2. DASAR PENGEMBANGAN
Administrasi lapangan dikembangkan
melalui instrumen dekonsentrasi
Alasan-alasan dikembangkannya
administrasi lapangan bervariasi.
Fried (1963) menyatakan bahwa
administrasi lapangan dapat
dikembangkan untuk kepentingan
penetrasi politik warga negara. Namun
demikian Fried juga mengakui adanya
kepentingan pengembangan pelayanan
kepada warga.
3. Lanjutan
Massam (1985) menyatakan bahwa
adnministrasi lapangan
dikembangkan untuk mendekatkan
pelayanan kepada masyarakat.
Sementara itu, Rondinelli dan Cheema
(1983) melihat adanya kemampuan
untuk mengembangkan perencanaan
secara lebih baik dengan adanya
administrasi lapangan dalam
pemerintahan.
4. POLA KELEMBAGAAN
DEKONSENTRASI
AF. LEEMANS (1970)
“Two board patterns of central government field
administration:
1. organization on primarily functional basis:
‘fragmented field administration’.
2. organization on primarily territorial basis:
’integrated field administration’
Kedua pola tersebut dalam rangka dekonsentrasi
karena yang dibahas adalah organ pemerintah
pusat yang akan disebar aktivitasnya ke penjuru
wilayah negara.
5. FFA
“Under the functionally-based patterns
of organization, each central government
department (such as education, public
health, agriculture, public work, etc.) has
it own hierarchy or field administration
for areas which frequently differ in size
and boundaries.”
Karena terpecah-pecah maka disebut
fragmented field administration. Pola
tersebut belum memperlihatkan
keterkaitannya dengan desentralisasi,
sebab baru pada sisi dekonsentrasi.
MENGHASILKAN SPECIALIST
6. IFA
b. IFA
“The second patterns of central government
field administration is mainly based on area
integration of central government services. An
institutional link is thus established among
representatives of the various central
government departments. In this structure, a
general representative of central government is
head of the areas administrative organization
composed of the various central departments,
and is in charge of coordination and integration
of policy making process and action in the
various fields.”
MENGHASILKAN GENERALIST
7. Tipologi pemerintahan lokal
Baik FFA maupun IFA dikembangkan
bersamaan dengan desentralisasi yang
melahirkan pemerintahan daerah.
Dalam FFA dan IFA sangat besar
kemungkinan dikembangkan dengan
hirarkis struktural yang tinggi. Dalam
desentralisasi terdapat pula
kemungkinan adanya daerah otonom
yang besar dan kecil.
Perpaduan FFA dan IFA di satu sisi, dan
desentralisasi di sisi lain melahirkan
‘tipologi’ pemerintahan lokal dalam dua
golongan besar: (1) prefektoral; dan (2)
fungsional.
8. Indikator tipologi
Terdapat berbagai elemen untuk
mengenali dua tipologi besar
tersebut, terutama 2 elemen,
yakni: (1) Elemen wilayah; dan
(2) Elemen jabatan.
Pada tipologi prefektoral, jika
terdapat wakil pemerintah di
daerah yang bertugas pula
mengawasi lembaga-lembaga
pemerintahan daerah di
wilayahnya.
9. Lanjutan
Tipologi Prefektoral dapat berbentuk 2 macam.
(a) terintegrasi; dan (b) tak-terintegrasi.
Prefektoral terintegrasi dianut jika dijumpai
adanya penyatuan elemen jabatan dan
elemen wilayah pada satu lembaga
pemerintahan di daerah, yakni jabatan Wakil
Pemerintah dijabat pula oleh orang yang
sama sebagai Kepala Daerah; dan batas
yurisdiksi wilayah administrasi simetris
dengan yurisdiksi batas daerah otonom.
Prefektoral tak terintegrasi jika wilayah
administrasi dari Wakil Pemerintah tidak
diikuti oleh penarikan garis batas daerah
otonom yang simetris. Jabatan Wakil
Pemerintah juga tidak otomatis disandang
pula oleh Kepala Daerah.
10. Lanjutan
Pada tipologi fungsional tidak dikenal
penyatuan baik elemen wilayah maupun
jabatan pada satu lembaga pemerintahan di
daerah.
Di daerah tidak ada wakil pemerintah
melainkan sebatas instansi vertikal dari
departemen teknis; kepala daerah bukan
wakil pemerintah; dan daerah otonom tidak
simetris dengan wilayah administrasi
instansi vertikal manapun hanya saja
bidang yang relevan dibina oleh instansi
vertikal yang relevan.
