1. 1
KEMISKINAN DAN
KESENJANGAN PENDAPATAN
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
Permasalahan Pokok
Hubungan antara Pertumbungan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan
Hubungan Antara Pertumbungan Ekonomi dan Kemiskinan
Beberapa Indikator Kesenjangan dan Kemiskinan
Apakah Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia Menurun?
Pertanian Sumber Utama Kemiskinan
Kebijakan Anti-Kemiskinan
A. PERMASALAHAN POKOK
Ketimpangan yang besar dalam distribusi pendapatan (yang dimaksud dengan
kesenjangan ekonomi) dan tingkat kemiskinan merupakan dua masalah besar di
banyak NSB, tidak terkecuali di Indonesia. Dikatakan besar karena jika dua masalah
ini berlarut-larut atau dibiarkan semakin parah, pada akhirnya akan menimbulkan
konsekuensi politik dan social yang sangat serius. Suatu pemerintahan bisa jatuh
karena amukan rakyat miskin yang sudah tidak tahan lagi mengahadapi
kemiskinannya. Bahkan kejadian tragedy Mei 1998 menjadi suatu pertanyaan
(hipotesis) hingga sekarang: andaikan tingkat kesejahteraan masyarat di Indonesia
sama seperti misalnya di Swiss, mungkinkah mahasiswa akan begitu ngotot
berdemonstrasi hingga akhirnya membuat rezim Soeharto jatuh pada bulan Mei
1998?
Pada awal periode orde baru hingga akhir dekade tahun 1970-an, strategi
pembangunan ekonomi yang dianut oleh pemerintahan Soeharto lebih berorientasi
kepada pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Pembangunan terpusat di Pulau Jawa, dengan harapan akibat dari pembangunan itu
akan menetes ke sektor-sektor dan wilayah Indoneisa lainnya.
Konsep pembangunan yang terpusat di Pulau Jawa yang diharapkan akan membawa
efek menetes ke seluruh tanah air, terbukti tetesannya sangat lambat. Akibat dari
strategi pembangunan yang terpusat di Pulau Jawa adalah terjadinya krisis ekonomi
pada tahun 1997, Indonesia memang menikmati laju pertumbuhan ekonomi rata-rata
per tahun yang tinggi, tetapi tingkat kesenjangan dalam pembagian PN juga semakin
besar dan jumlah orang miskin tetap banyak, bahkan meningkat tajam sejak krisis
ekonomi.
Sejak pelita III strategi pembangunan mulai diubah, tidak lagi hanya terfokus pada
pertumbuhan ekonomi, tetapi peningkatan kesejahteraan masyarakat menjadi tujuan
utama daripada pembangunan.
Usaha yang dilakukan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat adalah lewat pembanguan industri-isndustri padat karya,
pembanguan pedesaan, dan modernisasi sector pertanian. Sayangnya, krisis ekonomi
tiba-tiba muncul yang diawali oleh krisis nilai tukar rupiah pada pertengahan kedua
2. 2
tahun 1997 dan sebagai salah satu akibat langsungnya, jumlah orang miskin dan gap
dalam distribusi pendapatan di tanah air membesar, bahkan menjadi jauh lebih buruk
dibandingkan dengan kondisi sebelum krisis.
B. HUBUNGAN ANTARA PERTUMBUHAN EKONOMI DAN DISTRIBUSI
PENDAPATAN.
Data dekade 1970-an dan 1980-an mengenai pertumbuhan ekonomi dan distribusi
pendapatan di banyak NSB, terutama Negara-negara yang proses pembangunan
ekonominya sangat pesat dan dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, seperti
Indonesia, menunjukkan seakan-akan ada suatu korelasi positif antara laju
pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kesenjangan dalam distribusi
pendapatan: smakin tinggi pertumbuhan PDB atau semakin besar pendapatan
per kapita semakin besar perbedaan antara kaum miskin dan kaum kaya.
Jantti (1997) di dalam studinya membuat suatu kesimpulan bahwa semakin
membesarnya ketimpangan dalam distribusi pendapatan di Negara-negara (Sweden,
Inggris, AS dan beberapa Negara lainnya di Eropa Barat) disebabkan oleh
pergeseran-pergeseran demografi, perubahan pasar buruh, dan perubahan kebijakankebijakan publik.
Dalam hal perubahan pasar buruh, membesarnya kesenjangan pendapatan dari kepala
keluarga dan semakin besarnya saham pendapatan dari istri di dalam total
pendapatan keluarga merupakan dua fackor penyebab penting.
Literatur mengenai evolusi atau perubahan kesenjangan pendapatan pada awalnya
didominasi oleh apa yang disebut hipotesis Kuznets. Dengan memakai data lintas
Negara dan data deret waktu dari sejumlah survey/obsevasi di setiap Negara, Simon
Kuznets menemukan adanya suatu relasi antara kesenjangan pendapatan dan
tingkat pendapatan per kapita yang berbentuk U terbalik.
Hasil ini
diinterpretasikan sebagai evolusi dari distribusi pendapatan dalam proses transisi dari
suatu ekonomi perdesaan ke suatu ekonomi perkotaan, atau dari ekonomi pertanian
(tradisional) ke ekonomi industri-industri (modern): pada awal proses pembangunan,
ketimpangan pendapatan bertambah besar sebagai akibat dari proses urbansisasi dan
industrialisasi, tetapi setelah itu pada tingkat pembangunan yang lebih tinggi atau
“akhir” dari proses pembangunan ketimpangan menurun, yakni pada saat sector
industri di perkotaan sudah dapat menyerap sebagian besar tenaga kerja yang datang
dari perdesaan (sector pertanian), atau pada saat pangsa pertanian lebih kecil di dalam
produksi dan penciptaan pendapatan.
Sebagian besar studi-studi hipotesis Kuznets menunjukkan bahwa relasi positif antara
pertumbuhan ekonomi dan pemerataan dalam distribusi PN pada periode jangka
panjang hanya terbuktu nyata untuk kelompok NM.
3. 3
C. HUBUNGAN ANTARA PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN.
Dasar terori dari korelasi antara pertumbuhan pendapatan per kapita dan tingkat
kemiskinan tidak berbeda dengan kasus pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan
dalam distribusi pendapatan, seperti yang telah dibahas di atas. Mengikuti hipotesis
Kuznets, pada awal dari proses pembangunan, tinkat kemiskinan cenderung
meningkat, dan pada saat mendekati tahap akhir pembangunan jumlah orang miskin
berangsur-angsur berkurang.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan antara lain: -Pertumbuhan
pendapatan, -derajat pendidikan tenaga kerja, -dan struktur ekonomi.
Dasar persamaan untuk menggambarkan relasi antara pertumbuhan output agregat
dan kemiskinan dapat diambil dari persamaan berikut:
Log Gkt = a + bLogWkt + ak + Skt
(4.1)
Dalam persamaan tersebut, elastisitas dari ketidakmerataan dalam distribusi
pendapatan terhadap pertumbuhan pendapatan adalah suatu komponen kunci dari
perbedaan antara efek bruto (ketimpangan konstan) dan efek neto (ada efek dari
perubahan ketimpangan) dari pertumbuhan pendapatan terhadap kemiskinan.
Apabila elastisitas neto dan bruto dari kemiskinan terhadap pertumbuhan pendapatan
dinyatakan masing-masing dengan g dan l, elastisitas dari ketimpangan terhadap
pertumbuhan dengan b, dan elastisitas dari kemiskinan terhadap ketimpangan dengan
d, maka di dapat persamaan sebagai berikut:
1 = g + bd
(4.2)
Untuk mendapatkan elastisitaas bruto dari kemiskinan terhadap pertumbuhan dan
elastisitas dari kemiskinan terhadap ketimpangan (pertumbuhan sebagai variable yang
dapat dikontrol) digunakan persamaan sebagai berikut:
Log Pkt = w + Log Wkt + LogGkt + wk + vkt
(4.3)
Dimana Pkt = kemiskinan untuk wilayah k pada periode t; W kt dan Gk seperti di
persamaan (4.1), wk = efek-efek yang tetap atau acak; dan vkt = term kesalahan.
Sudah cukup banyak studi empris dengan pendekatan analisis lintas Negara yang
menguji relasi antara pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan, dan hasilnya
menunjukkan bahwa memang ada suatu korelasi yang kuat antara kedua variable
ekonomi makro tersebut.
Akhir-akhir ini juga cukup banyak studi yang mencoba membuktikan adanya
pengaruh dari pertumbuhan output sektoral terhadap pengurangan jumlah orang
miskin. Dengan kata lain, kemiskinan tidak hanya berkorelasi dengan pertumbuhan
4. 4
output agregat atau PDB atau PN, tetapi juga dengan pertumbuhan output di sektorsektor ekonomi secara individu.
Studi dari Ravlon Datt (1996a,b) dengan memakai data dari India menemukan bahwa
pertumbuhan output di sektor-sektor primer, khususnya pertanian, jauh lebih efektif
terhadap penurunan kemiskinan dibandingkan seckor-sektor sekunder. Sektor-sektor
sekunder tidak punya efek yang berarti terhadap penurunan kemiskinan di perdesaan
maupun di perkotaan.
Kakwani (2001) juga melaporkan hasil yang sama dari penelitiannya untuk kasus
Filipina. Dikatakan di dalam studinya bahwa, sementara peningkatan 1% output di
sektor pertanian mengurangi jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan
sedikit di atas 1%, persentase pertumbuhan yang sama dari output di sector industri
dan di sector jasa hanya mengakibatkan pengurangan kemiskinan 1/4% hingga 1/3%.
