SlideShare a Scribd company logo
1 of 80
LAPORAN PENELITIAN
PEMIDANAAN KORPORASI
ATAS TINDAK PIDANA KORUPSI
DI INDONESIA
Oleh
Hifdzil Alim
Fariz Fachryan
Laras Susanti
Zaenur Rohman
Oce Madril
Hasrul Halili
Zainal Arifin Mochtar
PUSAT KAJIAN ANTIKORUPSI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2013
i
KATA PENGANTAR
Pembicaraan mengenai penelitian pemidanaan korporasi atas tindak pidana
korupsi dilakukan sejak 2011. Rencana ini mengemuka setelah mencermati
pemeriksaan beberapa tindak pidana korupsi yang melibatkan perusahaan. Meski
disebut dalam berkas putusan mengenai dugaan keterlibatan perusahaan dalam tindak
pidana korupsi, namun aparat penegak hukum belum begitu yakin untuk melakukan
penuntutan terhadapnya. Padahal, undang-undang tindak pidana korupsi telah
mengatur sedemikian rupa perihal penjeratan terhadap korporasi. Ketidakyakinan
aparat penegak hukum dalam menuntut perusahaan, mungkin saja disebabkan oleh
terma perusahaan yang tidak disebut sama sekali dalam undang-undang tindak pidana
korupsi.
Namun demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi berkembang pesat. Pada
tahun 2011, Pengadilan Tipikor Banjarmasin menjatuhkan vonis bersalah kepada
sebuah perusahaan atas tindak pidana korupsi yang dilakukannya. Putusan pada
pengadilan tingkat pertama ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Kalimantan Selatan
melalui majelis hakim banding. Perusahaan—yang tidak disebut dalam undang-undang
pemberantasan tindak pidana korupsi—ternyata dapat dipidana. Majelis hakim
menggunakan terma korporasi untuk mengidentifikasi perusahaan tersebut.
Dengan adanya putusan pengadilan pada tingkat pertama dan banding, semakin
menguatkan bahwa sebenarnya terma perusahaan sesuai dengan terma korporasi
seperti yang dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Atas putusan ini, keinginan
untuk mengadakan penelitian mengenai pemidanaan korporasi atas tindak pidana
korupsi semakin menguat.
Keinginan untuk melakukan penelitian ini baru bersambut pada 2013. Komisi
Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK) ternyata memiliki keresahan yang
tidak jauh berbeda untuk dapat memidanakan, tidak hanya perusahaan, namun juga
korporasi dalam bentuknya yang lain, yang diduga terlibat dalam tindak pidana korupsi.
Kemudian, keinginan penelitian ini mendapat dukungan dari United Nation on Drugs
and Crimes (UNODC). Akhirnya, rencana penelitian yang mengembang sejak 2011
baru dapat dilaksanakan pada pertengahan 2013.
Kegiatan dalam penelitian ini dilaksanakan oleh tim peneliti dari Pusat Kajian
Antikorupsi Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta (PUKAT FH UGM), yang terdiri dari
saudara Hifdzil Alim, Fariz Fachryan, Laras Susanti, Zaenur Rohman, Oce Madril,
ii
Hasrul Halili, dan Zainal Arifin Mochtar. Untuk teknis administrasi, tim peneliti dibantu
oleh tim administrasi serta keuangan yang terdiri dari saudara Sriyatun dan Nurvita
Budi Rovani.
Dengan selesainya kegiatan dari penelitian ini, puji syukur dihaturkan kepada
Tuhan Yang Maha Esa atas berkah hidup yang telah diberikan. Kemudian, rasa terima
kasih tak lupa disampaikan kepada tim peneliti dan tim administrasi serta keuangan
PUKAT FH UGM yang telah menyelesaikan penelitian ini. Selanjutnya, rasa terima
kasih juga diucapkan kepada UNODC atas dukungannya dalam penelitian ini.
Sebagai sebuah kajian, hasil penelitian ini tidak menutup kemungkinan untuk
mendapatkan kritik dan tambahan informasi. Dengan harapan penelitian ini dapat
menjadi salah satu bahan bagi aparat penegak hukum agar mulai berani merumuskan
dan menjerat korporasi dalam tindak pidana korupsi.[]
Yogyakarta, 30 September 2013
Ketua
Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM
iii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ...................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................. 2
C. Tujuan Penelitian ................................................................ 2
D. Kegunaan Penelitian .......................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Korporasi ............................................................... 4
B. Konsep Kejahatan Korporasi .............................................. 8
C. Konsep Pertanggungjawaban Pidana ................................ 12
D. Konsep Stelsel Pemidanaan .............................................. 19
E. Tindak Pidana Korupsi ....................................................... 25
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian .................................................................. 33
B. Cara Pengumpulan Data .................................................... 34
C. Lokasi Penelitian ................................................................ 35
D. Analisis Data ....................................................................... 36
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pengaturan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam
Undang-Undang ................................................................. 39
B. Pengalaman Pemidanaan Korporasi Dalam Tindak
Pidana Korupsi ................................................................... 58
C. Rumusan Ideal Pemidanaan Korporasi atas Tindak
Pidana Korupsi ................................................................... 63
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................... 70
B. Saran .................................................................................. 71
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 73
LAMPIRAN ..................................................................................................... 76
iv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Korporasi dan Ancaman Pidana ................................................... 50
Tabel 2 Pengelompokan Penyebutan Korporasi ....................................... 54
Tabel 3 Ancaman/Sanksi/Tindakan untuk Korporasi ................................. 57
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tindak pidana korupsi di Indonesia merambah banyak sektor serta menjerat
banyak aktor. Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada—
selanjutnya ditulis PUKAT Korupsi—mencatat, pada tengah tahun pertama 2013
(Januari-Juli) misalnya, korupsi ada di sektor penerimaan negara dan/atau daerah;
pertanian, kehutanan, perkebunan, dan/atau perikanan; pekerjaan umum; keolahrgaan
dan pendidikan; penegakan hukum; kesejahteraan sosial; BUMN dan/atau BUMD;
ESDM; departemen luar negeri; komunikasi dan informatika; kesehatan; proyek
pengadaan barang dan jasa; legislatif; perdagangan dan perindustrian; keuangan
dan/atau perbankan; serta keagamaan.1
Dari banyak sektor tersebut, aktor korupsi bermunculan dari banyak kalangan. Ada
pemerintah pusat; pemerintah daerah; legislatif pusat; legislatif daerah; pejabat BUMN;
kalangan swasta; kepala daerah; pegawai sekolah; aparat penegak hukum; pegawai
perguruan tinggi; menteri anggota KPUD; duta besar; unsur partai politik; dan pejabat
negara.2
Dari banyak aktor korupsi yang terjerat tindak pidana korupsi, tampaknya ada satu
aktor yang sementara ini belum banyak dijerat oleh hukum, yakni korporasi. Dalam
beberapa tindak pidana korupsi, dugaan keterlibatan korporasi tak dapat dimungkiri.
