Ada tiga masalah utama pendidikan di Indonesia menurut dokumen tersebut. Pertama, pendidikan menghasilkan manusia robot dan kurang seimbang. Kedua, sistem pendidikan terlalu top-down dan membatasi kreativitas siswa. Ketiga, pendidikan kurang membentuk siswa yang kritis terhadap zaman. Dokumen ini juga menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia seperti sarana fisik dan kualitas
1. MAKALAH PERMASALAHAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan Indonesia semakin hari kualitasnya makin rendah. Berdasarkan Survey United Nations
Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), terhadap kualitas pendidikan di Negara-negara
berkembang di Asia Pacific, Indonesia menempati peringkat 10 dari 14 negara. Sedangkan
untuk kualitas para guru, kulitasnya berada pada level 14 dari 14 negara berkembang.
Salah satu faktor rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah karena lemahnya para guru
dalam menggali potensi anak. Para pendidik seringkali memaksakan kehendaknya tanpa pernah
memperhatikan kebutuhan, minat dan bakat yang dimiliki siswanya. Kelemahan para pendidik kita,
mereka tidak pernah menggali masalah dan potensi para siswa. Pendidikan seharusnya
memperhatikan kebutuhan anak bukan malah memaksakan sesuatu yang membuat anak kurang
nyaman dalam menuntut ilmu. Proses pendidikan yang baik adalah dengan memberikan
kesempatan pada anak untuk kreatif. Itu harus dilakukan sebab pada dasarnya gaya berfikir anak
tidak bisa diarahkan.
Selain kurang kreatifnya para pendidik dalam membimbing siswa, kurikulum yang sentralistik
membuat potret pendidikan semakin buram. Kurikulum hanya didasarkan pada pengetahuan
pemerintah tanpa memperhatikan kebutuhan masyarakat. Lebih parah lagi,pendidikan tidak mampu
menghasilkan lulusan yang kreatif. Ini salahnya, kurikulum dibuat di Jakarta dan tidak
memperhatikan kondisi di masyarakat bawah. Jadi, para lulusan hanya pintar cari kerja dan tidak
pernah bisa menciptakan lapangan kerja sendiri, padahal lapangan pekerjaan yang tersedia terbatas.
Kualitas pendidikanIndonesia sangat memprihatinkan. Berdasarkan analisa dari
badanpendidikan dunia (UNESCO), kualitas para guru Indonesia menempati peringkat terakhir dari
14 negara berkembang di Asia Pacifik. Posisi tersebut menempatkan negeri agraris ini dibawah
Vietnam yang negaranya baru merdeka beberapa tahun lalu. Sedangkan untuk kemampuan
membaca, Indonesia berada pada peringkat 39 dari 42 negara berkembang di dunia. Lemahnya input
quality, kualitas guru kita ada diperingkat 14 dari 14 negara berkembang. Ini juga kesalahan negara
yang tidak serius untuk meningkatkan kualitaspendidikan. Dari sinilah penulis mencoba untuk
membahas lebih dalam mengenai pendidikan di Indonesia dan segala dinamikanya.
B. Pembatasan Masalah
Dari uraian di atas dilihat begitu kompleksnya permasalahan dalam pendidikan yang ada di
Indonesia. Oleh karena itu Penulis membatasi beberapa masalah dalam penulisan makalah dengan
“Masalah-masalah mendasar pendidikan di Indonesia, Kualitas pendidikan di Indonesia, dan Solusi
Pendidikan di Indonesia.
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan
2. Sesuai dengan pembatasan masalah di atas, maka tujuan penulisan adalah untuk mengetahui
masalah-masalah apa saja yang terjadi pada pendidikan di Indoensia yang dillihat dari kualitas
pendidikannya semakin hari semakin menurun.
2. Manfaat
Dari penulisan ini diharapkan mendatangkan manfaat berupa penambahan pengetahuan serta
wawasan penulis kepada pembaca tentang keadaan pendidikan sekarang ini sehingga kita dapat
mencari solusinya secara bersama agar pendidikan di masa yang akan dapat meningkat baik dari segi
kualitas maupun kuantitas yang diberikan.