Studi dari ADB (1997) mengenai Negara-negara industri baru di Asia Tenggara
(NICs), seperti Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura, yang hasil studinya
menunjukkan bahwa pertumbuhan output di sector industri manufaktur mempunyai
dampak positif yang sangat besar terhadap peningkatan kesempatan kerja dan
penurunan kemiskinan.
Hasan dan Quibria(2002) juga melakukan studi untuk menguji secar empris dampak
dari pola pertumbuhan output menurut sektor terhadap penurunan kemiskinan dengan
menggunakan data panel dari 45 negara di Asia Timur dan Selatan, Amerika Latin
dan Karibian, dan Afrika Sub-Sahara. Model yang digunakan untuk mengestimasi
pengaruh dari pertumbuhan PDB terhadap tingkat kemiskinan pada prinsipnya sama
seperti persamaan (4.3). Sedangkan untuk mengukur relasi antara kemiskinan dan
pertumbuhan sektoral, mereka mengestimasi persamaan berikut ini:
LnP = a + b1LnY1 + b2LnY2 + b3LnY3 + u + R
(4.4)
Di mana P adalah kemiskinan yang didefinisikan sebagai suatu fraksi dari jumlah
populasi dengan pengeluaran konsumsi di bawah suatu tingkat pengeluran minimum
tertentu yang telah diterapkan sebelumnya atau garis kemiskinan; Y mewakili tingkat
output per kapita di tiga sektor; pertanian, industri pengolahan, dan jasa; sedangkan u
dan R adalah term kesalahan.
Hasan dan Quibria (2002) dengan modelnya memberi kesan bahwa ada korelasi
negative antara tingkat pendapatan dan kemiskinan: Semakin tinggi tingkat
pendapatan per kapita semakin rendah tingkat kemiskinan, dengan kata lain, Negaranegara dengan tingkat PN per kapita yang leblih tinggi cenderung mempunyai tingkat
kemiskinan yang lebih rendah dibandingkan Negara-negara yang tingkat PN per
kapitanya lebih rendah. Nilai dari koefisien korelasi tersebut menurut empat wilayah
tersebut dijabarkan di table 4.1. Dapat dilihat bahwa elestisitas pertumbuhan
pendapatan dari kemiskinan untuk Asia Timur adalah tertinggi, disusul kemudian
oleh Amerika Latin, Asia Selatan, dan Afrika Sub-Sahara. Jadi, menurut hasil ini, 1%
5. 5
kenaikan PN per kapita akan mengurangi kemiskinan 1,6% di Asia Timur dan 0,7%
di Afrika Sub-Sahara.
Tabel 4.1
Kemiskinan dan Pertumbuhan Ekonomi menurut Wilayah:
Estimasi Efek-Efek yang tetap
Asia Timur
Amerika
Asia
Afrika S-S
Latin
Selatan
LNC
-0,03
0,26*
0,31***
0,17*
(-0,76)
(1,79)
(3,31)
(1,72)
LnY
-1,60**
-1,13**
-0,82**
-0,71**
(-9,36)
(-6,11)
(-10.12)
(-4,53)
Adj R2
0,84
0,68
0,83
0,93
Observasi
70
107
67
48
Keterangan: Uji t statistik didasarkan pada kesalahan-kesalahan standar yang konsisten dengan heteroskedastic, ada di dalam
kurung *: berbeda nyata dari 0 pada 100% tingkat kepercayaan**: berada nyata dari 0 pada 1% tingkat
kepercayaan.
Sumber Gambar I di Hasan dan Quibria (2002)
Penemuan-penemuan dari Ravallion dan Dautt (1996a.b) dan Kakwani (2001)
memberi kesan bahwa ada suatu drajat yang besar dari variasi menurut negara dalam
dampak terhadap kemiskinan dari pertumbuhan output sektoral.
Hasan dan Quiriba juga mencoba menganalisis fenomena tersebut dengan memakai
data dari Negara-negara di dalam sampel mereka. Hasilnya dapat dilihat pada table
4.2.
Tabel 4.2
Kemiskinan dan Komposisi Sektoral dari Pertumbuhan:
Estimasi Efek-Efek yang tetap
Asia Timur
LNC
LnYpertanian
LnY industri
LnY jasa
Adj R2
Observasi
0,05
(0,66)
0,40
(0,75)
-1,31**
(-4,28)
0,02
(0,08)
0.84
70
Amerika
Latin
0,30*
(2,32)
-0,33
(-1,47)
0,28
(1,12)
-1,21**
(-4,88)
0,71
107
Asia
Selatan
0,36**
(3,95)
-1,17**
(-4,29)
-0,03
(-0,20)
-0,22
(-1,30)
0,87
67
Afrika S-S
0,08
(0,76)
-0,32**
(-3,05)
-0,03
(-3,31)
-0,16
(-1,55)
0,93
48
Penemuan utama dari studi mereka adalah bahwa pertumbuhan output di sektor
industri pengolahan mempunyai suatu dampak positif yang besar terhadap penurunan
kemiskinan hanya terbukti di Asia Timur. Pertumbuhan output industri 1%
mengurangi kemiskinan 1,3%. Sebaliknya, pertumbuhan output industri di Amerika
Latin dan Karibian berkorelasi positif dengan kemiskinan: semakin besar output di
sektor tersebut semakin anyak orang miskin; walaupun efek ini secara statistic tidak
6. 6
signifikan. Sama seperti di Asia Timur, pertumbuhan output industri di Asia Selatan
dan Afrika Sub-Sahara juga mempunyai efek positif terhadap penurunan kemiskinan,
tetapi efeknya tidak signifikan. Pengaruh utama dari penurunan kemiskinan di Asia
Selatan dan Afrika Sub-Sahara adalah pertumbuhan output di sektor pertanian, sama
seperti penemuan Ravallion dan Datt (1996a,b) untuk India.
Hasil penelitian dari World Bank (2005) dilakukan terhadap 14 NSB di Afrika,
Amerika Selatan, dan Asia. Hasilnya adalah sebagai berikut:
Tren-tren dasar dalam kemiskinan dan pertumbuhan PDB di 14 NSB
Negara
Bangladesh
Bolivia
Brazil
Burkina Faso
El Salvador
Gana
India
Indonesia
Romania
Senegal
Tunisia
Uganda
Vietnam
Zambia
Sampel median
Survei
tahun1
1992
1989
1993
1994
1991
1992
1994
1996
1996
1994
1990
1992
1993
1991
-
Survei
tahun 2
2000
2002
2001
2003
2000
1999
2000
2002
2002
2001
2000
2002
2002
1998
-
Laju pertumbuhan
PDB/kapita ratarata per tahun (%)
3,09
1,17
1,47
2,25
2,54
1,63
4,18
-0,81
0.20
2,47
3,03
3,34
5,70
-2,26
2,36
Perubahan
Kemiskinan ratarata per tahun (%)
-2,78
-1,03
-2,27
-1,80
-5,39
-3,85
-3,84
0,67
6,05
-2,46
-3,76
-3,90
-7,76
1,29
-2,62
Keterangan:
data kemiskinan di Negara-negara tersebut didasarkan pada survey-survei pengeluaran
rumah tangga/konsumsi, terkecuali untuk Brazil, dan El Salvador, yang didasarkan pada
survey-survei pendapatan rumah tangga.
Sumber: World Bank (2005)
Seperti dugaan umum, penelitan ini menemukan adanya suatu korelasi positif dan
signifikan secara statistic antara perubahan-perubahan dalam kemiskinan dan
perubahan-perubahan dalam pertumbuhan (perbedaan-perbedaan dalam log) dengan
koefisien regresi -1,7. (lihat gambar di bawah). Ini artinya, secara rata-rata, untuk
setiap kenaikan PDB per kapita 1%, kemiskinan berkurang 1,7% selama periode
tersebut.
7. 7
• Romania
•
-4
Zambia
Indonesia •
Bolivia •
Brazil •
Ghana•
• Burkina Faso
• Senegal
Tunisia •
• Bangladesh
Uganda •
• El Salvador
Vietnam•
Dari korelasi tersebut bisa dihitung elastisitas kemiskinan, yang umum digunakan di
dalam literature mengenai pembangunan ekonomi di NSB untuk mendapatkan variasivariasi di dalam sensitivitas dari penurunan kemiskinan terhadap pertumbuhan.
Elastisitas ini biasanya diinterpretasikan sebagai persentase perubahan kemiskinan untuk
suatu kenaikan 1% dalam laju pertumbuhan ekonomi. Dalam teori, elastisitas-elastisitas
kemiskinan memaberi kesan suatu pola peartumbuhan yang lebih efektif dalam
mengurangi kemiskinan karena kesenjangan yang berkurang dalam distribusi pendapatan
dan tingkat-tingkat yang rendah dari kesenjangan awal.
Dalam akhir 1990-an, term “pertumbuhan yang prokemiskinan” (disebut PPG) ini
menjadi terkenal saat banyak ekonom mulai menganalisis paket-paket kebijakan yang
dapat mencapai penurunan kemiskinan. PPG secara umum didefinisikan sebagai
pertumbuhan ekonomi yang membuat penurunan kemiskinan yang signifikan. Dalam
usaha memberikan relevansi analisis dan operasional terhadap konsep tersebut, di dalam
literature muncul dua pendekatan.
