Dokumen tersebut membahas tentang analisis singkat terhadap pembiayaan pelaksanaan otonomi daerah yang ditinjau dari hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah di Indonesia. Dimensi hubungan keuangan antara pusat dan daerah meliputi pengaturan sumber pendapatan, pengelolaan keuangan daerah, serta perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
Analisis singkat terhadap pembiayaan pelaksanaan otonomi daerah ditinjau dari hubungan keuangan antara pusat dan daerah
1. ANALISIS SINGKAT TERHADAP PEMBIAYAAN
PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DITINJAU DARI
HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH
DI INDONESIA
Disusun Oleh:
KUSMIYATI
NIM. 2009-20-042
3. PRAKATA
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmad dan hidayah-Nya, sehingga penulisan makalah dengan judul
“ANALISIS SINGKAT TERHADAP PEMBIAYAAN PELAKSANAAN
OTONOMI DAERAH DITINJAU DARI HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA
PUSAT DAN DAERAH DI INDONESIA” dapat terselesaikan.
Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas mata kuliah Bahasa Indonesia
pada Semester VI Fakultas Hukum Universitas Muria Kudus tahun ajaran 2012/2013.
Penulis yakin bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna, maka
segala kritik dan saran yang positif akan penulis terima dengan senang hati. Akhirnya
semoga skripsi ini dapat berguna bagi penulis dan para pembaca pada umumnya.
Kudus, Juni 2012
Penulis
3
4. DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... 1
PRAKATA .............................................................................................................. 2
DAFTAR ISI ........................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 4
1.1. Latar Belakang Penelitian ....................................................................... 4
1.2. Perumusan Masalah ................................................................................ 8
1.3. Tujuan Penulisan ..................................................................................... 8
1.4. Manfaat Penulisan.................................................................................... 8
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................... 9
2.1. Dimensi Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah ................................. 9
2.2. Analisis Pembiayaan Pelaksanaan Desentralisasi ………..………… 13
BAB III PENUTUP ................................................................................................ 19
3.1. Kesimpulan ……………….......................................................................19
3.2. Saran …………………………………………………………………… 19
DAFTAR PUSTAKA
4
5. BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Salah isu dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang cukup mengemuka
adalah isu hubungan antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah. Menurut
Muhammad Fauzan (2006: 1), kenyataan tersebut terkonfirmasi ketika hingga
saat ini masalah hubungan antara Pusat dan Daerah yang berlangsung selama ini
masih mencari bentuk, dan oleh karena itu berbagai upaya untuk menemukan
format yang ideal dan tepat terus dikaji. Sehubungan dengan bentuk organisasi
negara yang bersifat negara kesatuan, maka masalah hubungan Pusat dan Daerah
dapat dilihat dalam 2 (dua) sudut pandang (Bagir Manan, 1994: 19).
Cara pertama disebut sentralisasi, yang mana segala urusan, fungsi, tugas,
dan wewenang penyelenggaraan pemerintahan ada pada Pemerintah Pusat yang
pelaksanaannya dilakukan secara dekonsentrasi. Cara kedua dikenal sebagai
desentralisasi, di mana urusan, tugas, dan wewenang pelaksanaan pemerintahan
diserahkan seluas-luasnya kepada Daerah atau yang disebut dengan otonomi
daerah (Bagir Manan, 1994: 19).
Pembagian urusan, tugas, dan fungsi serta tanggung jawab antara Pusat dan
Daerah menunjukkan bahwa tidak mungkin semua urusan pemerintahan
diselenggarakan oleh Pusat saja (Muhammad Fauzan, 2006: 3). Hal ini
merupakan wujud nyata pelaksanaan prinsip desentralisasi, suatu prinsip yang
dapat disinonimkan dengan istilah “diet” dalam bahasa kesehatan, yaitu untuk
mengurangi obesitas akut yang diderita oleh suatu negara. Menurut Ahmad Erani
Yustika (2008: 3), obesitas tersebut terpantul dalam wujud jumlah penduduk yang
5
6. besar, wilayah yang teramat luas, dan ragam multikultur masyarakat yang sangat
variatif.