BAB II
LANDASAN TEORI
Sebelum kita membahas mengenai permasalahan-permasalahanpendidikan di Indonesia, sebaiknya
kita melihat definisi dari pendidikanitu sendiri terlebih dahulu. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia,pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu memelihara dan memberi
latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.
Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian yaitu proses pengubahan sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran
dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik.
Ki Hajar Dewantara, sebagai Tokoh Pendidikan Nasional Indonesia, peletak dasar yang kuat
pendidkan nasional yang progresif untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang
merumuskan pengertian pendidikan sebagai berikut :
Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan
batin, karakter), pikiran (intelektual dan tubuh anak); dalam Taman Siswa tidak boleh dipisahkan
bagian-bagian itu agar supaya kita memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan, kehidupan dan
penghidupan anak-anak yang kita didik, selaras dengan dunianya (Ki Hajar Dewantara, 1977:14)
Dari etimologi dan analisis pengertian pendidikan di atas, secara singkat pendidikan dapat
dirumuskan sebagai tuntunan pertumbuhan manusia sejak lahir hingga tercapai kedewasaan
jasmani dan rohani, dalam interaksi dengan alam dan lingkungan masyarakatnya.
Pendidikan merupakan proses yang terus menerus, tidak berhenti. Di dalam proses pendidikan ini,
keluhuran martabat manusia dipegang erat karena manusia (yang terlibat dalam pendidikan ini)
adalah subyek dari pendidikan. Karena merupakan subyek di dalampendidikan, maka dituntut suatu
tanggung jawab agar tercapai suatu hasil pendidikan yang baik. Jika memperhatikan bahwa manusia
itu sebagai subyek dan pendidikan meletakkan hakikat manusia pada hal yang terpenting, maka
perlu diperhatikan juga masalah otonomi pribadi. Maksudnya adalah, manusia sebagai
subyek pendidikan harus bebas untuk “ada” sebagai dirinya yaitu manusia yang berpribadi , yang
bertanggung jawab.
Hasil dari pendidikan tersebut yang jelas adalah adanya perubahan pada subyek-subyek
pendidikan itu sendiri. Katakanlah dengan bahasa yang sederhana demikian, ada perubahan
dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mengerti menjadi mengerti. Tetapi perubahan-perubahan
3. yang terjadi setelah proses pendidikan itu tentu saja tidak sesempit itu. Karena perubahan-perubahan
itu menyangkut aspek perkembangan jasmani dan rohani juga.
Melalui pendidikan manusia menyadari hakikat dan martabatnya di dalam relasinya yang tak
terpisahkan dengan alam lingkungannya dan sesamanya. Itu berarti, pendidikan sebenarnya
mengarahkan manusia menjadi insan yang sadar diri dan sadar lingkungan. Dari kesadarannya itu
mampu memperbarui diri dan lingkungannya tanpa kehilangan kepribadian dan tidak tercerabut dari
akar tradisinya.
BAB III
PEMABAHASAN
A. Masalah Mendasar Pendidikan di Indonesia
Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan menyadari bahwa
dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami “sakit”. Dunia pendidikan yang “sakit” ini
disebabkan karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam
kenyataannya seringkali tidak begitu. Seringkalipendidikan tidak memanusiakan manusia.
Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada.
Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia, menghasilkan “manusia robot”.
Kami katakan demikian karenapendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain
tidak seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar yang
berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin
hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang
sedang belajar, maka orang yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai macam kegiatan,
seperti mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan sebagainya. Hal yang
sering disinyalir ialah pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru
kepada murid. Apalagi dengan istilah yang sekarang sering digembar-gemborkan sebagai
“pendidikanyang menciptakan manusia siap pakai. Dan “siap pakai” di sini berarti menghasilkan
tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi.
Memperhatikan secara kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini manusia dipandang
sama seperti bahan atau komponen pendukung industri. Itu berarti, lembaga pendidikan diharapkan
mampu menjadi lembaga produksi sebagai penghasil bahan atau komponen dengan kualitas
tertentu yang dituntut pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan antusias oleh
banyak lembaga pendidikan.
Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah) atau kalau
menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin)
adalah pendidikan gaya bank. Sistempendidikan ini sangat tidak membebaskan karena para peserta
didik (murid) dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi
mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang
diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid dipandang sebagai safe
deposit box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer kedalam otak murid dan bila sewaktu-waktu
diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid hanya menampung apa saja yang
disampaikan guru.
4. Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek. Model pendidikan ini tidak
membebaskan karena sangat menindas para murid. Freire mengatakan bahwa
dalam pendidikangaya bank pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh
mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai
pengetahuan apa-apa.
Yang ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang dihasilkan pendidikan ini
hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya.
Manusia sebagai objek (yang adalah wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru
bertolak belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar
budayanya (seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah kita telah sama-sama melihat bagaimana kaum
muda zaman ini begitu gandrung dengan hal-hal yang berbau Barat? Oleh karena itu
strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam “strategi kebudayaan Asia”, sebab Asia kini
telah berkembang sebagai salah satu kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial,
budaya bahkan politik internasional. Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini penulis kemukakan.
Melainkan justru hendak mengajak kita semua untuk melihat kenyataan ini sebagai sebuah
tantangan bagi dunia pendidikan kita. Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai
sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta
keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi,
budaya dan situasi masyarakat lain? Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara
menjadi sangat relevan untuk direnungkan.
B. Kualitas Pendidikan di Indonesia
Ada dua faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan, khususnya diIndonesia yaitu :
- Faktor internal, meliputi jajaran dunia pendidikan baik
itu DepartemenPendidikan Nasional, Dinas Pendidikan daerah, dan juga sekolah yang berada di garis
depan.Dalam hal ini,interfensi dari pihak-pihak yang terkait sangatlah dibutuhkan
agar pendidikan senantiasa selalu terjaga dengan baik.
- Faktor eksternal, adalah masyarakat pada umumnya.Dimana,masyarakat merupakan
ikon pendidikan dan merupakan tujuan dari adanya pendidikan yaitu sebagai objek daripendidikan.
Banyak faktor-faktor yang menyebabkan kualitas pendidikan di Indonesia semakin terpuruk. Faktor-faktor
tersebut yaitu :
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak,
kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara
laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan
masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak
memiliki laboratorium dan sebagainya.
2. Rendahnya Kualitas Guru
5. Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki
profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39
UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan
melakukan pengabdian masyarakat.
Kendati secara kuantitas jumlah guru di Indonesia cukup memadai, namun secara kualitas mutu guru
di negara ini, pada umumnya masih rendah. Secara umum, para guru di Indonesia kurang bisa
memerankan fungsinya dengan optimal, karena pemerintah masih kurang memperhatikan mereka,
khususnya dalam upaya meningkatkan profesionalismenya. Secara kuantitatif, sebenarnya jumlah
guru di Indonesia relatif tidak terlalu buruk. Apabila dilihat ratio guru dengan siswa, angka-angkanya
cukup bagus yakni di SD 1:22, SLTP 1:16, dan SMU/SMK 1:12. Meskipun demikian, dalam hal
distribusi guru ternyata banyak mengandung kelemahan yakni pada satu sisi ada daerah atau
sekolah yang kelebihan jumlah guru, dan di sisi lain ada daerah atau sekolah yang kekurangan guru.
Dalam banyak kasus, ada SD yang jumlah gurunya hanya tiga hingga empat orang, sehingga mereka
harus mengajar kelas secara paralel dan simultan.
Bila diukur dari persyaratan akademis, baik menyangkutpendidikan minimal maupun kesesuaian
bidang studi dengan pelajaran yang harus diberikan kepada anak didik, ternyata banyak guru yang
tidak memenuhi kualitas mengajar (under quality).
Hal itu dapat dibuktikan dengan masih banyaknya guru yang belum sarjana, namun mengajar di
SMU/SMK, serta banyak guru yang mengajar tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka miliki.
Keadaan seperti ini menimpa lebih dari separoh guru di Indonesia, baik di SD, SLTP dan SMU/SMK.
