Optimalkan Sasaran Wakaf untuk Kesejahteraan Masyarakat
1. Nama : Taufik Rahman
NIM : 1001140123
JUR : Muamalat
MK : Hk. Zakat & Perwakafan
Mauquf ‘Alaihi .
Mauquf ‘alaih dapat diartikan sebagai sasaran atau pihak yang menerima wakaf.
Secara umum dapat dikatakan bahwa wakaf harus dimanfaatkan dalam batas-batas yang
diperbolehkan Syariat Islam. Wakaf merupakan amal yang mendekatkan diri manusia kepada
Allah, dan karenanya para faqih sepakat bahwa infak kepada kebajikan itulah yang
mendekatkan diri manusia kepada Tuhannya (Direktorat Pemberdayaa Wakaf, 2008: 56).
Dalam hal distribusi wakaf, aturan syariah tidak begitu jelas dan tegas. Hal ini tentu
berbeda dengan zakat yang menegaskan distribusi zakat untuk ashnaf yang jelas.1 Dalam
literatur Fiqh, menurut Wahbah al-Zuhaili (1996: 7640), para ulama terlibat perdebatan
panjang tentang mauquf ’alaih dan syarat-syaratnya. Menurut mereka mauquf ’alaihi dibagi
menjadi mu’ayyan dan ghair muayyan. Al-Mu’ayyan dapat berupa satu orang, dua orang,
ataupun sekumpulan orang (jamak). Sedangkan ghair al-mu’ayyan atau jihat al-waqf adalah
kaum fuqara, ulama, para qari’, para pejuang, masjid-masjid, ka’bah, pasukan dan
persiapannya, sekolah-sekolah, bendungan-bendungan, dan urusan merawat jenazah.
Berkenaan dengan al-mu’ayyan, para fuqaha bersepakat bahwa syaratnya adalah
kemungkinannya untuk memiliki (kaunuh ahl li al-tamalluk). Selanjutnya mereka berbeda
pendapat tentang wakaf untuk al-ma’dum, al-majhul, dan untuk diri sendiri.
Sedangkan wakaf untuk ghair al-mu’ayyan atau jihat al-waqf (sasaran wakaf) adalah:
Pertama, hendaknya sasaran itu merupakan kebaikan dan kebajikan (jihat khair wa birr)
sehingga berinfak di dalamnya dapat dianggap bentuk taqarrub kepada Allah;
kedua, Abu Hanifah dan Muhammad menambahkan bahwa akhir dari wakaf ahli
hendaknya berupa sasaran yang tidak akan terputus selamanya. Ta’bid menurutnya
adalah syarat dibolehkannya wakaf (al-Zuhaili, 1996: 7650).
Distribusi harta wakaf diperuntukkan bagi sasaran tertentu (ghard al-waqf) dengan
syarat-syarat diantaranya:
1
Dalam distribusi zakat, pihak-pihak yang berhak untuk menerima zakat atau mustahik telah ditetapkan oleh
syari’ah dan disebut sebagai al-ashnaf al-tsamaniyah. Dalam surat al-Taubah ayat 60, delapan penerima
tersebut meliputi kaum fakir, kaum miskin, amil (petugas zakat), mu’alaf, memerdekakan budak, gharimin, fi
sabilillah, dan ibnussabil
”Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus
zakat,para mu’allaf yang dibujuk hatinya,untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk
jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan,sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah;
dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS. Al-Taubah/9: 60).”
2. 1. Sasaran itu berupa salah satu bentuk kebajikan (al-birr) seperti subsidi untuk
lembaga pendidikan umum dan khusus, pendirian perpustakaan, bantuan lembaga
kajian keilmuan dan keislaman, pemeliharaan anak yatim, para janda, orang lemah,
dan lain-lain2
2. Di dalamnya tidak terdapat maksiat yang diharamkan syariat dan hukumnya, atau
dicela oleh akhlaq yang terpuji.
3. Tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku (Kahf, tt: 192).
4. Akivitas kebajikan dalam sasaran wakaf hendaknya bersifat kontinyu.
5. barang yang diwakafkan tidak kembali kepada si wakif.
6. Pihak yang diberi wakaf cakap hukum untuk memiliki dan menguasai harta wakaf
(Al-Kabisi, 2004: 284).
Ahmad al-Raisuni meringkas sasaran kebajikan wakaf (al-majalat al-khairiyah)
dalam tiga hal:
pertama, wakaf dalam bidang agama dan peribadatan seperti pembangunan masjid dan sarana
ibadah;
kedua, untuk pendidikan dan pengajaran; ketiga, wakaf untuk sosial, yang meliputi wakaf
bagi kaum fakir dan orang yang butuh, wakaf bagi keperluan umum dan sosial,
wakaf untuk orang sakit dan para penderita, dan wakaf untuk membantu lembaga
pernikahan dan para pelakunya (al-Raisuni, tt: 14-21).