Dengan otonomi daerah diharapkan kemampuan pemerintah daerah untuk
manajemen pembangunan menjadi lebih lincah, akurat, dan tepat. Pengakuan
tersebut memberikan peluang kepada Daerah untuk berusaha mengatur dan
mengurus serta menyelenggarakan pemerintahan sendiri. Dengan demikian,
pengaturan mengenai hubungan Pusat dan Daerah, khususnya dalam hal ini
adalah hubungan dalam bidang keuangan merupakan permasalahan yang
memerlukan pengaturan yang baik, komprehensif, dan responsif terhadap
tuntutan kemandirian dan perkembangan daerah. Menurut Farida Rahmawati
(2008: 29), tuntutan yang demikian didasari kepada konsep bahwa setiap
kewenangan yang diberikan kepada Daerah harus disertai dengan pembiayaan
yang besarnya sesuai dengan besarnya beban kewenangan tersebut. Konsep inilah
yang dikenal dengan money follow function, bukan lagi konsep function follow
money. Artinya, pertama-tama beberapa tugas dan kewenangan yang dipandang
efisien ditangani oleh Daerah. Kewajiban pemerintah pusat adalah menjamin
sumber keuangan untuk pendelegasian kewenangan tersebut. Hal ini berarti
bahwa hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah perlu diberikan pengaturan
sedemikian rupa, sehingga kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawab
Daerah dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan yang ada.
Seiring dengan proses pembaruan terhadap isu otonomi daerah dan
desentralisasi, dewasa ini telah diberlakukan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Ketentuan
6
7. dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 telah memberikan kerangka bagi
terlaksananya desentralisasi fiskal.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, daerah mempunyai hak,
yaitu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004:
1. Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya;
2. Memilih pimpinan daerah;
3. Mengelola aparatur daerah;
4. Mengelola kekayaan daerah;
5. Memungut pajak dan retribusi daerah;
6. Mendapatkan bagi ahsil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya yang berada di daerah;
7. Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan
8. Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan.
Sebagai konsekuensi dari hak daerah tersebut di atas, daerah memiliki
kewajiban yang harus dipenuhi yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004, yaitu:
1. melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan
nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2. meningkatkan kehidupan demokrasi;
3. mengembangkan kualitas kehidupan masyarakat;
4. mewujudkan keadilan dan pemerataan;
5. meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;
6. menyediakan fasilitas pelayanan dasar pendidikan;
7. menyediakan fasilitas social dan fasilitas umum yang layak;
8. mengembangka sistem jaminan sosial;
9. menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;
10. mengembangkan sumber daya produktif di daerah;
11. melestarikan lingkungan hidup;
12. mengelola administrasi kependudukan;
13. melestarikan nilai sosial budaya;
14. membentuk dan menetapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan
kewenangannya; dan
15. kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Disebutkan dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, bahwa
hak dan kewajiban daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 22
diwujudkan dalam bentuk rencana kerja pemerintahan daerah dan dijabarkan
7
8. dalam bentuk pendapatan, belanja dan pembiayaan daerah yang dikelola dalam
sistem pengelolaan keuangan daerah. Adapun pengelolaan keuangan daerah
tersebut harus dilakukan secara efisien, efektif, transparan, akuntabel, tertib, adil,
patut dan taat pada peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya dalam hal pengelolaan keuangan dalam rangka desentralisasi,
Pemerintah mengaturnya dalam Bab IX Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Asas umum dalam pengelolaan keuangan daerah adalah sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, yaitu sebagai
berikut:
(1) Keuangan Daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-
undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggungjawab
dengan memperhatikan keadilan, kepatuhan, dan manfaat untuk
masyarakat;
(2) APBD, Perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD
setiap tahun ditetapkan dengan peraturan daerah;
(3) APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi,
dan distribusi;
(4) Semua penerimaan dan pengeluaran daerah dalam tahun anggaran yang
bersangkutan harus dimasukkan dalam APBD;
(5) Surplus APBD dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran daerah
tahun anggaran berikutnya;
(6) Penggunaan surplus APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (5) untuk
membentuk dana cadangan atau penyertaan dalam perusahaan daerah
harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari DPRD.
Menurut Farida Rahmawati (2008: 35), implementasi desentralisasi fiskal
memberikan kewenangan kepada kabupaten/kota untuk menggali dan mengelola
sumber keuangannya sendiri, sehingga berdampak pada munculnya berbagai
kebijakan yang mengarah kepada upaya peningkatan penerimaan daerah. Atas
dasar adanya desentralisasi fiskal inilah maka dipandang perlu untuk melakukan
analisis terhadap pembiayaan pelaksanaan desentralisasi sebagai bentuk
hubungan keuangan Pusat dan Daerah melalui bentuk penulisan makalah yang
8
9. berjudul “Analisis Singkat Terhadap Pembiayaan Pelaksanaan Otonomi Daerah
Ditinjau Dari Hubungan Keuangan Antara Pusat Dan Daerah Di Indonesia”.
