2. Dalam Doaku
(Sapardi Joko Damono, 1989, kumpulan sajak
“Hujan Bulan Juni”)
Dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang
semalaman tak memejamkan mata, yang meluas bening
siap menerima cahaya pertama, yang melengkung hening
karena akan menerima suara-suara
Ketika matahari mengambang tenang di atas kepala,
dalam doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang
hijau senantiasa, yang tak henti-hentinya
mengajukan pertanyaan muskil kepada angin
yang mendesau entah dari mana
3. Dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung
gereja yang mengibas-ibaskan bulunya dalam gerimis,
yang hinggap di ranting dan menggugurkan bulu-bulu
bunga jambu, yang tiba-tiba gelisah dan
terbang lalu hinggap di dahan mangga itu
Maghrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang
turun sangat perlahan dari nun di sana, bersijingkat
di jalan dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya
di rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku
Dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku,
yang dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit
yang entah batasnya, yang setia mengusut rahasia
demi rahasia, yang tak putus-putusnya bernyanyi
bagi kehidupanku
Aku mencintaimu.
Itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan
keselamatanmu
5. A. Penafsiran
Penafsiran atau interpretasi karya sastra berarti penjelasan
makna karya sastra. Penafsiran karya sastra berarti menangkap
makna karya sastra, tidak hanya menurut apa adanya, tetapi
menerangkan juga apa yang tersirat dengan mengemukakan
pendapat sendiri.
dalam memberikan penafsiran ada faktor subjektivitas
(mengemukakan pendapat sendiri). Hasil penafsiran harus
dapat dipertanggungjawabkan dengan mempertimbangkan
dua hal, yaitu
1. Segala tafsiran harus disertai dengan alasan-alasan yang
logis, dapat diterima akal
2. Alasan yang logis itu haruslah didasarkan pada sifat hakikat
karya sastra sendiri (meskipun tentang sifat hakikat karya
sastra itu juga ada bermacam-macam menurut orientasinya
atau sudut pandang terhadap karya sastra
6. A. Penafsiran
1. Penafsiran berdasarkan pada orientasi sastra
Menurut Hirsch (1979: 8) arti yang diberikan oleh pembaca
adalah makna (significance) yang diberikan kepada teks,
sedangkan arti yang dimaksudkan oleh penulis disebut arti
(meaning).
Jadi, arti yang diberikan pembaca tidak sama dengan arti
yang dimaksudkan pengarangnya. Arti yang dimaksudkan
pengarang itu tetap, sedangkan makna yang diberikan
oleh pembaca itu berubah-ubah.
7. A. Penafsiran
1. Penafsiran berdasarkan pada orientasi sastra
Dalam interpretasi yang menjadi masalah adalah
bagaimana kritikus dapat memberikan makna sepenuh
dan sebulatnya kepada teks sastra yang diteliti, bukan
masalah kesahihan interpretasi.
Pendekatan Menafsirkan karya sastra
Mimetik Tiruan dunia ide, alam atau pun kehidupan
Pragmatik Menyampaikan pendidikan
Ekspresif Ekspresi jiwa sastrawan
Objektif Sistem tanda konvensi-konvensi yang ada dalam karya
sastra
8. A. Penafsiran
2. Penafsiran dalam kerangka semiotik
Untuk dapat memahami karya sastra sepenuhnya sebagai
struktur harus diinsafi ciri khasnya sebagai tanda (sign).
Tanda baru mendapat makna sepenuhnya bila sudah
melalui tanggapan pembaca.
Dengan demikian, ada pengaruh timbal balik antara tanda
dengan pembacanya. Pembaca dalam memberi makna
terikat konvensi tanda, tidak semau-maunya. Jadi, dengan
kerangka semiotik itu dapat diproduksi makna dalam karya
sastra yang merupakan struktur sistem tanda-tanda itu.
9. A. Penafsiran
2. Penafsiran dalam kerangka semiotik
Dalam penafsiran karya sastra dengan kerangka semiotik,
yang perlu diperhatikan untuk memproduksi makna
adalah:
a) Konvensi bahasa
b) Konvesi sastra
c) Kerangka kesejarahan
d) Relevansi sosial budayanya
10. A. Penafsiran
2. Penafsiran dalam kerangka semiotik
a) Konvensi Bahasa
Karya sastra adalah karya seni yang mediumnya sudah
bersifat tanda yang mempunyai arti, yaitu bahasa. Tanda
kebahasaan itu adalah bunyi yang dipergunakan sebagai
simbol, yaitu tanda yang hubungannya dengan artinya itu
bersifat arbitrer atau semau-maunya. Arti tanda itu
ditentukan oleh konvensi masyarakatnya. Para pemakai
bahasa tunduk kepada sistem konvensi bahasa itu, seperti
konvensi tata bahasa dan konvensi artinya. Para sastrawan
sebagai pemakai bahasa untuk karya sastranya tunduk
kepada sistem konvensi bahasa yang dipergunakannya
(Teeuw, 1984: 96)
11. A. Penafsiran
2. Penafsiran dalam kerangka semiotik
b) Konvensi Sastra
Dalam memproduksi makna karya sastra, di samping harus
memperhatikan sistem konvensi bahasa yang
dipergunakan, pembaca juga harus memperhatikan sistem
konvensi sastra. Jadi, arti bahasa (meaning) dalam karya
sastra tidak semata-mata sama dengan sistem bahasa,
tetapi mendapat arti tambahan yang merupakan makna
sastra (significance) berdasarkan tempat dan fungsinya
dalam struktur sastranya; maknanyan ditentukan fungsinya
dalam struktur.
