan wanprestasi, melakukan perbuatan melawan hukum, kelalaian yang mengakibatkan kerugian, melalaikan pekerjaan sebagai penanggung jawab. Beberapa contoh kasus dalam bidang hukum pidana, misalnya penipuan terhadap pasien, membuat surat keterangan palsu, kelalaian yang menyebabkan mati atau luka, pelanggaran kesusilaan, pengguguran tanpa indikasi medis, pembocoran rahasia pasien, menelantarkan pasien, euthanasia. Dalam bidang hukum administrasi/ disipliner misalnya praktik tanpa izin, melanggar kode etik, dan sebagainya.20 Sebagaimana telah disebutkan di atas, sarana untuk menyelesaikan sengketa di bidang kesehatan pada dasarnya dapat ditempuh 3 (tiga) cara. 18 S. Soetrisno, Malpraktek Medik dan Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, Telaga Ilmu, 2010, hlm 1. 19 Idem, hlm 7. 20 Ibid.
  • 11. 379 Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014. Pertama, negosiasi atau alternatif sengketa (ADR); kedua, arbitrase; dan ketiga melalui lembaga peradilan.21 Di dalam upaya mengatasi kemungkinan penumpukan perkara di pengadilan, maka dilakukanlah pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan, karena mediasi sebagaimana diatur dalam Perma No. 1 Tahun 2008 adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator, yang dapat dilakukan secara lebih cepat, murah, serta dapat memberikan akses kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan atau penyelesaian yang memuaskan atas sengketa yang dihadapi. Ruang lingkup penyelesaian sengketa secara mediasi yang dapat dilakukan melalui Perma No. 3 Tahun 2002 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (sekarang diubah menjadi Perma Nomor 1 Tahun 2008), termasuk di dalamnya penyelesaian sengketa medis antara dokter dengan pasien. Penyelesaian sengketa termasuk di dalamnya penyelesaian sengketa medis memang sulit, namun mediasi dapat memberikan keuntungan penyelesaian sengketa, yaitu : 1. Mediasi diharapkan menyelesaikan sengketa secara cepat dan relatif murah, 2. Mediasi akan memfokuskan para pihak pada kepentingannya secara nyata dan pada kebutuhan emosi atau psikologisnya, 3. Mediasi akan memberikan kesempatan kepada para pihak untuk berpartisipasi secara langsung dan secara informal dalam menyelesaian perselisihannya, 4. Memberi para pihak kemampuan untuk melakukan kontrol terhadap proses dan hasilnya, 5. Memberikan hasil yang akan mampu menciptakan saling pengertian yang lebih baik di antara para pihak yang bersengketa karena mereka sendiri yang memutuskan. 21 P. Lindawaty S. Sewu, Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, Bahan Kuliah pada Program Magister Hukum Kesehatan, Universitas Katolik Soegijapranata.
  • 12. 380 Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014. Bentuk sengketa beraneka ragam, dan keanekaragamannya menentukan inti permasalahan yang pada akhirnya intinya akan muncul ke permukaan. Berbagai faktor dapat mempengaruhi emosi para pihak yang bersengketa, sehingga pertentangan seringkali tidak dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Penyelesaian sengketa yang paling efektif apabila diputuskan secara final dan mengikat melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) maupun arbitrase. Sengketa akhirnya dapat diselesaikan atau diklarifikasi dengan mempersempit persoalan melalui mekanisme APS yang tepat. Beberapa sengketa dapat diselesaikan melalui negosiasi langsung oleh para pihak tanpa bantuan pihak ketiga. Sengketa lainnya menghendaki bantuan dan ketajaman pihak ketiga yang independen dengan mekanisme yang disusun secara cermat melalui penelitian, evaluasi permasalahan, penjajagan kepentingan, juga meempelajari faktor emosi yang tersembunyi serta menerapkan cara yang efektif dengan memanfa’atkan APS sehingga tercapai suatu penyelesaian final dan mengikat.22 Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution = ADR) menawarkan berbagai bentuk proses penyelesaian sengketa yang fleksibel dengan menerapkan satu atau beberapa mekanisme yang dirancang sesuai dengan kebutuhan sehingga penyelesaian sengketa mencapai suatu penyelesaian final. Memahami sengketa secara tepat dengan memperhitungkan berbagai implikasinya, akan membantu pihak ketiga dalam menyelesaikan sengketa tersebut. Pihak ketiga yang independen diharapkan memiliki keyajaman analisis (pandangan), motivasi, aspirasi serta memperhatikan kepentingan para pihak yang bersengketa. Pada akkhirnya, pihak ketiga yang independen ini akan bekerja secara teliti dan efektif sesuai dengan permasalahan yang dihadapi.23 Ada beberapa cara yang dapat ditempuh oleh para pihak dalam menyelesaikan perselisihan yang timbul, antara lain: a. Melalui perjanjian informal; b. Melalui konsiliasi; 22 H. Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Fikahati Aneska, Jakarta, 2002, hlm. 1-2. 23 ibid, hlm. 2-3.