Artinya lebih dari 50 persen guru SD, SLTP dan SMU/SMK di Indonesia sebenarnya tidak memenuhi
kelayakan mengajar. Dengan kondisi dan situasi seperti itu, diharapkan pendidikan yang berlangsung
di sekolah harus secara seimbang dapat mencerdaskan kehidupan anak dan harus menanamkan
budi pekerti kepada anak didik. “Sangat kurang tepat bila sekolah hanya mengembangkan
kecerdasan anak didik, namun mengabaikan penanaman budi pekerti kepada para siswanya.
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi,
pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga
pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya.
Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat
kesejahteraan guru.
3. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya
kualitas pendidikan Indonesia. Dengan pendapatan yang rendah, terang saja banyak guru terpaksa
melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore
hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan
sebagainya.
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan.
Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan
dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok,
6. tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan
lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus
juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di
lingkungan pendidikanswasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan
Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak
sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen.
4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru)
pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika
dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in
Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke -35
dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi
sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara
tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP)
juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia
melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini
Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara
tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional
Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa
keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes
membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan
51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata
mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini
mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999
(IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2
Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam
dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik
ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73
dan ke-75.
5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang
Departemen PendidikanNasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000
menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4%
(28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi
7. Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu
layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya
tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu
diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah
ketidakmerataan tersebut.
6. Rendahnya Relevansi Pendidikan dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang
dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan
SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode
yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing
tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999,
setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga
menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara
hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang
funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
7. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang
harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya
biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat
miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, sampai Rp 1.000.000. Bahkan
ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang
menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai
sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite
Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah
terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada
tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota
Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya
menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan
tanggung jawab negara terhadappermasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP).
Berubahnya statuspendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi
ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat
melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang
sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara
(BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang
kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biayapendidikan di beberapa
Perguruan Tinggi favorit.
8. Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari
tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia
sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong
privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar
sepertipendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas,
10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untukpendidikan. Bandingkan dengan dana untuk
membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah
memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang
SistemPendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP)
tentang PendidikanDasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada
privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang
Sistem PendidikanNasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau
satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan
hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam
operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar
(Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah
melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab
penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk
menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya
setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang
kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin
terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia,
privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh
negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan
Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua
satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukumpendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber
dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik
Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal,
maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara
berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah.
Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis.
Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang
berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses
masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah
justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan
bagi Pemerintah untuk cuci tangan.
9. C. Solusi Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah, seperti rendahnya kualitas sarana fisik, rendahnya kualitas guru,
dan lain-lain seperti yang telah dijelaskan diatas, secara garis besar ada dua solusi yaitu:
- Solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan
sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi
yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem
ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan
tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
- Solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal -hal teknis yang berkait langsung
dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi
siswa.
Solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan
kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan
kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang
lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya
prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran,
meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.
Maka dengan adanya solusi-solusi tersebut diharapkan pendidikandi Indonesia dapat bangkit dari
keterpurukannya, sehingga dapat menciptakan generasi-generasi baru yang berSDM tinggi,
berkepribadian pancasila dan bermartabat.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Banyak sekali factor yang menjadikan rendahnya kualitaspendidikan di Indonesia. Factor-faktor yang
bersifat teknis diantaranya adalah rendahnya kualitas guru, rendahnya sarana fisik, mahalnya
biaya pendidikan, rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya
relevansi pendidikan dengan kebutuhan, kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan. Namun
sebenarnya yang menjadi masalah mendasar dari pendidikan di Indonesia adalah
sistempendidikan di Indonesia itu sendiri yang menjadikan siswa sebagai objek, sehingga manusia
yang dihasilkan dari sistem ini adalah manusia yang hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman
dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Maka disinilah dibutuhkan kerja sama antara
pemerintah dan mesyarakat untuk mengatasi segala permasalahan pendidikan di Indonesia.
