SlideShare a Scribd company logo
1 of 24
Hipersensitifitas TIpe 1: Reaksi Anafilaktik
atau Reaksi Alergi
March 30, 2012 Medicinesia 0 Comments alergi, anafilaktik, hipersensitifitas, imunologi, syok, tipe1
Artikel inisudah dibaca92135kali!
Reaksi hipersensitifitas menurut Robert Coombs dan Philip HH Gell dibagi menjadi 4 tipe yaitu:
 Tipe 1: Reaksi IgE atau reaksi anafilaktik
 Tipe 2: Reaksi sitotoksik
 Tipe 3: Reaksi kompleks antigen-antibodi
 Tipe 4: Reaksi hipersensitifitas tertunda/terlambat atau reaksi selular 1,2
Hipersensitifitas Tipe 1: Reaksi IgE atau Anafilaktik
Reaksi hipersensitifitas tipe 1 timbul segera setelah adanya pajanan dengan alergen. Reaksi ini dapat
terjadi dalam hitungan menit setelah terjadi kombinassi antigen dengan antibodi yang terikat pada sel
mast pada individu yang telah tersensitisasi terhadap antigen. 3
Reaksi ini seringkali disebut sebagai
alergi dan antigen yang berperan disebut sebagai alergen. Alergen yang masuk ke dalam tubuh akan
menimbulkan respon imun berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rinitis alergi, urtiakria,
asma dan dermatitis atopi. Reaksi tipe ini merupakan hipersensitifitas yang paling sering terjadi. 4,5
Reaksi ini disebut sebagai anafilaktik yang bermakna jauh dari perlindungan. Juga, merupakan
kebalikan dari profilaksis. Anafilaksis merupakan akibat dari peningkatan kepekaan, bukan
penurunan ketahanan terhadap toksin.
Sementara itu, ada istilah atopi yang sering digunakan untuk merujuk pada reaksi hipersensitifitas
tipe I yang berkembang secara lokal terhadap bermacam alergen yang terhirup atau tertelan. 3
Penderita atopi memiliki kadar IgE yang lebih tinggi dan produksi IL-4 yang lebih banyak
dibandingkan populasi umum. Gen yang kemungkinan terlibat dikode sebagai 5q31 yang mengkode
sitokin berupa IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-13 dan GM-CSF. Juga gen 6p yang dekat dengan kompleks
HLA.
Hipersensitifitas tipe I memiliki dua fase utama yaitu reaksi inisial atau segera yang ditandai dengan
vasodilatasi, kebocoran vaskular, tergantung pada lokasi, spasme otot polos atau sekresi glandular.
Perubahan tersebut terjadi dalam 5 sampai 30 menit sesudah eksposure dan menghilang dalam 60
menit. Selanjutnya, seperti pada rinitis alergi dan asma bronkial, dapat terjadi juga reaksi fase lambat
yang terjadi dalam 2-24 jam kemudian, tanpa ada tambahan eksposure antigen dan dapat bertahan
dalam beberapa hari. Fase ini ditandai dengan infiltrasi jaringan oleh eosinofil, netrofil, basofil,
monosit, dan sel T CD 4++ serta kerusakan jaringan yang seringkali bermanifestasi sebagai
kerusakan epitel mukosa.
Reaksi anafilaktik ini memiliki tiga tahapan utama berupa fase sensitisasi, fase aktivasi dan fase
efektor. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk membentuk IgE sampai diikat
silang oleh reseptor spesifik (Fcε-R) pada permukaan. Fase aktivasi merupakan waktu yang
diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen spesifik dan sel mast/basofil melepas isinya yang
berisikan granul yang nantinya akan menimbulkan reaksi alergi. Hal tersebut terjadi oleh ikatan
silang antara antigen dan IgE. Fase efektor yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis)
sebagai efek mediator-mediator yang dilepas oleh sel mast/basofil dengan aktivitas farmakologik.
1. Fase Sensitisasi
Hampir 50% populasi membangkitkan respon IgE terhadap antigen yang hanya dapat ditanggapi
pada permukaan selaput mukosa saluran nafas, selaput kelopak mata dan bola mata, yang merupakan
fase sensitisasi. Namun, hanya 10% yang menunjuka gejala klinis setelah terpapat alergen dari udara.
Respom-respon yang berbeda tersebut dikendalikan oleh gen MHC/HLA,terpengaruh dari limfosit T
dan IL-4 yang dihasilkan oleh limfosit CD4+. Individu yang tidak alergi memiliki kadar IL-4 yang
senantiasa rendah karena dipertahankan fungsi sel T supresor (Ts).
Jika pemaparan alergen masih kurang adekuat melalui kontak berulang, penelanan, atau suntikan
sementara IgE sudah dihasilkan, individu tersebut dapat dianggap telah mengalami sensitisasi. IgE
dibuat dalam jumlah tidak banyak dan cepat terikat oleh mastosit ketika beredar dalam darah. Ikatan
berlangsung pada reseptor di mastosit dan sel basofil dengan bagian Fc dari IgE. Ikatan tersebut
dipertahankan dalam beberapa minggu yang dapat terpicu aktif apabila Fab IgE terikat alergen
spesifik.
2. Fase Aktivasi
Ukuran reaksi lokal kulit terhadap sembaran alergen menunjukan derajat sensitifitasnya terhadap
alergen tertentu. Respon anafilaktik kulit dapat menjadi bukti kuat bagi pasien bahwa gejala yang
dialami sebelumnya disebabkan alergen yang diujikan.
Efektor utama pada hipersensitifitas tipe I adalah mastosit yang terdapat pada jaringan ikat di sekitar
pembuluh darah, dinding mukosa usus dan saluran pernafasan. Selain mastosit, sel basofil juga
berperan.
Ikatan Fc IgE dengan molekul reseptor permukaan mastosit atau basofil mempersiapkan sel tersebut
untuk bereaksi bila terdapat ikatan IgE dengan alergen spesifiknya. Untuk aktivasi, setidaknya
dibutuhkan hubungan silang antara 2 molekul reseptor yang mekanisme bisa berupa:
1. hubungan silang melalui alergen multivalen yang terikat dengan Fab molekul IgE
2. hubungan silang dengan antibodi anti IgE
3. hubungan silang dengan antibodi-antireseptor
Namun, aktivasi mastosit tidak hanya melalui mekanisme keterlibatan IgE atau reseptornya.
Anafilatoksin C3a dan C5a yang merupakan aktivasi komplemen dan berbagai obat seperti kodein,
morfin dan bahan kontras juga bisa menyebabkan reaksi anafilaktoid. Faktor fisik seperi suhu panas,
dingin dan tekanan dapat mengaktifkan mastosit seperti pada kasus urtikaria yang terinduksi suhu
dingin.
Picuan mastosit melalui mekanisme hubungan silang antar reseptor diawali dengan perubahan
fluiditas membran sebagai akibat dari metilasi fosfolipid yang diikuti masuknya ion Ca++
dalam sel.
Kandungan cAMP dan cGMP berperan dalam regulasi tersebut. Peningkatan cAMP dalam
sitoplasma mastosit akan menghambat degranulasi sedangkan cGMP dapat meningkatkan
degranulasi. Dengan begitu, aktivasi adenylate cyclase yang mengubah ATP menjadi cAMP
merupakan mekanisme penting dalam peristiwa anafilaksis.
3. Fase Efektor
Gejala anafilaksis hampir seluruhnya disebabkan oleh bahan farmakologik aktif yang dilepaskan oleh
mastosit atau basofil yang teraktivasi. Terdapat sejumlah mediator yang dilepaskan oleh mastosit dan
basofil dalam fase efektor.
Sel Mast dan Mediator pada Reaksi Tipe I1
Sel mast banyak mengandung mediator primer atau preformed antara lain histamin yang disimpan
dalam granul. Sel mast juga diaktifkan dapat memproduksi mediator baru atau sekunder atau newly
generated seperti LT dan PG. Secara umum, mediator yang dihasilkan oleh sel mast dan mekanisme
aksinya adalah sebagai berikut:
 Vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular: Histamin, PAF, Leukotrien C4 D4 E4, protease
netral yang mengaktivasi komplemen dan kinin, prostaglandin D2.
 Spasme otot polos: Leukotrienes C4 D4 E4, Histamin, prostaglandin, PAF
 Infintrasi seluler: sitokin (kemokin, TNF), leukotrien B4, faktor kemotaktik eosinofil dan netrofil.
a. Mediator Jenis Pertama (Histamin dan Faktor Kemotaktik)
Reaksi tipe I dapat mencapai puncak dalam 10-15 menit. Pada fase aktivasi, terjadi perubahan dalam
membran sel mast akibat metilasi fosfolipid yang diikuti oleh influks Ca++
yang menimbulkan
aktivasi fosfolipase. Dalam fase ini, energi dilepas akibat glikolisis dan beberapa enzim diaktifkan
dan menggerakan granul-granul ke permukaan sel. Kadar cAMP dan cGMP dalam sel berpengaruh
pada degranulasi. Peningkatan cAMPakan mencegah degranulasi sementara peningkatan cGMP akan
memacu degranulasi. Pelepasan granul ini merupakan proses fisiologis dan tidak menimbulkan lisis
atau matinya sel. Degranulasi juga dapat terjadi akibat pengaruh dari anafilatoksis, c3a dan c5a.
Histamin merupakan komponen utama granul sel mast dan sekitar 10% dari berat granul. Histamin
akan diikat oleh reseptornya (H1, H2, H3, H4) dengan distribusi berbeda dalam jaringan dan bila
berikatan dengan histamin, menunjukan berbagai efek.
Manifestasi yang dapat muncul dari dilepasnya histamin di antaranya adalah bintul dan kemerahan
kulit di samping pengaru lain seperti perangsangan saraf sensoris yang dirasakan gatal dan
peningkatan permeabilitas pembuluh darah kecil yang menyebabkan edema. Pada saluran
pernafasan, dapat terjadi sesak yang disebabkan oleh kontaksi otot-otot polos dan kelenjar saluran
pernafasan.
Pengaruh histamin pada sel-sel sasaran utamanya melalui reseptor H1. Namun, pada membran
mastosit terdapat pula reseptor H2 yang dapat berfungsi sebagai umpan balik negatif. Hal tersebut
karena pengikatan histamin pada reseptor tersebut justru menghambat pelepasan histamin oleh sel
mastosit tersebut.
Selain histamin, faktor kemotaktik juga dilepaskan secara cepat saat mastosit teraktivasi. Ada dua
macam ECF-A (eosinophil chemotactic factor id anaphylaxis) untuk menarik eosinofil dan NCF-A
(neutrophil chemotactic factor of anaphylaxis) untuk menarik netrofil. Dalam2-8 jam, terjadi
kumpulan granulosit berupa netrofil, eosinofil dan basofil, sedang dalam 24 jam yang lebih dominan
adalah sel limfosit.
Meski dilepaskan secara cepat, inflitrasi ECF-A dan NCF-A berlangsung lambat sehingga perannya
akan lebih penting dalam reaksi tahap lambat.
b. Mediator Jenis Kedua
Mediator kategori ini terikat erat dengan proteoglikan yang terlepas apabila ada kenaikan kadar
NaCl. Mediator ini mencakup heparin, kemotripsin, tripsin dan IF-A (inflammatory factor of
anaphylaxis). IFA-A memiliki potensi kemotaktik yang lebih besar dari ECF-A dan NCF-A dan
berperan dalam reaksi tahap lambat. Pelepasan yang perlahan membuat mediator ini memiliki
pengaruh lebih lama di jaringan.
Dalam reaksi tahap lambat, selain mediator yang dilepaskan oleh mastosit terdapat juga keterlibatan
sistem komplemen dan sistem koagulasi. Secara umum, mediator yang dilepaskan akan berperan
daam vaodilatasi dan peningkatan permeabilitas lokal dan mendorong berkumpulnya netrofil dan
eosinofil
b. Mediator Jenis Ketiga
Selain dari degranulasi mastosit, terdapat juga pelepasan asam arakhidonat yang bersumber dari
fosfolipid membran sel. Asam arakhidonat ini menjadi substrat enzim siklooksigenase dan
lipooksigenase. Aktivasi siklooksigenase akan menghasilkan prostaglandin dan tromboxan yang
menyebabkan reaksi radang dan mengubah tonus pembuluh darah.1,2
Sedangkan aktivasi
lipooksigenase akan menghasilkan leukotrien. Leuktrien C,D, dan E seringkali disebut sebagai SRS-
A (slow reactive substance of anaphylaxis) karena pengaruhnya lebih lambat dari histamin.
LT berperan dalam bronkokonstriksi, peningkatan permeabilitas vaskular dan produksi mukus.
Leuktrien B4mempunyai efek kemotaktik untuk sel netrofil dan eosinofil dan mempercepat ekspresi
reseptor untuk C3b pada permukaan sel tersebut.
Di antara sel-sel yang direkrut pada saat fase lambat, eosinofil merupakan yang paling penting.
Eosinofil ditarik oleh eotaxin dan kemokin lainnya yang dihasilkan oleh sel epitelial, sel Th2 dan sel
mast. Eosinofil membebaskan enzim proteolitik berupa major basic protein dan eosinofil catationic
protein yang bersifat toksik terhadap sel epitel. Aktivasi eosinofil dan leukosit lain juga
menghasilkan leukotrien C4 dan PAF yang secara langsung mengaktifkan sel mast untuk melepaskan
mediator. Oleh karena itu, perekrutan sel tersebut akan mengamplifikasi dan menjaga respon
inflamasi tanpa tambahan eksposure antigen pemicu. 3
Daftar Pustaka
1
Baratawidjaja KG, Rengganis I. Imunologi Dasar. 9thed. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI;2010.p.383-9
2
Subowo. Imunologi Klinik: Hipersensitivitas. 2nded. Jakarta: Sagung Seto; 2010.p. 31-84.
3
Kumar,Abbas, Fausto, Aster. Robbns and Cotran: Disease of The Immune System. 8thed.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010. p. 198-201, 204-5.
4
Abbas AK, Lichtman AH Pilai S. Cellular and Molecular Immunology. 6th ed. Philadelphia:
Saunders Elsevier; 2010. P. 423-5.
5
Widowati R. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin: Pengetahuan Dasar Imunologi. 5thed. Jakarta:
Penerbit FKUI;2009. P. 45-6.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
DENGAN ALERGI MAKANAN
FEBRUARY 8, 2010 ~ RASTITI
1. A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. 1. Pengertian/Definisi
 Alergi makanan adalah respon abnormal tubuh terhadap suatu makanan yang
dicetuskan oleh reaksi spesifik pada sistem imun dengan gejala yang spesifik pula
 Alergi makanan adalah kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan sistem
tubuh yang ditimbulkan oleh alergi terhadap bahan makanan.
 Dalam beberapa kepustakaan alergi makanan dipakai untuk menyatakan suatu
reaksi terhadap makanan yang dasarnya adalah reaksi hipersensitifitas tipe I dan