12. A. Penafsiran
2. Penafsiran dalam kerangka semiotik
b) Konvensi Sastra
Ketidaklangsungan pengucapan itu disebabkan oleh
1) Pemindahan atau pergantian arti (displacing of
meaning)
2) Penyimpangan arti (distorting of meaning)
3) Penciptaan arti (creating of meaning)
13. A. Penafsiran
2. Penafsiran dalam kerangka semiotik
b) Konvensi Sastra
Pemindahan atau pergantian arti (displacing of meaning)
terjadi pada metafora dan metonimia, perbandingan
(simile), personifikasi, sinekdok. Misalnya dalam bait sajak
Chairil Anwar
SAJAK PUTIH
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
(1959: 19)
14. A. Penafsiran
2. Penafsiran dalam kerangka semiotik
b) Konvensi Sastra
Penyimpangan (distorting) arti terjadi bila dalam sajak ada
ambiguitas, kontradiksi, ataupun nonsense. Misalnya
dalam sajak “Doa” Chairil Anwar (1959: 13)
DOA
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk
Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing
15. A. Penafsiran
2. Penafsiran dalam kerangka semiotik
b) Konvensi Sastra
Kontradiksi terjadi pada paradoks dan ironi. Paradoks
seperti terdapat dalam sajak “Pusat” Toto Sudarto
Bachtiar
PUSAT
Serasa apa hidup yang terbaring mati
Memandang musim yang mengandung luka
Serasa apa kisah sebuahh dunia terhenti
Padaku, tanpa bicara
(1957: 7)
16. A. Penafsiran
2. Penafsiran dalam kerangka semiotik
b) Konvensi Sastra
Dalam sajak “Afrika Selatan” karya Subagio Sastrowardojo
terdapat adanya ironi yang menggambarkan arti yang
kontradiktif.
AFRIKA SELATAN
Kristus pengasih putih wajah
Kulihat dalam buku injil bergambar
Dan arca-arca dari marmar
Orang putih bersorak: "Hosannah!”
Dan ramai berarak ke sorga.
17. A. Penafsiran
2. Penafsiran dalam kerangka semiotik
b) Konvensi Sastra
Tapi kulitku hitam
Dan sorga bukan tempatku berdiam
....
Mereka boleh membunuh
Mereka boleh membunuh
Mereka boleh membunuh
Sebab mereka kulit putih
Dan kristus pengasih putih wajah
(1975: 26-27)
18. A. Penafsiran
2. Penafsiran dalam kerangka semiotik
b) Konvensi Sastra
Nonsense merupakan bentuk kata-kata yang secara linguistik
tidak mempunyai arti sebab “menyalahi konvensi bahasa,”
tidak terdapat dalam kosakata, misalnya tedapat dalam sajak-
sajak Sutardji Calzoum Bachri:
penggabungan dua kata atau lebih menjadi bentuk baru,
seperti “sepi”, “pisau”, dan “sapa” digabung menjadi “sepisaupi
sepisaupa”.
Pengulangan kata dalam satu kata: “terkekehkekehkehkehkeh”.
19. A. Penafsiran
2. Penafsiran dalam kerangka semiotik
b) Konvensi Sastra
Nonsense itu menimbulkan asosiasi-asosiasi tertentu,
menimbulkan arti dua segi, menimbulkan suasana aneh,
suasana gaib, ataupun suasana lucu. Semua itu merupakan
makna nonsense itu. Misalnya terdapat dalam sajak “Pot”
(1981: 30):
“Potapa potipu potkaukah potaku?”
20. A. Penafsiran
2. Penafsiran dalam kerangka semiotik
b) Konvensi Sastra
Penciptaan arti terjadi bila ruang teks (spasi teks) berlaku
sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-
tanda keluar dari hal-hal ketatabahasaan yang
sesungguhnya secara lingiustik tidak artinya, misalnya
simitri, rima, enjambement, atau ekuivalensi-ekuivalensi
makna (semantik) di antara persamaan-persamaan posisi
dalam bait (homologues). Misalnya homologues dalam bait
sajak Rendra
21. A. Penafsiran
2. Penafsiran dalam kerangka semiotik
b) Konvensi Sastra
Elang yang gugur tergeletak
Elang yang gugur terebah
Satu harapku pada anak
Ingatkan pulang pabila lelah
Akan tetapi, selebihnya adalah efoni, diakhir dengan bait yang merdu berikut.
Ada pohon pulang ke sarang
Tembangnya panjang berulang-ulang
_pulang ya pulang, hai petualang!
Ketapang, ketapang yang kembang
Berumpun di dekat perigi tua
Anakku datang, anakku pulang
Kembali kucium, kembali kuriba
22. A. Penafsiran
2. Penafsiran dalam kerangka semiotik
b) Konvensi Sastra
Konvensi tema dan perwujudan (thema and ephiphany) adalah
konvensi makna (significance) yang relevan, makna yang
relevan dengan konteks sajak. Sajak menyatakan sesuatu secara
implisit, mempunyai arti tambahan. Pernyataan-pernyataan
dalam puisi maknanya meluas. Puisi bukan hanya pernyataan
penyair saja, melainkan menjadi pernyataan manusia pada
umumnya.
Misalnya sajak Chairil Anwar (1959: 9) “Selamat Tinggal”, tema
atau masalahnya meluas, dan masalah aku si penyair menjadi
masalah puisi itu sendiri, menjadi masalah manusia pada
umumnya, yaitu manusia yang melihat pada dirinya sendiri.
23. A. Penafsiran
2. Penafsiran dalam kerangka semiotik
b) Konvensi Sastra
SELAMAT TINGGAL
Aku berkaca
Ini muka penuh luka
Siapa punya?
Kudengar seru menderu
Dalam hatiku?
Apa hanya angin lalu?
Lagu lain pula
Menggelegar tengah malam buta
Ah ........!
Segala menebal, segala mengental
Segala tak kukenal......!
Selamat tinggal......!
24. A. Penafsiran
2. Penafsiran dalam kerangka semiotik
c) Kerangka Kesejarahan: Hubungan Intertekstual
Dasar intertekstualitas adalah prinsip persamaan
(vraisambable) teks yang satu dengan teks yang lain. Culler
(1977: 139) mengutip pendapat Julia Kristeva bahwa setiap
teks itu merupakan penyerapan dan transformasi teks-teks
lain, setiap teks itu merupakan mosaik kutipan-kutipan
dari teks lain. Hubungan ini dapat berupa persamaan atau
pertentangan.