1.2 PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam
makalah ini adalah:
1. Bagaimanakah dimensi yang ada dalam hubungan antara keuangan Pusat dan
Daerah?
2. Bagaimanakah analisis pembiayaan dalam pelaksanaan otonomi daerah?
1.3 TUJUAN PENULISAN
Berpijak dari perumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan penulisan
makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui dimensi yang ada dalam hubungan antara keuangan Pusat
dan Daerah.
2. Untuk mengetahui analisis pembiayaan dalam pelaksanaan otonomi daerah.
1.4 MANFAAT PENULISAN
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah
dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap ilmu pengetahuan,
khususnya ilmu pengetahuan di bidang hukum.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penulisan makalah ini diharapkan mampu memberikan
sumbangan pemikiran kepada pemerintah berkaitan dengan pembiayaan
daerah.
9
10. BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Dimensi Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah
Menurut Bagir Manan (2001: 35), untuk mengetahui hubungan antara Pusat
dan Daerah, maka salah satu dimensi yang menjadi pokok pembicaraan adalah
hubungan keuangan.
Istilah formal mengenai keuangan negara dijumpai dalam naskah asli UUD
1945 (sebelum Perubahan). Di dalam Pasal 23 ayat (4) ditentukan bahwa hal
keuangan negara selanjutnya diatur dengan undang-undang. Sementara itu,
ketentuan Pasal 23 ayat (5) menyebutkan bahwa untuk memeriksa tanggung
jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan,
yang peraturannya ditetapkan dengan undang-undang. Hasil pemeriksaan itu
diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Setelah Perubahan UUD 1945
istilah “hubungan keuangan” dijumpai dalam Pasal 18A ayat (2) UUD 1945 yang
menegaskan bahwa hubungan keuangan...antara pemerintah Pusat dan
pemerintahan Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras
berdasarkan undang-undang.
Beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur hubungan
keuangan antara Pusat dan Daerah tidak mempergunakan istilah “hubungan
keuangan” sebagai nama undang-undang tersebut, melainkan menggunakan
istilah “perimbangan keuangan”. Hal tersebut dapat dilihat dalam: (i) Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 1956; (ii) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999; dan
(iii) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1956 bahkan istilah perimbangan
keuangan sebagai nama undang-undang yang bersangkutan, diikuti dengan frasa
10
11. “antara negara dengan daerah-daerah yang berhak mengurus rumah tangganya
sendiri. ”Kata “negara” dipergunakan untuk menunjuk Pemerintah Pusat,
sedangkan kata “daerah-daerah” dimaksudkan untuk menunjuk daerah otonom.
Sementara itu, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 dan Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004 mempergunakan istilah yang sama sebagai nama undang-
undang tersebut, yaitu perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah.
Istilah “hubungan keuangan” juga dapat dilihat dalam Pasal 2 ayat (6)
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, yang menyatakan bahwa Hubungan
keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya
lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Istilah tersebut juga dapat dijumpai
dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, hanya saja baik dalam
UUD 1945 maupun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1956, Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1999, dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 sama sekali
tidak diketemukan batasan mengenai istilah “hubungan keuangan.”
Sementara itu, untuk memberikan pijakan pemahaman mengenai hubungan
keuangan tersebut perlu sekali diketahui mengenai apa yang dimaksud dengan
keuangan negara itu. Secara teoritis di sini akan dikemukakan pemahaman
mengenai keuangan negara seperti paparan Subagio dan M. Ichwan.
Menurut Subagio (1987: 11), keuangan negara adalah semua hak dan
kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu, baik
uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara, berhubungan dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Sementara itu, M. Ichwan, sebagaimana
dikutip oleh W. Riawan Tjandra (2006: 1), mengatakan bahwa keuangan negara
adalah rencana kegiatan secara kuantitatif (dengan angka-angka diantaranya
11
12. diwujudkan dalam jumlah mata uang), yang akan dijalankan untuk masa
mendatang, lazimnya satu tahun mendatang. Jika dicermati, pendapat Subagio
mencerminkan pemahaman keuangan negara dalam perspektif yang luas. Hal ini
karena ia menyebut bahwa keuangan negara meliputi: (i) hak dan kewajiban yang
dapat dinilai dengan uang; (ii) uang milik negara; dan (iii) barang milik negara.