hipersensitifitas terhadap makanan yang dasaranya adalah reaksi hipersensitifitas
tipe III dan IV.
1. 2. Epidemiologi
Alergi makanan bisa menyerang siapa saja dengan kadar yang berbeda beda. Pada
saat seseorang menyantap makanan kemudian timbul perasaan tidak enak pada
tubuhnya maka mereka akan beranggapan bahwa mereka alergi terhadap makanan
tersebut. Fakta membuktikan, tidak semua anggapan tersebut benar. Hanya 1% pada
orang dewasa dan 3% pada anak anak yang terbukti jika mereka memang benar benar
alergi terhadap makanan tertentu.
Alergi makanan umumnya terjadi pada anak-anak. Sekitar 1-2% bayi alergi terhadap
susu sapi, sekitar 8% anak menunjukkan reaksi yang tidak diinginkan terhadap
makanan, dan 2% orang dewasa juga menderita alergi makananPerkiraan insidensi
alergi makanan yang diantara IgE dan merupakan hipersensitivitas tipe I berkisar dari
0,1% hingga 7,0% populasi.
1. 3. Etiologi
Faktor yang berperan dalam alergi makanan kami bagi menjadi 2 yaitu :
a. Faktor Internal
 Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam lambung,
enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi imunologis (misalnya :
IgA sekretorik) memudahkan penetrasi alergen makanan. Imaturitas juga
mengurangi kemampuan usus mentoleransi makanan tertentu.
 Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin
sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma
kehidupan setempat.
 .Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapan
alergen bertambah.
b. Fakor Eksternal
 Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih, stress)
atau beban latihan (lari, olah raga).
 Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut prevalensinya
Ikan 15,4 %
Telur 12,7 %
Susu 12,2 %
Kacang 5,3 %
Gandum 4,7 %
Apel 4,7 %
Kentang 2,6 %
Coklat 2,1 %
Babi 1,5 %
Sapi 3,1 %
 Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat
menimbulkan reaksi alergi.
1. 4. Patofisiologi
Saat pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh seseorang yang
mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika untuk
kedua kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah tampak
gejala – gejala timbulnya alergi pada kulit orang tersebut.Setelah tanda – tanda itu
muncul maka antigen akan mengenali alergen yang masuk yang akan memicu
aktifnya sel T ,dimana sel T tersebut yang akan merangsang sel B
untuk mengaktifkan antibodi ( Ig E ). Proses ini mengakibatkan melekatnya antibodi
pada sel mast yang dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang mengalami paparan
untuk kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi 2 hal yaitu,:
1. Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan efek
terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel – sel radang misalnya netrofil
dan eosinofil, sehingga menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan
panas.
2. 2. Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang
merangsang sel mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang banyak ,
kemudian histamin tersebut beredar di dalam tubuh melalui pembuluh darah. Saat
mereka mencapai kulit, alergen akan menyebabkan terjadinya
gatal,prutitus,angioderma,urtikaria,kemerahan pada kulit dan dermatitis. Pada saat
mereka mencapai paru paru, alergen dapat mencetuskan terjadinya asma. Gejala
alergi yang paling ditakutkan dikenal dengan nama anafilaktik syok. Gejala ini
ditandai dengan tekanan darah yang menurun, kesadaran menurun, dan bila tidak
ditangani segera dapat menyebabkan kematian
5.Klasifikasi
 Hipersensitivitas anafilaktif ( tipe 1 )
Keadaan ini merupakan hipersensitivitas anafilaktif seketika dengan reaksi yang di
mulai dalam tempo beberapa menit sesudah kontak dengan antigen.
 Hipersensitivitas sitotoksik ( tipe 2 )
Hipersensitivitas sitotoksik terjadikalau sistem kekebalan secara keliru mengenali
konsituen tubuh yang normal sebagai benda asing.
 Hipersensitivitas kompleks imun ( tipe 3 )
kompleks imun terbentuk ketika antigen terikat dengan antibodi dan dibersihkan dari
dalam sirkulasi darah lewat kerja fagositik.
 Hipersensitivitas Tipe lambat (tipe 4 )
Reaksi ini yang juga dikenal sebagai hipersensitivitas seluler, terjadi 24 hingga 72 jam
sesudah kontak dengan alergen
6.Gejala Klinis
Adapun Gejala klinisnya :
v Pada saluran pernafasan : asma
v Pada saluran cerna: mual,muntah,diare,nyeri perut
v Pada kulit: urtikaria. angioderma,dermatitis,pruritus,gatal,demam,gatal
v Pada mulut: rasa gatal dan pembengkakan bibir
7.Pemeriksaan Fisik
Inspeksi : apakah ada kemerahan, bentol-bentol dan terdapat gejala adanya
urtikaria,angioderma,pruritus dan pembengkakan pada bibir
Palpasi : ada nyeri tekan pada kemerahan
Perkusi : mengetahui apakah diperut terdapat udara atau cairan
Auskultasi : mendengarkan suara napas, bunyi jantung, bunyi usus( karena pada oarng
yang menderita alergi bunyi usunya cencerung lebih meningkat)
8.Pemeriksaan Penunjang
 Uji kulit : sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti
tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen
makanan seperti susu, telur, kacang, ikan).
 Darah tepi : bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit
5000/ml disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.
 IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20
tahun. Kadar IgE lebih dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita
adalah atopi, atau mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler.
 Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya.
 Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif.
 Biopsi usus : sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food chalenge
didapatkan inflamasi / atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan
IgM. IgE ( dengan mikroskop imunofluoresen ).
 Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.
 Diit coba buta ganda ( Double blind food chalenge ) untuk diagnosa pasti
9.Diagnostik
– Gangguan saluran cerna dengan diare dan atau mual muntah, misalnya :
stenosis pilorik, Hirschsprung, defisiensi enzim, galaktosemia, keganasan dengan
obstruksi, cystic fibrosis, peptic disease dan sebagainya.
– Reaksi karena kontaminan dan bahan-bahan aditif, misalnya : bahan pewarna
dan pengawet, sodium metabisulfite, monosodium glutamate, nitrit, tartrazine, toksin,
fungi (aflatoxin), fish related (scombroid, ciguatera), bakteri (Salmonella, Escherichia
coli, Shigella), virus (rotavirus, enterovirus), parasit (Giardia, Akis simplex), logam
berat, pestisida, kafein, glycosidal alkaloid solanine, histamin (pada ikan), serotonin
(pisang, tomat), triptamin (tomat), tiramin (keju) dan sebagainya.
– Reaksi psikologi
10.Therapy/Pengobatan
Ada beberapa regimen diet yang bisa digunakan :
1. ”ELIMINATION DIET”: beberapa makanan harus dihindari yaitu Buah, Susu,
Telur, Ikan dan Kacang, di Surabaya terkenal dengan singkatan BSTIK.
Merupakan makanan-makanan yang banyak ditemukan sebagai penyebab gejala
alergi, jadi makanan-makanan dengan indeks alergenisitas yang tinggi. Indeks ini
mungkin lain untuk wilayah yang lain, sebagai contoh dengan DBPFC
mendapatkan telur, kacang tanah, susu sapi, ikan, kedelai, gandum, ayam, babi,
sapi dan kentang, sedangkan Bischop mendapatkan susu, telur, kedelai dan
kacang.
2. ”MINIMAL DIET 1” (Modified Rowe’s diet 1): terdiri dari beberapa makanan
dengan indeks alergenisitas yang rendah. Berbeda dengan ”elimination diet”, regimen
ini terdiri dari beberapa bahan makanan yang diperbolehkan yaitu : air, beras, daging
sapi, kelapa, kedelai, bayam, wortel, bawang, gula, garam dan susu formula kedelai.
Bahan makanan lain tidak diperbolehkan.
3. ”MINIMAL DIET 2” (Modified Rowe’s Diet 2): Terdiri dari makanan-makanan
dengan indeks alergenisitas rendah yang lain yang diperbolehkan, misalnya : air,
kentang, daging kambing, kacang merah, buncis, kobis, bawang, formula hidrolisat
kasein, bahan makanan yang lain tidak diperkenankan.
4. ”EGG and FISH FREE DIET”: diet ini menyingkirkan telur termasuk makanan-
makanan yang dibuat dari telur dan semua ikan. Biasanya diberikan pada penderita-
penderita dengan keluhan dengan keluhan utama urtikaria, angionerotik udem dan
eksema.
5. ”HIS OWN’S DIET”: menyingkirkan makanan-makanan yang dikemukakan
sendiri oleh penderitanya sebagai penyebab gejala alergi.
Diet dilakukan selama 3 minggu, setelah itu dilakukan provokasi dengan 1 bahan
makanan setiap minggu. Makanan yang menimbulkan gejala alergi pada provokasi ini
dicatat. Disebut alergen kalau pada 3 kali provokasi menimbulkan gejala alergi.
Waktunya tidak perlu berturut-turut. Jika dengan salah satu regimen diet tidak ada
perbaikan padahal sudah dilakukan dengan benar, maka diberikan regimen yang lain.
Sebelum memulai regimen yang baru, penderita diberi ”carnaval” selama seminggu,
artinya selama 1 minggu itu semua makanan boleh dimakan (pesta). Maksudnya
adalah memberi hadiah setelah 3 minggu diet dengan baik, dengan demikian ada
semangat untuk menjalani diet berikunya. Selanjutnya diet yang berikutnya juga
dilakukan selama 3 minggu sebelum dilakukan provokasi.
Bila diet tidak bisa dilaksanakan maka harus diberi farmakoterapi dengan obat-obatan
seperti yang tersebut di bawah ini :
1. i. Kromolin, Nedokromil.
Dipakai terutama pada penderita dengan gejala asma dan rinitis
alergika.Kromolin umumnya efektif pada alergi makanan dengan gejala Dermatitis
Atopi yang disebabkan alergi makanan. Dosis kromolin untuk penderita asma berupa
larutan 1% solution (20 mg/2mL) 2-4 kali/hari untuk nebulisasi atau berupa inhalasi
dengan metered-dose inhaler 1,6 mg (800 µg/inhalasi) 2-4 kali/hari. Untuk rinitis
alergik digunakan obat semprot 3-4 kali/hari yang mangandung kromolin 5.2
mg/semprot. Untuk konjungtivitis diberikan tetes mata 4% 4-6 x 1 tetes
mata/hari.Nedokromil untuk nebulisasi tak ada. Yang ada berupa inhalasi dengan
metered-dose inhaler dan dosis untuk asma adalah 3,5 mg (1,75 mg/inhalasi) 2-4
kali/hari. Untuk konjungtivitis diberikan tetes mata nedokromil 2% 4-6 x 1-2 tetes
mata/hari.
1. ii. Glukokortikoid.
Digunakan terutama bila ada gejala asma. Steroid oral pada asma akut digunakan pada
yang gejala dan PEF nya makin hari makin memburuk, PEF yang kurang dari 60%,
gangguan asma malam dan menetap pada pagi hari, lebih dari 4 kali perhari, dan
memerlukan nebulizer serta bronkodilator parenteral darurat. menggunaan
bronkodilator. Steroid oral yang dipakai adalah : metil prednisolon, prednisolon dan
prednison. Prednison diberikan sebagai dosis awal adalah 1-2 mg/kg/hari dosis
tunggal pagi hari sampai keadaan stabil kira-kira 4 hari kemudian diturunkan sampai
0,5 mg/kg/hari, dibagi 3-4 kali/hari dalam 4-10 hari. Steroid parenteral digunakan
untuk penderita alergi makanan dengan gejala status asmatikus, preparat yang
digunakan adalah metil prednisolon atau hidrokortison dengan dosis 4-10
mg/kg/dosis tiap 4-6 jam sampai kegawatan dilewati disusul rumatan prednison oral.
Steroid hirupan digunakan bila ada gejala asma dan rinitis alergika.
1. iii. Beta adrenergic agonist
Digunakan untuk relaksasi otot polos bronkus. Epinefrin subkutan bisa diberikan
dengan dosis 0,01 mg/kg/dosis maksimum 0,3 mg/dosis.
1. iv. Metil Xantin
Digunakan sebagai bronkodilator. Obat yang sering digunakan
adalahaminofilin dan teofilin, dengan dosis awal 3-6/kg/dosis, lanjutan 2,5
mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam.
1. v. Simpatomimetika
Simpatomimetika terdiri atas :
Efedrin : 0,5 – 1,0 mg/kg/dosis, 3 kali/24 jam
Orciprenalin : 0,3 – 0,5 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam
Terbutalin : 0,075 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam
Salbutamol : 0,1 – 0,15 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam
11. Prognosis
Alergi makanan biasanya akan membaik pada usia tertentu. Setelah usia 2 tahun
biasanya imaturitas saluran cerna akan membaik. Sehingga setelah usia tersebut
gangguan saluran cerna karena alergi makanan juga akan ikut berkurang. Bila
gangguan saluran cerna akan membaik maka biasanya gangguan perilaku yang
terjadipun akan berkurang. Selanjutnya pada usia di atas 5 atau 7 tahun alergi
makananpun akan berkurang secara bertahap. Perbaikan gejala alergi makanan dengan
bertambahnya usia inilah yang menggambarkan bahwa gejala Autismepun biasanya
akan tampak mulai membaik sejak periode usia tersebut. Meskipun alergi makanan
tertentu biasanya akan menetap sampai dewasa, seperti udang, kepiting atau kacang
tanah.
1. B. ASUHAN KEPERAWATAN
I.PENGKAJIAN
1. 1. Pengkajian
2. 1. ( Data subjektif dan Data Objektif)
a. A. Data dasar, meliputi :
 Identitas Pasien (nama, jenis kelamin, umur, status perkawinan, agama, suku
bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat, diagnosa medis, sumber biaya, dan sumber
informasi)
 Identitas Penanggung (nama, jenis kelamin, umur, status perkawinan, agama, suku
bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat, dan hubungan dengan pasien)
1. B. Riwayat Keperawatan, meliputi :
 Riwayat Kesehatan Sekarang
Mengkaji data subjektif yaitu data yang didapatkan dari klien, meliputi:
ü Alasan masuk rumah sakit:
Pasien mengeluh nyeri perut,sesak nafas, demam,bibirnya bengkak,tibul kemerahan
pada kulit,mual muntah,dan terasa gatal
ü Keluhan utama
1. Pasien mengeluh sesak nafas
2. Pasien mengeluh bibirnya bengkak
3. Pasien mengaku tidak ada nafsu makan, mual dan muntah
4. Pasien mengeluh nyeri di bagian perut
5. Pasien mengeluh gatal-gatal dan timbul kemerahan di sekujur tubuhnya.
6. Pasien mengeluh diare
7. Pasien mengeluh demam
ü Kronologis keluhan
Pasien mengeluh nyeri perut,sesak nafas, demam,bibirnya bengkak,tibul kemerahan
pada kulit,mual muntah,dan terasa gatal tertahankan lagi sehingga pasien dibawa ke
rumah sakit.
 Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Mengkaji apakah sebelumnya pasien pernah mengalami sakit yang sama atau yang
berhubungan dengan penyakit yang saat ini diderita. Misalnya, sebelumnya pasien
mengatakan pernah mengalami nyeri perut,sesak nafas, demam,bibirnya bengkak,tibul
kemerahan pada kulit,mual muntah,dan terasa gatal dan pernah menjalani perawatan
di RS atau pengobatan tertentu.
 Riwayat Kesehatan Keluarga
Mengkaji apakah dalam keluarga pasien ada/tidak yang mengalami penyakit yang
sama.
 Riwayat Psikososial dan Spiritual
Mengkaji orang terdekat dengan pasien, interaksi dalam keluarga, dampak penyakit
pasien terhadap keluarga, masalah yang mempengaruhi pasien, mekanisme koping
terhadap stres, persepsi pasien terhadap penyakitnya, tugas perkembangan menurut
usia saat ini, dan sistem nilai kepercayaan.
¶ Dikaji berdasarkan 14 kebutuhan dasar menurut Virginia Handerson, yaitu :
1. Bernafas
Dikaji apakah pasien mengalami gangguan pernafasan, sesak, atau batuk, serta ukur
respirasi rate.
1. Makan
Dikaji apakah klien menghabiskan porsi makan yang telah disediakan RS, apakah
pasien mengalami mual atau muntah ataupun kedua-duanya.
1. Minum
Dikaji kebiasaan minum pasien sebelum dan saat berada di RS, apakah ada perubahan
(lebih banyak minum atau lebih sedikit dari biasanya).
1. Eliminasi (BAB / BAK)
Dikaji pola buang air kecil dan buang air besar.
1. Gerak dan aktifitas
Dikaji apakah pasien mengalami gangguan/keluhan dalam melakukan aktivitasnya
saat menderita suatu penyakit (dalam hal ini adalah setelah didiagnosa mengalami
alergi) atau saat menjalani perawatan di RS.
1. Rasa Nyaman
Dikaji kondisi pasien yang berhubungan dengan gejala-gejala penyakitnya, misalnya
pasien merasa nyeri di perut bagian kanan atas (dikaji dengan PQRST : faktor
penyebabnya, kualitas/kuantitasnya, lokasi, lamanya dan skala nyeri)
1. Kebersihan Diri
Dikaji kebersihan pasien saat dirawat di RS
1. Rasa Aman
Dikaji apakah pasien merasa cemas akan setiap tindakan keperawatan yang diberikan
kepadanya, dan apakah pasien merasa lebih aman saat ditemani keluarganya selama di
RS.
1. Sosial dan komunikasi
Dikaji bagaimana interaksi pasien terhadap keluarga, petugas RS dan lingkungan
sekitar (termasuk terhadap pasien lainnya).
1. Pengetahuan
Dikaji tingkat pengetahuan pasien tentang penyakitnya yang diderita saat ini dan
terapi yang akan diberikan untuk kesembuhannya.
1. Rekreasi
Dikaji apakah pasien memiliki hobi ataupun kegiatan lain yang ia senangi.
1. Spiritual
Dikaji bagaimana pendapat pasien tentang penyakitnya, apakah pasien menerima
penyakitnya adalah karena murni oleh penyakit medis ataupun sebaliknya.
v Pemeriksaan fisik
¶ Pemeriksaan fisik
 Keadaan umum
– Tingkat kesadaran CCS
 Tanda-tanda vital
 Keadaan fisik
 Kepala dan leher
 Dada
 Payudara dan ketiak
 Abdomen
 Genitalia
 Integument
 Ekstremitas
 Pemeriksaan neurologist
v Pemeriksaan Penunjang
v Uji kulit : sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup
seperti tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen
makanan seperti susu, telur, kacang, ikan).
v Darah tepi : bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung
leukosit 5000/ml disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.
v IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20
tahun. Kadar IgE lebih dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita
adalah atopi, atau mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler.
v Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya.
v Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif.
v Biopsi usus : sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food chalenge
didapatkan inflamasi / atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan IgM.
IgE ( dengan mikroskop imunofluoresen ).
v Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.
Diit coba buta ganda ( Double blind food chalenge ) untuk diagnosa pasti
v Analisa Data
 Data Subjektif
 Sesak nafas
 Mual, muntah
 Meringis, gelisah
 Terdapat nyeri pada bagian perut
 Gatal – gatal
 Batuk
v Data objektif
 Penggunaan O2
 Adanya kemerahan pada kulit
 Terlihat pucat
 Pembengkakan pada bibir
 Demam ( suhu tubuh diatas 37,50
C)
II. DIAGNOSA KEPERAWATAN
v Adapun diagnose keperawatan yang dapat kami ambil:
1..Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan terpajan allergen
2.Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi
3.Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan infalamasi dermal,intrademal
sekunder
4.Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebih
5.Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi ( allergen,ex: makanan)
III.RENCANA KEPERAWATAN
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan terpajan allergen
Tujuan : setelah diberikan askep selama ….x15 menit. diharapkan pasien
menunjukkan pola nafas efektif dengan frekuensi dan kedalaman rentang normal.
Kriteria hasil :
 Frekuensi pernapasan pasien normal (16-20 kali per menit)
 Pasien tidak merasa sesak lagi
 Pasien tidak tampak memakai alat bantu pernapasan
 Tidak terdapat tanda-tanda sianosis
Intervensi :
1. Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan dan ekspansi paru. Catat upaya pernapasan,
termasuk pengguanaan otot bantu/ pelebaran masal.
R/ : kecepatan biasanya meningkat. Dispenea dan terjadi peningakatan kerja napas.
Kedalaman pernapasan berpariasi tergantung derajat gagal napas. Ekspansi dada
terbatas yang berhubungan dengan atelektasis atau nyeri dada pleuritik.
1. Auskultasi bunyi napas dan catat adanya bunyi napas adventisius seperti krekels,
mengi, gesekan pleura.
R/ : bunyi napas menurun/ tak ada bila jalan napas obstruksi sekunder terhadap
pendarahan, bekuan/ kolaps jalan napas kecil (atelektasis). Ronci dan mengi
menyertai obstruksi jalan napas/ kegagalan pernapasan.
1. Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi. Bangunkan pasien turun dari tempat
tidur dan ambulansi sesegera mungkin.
R/ : duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan pernapasan.
Pengubahan posisi dan ambulansi meningkatkan pengisian udara segmen paru
berbeda sehingga memperbaiki difusi gas.
1. Observasi pola batuk dan karakter secret.
R/ : kongesti alveolar mengakibatkan batuk kering atau iritasi. Sputum berdarah dapat
diakibatkan oleh kerusakan jaringan atau antikoagulan berlebihan.
1. Berikan oksigen tambahan
R/ : memaksimalkan bernapas dan menurunkan kerja napas
1. Berikan humidifikasi tambahan, mis: nebulizer ultrasonic
R/ : memberikan kelembaban pada membran mukosa dan membantu pengenceran
secret untuk memudahkan pembersihan.
2.Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi
Tujuan : setelah diberikan askep selama ….x.24 jam diharapkan suhu tubuh pasien
menurun
Kriteria hasil :
 Suhu tubuh pasien kembali normal ( 36,5o
C -37,5o
C)
 Bibir pasien tidak bengkak lagi
Intervensi :
1. Pantau suhu pasien ( derajat dan pola )
R/ : Suhu 38,9-41,1C menunjukkan proses penyakit infeksius akut.
1. Pantau suhu lingkungan, batasi atau tambahkan linen tempat tidur sesuai indikasi
R/: Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan mendekati
normal
1. Berikan kompres mandi hangat; hindari penggunaan alcohol
R/: Dapat membantu mengurangi demam
3.Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan infalamasi dermal,intrademal
sekunder
Tujuan : setelah diberikan askep selama ….x24 jam diharapkan pasien tidak akan
mengalami kerusakan integritas kulit lebih parah
Kriteria hasil :
 Tidak terdapat kemerahan,bentol-bentol dan odema
 Tidak terdapat tanda-tanda urtikaria,pruritus dan angioderma
 Kerusakan integritas kulit berkurang
Intervensi :
1. Lihat kulit, adanya edema, area sirkulasinya terganggu atau pigmentasi
R/: Kulit berisiko karena gangguan sirkulasi perifer
1. Hindari obat intramaskular
R/: Edema interstisial dan gangguan sirkulasi memperlambat absorpsi obat dan
predisposisi untuk kerusakan kulit
4.Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebih
Tujuan : setelah diberikan askep selama ….x24 jam diharapkan kekurangan volume
cairan pada pasien dapat teratasi.
Kriteria hasil :
 Pasien tidak mengalami diare lagi
 Pasien tidak mengalami mual dan muntah
 Tidak terdapat tanda-tanda dehidrasi
 Turgor kulit kembali normal
Intervensi :
1. Ukur dan pantau TTV, contoh peningakatan suhu/ demam memanjang, takikardia,
hipotensi ortostatik.
R/ : peningkatan suhu atau memanjangnya demam meningkatkan laju metabolic dan
kehilangan cairan melalui evaporasi. TD ortostatik berubah dan peningkatan
takikardia menunjukkan kekurangan cairan sistemik.
1. Kaji turgor kulit, kelembaban membrane mukosa (bibir, lidah).
R/ : indicator langsung keadekuatan volume cairan, meskipun membrane mukosa
mulut mungkin kering karena napas mulut dan oksigen.
1. Monitor intake dan output cairan
R/ : mengetahui keseimbangan cairan
4. Beri obat sesuai indikasi misalnya antipiretik, antiemetic.
R/ : berguna menurunkan kehilangan cairan
1. Berikan cairan tambahan IV sesuai keperluan
R/ : pada adanya penurunan masukan/ banyak kehilangan, penggunaan parenteral
dapat memperbaiki atau mencegah kekurangan.
5.Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi ( alergen,ex: makanan)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …x 24 jam diharapkan
nyeri pasien teratasi
kriteria hasil :
– Pasien menyatakan dan menunjukkan nyerinya hilang
– Wajah tidak meringis
– Skala nyeri 0
– Hasil pengukuran TTV dalam batas normal, TTVnormal yaitu :
 Tekanan darah : 140-90/90-60 mmHg
 Nadi : 60-100 kali/menit
 Pernapasan : 16-20 kali/menit
 Suhu : Oral (36,1-37,50
C)
Rektal (36,7-38,10
C)
Axilla (35,5-36,40
C)
Intervensi :
1.Ukur TTV
R/ : untuk mengetahui kondisi umum pasien
2.Kaji tingkat nyeri (PQRST)
R/ : Untuk mengetahui faktor pencetus nyeri
3.Berikan posisi yang nyaman sesuai dengan kebutuhan
R/ : memberikan rasa nyaman kepada pasien
4.Ciptakan suasana yang tenang
R/ : membantu pasien lebih relaks
5.Bantu pasien melakukan teknik relaksasi
R/ : membantu dalam penurunan persepsi/respon nyeri. Memberikan kontrol situasi
meningkatkan perilaku positif.
6.Observasi gejala-gejala yang berhubungan, seperti dyspnea, mual muntah, palpitasi,
keinginan berkemih.
R/ : tanda-tanda tersebut menunjukkan gejala nyeri yang dialami pasien.
7..Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesik
R/ : Analgesik dapat meredakan nyeri yang dirasakan oleh pasien.
IV.EVALUASI
Diagnosa Evaluasi
1
S : pasien mengeluh tidak sesak lagi
O : pasien bernafas normal (16-24 x/menit),tidak terdapat tanda-tanda
sianosis,pasien tidak mengalami gangguan pola nafas,pasien tidak tampak
menggunakan alat bantu pernapasan.
A : tujuan tercapai
P : Pertahankan kondisi pasien
2 S:Pasien mengatakan tidak demam lagi
O: Suhu tubuh pasien kembali normal ( 36,5o
C -37,5o
C),bibir pasien tidak
tampak bengkak lagi.
A:Tujuan tercapai
P:Pertahankan kondisi pasien
3
S : Pasien mengatakan kulitnya sudah tidak merah-merah lagi
O : kerusakan integritas kulit pada pasien berkurang,tanda-tanda
angioderma,pruritus dan urtikaria sudah mulai berkurang,kulit pasien tidak
terdapat kemerahan.
A: tujuan tercapai sebagian
P: lanjutkan intervensi ( no 1 dan 2)
4
S : pasien mengatakan tidak merasa mual,muntah dan mencret lagi
O: intake & output pasien seimbang,TTV dalam batas normal(TD : 120/80-
140/90,Suhu aksila: 36,5o
C -37,5o
C,Frekuensi pernapasan : 16-24 x /
menit,Nadi: 60-100x/menit),tidak terdapat tanda-tanda sianosis,turgor kulit
kembali normal.
A : tujuan tercapai
P : Pertahankan kondisi pasien
5
S : pasien mengatakan nyerinya sudah berkurang
O: wajah pasien tampak tenang dan tidak meringis
A : tujuan tercapai
P : Pertahankan kondisi pasien
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, volume
3,Jakarta:EGC..
Carpenito LD.1995.Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinik.Jakarta:
EGC.
www.medikaholistik.com
Price & Wilson.2003.Patofisiologi konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Vol2.Edisi
6.Jakarta:EGC.

