Maqamat dan ahwal merupakan konsep penting dalam tasawuf yang menggambarkan perjalanan spiritual seorang sufi mendekati Allah. Maqamat adalah tahapan-tahapan yang harus ditempuh melalui usaha sendiri, sementara ahwal adalah keadaan batin yang diberikan Allah secara tiba-tiba. Beberapa maqamat penting meliputi taubah, zuhud, dan tawakkal.
2. • Tasawuf upaya melatih “jiwa” dapat
membebaskan dirinya dari “pengaruh
kehidupan dunia” dekat dengan Allah.
• Tasawuf suatu sistem latihan (riyadah-
mujahadah) untuk membersihkan,
mempertinggi dan memperdalam kerohanian
taqarrub kepada Allah SWT (segala
konsentrasi tertuju kepadaNya).
3. • Untuk mencapai tujuan “kedalaman rohaniah”
menempuh tahapan-tahapan spiritual
(maqam atau station).
• Untuk pindah dari satu stasion ke stasion
berikutnya menghendaki usaha yang berat
dan waktu yang tidak singkat.
4. Maqamat
• Harfiyah Maqamat (jamak:maqam):
“tempat orang berdiri atau pangkal mulia”.
bisa berarti tempat atau kedudukan (stations).
• Istilah sebagai jalan panjang yang harus
ditempuh oleh seorang sufi untuk berada
dekat dengan Allah.
• Dalam Sufi Terminology: The Mystical
Language of Islam, maqam diterjemahkan
sebagai kedudukan spiritual.
5. Sistem maqamat
• Seseorang tidak dapat beranjak dari satu maqam
ke maqam lain sebelum ia memenuhi semua
persyaratan yang ada pada maqam tersebut.
• Sebagaimana digambarkan oleh al-Qusyairi
bahwa seseorang yang belum sepenuhnya
qanaah tidak bisa mencapai tawakkal. Dan siapa
yang belum sepenuhnya tawakkal tidak bisa
sampai pada taslim. Barangsiapa belum taubah
tidak bisa sampai pada inabat dan barang siapa
belum wara’ tidak bisa mencapai zuhud, begitu
seterusnya
6. Ahwal
• Ahwal adalah jamak dari hal yang berarti keadaan atau situasi
kejiwaan (state).
• Secara terminologis Ahwal berarti keadaan spiritual yang
menguasai hati.
• Menurut Harun Nasution, hal merupakan keadaan mental seperti
perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya.
• Hal masuk dalam hati seseorang sebagai anugerah yang diberikan
oleh Allah. Hal datang dan pergi dari diri seseorang tanpa usaha
atau perjalanan tertentu. Karena ia datang dan pergi secara tiba-
tiba dan tidak disengaja.
• Maka sebagaimana dikatakan al-Qusyairi, bahwa pada dasarnya
maqam adalah upaya (makasib) sedang hal
adalah karunia (mawahib). Sehingga kadangkala hal
datang pada diri seseorang dalam waktu yang cukup lama dan
kadang datang hanya sekejap. Hanya saja hal tidak datang dengan
tanpa kesadaran namun kedatangan hal bahkan harus menjadi
kepribadian seseorang.
7. Struktur Maqamat
• Muhammad al-Kalabazy dalam kitabnya al-
Ta’aruf li Mazhab ahl al-Tasawwuf,
sebagaimana dikutip Harun Nasution misalnya
mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya
ada sepuluh, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-
shabr, al-faqr, al-tawadlu’, al-taqwa, al-
tawakkal, al-ridla, al-mahabbah dan al-
ma’rifah.
8. • Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi (al-Luma’) jumlah
maqamat hanya tujuh, yaitu al-taubah, al-
wara’, al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal, dan al-
ridla
• Imam al-Ghazali (Ihya’ Ulum al-Din)
maqamat itu ada delapan, yaitu al-taubah, al-
shabr, al-faqr, al-zuhud, al-tawakkal, al-
mahabbah, al-ma’rifah dan al-ridla.
9. Taubah :
• Dalam tasawwuf, taubah dikategorikan (tiga) tingkatan.
• Pertama, taubah bagi kalangan awwam. Yakni taubah pada
tingkatan yang paling dasar (memenuhi persyaratan minimal). Yaitu
menyesali segala perilaku kesalahan yang telah dilakukan dengan
sepenuh hati, serta meninggalkan perilaku kesalahan tersebut
untuk selama-lamanya. Lebih dari itu, juga harus diikuti dengan
keyakinan untuk tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.