  • 13. 381 Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014. c. Melalui arbitrase; d. Melalui pengadilan.24 Apabila para pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa yang timbul secara baik-baik, penyelesaian sengketa tersebut dapat diperjanjikan untuk diselesaikan di luar hukum acara. Perjanjian yang telah disepakati bersama merupakan undang-undang bagi yang bersangkutan (pacta sunt servanda). Ini berarti bahwa yang dijadikan dasar hukum dalam Alternative Dispute Resolution (ADR) atau mekanisme penyelesaian sengketa untuk menyelesaikan perselisihannya di luar hakim negara.25 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal 58, menyebutkan bahwa upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa. Selanjutnya pada Pasal 59 menjelaskan bahwa arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Selanjutnya di ayat berikut dijelaskan bahwa putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap serta mengikat para pihak. Apabila para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa. Selanjutnya pada Pasal 60 dijelaskan tentang alternatif penyelesaian sengketa merupakan lembaga atau penyelesaian sengketa beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Pada ayat berikutnya dijelaskan bahwa hasil kesepakatan penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa dituangkan ke dalam kesepakatan tertulis. Pada ayat terakhir disampaikan bahwa kesepakatan tertulis tersebut bersifat final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik. 24 Suyud Margono, Alternative Dispute Resolution & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004, hlm. 15-16. 25 Ibid.
  • 14. 382 Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014. Selanjutnya dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa disampaikan bahwa penyelesaian sengketa harus diselesaikan pada pertemuan langsung para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan pada suatu kesepakatan tertulis. Apabila tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis, para pihak meminta bantuan seorang atau lebih penasihat ahli maupun melalui seorang mediator. Apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari tidak tercapai kesepakatan lagi, maka para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrasi atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator. Dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi harus sudah dapat dimulai, kemudian dalam waktu maksimal 30 (tigapuluh) hari harus sudah tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak yang terkait. Pada ayat terakhir dijelaskan bahwa kesepakatan penyelesaian sengketa adalah final dan mengikat para pihak untuk dapat dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib didaftarkan ke Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tigapuluh) hari sejak penandatanganan. Menurut Philip D. Bostwick, Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah ‘a set of practices and legal techniques that aim’ (suatu perangkat praktis dan cara yang resmi dengan tujuan): 1. To permit legal disputes to be resolved outside the courts for the benefit of all disputants (menyelesaikan sengketa hukum di luar pengadilan demi keuntungan para pihak); 2. To reduce the cost of conventional litigation and the delay to which it is ordinarily subjected (mengurangi biaya litigasi konvensional dan lamanya waktu yang diperlukan); 3. To pevent legal disputes that would otherwise likely be brought to the court (mencegah terjadinya sengketa hukum yang biasanya diajukan ke pengadilan).26 26 H. Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Fikahati Aneska, Jakarta, 2002, hlm. 15.