Dikemukakan Riffaterre (1978: 11-23) bahwa sajak (teks)
yang menjadi latar penciptaan sebuah karya sastra (teks)
yang lain itu disebut hipogram.
25. A. Penafsiran
2. Penafsiran dalam kerangka semiotik
c) Kerangka Kesejarahan: Hubungan Intertekstual
Sebagai contoh dapatlah dikemukakan sebuah sajak Chairil
Anwar yang berjudul “Penerimaan” (1959: 36) yang
menyerap dan mentransformasikan sajak Amir Hamzah
yang menjadi hipogramnya: “Kusangka” (1959: 19)
26. A. Penafsiran
2. Penafsiran dalam kerangka semiotik
KUSANGKA (Amir Hamzah)
Kusangka cemburu kembang setangkai
Rupanya melur telah diseri.....
Hatiku remuk mengenangkan ini
Wasangka dan was-was silih berganti.
Kuharap cempaka baharu kembang
Belum tahu sinar matahari.....
Rupanya teratai patah kelopak
Dihinggapi kumbang berpuluh kali.
27. A. Penafsiran
Kupohonkan cempaka
Harum mula terserak.....
Melati yang ada
Pandai tergeletak.....
Mimpiku seroja terapung di paya
Teratai putih awan angkasa.....
Rupanya mawar mengandung lumpur
Kaca piring bunga renungan.....
Iguanku subuh, impianku malam
Kuntum cempaka putih bersih.....
Kulihat kumbang keliling berlagu
Kelopakmu terbuka menerima cembu.
29. A. Penafsiran
PENERIMAAN (Chairil anwar)
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Djangan tunduk! Tentang aku dengan berani
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi
(Deru Campur Debu, 1959: 36)
30. A. Penafsiran
2. Penafsiran dalam kerangka semiotik
D) Relevansi Sosial Budaya
Dalam memahami karya sastra tidak mungkin tanpa
pengetahuan mengenai kebudayaan yang
melatarbelakangi karya sastra dan tidak langsung
terungkap dalam dalam sistem tanda bahasanya, seperti
misalnya pengetahuan tentang dalang, kayon,
asmaradahana yang disebut oleh sastrawan dalam
karyanya.
Berikut sebuah sajak Darmanto Jt (1980: 40) yang di
dalamnya tercermin latar sosial budaya petani
31. A. Penafsiran
2. Penafsiran dalam kerangka semiotik
D) Relevansi Sosial Budaya
ISTERI
isteri mesti digemari
ia sumber berkah dan rejeki.
(towikromo, Tambran, Pundong, Bantul)
Isteri sangat penting untuk mengurus kita
Menyapu pekarangan
Memasak di dapur
Mencuci di sumur
Mengirim rantang ke sawah
Dan ngeroki kita kalau kita masuk angin
Ya. Isteri sangat penting untuk kita
32. A. Penafsiran
2. Penafsiran dalam kerangka semiotik
D) Relevansi Sosial Budaya
ia sisihan kita,
kalau kita pergi kondangan
ia tetimbangan kita,
kalau kita mau jual palawija
ia teman belakang kita,
kalau kita lapar dan mau makan
ia sigaraning nyawa kita,
kalau kita
ia sakti kita!
ah. Lihatlah. Ia menjadi sama penting
33. A. Penafsiran
2. Penafsiran dalam kerangka semiotik
D) Relevansi Sosial Budaya
Dengan kerbau, luku, sawah, dan pohon kelapa.
Ia kita cangkul malam hari dan tak pernah mengeluh walau cape
Ia selalu rapih menyimpan benih yang kita tanamkan dengan rasa
Sukur: tahu terima kasih dan meninggikan harkat kita sebagai lelaki
Ia selalu memelihara anak-anak kita dengan bersungguh-sungguh
Seperti kita memelihara ayam, itik, kambing atau jagung
Ah. Ya. Isteri sangat penting bagi kita justru ketika
Kita mulai melupakannya:
34. A. Penafsiran
2. Penafsiran dalam kerangka semiotik
D) Relevansi Sosial Budaya
....
Ah. Ah. Ah
Alangkah pentingnya isteri ketika kita mulai melupakannya
hormatilah isterimu
seperti kau menghormati Dewi Sri
sumber hidupmu
makanlah
Karena memang demikianlah suratannya!
.... Towikromo
35. A. Penafsiran
Interpretasi merupakan sarana konkretisasi. Konkretisasi
merupakan pemaknaan karya sastra. Dalam hubungan ini,
perlulah diingat seluruh situasi karya sastra seperti yang
dikemukakan oleh Abrams: alam, pembaca, sastrawan, dan
karya sastra. Oleh karena itu, untuk mendapatkan makna
sepenuhnya, hendaklah keempat orientasi itu (konvensi
bahasa, konvensi sastra, Kerangka Kesejarahan:
Hubungan Intertekstual, dan relevansi sosial budaya)
tidak dapat dipisahkan secara mutlak. Karena itu, dalam
konkretisasi penafsiran berdasarkan keempat orientasi itu
dapat dipergunakan, atau bahkan harus dipergunakan di
mana perlu untuk mendapatkan makna yang optimal.
Misalnya karya Umar Kayam: Sri Sumarah dan Bawuk
37. Aku ingin mencintaimu
Sapardi Djoko Damono
Aku ingin mencintaimu
Dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat
Diucapkan kayu kepada api
Yang menjadikannya abu..
Aku ingin mencintaimu
Dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat
Disampaikan awan kepada hujan
Yang menjadikannya tiada
38. B. Analisis
Contoh Puisi
TUTI ARTIC (Chairil Anwar)
Antara bahagia sekarang dan nanti jurang ternganga,
Adikku yang lagi keenakan menjilat es artic;
Sore ini kau cintaku, kuhiasi dengan susu + coca cola.