Hemat penulis, pemahaman Subagio memandang keuangan negara dari segi
obyeknya. Sementara itu, M. Ichwan menunjuk keuangan negara dari sudut
pandang proses, meskipun juga terkesan sederhana, karena hanya menyangkut
pengelolaan keuangan negara. Bahkan, hemat penulis, pendapat M. Ichwan itu
tidak mendefinisikan keuangan negara, tetapi lebih tepat dipandang sebagai
pengertian anggaran negara.
Selanjutnya dalam perkembangannya juga telah diundangkan Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dalam Pasal 1 angka 1
undang-undang tersebut diatur bahwa keuangan negara adalah semua hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu, baik
berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara
berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban. Defisini menurut undang-
undang mengenai keuangan negara ini sangat luas, karena diperoleh dengan
menggunakan pendekatan dari sisi obyek, proses, dan tujuan. Menurut W.
Riawan Tjandra (2006: 4), definisi yang demikian luas itu bertujuan untuk
mencapai 3 (tiga) hal. Pertama, terdapat perumusan definisi keuangan negara
secara cermat dan teliti untuk mencegah terjadinya multiintepretasi dalam segi
pelaksanaan anggaran. Kedua, agar tidak terjadi kerugian negara sebagai akibat
kelemahan dalam perumusan undang-undang. Ketiga, memperjelas proses
12
13. penegakan hukum apabila terjadi maladministrasi dalam pengelolaan keuangan
negara.
Selanjutnya, Pasal 6 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 mengatur
bahwa Presiden selaku kepala pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan
keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Selanjutnya,
kekuasaan Presiden itu dalam rangka otonomi daerah diserahkan kepada
gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola
keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikikan kekayaan
daerah yang dipisahkan. Di sinilah titik awal terjadinya hubungan keuangan
antara Pusat dan Daerah (Ateng Syafrudin, 2001).
Menurut Ahmad Yani (2002: 98), hubungan keuangan antara Pusat dan
Daerah sering juga disebut sebagai perimbangan keuangan Pemerintah Pusat dan
Daerah. Dalam pandangan Bagir Manan (2001: 40), esensi dari perimbangan
keuangan tersebut adalah memperbesar pendapat asli daerah sehingga lumbung
keuangan daerah dapat berisi lebih banyak. Tetapi Kennet Davey, sebagaimana
dikutip oleh Syarif Hidayat (2000: 119), mengatakan bahwa inti dari hubungan
keuangan antara Pusat dan Daerah adalah pengaturan masalah distribusi, yaitu
konsekuensi dari distribusi kekuasaan kepada pemerintah daerah untuk
mengimplementasikan wewenang yang telah didesentralisasikan.
Dengan mencermati pemahaman di atas, dapat dikatakan bahwa salah satu
komponen utama otonomi daerah adalah desentralisasi fiskal. Artinya, berbicara
otonomi daerah tidak dapat dilepaskan dari isu kapasitas keuangan daerah, di
mana kemandirian daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan diukur dari
kemampuan menggali dan mengelola keuangannya (Farida Rahmawati, 2008:
13
14. 28). Oleh karena itu, penyelenggaraan pemerintahan daerah memerlukan
pembiayaan.
Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, pembiayaan
penyelenggarakan pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi,
dan tugas pembantuan. Pembiayaan berdasarkan asas desentralisasi dilakukan
atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sementara itu,
pembiayaan berdasarkan asas dekonsentrasi dilakukan atas beban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sedangkan pembiayaan dalam tugas
pembantuan dibiaya atas beban anggaran tingkat pemerintahan yang menugaskan.
2.2 Analisis Pembiayaan Pelaksanaan Desentralisasi
Dalam rangka implementasi asas desentralisasi, maka pengertian otonomi
sebagai hak untuk mengatur dan mengurus kepentingan serta aspirasi Daerah
harus diletakkan juga dalam kerangka pembiayaan atas penyelenggaraan urusan
Pemerintahan Daerah. Menurut Bird dan Vaillancourt (2000: 135), membiayai
diri sendiri menunjukkan bahwa Daerah harus mempunyai sumber-sumber
pendapatan sendiri.