  • 15. 383 Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014. Karakteristik Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), yaitu: 1. Bukan merupakan badan peradilan negara yang mempunyai kewenangan memaksa, seperti Pengadilan Negeri; 2. Merupakan lembaga penyelesaian sengketa swasta yang biasa disebut sebagai lembaga ekstrayudisial; 3. Dipilih para pihak sebagai pilihan penyelesaian sengketa secara sukarela sesuai dengan perjanjian atau kesepakatan bersama; 4. Eksekusi putusan tidak serta merta, tetapi masih memerlukan eksekusi dari Pengadilan Negeri, kecuali para pihak dengan segenap kesadaran dan sukarela melaksanakan putusan tersebut.27 Pencarian metode alternatif untuk mencegah dan menyelesaikan sengketa adalah sesuatu yang urgen dalam masyarakat. Para ahli yang biasanya terdiri dari ahli non-hukum banyak mengeluarkan energi dan inovasi untuk mengkreasikan berbaga bentuk penyelesaian sengketa, baik formal maupun informal dan dapat dijadikan acuan untuk menjawab sengketa yang mungkin timbul.28 Proses Penyelesaian Sengketa: 1. Proses adjudikasi (adjudicative processes); 2. Arbitrase (arbitration); 3. Proses adjudikasi semu (quasi adjudicatory processes). Pada proses adjudikasi (adjudicative processes) terdapat 2 (dua) proses, yaitu litigasi (litigation) dan arbitrase (arbitration). Adjudikasi publik atau litigasi menjamin perlakuan yang adil kepada para pihak, kesempatan para pihak untuk didengar, serta menyelesaikan sengketa dan menjaga ketertiban umum sehingga dapat menjunjung nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Litigasi adalah proses gugatan atas suatu konflik yang diritualisasikan untuk menggantikan konflik yang sesungguhnya, di mana para pihak menyerahkan kepada seorang pengambil keputusan atas 2 (dua) pilihan yang 27 Candra Irawan, Aspek Hukum dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Alternative Dispute Resolution) di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2010, hlm. 26. 28 Suyud Margono, Alternative Dispute Resolution & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004, hlm.23.
  • 16. 384 Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014. bertentangan. Litigasi merupakan proses yang sangat dikenal (familiar) bagi para lawyer dengan karakteristik adanya pihak ketiga yang mempunyai kekuatan untuk memutuskan (to impose) solusi diantara para pihak yang bersengketa. Litigasi diartikan sebagai proses administrasi dan peradilan (court and administrative proceeding). Menurut Eisenberg litigation are court and administrative proceedings, the most familiar process to lawyer, features a third party with power to imposed solution upon the disputants. It usually produce a “win/ los” result. 29 Litigasi sangat bermanfa’at untuk menemukan kesalahan dan masalah pihak lawan. Litigasi juga memberikan suatu standar prosedur yang adil dan memberikan peluang yang luas kepada para pihak untuk didengar keterangannya sebelum diambil keputusan.30 Kelemahan litigasi adalah memaksa para pihak pada posisi yang ekstrim dan memerlukan pembelaan atas setiap maksud yang dapat mempengaruhi putusan. Litigasi juga mengangkat seluruh persoalan dalam suatu perkara, baik persoalan materi maupun prosedur dan mendorong para pihak melakukan penyelidikan fakta. Litgasi tidak cocok untuk sengketa yang bersifat polisentris (melibatkan banyak pihak, banyak persoalan dan beberapa kemungkinan alternatif penyelesaian sengketa). Proses litigasi mensyaratkan pembatasan sengketa dan persoalan-persoalan sehingga para hakim atau para pengambil keputusan lainnya dapat lebih siap membuat keputusan. Kelemahan litigasi yang lainnya adalah memaksa pihak yang tidak memiliki sumber daya yang sama untuk menyelesaiakn masalah menurut syarat-syarat yang menguntungkan pihak lain.31 Pada arbitrase, para pihak setuju untuk menyelesaikan sengketanya kepada pihak netral yang mereka pilih untuk menyelesaikan sengketa. Arbitrase merupakan salah satu bentuk adjudikasi privat, namun dalam beberapa hal 29 Suyud Margono, Alternative Dispute Resolution & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004, hlm.24. 30 Idem. 31 Ibid, hlm. 25.
  • 17. 385 Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014. mempunyai kelebihan dan kelemahan seperti adjudikasi publik. Arbitrase pada prinsipnya adalah menghindari pengadilan. Dibandingkan dengan litigasi, arbitrase lebih memberikan kebebasan, pilihan penyelesaian sengketa, otonomi dan menjamin kerahasiaan para pihak yang bersengketa. Para pihak dapat memilih hakim yang mereka inginkan, berbeda dengan sistem pengadilan yang hakimnya telah ditetapkan terlebih dahulu. Hal ini dapat menjamin kenetralan dan keahlian yang mereka anggap perlu dalam menangani sengketa mereka. Proses arbitrase dapat berlangsung lebih cepat dan murah karena para pihak memilih hakimnya sendiri, lebih informal, prosedur tidak terlalu kaku dan dapat menyesuaikan kondisi para pihak yang bersengketa. Berdasarkan Undang- undang Nomor 30 Tahun 1999, pengertian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulia dan dibuat para pihak sebelum timbulnya sengketa atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.32 III. PENUTUP. a. Kesimpulan. Sengketa medis antara pasien dan dokter terjadi akibat efek yang tidak diharapkan terhadap hasil pengobatan. Hasil pengobatan yang tidak sesuai harapan, seperti terjadinya efek samping dari pengobatan, terjadinya kecacatan bahkan kematian ataupun adanya reaksi alergi yang tidak dapat diduga sebelumnya dapat memicu adanya sengketa tersebut. Penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator, dapat lebih cepat, murah, serta dapat memberikan akses kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan atau penyelesaian sengketa yang memuaskan. Ruang lingkup penyelesaian sengketa secara mediasi yang dapat dilakukan melalui Perma No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, termasuk di dalamnya penyelesaian sengketa medis antara dokter dengan pasien. 32 Suyud Margono, Alternative Dispute Resolution & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004, hlm.26-27.
