Dokumen tersebut membahas temuan dan rekomendasi terkait dekonsentrasi dan desentralisasi di Indonesia. Beberapa temuan utama adalah bahwa dekonsentrasi telah menyimpang dari definisi teoritis dan praktik internasional, serta terjadi tumpang tindih program antara dekonsentrasi dan desentralisasi. Rekomendasi yang diajukan antara lain melakukan redefinisi konsep dekonsentrasi dan penataan ulang kelembagaan perangkat daerah
Inovasi Sebagai Strategi Mewujudkan Pelayanan Publik Berdampak
DEKONSENTRASI
1. DESENTRALISASI
DEKONSENTRASI
Tri Widodo W. Utomo
FGD II dalam rangka Penelitian tentang “Relevansi Dekonsentrasi
Sebagai Instrumen Pemerintah Dalam Mendukung Kebijakan Nasional
di Daerah di Era Desentralisasi”
Jakarta, 7 November 2014
2. Struktur Paparan
Temuan / Simpulan
Rekomendasi / Agenda untuk
Rekonstruksi Dekonsentrasi
3. Temuan / Simpulan 1
Dekonsentrasi telah mengalami proses dekonstruksi
serta menyimpang dari definisi teoretik dan praktek
internasional
Dilakukan bukan oleh instansi vertikal, melainkan oleh
SKPD.
Instansi vertikal (UPT K/L, Kanreg BKN, Kanper BPKP,
PKP2A LAN, Kanwil urusan absolut, Kodam/Polda) tidak
menjalankan fungsi dekonsentrasi (mendapat
pelimpahan, menerima menjalankan dana dekon).
Kekaburan urusan dekonsentrasi karena tidak didahului
oleh analisis/identifikasi urusan dan kepentingan pusat di
daerah.
4. Temuan / Simpulan 2
Dekonsentrasi masih memiliki urgensi / relevansi yg
tinggi dalam tata kelola hubungan pusat-daerah,
serta dalam menjamin program kepentingan
pusat di daerah.
Menjalankan fungsi pemerintahan umum: memperkuat
integritas nasional, penanaman dan pengamalan nilai-nilai
ideologi bangsa Pancasila, menjaga ketentraman dan
ketertiban (law and order) dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Penyelenggaraan urusan yang berhubungan dengan
kepentingan dan keselamatan rakyat banyak.
Untuk mengurangi kesenjangan antar daerah atau antar
sektor.
5. Temuan / Simpulan 3
Relevansi dekonsentrasi gagal diwujudkan dalam
bentuk program2 yg memperkuat urgensi tsb, shg
asas dekon dalam sistem desentralisasi luas saat ini
hanya komponen pelengkap thd desentralisasi.
Program dekon cenderung sama dengan program yg bisa
dilaksanakan oleh provinsimelalui urusan desentralisasi.
Program dekon terjebak menjadi sebuah rutinitas dari
tahun ke tahun.
Program/anggaran dekon di daerah hanya sekedar
membuktikan kehadiran unsur pusat dalam sistem
penyelenggaraan pemerintahan di daerah, namun
kemanfaatannya tidak signifikan baik bagi pusat maupun
bagi daerah.
6. Temuan / Simpulan 4
Tanpa disadari telah terjadi pergeseran filosofi
tentang program anggaran dekonsentrasi.
Dana dekon selama ini dijadikan sebagai andalan daerah
untuk membiayai sektor2 yg kurang mendapat dukungan
dari APBD. Jadi, dana dekon banyak berfungsi
mendukung program target pembangunan di daerah.
Pusat-daerah memang bukan sebuah dikotomi, shg
hubungan saling mengisi antara APBD dengan dana
dekon dapat dipahami. Namun by design dana dekon
dialokasikan untuk memenuhi kepentingan pusat di
daerah.
Situasi seperti ini berberimplikasi pada semakin
melemahnya relevansi dekonsentrasi.
7. Temuan / Simpulan 5
Masih ada kesalahpahaman / informasi asimetris
antara pusat dengan daerah (gubernur selaku wakil
pemerintah), shg menyebabkan dekonsentrasi
terjebak dalam kontradiksi atau tarik-menarik
antara pusat-daerah.
Pusat sering meragukan kemampuan integritas daerah,
sehingga berbagai program/kegiatan masih dianggap
belum waktunya untuk diserahkan kepada daerah.
Daerah selalu merasa sudah mampu menganggap tidak
ada keseriusan pusat untuk memberdayakan daerah.
Makna dekonsentrasi menjadi abu-abu dan kurang jelas,
filosofi apa sesungguhnya diperjuangkan oleh asas
dekonsentrasi.
8. Temuan / Simpulan 6
Untuk sektor sosial terdapat tumpang tindih dalam
program, sedangkan tumpang tindih anggaran tidak
terjadi, karena target output atau sasaran penerima
manfaat berbeda dari setiap program.