More Related Content

What's hot

Makalah sistem imun (hipersensitivitas tipe lambat)
Makalah sistem imun (hipersensitivitas tipe lambat)Makalah sistem imun (hipersensitivitas tipe lambat)
Makalah sistem imun (hipersensitivitas tipe lambat)
DARMAPERTIWIDARMA
 
Autoimunitas power point
Autoimunitas power pointAutoimunitas power point
Autoimunitas power point
tristyanto
 

What's hot (20)

Kuliah sistem imun+alergi
Kuliah sistem imun+alergiKuliah sistem imun+alergi
Kuliah sistem imun+alergi
 
Alergi
AlergiAlergi
Alergi
 
Hipersensitivitas 2012
Hipersensitivitas 2012Hipersensitivitas 2012
Hipersensitivitas 2012
 
Reaksi Hipersensitivitas Tipe III
Reaksi Hipersensitivitas Tipe IIIReaksi Hipersensitivitas Tipe III
Reaksi Hipersensitivitas Tipe III
 
Makalah sistem imun (hipersensitivitas tipe lambat)
Makalah sistem imun (hipersensitivitas tipe lambat)Makalah sistem imun (hipersensitivitas tipe lambat)
Makalah sistem imun (hipersensitivitas tipe lambat)
 
Autoimun dan Hipersensitivitas
Autoimun dan HipersensitivitasAutoimun dan Hipersensitivitas
Autoimun dan Hipersensitivitas
 
Reaksi alergi
Reaksi alergiReaksi alergi
Reaksi alergi
 
Hiper.................................
Hiper.................................Hiper.................................
Hiper.................................
 
Makalah hipersensitivitas
Makalah hipersensitivitasMakalah hipersensitivitas
Makalah hipersensitivitas
 
Hipersensitivitas (alergi)
Hipersensitivitas (alergi)Hipersensitivitas (alergi)
Hipersensitivitas (alergi)
 
Preskripsi alergi
Preskripsi  alergiPreskripsi  alergi
Preskripsi alergi
 
QBD 3 Hipersensitivitas
QBD 3 HipersensitivitasQBD 3 Hipersensitivitas
QBD 3 Hipersensitivitas
 
1669 (1)
1669 (1)1669 (1)
1669 (1)
 
Makalah anafilaktif
Makalah anafilaktifMakalah anafilaktif
Makalah anafilaktif
 
Imunologi; hipersensitifitas
Imunologi; hipersensitifitasImunologi; hipersensitifitas
Imunologi; hipersensitifitas
 
Immunologi: Hipersensitivitas
Immunologi: Hipersensitivitas Immunologi: Hipersensitivitas
Immunologi: Hipersensitivitas
 
8. hipersensitivitas siskha noor komala
8. hipersensitivitas siskha noor komala8. hipersensitivitas siskha noor komala
8. hipersensitivitas siskha noor komala
 
Dian anafilaksis AKPER PEMKAB MUNA
Dian anafilaksis AKPER PEMKAB MUNADian anafilaksis AKPER PEMKAB MUNA
Dian anafilaksis AKPER PEMKAB MUNA
 
Ringkasan
Ringkasan Ringkasan
Ringkasan
 
Autoimunitas power point
Autoimunitas power pointAutoimunitas power point
Autoimunitas power point
 

Similar to Hipersensitifitas t ipe 1

Reaksi hipersensitivitas ppt update terkini
Reaksi hipersensitivitas ppt update terkiniReaksi hipersensitivitas ppt update terkini
Reaksi hipersensitivitas ppt update terkini
EghaSatriwi
 
Patologi uas akper imunologi
Patologi uas akper imunologiPatologi uas akper imunologi
Patologi uas akper imunologi
widipta
 

Similar to Hipersensitifitas t ipe 1 (20)

Makalah anafilaktif
Makalah anafilaktifMakalah anafilaktif
Makalah anafilaktif
 
Makalah anafilaktif
Makalah anafilaktifMakalah anafilaktif
Makalah anafilaktif
 
Makalah anafilaktif
Makalah anafilaktifMakalah anafilaktif
Makalah anafilaktif
 
Makalah anafilaktif
Makalah anafilaktifMakalah anafilaktif
Makalah anafilaktif
 
Reaksi hipersensitivitas ppt update terkini
Reaksi hipersensitivitas ppt update terkiniReaksi hipersensitivitas ppt update terkini
Reaksi hipersensitivitas ppt update terkini
 
Wordsensitif
WordsensitifWordsensitif
Wordsensitif
 
askep_hipersensitivitas.docx
askep_hipersensitivitas.docxaskep_hipersensitivitas.docx
askep_hipersensitivitas.docx
 
Referat Syok Anafilaktik
Referat Syok AnafilaktikReferat Syok Anafilaktik
Referat Syok Anafilaktik
 
Antiinflamasi
AntiinflamasiAntiinflamasi
Antiinflamasi
 
Kul 3. imunohematologi
Kul 3. imunohematologiKul 3. imunohematologi
Kul 3. imunohematologi
 
Soal hipersensitivitas aulia
Soal hipersensitivitas auliaSoal hipersensitivitas aulia
Soal hipersensitivitas aulia
 
Makalah hipersensitivitas (2)
Makalah hipersensitivitas (2)Makalah hipersensitivitas (2)
Makalah hipersensitivitas (2)
 
Makalah hipersensitivitas
Makalah hipersensitivitasMakalah hipersensitivitas
Makalah hipersensitivitas
 
Makalah hipersensitivitas
Makalah hipersensitivitasMakalah hipersensitivitas
Makalah hipersensitivitas
 
Inflamasi akut
Inflamasi akutInflamasi akut
Inflamasi akut
 
Anafilaktik (2)
Anafilaktik (2)Anafilaktik (2)
Anafilaktik (2)
 
Soal aulia
Soal auliaSoal aulia
Soal aulia
 
Ag dan ab
Ag dan abAg dan ab
Ag dan ab
 
Kul 1. sistem kekebalan tubuh
Kul 1. sistem kekebalan tubuhKul 1. sistem kekebalan tubuh
Kul 1. sistem kekebalan tubuh
 
Patologi uas akper imunologi
Patologi uas akper imunologiPatologi uas akper imunologi
Patologi uas akper imunologi
 

More from lilin rosyanti (10)

Hemodinamik dan central venouse pressure
Hemodinamik dan central venouse pressureHemodinamik dan central venouse pressure
Hemodinamik dan central venouse pressure
 
Imunologi dasa2
Imunologi dasa2Imunologi dasa2
Imunologi dasa2
 
Imunologi dasa1
Imunologi dasa1Imunologi dasa1
Imunologi dasa1
 
Imunologi das12
Imunologi das12Imunologi das12
Imunologi das12
 
Imunologi das11
Imunologi das11Imunologi das11
Imunologi das11
 
Imunologi das10
Imunologi das10Imunologi das10
Imunologi das10
 
Dhf
DhfDhf
Dhf
 
Indah
IndahIndah
Indah
 
Teknik menghafal
Teknik menghafalTeknik menghafal
Teknik menghafal
 
A n a t o m i
A n a t o m iA n a t o m i
A n a t o m i
 

Recently uploaded

Adaftasi fisiologis neonatus setelah dilahirkan antara lain pernafasan, suhu ...
Adaftasi fisiologis neonatus setelah dilahirkan antara lain pernafasan, suhu ...Adaftasi fisiologis neonatus setelah dilahirkan antara lain pernafasan, suhu ...
Adaftasi fisiologis neonatus setelah dilahirkan antara lain pernafasan, suhu ...
AGHNIA17
 