Menurut Muhammad Fauzan (2006: 231), salah satu konsekuensi
pelaksanaan otonomi daerah adalah berhubungan dengan upaya untuk
menciptakan kemampuan membiayai diri sendiri. Kemampuan ini harus
memperhatikan kemampuan sumber daya Daerah-daerah lainnya yang tidak
merata sehingga sistem pembiayaan Daerah pun harus dapat dilaksanakan secara
adil, artinya terhadap Daerah yang kurang mampu perlu diperhatikan dengan
perimbangan yang proporsional rasional yang disusun dan ditentukan secara
terbuka dengan melibatkan partisipasi warga masyarakat. Berdasarkan
pemahaman demikian, maka analisis mengenai pembiayaan pelaksanaan
14
15. desentralisasi terkait erat dengan sumber-sumber, peruntukkan, dan
pendistribusian penerimaan daerah.
Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 ditentukan
bahwa sumber penerimaan Daerah dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri atas
Pendapatan Daerah dan Pembiayaan. Pendapatan Daerah meliputi: (i) Pendapatan
Asli Daerah; (ii) Dana Perimbangan; dan (iii) Lain-lain Pendapatan. Sementara
itu, Pembiayaan meliputi: (i) sisa lebih perhitungan anggaran daerah; (ii)
penerimaan Pinjaman Daerah; (iii) Dana Cadangan Daerah; dan (iv) hasil
penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan.
Analisis ini difokuskan kepada Pendapatan Daerah dan selanjutnya dibatasi
hanya menyangkut Pendapatan Asli Daerah saja. Pertimbangan fokus analisis ini
adalah bahwa besarnya penerimaan daerah dari kedua sumber pendapatan
tersebut dipengaruhi oleh sistem perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah
yang dianut.
a. Pendapatan Asli Daerah
Hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah ditandai
dengan tingginya kontrol pusat terhadap proses pembangunan daerah. Hal ini
jelas terlihat dari rendahnya proporsi Pendapatan Asli Daerah (PAD)
terhadap total pendapatan daerah dibanding besarnya subsidi (grant) yang
diberikan oleh Pusat. Menurut Suwarno (2008: 51), indikator desentralisasi
fiskal adalah rasio antara PAD dengan total penerimaan Daerah. Dalam hal
ini, kemampuan Daerah untuk mengembangkan kompetensi dalam
mengelola secara optimal sumber penghasilan dan keuangan guna
pembiayaan aktivitas pemerintahan dan pembangunan merupakan salah satu
pilar pelaksanaan otonomi daerah (Mulyanto, 2002: 5).
15
16. Menurut Suhadak dan Tri Laksono Nugroho (2007: 163), dalam kaitan
dengan peningkatan PAD, kebijaksanaan yang perlu ditempuh adalah dalam
bentuk intensifikasi dan ekstensifikasi pemungutan sehingga diharapkan
PAD akan lebih berperan. Kebijaksanaan dan usaha intensifisikasi berupa
peningkatan PAD dari sumber-sumber yang ada atau berjalan selama ini.
Sementara itu, kebijaksanaan dan usaha ekstensifikasi dalam pemungutan ini
berupa mencari dan menggali sumber-sumber pendapatan daerah yang baru
dalam batas ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada sisi yang lain,
upaya-upaya intensifikasi dan ekstensfikasi sumber-sumber sangat
tergantung kepada kreativitas aparatur Daerah dalam mengkoordinasikan
berbagai lembaga penghasil sumber dana PAD dan kreativitas aparatur
tentunya sangat ditentukan oleh kualitas aparatur.
Diuraikan lebih lanjut oleh Suhadak dan Tri Laksono Nugroho (2007:
163-164), bahwa PAD seyogyanya lebih dititikberatkan pada ekstensifikasi
dan intensifikasi sumber-sumber retribusi. Sementara itu, pajak daerah cukup
ditetapkan sumber limitatif pada obyek-obyek yang cukup potensial bagi
pajak yang kurang potensial seyognyanya dihapuskan. Uraian selanjutnya
terbatas kepada masalah pajak daerah belaka.