Isteriku dalam latihan: kita hentikan jam berdetik.
Kau pintar benar bercium, ada goresan tinggal terasa
,, ketika kita bersepeda kuantar kau pulang,,
Panas darahmu, sungguh lekas kau jadi dara,
Mimpi tua bangka ke langit lagi menjulang,
Pilihanmu saban hari menjemput, saban kali bertukar;
Besok kita berselisih jalan, tidak kenal tahu:
Sorga hanya permainan sebentar.
Aku juga seperti kau, semua lekas berlalu
Aku dan Tuti+Greet+Amoi...hati terlantar
Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar
(1959:41)
39. B. Analisis
1. Analisis Struktural: Lapis Norma Karya Sastra
a) Lapis Suara (Sound Stratum)
Bila orang membaca puisi (karya sastra), yang tedengar
adalah rangkaian bunyi yang dibatasi jeda pendek, agak
panjang, dan panjang. Akan tetapi, suara itu bukan hanya
bunyi tanpa arti. Sesuai dengan konvensi bahasa, bunyi itu
disusun begitu rupa hingga menimbulkan arti berdasarkan
konvensi. Dengan adanya satuan-satuan suara, orang
menangkap artinya. Maka, lapis bunyi itu menjadi dasar
timbulnya lapis arti.
40. B. Analisis
1. Analisis Struktural: Lapis Norma Karya Sastra
a) Lapis Suara (Sound Stratum)
Sajak tersebut berupa rangkaian satuan suara, yaitu suara
suku kata, kata, kelompok kata, dan suara kalimat. Satuan-
satuan suara itu adalah satuan-satuan berdasarkan sistem
bunyi bahasa. misalnya:
Satuan suara suku kata : an-ta-ra, ba-ha-g i-a, se-ka-rang
Satuan suara kata : dan, nanti, jurang, ternganga
Dalam puisi juga terdapat asonansi, aliterasi, pola sajak
(awal, dalam, tengah, dan akhir), kiasan suara, dan
orkestrasi.
41. B. Analisis
1. Analisis Struktural: Lapis Norma Karya Sastra
a) Lapis Suara (Sound Stratum)
Dalam bait I
Baris 1 : ada asonansi a dan aliterasi ng: antara bahagia,
sekarang, dan nanti jurang ternganga
Baris 2 : ada asonansi i: lagi, menjilat, es artic
Baris 3 : ada aliterasi s: sore, kuhiasi, susu
Baris 4 : ada asonansi a digabung dengan aliterasi n:
dalam latihan, kita hentikan jam
Pola sajak ahirnya : a-b-a-b; ternganga, artic, cola-cola,
berdetik
Kombinasi asonansi, aliterasi, dan sajak akhir itu
merupakan orkestrasi yang merdu dan berirama.
42. B. Analisis
1. Analisis Struktural: Lapis Norma Karya Sastra
a) Lapis Suara (Sound Stratum)
Dalam bait II
Baris 1 : ada asonansi a dan aliterasi r: pintar benar bercium, ada
goresan tinggal terasa
Baris 2 : ada asonansi a yang berturut-turut
Baris 3 : ada asonansi a berkombinasi dengan asonansi u dan
aliterasi h dan d: panas darahmu, sungguh lekas kau jadi
dara
Baris 4 : ada asonansi a berkombinasi dengan aliterasi m, ng, dan
l: mimpi tua bangka ke langit lagi menjulang
Pola sajak ahirnya : a-b-a-b; terasa, pulang, dara, menjulang
Kombinasi asonansi, aliterasi, dan sajak akhir dan kombinasi bunyi ng
itu merupakan orkestrasi yang merdu, lebih-lebih pola sajak akhir
dan kombinasi ng-nya: ada goresan tinggal terasa-kuantar kau
pulang-jadi dara-ke langit lagi menjulang.
43. B. Analisis
1. Analisis Struktural: Lapis Norma Karya Sastra
a) Lapis Suara (Sound Stratum)
Dalam bait III
Baris 1 : terdapat bunyi yang berulang: saban hari
menjemput, saban hari bertukar
Baris 2 : ada aliterasi s dan k: besok kita berselisih jalan,
tidak kenal tahu
Baris 3 : ada asonansi a yang dikombinasikan dengan
aliterasi r: sorga hanya permainan sebentar
Pola sajak ahirnya : a-b-a; bertukar, tahu, sebentar
44. B. Analisis
1. Analisis Struktural: Lapis Norma Karya Sastra
a) Lapis Suara (Sound Stratum)
Dalam bait IV
Baris 1 : terdapat aliterasi s dan asonansi a-u yang
berseling-seling au-ua-au-ua-a-au: aku juga
seperti kau, semua lekas berlalu
Baris 2 : ada asonansi i: Tuti-Amoi-hati
Baris 3 : ada asonansi a sepanjang baris: cinta adalah
bahaya yang lekas jadi pudar
Pola sajak ahirnya : a-b-b; berlalu, terlantar, pudar
45. B. Analisis
1. Analisis Struktural: Lapis Norma Karya Sastra
b) Lapis Satuan Arti (Units of Meaning)
Fonem, suku kata, kata, kelompok kata, dan kalimat dalam
sajak tersebut merupakan satuan-satuan arti. Akan tetapi,
dalam sajak satuan arti minimum adalah kata, dan satuan
terluas adalah kalimat. Arti kata-katanya adalah arti
leksikal seperti dalam kamus. Akan tetapi, dalam puisi
(karya sastra) ada arti lain berdasarkan konvensi sastra,
misalnya arti kiasan.