Dalam UU RI No 41 Tahun 2004 Pasal 22, harta wakaf hanya dapat diperuntukkan
bagi : a) sarana dan kegiatan ibadah; b) sarana dan kegiatan pendidikan serta
kesehatan; c) bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, bea siswa; d)
kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan atau e) kemajuan kesejahteraan umum
lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan.
(Aulia, 2008: 122)
Hanya saja menurut Mondzer Kahf (tt.: 193), sasaran-sasaran kebajikan ini tidaklah
mungkin untuk dibatasi, dan karenanya para fuqaha mengulasnya secara detail. Yang utama
adalah hendaknya ditunjukkan dalam undang-undang sebagian bentuk-bentuk kebajikan itu,
sehingga dapat diqiyaskan kepadanya dan dijadikan pedoman. Setiap masyarakat dan negara
berhak memilih kebajikan yang lebih cocok dan diperlukan sesuai dengan keadaan
masyarakat, tingkat ekonomi, dan kontruksi sosialnya. Dengan hal ini diharapkan dan
2
Farid Wajdy (2007: 107-115) menyebut usaha-usaha maksimal yang dapat dijadikan acuan dalam
pemanfaatan hasil wakaf tunai. Pertama, model investasi dengan menjadikan harta wakaf sebagai dana abadi
sehingga tidak terjadi penyusutan. Tetapi investasi ini tetap harus produktif dan mendatangkan keuntungan.
Investasi seperti penyertaan modal dalam UKM atau juga murabahah adalah salah satu contohnya. Model
kedua, adalah yang dilakukan Dompet Dhu’afa berupa perintisan peternakan domba dan pembelian saham
Perusahaan Pakan Ikan. Peternakan domba dipergunakan untuk kepentingan sosial ekonomi masyarakat,
sementara penyertaan modal dalam perusahaan hasilnya dipergunakan untuk kepentingan sosial seperti
Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC).
3. mengundang manusia mewakafkan harta untuk tujuan-tujuan yang paling banyak
manfaatnya.
Prioritas penentuan sasaran wakaf (al-mauquf ’alaih) oleh para nadzir berdasarkan
pendapat al-Shatibi itu selanjutnya dapat ditentukan berdasarkan pertimbangan kedudukan
primary goods tersebut secara berurutan yang menggambarkan tingkat urgensinya. Menjaga
dan melindungi keagamaan masyarakat harus diutamakan sebelum jiwa, reproduksi, harta,
dan akal budi. Bentuknya dapat beragam seperti pembangunan sarana ibadah, penugasan da’i,
pembiayaan kajian-kajian keagamaan, pendirian dan penyelenggaraan sekolah agama
(pesantren) dan lain sebagainya.
Memperhatikan dengan seksama kelima aspek kebutuhan primer tersebut juga akan
memperkaya para nadzir dalam memilih bentuk sasaran wakaf (jihat al-waqf) yang berfariasi.
Asalkan memenuhi kriteria salah satu aspek dari primary goods tersebut. Dengan demikian
tidak ada keterjebakan model dan kejumudan dalam menyalurkan hasil wakaf. Realita di
masyarakat menunjukkan bahwa dana hasil wakaf sering kali dihabiskan untuk hal-hal yang
lebih bersifat fisik seperti pembangunan dan perbaikan sarana prasarana, sementara aspek-
aspek lain seperti pemberdayaan SDM terabaikan. Sebuah masjid dapat saja memiliki
bangunan yang megah dan tetapi seringkali miskin kegiatan kajian keagamaan dan kegiatan
sosial kemasyarakatan dengan alasan tiadanya plot dana, padahal sering kali wakaf untuk
masjid tidak dibatasi oleh wakifnya pada aspek pengembangan fisik belaka.
Pada dasarnya prinsip yang dianut oleh wakaf adalah habs al-ashl wa tasbil tsamrah
(menyalurkan hasil dan memelihara yang pokok). Memperhatikan aspek kemaslahatan dapat
membantu nadzir wakaf untuk menemukan sasaran manfaat wakaf secara tepat. Tidak akan
ada salah satu aspek yang terabaikan. Kriteria penetapan al-mauquf ’alaih selayaknya selalu
dikaji seiring perkembangan zaman yang dinamis. Dengan demikian maka wakaf dapat
bermanfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat sesuai dengan yang dikehendaki
para wakif dalam rangka taqarrub kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
.
Dikutip dari tulisan Dosen Universitas Muhamadiyah Ponorogo