b. Pajak Daerah
Menurut Andriani, sebagaimana dikutip oleh Santoso Brotodiharjo
(1986: 2), pajak merupakan iuran kepada negara yang dapat dipaksakan yang
terhutang oleh wajib pajak menurut peraturan-peraturan, dengan tidak
mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan gunanya untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas
negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Menurut N.J. Feldman,
16
17. sebagaimana dikutip oleh Early Suandy, pajak adalah prestasi yang
dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut norma-
norma yang ditetapkan secara umum) tanpa ada kontraprestasi dan semata-
mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum (Early
Suandy, 2002: 9). Sementara itu, menurut ketentuan Pasal 1 angka 6
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 jo Undang-Undang Nomor 34
Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pengertian Pajak
Daerah mencakup iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan
kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat
dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang
digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah Daerah dan
pembangunan Daerah. Dalam hal ini, secara umum dapat dipahami bahwa
pajak memuat unsur-unsur sebagai berikut: (i) pungutan yang dilakukan oleh
negara; (ii) berdasarkan undang-undang; (iii) pelaksanaannya dapat
dipaksakan kepada wajib pajak; dan (iv) tidak ada jasa balik secara langsung.
Dalam konteks hubungan Pusat dan Daerah, Mustaqiem (2008: 169-
170) menunjuk adanya 2 (dua) pola pengaturan bidang perpajakan daerah,
yaitu sistem residu dan sistem material. Dalam sistem residu, Pemerintah
Pusat dapat menetapkan macam-macam pajak Pusat dan di luar yang
ditetapkan oleh pemerintah pusat merupakan Pajak Daerah. Pemerintah
Daerah dengan sistem ini akan leluasa dalam menetapkan dan mengatur
bermcam-macam pajak daerah. Apabila timbul persoalan-persoalan baru,
Pemerintah Daerah akan cepat mengambil langkah-langkah yang diperlukan
dan tidak perlu menunggu keputusan dari pemerintah pusat.
17
18. Di dalam sistem material, jumlah dan jenis-jenis pajak daerah
ditetapkan secara riil oleh pemerintah Pusat, di luar yng telah ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat sebagai pajak daerah. Pola ini menyebabkan terpasungnya
Daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatan yang berasal dari sektor
pajak daerah karena Daerah tidak dapat leluasa menambah sendiri macam-
macam pajaknya.
Kedua pola tersebut menunjukkan bahwa kewenangan memungut
pajak dapat dilaksanakan oleh Pusat maupun Daerah. Jika kewenangan
berada pada Pusat, maka bidang tersebut merupakan perpajakan Pusat, dan
sebaliknya, jika kewenangannya berada pada Daerah, maka bidang tersebut
merupakan perpajakan Daerah.
Agar dapat berperan sebagai sumber PAD yang efisien, maka perlu
ditempuh kebijaksanaan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak daerah.
Intensifikasi pajak daerah diartikan sebagai suatu usaha yang dilakukan oleh
pemerintah kota/kabupaten untuk meningkatkan penerimaan pajak daerah
yang biasa diaplikasikan ke dalam 2 hal yaitu perubahan tarif pajak daerah
dan peningkatan pengelolaan pajak daerah (Abdul Halim, 2001: 69).
Kebijaksanaan perubahan tarif pajak daerah merupakan hal yang sangat
mudah dilakukan oleh Daerah dan secara nyata dapat meningkatkan
penerimaan pajak. Hanya saja efek negatif yang muncul adalah dapat
menggangu perekonomian daerah khususnya dalam kegiatan produksi dan
kegiatan perdagangan barang dan jasa. Bahkan, kebijaksanaan semacam ini
dapat juga menimbulkan terjadinya pelarian modal oleh para investor
(crowding out) dari Daerah yang bersangkutan ke Daerah yang lain.
Sementara itu, peningkatan pengelolaan pajak daerah harus dilakukan secara
18
19. profesional melalui mekanisme dan prosedur yang baik dan transparan, guna
menghindari terjadinya pemborosan biaya pemungutan dan kebocoran
penerimaan pajak daerah.