46. B. Analisis
1. Analisis Struktural: Lapis Norma Karya Sastra
b) Lapis Satuan Arti (Units of Meaning)
Bait I
Baris I : bahagia berarti kegembiraan, kesenangan;
sekarang: waktu kini
nanti: hari yang akan datang
jurang ternganga: ceruk dalam (gunung) yang lebar
tetapi di sini berarti kiasan: sesuatu yang memisahkan
seperti lubang dalam yang mengerikan, sesuatu yang
tidak diketahui yang mengerikan
Jadi baris pertama berarti antara kebahagiaan kini dan hari
yang akan datang itu ada suatu pemisah yang penuh rahasia
dan mengerikan
47. B. Analisis
1. Analisis Struktural: Lapis Norma Karya Sastra
b) Lapis Satuan Arti (Units of Meaning)
Bait I
Baris II : adikku berarti pacar si aku(yang diajak berdialog),
ia sedang menjilati es artic yang terasa lezat
(keenakan)
Baris III : sore ini kau cintaku: petang ini kau menjadi
kekasihku
kuhiasi: kuberi hiasan, maksudnya, diberi sesuatu
yang indah, yang mewah, yaitu berupa kue
“mewah” susu dan minuman “mewah” coca cola
48. B. Analisis
1. Analisis Struktural: Lapis Norma Karya Sastra
b) Lapis Satuan Arti (Units of Meaning)
Bait I
Baris IV : isteriku dalam latihan berarti isteri yang belum
resmi, masih dalam taraf latihan, wanita yang
dijadikan latihan sebagai isteri. Di sini pacar itu
isteri dalam latihan
kita hentikan jam berdetik: jam berdetik
dihentikan berarti waktu itu dihentikan, waktu
tidak diingat lagi.
Jadi baris keempat berarti mari, jangan diingat lagi waktu
di saat orang sedang mengalami kebahagiaan, entah jarum
jam sudah menunjuk pukul sepuluh atau sebelas malam
49. B. Analisis
1. Analisis Struktural: Lapis Norma Karya Sastra
b) Lapis Satuan Arti (Units of Meaning)
Bait II
Baris I : kau (si pacar) pintar (pandai) bercium, hingga ada
goresan (bekas ciuman) yang tinggal (tetap,
selalu) terasa: karena si pacar itu pandai bercium,
si aku selalu merasakan bekas ciuman itu; ciuman
pacar si aku itu begitu mengesankan
Baris II : ciuaman itu dilakukan ketika si aku sedang
bersepeda mengantarkan gadisnya pulang
50. B. Analisis
1. Analisis Struktural: Lapis Norma Karya Sastra
b) Lapis Satuan Arti (Units of Meaning)
Bait II
Baris III : si aku merasakan panas darah si pacar, yang
menandakan pacarnya bergairah hidup, penuh
hafsu erotik dan menandakan si pacar sudah
dewasa meskipun umurnya baru baru belasan
tahun:
sungguh lekas kau jadi dara: kau sungguh cepat
menjadi dewasa, sudah pandai bercinta
51. B. Analisis
1. Analisis Struktural: Lapis Norma Karya Sastra
b) Lapis Satuan Arti (Units of Meaning)
Bait II
Baris IV : mimpi tua bangka: impian, angan-angan yang
sudah lama sekali. Si aku pernah memimpikan
atau berangan-angan tentang sesuatu yang
indah, romantis, dan menyenangkan, misalnya ia
pernah berkeinginan mempunyai pacar yang
menggairahkan. Kini impian lama itu: ke langit
menjulang, bangkit lagi, timbul lagi karena
mendapatkan pacar yang menggairahkan itu.
52. B. Analisis
1. Analisis Struktural: Lapis Norma Karya Sastra
b) Lapis Satuan Arti (Units of Meaning)
Bait III
Baris I : pilihanmu: orang yang kau pilih menjadi kekasih;
saban hari menjemput: tiap hari mengambilmu
untuk berpacaran; saban kali bertukar: setiap
kali berganti. Jadi, pacar gadis si aku itu tiap hari
datang; si gadis itu tiap kali berganti pacar, di
antaranya si aku sendiri.
Baris II : besok mereka (si aku dan gadis) berselisih jalan:
saling berpisah; tidak kenal tahu; tidak saling
mengenal lagi
53. B. Analisis
1. Analisis Struktural: Lapis Norma Karya Sastra
b) Lapis Satuan Arti (Units of Meaning)
Bait III
Baris III : sorga: kebahagiaan yang memuncak; hanya
permainan sebentar; Cuma kejadian (peristiwa)
yang menyenangkan dalam waktu tidak lama
54. B. Analisis
1. Analisis Struktural: Lapis Norma Karya Sastra
b) Lapis Satuan Arti (Units of Meaning)
Bait IV
Baris I : aku juga seperti kau; si aku juga berbuat seperti
yang kau lakukan, yaitu berganti-ganti pacar dan
berpisah berulang-ulang; semua lekas berlalu:
segalanya lekas lewat, lekas hilang. Karena itu,
Baris II : Aku dan Tuti dan Greet dan Amoi....hati
terlantar: hati menjadi kosong, sedih, tidak ada
yang dicintai lagi.
55. B. Analisis
1. Analisis Struktural: Lapis Norma Karya Sastra
b) Lapis Satuan Arti (Units of Meaning)
Bait IV
Baris III : cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar:
percintaan itu sesuatu yang membuat sengsara,
tetapi kesengsaraan itu lekas menghilang karena
akan terganti kebahagiaan yang lain dengan
bergantinya kekasih yang kemudian.