11. UU No. 1 tahun 1945
a) terdapat sebutan Badan Eksekutif yang
terdiri atas 5 anggota KND plus KDH sebagai
ketua yang menjalankan pemerintahan
daerah.
b) Plural Eksekutif
c) BPR (badan Perwakilan Rakyat) berperan
sebagai DPRD
d) KDH adalah ketua Badan Eksekutif (Badan
Pemerintah daerah) yang terdiri dari 5 orang
anggota Komite nasional daerah yang
berubah menjadi BPR dan juga sebagai ketua
BPR
e) KDH bersifat dualistis (perpanjangan
Pemerintah juga), garis batas daerah otonom
juga garis batas wilayah kerja wakil
pemerintah.
12. UU No. 22 tahun 1948
(a) Yang disebut Pemerintah Daerah
adalah DPRD + DPD
(b) Plural Eksekutif
(c) KDH adalah ketua Dewan pemerintah
daerah (DPD) yang anggotanya dari
DPRD dengan jumlah anggotanya
ditetapkan dalam UU pembentukan
(d) KDH diangkat oleh Pemerintah dari
calon yang diajukan DPRD sebagai
Wakil pemerintah garis batas
yurisdiksi daerah otonom= wilayah
administrasi.
(e) Ketua dan Wakil Ketua DPRD
dilarang menjadi anggota DPD
13. UU No. 1 Tahun 1957
a) Yang disebut Pemerintah Daerah adalah
DPRD dan DPD
b) Plural Eksekutif
c) KDH adalah ketua Dewan pemerintah
daerah (DPD) yang anggotanya dari DPRD
dengan jumlah anggotanya ditetapkan
dalam peraturan pembentukan
d) Kepala Daerah dipilih secara langsung
oleh masyarakat (Bung Hatta memberikan
catatan terhadap hal ini)
e) Ketua dan Wakil Ketua DPRD dilarang
menjadi anggota DPD
f) KDH bukan sebagai Wakil Pemerintah
g) DPRD berhasil diisi dengan Pemilu 1955 di
Daerah-daerah tertentu
14. UU No. 18 Tahun 1965
Yang disebut sebagai Pemerintah
Daerah adalah KDH dan DPRD
Mono-eksekutif (dualistis)
KDH diangkat oleh pemerintah dari nama
yang diajukan DPRD
Pimpinan DPRD bertangungjawab
kepada KDH sebagai Wakil pemerintah,
daerah otonom berhimpit dengan
wilayah administrasi
Pimpinan DPRD berisi poros NASAKOM
KDH dibantu oleh 1 Wakil KDH dan BPH
(badan Pemerintah Harian)
15. UU No. 5 Tahun 1974
Yang diebut sebagai pemerintah
daerah adalah KDH dan DPRD
Mono Eksekutif (dualistis)
DPRD berhasil diisi melalui Pemilu
1971
KDH bertanggungjawab kepada
Pemerintah karena perannya juga
sebagai Wakil pemerintah dan KDH
memberikan keterangan
pertanggungjawaban kepada DPRD
Yurisdiksi daearh otonom= wilayah
administrasi
16. UU No. 22 tahun 1999 dan
UU 32 Tahun 2004
Yang disebut sebagai Pemerintah
Daerah adalah KDH beserta Perangkat
Daerah
Mono eksekutif: dualistis di Propinsi
KDH bertanggungjawab kepada DPRD
KDH dipilih-diangkat DPRD dan
disahkan oleh Pemerintah
DPRD berhasil diisi melalui Pemilu
17. Lanjutan
Tugas Gubernur sebagai Wakil Pemerintah
Pasal 37 UU No. 32 Tahun 2004
(1) Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan
juga sebagai wakil Pemerintah di wilayah provinsi
yang bersangkutan.
(2) Dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Gubernur bertanggung jawab
kepada Presiden.
Berbeda dari UU No. 22 Tahun 1999, UU No. 32
Tahun 2004 tidak terdapat pasal yang
menyatakan bahwa Provinsi adalah wilayah
administrasi. Hanya saja berdasarkan pasal di
atas, sebagai Wakil pemerintah, Gubernur
beroperasi di daerah otonom tersebut.
18. Lanjutan
Pasal tersebut juga membawa kepada
sangat terbukanya kesempatan bagi
departemen/ kementerian negara untuk
tidak perlu melakukan penarikan garis
batas sesuai wilayah operasi Gubernur
karena Provinsi yang tidak dinyatakan
secara tegas sebagai wilayah
administrasi.
Departemen/ kementerian negara dapat
menarik garis operasi kerja berbeda dari
Gubernur atau bahkan di percabangan
berikutnya yang tidak perlu simetrik
dengan yurisdiksi Kab/ Kota.
19. Lanjutan
Nampak juga UU No. 32 Tahun 2004,
mengurangi makna teoritik asal
prefektur yang seharusnya mampu
menjadi koordinator lembaga
percabangan lokal (instansi vertikal)
departemen/ kementerian negara yang
sudah tidak diatur lagi.