1. Pendekatan pertama memfokuskan pada keyakinan bahwa orang-orang miskin pasti
mendapatkan keuntungan dari pertumbuhan ekonomi walaupun tidak proporsional.
Artinya, pertumbuhan ekonomi memihak kepada orang miskin jika dibarengi dengan
suatu pengurangan kesenjangan; atau dalam perkataan lain, pangsa pendapatan dari
kelompok miskin meningkat bersamaan dengan peratumbuhan ekonomi.
2. Pendekatan kedua focus pada percepatan laju pertumbuhan pendapatan dari
kelompok miskin lewat perumbuhan ekonomi yang lebih cepat dan dengan
memperbesar kesempatan-kesempatan bagi orang-orang miskin untuk berpartisipasi
dalam pertumbuhan, yang hasilnya memperbesar laju penurunan kemiskinan.
Mempercepat laju PPG (pertumbuhan yang pro kemiskinan) mengharuskan tidak
hanya pertumbuhan yang lebih besar, tetapi juga upaya-upaya untuk memperbesar
kemampuan-kemampuan dari orang-orang miskin untuk mendapatkan keuntungan
dari kesempatan-kesempatan yang diciptakan oleh pertumbuhan ekonomi.
Dengan penekanan pada akselesari laju pengurangan kemiskinan, pendekatan ini
konsisten dengan komitmen masyarakat dunia terhadap tujuan pertama dari Mellinium
Development Goals (MDG), yakni pengurangan setengah dari proporsi dari masyarakat
8. 8
di dunia yang hidup kurang dari 1 dolar AS per hari (disebut kemiskinan ekstrem) antara
tahun 1990 dan 2015.
Hubungan antara pertumbuhan ekonomi atau peningkatan output dan kemiskinan
menghasilkan suatu dasar kerangka pemikiran, yakni efek trickle-down dari pertumbuhan
ekonomi dalam bentuk peningkatan kesempatan kerja atau pengurangan pengangguran
dan peningkatan upah/pendapatan dari kelompok miskin, (lihat gambar)
Pertumbuhan
ekonomi
(peningkatan output)
Peningkatan
kesempatan kerja
Pengurangan
kemiskinan (jumlah
orang miskin
Peningkatan
upah/gaji riil
D. BEBERAPA INDIKATOR KESENJANGAN DAN KEMISKINAN
Ada dua kelompok cara mengukur tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan
yakni: Axiomatic dan Stochastic dominance
Klompok Axiomatic terdiri dari tiga alat ukur:
a) The Generalized Entropy (GE)
b) Atkinson
c) Koefisien Gini.
Rumus GE dapat diuraikan sebagai berikut:
n
GE (α) = (1/( α2- α)│(1/n) ∑ (yi/Y)α – 1│
i=1
dimana n adalah jumlah individu (orang) di dalam sample, yi adalah pendapatan dari
individu (I = 1,2,….n) dan Y = (1/n ∑yi adalah ukuran rata-rata pendapatan. Nilai GE
terletak antara 0 sampai x. Nilai GE 0 berarti distribusi pendapatan merata
(pendaptan dari semua individu di dalam sample sama) dan 4 berarti kesenjangan
yang sangat besar. Parameter α mengukur besarnya perbedaan-perbedaan antara
pendapatan-pendapatan dari kelompok-kelompok yang berbeda di dalam distribusi
tersebut, dan mempunyai nilai riil.
Dari rumus di atas, didapat cara mengukur ketimpangan dari Atkinson sebagai
berikut:
A=1-
9. 9
dimana ɛ adalah parameter ketimpangan, 0<ɛ<1: semakin tinggi nilai ɛ semakin
tidak seimbang pembagian pendapatan. Nilai A mencakup dari 0 sampai 1, dengan
nol berarti tidak ada kepincangan dalam distribusi pendapatan.
Alat ukur ketiga dari pendekatan aksioma ini yang selalu digunakan di dalam setiap
studi-studi empris mengenai kesenjangan dalam pembagian pendapatan adalah
koefisien atau rasio Gini, yang formulanya sebagai berikut:
Gini =
Nilai koefisien Gini berada pada selang 0 sampai dengan 1. Bila 0: kemerataan
sempurna (setiap orang mendapat porsi yang sama dari pendapatan) dan bila 1
ketidakmerataan yang sempurna dalam pembagian pendapatan, artinya satu orang
(atau satu kelompok pendapatan) di suatu Negara menikmati semua pendapatan
Negara tersebut.
Selain tiga alat ukur di atas, ada cara pengukuran lain yang umum digunakan oleh
Bank Dunia yaitu jumlah penduduk dikelompokkan menjadi 3 group:
40% penduduk dengan pendapatan rendah, dari jumlah penduduk
40% penduduk dengan pendapatan menengah, dari jumlah penduduk
20% penduduk dengan pendapatan tinggi dari jumlah penduduk.
Menurut criteria Bank Dunia, tingkat ketidakmerataan dalam distribusi pendapatan
dinyatakan tinggi, apabila 40% penduduk dari kelompok berpendapatan rendah
menerima lebih kecil dari 12% dari jumlah pendapatan. Tingkat ketidakmerataan
sedang, apabila kelompok tersebut menerima 12% sampai 17% dari jumlah
pendapatan; sedangkan ketidakmerataan renah, apabila kelompok tersebut menerima
lebih besar dari 17% dari jumlah pendapatan.
Untuk mengukur kemiskinan, ada tiga indicator yang diperkenankan oleh Foster dkk
(1984) yang sering digunakan di dalam banyak studi empiris.
1. The incidence of provert: persentase populasi yang hidup di dalam keluarga
dengan pengeluaran konsumsi per kapita di bawah garis kemiskinan. Indeksnya
sering disebut rasio H.
2. The depth of proverty: yang menggambarkan dalamnya kemiskinan di suatu
wilayah yang diukur dengan indeks Jarak Kemiskinan (IJK), atau dikenal dengan
Poverty Gap Index. Indeks ini mengestimasi jarak/perbedaan rata-rata pendapatan
orang miskin dari garis kemiskinan sebagai suatu proporsi dari garis tersebut
yang dapat dijelaskan dengan formula berikut:
Pa = (1/n) ∑i[(z – y)/z]a untuk semua yi <z
10. 10
Indeks Pa ini sensitive terhadap distribusi jika a> 1. Bagian [(z – y)/z] adalah
perbedaan antara garis kemiskinan (z) dan tingkat pendapatan dari kelompok ke I
keluarga miskin (y) dalam bentuk suatu persentase dari garis kemiskinan.
Sedangkan bagian [(z – y)/z] a adalah persentase eksponen dari besarnya
pendapatan yang tekor, dan kalau dijumlahkan dari semua orang miskin dan
dibagi dengan jumlah populasi (n) maka menghasilkan indeks Pa.
3. The severity of poverty yang diukur dengan Indeks Keparahan Kemiskinan (IKK).
Indeks ini pada prinsipnya sama seperti IJK. Namun, selain mengukur jarak yang
memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan, IKK juga mengukur
ketimpangan di antara penduduk miskin atau penyebaran pengeluaran di antara
penduduk miskin. Indeks ini yang juga disebut distributionally sensitive index
dapat juga digunakan untuk mengetahui intensitas kemiskinan.
Para peneliti kemiskinan lain tertarik pada dua factor lain, yaitu rata-rata besarnya
kekurangan pendapatan orang miskin dan besarnya ketimpangan dalam distribusi
pendapatan antarorang miskin. Dengan asumsi bahwa factor-faktor lain tetap
tidak berubah, tambah tinggi rata-rata besarnya kekurangan pendapatan orang
miskin tambah besar gap pendapatan antarorang miskin dan kemiskinan akan
bertambah besar.
Dari dasar pemikiran di atas, muncul Indeks Kemiskinan Sen, yang memasukkan
dua factor tersebut, yakni koefisien Gini dan rasio H:
S = H [I + (1-I) Gini]
di mana I adalah jumlah rata-rata deficit pendapatan dari orang miskin sebagai
suatu persentase dari garis kemiskinan, dan koefisien Gini yang mengukur
ketimpangan antara orang miskin. Apabila salah satu dari factor tersebut naik,
tingkat kemiskinan bertambah besar (yang diukur dengan S).
E. APAKAH KESENJANGAN DAN KEMISKINAN DI INDONESIA MENURUN?
Laporan tahun 2005 dari Bank Dunia menunjukkan bahwa menjelang akhir 1990-an
ada sekitar 1,2 miliar orang miskin dari sekitar 5 miliar lebih jumlah penduduk di
dunia. Sebagian besar dari jumlah orang miskin tersebut terdapat di Asia Selatan
(43,5%) yang terkonsenterasi di India. Bangladesh, Nepal, Sri Lanka, dan Pakistan.
Afrika Sub-Sahara merupakan wilayah kedua di dunia yang padat orang misin
(24,3%). Kemiskinan di wilayah ini terutama disebabkan oleh iklim dan kondisi
tanah yang tidak mendukung kegiatan pertanian (kekeringan dan gersang), pertikaian
yang tidak henti-hentinya antarsuku, manajemen ekonomi makro yang buruk, dan
pemerintahan yang boborok. Wilayah ketiga yang terdapat banyak orang miskin
adalah di Asia Tenggara dan Pasifik (23,2%). Kemiskinan di Asia Tenggara terutama
terdapat di China, Lao PDR, Indonesia, Vietnam, Thailand dan Kamboja. Sisanya
terdapat di Amerika Latin dan Negara-negara Caribbean (6,5%), Eropa dan Asia
Tengah (2,0%) dan Timur Tengah dan Afrika Utara (0,5%).