56. B. Analisis
1. Analisis Struktural: Lapis Norma Karya Sastra
C) Lapis Objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku,
dan dunia pengarang
Objek-objek yang dikemukanan berupa:
Bahagia, jurang ternganga, gadis (adikku), es artic, susu,
coca cola, ciuman, goresan ciuman, rasa panas darah,
mimpi tua bangka, sorga, cinta, bahaya
Pelaku atau tokoh: si aku dan si gadis
Latar waktu: sekarang, sore, hari
Latar tempat: restoran atau tempat tamasya
57. B. Analisis
1. Analisis Struktural: Lapis Norma Karya Sastra
C) Lapis Objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku,
dan dunia pengarang
Dunia pengarang di sini adalah peristiwa, cerita, ataupun
gambaran angan-angan yang diciptakan pengarang. Dunia
pengarang ini merupakan penggabungan antara objek-
objek yang dikemukakan, latar, pelaku dengan
perbuatannya, dan peristiwa-peristiwa yang ditimbulkan
sebagai berikut:
58. B. Analisis
1. Analisis Struktural: Lapis Norma Karya Sastra
C) Lapis Objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku,
dan dunia pengarang
Si aku menyatakan kepada gadisnya (Tuti Artic) yang
sedang menikmati es artic di suatu tempat (restoran atau
tempat tamasya) bahwa kebagaiaan waktu kini dan waktu
nanti itu dipisahkan oleh sesuatu yang tidak diketahui,
yang mengerikan. Oleh karena itu, pada saat bahagia itu
jangan ingat waktu lagi, nikmati kebahagiaan itu
sepuasnya.
59. B. Analisis
1. Analisis Struktural: Lapis Norma Karya Sastra
C) Lapis Objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku,
dan dunia pengarang
Si aku mengatakan bahwa gadisnya pendai bercium hingga
bekas ciuman itu selalu terasa. Betapa gadisnya itu
menggairahkan dan terasa sudah dewasa. Mengalami hal
seperti itu, impian si aku yang telah lama diharapkan:
impian hidup bersama gadis yang menggairahkan, kini
timbul lagi dengan hebatnya
60. B. Analisis
1. Analisis Struktural: Lapis Norma Karya Sastra
C) Lapis Objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku,
dan dunia pengarang
Si aku menyadari bahwa kekasih si aku itu tiap kali
berganti pacar. Oleh karena itu, besok mereka akan
berpisah dan tidak akan saling mengenal lagi. Betapa
kebahagiaan percintaan itu tidak kekal, hanya sebentar
saja.
61. B. Analisis
1. Analisis Struktural: Lapis Norma Karya Sastra
C) Lapis Objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku,
dan dunia pengarang
Si aku pun seperti gadis pacarnya, percintaan tidak
langsung lama (setiap kali berganti pacar). Karena itu, si
aku, Greet, Tuti, dan Amoi hatinya akan kosong: terlantar
tanpa cinta. Karena itu, sesungguhnya cinta itu adalah
bahaya, tetapi juga lekas hilang berganti yang lain.
62. B. Analisis
1. Analisis Struktural: Lapis Norma Karya Sastra
D) Lapis “dunia” yang tidak usah dinyatakan, tetapi
sudah tersirat atau implisit
Pada bait I Dipandang dari sudut tertentu, yaitu dari
objek-objek: es artic, susu, dan coca cola, maka dialog
percintaan itu terjadi di restoran.
Adikku berarti pacar si aku, mengingat kata si aku: “sore ini
kau cintaku”. Pilihan kata kuhiasi itu menandakan bahwa
susu dan coca cola itu makanan yang mewah (pada waktu
sekitar tahun 1945 saat sajak ditulis)
63. B. Analisis
1. Analisis Struktural: Lapis Norma Karya Sastra
D) Lapis “dunia” yang tidak usah dinyatakan, tetapi
sudah tersirat atau implisit
Pada bait II tergambar suasana percintaan yang romantik,
bahkan erotik, tersirat dari kata-kata: kau pintar benar
bercium, ada goresan tinggal terasa; panas darahmu,
sungguh lekas kau jadi dara; mimpi tua bangka.
64. B. Analisis
1. Analisis Struktural: Lapis Norma Karya Sastra
D) Lapis “dunia” yang tidak usah dinyatakan, tetapi
sudah tersirat atau implisit
Pada bait III tersirat bahwa gadis si aku itu mudah jenuh,
selalu berganti pacar, mudah bosab, penuh nafsu bercinta.
Ini semua kelihatan dari kata-kata: pilihanmu saban hari
menjemput, saban kali bertukar. Si gadis lekas melupakan
pacar-pacarnya: besok kita berselisih jalan, tidak kenal
tahu. Dipandang dari semua itu, maka segala sesuatu itu
tidak kekal, tidak tetap: Sorga hanya peramainan sebentar;
cinta itu adalah bahaya yang lekas jadi pudar (bait IV, baris
ke-3)
65. B. Analisis
1. Analisis Struktural: Lapis Norma Karya Sastra
D) Lapis “dunia” yang tidak usah dinyatakan, tetapi
sudah tersirat atau implisit
Pada bait IV tergambar bahwa cinta itu membuat
penderitaan, membuat hati jadi kosong, terlantar tanpa
cinta, tetapi penderitaan akan lekas hilang juga: cinta
adalah bahaya yang lekas jadi pudar
66. B. Analisis
1. Analisis Struktural: Lapis Norma Karya Sastra
E) Lapis Metafisik
Lapis metafisik meliputi sublim, tragis, mengerikan atau
menakutkan, dan suci yang menyebabkan pembaca
berkontemplasi terhadap apa yang dikemukan dalam
sajak.
Dalam sajak ini dikemukakan kengerian akan hal-hal yang
tidak diketahui oleh manusia mengenai apa yang akan
datang sebagai jurang yang menganga. Sebab itu,
nikmatilah kebahagiaan yang didapat pada waktu kini,
jangan pikirkan waktu yang berjalan: kita hentikan jam
berdetik.
67. B. Analisis
1. Analisis Struktural: Lapis Norma Karya Sastra
E) Lapis Metafisik
Di samping pikiran di atas, bahkan yang merupakan inti
pemikirannya segalanya itu tidak berlangsung lama, hanya
sebentar, tidak kekal (bait III, IV): sorga hanya permainan
sebentar; cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar. Hal
ini tentu merupakan ketragisan hidup manusia: percintaan
tidak berlangsung lama, hati terlantar, kosong tanpa cinta
akibat ulah manusia sendiri: lekas bosan dan dikuasai oleh
nafsu. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Jean Paul
Sartre, tokoh eksistensialisme, bahwa “manusia itu adalah
nafsu yang tidak berguna”. Hal ini membuat hidup menjadi
sia-sia, hampa.