Citizen6, Jakarta: Permasalahan kepegawaian telah terjadi diberbagai daerah mencakup kekurangan
tenaga, belum jelasnya status kepegawaian, tingkatan dan besarnya serta keteraturan penerimaan
gaji mereka. Diantara bidang permasalahan yang cukup rumit adalah sektor pendidikan, yakni
tenaga guru, karena sifat dari sektor pembangunan ini.
Sektor pendidikan merupakan sasaran pembangunan yang penting, mengingat: pertama, merupakan
masalah yang secara khusus disebut oleh Pembukaan UUD, yaitu kewajiban negara untuk
10. mencerdaskan bangsa. Kedua, tenaga terdidik adalah kunci keberhasilan dikuasainya sesuatu
profesionalisme yang diperlukan oleh setiap WN mewujudkan kesejahteraan hidupnya. Ketiga,
sektor pendidikan ditangani oleh sebuah Kementerian yang mengelola anggaran yang sangat besar
dalam struktur APBN, sehingga secara analisis sudah dari awal disadari rumitnya masalah
pendidikan. Keempat, di dalam Kabinet terdapat Kementerian Kordinator Kesejahteraan Rakyat yang
membidangi juga sektor pendidikan, oleh karena kesulitan Kementerian Pendidikan yang bersifat
interdep bisa ditangani oleh Menko Kesra.
Berdasarkan uraian di atas, masalah-masalah pendidikan yang menyangkut beberapa kepentingan
dan persoalan diderah, apabila tidak dapat dipecahkan persoalannya ditingkat daerah, jelas harus
sampai ketingkat Kementerian dan apabilapun diperlukan koordinasi dengan bidang-bidang lain,
maka persoalan semacam ini adalah tugas dan tanggung jawab Menko Kesra untuk menanganinya,
karena harus disadari masalah bernegara hakikatnya adalah mengurus kepentingan warga negara
(WN).
Sangat mungkin karena banyaknya masalah-masalah strategis yang harus diputuskan oleh
Pemerintah mengakibatkan tingkat Menteri apalagi Menko tidak menjangkau perseoalan-persoalan
kelas teri yang terjadi di daerah. Oleh sebab itu pada masa Orde Baru, sistem Pemerintahan RI
didukunbg oleh satu deretan Forum Koordinasi yang bersifat tetap dan rutin mulai Sidang Kabinet
yang dipimpin Presiden, Rakor tingkat Menko dipimpin Menko, Rakor tingkat Sesmenko, Rakor
Kementerian dipimpin Menteri, Rakor tingkat Dirjen dan Sekjen dst, apabila perlu Rakor tingkat
Direktur, dan Rapat Kordinasi khusus yang lebih rendah dengan mengundang instansi lain dapat
dilakukan. Hanya dengan birokrasi yang rapi seperti ini, maka masalah-masalah “teri” yang terjadi di
ujung tanah air bisa dipecahkan. Sebagai sebuah sistem tentunya birokrasi ini masih tetap dilakukan
hingga saat ini atau kalau sudah ditinggalkan ada baiknya disarankan diaktifkan kembali.
Badan Intelijen Negara (BIN) dalam berbagai event rapat tersebut harus hadir, untuk memberikan
informasi atau analisa terkait ancaman-ancaman ke depan serta langkah untuk meminimalisirnya.
Persoalan Kurikulum 2013
Kementerian Pendidikan adalah Kementerian yang paling terkenal dengan kebiasaan setiap kali
berganti Menteri, maka berganti pula kurikulum pelajaran bagi anak didik, khususnya tingkat SMA ke
bawah. Namun demikian sejak jaman Orde Lama dan Orde Baru, pada dasarnya Kementerian
Pendidkan yang juga beberapa kali berrubah sebutan itu, sangat berhati-hati dalam hal kurikulum.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada umumnya lebih mengarah pada kebakatan murid atau
siswa tidak menghapus atau menambah mata pelajaran. Di tingkat Sekolah MeEnengah Keatas
kebawah.
Pandangan atau analisa yang terpercaya mengenai seluk beluk kurikulum baru haruslah dilakukan
oleh mereka yang menguasai dan memang berkecimpung dibidang pendidikan. Tentu ada yang
berargumen, bahwa tidak mengherankan kalau seseorang tidak hafal lirik lagu Indonesia Raya,
karena mata pelajaran menyannyi sudah lama dihapus dari kurikulum.