11. 11
Laporan Bank Dunia tersebut juga menunjukkan ada dua wilayah yang terjadi
pengurangan jumlah orang miskin, yakni di Asia Tenggara dan Pasifik dan di Timur
Tengah dan Afrika Utara, walaupun di wilayah yang terakhir ini jumlah
pengurangannya sangat kecil. Di Asia Tenggara dan Pasifik, jumlah orang miskin
yang berkurang hampir mencapai 150 juta jiwa. Pengurangan dalam jumlah yang
cukup besar ini dapat dilihat sebagai suatu konsekuensi logis dari proses
pembangunan ekonomi yang pesat di AsiaTenggara selama 1980-an. Sedangkan di
wilayah-wilayah kemiskinan lainnya tidak ada perbaikan. Di Afrika Sub-Sahara
kemiskinan bahkan bertambah lebih dari 60 juta jiwa.
Berdasarkan data SUSENAS 2004 dan garis kemiskinan dari BPS, Indonesia tidak
terlalu buruk dibandingkan banyak Negara lainnya itu. Namun, dengan memakai
garis kemiskinan Bank Dunia, terutama pengeluaran di bawah 2 dolar AS per hari,
diperkirakan sekitar 52,4% dari total populasi adalah miskin.
Tabel di bawah ini menyajikan data mengenai laju penurunan proporsi dari populasi
yang hidup di bawah garis kemiskinan (indeks HC di 14 negara). Vietnam memang
sangat menarik untuk diperhatikan dan digunakan sebagai suatu patok duga
(bencmarking) untuk mengkaji keberhasilan Indonesia dalam memerangi kemiskinan.
Tabel
Persentase kemiskinan (Indeks HC, awal 1990-an hingga awal 2000-an (%)
Negara
Awal 1990-an Awal 2000-an Perubahan per
tahun
Vietnam
58,1
28,9
-7,8
El Salvador
64,4
39,6
-5,4
Uganda
55,7
37,7
-3,9
Ghana
51,7
39,5
-3,8
India
36,0
28,6
-3,8
Tunisia
6,7
4,6
-3,8
Bangladesh
49,7
39,8
-2,8
Senegal
67,8
57,1
-2,5
Brasilia
61,6
51,4
-2,3
Burkina Faso
55,5
47,2
-1,8
Bolivia
76,9
67,2
-1.0
Indonesia
15,4
16,0
0,7
Zambia
68,9
75,4
1,3
Romania
20,1
28,9
6,1
Sumber: World Bank (2005)
Dapat dilihat, pada awal decade 90-an tingkat kemiskinan di Negara komunis ini
yang pembangunan ekonominya masih relative terbelakang di dalam konteks ASEAN
tercatat 58,1% dari jumlah populasinya, dan pada awal tahun 2000-an menurun
dengan laju sekitar 50%, atau rata-rata 7,8% per tahun selama periode itu.
Sedangkan di Indonesia kemiskinan bertambah dengan laju 0,7% per tahun selama
periode yang sama.
12. 12
Di Indonesia pada awal decade 90-an sekitar 82,8% dari orang miskin terdapat di
perdesaan dan pada awal 2000-an menurun sedikit ke 72,3%. Persentase ini masih
lebih rendah dibandingkan misalnya Burkina Faso yang hampir mencapai 100%,
Bangladesh, Vietnam, dan Uganda (liha tabel dibawah)
Tabel Pangsa Kemiskinan di Perdesaan, awal 1990-an dan awal 2000-an (%)
Negara
Awal 1990-an Awal 2000-an Perubahan per
tahun
Vietnam
90,7
93,6
0,4
El Salvador
53,1
58,1
1,0
Uganda
94,4
96.1
0,2
Ghana
79,0
77,0
-0,4
India
78,6
79,0
0,1
Tunisia
75,4
79,4
0,5
Bangladesh
86,0
84,5
-0,2
Senegal
59,2
59,9
0,2
Brasilia
31,0
26,9
-1,8
Burkina Faso
96,1
92,4
-0,4
Bolivia
52,6
47,3
-0,8
Indonesia
82,8
72,3
-2,3
Zambia
75,0
72,3
-0,5
Romania
65,8
66,6
0,2
Sumber: World Bank (2005)
Namun demikian, di Negara-negara di mana pertumbuhan ekonomi perkotaan sangat
pesat, penurunan secara proporsional lebih nyata di perkotaan daripada di perdesaan.
Misalnya, liberalisasi perdaganan luar negeri, reformasi ekonomi yang berorientasi
pasar, insentif-insentif ekspor, pembangunan infrastruktur secara masif dan
pengingkatan SDM sangat menolong mengurangi kemiskinan sebesar 11% per tahun
di Vietnam antara 1993 dan 2002.
Dalam teori, liberalisasi perdagangan luar negeri atau penghapusan semua rintangan
(baik tariff maupun nontarif/NTBs) terhadap ekspor dan impor akan meningkatkan
perdagangan luar negeri, dan ekspor akan tambah naik dengan adanya insentifinsentif ekspor. Selanjutnya didukung oleh pembangunan infrastruktur dan SDM,
laju pertumbuhan kegiatan ekonomi akan meningkat yang berarti juga peningkatan
kesempatan kerja dan pendapatan, dan semua ini pada akhirnya akan berdampak
positif terhadap pengurangan kemiskinan. Reformasi ekonomi yang berorientasi
pasar yang berarti menghilangkan semua distorsi pasar akan membuat realokasi
semua sumber daya produksi ke kegiatan-kegiatan ekonomi produktif yang pada
akhirnya menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih pesat.
Di Indonesia yang terjadi sebaliknya: dalam periode 1990-an kemiskinan
meningkat akibat krisis ekonomi 1997/98, dan peningkatan tersebut lebih besar di
perkotaan daripada di perdesaan. Hal ini karena ekonomi yang didominasi oleh
13. 13
sektor-sektor nonpertanian yang sangat tergantung pada impor, modal asing, dan
utang luar negeri lebih terpukul oleh krisis tersebut dibandingkan ekonomi perdesaan
yang didominasi oleh sector pertanian yang lebih tergantung pada sumber-sumber
daya produksi dalam negeri.
Selain angka kemiskinan (misalnya indeks HC), ada sejumlah indicator lainnya yang
dapat digunakan sebagai proxy dari kondisi kemiskinan di suatu Negara. Salah
satunya adalah tingkat kelaparan atau jumlah anak yang kurang gizi, seperti yang
dapat dilihat pada table di bawah ini, Indonesia masih belum tuntas dalam memerangi
anak kurang gizi, yang pada tahun 2003 tercatat 28% dari jumlah anak di bawah umur
lima (5) tahun.
Di lihat dari proporsi dari populasi di bawah tingkat konsumsi sehat minimum,
Indonesia jauh lebih baik daripada Vietnam. Namun demikian, laju perbaikan
kondisi ini cenderung lebih pesat di Vietnam daripada Indonesia.
Tabel Tingkat Kelaparan di Negara-negara ASEAN*
Anggota
Anak di bawah 5 tahun yang kurang gizi
(%), tahun terakhir
Total
Kamboja
Indonesia
Lao PDR
Malaysia
Myanmar
Filipina
Singapura
Thailand
Vietnam
45
28
28
40
11
32
28
3
18
28
Perempuan
46
-
Lelaki
Tahun
44
-
40
32
-
40
31
-
2000
2003
2005**
2000
2003
2003
2003
2000
1995
2003
Proporsi dari populasi di
bawah tingkat konsumsi
sehat minimum (%)
1990- 19952001-03
92
97
43
46
33
9
6
6
29
3
10
26
30
31
28
3
7
22
23
23
22
3
5
19
21
17
Pangsa dari quinitile
termiskin di dalam
konsumsi nasional
(tahun terakhir)
6,9 (1997)
8,4 (2002)
8,1 (2002)
4,4 (1997)
5,4 (2000)
5,0 (1998)
6,3 (2002)
7,5 (2002)
Keterangan: *) yang ada datanya; **)data SUSENAS
Sumber: ADB (database)
Pada awal orde baru tahun 1966, rata-rata pendapatan masyarakat Indonesia hanya
sekitar 50 dolar AS per tahun, dan lebih dari 80% dari populasi hidup di pedesaan
atau sector pertanian, yang kebanyakan adalah petani kecil atau marjinal. Sekitar
60% dari anak-anak di Indonesia tidak bisa menulis dan membaca dan hampir 65%
dari penduduk Indonesia hidup dalam kemiskinan. Pada tahun 1969 pemerintah orde
baru mulai melaksanakan pembangunan dengan mencanangkan Rencana
Pembangunan Lima Tahun Pertama (Repelita I) dan sejak itu dengan kebijakan
ekonomi terbuka, investasi dan bantuan keuangan luar negeri membanjiri Indonesia.
Dalam beberapa tahun saja inflasi yang sempat mencapai 650% menjelang jatuhnya
pemerintahan Soeharto dapat ditekan hingga 1 digit dan pertumbuhan ekonomi
meningkat, yang pada decade 1980-an hingga 1997 sesaat sebelum krisis terjadi,
Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi rata-rata 7% per tahun.