68. B. Analisis
2. Analisis Struktural: Hubungan antarunsur karya sastra
a) Analisis Struktur (Tema)
b) Struktur Tokoh dan penokohan
c) Alur
70. Hujan Bulan Juni – Sapardi Djoko Damono (1989)
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
71. C. Penilaian
karya sastra adalah karya imajinatif (rekaan) bermedium
bahasa yang berfungsi estetiknya dominan (wellek dan
Austin, 1968: 22-25). Dengan demikian, dalam mengkritik
karya sastra harus ditunjukkan nilai seninya. Kalau tidak
demikian, kritik sastra belum sempurna memenuhi
fungsinya.
1. Aliran-aliran Penilaian
Pada garis besarnnya ada tiga paham penilaian karya sastra
yang dikemukakan Wellek dan Austin (1968: 43) yaitu
absolutisme, relativisme, dan perspektivisme.
72. C. Penilaian
Absolutisme
Absolutisme adalah paham penilaian yang menilai karya
sastra dari sudut pandang yang absolut (mutlak), yaitu
menilai karya sastra berdasarkan paham tertentu, ide-ide
tertentu, politik, ataupun ide-ide pragmatik. Karya sastra
dipandang bernilai (seni) bila sesuai dengan paham, tujuan
pendidikan, ataupun ide politik yang resmi. Paham
penilaian seperti ini dilakukan oleh antara lain negara-
negara sosialis yang mengikuti ajaran Marxisme, kaum
Humanis Baru, dan kaum Neo Thomist.
73. C. Penilaian
Relativisme
Adalah aliran penilaian yang menilai karya sastra
berdasarkan paham kenisbian, yaitu nilai karya sastra itu
nisbi, tergantung kepada tempat dan waktu lahirnya karya
sastra. Tiap-tiap periode itu mempunyai konsep estetik
sendiri-sendiri, tiap-tiap tempat itu mempunyai ukuran
dan konsep estetik sendiri. Oleh karena itu, penilaian tidak
berlaku umum.
74. C. Penilaian
Perspektivisme
Perspektivisme merupakan penilaian sastra yang menilai karya
sastra sepanjang sejarahnya. Penilaian dipandang dari sudut
pandang waktu lahir karya sastra, masa-masa yang dilaluinya,
dan waktu sekarang.
Perspektivisme berarti mengenal adanya karya sastra yang
dapat dibandingkan di segala zaman, berkembang, berubah,
dan penuh kemungkinan.
Dengan demikian, setiap periode sastra akan menilai kembali
karya sastra tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan penilaian-
penilaian di setiap periode itu, dapat disimpulkan nilai karya
sastra tersebut pada waktu sekarang.
75. C. Penilaian
2. Penilaian berdasar Orientasi kepada Karya Sastra
Dasar Orientasi Misalnya
Kritik
mimetik
Menghendaki peniruan yang
setepat-tepatnya terhadap
pengambaran atau yang
hendak digambarkan
Gambaran tentang pabrik
Kritik
pragmat
ik
Sesuai dengan orientasinya
untuk tujuan tertentu, untuk
pendidikan misalnya
Karya sastra yang dapat
mencapai atau memenuhi
tujuan pendidikan
76. C. Penilaian
2. Penilaian berdasar Orientasi kepada Karya Sastra
Dasar Orientasi Misalnya
Kritik
ekspresi
f
Menilai karya sastra sesuai
dengan kesejatian pikiran
dan perasaan penyair
(sastrawannya
Melalu karya sastra seorang
pengarang, orang dapat
mengetahui apa yang
dipikirkan, dicita-citakan,
dan apa yang dimau
Kritik
objektif
Menilai karya sastra
berdasarkan ukuran yang
objektif, ukuran yang
universal yang dapat
dikenakan pada setiap karya
sastra
Karya sastra harus dinilai
berdasarkan unsur
intrinsiknya
77. C. Penilaian
3. Kriteria Penilaian Karya Sastra
Dalam menilai karya sastra harus selalu diingat kodrat,
fungsi, dan nilai karya sastra yang selalu erat
hubungannya (Wellek dan Austin, 1968: 238).
Karya sastra sebagai karya seni terdiri atas bahan dan
struktur estetik (Wellek dan Austin, 1968: 241)
Dalam menilai karya sastra dikenai kriteria estetik untuk
struktur estetik karya sastra dan kriteria ekstra estetik
untuk bahan-bahan karya sastra (Wellek dan Austin, 1968:
241).
78. C. Penilaian
3. Kriteria Penilaian Karya Sastra
Bahan-bahan karya sastra berupa kata-kata, tingkah laku
manusia, gagasan-gagasan, dan sikap-sikap manusia.
Semuanya itu, termasuk bahasa, berada di luar karya
sastra (sebelumnya). Namun, dalam karya sastra yang
berhasil, bahan-bahan tersebut terjalin dalam hubungan-
hubungan yang bermacam-macam oleh dinamika-
dinamika tujuan estetik.
Karya sastra disebut besar (agung) itu adalah didasarkan
pada kriteria ekstra estetik.
79. C. Penilaian
3. Kriteria Penilaian Karya Sastra
Kriteria estetik dikenakan kepada struktur estetik karya
sastra. Struktur estetik adalah semua usaha yang tersusun
untuk mendapatkan nilai estetik (seni) karya sastra,
misalnya persajakan (rima), penyusunan irama, pemilihan
kata yang tepat, gaya bahasa, penyusunan alur (sujet),
konflik-konflik, humor, dan sebagainya, yang kesemuanya
untuk mendapatkan efek estetik.
Hal ini mengingat bahwa karya sastra itu karya imaginatif
yang menghendaki adanya daya cipta (kreativitas).