Materi 5.1 ASKEP pada pasien dengan HEPATITIS.pptx
Materi 5.1 ASKEP pada pasien dengan HEPATITIS.pptxMateri 5.1 ASKEP pada pasien dengan HEPATITIS.pptx
Materi 5.1 ASKEP pada pasien dengan HEPATITIS.pptx
Yudiatma1
 
BLC PD3I, Surveilans Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
BLC PD3I, Surveilans Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasiBLC PD3I, Surveilans Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
BLC PD3I, Surveilans Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
NezaPurna
 
KUNCI CARA MENGGUGURKAN KANDUNGAN ABORSI JANIN 087776558899
KUNCI CARA MENGGUGURKAN KANDUNGAN ABORSI JANIN 087776558899KUNCI CARA MENGGUGURKAN KANDUNGAN ABORSI JANIN 087776558899
KUNCI CARA MENGGUGURKAN KANDUNGAN ABORSI JANIN 087776558899
Cara Menggugurkan Kandungan 087776558899
 
RTL PPI dr.Intan.docx puskesmas wairasa.
RTL PPI dr.Intan.docx puskesmas wairasa.RTL PPI dr.Intan.docx puskesmas wairasa.
RTL PPI dr.Intan.docx puskesmas wairasa.
RambuIntanKondi
 
PPT.Materi-Pembelajaran-genetika.dasarpptx
PPT.Materi-Pembelajaran-genetika.dasarpptxPPT.Materi-Pembelajaran-genetika.dasarpptx
PPT.Materi-Pembelajaran-genetika.dasarpptx
Acephasan2
 
IMPLEMENTASI FORNAS DALAM PELAKSANAAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
IMPLEMENTASI FORNAS DALAM PELAKSANAAN JAMINAN KESEHATAN NASIONALIMPLEMENTASI FORNAS DALAM PELAKSANAAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
IMPLEMENTASI FORNAS DALAM PELAKSANAAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
BagasTriNugroho5
 

Recently uploaded (20)

Adaftasi fisiologis neonatus setelah dilahirkan antara lain pernafasan, suhu ...
Adaftasi fisiologis neonatus setelah dilahirkan antara lain pernafasan, suhu ...Adaftasi fisiologis neonatus setelah dilahirkan antara lain pernafasan, suhu ...
Adaftasi fisiologis neonatus setelah dilahirkan antara lain pernafasan, suhu ...
 
Statistik Kecelakaan Kerja manajemen risiko kecelakaan kerja .pptx
Statistik Kecelakaan Kerja manajemen risiko kecelakaan kerja .pptxStatistik Kecelakaan Kerja manajemen risiko kecelakaan kerja .pptx
Statistik Kecelakaan Kerja manajemen risiko kecelakaan kerja .pptx
 
#3Sosialisasi Penggunaan e-renggar Monev DAKNF 2024.pdf
#3Sosialisasi Penggunaan e-renggar Monev DAKNF 2024.pdf#3Sosialisasi Penggunaan e-renggar Monev DAKNF 2024.pdf
#3Sosialisasi Penggunaan e-renggar Monev DAKNF 2024.pdf
 
PROTOZOA PROTOZOA PROTOZOA PROTOZOA PROTOZOA
PROTOZOA PROTOZOA PROTOZOA PROTOZOA PROTOZOAPROTOZOA PROTOZOA PROTOZOA PROTOZOA PROTOZOA
PROTOZOA PROTOZOA PROTOZOA PROTOZOA PROTOZOA
 
Materi 5.1 ASKEP pada pasien dengan HEPATITIS.pptx
Materi 5.1 ASKEP pada pasien dengan HEPATITIS.pptxMateri 5.1 ASKEP pada pasien dengan HEPATITIS.pptx
Materi 5.1 ASKEP pada pasien dengan HEPATITIS.pptx
 
BLC PD3I, Surveilans Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
BLC PD3I, Surveilans Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasiBLC PD3I, Surveilans Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
BLC PD3I, Surveilans Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
 
Logic Model perencanaan dan evaluasi kesehatan
Logic Model perencanaan dan evaluasi kesehatanLogic Model perencanaan dan evaluasi kesehatan
Logic Model perencanaan dan evaluasi kesehatan
 
High Risk Infant modul perkembangan bayi risiko tinggi
High Risk Infant modul perkembangan bayi risiko tinggiHigh Risk Infant modul perkembangan bayi risiko tinggi
High Risk Infant modul perkembangan bayi risiko tinggi
 
KUNCI CARA MENGGUGURKAN KANDUNGAN ABORSI JANIN 087776558899
KUNCI CARA MENGGUGURKAN KANDUNGAN ABORSI JANIN 087776558899KUNCI CARA MENGGUGURKAN KANDUNGAN ABORSI JANIN 087776558899
KUNCI CARA MENGGUGURKAN KANDUNGAN ABORSI JANIN 087776558899
 
Referat Penurunan Kesadaran_Stase Neurologi
Referat Penurunan Kesadaran_Stase NeurologiReferat Penurunan Kesadaran_Stase Neurologi
Referat Penurunan Kesadaran_Stase Neurologi
 
PAPARAN TENTANG PENYAKIT TUBERKULOSIS.ppt
PAPARAN TENTANG PENYAKIT TUBERKULOSIS.pptPAPARAN TENTANG PENYAKIT TUBERKULOSIS.ppt
PAPARAN TENTANG PENYAKIT TUBERKULOSIS.ppt
 
Farmakologi_Pengelolaan Obat pd Lansia.pptx
Farmakologi_Pengelolaan Obat pd Lansia.pptxFarmakologi_Pengelolaan Obat pd Lansia.pptx
Farmakologi_Pengelolaan Obat pd Lansia.pptx
 
Proses Keperawatan Pada Area Keperawatan Gawat Darurat.pptx
Proses Keperawatan Pada Area Keperawatan Gawat Darurat.pptxProses Keperawatan Pada Area Keperawatan Gawat Darurat.pptx
Proses Keperawatan Pada Area Keperawatan Gawat Darurat.pptx
 
Asuhan Keperawatan Jiwa Perkembangan Psikososial Remaja
Asuhan Keperawatan Jiwa Perkembangan Psikososial RemajaAsuhan Keperawatan Jiwa Perkembangan Psikososial Remaja
Asuhan Keperawatan Jiwa Perkembangan Psikososial Remaja
 
RTL PPI dr.Intan.docx puskesmas wairasa.
RTL PPI dr.Intan.docx puskesmas wairasa.RTL PPI dr.Intan.docx puskesmas wairasa.
RTL PPI dr.Intan.docx puskesmas wairasa.
 
PPT.Materi-Pembelajaran-genetika.dasarpptx
PPT.Materi-Pembelajaran-genetika.dasarpptxPPT.Materi-Pembelajaran-genetika.dasarpptx
PPT.Materi-Pembelajaran-genetika.dasarpptx
 
FRAKTUR presentasion patah tulang paripurna OK.pptx
FRAKTUR presentasion patah tulang paripurna OK.pptxFRAKTUR presentasion patah tulang paripurna OK.pptx
FRAKTUR presentasion patah tulang paripurna OK.pptx
 
KOHORT balita 2015 DI PUSKESMAS HARUS DIBUAT.pdf
KOHORT balita 2015 DI PUSKESMAS HARUS DIBUAT.pdfKOHORT balita 2015 DI PUSKESMAS HARUS DIBUAT.pdf
KOHORT balita 2015 DI PUSKESMAS HARUS DIBUAT.pdf
 
sosialisasi lomba inovasi daerah tahun 2024 kementrian kesehatan republik ind...
sosialisasi lomba inovasi daerah tahun 2024 kementrian kesehatan republik ind...sosialisasi lomba inovasi daerah tahun 2024 kementrian kesehatan republik ind...
sosialisasi lomba inovasi daerah tahun 2024 kementrian kesehatan republik ind...
 
IMPLEMENTASI FORNAS DALAM PELAKSANAAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
IMPLEMENTASI FORNAS DALAM PELAKSANAAN JAMINAN KESEHATAN NASIONALIMPLEMENTASI FORNAS DALAM PELAKSANAAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
IMPLEMENTASI FORNAS DALAM PELAKSANAAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
 