Pada tahun 1970 rata-rata per kapita PDB (dengan memakai nilai riil dalam dolar AS
1999) hanya 940 dan pada tahun 2000 sudah mendekati 3000 dolar AS (walupun
14. 14
pada saat krisis tahun 1998 sempat mengalami suatu penurunan hingga sekitar 450
dolar AS). Pertumbuhan PDB yang tinggi rata-rata per tahun dengan didukung oleh
berbagai kebijakan dan program, terutama di bidang pendidikan, pelayanan
kesehatan, dan pembangunan ekonomi pedesaan, juga membuat indicator-indikator
social, seperti jumlah bayi yang selamat dari 1000 bayi yang lahir, harapan hidup,
jumlah penduduk yang bisa membaca dan menulis, dan jumlah anak yang sekolah,
menunjukkan perbaikan yang sangat nyata selama periode orde baru.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan memberikan kontribusi yang
besar terhadap pengurangan kemiskinan (yang diukur dari jumlah orang yang hidup
di bawah garis kemiskinan sebagai suatu persentase dari jumlah penduduk) yang
terjadi setiap tahun selama periode orde baru. Seperti ditunjukkan oleh statistik dari
BPS pada tabel di bawah tingkat kemiskinan menurun secara signifikan.
Tahun
Tabel Keminskinan di Indonesia, 1976-2008*
Tingkat kemiskinan
Jumlah orang miskin
(%)
(juta orang)
Kota
Desa
Nasional
Kota
Desa
Nasional
38,8
40,4
40,1
10,0
44,2
54,2
30,8
33,4
33,3
8,3
38,9
47,2
29,0
28,4
28,6
9,5
32,8
42,3
28,1
26,5
26,9
9,3
31,3
40,6
23,1
21,2
21,6
9,3
25,7
35,0
20,1
16,1
17,4
9,7
20,3
30,0
16,8
14,3
15,1
9,4
17,8
27,2
13,4
13,8
13,7
8,7
17,2
25,9
13,4
19,8
17,5
9,4
24,6
34,0
21,9
25,7
24,2
17,6
31,9
49,5
19,4
26,0
23,4
15,6
32,3
48,0
14,6
22,4
19,1
12,3
26,4
38,7
9,8
24,8
18,4
8,6
29,3
37,9
14,5
21,1
18,2
13,3
25,1
38,4
13,6
20,2
17,4
12,2
25,1
37,3
12,1
20,1
16,7
11,4
24,8
36,1
11,7
19,98
15,97
12,4
22,7
35,1
13,5
21,8
17,8
14,5
24,8
39,3
12,5
20,4
16,6
13,6
23,6
37,2
....
....
15,4
....
....
34,96
1976
1978
1980
1981
1984
1987
1990
1993
1996
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008*
*
Keterangan: *)angka dibulatkan; **)perkiraan maret
Sumber BPS
Selain tingkat kemiskinan di Indonesia, ada dua hal lain yang juga harus diperhatikan
dalam membahas soal kemiskinan di Indonesia, yakni kedalaman kemsikinan dan
keparahan kemiskinan terhadap batas miskin (garis kemiskinan), sedangkan
15. 15
keparahan kemiskinan menunjukkan ketimpangan pengeluaran dari penduduk paling
miskin atau yang makin jatuh di bawah garis kemiskinan. Semakin besar nilai kedua
indeks ini di sebuah negara mencerminkan semakin seriusnya persoalan kemiskinan
di negara tersebut. Data BPS (2005b) menunjukkan indeks kedalaman kemiskinan
(P1) di Indonesia mengalami penurunan setelah krisis ekonomi 1997/98 hingga 2005,
tetapi setelah itu cenderung meningkat kembali. Keadaan ini menandakan bahwa
antara tahun 1999 dan tahun 2005 di Indonesia terus terjadi penurunan besarnya ratarata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap batas miskin. Dalam kata
lain, rata-rata pengeluaran kaum miskin di Indonesia cenderung meningkat atau
mendekati garis kemiskinan (lihat tabel di bawah ini)
Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) di Indonesia 1999-2007
Tahun
Perkotaan
Perdesaan
Nasional
1999
3,52
4,84
4,33
2000
1,89
4,68
3,51
2001
1,74
4,68
3,42
2002
2,59
3,34
3,01
2003
2,55
3,53
3,13
2004
2,18
3,43
2.89
2005
2,05
3,34
2,78
2006 (Maret)
2,61
4,22
3,43
2007 (Maret)
2,15
3,78
2,99
Keparahan kemiskinan (P2) di Indonesia juga menunjukkan tren yang menurun.
Artinya selama periode tersebut ketimpangan pengeluaran penduduk miskin di
Indonesia secara umum semakin berkurang atau kondisi ekonomi penduduk miskin
semakin membaik. Karena indeks kedalaman kemiskinan di perdesaan lebih tinggi
daripada di perkotaan, maka dengan sendirinya indeks keparahan kemiskinan di
perdesaan lebih tinggi dibandingkan perkotaan; bahkan lebih tinggi dibandingkan
pada tingkat nasional. Ini merupakan indikasi bahwa tingkat ketimpangan dalam
distribusi pengeluaran penduduk miskin di perdesaan lebih besar daripada di
perkotaan.
Tabel Indeks Keparahan Kemsikinan (P2) di Indonesia 1999-2007
Tahun
Perkotaan
Perdesaan
Nasional
1999
0,98
1,39
1,23
2000
0,51
1,39
1,02
2001
0,45
1,36
0,97
2002
0,71
0,85
0,79
2003
0,74
0,93
0,85
2004
0,58
0,90
0,78
2005
0,60
0,89
0,76
2006 (Maret)
0,77
1,22
1,00
2007 (Maret)
0,57
1,09
0,84
Tabel berikut menunjukkan bahwa penurunan kemiskinan juga terjadi di semua
provinsi, terkecuali pada masa krisis 1988-1999. Setelah itu ada beberapa provinsi
yang tingkat kemsikinannya mengalmai penurunan kembali, sedangkan di beberapa
16. 16
provinsi lainnya masih terus memburuk. Variasi dalam perubahan kemiskinan
antarprovinsi ini disebabkan oleh perbedaan antarprovinsi dalam banyak hal, seperti
laju pertumbuhan ekonomi dan sifatnya (apakah padat tenaga kerja atau modal),
struktur ekonomi, kondisi infrastruktur, tingkat keparahan kritis yang dialami oleh
ekonomi provinsi, dan juga implementasi di tingkat provinsi dari program-program
anti kemiskinan, khususnya pada masa krisis, dari pemerintah pusat.
Tabel Kemiskinan menurut Provinsi, 1990-2006 (%)
Provinsi
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Bangka Belitung
Kepulauan Riau
Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
NTB
NTT
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Irian Jaya Barat
Papua
Indonesia
1990
15,9
13,5
15,0
13,7
16,8
13,1
7,8
13,9
17,5
15,5
14,8
11,2
23,2
24,1
27,6
21,2
14,9
10,8
15,1
1993
13,5
12,3
13,5
11,2
13,4
14,9
13,1
11,7
5,7
12,2
15,8
11,8
13,3
9,5
19,5
21,8
25,1
20,9
18,6
13,8
11,8
10,5
9,0
10,8
23,9
24,2
13,7
1996
10,8
10,9
8,8
7,9
9,1
10,7
9,4
10,7
2,5
9,9
13,9
10,4
11,9
4,3
17,6
20,6
22,0
11,2
14,3
9,2
10,6
8,2
8,0
8,5
19,5
21,2
17,5
1999
14,8
16,7
13,2
14,0
26,6
23,5
19,8
29,1
4,0
19,8
28,5
26,1
29,5
8,5
33,0
46,7
26,2
15,1
14,4
20,2
18,2
28,7
18,3
29,5
46,1
54,8
23,4
2002
29,8
15,8
11,6
13,6
13,2
22,3
22,7
24,1
11,6
3,4
13,4
23,1
20,1
21,9
9,2
6,9
27,8
30,7
15,5
11,9
8,5
12,2
11,2
24,9
15,9
24,2
32,1
34,8
14,0
41,8
18,2
2005
28,7
14,7
10,9
12,5
11,9
21,01
22,2
21,4
9,7
10,97
3,6
13,1
20,5
18,95
19,95
8,9
6,7
25,9
28,2
14,2
10,7
7,2
10,6
9,3
21,8
14,98
21,5
29,05
32,3
13,2
40,8
15,97
2006
28,
15,01
12,5
11,9
11,4
20,99
23,0
22,8
10,9
12,2
4,6
14,5
22,2
19,2
21,1
9,8
7,1
27,2
29,3
15,2
11,0
8,3
11,4
11,5
23,6
14,6
23,4
29,1
20,7
33,03
12,7
41,3
41,5
17,8
Pertumbuhan ekonomi adalah satu faktor yang sangat penting bagi penurunan
kemiskinan, tetapi bukan satu-satunya penentu. Kebijakan-kebijakan yang ”pro
kemiskinan” sangat diperlukan agar pertumbuhan ekonomi bersifat PPG
(pertumbuhan yang pro kemiskinan) yakni yang mempunyai suatu dampak positif
17. 17
yang berarti bagi pengurangan kemiskinan, terutama kebijakan-kebijakan yang
produktif, seperti perluasan akses bagi semua orang ke pendidikan (khususnya
pendidikan dasar) dan pelayanan kesehatan, peningkatan kesempatan kerja, dan
pembangunan sektor pertanian serta ekonomi perdesaan.