• Kedua, taubah berarti kembali dari yang baik menuju yang lebih
baik. Seseorang yang bertaubah pada tingkatan ini, dituntut untuk
kembali dari perbuatan yang lebih baik menuju yang terbaik.
• Ketiga, yaitu kembali dari yang terbaik menuju kepada Allah. Pada
tingkatan ini seorang yang bertaubah akan berbuat yang terbaik
dengan tanpa motivasi apapun kecuali karena Allah dan untuk
Allah.
10. Al-Zuhud
• Zuhud (maqam sangat menentukan). Pentingnya posisi
zuhud dalam tasawuf, menurut Amin Syukur, ialah karena
melalui maqam zuhud seorang sufi akan dapat membawa
dirinya pada kondisi pengosongan kalbu dari selain Allah
SWT, dan terpenuhinya kalbu dengan zikir atau ingat
kepada Allah.
• Zuhud termasuk salah satu ajaran agama yang sangat
penting dalam rangka mengendalikan diri dari pengaruh
kehidupan dunia. Orang zuhud lebih mengutamakan
kebahagiaan hidup di akhirat yang kekal dan abadi, dari
pada mengejar kehidupan dunia yang fana dan sepintas
lalu. Hal ini dapat dipahami dari isyarat ayat yang berbunyi:
•
فتيال تظلمون وال اتقى لمن خير واالخرة قليل الدنيا متاع قل(النساء:۷۸
11. • Pada periode klasik (650-1250 M) umumnya para ulama sufi mengartikan
zuhud secara ekstrim.
• Hasan al-Basri sebagaimana diriwayatkan Abd al-Hakim Hasan bahwa ia
pernah mengatakan: “aku pernah menjumpai suatu kaum yang lebih
zuhud terhadap barang yang halal dari pada kamu dari barang yang
haram.”
• Dari ucapannya ini dia membagi zuhud pada dua tingkatan, yaitu zuhud
terhadap barang yang haram, ini adalah tingkatan zuhud yang elementer,
sedangkan yang lebih tinggi adalah zuhud terhadap barang yang halal.
Hasan al-Basri telah mencapai tataran yang kedua ini, sebagaimana
terekspresikan dalam bentuk sedikit makan, tidak terikat oleh makanan
dan minuman, bahkan dia pernah mengatakan seandainya menemukan
alat yang dapat dipergunakan mencegah makan pasti akan dilakukan.
Ekstrimitas pemikiran zuhud Hasan al-Basri dapat dilihat dari ucapannya:”
Jika Allah menghendaki seseorang itu baik, maka Dia mematikan
keluarganya sehingga dia dapat leluasa dalam beribadah.”
12. • Rabiah al-‘Adawiyah (w.185 H/801 M), memiliki ciri kezuhudan al-
Mahabbah. Betapa cintanya kepada Tuhan, dia terseret ke dalam
“fatalisme” yaitu ketika dia sakit dia tidak mau mendoa dan
didoakan karena semua itu adalah kehendak kekasihnya Tuhan.”
Cintanya yang membara itu menjadikan dia membujang selama-
lamanya. Alasannya dirinya adalah milik Tuhan, barang siapa yang
menginginkan dirinya harus meminta ijin kepada-Nya. Rabiah
menganggap dunia sebagai hijab (tabir penyekat) antara dirinya
dengan Tuhan.
• Adapun menurut al-Ghazali (540-505 H/1058-1111 M) hakekat
zuhud ialah berpaling dari sesuatu yang dibenci kepada sesuatu
yang lebih baik, benci dunia mencintai akhirat, atau berpaling dari
selain Allah kepada Allah SWT semata-mata.
13. • Taftazani misalnya menyatakan bahwa zuhud
bukanlah kependetaan yang menyebabkan
terputusnya kehidupan duniawi, akan tetapi
merupakan hikmah pemahaman yang
mengarahkan pandangan seseorang tentang
duniawi secara khusus. Seorang zahid tetap
menjalankan aktifitas keduniaannya secara
aktif, namun hal itu tidak membelenggu
kalbunya, sehingga membuat mereka
mengingkari Tuhan.
14. al-Wara’
• Secara harfiah al-Wara artinya saleh, menjauhkan
diri dari perbuatan dosa.34 Dalam tradisi sufi
yang dimaksud dengan wara’ adalah
meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas
atau belum jelas hukumnya (subhat). Hal ini
berlaku pada segala hal atau aktifitas kehidupan
manusia. Di samping itu, dalam tradisi sufi wara’
juga berarti meninggalkan segala sesuatu yang
berlebihan, baik berwujud benda maupun
perilaku. Lebih dari itu juga meninggalkan segala
hal yang tidak bermanfaat, atau tidak jelas
manfaatnya.