Hipersensitifitas t ipe 1

  • 1. Hipersensitifitas TIpe 1: Reaksi Anafilaktik atau Reaksi Alergi March 30, 2012 Medicinesia 0 Comments alergi, anafilaktik, hipersensitifitas, imunologi, syok, tipe1 Artikel inisudah dibaca92135kali! Reaksi hipersensitifitas menurut Robert Coombs dan Philip HH Gell dibagi menjadi 4 tipe yaitu:  Tipe 1: Reaksi IgE atau reaksi anafilaktik  Tipe 2: Reaksi sitotoksik  Tipe 3: Reaksi kompleks antigen-antibodi  Tipe 4: Reaksi hipersensitifitas tertunda/terlambat atau reaksi selular 1,2 Hipersensitifitas Tipe 1: Reaksi IgE atau Anafilaktik Reaksi hipersensitifitas tipe 1 timbul segera setelah adanya pajanan dengan alergen. Reaksi ini dapat terjadi dalam hitungan menit setelah terjadi kombinassi antigen dengan antibodi yang terikat pada sel mast pada individu yang telah tersensitisasi terhadap antigen. 3 Reaksi ini seringkali disebut sebagai alergi dan antigen yang berperan disebut sebagai alergen. Alergen yang masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan respon imun berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rinitis alergi, urtiakria, asma dan dermatitis atopi. Reaksi tipe ini merupakan hipersensitifitas yang paling sering terjadi. 4,5 Reaksi ini disebut sebagai anafilaktik yang bermakna jauh dari perlindungan. Juga, merupakan kebalikan dari profilaksis. Anafilaksis merupakan akibat dari peningkatan kepekaan, bukan penurunan ketahanan terhadap toksin. Sementara itu, ada istilah atopi yang sering digunakan untuk merujuk pada reaksi hipersensitifitas tipe I yang berkembang secara lokal terhadap bermacam alergen yang terhirup atau tertelan. 3 Penderita atopi memiliki kadar IgE yang lebih tinggi dan produksi IL-4 yang lebih banyak dibandingkan populasi umum. Gen yang kemungkinan terlibat dikode sebagai 5q31 yang mengkode sitokin berupa IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-13 dan GM-CSF. Juga gen 6p yang dekat dengan kompleks HLA. Hipersensitifitas tipe I memiliki dua fase utama yaitu reaksi inisial atau segera yang ditandai dengan vasodilatasi, kebocoran vaskular, tergantung pada lokasi, spasme otot polos atau sekresi glandular. Perubahan tersebut terjadi dalam 5 sampai 30 menit sesudah eksposure dan menghilang dalam 60 menit. Selanjutnya, seperti pada rinitis alergi dan asma bronkial, dapat terjadi juga reaksi fase lambat yang terjadi dalam 2-24 jam kemudian, tanpa ada tambahan eksposure antigen dan dapat bertahan dalam beberapa hari. Fase ini ditandai dengan infiltrasi jaringan oleh eosinofil, netrofil, basofil, monosit, dan sel T CD 4++ serta kerusakan jaringan yang seringkali bermanifestasi sebagai kerusakan epitel mukosa. Reaksi anafilaktik ini memiliki tiga tahapan utama berupa fase sensitisasi, fase aktivasi dan fase efektor. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk membentuk IgE sampai diikat silang oleh reseptor spesifik (Fcε-R) pada permukaan. Fase aktivasi merupakan waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen spesifik dan sel mast/basofil melepas isinya yang berisikan granul yang nantinya akan menimbulkan reaksi alergi. Hal tersebut terjadi oleh ikatan silang antara antigen dan IgE. Fase efektor yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator yang dilepas oleh sel mast/basofil dengan aktivitas farmakologik.
  • 2. 1. Fase Sensitisasi Hampir 50% populasi membangkitkan respon IgE terhadap antigen yang hanya dapat ditanggapi pada permukaan selaput mukosa saluran nafas, selaput kelopak mata dan bola mata, yang merupakan fase sensitisasi. Namun, hanya 10% yang menunjuka gejala klinis setelah terpapat alergen dari udara. Respom-respon yang berbeda tersebut dikendalikan oleh gen MHC/HLA,terpengaruh dari limfosit T dan IL-4 yang dihasilkan oleh limfosit CD4+. Individu yang tidak alergi memiliki kadar IL-4 yang senantiasa rendah karena dipertahankan fungsi sel T supresor (Ts). Jika pemaparan alergen masih kurang adekuat melalui kontak berulang, penelanan, atau suntikan sementara IgE sudah dihasilkan, individu tersebut dapat dianggap telah mengalami sensitisasi. IgE dibuat dalam jumlah tidak banyak dan cepat terikat oleh mastosit ketika beredar dalam darah. Ikatan berlangsung pada reseptor di mastosit dan sel basofil dengan bagian Fc dari IgE. Ikatan tersebut dipertahankan dalam beberapa minggu yang dapat terpicu aktif apabila Fab IgE terikat alergen spesifik. 2. Fase Aktivasi Ukuran reaksi lokal kulit terhadap sembaran alergen menunjukan derajat sensitifitasnya terhadap alergen tertentu. Respon anafilaktik kulit dapat menjadi bukti kuat bagi pasien bahwa gejala yang dialami sebelumnya disebabkan alergen yang diujikan. Efektor utama pada hipersensitifitas tipe I adalah mastosit yang terdapat pada jaringan ikat di sekitar pembuluh darah, dinding mukosa usus dan saluran pernafasan. Selain mastosit, sel basofil juga berperan. Ikatan Fc IgE dengan molekul reseptor permukaan mastosit atau basofil mempersiapkan sel tersebut untuk bereaksi bila terdapat ikatan IgE dengan alergen spesifiknya. Untuk aktivasi, setidaknya dibutuhkan hubungan silang antara 2 molekul reseptor yang mekanisme bisa berupa: 1. hubungan silang melalui alergen multivalen yang terikat dengan Fab molekul IgE 2. hubungan silang dengan antibodi anti IgE 3. hubungan silang dengan antibodi-antireseptor Namun, aktivasi mastosit tidak hanya melalui mekanisme keterlibatan IgE atau reseptornya. Anafilatoksin C3a dan C5a yang merupakan aktivasi komplemen dan berbagai obat seperti kodein, morfin dan bahan kontras juga bisa menyebabkan reaksi anafilaktoid. Faktor fisik seperi suhu panas, dingin dan tekanan dapat mengaktifkan mastosit seperti pada kasus urtikaria yang terinduksi suhu dingin. Picuan mastosit melalui mekanisme hubungan silang antar reseptor diawali dengan perubahan fluiditas membran sebagai akibat dari metilasi fosfolipid yang diikuti masuknya ion Ca++ dalam sel. Kandungan cAMP dan cGMP berperan dalam regulasi tersebut. Peningkatan cAMP dalam sitoplasma mastosit akan menghambat degranulasi sedangkan cGMP dapat meningkatkan degranulasi. Dengan begitu, aktivasi adenylate cyclase yang mengubah ATP menjadi cAMP merupakan mekanisme penting dalam peristiwa anafilaksis. 3. Fase Efektor Gejala anafilaksis hampir seluruhnya disebabkan oleh bahan farmakologik aktif yang dilepaskan oleh mastosit atau basofil yang teraktivasi. Terdapat sejumlah mediator yang dilepaskan oleh mastosit dan basofil dalam fase efektor.
  • 3. Sel Mast dan Mediator pada Reaksi Tipe I1 Sel mast banyak mengandung mediator primer atau preformed antara lain histamin yang disimpan dalam granul. Sel mast juga diaktifkan dapat memproduksi mediator baru atau sekunder atau newly generated seperti LT dan PG. Secara umum, mediator yang dihasilkan oleh sel mast dan mekanisme aksinya adalah sebagai berikut:  Vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular: Histamin, PAF, Leukotrien C4 D4 E4, protease netral yang mengaktivasi komplemen dan kinin, prostaglandin D2.  Spasme otot polos: Leukotrienes C4 D4 E4, Histamin, prostaglandin, PAF  Infintrasi seluler: sitokin (kemokin, TNF), leukotrien B4, faktor kemotaktik eosinofil dan netrofil. a. Mediator Jenis Pertama (Histamin dan Faktor Kemotaktik) Reaksi tipe I dapat mencapai puncak dalam 10-15 menit. Pada fase aktivasi, terjadi perubahan dalam membran sel mast akibat metilasi fosfolipid yang diikuti oleh influks Ca++ yang menimbulkan aktivasi fosfolipase. Dalam fase ini, energi dilepas akibat glikolisis dan beberapa enzim diaktifkan dan menggerakan granul-granul ke permukaan sel. Kadar cAMP dan cGMP dalam sel berpengaruh pada degranulasi. Peningkatan cAMPakan mencegah degranulasi sementara peningkatan cGMP akan memacu degranulasi. Pelepasan granul ini merupakan proses fisiologis dan tidak menimbulkan lisis atau matinya sel. Degranulasi juga dapat terjadi akibat pengaruh dari anafilatoksis, c3a dan c5a. Histamin merupakan komponen utama granul sel mast dan sekitar 10% dari berat granul. Histamin akan diikat oleh reseptornya (H1, H2, H3, H4) dengan distribusi berbeda dalam jaringan dan bila berikatan dengan histamin, menunjukan berbagai efek. Manifestasi yang dapat muncul dari dilepasnya histamin di antaranya adalah bintul dan kemerahan kulit di samping pengaru lain seperti perangsangan saraf sensoris yang dirasakan gatal dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah kecil yang menyebabkan edema. Pada saluran pernafasan, dapat terjadi sesak yang disebabkan oleh kontaksi otot-otot polos dan kelenjar saluran pernafasan. Pengaruh histamin pada sel-sel sasaran utamanya melalui reseptor H1. Namun, pada membran mastosit terdapat pula reseptor H2 yang dapat berfungsi sebagai umpan balik negatif. Hal tersebut
  • 4. karena pengikatan histamin pada reseptor tersebut justru menghambat pelepasan histamin oleh sel mastosit tersebut. Selain histamin, faktor kemotaktik juga dilepaskan secara cepat saat mastosit teraktivasi. Ada dua macam ECF-A (eosinophil chemotactic factor id anaphylaxis) untuk menarik eosinofil dan NCF-A (neutrophil chemotactic factor of anaphylaxis) untuk menarik netrofil. Dalam2-8 jam, terjadi kumpulan granulosit berupa netrofil, eosinofil dan basofil, sedang dalam 24 jam yang lebih dominan adalah sel limfosit. Meski dilepaskan secara cepat, inflitrasi ECF-A dan NCF-A berlangsung lambat sehingga perannya akan lebih penting dalam reaksi tahap lambat. b. Mediator Jenis Kedua Mediator kategori ini terikat erat dengan proteoglikan yang terlepas apabila ada kenaikan kadar NaCl. Mediator ini mencakup heparin, kemotripsin, tripsin dan IF-A (inflammatory factor of anaphylaxis). IFA-A memiliki potensi kemotaktik yang lebih besar dari ECF-A dan NCF-A dan berperan dalam reaksi tahap lambat. Pelepasan yang perlahan membuat mediator ini memiliki pengaruh lebih lama di jaringan. Dalam reaksi tahap lambat, selain mediator yang dilepaskan oleh mastosit terdapat juga keterlibatan sistem komplemen dan sistem koagulasi. Secara umum, mediator yang dilepaskan akan berperan daam vaodilatasi dan peningkatan permeabilitas lokal dan mendorong berkumpulnya netrofil dan eosinofil b. Mediator Jenis Ketiga Selain dari degranulasi mastosit, terdapat juga pelepasan asam arakhidonat yang bersumber dari fosfolipid membran sel. Asam arakhidonat ini menjadi substrat enzim siklooksigenase dan lipooksigenase. Aktivasi siklooksigenase akan menghasilkan prostaglandin dan tromboxan yang menyebabkan reaksi radang dan mengubah tonus pembuluh darah.1,2 Sedangkan aktivasi lipooksigenase akan menghasilkan leukotrien. Leuktrien C,D, dan E seringkali disebut sebagai SRS- A (slow reactive substance of anaphylaxis) karena pengaruhnya lebih lambat dari histamin. LT berperan dalam bronkokonstriksi, peningkatan permeabilitas vaskular dan produksi mukus. Leuktrien B4mempunyai efek kemotaktik untuk sel netrofil dan eosinofil dan mempercepat ekspresi reseptor untuk C3b pada permukaan sel tersebut. Di antara sel-sel yang direkrut pada saat fase lambat, eosinofil merupakan yang paling penting. Eosinofil ditarik oleh eotaxin dan kemokin lainnya yang dihasilkan oleh sel epitelial, sel Th2 dan sel mast. Eosinofil membebaskan enzim proteolitik berupa major basic protein dan eosinofil catationic protein yang bersifat toksik terhadap sel epitel. Aktivasi eosinofil dan leukosit lain juga menghasilkan leukotrien C4 dan PAF yang secara langsung mengaktifkan sel mast untuk melepaskan mediator. Oleh karena itu, perekrutan sel tersebut akan mengamplifikasi dan menjaga respon inflamasi tanpa tambahan eksposure antigen pemicu. 3 Daftar Pustaka 1 Baratawidjaja KG, Rengganis I. Imunologi Dasar. 9thed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;2010.p.383-9 2 Subowo. Imunologi Klinik: Hipersensitivitas. 2nded. Jakarta: Sagung Seto; 2010.p. 31-84. 3 Kumar,Abbas, Fausto, Aster. Robbns and Cotran: Disease of The Immune System. 8thed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010. p. 198-201, 204-5. 4 Abbas AK, Lichtman AH Pilai S. Cellular and Molecular Immunology. 6th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010. P. 423-5.