Jumlah pengeluarlan konsumsi seseorang tidak harus selalu sama dengan jumlah
pendapatan yang diterimanya, bisa lebih besar atau lebih kecil.
Misalnya,
pendapatannya lebih besar tidak selalu berarti pengerluaran konsumsinya juga besar;
karena ada tabungan. Sedangkan, jika jumlah pendapatannya rendah tidak selalu
berarti jumlah konsumsinya juga rendah. Banyak rumah tangga memakai kredit bank
untuk membiayai pengeluaran konsumsi tertentu, misalnya untuk beli rumah dan
mobil, dan untuk membiayai sekolah anak bahkan untuk liburan.
Dengan mengikut sertakan pola distribusi pendapatan sebagai suatu variabel yang
juga harus diamati perkembangannya selama proses pembangunan berjalan, maka
pembangunan ekonomi di Indonesia selama itu dapat dikatakan berhasil sepenuhnya
apabila tingkat kesenjangan ekonomi antara kelompok masyarakat miskin dan
kelompok masyarakat kaya bisa diperkecil.
Secara teoriti, perubahan pada distribusi pendapatan di perdesaan dapat disebabkan
oleh faktor-faktor berikut ini:
1. Akibat arus penduduk/tenaga kerja dari perdesaan ke perkotaan yang selama orde
baru berlangsung sangat pesat. Sesuai teori A.Lewis (1954), perpindahan orang
dari perdesaan ke perkotaan memberi suatu dampak positif terhadap
perekonomian di perdesaan: kesempatan kerja produktif, tingkat produktivitas dan
pendapatan rata-rata masyarakat di perdesaan meningkat. Sedangkan, ekonomi
perkotaan pada suatu saat akhirnya tidak mampu menampung suplai tenaga kerja
yang meningkat terus menerus, yang sebagian besar adalah pendatang dari
perdesaan, yang akhirnya berakibat pada peningkatan pengangguran, di satu
pihak, dan menurunnya laju pertumbuhan tingkat upah/gaji, dipihak lain.
2. Struktur pasar dan besarnya distorsi yang berbeda di perdesaan dengan di
perkotaan. Di perdesaan jumlah sektor relatif lebih kecil (dilihat dari jumlah unit
usaha di dalam dan output yang dihasilkan oleh sektor) dibandingkan sektorsektor yang sama di perkotaan. Perbedaan ini ditambah dengan tingkat
pendapatan per kapita di perdesaan yang lebih rendah daripada di perkotaan
membuat struktur pasar di perdesaan jauh lebih sederhana daripada diperkotaan.
Struktur pasar yang sederhana ini membuat distorsi pasar juga relatif kecil
(kesempatan berusaha bagi individu lebih besar) di perdesaan dibandingkan di
perkotaan.
3. Dampak positif dari proses pembangunan nasional, dampat tersebut bisa dalam
beragam bentuk, di antaranya sebagai berikut:
a. Semakin banyak kegiatan ekonomi di perdesaan di luar sektor pertanian,
seperti industri manufaktur (kebanyakan dalam skala kecil, atau industri
rumah tangga, perdagangan, perbengkelan dan jasa lainnya, dan bangunan).
Diversifikasi ekonomi perdesaaan ini tentu menambah jumlah kesempatan
kerja di perdesaan dan juga menambah pendapatan petani.
18. 18
b. Tingkat produktivitas dan pendapatan riil tenaga kerja di sektor pertanian
meningkat, bukan saja akibat arus menusia dari sektor tersebut ke sektorsektor lainnya di perkotaan (seperti di dalam teori A.Lewis), tetapi juga
akibat penerapan/pemakaian teknologi baru dan penggunaan input-input
yang lebih baik, seperti misalnya pupuk hasil pabrik dan permintaan pasar
domestik serta ekspor terhadap komoditas-komoditas pertanian
meningkat.
c. Potensi SDA yang ada di perdesaan semakin baik, dimanfaatkan oleh
penduduk desa (pemakaian semakin optimal)
d. Pengaruh pembangunan teknologi informasi.
F. PERTANIAN SUMBER UTAMA KEMISKINAN?
Kemiskinan adalah suatu fenomena atau proses multidimensi, yang artinya
kemiskinan disebabkan oleh banyak faktor (World Bank, 2000), Namun, di Indonesia
kemiskinan merupakan suatu fenomena yang erat kaitannya dengan kondisi sosial
ekonomi di perdesaan pada umumnya dan disektor pertanian pada khususnya. Oleh
sebab itu, fenomena kemiskinan di Indonesia tidak dapat dipahami sepenuhnya tanpa
memahami fenomena kemiskinan di perdesaan atau di sektor pertanian. Pernyataan
ini didukung oleh banyak faktor. Pertama, sebagian besar dari jumlah kesempatan
kerja di Indonesia masih terdapat di perdesaan (lihat tabel dibawah), dan dari jumlah
itu sebagian besar bekerja di pertanian, baik sebagai petani maupun buruh tani (lihat
tabel). Sedangkan yang bekerja di sektor industri sangat kecil porsinya, karena
memang sebagian besar industri di Indonesia, terutama yang sifatnya footlose, seperti
elektronik, mesin, dan tekstil, serta pakian jadi, berada di daerah perkotaan atau
pinggir kota-kota besar, seperti Jabotabek, Medan, Semarang, dan Makassar.
Industri-industri seperti ini lebih tergantung pada pasar output daripada lokasi sumber
daya alam dan untuk kebutuhan tenaga kerja mereka bisa dengan mudah didapat di
daerah perkotaan. Sektor terbesar menyerap tenaga kerja di Indonesia ini adalah
pertanian.
Tabel Distribusi Kesempatan Kerja menurut Daerah di Indonesia,
1990-2003 (%)
Wilayah
1990
1995
2000
2003
Perdesaan
75
67
62
60
Perkotaan
25
33
38
40
Sumber BPS
Tabel Kesempatan Kerja di Perdesaan menurut Sektor di Indonesia,
1990-2003
Sektor
1990
1995
2000
2003
Pertanian
70
60
66
68
Industri
9
11
10
9
Jasa
21
29
34
23
Sumber BPS
Masih dominannya sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja juga masih
terlihat jelas pada tingkat nasional (lihat tabel di bawah), walaupun cenderung
19. 19
menurun terus. Penurunan daya serap pertanian terhadap pertumbuhan tenaga kerja
relatif dibandingkan sektor-sektor lain juga terjadi dibanyak negara lainnya, yang
merupakan salah satu ciri dari proses transformasi ekonomi yang terjadi seiring
dengan proses pembangunan ekonomi jangka panjang.
Tabel Penyerapan Tenaga Kerja menurut Sektor di Indonesia, 1990 – 2003 (%)
Sektor
1971
1980
1985
1990
1995
2000
2003
Pertanian
67,04
56,3
54,66
55,87
43,98
45,28 46,26
Industri
6,92
9,14
9,24
10,14
12,64
12,96 12,04
Pertambangan
0,21
0,76
0,67
0,7
0,8
0,58
0,98
Lainnya
25,83
33,80
35,39
33,29
42,58
41,18 40,72
Sumber BPS
Konsisten dengan fakta di atas, posisi pertanian masih sangat krusial sebagai sumber
pendapatan di Indonesia. Di perdesaan, pada pertengahan 1995 tercatat sebanyak
46,3% dari RT di perdesaan tergantung pada pertanian sebagai sumber pendapatan
satu-satunya, dan pertanian merupakan sumber pendapatan terbesar bagi sekitar
13,2% RT di perdesaan yang bergabung pada lebih dari satu sumber pendapatan.
Bahkan di perkotaan ada sekitar 6% dan 2,6% dari jumlah RT yang sumber
pendapatannya, masing-masing, hanya dan sebagian besar dari pertanian (lihat tabel)
Tabel Pendapatan Keluarga menurut Sumber di Indonesia, 1995 (%)
Sumber
Nasional
Perdesaan
Perkotaan
Semua:
- Pertanian
- NonPertanian
Kombinasi:
- Sebagian besar pertanian
- Sebagian besar nonpertanian
24,9
52,5
22,6
9,9
12,7
46,3
27,4
26,3
13,2
13,1
6,0
84,0
10,0
2,6
7,4
Sumber BPS
Fakta kedua, dan ini lebih langsung lagi menunjukkan betapa pentingnya
pertumbuhan pendapatan di pertanian bagi upaya pengurangan kemiskinan di
Indonesia, adalah bahwa sebagian besar dari penduduk miskin di Indonesia bekerja di
pertanian, seperti yang ditunjukkan oleh data SUSENAS pada tabel di bawah ini.
Pada tahun 1996, tercatat hampir 69% dari jumlah keluarga miskin di Indonesia
memiliki sumber pendapatan di pertanian, baik sebagai petani (dengan lahan atau
tanpa lahan sendiri) maupun buruh (lepas atau kontrak), dan pada tahun 2002
porsinya sekitar 67%.