Departemen/ kementerian Negara
mungkin akan bekerja sendiri-sendiri di
tingkat lokal dengan garis batas yang
berbeda-beda dan tanpa rantai
hubungan dengan Gubernur sekalipun
sebagai wakil Pemeirntah.
20. Menurut UU No. 22 Tahun 1999
DEKONSENTRASI diartikan dengan kalimat
“pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada
Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan atau
perangkat pusat di Daerah”.
(PASAL 1 Ketentuan Umum)
Dalam UU No. 32 Tahun 2004 Bab I pasal 1 ayat
8: “Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang
pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur
sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada
instansi vertikal di wilayah tertentu.”
21. Lanjutan
Menurut pernyataan tersebut baik UU No. 22 Tahun
1999 maupun UU No.32 Tahun 2004, dapat
bermakna adanya pola tiga kemungkinan
dekonsentrasi yakni : (1) kepada Gubernur, (2)
kepada perangkat Pusat di Daerah –administrasi
lapangan/ instansi vertikal; atau (3) bersama-sama
baik kepada Gubernur maupun kepada Instansi
vertikal sesuai peran dan fungsi yang dilimpahkan.
Perlu dicermati dalam UU No. 22 tahun 1999 bahwa
kata “Perangkat Pusat di daerah” bermakna
adanya kemungkinan “Instansi vertikal berada baik
di Daerah Propinsi maupun kabupaten/ Kota”
sedangkan Gubernur hanya di Propinsi. Tetapi,
apa yang terjadi?
22. Sebutan “Perangkat Pusat di Daerah”
sinonim dengan “instansi vertikal” yang
dalam bahasa teori disebut sebagai
‘administrasi lapangan” atau “field office”
atau “field administration”.
UU No. 22 Tahun 1999 mengartikan
instansi vertikal dengan kalimat
“perangkat Departemen dan atau lembaga
non Pemerintah Non Departemen di
Daerah”.
23. Lanjutan
UU No. 22 Tahun 1999 tidak cukup jelas mengatur
keberadaan instansi vertikal padahal hal ini
menyangkut eksistensi hubungan antar
pemerintahan yang cukup penting dalam
administrasi negara. Bahkan diakhiri dalam UU
tersebut bahwasannya instansi vertikal dihapuskan
untuk dilebur ke dalam dinas.
UU No. 32 Tahun 2004, kata ‘perangkat pusat’ diganti
‘instansi vertikal’ dan kata ‘di daerah’ diganti
dengan kata ‘di wilayah tertentu’. Instansi vertikal
merupakan nomenklatur lama, sehingga semakin
jelas ke arah penggunaannya kembali, sedangkan
di wilayah tertentu mengandung ketidakjelasan
penarikan garis batas.
24. Lanjutan
Oleh karena itu, pada pasal 228 UU
tersebut sangat dimungkinkan instansi
vertikal muncul kembali di daerah
bahkan hingga Kabupaten/ Kota.
Disamping itu, pelimpahan dilakukan
juga kepada Gubernur. Pelimpahan
Kepada Gubernur tersebut diikuti
penarikan garis batas yang cukup jelas
pada ruang lingkup Provinsi yang
berhimpit sebagai daerah otonom juga.
25. Lanjutan
Pasal 228
1) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang
menjadi wewenang Pemerintah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) yang
didekonsentrasikan, dilaksanakan oleh instansi
vertikal di daerah.
(2) Instansi vertikal sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), jumlah, susunan dan luas wilayah kerjanya
ditetapkan Pemerintah.
(3) Pembentukan, susunan organisasi, dan tata
laksana instansi vertikal di daerah, sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan
dengan Keputusan Presiden.
(4) Semua instansi vertikal yang menjadi perangkat
daerah, kekayaannya dialihkan menjadi milik
daerah.
26. Penu tup
Prediksi:
1. departemen/ kementerian negara dapat
memasuki arena kegiatan lokal sesuai
justifikasi masing-masing dengan koridor
pasal 10, 11, dan 12 tanpa terdapat keterkaitan
yang tegas antar departemen/ kementerian---
garis batas yang tidak sama dimungkinkan.
2. Gubernur semakin berkuasa hanya persoalan
daerah otonom Kabupaten/ Kota di wilayahnya
sekalipun sebagai wakil pemerintah---tidak
disebutkan aturan menjadi titik temu bagi
departemen/ kementerian negara di tingkat
lokal.
3. Departemen dalam negeri memainkan peranan
yang dominan dan sengaja meng-kotakan
persoalan daerah otonom di luar kepentingan
Departemen/ kementerian lain.