Tumpang tindih program terjadi karena asumsi bahwa
dekonsentrasi ditujukan untuk menjaga kohesi antara
pusat dan daerah, shg kepentingan pusat = kepentingan
daerah.
Urusan pusat tidak cukup hanya didefinisikan sebagai
urusan yg berskala memiliki eksternalitas nasional atau
internasional, namun juga mencakup urusan berskala
lokal yg menjadi concern atau kepentingan nasional,
misal: kebakaran hutan yg berdampak lintas sektor.
9. Temuan / Simpulan 7
Perangkat wakil pemerintah yg terdiri dari
Sekretaris Gubernur dengan dibantu kelompok
kerja, tidak berjalan secara efektif.
Kewenangannya tidak ditetapkan secara limitatif, pola
koordinasi dengan SKPD tidak jelas, serta tidak dilengkapi
dengan instrumen administrasi seperti pendanaan,
personil, dan perlengkapan.
Sekda yg secara ex-officio adalah Sekretaris Gubernur,
ternyata sudah overload dengan tugasnya sbg Sekda.
Business process program dekonsentrasi menjadi tidak
jelas, shg SKPD masih terus melakukan loby secara
langsung ke pusat tanpa koordinasi dengan Pokja, Sekr.
Gubernur, dan Gubernur selakuWakil pemerintah.
10. Temuan / Simpulan 8
Program/anggaran dekonsentrasi didesain tidak
memperhatikan atau tidak sejalan prioritas
pembangunan di daerah (RPJMD).
Terdapat fenomena pembangunan yg tidak linier di
daerah, artinya tidak ada korelasi kuat antara program yg
dibiayai dari APBN (dekonsentrasi) dengan program yg
dibiayai APBD (desentralisasi).
Program dekon tidak bisa mendukung prioritas daerah
karena sebagian besar prioritas daerah adalah
pembangunan ekonomi dan infrastruktur yang lebih
banyak terkait dengan pembangunan fisik.
11. Temuan / Simpulan 9
Ada kecenderungan alokasi dana dekonsentrasi
(khususnya bidang Sosial) semakin mengecil,
sebaliknya anggaran daerah semakin meningkat.
Disatu pihak, hal ini mencerminkan kemandirian daerah
yg semakin menguat. Disisi lain, bisa menyebabkan
melemahnya fungsi dekon, shg peran pemerintah dalam
melakukan Korbinwas thd daerah juga akan berkurang.
Jika daerah tidak cerdas dalam menentukan prioritas
pembangunan beserta alokasi anggaran setiap sektor,
berpotensi menimbulkan kesenjangan antar sektor
(selama ini sektor tdk prioritas tertutup dana dekon).
Meski terus berkurang, namun dana dekon akan selalu
ada selama fungsi dekon masih ada. Perintah pengalihan
dana dekon menjadi DAK tidak sampai ke titik nol.
12. Temuan / Simpulan 10
Ada pemahaman yg kurang tepat ditingkat kab/
kota bahwa tidak adanya fungsi dekon di kab/kota
atau tidak adanya kedudukan wakil pemerintah
bagi bupati/walikota telah menjadikan hubungan
pusat-daerah terputus.
Peran pemerintah pusat untuk menjaga kohesi dengan
kab/kota dilakukan melalui skema Tugas Pembantuan
dan melalui fungsi Gubernur selaku wakil pemerintah.
Fungsi Gubernur selaku wakil pemerintah di Kalteng
meski belum optimal (krn perangkat gubernur belum
terbentuk), namun dapat dijalankan dengan cukup baik
melalui upaya koordinasi dan pelaksanaan forum
Rakordal.
13. Rekomendasi / Agenda 1
Melakukan redefinisi thd konsep dekonsentrasi:
Dikembalikan kepada definisi yg berlaku secara internasional
Dekon sbg pelimpahan wewenang dari pemerintah kepada
perangkat pusat di daerah melahirkan pemerintahan wilayah.
Menciptakan definisi baru yg khas Indonesia karena
karakteristik dinamika sistem politik yg berbeda dibanding
negara lainDekon sbg pelimpahan wewenang dari
pemerintah kepada gubernur selaku wakil pemerintah
(pengganti instansi vertikal), yg dijalankan oleh SKPD dan tidak
menimbulkan pemerintahan wilayah.
Dekonsentrasi tetap mengacu pada definisi internasional,
namun terbatas ruang lingkupnya hanya untuk urusan absolut
pusat, sementara urusan pemerintah yg bersifat sektoral
akan dilimpahkan kepada provinsi dinamakan dengan delegasi.
14. Rekomendasi / Agenda 2
Redefinisi membutuhkan penyesuaian thd
penataan aspek terkait, mis. format kelembagaan,
mekanisme manajemen (perencanaan s/d
pertgjwban), sistem pendanaan/pembiayaan, dsb.