Tabel Distribusi Keluarga Miskin menurut Pekerjaan Utama/Sumber Pendapatan,
1996 – 2002 (%)
Sektor
1996
1998
1999
2000
2001
2002
Pertanian
68,5
56,7
58,4
51,7
63,0
67,4
Industri
6,7
7,4
8,7
13,8
11,9
10,3
Jasa
24,7
35,9
32,9
34,5
25,1
22,3
Sumber BPS
20. 20
Bahkan, suatu hal yang menarik seperti yang ditunjukkan pada tabel berikut di bawah
ini, adalah bahwa kegiatan pertanian mempunyai suatu peran yang dominan sebagai
sumber pendapatan bagi banyak keluarga miskin di daerah perkotaan. Bisa di lihat di
pinggiran kota Jakarta, Bekasi, dan Tangerang, banyak keluarga miskin menaman
berbagai jenis komoditas pertanian di lahan yang sempit di pinggir sungai dan
menjualnya setiap hari ke pasar-pasar terdekat, yang merupakan sumber pendapatan
mereka satu-satunya.
Sektor
Pertanian
Kehutanan
Perikanan
Pertambangan
Industri
Listrik
Konstruksi
Pedagangan
Transportasi
Keuangan
Jasa-jasa
Lainnya
Perkotaan
31,11
0,23
1,48
1,25
12,17
0,10
9,67
14,06
8,94
0,69
8,14
0,04
Perdesaan
69,09
1,34
2,23
0,49
4,98
0,02
3,63
5,00
2,73
0,08
2,40
0,06
Semua bukti empris ini merefleksi suatu hal yang jelas, yakni penduduk di sektor
pertanian pada umumnya selalu lebih miskin dibandingkan penduduk yang sumber
pendapatan utamanya dari sektor-sektor lainnya, terutama industri manufaktur,
keuangan, dan perdagangan; walaupun pendapatan bervariasi menurut subsektor atau
kelompok usaha di dalam masing-masing sektor tersebut. Sekarang pertanyaannya
adalah: kenapa lebih banyak kemiskinan di pertanian daripada di sektor-sektor
lainnya? Tidak sulit untuk mendapatkan jawabannya, di antaranya adalah karena
distribusi lahan yang timpang, pendidikan petani dan pekerja yang rendah, sulitnya
mendapatkan modal, dan nilai tukar petani yang terus menurun.
Tabel Orang Miskin di Indonesia
Dari setiap 100 orang Indonesia
Dari setiap 100 orang miskin
* 57 tinggal di perdesaan
* 44 tidak mempunyai akses ke air bersih
* 49 tidak punya akses ke sanitasi yang baik
* 28 punya rumah tangga dengan lebih dari 5
anggota
* 43 punya pendidikan lebih rendah dari pendidikan dasar
* 11 tidak bisa membaca dan menulis
* 44 kerja di pertanian
* 60 kerja di sektor informal
*16 kerja sebagai pekerja keluarga tidak dibayar
* 42 tingal di desa-desa yang tidak punya SMP
dan SMA
* 36 tinggal di desa-desa tanpa akses ke telepon
* Dari mereka yang umurnya di bawah 5 tahun,
25 kurang gizi dan 32 dilahirkan tanpa bidan
* 69 tinggal di perdesaan
* 52 tidak mempunyai akses ke air bersih
* 73 tidak punya akses ke sanitasi yang baik
* 48 punya rumah tangga dengan lebih dari 5
anggota
* 55 punya pendidikan lebih rendah dari
pendidikan dasar
* 16 tidak bisa membaca dan menulis
* 64 kerja di pertanian
* 75 kerja di sektor informal
* 22 kerja sebagai pekerja keluarga tidak dibayar
* 50 tingal di desa-desa yang tidak punya SMP dan
SMA
* 49 tinggal di desa-desa tanpa akses ke telepon
* Dari mereka yang umurnya di bawah 5 tahun, 25
kurang gizi dan 32 dilahirkan tanpa bidan
21. 21
berpendidikan
berpendidikan
Beberapa penyebab petani Indonesia selalu miskin adalah:
1. Transformasi struktural yang massive yang dialami oleh perekonomian Indonesia
sejak awal orde baru, dari sebuah ekonomi di mana sektor pertanian mempunyai
suatu peran dominan di dalam PDB ke sebuah ekonomi di mana kontribusi output
dari sektor ini terhadap pembentukan PDB semakin lemah. Sementara itu porses
perubahan struktural di pasar tenaga kerja berjalan lebih lambah akibat
terbatasnya kemampuan dari sektor-sektor nonpertanian dalam menciptkan
kesempatan kerja baru relatif terhadap laju pertumbuhan rata-rata dalam
menciptakan tenaga kerja baru atau laju peralihan dari pertanian.
2. Ketimpangan dalam distribusi lahan.
3. Tingkat pendidikan petani yang pada umumnya rendah
4. Kurang modal
5. Tata Niaga yang merugikan petani
6. Kurangnya perhatian serius terhadap kesejahteraan petani.
7. Pradoks produktivitas, sistem agrobisnis di Indonesia menempatkan posisi petani
terjepit di antara dua kekuatan eksploitasi ekonomi. Pada faktor produksi, petani
menghadapi kekuatan monopolistis. Di sisi lain, saat menjual hasil produksinya,
petani menghadapi kekuatan monopsonistis. (pada usaha tani,nilai tambah yang
dinikmati petani diperkecil struktur nonusaha tani yang bersifat dispersal,
asimetris, dan cenderung terdistorsi. Penurunan harga di tingkat konsumen
dengan cepat dan sempurna ditransmisi kepada petani. Sebaliknya, kenaikan
harga ditransmisikan dengan lambat dan tidak sempurna. Selain itu, informasi
pasar, seperti preferensi konsumen, dimanfaatkan untuk mengeksploitasi petani.
Terjadilah apa yang disebut paradoks produktivitas.... Porsi terbesar nilai
tambah peningkatan produktivitas usaha tani dinikmati mereka yang di luar
usaha tani. Akibatnya, tingkat pendapatan riil petani kian tertinggal jauh dari
pendapatan mereka yang ada pada sektor nonushatani.)
8. Petani Indonesia tidak terorganisir dengan baik dan tidak punya inforamsi yang
lengkap atau database mengenai perkembangan produksi padi dan pergerakan
harganya. Petani padi India, Thailand dan Vietnam memiliki kedua hal tersebut,
meski harga pupuk di ketiga negara tersebut sedang naik, mereka tetap bisa
mengekspor beras ke Indonesia sebab mereka selalu surplus.
9. Rendahnya harga jual yang diterima petani di satu sisi, dan di sisi lain tingginya
biaya produksi yang dibayar petani.
Perbedaan antara pemasukan dan
pengeluaran tersebut bisa diukur dengan rasio yang disebut nilai tukar petani
(NTP). Yang dimaksud dengan nilai tukar adalah nilai tukar suatu barang dengan
barang lain, jadi suatu rasio harga (nominal atau indeks) dari dua barang yang
berdeda. NTP adalah rasio antara indeks harga yang diterima petani (IT) dan
indeks harga yang dibayar petani (IB) untuk input-input yang digunakan untuk
bertani, misalnya pupuk, pestisida, tenaga kerja, irigasi, bibit, sewa traktor; dan
lainnya. Berdasarkan rasio ini, maka jelas bahwa kesejahteraan petani akan
meningkat apabila selisih antara hasil penjualannya (IT) dan biaya produksinya
(IB) bertambah besar, atau nilai tambah (NT)-nya meningkat. Jadi besar kecilnya
NT petani ditentukan oleh besar kecilnya NTP
10. Harga pupuk yang bagi banyak petani padi terlalu mahal. (terjadi akibat distorsi di
dalam pendistribusiannya)
22. 22
11. Naiknya bahan bakar minyak (BBM)
Satu-satunya cara yang bisa mendorong NTP naik atau paling tidak mengurangi
kecepatan merosotnya adalah pemerintah lewat kebijakan perberasannya.
G KEBIJAKAN ANTI-KEMISKINAN
Kebijakan memengaruhi kemiskinan, baik langsung maupun tidak langsung, lewat
sejumlah faktor yang menengahi. Dibawah ini digambarkan suatu hubungan alamiah
antara pertumbuhan ekonomi, kebijakan, kelembagaan, dan penurunan kemiskinan.
Kebijakan
Pertumbuhan
Perekonimian
Pertumbuhan
Ekonomi
Penurunan
Kemiskinan
Pertumbuhan
propemerataann
Kelembagaan
Gambar Hubungan antara Kelembagaan, Kebijakan, Pertumbuhan Ekonomi, dan
Penurunan Kemiskinan.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencanangkan ”Tujuan Pembangunan Abad
Milenium” (Millennium Development Goals; MDGs) yang harus dicapai 191 negara
anggotanya pada tahun 2015. Ada delapan (8) target yang harus dicapai yang salah
satunya fokus langsung terhadap permasalahan kemiskinan. Kedelapan target
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Meniadakan kemiskinan dan kelaparan ekstrem.
-> Mengurangi hingga setengah jumlah orang yang hidup dengan biaya kurang
dari satu (1) dolar AS pe hari.
-> Mengurangi hingga setengah proporsi penduduk dunia yang menderita
kelaparan.
2. Mencapai pendidikan dasar secara universal.
-> Memastikan bahwa semua anak lelaki dan perempuan menyelesaikan
pendidikan dasar.
3. Meningkatkan kesetaraan jender dan memberdayakan wanita.
-> Menghilangkan kesenjangan jender di tingkat sekolah dasar dan sekolah
lanjutan tingkat pertama, kalau bisa pada 2005, dan paling lambat 2015.
4. Mengurangi tingkat kematian anak.
-> Mengurangi hingga dua pertiga (2/3) tingkat kematian bagi anak-anak di
bawah usia lima (5) tahun.