OIeh sebab itu untuk menanggapi berbagai keluhan yang terjadi terhadap kurikulum baru 2013
haruslah pandangan, kesimpulan dan saran diberikan oleh Lembaga kajian yang kredibel (menguasai
materi) dan terpercaya (tidak memiliki subyektifitas dengan masalah pendidikan). Salah satu yang
11. sudah esensial dalam masalah ini adalah Kementerian Pendidikan harus sudah sadar dan bersedia
menerima kenyataan apilkasi kurikulum baru bagi Lembaga Pendidikan Menengah Keatas kebawah,
ada feed back yang serius, artinya secara prinsipiil perlu ditinjau kembali, karena ada masalah.
Hal inilah yang nampaknya perlu segera sampai kepada Kementerian Pendidikan sehingga ada
tanggapan yang proporsional, yaitu perlu dibentuk Lembaga Penelitian yang secara khusus meneliti
aplikasi dari Kurikulum 2013. Meskipun gagasan menyempurnakan Lembaga Pendidikan di Indonesia
sudah muncul sejak Pemerintahan Orde Baru, ketika tantangan bakal berlakunya perdagangan bebas
di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik setelah tahun 2000 merupakan kenyataan yang tidak bisa
dihindari, namun belum tentu konsep Kurikulum 2013 yang dewasa ini diberlakukan adalah pilihan
yang benar.
Perubahan kurikulum harus jelas GBHN-nya, tetapi kita tahu sejak reformasi bahkan GBHN tersebut
tidak ada. Oleh sebab itu memutusakan perubahan kurikulum dengan begitu saja memberlakukan
Kurikulum 2013, secara konstitusional tidak benar dan secara teknis tidak cermat.
Dengan urutan berfikir ini kesimpulannya, Kementerian Pendidikan harus tidak main-main dan
sekedar berdalih sudah dibahas oleh para ahli dan sudah dicetak sekian juta buku untuk siap dibagi
atau sekedar sebuah peluang terjadinya kasus korupsi baru dengan Proyek Pencetakan Buku
Kurikulum Baru.
Oleh sebab itu salah satu langkah yang bisa diambil adalah menyatakan bahwa pemberlakuan
Kurikulum 2013 dewasa ini masih merupakan bagian dari penelitian untuk menghasilkan kurikulum
baru yang paripurna, sesuai dengan perkembangan dinamika umat manusia dewasa ini kedepan.
Lebih mutlak urgensinya dari bidang lain adalah perlunya ditetapkan GBHN Bidang Pendidikan dan
Pembentukan Lembaga Peneliti untuk meneliti kembali konsep Kurikulum 2013. (Soedibyo/kw)
*) Penulis adalah Letnan Jenderal TNI (Purn) dan mantan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara
(BAKIN).
1.1 Latar Belakang
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa pendidikan
merupakan hak setiap warga negara yang bertujuan mencerdaskan kehidupan
bangsa. Dengan demikian pendidikan mempunyai peranan yang besar pada
kemajuan sosial ekonomi suatu bangsa. Adanya program wajib belajar yang
mengharuskan anak usia sekolah mendapat pendidikan yang sesuai minimal
sampai jenjang pendidikan tertentu adalah wujud peran serta pemerintah dalam
melaksanakan pembangunan dibidang pendidikan. Pendidikan adalah usaha sadar
untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau
12. latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Kesadaran akan pendidikan
dapat digambarkan melalui partisipasi masyarakat dalam menyekolahkan anaknya
sampai jenjang pendidikan tertentu. Namun kondisi yang terjadi saat ini adalah
belum semua masyarakat sadar dan ikut mendukung program pendidikan tersebut,
terutama masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan yang masih kurang
memperhatikan kebutuhan akan pendidikan dan manfaatnya dimasa mendatang
Indonesia masih belum mampu memenuhi program wajib belajar 9 tahun
bagi semua anak. Saat ini masih terdapat sekitar 20 persen anak usia sekolah
menengah pertama yang masih belum bersekolah dan adanya perbedaan
partisipasi sekolah antar daerah yang cukup besar. Pada tahun 2009, sebagai
contoh Angka Partisipasi Murni (APM) pada jenjang Sekolah Dasar sebesar
82,90 persen di Provinsi Papua dan 96,16 persen di Provinsi Aceh. Pada jenjang
Sekolah Menengah Pertama, Angka Partisipasi Murni berkisar antara 49,56
persen di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan 74,42 persen di Provinsi Yogyakarta
dan pada jenjang Sekolah Menengah Atas berkisar antara 33,74 persen di Provinsi
Sulawesi Barat dan 54,84 persen di Provinsi Sumatera Utara, ini mengambarkan
bahwa belum adanya pemerataan pendidikan.