  • 18. 386 Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014. Penyelesaian sengketa medis memang sulit, namun mediasi dapat memberikan keuntungan penyelesaian sengketa, yaitu: cepat, relatif murah dan yang terpenting dari semua itu adalah semua pihak merasa puas karena mereka yang memutuskan penyelesaian tersebut. b. Saran. Melaksanakan kegiatan audit medis pada setiap kasus sengketa medis antara pasien dan dokter, dalam upaya penyelesaian sengketa medis yang memenuhi rasa keadilan, para pihak diundang untuk menghadiri kegiatan tersebut. Pada kegiatan audit medis, dihadirkan dokter spesialis yang sesuai dengan bidang sengketa medis sehingga dapat dipahami pada semua pihak dan objek sengketa menjadi lebih jelas dan diharapkan memudahkan untuk diselesaikan secara mediasi. Apabila salah satu pihak atau para pihak mengharapkan putusannya mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dapat dimintakan untuk didaftarkan ke pengadilan dan dibuat putusan pengadilan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan.
  • 19. 387 Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014. DAFTAR PUSTAKA A. Buku. Abdurrahman, Penyelesaian Sengketa melalui Mediasi Pengadilan dan Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa, dalam buku Perspektif Pembaharuan, Perum Percetakan Negara Republik Indonesia, Jakarta, 2008. Anny Isfandyarie, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter, Buku I, Prestasi Pustaka, Jakarta. Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan-Pertanggungjawaban Dokter, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2005. Candra Irawan, Aspek Hukum dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Alternative Dispute Resolution) di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2010. H. Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Fikahati Aneska, Jakarta, 2002. _____________________, Arbitrase dan Alternatif penyelesaian Sengketa (sebuah pengantar), PT Fikahati Aneska bekerja sama dengan BANI, Jakarta, 2002. Munir Fuady, Sumpah Hippocrates (Aspek Hukum Malpraktik Dokter), PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005. M. Jusuf Hanafiah & Amri Amir, Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan, Edisi ke-3, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1997. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia, 1984. S. Soetrisno, Malpraktek Medik dan Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, Telaga Ilmu, 2010. Suyud Margono, Alternative Dispute Resolution & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004. Uton Muchtar Rafei, Health Politic-Menjangkau yang Tak Terjangkau, Health & Hospital Indonesia, Jakarta, 2007.
  • 20. 388 Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014. B. Peraturan Atau Undang-Undang. Kitab Undang-undang Hukum Perdata; Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Penyelesaian Sengketa dengan Mediasi melalui Lembaga Peradilan. C. Makalah, Artikel, Jurnal, Majalah, Internet, dan Lain-Lain. Bahan Kuliah Alternatif Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan pada Program Magister Hukum Kesehatan, Universitas Katolik Soegijapranata. P. Lindawaty S. Sewu. Ensiklopedia Islam, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1993. Jurnal Hukum, Fakultas Hukum Universitas Suryakancana Cianjur, Volume V, Nomor 03, Edisi Februari-Maret 2009. Kartono Muhammad, Penerapan Hak Untuk Sehat, disampaikan pada Workshop and Conference Health and Human Right, 19-20 Maret 2003 di Jakarta. Makalah Seminar Perselisihan Kedokteran dan ADR oleh Kazuto Inaba (Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Kurume & Sekolah Hukum Universitas Chukyo). Siti Juniah (Calon Hakim Pengadilan Agama Balikpapan), Potret Mediasi dalam Islam, diunduh dari internet, 24 Oktober 2009. Wawang S. Sukarya, Gugatan Pasien dan Patien Safety, Seminar Penyelesaian Sengketa Medik Melalui Mediasi, Hotel Panghegar, Bandung, 3 November 2008.