  • 5. 5 Widowati R. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin: Pengetahuan Dasar Imunologi. 5thed. Jakarta: Penerbit FKUI;2009. P. 45-6. ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN ALERGI MAKANAN FEBRUARY 8, 2010 ~ RASTITI 1. A. KONSEP DASAR PENYAKIT 1. 1. Pengertian/Definisi  Alergi makanan adalah respon abnormal tubuh terhadap suatu makanan yang dicetuskan oleh reaksi spesifik pada sistem imun dengan gejala yang spesifik pula  Alergi makanan adalah kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan sistem tubuh yang ditimbulkan oleh alergi terhadap bahan makanan.  Dalam beberapa kepustakaan alergi makanan dipakai untuk menyatakan suatu reaksi terhadap makanan yang dasarnya adalah reaksi hipersensitifitas tipe I dan hipersensitifitas terhadap makanan yang dasaranya adalah reaksi hipersensitifitas tipe III dan IV. 1. 2. Epidemiologi Alergi makanan bisa menyerang siapa saja dengan kadar yang berbeda beda. Pada saat seseorang menyantap makanan kemudian timbul perasaan tidak enak pada tubuhnya maka mereka akan beranggapan bahwa mereka alergi terhadap makanan tersebut. Fakta membuktikan, tidak semua anggapan tersebut benar. Hanya 1% pada orang dewasa dan 3% pada anak anak yang terbukti jika mereka memang benar benar alergi terhadap makanan tertentu. Alergi makanan umumnya terjadi pada anak-anak. Sekitar 1-2% bayi alergi terhadap susu sapi, sekitar 8% anak menunjukkan reaksi yang tidak diinginkan terhadap
  • 6. makanan, dan 2% orang dewasa juga menderita alergi makananPerkiraan insidensi alergi makanan yang diantara IgE dan merupakan hipersensitivitas tipe I berkisar dari 0,1% hingga 7,0% populasi. 1. 3. Etiologi Faktor yang berperan dalam alergi makanan kami bagi menjadi 2 yaitu : a. Faktor Internal  Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi imunologis (misalnya : IgA sekretorik) memudahkan penetrasi alergen makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus mentoleransi makanan tertentu.  Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma kehidupan setempat.  .Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapan alergen bertambah. b. Fakor Eksternal  Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih, stress) atau beban latihan (lari, olah raga).  Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut prevalensinya Ikan 15,4 % Telur 12,7 % Susu 12,2 % Kacang 5,3 % Gandum 4,7 % Apel 4,7 % Kentang 2,6 % Coklat 2,1 % Babi 1,5 % Sapi 3,1 %  Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat menimbulkan reaksi alergi. 1. 4. Patofisiologi Saat pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh seseorang yang mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika untuk
  • 7. kedua kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah tampak gejala – gejala timbulnya alergi pada kulit orang tersebut.Setelah tanda – tanda itu muncul maka antigen akan mengenali alergen yang masuk yang akan memicu aktifnya sel T ,dimana sel T tersebut yang akan merangsang sel B untuk mengaktifkan antibodi ( Ig E ). Proses ini mengakibatkan melekatnya antibodi pada sel mast yang dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang mengalami paparan untuk kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi 2 hal yaitu,: 1. Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan efek terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel – sel radang misalnya netrofil dan eosinofil, sehingga menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan panas. 2. 2. Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang merangsang sel mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang banyak , kemudian histamin tersebut beredar di dalam tubuh melalui pembuluh darah. Saat mereka mencapai kulit, alergen akan menyebabkan terjadinya gatal,prutitus,angioderma,urtikaria,kemerahan pada kulit dan dermatitis. Pada saat mereka mencapai paru paru, alergen dapat mencetuskan terjadinya asma. Gejala alergi yang paling ditakutkan dikenal dengan nama anafilaktik syok. Gejala ini ditandai dengan tekanan darah yang menurun, kesadaran menurun, dan bila tidak ditangani segera dapat menyebabkan kematian 5.Klasifikasi  Hipersensitivitas anafilaktif ( tipe 1 ) Keadaan ini merupakan hipersensitivitas anafilaktif seketika dengan reaksi yang di mulai dalam tempo beberapa menit sesudah kontak dengan antigen.  Hipersensitivitas sitotoksik ( tipe 2 ) Hipersensitivitas sitotoksik terjadikalau sistem kekebalan secara keliru mengenali konsituen tubuh yang normal sebagai benda asing.  Hipersensitivitas kompleks imun ( tipe 3 )
  • 8. kompleks imun terbentuk ketika antigen terikat dengan antibodi dan dibersihkan dari dalam sirkulasi darah lewat kerja fagositik.  Hipersensitivitas Tipe lambat (tipe 4 ) Reaksi ini yang juga dikenal sebagai hipersensitivitas seluler, terjadi 24 hingga 72 jam sesudah kontak dengan alergen 6.Gejala Klinis Adapun Gejala klinisnya : v Pada saluran pernafasan : asma v Pada saluran cerna: mual,muntah,diare,nyeri perut v Pada kulit: urtikaria. angioderma,dermatitis,pruritus,gatal,demam,gatal v Pada mulut: rasa gatal dan pembengkakan bibir 7.Pemeriksaan Fisik Inspeksi : apakah ada kemerahan, bentol-bentol dan terdapat gejala adanya urtikaria,angioderma,pruritus dan pembengkakan pada bibir Palpasi : ada nyeri tekan pada kemerahan Perkusi : mengetahui apakah diperut terdapat udara atau cairan Auskultasi : mendengarkan suara napas, bunyi jantung, bunyi usus( karena pada oarng yang menderita alergi bunyi usunya cencerung lebih meningkat) 8.Pemeriksaan Penunjang
  • 9.  Uji kulit : sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan seperti susu, telur, kacang, ikan).  Darah tepi : bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit 5000/ml disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.  IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun. Kadar IgE lebih dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi, atau mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler.  Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya.  Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif.  Biopsi usus : sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food chalenge didapatkan inflamasi / atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan IgM. IgE ( dengan mikroskop imunofluoresen ).  Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.  Diit coba buta ganda ( Double blind food chalenge ) untuk diagnosa pasti 9.Diagnostik – Gangguan saluran cerna dengan diare dan atau mual muntah, misalnya : stenosis pilorik, Hirschsprung, defisiensi enzim, galaktosemia, keganasan dengan obstruksi, cystic fibrosis, peptic disease dan sebagainya. – Reaksi karena kontaminan dan bahan-bahan aditif, misalnya : bahan pewarna dan pengawet, sodium metabisulfite, monosodium glutamate, nitrit, tartrazine, toksin, fungi (aflatoxin), fish related (scombroid, ciguatera), bakteri (Salmonella, Escherichia coli, Shigella), virus (rotavirus, enterovirus), parasit (Giardia, Akis simplex), logam berat, pestisida, kafein, glycosidal alkaloid solanine, histamin (pada ikan), serotonin (pisang, tomat), triptamin (tomat), tiramin (keju) dan sebagainya. – Reaksi psikologi 10.Therapy/Pengobatan Ada beberapa regimen diet yang bisa digunakan :
  • 10. 1. ”ELIMINATION DIET”: beberapa makanan harus dihindari yaitu Buah, Susu, Telur, Ikan dan Kacang, di Surabaya terkenal dengan singkatan BSTIK. Merupakan makanan-makanan yang banyak ditemukan sebagai penyebab gejala alergi, jadi makanan-makanan dengan indeks alergenisitas yang tinggi. Indeks ini mungkin lain untuk wilayah yang lain, sebagai contoh dengan DBPFC mendapatkan telur, kacang tanah, susu sapi, ikan, kedelai, gandum, ayam, babi, sapi dan kentang, sedangkan Bischop mendapatkan susu, telur, kedelai dan kacang. 2. ”MINIMAL DIET 1” (Modified Rowe’s diet 1): terdiri dari beberapa makanan dengan indeks alergenisitas yang rendah. Berbeda dengan ”elimination diet”, regimen ini terdiri dari beberapa bahan makanan yang diperbolehkan yaitu : air, beras, daging sapi, kelapa, kedelai, bayam, wortel, bawang, gula, garam dan susu formula kedelai. Bahan makanan lain tidak diperbolehkan. 3. ”MINIMAL DIET 2” (Modified Rowe’s Diet 2): Terdiri dari makanan-makanan dengan indeks alergenisitas rendah yang lain yang diperbolehkan, misalnya : air, kentang, daging kambing, kacang merah, buncis, kobis, bawang, formula hidrolisat kasein, bahan makanan yang lain tidak diperkenankan. 4. ”EGG and FISH FREE DIET”: diet ini menyingkirkan telur termasuk makanan- makanan yang dibuat dari telur dan semua ikan. Biasanya diberikan pada penderita- penderita dengan keluhan dengan keluhan utama urtikaria, angionerotik udem dan eksema. 5. ”HIS OWN’S DIET”: menyingkirkan makanan-makanan yang dikemukakan sendiri oleh penderitanya sebagai penyebab gejala alergi. Diet dilakukan selama 3 minggu, setelah itu dilakukan provokasi dengan 1 bahan makanan setiap minggu. Makanan yang menimbulkan gejala alergi pada provokasi ini dicatat. Disebut alergen kalau pada 3 kali provokasi menimbulkan gejala alergi. Waktunya tidak perlu berturut-turut. Jika dengan salah satu regimen diet tidak ada perbaikan padahal sudah dilakukan dengan benar, maka diberikan regimen yang lain. Sebelum memulai regimen yang baru, penderita diberi ”carnaval” selama seminggu, artinya selama 1 minggu itu semua makanan boleh dimakan (pesta). Maksudnya adalah memberi hadiah setelah 3 minggu diet dengan baik, dengan demikian ada
  • 11. semangat untuk menjalani diet berikunya. Selanjutnya diet yang berikutnya juga dilakukan selama 3 minggu sebelum dilakukan provokasi. Bila diet tidak bisa dilaksanakan maka harus diberi farmakoterapi dengan obat-obatan seperti yang tersebut di bawah ini : 1. i. Kromolin, Nedokromil. Dipakai terutama pada penderita dengan gejala asma dan rinitis alergika.Kromolin umumnya efektif pada alergi makanan dengan gejala Dermatitis Atopi yang disebabkan alergi makanan. Dosis kromolin untuk penderita asma berupa larutan 1% solution (20 mg/2mL) 2-4 kali/hari untuk nebulisasi atau berupa inhalasi dengan metered-dose inhaler 1,6 mg (800 µg/inhalasi) 2-4 kali/hari. Untuk rinitis alergik digunakan obat semprot 3-4 kali/hari yang mangandung kromolin 5.2 mg/semprot. Untuk konjungtivitis diberikan tetes mata 4% 4-6 x 1 tetes mata/hari.Nedokromil untuk nebulisasi tak ada. Yang ada berupa inhalasi dengan metered-dose inhaler dan dosis untuk asma adalah 3,5 mg (1,75 mg/inhalasi) 2-4 kali/hari. Untuk konjungtivitis diberikan tetes mata nedokromil 2% 4-6 x 1-2 tetes mata/hari. 1. ii. Glukokortikoid. Digunakan terutama bila ada gejala asma. Steroid oral pada asma akut digunakan pada yang gejala dan PEF nya makin hari makin memburuk, PEF yang kurang dari 60%, gangguan asma malam dan menetap pada pagi hari, lebih dari 4 kali perhari, dan memerlukan nebulizer serta bronkodilator parenteral darurat. menggunaan bronkodilator. Steroid oral yang dipakai adalah : metil prednisolon, prednisolon dan prednison. Prednison diberikan sebagai dosis awal adalah 1-2 mg/kg/hari dosis tunggal pagi hari sampai keadaan stabil kira-kira 4 hari kemudian diturunkan sampai 0,5 mg/kg/hari, dibagi 3-4 kali/hari dalam 4-10 hari. Steroid parenteral digunakan untuk penderita alergi makanan dengan gejala status asmatikus, preparat yang digunakan adalah metil prednisolon atau hidrokortison dengan dosis 4-10 mg/kg/dosis tiap 4-6 jam sampai kegawatan dilewati disusul rumatan prednison oral. Steroid hirupan digunakan bila ada gejala asma dan rinitis alergika. 1. iii. Beta adrenergic agonist
  • 12. Digunakan untuk relaksasi otot polos bronkus. Epinefrin subkutan bisa diberikan dengan dosis 0,01 mg/kg/dosis maksimum 0,3 mg/dosis. 1. iv. Metil Xantin Digunakan sebagai bronkodilator. Obat yang sering digunakan adalahaminofilin dan teofilin, dengan dosis awal 3-6/kg/dosis, lanjutan 2,5 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam. 1. v. Simpatomimetika Simpatomimetika terdiri atas : Efedrin : 0,5 – 1,0 mg/kg/dosis, 3 kali/24 jam Orciprenalin : 0,3 – 0,5 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam Terbutalin : 0,075 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam Salbutamol : 0,1 – 0,15 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam 11. Prognosis Alergi makanan biasanya akan membaik pada usia tertentu. Setelah usia 2 tahun biasanya imaturitas saluran cerna akan membaik. Sehingga setelah usia tersebut gangguan saluran cerna karena alergi makanan juga akan ikut berkurang. Bila gangguan saluran cerna akan membaik maka biasanya gangguan perilaku yang terjadipun akan berkurang. Selanjutnya pada usia di atas 5 atau 7 tahun alergi makananpun akan berkurang secara bertahap. Perbaikan gejala alergi makanan dengan bertambahnya usia inilah yang menggambarkan bahwa gejala Autismepun biasanya akan tampak mulai membaik sejak periode usia tersebut. Meskipun alergi makanan tertentu biasanya akan menetap sampai dewasa, seperti udang, kepiting atau kacang tanah. 1. B. ASUHAN KEPERAWATAN I.PENGKAJIAN 1. 1. Pengkajian 2. 1. ( Data subjektif dan Data Objektif) a. A. Data dasar, meliputi :