5. Memperbaiki kesehatan ibu.
-> Mengurangi hingga tiga perempat(3/4) tingkat kematian ibu.
6. Memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit-penyakit lainnya.
23. 23
-> Menghentikan dan mulai mencegah penyebaran HIV/AIDS.
-> Menghentikan dan mulai mencegah wabah malaria dan penyakit utama
lainnya.
7. Menjamin kelestarian lingkungan hidup.
-> Mengintegrasikan prinsip pembangunan berkesinambungan lewat kebijakankebijakan dan penyusunan program-program, mencegah kerusakan sumber
daya alam (SDA)
-> Mengurangi hingga setengah (1/2) proporsi penduduk yang tidak memiliki
akses terhadap air bersih untuk diminum.
-> Mencapai secara signifikan perbaikan hidup dari setidaknya 100 juta
penduduk dunia yang hidup di daerah-daerah kumuh pada 2020.
8. Membentuk sebuah kerja sama global untuk pembangunan.
-> Menciptakan lebih jauh sistem perdagagan dan keuangan lewat sebuah
peraturan internasional, menciptakan aturan yang tidak diskriminatif dan bisa
diterapkan di semua negara. Di dalam hal ini, tidak termasuk adanya sebuah
komitmen untuk menciptakan pemerintahan yang baik, program
pembangunan, dan program pengurangan kemiskinan (di tingkat nasional
maupun internasional)
-> Menyusun daftar-daftar kebutuhan khusus yang paling diperlukan oleh
negara-negara paling terbelakang. Di dalam konteks ini, di antaranya
termasuk pembebasan tarif atau kuota atas ekspor negara terbelakang;
meningkatkan porsi utang yang dihapuskan, penghapusan utang pemerintah
secara bilateral; dan memberikan bantuan pemerintahan yang sifatnya lebih
berupa kemurahan hati pada negara terbelakang dalam rangka pengurangan
kemsikinan.
-> Menyususun daftar kebutuhan bagi daerah terpencil dan negara-negara
berkembang yang sangat kecil ukurannya dari segi jumlah penduduk dan luas
wilayah.
-> Mengupayakan secara komprehensif utang-utang negara berkembang lelwat
perangkat nasional dan internasional agar utang tidak lagi menjadi beban.
-> Meningkatkan keja sama dengan perusahaan farmasi agar tersedia akses bagi
warga termiskin di negara berkembang untuk mendapatakn obat-obatan.
-> Kerja sama dengan sektor swasta dalam rangka penyebaran teknologi,
terutama teknologi informasi dan komunikasi, bagi semua negara yang paling
membutuhkan.
Intervensi pemerintah dalam jangka pendek yang dapat dilakukan dalam
memerangi kemiskinan adalah:
1. Pembangunan sektor pertanian, usaha kecil dan ekonomi pedesaan.
Pembangunan pertanian, usaha kecil dan ekonomi perdesaan dapat
didorong lewat misalnya; pemberian kredit mikro dan fasilitas-fasilitas
lainnya yang mempermudah proses produksi, penyediaan bahan baku dan
input-input produksi lainnya, dan pemasaran dan pengembangan proyekproyek yang selain padat karya juga mempunyai keterkaitan produksi ke
belakang maupun ke depan dengan sektor pertanian pada khususnya dan
perkekonomian perdesaan pada umumnya.
24. 24
2. Manajemen lingkungan dan SDA.
3. Pembangunan transportasi, komunikasi, energi dan keuangan, peningkatan
keikutsertaan masyarakat sepenuhnya dalam pembangunan, dan proteksi
sosial (termasuk pembangunan sistem jaminan sosial).
Intervensi pemerintah dalam jangka menengah dan jangka panjang untuk
memerangi kemiskinan adalah:
1. Pembangunan/penguatan sektor swasta.
Peranan aktif sektor ini sebagai motor utama penggerak ekonomi/sumber
pertumbuhan dan penemu daya saing perekonomian nasional harus
ditingkatkan.
2. Kerja sama regional.
Hal ini menjadi sangat penting dalam kasus Indonesia sehubungan dengan
pelaksanaan otonomi daerah. Kerja sama yang baik dalam segala hal, baik
di bidang ekonomi, industri dan perdaganan, maupun nonekonomi, seperti
pembangunan sosial, bisa memperkecil kemungkinan meningkatnya gap
antara provinsi-provinsi yang kaya dan provinsi-provinsi yang tidak punya
(miskin) SDA.
3. Manajemen pengeluaran pemerintah (APBN) dan administrasi.
Perbaikan manajemen pengeluaran pemerintah untu kebutuhan publik,
termasuk juga sistem administrasinya, sangat membantu usaha untuk
meningkatkan efektivitas biaya dari pengeluaran pemerintah untuk
membiayai penyediaan/pembangunan/penyempurnaan fasilitas-fasilitas
umum, seperti pendidikan, kesehatan, olah raga, dan lain-lain.
4. Desesntralisasi
Tidak hanya desentralisasi fiskal, tetapi juga dalam penentuan
strategi/kebijakan pembangunan ekonomi dan sosial di daerah sangat
membantu usaha pengurangan kemiskinan di dalam negeri. Karena hal
ini memberi suatu kesempatan besar bagi masyarakat daerah untuk aktif
berperan dan dapat menentukan sendiri strategi atau pola pembangunan
ekonomi dan sosial di daerah sesuai faktor-faktor keunggulan komparatif
dan kompetitif yang dimiliki masing-masing daerah.
5. Pendidikan dan kesehatan.
Tidak diragukan lagi, pendidikan dan kesehatan yang baik bagi semua
anggota masyarakat di suatu negara merupakan prakondisi bagi
keberhasilan dari kebijakan anti-kemiskinan dari pemerintah negara
tersebut. Oleh karena itu, penyediaan pendidikan, terutama dasar, dan
pelayanan kesehatan adalah tanggung jawab mutlak dari pemerintah, di
manapun juga, baik di negara-negara maju maupun NSB. Pihak swasta
bisa membantu dalam penyediaan tersebut, tetapi tidak mengambil alih
peranan pemerintah tersebut.
6. Penyediaan air bersih dan pembangunan perkotaan.
Sama seperti penyediaan pendidikan dasar dan kesehatan, penyediaan air
bersih dan pembangunan perkotaan terutama pembangunan fasilitasfasilitas umum/utama, seperti pemukiman/perumahan bagi kelompok
masyarakat miskin, fasilitas sanitasi dan transportasi, sekolah, komplek
25. 25
olah raga, dan infrastruktur fisik, seperti jalan raya, waduk, listrik dan
sebagainya, merupakan intervensi yang efektif untuk mengurangi tingkat
kemiskinan, terutama di perkotaan.
7. Pembangian tanah yang merata.
Pembagian tanah yang merata atau yang dikenal dengan land reform
terutama sangat krusial di NSB karena sebagai suatu sumber penting bagi
kehidupan di perdesaan. Lagi pula, banyak studi telah membuktikan
bahwa pemilik-pemilik kecil lebih efisien dalam menggunakan tanah
dibandingkan pemilik-pemilik besar, dan sistem bagi hasil, seperti yang
dipraktikkan secara luas di Indonesia, kurang efisien dibandingkan
pengolahan oleh pemilik sendiri.
Kebijakan anti-kemiskinan di Indonesia terefleksi dari besarnya pengeluarlan
dalam APBN untuk membiayai program-program pemberantasan kemiskinan
di tanah air.
Tabel Pengeluaran Pemerintah untuk Pemberantasan Kemiskinan, sebagai
Suatu Persentase dari Pengeluaran Total dari Pemerintah Pusat 1994/95-2000
Bentuk Pengeluaran
Transfer Kas
Keuntungan dalam bentuk:
Subsidi beeras (operasi pasar khusus
(OPK)
Pelayanan kesehatan
Pendidikan
Penciptaan Kesempatan Kerja
Inpres Desa Tertinggal (IDT)
Prog. Pengembangan Kecamatan
Prog PengKemiskinan di Kota
Prog Pemb Daerah mengatasi krisis
ekonomi (skim kredit perdesaan)
Infrastruktur Perkotaan & Perdesaan
Padat Karya
Skim-skim Pinjaman
Lainnya
Total
Total Program Antikemiskinan
- Nilai (Rp trilliun)
- % daru PDB
94/95
97/98
98/99
99/00
2000
0,69
5,73
5,14
2,96
0,16
0,33
1,21
0,53
0,34
0,36
1,27
0,13
3,70
0,97
1,06
3,94
3,14
1,16
0,84
1,87
1,22
0,99
0,75
2,58
0,22
1,37
0,61
96/97
0,49
0,61
0,59
95/96
0,33
0,04
0,29
0,28
0,40
0,51
0,48
0,12
7,01
0,24
0,43
0,22
0,92
0,20
5,65
13,95
1,23
10,35
1,05
0,33
0,26
0,61
0,02
0,43
0,430
0,53
0,61
0,43
0,11
1,37
1,70
1,96
1,16
0,61
1,01
0,46
0,49
9,67
1,07
0,23
1,54
0,28
1,98
0,29
14,24
1,39
Pengeluarlan pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan adalah yang
terpenting.
Karena kedua fakktor ini sangat memengaruhi kemampuan
seseorang untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang produktif dan penyebab
utama kemiskinan di Indonesia adalah karena banyak anggota masyarakat
yang berpendidikan rendah dan dengan kondisi kesehatan yang buruk.