Dari ketiga opsi diatas, direkomendasikan urutan
prioritas sbb: 1) Mengembalikan konsep
dekonsentrasi sesuai definisi internasional, namun
hanya berlaku untuk urusan absolut pusat; 2)
Menciptakan definisi baru yang khas Indonesia; dan
3) Mengembalikan konsep dekonsentrasi sesuai
definisi internasional.
15. Rekomendasi / Agenda 3
Fungsi dekonsentrasi, desentralisasi, dan
tugas pembantuan, direkomendasikan
tetap dijalankan secara berimbang, namun
dengan memperjelas area dan urusan yang
dilaksanakan.
17. Rekomendasi / Agenda 4
Agar fungsi dekonsentrasi dan desentralisasi dapat
berjalan seimbang tanpa khawatir akan muncul
tumpang tindih yang mengakibatkan inefisiensi
program dan anggaran, maka perencanaan program
dekonsentrasi tidak cukup dibahas melalui
mekanisme trilateral meeting antara Bappenas,
Kementerian Keuangan dan Kementerian teknis.
Trilateral Meeting perlu diperluas menjadi
Multilateral Meeting untuk menjamin setiap
program dapat saling dikomunikasikan antar
kementerian terkait.
18. Rekomendasi / Agenda 5
Desain dekonsentrasi perlu diperkuat dengan
memperkenalkan konsep subsidiaritas
(subsidiarity).
Program/anggaran dekons dialokasikan untuk
mencapai tujuan tertentu, misalnya untuk memacu
kreativitas dan inovasi daerah, atau sebagai insentif
bagi daerah (provinsi) yang mampu memenuhi
kebijakan atau standar pemerintah pusat di bidang
tertentu, atau untuk mengurangi tingkat
kesenjangan antar daerah, atau untuk menutup
celah fiskal (defisit anggaran) yang dihadapi
pemerintah daerah, dan seterusnya.
19. Rekomendasi / Agenda 6
Kebijakan desentralisasi maupun dekonsentrasi harus
bersifat integralistik.
Keberhasilan kedua asas tsb menjadi tanggungjawab
bersama seluruh tingkatan pemerintahan, tanpa harus
membentuk perangkat dekonsentrasi yg baru dengan
kadar yg berbeda sesuai situasi dan kebutuhan daerah.
KDH harus memahami mana wilayah urusan pusat dan
mana urusan yg berada dibawah otonominya. Sepanjang
menyangkut urusan/kepentingan pusat keselamatan
nasional, maka secara otomatis bupati/walikota harus
berkewajiban mengamankan kebijakan nasional.
Dengan model seperti ini, maka beban tugas Gubernur
selaku wakil pemerintah dapat dikurangi.
20. Rekomendasi / Agenda 7
Rekonstruksi kebijakan dekonsentrasi harus pula
diikuti dengan penataan ulang kelembagaan
perangkat daerah.
Model 1: dekonsentrasi dipraktekkan sebelum
desentralisasi.
Model 2: dekonsentrasi dan desentralisasi dilaksanakan
secara simultan, dengan derajat yang berbeda untuk
saling mengisi kekurangan.
Model 3: dekonsentrasi diselenggarakan bersamaan
dengan desentralisasi, namun disertai dengan pembagian
wilayah kerja atau pembidangan kewenangan yang jelas
dan terukur.
21. Rekomendasi / Agenda 8
Prospek penataan kelembagaan dekon dapat
direkomendasikan dalam 2 alternatif model sbb:
Model Efisiensi
Prinsip dasar: menciptakan pemerintahan yg sedikit
mengatur (least government) shg dapat dicegah adanya
tumpang tindih program.
Perangkat dekonsentrasi tetap dipertahankan ramping
seperti yg dianut dalam UU No. 22/1999 dan UU No.
32/2004.
Fungsi dekon yg selama ini dijalankan lebih baik ditransfer
menjadi fungsi yg didevolusikan kepada provinsi, termasuk
sumber pembiayaannya-pun harus diintegrasikan kedalam
anggaran provinsi.
22. Rekomendasi / Agenda 8
Model Efektivitas
Menjaga kesatuan dan kesamaan model pemerintahan
daerah, juga untuk menjamin bahwa kepentingan pusat
dapat berjalan sepenuhnya di tingkat daerah.
Diperlukan perangkat dekonsentrasi yang memadai sesuai
dengan besaran urusan yang dilimpahkan kepada daerah.
Dengan demikian, besaran perangkat dekonsentrasi di
setiap daerah bisa berbeda-beda tergantung pada
kemampuan aparatur, potensi daerah, prospek
pengembangan, dan variabel terkait lain yang menentukan
luas urusan dekonsentrasi.