80. C. Penilaian
3. Kriteria Penilaian Karya Sastra
Fungsi karya sastra seperti diungkapkan Horace (Wellek
dan Austin, 1968: 30) adalah gabungan dulce dan utile,
menyenangkan dan berguna.
Sifat menyenangkan ini berhubungan dengan struktur
estetiknya, sedangkan sifat berguna berhubungan dengan
bahan-bahan karya sastra yang besar (agung).
Karya sastra berdasarkan struktur estetiknya itu
menyenangkan (dulce), sedangkan berdasarkan
keagungan itu berguna (utile).
81. C. Penilaian
4. Ciri-ciri Empiris Sifat Estetik Karya Sastra
Ciri empiris sastra menurut Shklovsky dalam Hawkes
(1978: 62) “membuat aneh” (making strange). Bahasa
sastra membuat pembaca kecewa, frustasi terhadap
harapannya yang sudah mempunyai konsep normatif
terhadap bahasa yang dikenal dan dapat dipergunakannya.
Pengecewaan terhadap harapan atau “harapan yang
dikecewakan” (frustrated expectation) merupakan salah
satu ciri empiri sifat estetik karya sastra.
Bait pertama sajak Chairi Anwar “Sebuah Kamar” (1959:
23) berikut inilah contohnya.
82. C. Penilaian
4. Ciri-ciri Empiris Sifat Estetik Karya Sastra
Sebuah jendela menyerahkan kamar ini
Pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam
Mau lebih banyak tahu.
“Sudah lima anak bernyawa di sini
Aku salah satu!”
Orang meraskan keanehan bahwa jendela bisa
“menyerahkan kamar” pada dunia dan begitu juga merasa
aneh bahwa “bulan mau lebih banyak tahu”.
83. C. Penilaian
4. Ciri-ciri Empiris Sifat Estetik Karya Sastra
Hal ini “mengecewakan harapan” pembaca, sebab
pembaca mengharapkan hanya tokoh yang memiliki
tangan saja yang bisa “menyerahkan” dan hanya oranglah
yang mempunyai keinginan untuk tahu, sedangkan benda
mati seperti bulan tidak. Ucapan demikian merupakan
defamiliarisasi atau deotomatisasi yang merupakan salah
satu sifat khusus bahasa puisi yang mencari efek.
84. C. Penilaian
4. Ciri-ciri Empiris Sifat Estetik Karya Sastra
Ucapan tersebut bila dikatakan secara normatif akan
menjadi “Melalui jendela orang luar dapat melihat kamar
ini dan sinar bulan masuk membuat lebih terang kamar ini.
Di dalam kamar ini sudah lahir lima orang anak, termasuk
“aku”.
Kalau diucapkan demikian efek estetiknya menjadi hilang
85. C. Penilaian
4. Ciri-ciri Empiris Sifat Estetik Karya Sastra
Contoh lain adalah bait sajak Amir Hamzah “Padamu Jua”
berikut:
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
86. C. Penilaian
4. Ciri-ciri Empiris Sifat Estetik Karya Sastra
Ucapan: “Engkau ganas, mangsa aku dalam cakarmu,
bertukar tangkap dengan lepas” ini membuat “kecewa
harapan” pembaca. ucapan yang biasa: Engkau ganas,
menangakap aku dengan cakarmu. Bergantian engkau
menangkap aku dan kemudian melepaskan, berulang-
ulang. Akan tetapi, bila diucapkan secara normatif begitu,
daya pesonanya menjadi hilang, tidak menarik lagi.
87. C. Penilaian
4. Ciri-ciri Empiris Sifat Estetik Karya Sastra
Hal-hal yang baru dalam karya sastra, yang lain dari karya
sebelumnya, biasanya menimbulkan keanehan dan
“mengecewakan harapan” pembaca, misalnya
pemotongan kata-kata, pembalikan suku kata (metatesis)
yang disengaja seperti dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri
“Tragedi Winka & Sihka”.
Dalam karya Prosa, novel-novel Iwan Simatupang yang
aneh dan “mengecewakan harapan” para pembacanya
sebab hal-hal seperti itu belum pernah ada dalam
kesusastraan Indonesia Modern.
88. C. Penilaian
4. Ciri-ciri Empiris Sifat Estetik Karya Sastra
Armijan Pane dalam Belenggu yang memperbandingkan
kenangan Tono kepada Tini dan Yah seperti dua stasiun
radio yang berdekatan, suaranya kadang bercampur,
adalah sesuatu yang menimbulkan keanehan dan
membuat harapan pembaca “dikecewakan”.
Penyair memilih kata-kata yang tepat, yang ekspresif,
untuk melukiskan perasaan dan pikirannya, pemilihan itu
disesuaikan dengan kata-kata kombinasinya yang seharga
atau senilai, baik arti maupun bunyinya. Misalnya:
89. C. Penilaian
4. Ciri-ciri Empiris Sifat Estetik Karya Sastra
Bait sajak Amir Hamza berikut.
Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
Kombinsasi “habis kikis” dapat diganti “habis musnah”,
“kikis” diganti “musnah” artinya sama atau hampir sama,
tetapi bunyinya tidak sama dengan “habis”, maka dipilih
kombinasi “habis kikis” bukan “habis musnah”.
90. C. Penilaian
4. Ciri-ciri Empiris Sifat Estetik Karya Sastra
Begitupula kombinasi “hilang terbang” dapat diganti
“hilang lenyap”, tetapi suara “lenyap” tidak sama dengan
suara “hilang”, maka dipilih kombinasi “hilang terbang”
bukan “hilang lenyap”
91. C. Penilaian
5. Konsep-konsep Estetik
Untuk menilai sebuah karya sastra berdasarkan
kesejarahannya, perlu diperhatikan konsep-konsep estetik
tiap periode yang dipergunakan sebagai sarana
konkretisasi, aktualisasi, atau rekuperasi karya sastra,
yang merupakan sarana untuk memberi makna dan
penilaian karya sastra.