Bangsa Indonesia berusaha membangun manusia Indonesia seutuhnya,
tidak hanya memfokuskan pada pembangunan di bidang ekonomi. Salah satu
indikator dari Human Development Report (HDR) global yang telah
mengembangkan dan menyempurnakan pengukuran statistik dari pembangunan
manusia yaitu berupa Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Indikator tersebut
melihat tiga masalah pokok yang menjadi ukuran yaitu kesehatan, pendidikan
serta pendapatan melalui separitas daya beli.
Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Gorontalo menduduki rangking 24
di Indonesia, ini menggambarkan bahwa kualitas penduduk Gorontalo masih
tergolong rendah. Sebagai Propinsi baru, sejak awal berdirinya Provinsi Gorontalo
13. dalam pembangunan berusaha memprioritaskan pembangunan Sumber Daya
Manusia (SDM), karena pembangunan SDM memiliki peranan penting dalam
pembangunan suatu daerah. Tetapi pembangunan SDM tidak lepas dari
permasalahan - permasalahan. Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional
(Susenas) tahun 2009 memperlihatkan bahwa Angka Partisipasi Murni (APM)
Provinsi Gorontalo untuk jenjang Sekolah Dasar mencapai 90,40 persen, ini
menggambarkan bahwa penduduk usia Sekolah Dasar (SD) telah banyak yang
bersekolah. Tetapi untuk jenjang Sekolah Menengah (SMP) APM sebesar 53,05
persen, sedangkan Angka Partisipasi Murni untuk jenjang Sekolah Menengah
Atas (SMA) hanya mencapai 38,47 persen. Kabupaten Boalemo merupakan salasatu Kabupaten di
Provinsi Gorontalo, dimana di Kabupaten Boalemo pada tahun
2009 memperlihatkan bahwa Angka Partisipasi Sekolah Murni (APM) untuk
jenjang Sekolah Dasar mencapai 90,17 persen, ini menggambarkan bahwa
penduduk usia Sekolah Dasar (SD) telah banyak yang bersekolah. Tetapi untuk
jenjang Sekolah Menengah (SMP) APM sebesar 51,32 persen, sedangkan Angka
Partisipasi Murni untuk jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) hanya mencapai
37,82 persen. Hal ini menggambarkan bahwa penduduk Provinsi Gorontalo
khususnya Kabupaten Boalemo masih kurang sadar untuk mendapatkan
pendidikan yang lebih tinggi dan banyak permasalahan - permasalahan la
Selain itu dari Angka Rata - Rata Lama Sekolah Kabupaten Boalemo
Provinsi Gorontalo adalah 5,5 Tahun. Sehingga dengan demikian perlu diketahui
apakah yang menyebabkan seseorang mengalami putus sekolah dan perlu di teliti
lebih lanjut tentang faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi lama sekolah
seseorang. Diharapkan dengan diperolehnya pengetahuan dan gambaran
permasalahan tentang pencapaian lama sekolah di Kabupaten Boalemo Provinsi
Gorontalo dapat diambil langkah dan kebijakan dalam rangka memberikan
kesadaran untuk meningkatkan pendidikan di Provinsi Gorontalo pada umumnya
dan khususnya Kabupaten Boalemo agar dicapai kualitas penduduk yang lebih
14. baik.