Pada sisi lain, ektensifikasi pajak daerah merupakan suatu kebijakan
yang dilakukan oleh Daerah dalam upaya meningkatkan penciptaan sumber-
sumber pajak daerah. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18
Tahun 1997 jo Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 di mana dalam usaha
meningkatkan konstribusi pajak daerah terhadap total penerimaan Daerah
merupakan salah satu kebijakan yang sangat rasional. Pelaksanaan
kebijaksanaan ini sangat terbuka lebar, karena Daerah diberi kesempatan
untuk menggali potensi sumber-sumber keuangan yang ada di wilayahnya
dengan menetapkan jenis pajak selain yang telah ditetapkan dalam undang-
undang sepanjang memenuhi kriteria atau indikator yang telah digariskan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997
jo Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000, pajak daerah terdiri atas Pajak
Daerah Propinsi dan Pajak Daerah Kabupaten/Kota. Dalam Pasal 2 ayat (1),
ditentukan bahwa Pajak Propinsi meliputi: (i) Pajak Kendaraan Bermotor dan
Pajak Kendaraan atas Air; (ii) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor; (iii)
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; dan (iv) Pajak Pengambilan dan
Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Sementara itu, Pasal 2
ayat (2) menentukan bahwa Pajak Daerah Kabupaten/Kota meliputi: (i) Pajak
Hotel; (ii) Pajak Restoran; (iii) Pajak Hiburan; (iv) Pajak Reklame; (v) Pajak
Penerangan Jalan; (vi) Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C; dan
(vii) Pajak Parkir.
19
20. BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
1. Dimensi hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah sering juga
disebut sebagai perimbangan keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Esensi
dari perimbangan keuangan tersebut adalah memperbesar pendapat asli daerah
sehingga lumbung keuangan daerah dapat berisi lebih banyak, dan pengaturan
masalah distribusi, yaitu konsekuensi dari distribusi kekuasaan kepada
pemerintah daerah untuk mengimplementasikan wewenang yang telah
didesentralisasikan.
2. Salah satu aspek dalam pembahasan mengenai hubungan keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah adalah pembiayaan pelaksanaan otonomi
daerah yang mencakup bidang penerimaan daerah dan pembiayaan. Adapun
bidang penerimaan daerah mencakup PAD, yang mana sumber terbesar untuk
pemenuhannya ditetapkan dari pajak daerah dan retribusi daerah. Untuk
menunjang desentralisasi fiskal, khususnya PAD, maka diperlukan
kebijaksanaan intensifikasi dan ekstensifikasi dengan berpedoman kepada
peraturan perundang-undangan yang berlaku agar bermanfaat bagi
pembiayaan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.
3.2. Saran
1. Kepada Pemerintah Daerah, hendaknya berupaya seoptimal mungkin
dalam menggali sumber-sumber pendapatan di masing-masing wilayahnya.
2. Kepada Pemerintah pusat, hendaknya dalam menentukan bagi hasil
pajak kepada daerah, tidak hanya berdasarkan perolehan pajak saja tetapi juga
harus mempertimbangkan pembangunan di daerah penghasil pajak tersebut.
20
21. DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim, 2001, Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta:
UPP AMP YKPN.
Ahmad Erani Yustika, 2008, “Desentralisasi Ekonomi, Pengembangan Kapasitas,
dan Misalokasi Anggaran”, dalam Ahmad Erani Yustika (Ed.), 2008,
Desentralisasi Ekonomi di Indonesia: Kajian Teoritis dan Realitas Empiris,
Malang: Bayumedia Publishing.
Ahmad Yani, 2002, Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press.
Bagir Manan, 1994, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945,
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
______________, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta: PSH
UII Yogyakarta.
Early Suandy, 2002, Perencanaan Perpajakan, Jakarta: Salemba Empat.
Farida Rahmawati, 2008, “Desentralisasi Fiskal: Konsep, Hambatan, dan
Prospek”, dalam Ahmad Erani Yustika (Ed.), 2008, Desentralisasi Ekonomi
di Indonesia: Kajian Teoritis dan Realitas Empiris, Malang: Bayumedia
Publishing.
Muhammad Fauzan, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah Kajian tentang
Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah, Yogyakarta: UII Press.
Mustaqiem, 2008, Pajak Daerah dalam Transisi Otonomi Daerah, Yogyakarta:
UII Press.
M. Subagio, 1987, Hukum Keuangan Negara Reublik Indonesia, Jakarta: Rajawali
Press.
Richard M. Bird dan Francois Vaillancourt, 2000, Fiscal Decentralization in
Developing Countries (Desentralisasi Fiskal di Negara-Negara
Berkembang), Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Santoso Brotodihardjo, 1986, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: Enresco.
Suhadak dan Trilaksono Nurgoroho, 2006, Paradigma Baru Pengelolaan
Keuangan Daerah dalam Penyusunan APBD di Era Otonomi, Malang:
Bayumedia Publishing.
Syarif Hidayat, 2000, Refleksi Realitas Otonomi Daerah, Jakarta: Pustaka
Quantum.
W. Riawan Tjandra, 2006, Hukum Keuangan Negara, Jakarta: Grasindo.
21