  • 13.  Identitas Pasien (nama, jenis kelamin, umur, status perkawinan, agama, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat, diagnosa medis, sumber biaya, dan sumber informasi)  Identitas Penanggung (nama, jenis kelamin, umur, status perkawinan, agama, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat, dan hubungan dengan pasien) 1. B. Riwayat Keperawatan, meliputi :  Riwayat Kesehatan Sekarang Mengkaji data subjektif yaitu data yang didapatkan dari klien, meliputi: ü Alasan masuk rumah sakit: Pasien mengeluh nyeri perut,sesak nafas, demam,bibirnya bengkak,tibul kemerahan pada kulit,mual muntah,dan terasa gatal ü Keluhan utama 1. Pasien mengeluh sesak nafas 2. Pasien mengeluh bibirnya bengkak 3. Pasien mengaku tidak ada nafsu makan, mual dan muntah 4. Pasien mengeluh nyeri di bagian perut 5. Pasien mengeluh gatal-gatal dan timbul kemerahan di sekujur tubuhnya. 6. Pasien mengeluh diare 7. Pasien mengeluh demam ü Kronologis keluhan Pasien mengeluh nyeri perut,sesak nafas, demam,bibirnya bengkak,tibul kemerahan pada kulit,mual muntah,dan terasa gatal tertahankan lagi sehingga pasien dibawa ke rumah sakit.  Riwayat Kesehatan Masa Lalu
  • 14. Mengkaji apakah sebelumnya pasien pernah mengalami sakit yang sama atau yang berhubungan dengan penyakit yang saat ini diderita. Misalnya, sebelumnya pasien mengatakan pernah mengalami nyeri perut,sesak nafas, demam,bibirnya bengkak,tibul kemerahan pada kulit,mual muntah,dan terasa gatal dan pernah menjalani perawatan di RS atau pengobatan tertentu.  Riwayat Kesehatan Keluarga Mengkaji apakah dalam keluarga pasien ada/tidak yang mengalami penyakit yang sama.  Riwayat Psikososial dan Spiritual Mengkaji orang terdekat dengan pasien, interaksi dalam keluarga, dampak penyakit pasien terhadap keluarga, masalah yang mempengaruhi pasien, mekanisme koping terhadap stres, persepsi pasien terhadap penyakitnya, tugas perkembangan menurut usia saat ini, dan sistem nilai kepercayaan. ¶ Dikaji berdasarkan 14 kebutuhan dasar menurut Virginia Handerson, yaitu : 1. Bernafas Dikaji apakah pasien mengalami gangguan pernafasan, sesak, atau batuk, serta ukur respirasi rate. 1. Makan Dikaji apakah klien menghabiskan porsi makan yang telah disediakan RS, apakah pasien mengalami mual atau muntah ataupun kedua-duanya. 1. Minum Dikaji kebiasaan minum pasien sebelum dan saat berada di RS, apakah ada perubahan (lebih banyak minum atau lebih sedikit dari biasanya). 1. Eliminasi (BAB / BAK) Dikaji pola buang air kecil dan buang air besar.
  • 15. 1. Gerak dan aktifitas Dikaji apakah pasien mengalami gangguan/keluhan dalam melakukan aktivitasnya saat menderita suatu penyakit (dalam hal ini adalah setelah didiagnosa mengalami alergi) atau saat menjalani perawatan di RS. 1. Rasa Nyaman Dikaji kondisi pasien yang berhubungan dengan gejala-gejala penyakitnya, misalnya pasien merasa nyeri di perut bagian kanan atas (dikaji dengan PQRST : faktor penyebabnya, kualitas/kuantitasnya, lokasi, lamanya dan skala nyeri) 1. Kebersihan Diri Dikaji kebersihan pasien saat dirawat di RS 1. Rasa Aman Dikaji apakah pasien merasa cemas akan setiap tindakan keperawatan yang diberikan kepadanya, dan apakah pasien merasa lebih aman saat ditemani keluarganya selama di RS. 1. Sosial dan komunikasi Dikaji bagaimana interaksi pasien terhadap keluarga, petugas RS dan lingkungan sekitar (termasuk terhadap pasien lainnya). 1. Pengetahuan Dikaji tingkat pengetahuan pasien tentang penyakitnya yang diderita saat ini dan terapi yang akan diberikan untuk kesembuhannya. 1. Rekreasi Dikaji apakah pasien memiliki hobi ataupun kegiatan lain yang ia senangi. 1. Spiritual Dikaji bagaimana pendapat pasien tentang penyakitnya, apakah pasien menerima penyakitnya adalah karena murni oleh penyakit medis ataupun sebaliknya. v Pemeriksaan fisik ¶ Pemeriksaan fisik
  • 16.  Keadaan umum – Tingkat kesadaran CCS  Tanda-tanda vital  Keadaan fisik  Kepala dan leher  Dada  Payudara dan ketiak  Abdomen  Genitalia  Integument  Ekstremitas  Pemeriksaan neurologist v Pemeriksaan Penunjang v Uji kulit : sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan seperti susu, telur, kacang, ikan). v Darah tepi : bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit 5000/ml disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan. v IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun. Kadar IgE lebih dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi, atau mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler. v Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya. v Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif. v Biopsi usus : sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food chalenge didapatkan inflamasi / atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan IgM. IgE ( dengan mikroskop imunofluoresen ). v Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.
  • 17. Diit coba buta ganda ( Double blind food chalenge ) untuk diagnosa pasti v Analisa Data  Data Subjektif  Sesak nafas  Mual, muntah  Meringis, gelisah  Terdapat nyeri pada bagian perut  Gatal – gatal  Batuk v Data objektif  Penggunaan O2  Adanya kemerahan pada kulit  Terlihat pucat  Pembengkakan pada bibir  Demam ( suhu tubuh diatas 37,50 C) II. DIAGNOSA KEPERAWATAN v Adapun diagnose keperawatan yang dapat kami ambil: 1..Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan terpajan allergen 2.Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi 3.Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan infalamasi dermal,intrademal sekunder 4.Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebih 5.Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi ( allergen,ex: makanan) III.RENCANA KEPERAWATAN 1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan terpajan allergen Tujuan : setelah diberikan askep selama ….x15 menit. diharapkan pasien menunjukkan pola nafas efektif dengan frekuensi dan kedalaman rentang normal. Kriteria hasil :  Frekuensi pernapasan pasien normal (16-20 kali per menit)
  • 18.  Pasien tidak merasa sesak lagi  Pasien tidak tampak memakai alat bantu pernapasan  Tidak terdapat tanda-tanda sianosis Intervensi : 1. Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan dan ekspansi paru. Catat upaya pernapasan, termasuk pengguanaan otot bantu/ pelebaran masal. R/ : kecepatan biasanya meningkat. Dispenea dan terjadi peningakatan kerja napas. Kedalaman pernapasan berpariasi tergantung derajat gagal napas. Ekspansi dada terbatas yang berhubungan dengan atelektasis atau nyeri dada pleuritik. 1. Auskultasi bunyi napas dan catat adanya bunyi napas adventisius seperti krekels, mengi, gesekan pleura. R/ : bunyi napas menurun/ tak ada bila jalan napas obstruksi sekunder terhadap pendarahan, bekuan/ kolaps jalan napas kecil (atelektasis). Ronci dan mengi menyertai obstruksi jalan napas/ kegagalan pernapasan. 1. Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi. Bangunkan pasien turun dari tempat tidur dan ambulansi sesegera mungkin. R/ : duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan pernapasan. Pengubahan posisi dan ambulansi meningkatkan pengisian udara segmen paru berbeda sehingga memperbaiki difusi gas. 1. Observasi pola batuk dan karakter secret. R/ : kongesti alveolar mengakibatkan batuk kering atau iritasi. Sputum berdarah dapat diakibatkan oleh kerusakan jaringan atau antikoagulan berlebihan. 1. Berikan oksigen tambahan R/ : memaksimalkan bernapas dan menurunkan kerja napas 1. Berikan humidifikasi tambahan, mis: nebulizer ultrasonic
  • 19. R/ : memberikan kelembaban pada membran mukosa dan membantu pengenceran secret untuk memudahkan pembersihan. 2.Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi Tujuan : setelah diberikan askep selama ….x.24 jam diharapkan suhu tubuh pasien menurun Kriteria hasil :  Suhu tubuh pasien kembali normal ( 36,5o C -37,5o C)  Bibir pasien tidak bengkak lagi Intervensi : 1. Pantau suhu pasien ( derajat dan pola ) R/ : Suhu 38,9-41,1C menunjukkan proses penyakit infeksius akut. 1. Pantau suhu lingkungan, batasi atau tambahkan linen tempat tidur sesuai indikasi R/: Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan mendekati normal 1. Berikan kompres mandi hangat; hindari penggunaan alcohol R/: Dapat membantu mengurangi demam 3.Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan infalamasi dermal,intrademal sekunder Tujuan : setelah diberikan askep selama ….x24 jam diharapkan pasien tidak akan mengalami kerusakan integritas kulit lebih parah Kriteria hasil :  Tidak terdapat kemerahan,bentol-bentol dan odema  Tidak terdapat tanda-tanda urtikaria,pruritus dan angioderma  Kerusakan integritas kulit berkurang Intervensi : 1. Lihat kulit, adanya edema, area sirkulasinya terganggu atau pigmentasi R/: Kulit berisiko karena gangguan sirkulasi perifer
  • 20. 1. Hindari obat intramaskular R/: Edema interstisial dan gangguan sirkulasi memperlambat absorpsi obat dan predisposisi untuk kerusakan kulit 4.Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebih Tujuan : setelah diberikan askep selama ….x24 jam diharapkan kekurangan volume cairan pada pasien dapat teratasi. Kriteria hasil :  Pasien tidak mengalami diare lagi  Pasien tidak mengalami mual dan muntah  Tidak terdapat tanda-tanda dehidrasi  Turgor kulit kembali normal Intervensi : 1. Ukur dan pantau TTV, contoh peningakatan suhu/ demam memanjang, takikardia, hipotensi ortostatik. R/ : peningkatan suhu atau memanjangnya demam meningkatkan laju metabolic dan kehilangan cairan melalui evaporasi. TD ortostatik berubah dan peningkatan takikardia menunjukkan kekurangan cairan sistemik. 1. Kaji turgor kulit, kelembaban membrane mukosa (bibir, lidah). R/ : indicator langsung keadekuatan volume cairan, meskipun membrane mukosa mulut mungkin kering karena napas mulut dan oksigen. 1. Monitor intake dan output cairan R/ : mengetahui keseimbangan cairan 4. Beri obat sesuai indikasi misalnya antipiretik, antiemetic. R/ : berguna menurunkan kehilangan cairan 1. Berikan cairan tambahan IV sesuai keperluan
  • 21. R/ : pada adanya penurunan masukan/ banyak kehilangan, penggunaan parenteral dapat memperbaiki atau mencegah kekurangan. 5.Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi ( alergen,ex: makanan) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …x 24 jam diharapkan nyeri pasien teratasi kriteria hasil : – Pasien menyatakan dan menunjukkan nyerinya hilang – Wajah tidak meringis – Skala nyeri 0 – Hasil pengukuran TTV dalam batas normal, TTVnormal yaitu :  Tekanan darah : 140-90/90-60 mmHg  Nadi : 60-100 kali/menit  Pernapasan : 16-20 kali/menit  Suhu : Oral (36,1-37,50 C) Rektal (36,7-38,10 C) Axilla (35,5-36,40 C) Intervensi : 1.Ukur TTV R/ : untuk mengetahui kondisi umum pasien 2.Kaji tingkat nyeri (PQRST) R/ : Untuk mengetahui faktor pencetus nyeri 3.Berikan posisi yang nyaman sesuai dengan kebutuhan
  • 22. R/ : memberikan rasa nyaman kepada pasien 4.Ciptakan suasana yang tenang R/ : membantu pasien lebih relaks 5.Bantu pasien melakukan teknik relaksasi R/ : membantu dalam penurunan persepsi/respon nyeri. Memberikan kontrol situasi meningkatkan perilaku positif. 6.Observasi gejala-gejala yang berhubungan, seperti dyspnea, mual muntah, palpitasi, keinginan berkemih. R/ : tanda-tanda tersebut menunjukkan gejala nyeri yang dialami pasien. 7..Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesik R/ : Analgesik dapat meredakan nyeri yang dirasakan oleh pasien. IV.EVALUASI Diagnosa Evaluasi 1 S : pasien mengeluh tidak sesak lagi O : pasien bernafas normal (16-24 x/menit),tidak terdapat tanda-tanda sianosis,pasien tidak mengalami gangguan pola nafas,pasien tidak tampak menggunakan alat bantu pernapasan. A : tujuan tercapai P : Pertahankan kondisi pasien 2 S:Pasien mengatakan tidak demam lagi
  • 23. O: Suhu tubuh pasien kembali normal ( 36,5o C -37,5o C),bibir pasien tidak tampak bengkak lagi. A:Tujuan tercapai P:Pertahankan kondisi pasien 3 S : Pasien mengatakan kulitnya sudah tidak merah-merah lagi O : kerusakan integritas kulit pada pasien berkurang,tanda-tanda angioderma,pruritus dan urtikaria sudah mulai berkurang,kulit pasien tidak terdapat kemerahan. A: tujuan tercapai sebagian P: lanjutkan intervensi ( no 1 dan 2) 4 S : pasien mengatakan tidak merasa mual,muntah dan mencret lagi O: intake & output pasien seimbang,TTV dalam batas normal(TD : 120/80- 140/90,Suhu aksila: 36,5o C -37,5o C,Frekuensi pernapasan : 16-24 x / menit,Nadi: 60-100x/menit),tidak terdapat tanda-tanda sianosis,turgor kulit kembali normal. A : tujuan tercapai P : Pertahankan kondisi pasien 5 S : pasien mengatakan nyerinya sudah berkurang O: wajah pasien tampak tenang dan tidak meringis A : tujuan tercapai P : Pertahankan kondisi pasien DAFTAR PUSTAKA Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, volume 3,Jakarta:EGC..
  • 24. Carpenito LD.1995.Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinik.Jakarta: EGC. www.medikaholistik.com Price & Wilson.2003.Patofisiologi konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Vol2.Edisi 6.Jakarta:EGC.