Penelitian tentang partisipasi sekolah pernah dilakukan Sugiyanto (1996)
yang melakukan studi tentang faktor-faktor sosio ekonomi demografi rumah
tangga dalam pemilihan jenis pendidikan pada jenjang pendidikan menengah di
Pulau Jawa. Supriyadi (2006) juga pernah melakukan penelitian mengenai
partisipasi sekolah dengan menerapkan regresi logistik dimana penelitiannya
mengaitkan variabel demografi (pendidikan ibu, pengeluaran rumahtangga dan
jenis kelamin anak) dengan variabel respon proporsi bersekolah anak usia 7-18
tahun. Selain itu, Santoso (2009) telah melakukan penelitian dengan metode
spline multivariabel, dimana hasil dari penelitian tersebut bahwa variabel
topografi wilayah, umur anak, status pekerjaan anak, pendidikan kepala
rumahtangga, pengeluaran perkapita, banyaknya anggota rumah tangga, lapangan
pekerjaan kepala rumah tangga, dan status desa/kota mempengaruhi lama sekolah
di Provinsi Papua
Penelitian-penelitian tentang partisipasi sekolah yang dihubungkan dengan
partisipasi bekerja anak telah banyak dilakukan. Leme dan Wajnman (2000)
dalam Muniz (2001) mempelajari hubungan sekolah dan pekerja anak dan
menyimpulkan bahwa keputusan untuk sekolah dipengaruhi oleh variabel
pendidikan orangtua, pendapatan rumah tangga, jumlah anak dalam keluarga dan
jenis kelamin, begitu pula penelitian yang dilakukan oleh Arifatus (2009) tentang
rata rata lama sekolah yang juga dipengaruhi oleh faktor jumlah anggota rumah
tangga, pendidikan kepala rumah tangga, dan pendapatan rumah tangga. Dalam statistika dikenal
metode analisis survival yaitu suatu metode
statistika yang mempelajari lamanya suatu peristiwa atau kejadian yang terjadi
atau biasa dikenal dengan nama failure event. Dalam analisa survival dikenal
dengan istilah waktu ketahanan hidup (survival time) atau T merupakan waktu
dari awal perlakuan sampai terjadinya respon pertama kali yang ingin diamati.
Respon dimaksud adalah berupa waktu yang diperlukan hingga suatu
15. peristiwa atau kejadian yang diharapkan terjadi dan mungkin saja belum
ditemukan pada saat pengumpulan data berakhir sehingga waktu survival-nya
tidak dapat diamati. Pada kondisi demikian, pengamatan disebut sebagai
pengamatan tersensor (Collet, 1994). Sedangkan metode regresi survival adalah
metode regresi yang digunakan untuk melihat faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya suatu peristiwa atau kejadian (biasa dikenal dengan nama time
dependent covariate) dengan variabel responnya adalah waktu ketahanan hidup.
Salah satu metode regresi survival yang sering digunakan adalah regresi cox
proportional hazard.
Analisis survival telah banyak digunakan di berbagai bidang baik dengan
metode parametrik maupun non parametrik, seperti Rahayu (2003) telah
melakukan penelitian masalah penyakit jantung koroner dengan menggunakan
model regresi cox proportional hazard. Selain itu, Ata dan Sozer (2007) yang
meneliti tentang model regresi cox nonproportional hazard pada kasus data
kanker paru-paru. Analisa survival banyak dilakukan pada bidang kesehatan,
tetapi analisa survival juga dapat dilakukan pada bidang lain seperti sosial yaitu
mengenai lama sekolah seseorang menyelesaikan studinya. Penelitian yang
dilakukan oleh Rahim (2006) tentang faktor - faktor yang mempengaruhi
kegagalan pencapaian standar kelulusan minimal pada siswa SMP dengan
menggunakan analisis survival. Model mixture merupakan suatu model yang
khas, dan data yang ada biasanya terdiri dari beberapa subpopulasi atau grup.
Setiap subpopulasi merupakan suatu komponen dari mixture tertentu dengan
proporsi yang bervariasi untuk setiap komponennya (McLachlan dan Basford,
1988) dan (Gelman, et. al., 1995).