Contohnya, dalam kasus korupsi pengadaan vaksin flu burung pada 2008-2011, PT
Anugerah Nusantara diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp 692,3 miliar.3
Pada kasus lain, misalnya, tindak pidana korupsi pengadaan pembangkit listrik tenaga
surya (PLTS) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada 2008, PT Alfindo
Nuratama Perkasa diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp 2,72 miliar.4
Angka
kerugian tersebut diperoleh dari nilai proyek sebesar Rp 8 miliar yang disubkontrakkan
oleh PT Alfindo Nuratama Perkasa kepada PT Sundaya Indonesia yang hanya
dibayarkan sebesar Rp 5,28 miliar.
Dua contoh kasus di atas mengetengahkan keterlibatan korporasi dalam tindak
pidana korupsi. Akan tetapi, sampai saat ini, belum ada informasi yang mengatakan
1 Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM, 2013, Trend Corruption Report Tengah
Tahun Pertama 2013, hlm 4.
2 Ibid., hlm 3.
3 Koran Tempo, 19 Juni 2012.
4 Suara Merdeka, 20 Oktober 2011.
2
rencana pemeriksaan dan pemidanaan terhadap korporasi tersebut. Padahal,
korporasi memegang peranan penting dalam terlaksananya sebuah tindak pidana
korupsi.
B. Rumusan Masalah
Tindakan korporasi dalam tindak pidana korupsi semestinya dapat dikenakan
pertanggungjawaban. Namun sebelum mengarah ke pertanggungjawaban korporasi
atas tindak pidana korupsi, ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab demi
mendapatkan dasar akademik untuk meminta pertanggungjawaban korporasi dalam
tindak pidana korupsi. Adapun pertanyaan tersebut sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaturan tanggung jawab korporasi yang pernah diatur dalam
beberapa peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang di
Indonesia?
2. Bagaimanakah praktik pertanggungjawaban korporasi atas tindak pidana
korupsi di Indonesia?
3. Bagaimanakah rumusan alternatif bagi pertanggungjawaban korporasi atas
tindak pidana korupsi di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian bertema “Pertanggungjawaban Korporasi atas Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia” memiliki tujuan untuk:
1. Mengetahui dan memahami pengaturan tanggung jawab korporasi dalam
peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang yang pernah
diterapkan di Indonesia;
2. Mengetahui dan memahami praktik pertanggungjawaban korporasi atas tindak
pidana yang pernah terjadi di Indonesia; dan
3. Menghasilkan rumusan alternatif mengenai pengaturan dan praktik untuk
meminta pertanggungjawaban korporasi atas tindak pidana korupsi yang
dilakukan di Indonesia.
D. Kegunaan Penelitian
Dari hasil penelitian dan pembahasan penelitian ini diharapkan dapat memberi
hasil guna kepada:
1. Aparat penegak hukum, sebagai bahan dan referensi alternatif untuk
melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, peradilan, dan eksekusi
3
terhadap dugaan keterlibatan korporasi dalam tindak pidana korupsi di
Indonesia; dan
2. Ilmu pengetahuan, sebagai bagian menambah bahan bacaan dan referensi
atas kajian mengenai pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana
korupsi di Indonesia.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Korporasi
Ada berbagai jenis pengertian korporasi. Kata korporasi berasal dari Bahasa Latin
corporatus, yang diadopsi ke dalam Bahasa Inggris corporate. Corporate is relating to
a large company or group: airlines are very keen on their corporate identity. Lebih
lanjut disebutkan kaitannya dengan status hukum, corporate is authorized to act as a
single entity and recognized as such in law: local authorities, like other corporate
bodies, may reduce capital spending the rules set by the corporate organization of or
shared by all the members of a group; the service emphasizes the corporate
responsibility of the congregation.5
Artinya, korporasi adalah subyek hukum yang
sahamnya disebar kepada para anggotanya. Korporasi beroperasi untuk bertanggung
jawab atas tujuan didirikannya korporasi tersebut.
Di Indonesia, tidak jarang orang menyamakan korporasi dengan perusahaan.
Pandangan tersebut tidak dapat disalahkan sepenuhnya meski tentu saja terdapat
perbedaan antara keduanya. Korporasi bermakna (i) badan usaha yang sah; badan
hukum; (ii) perusahaan atau badan usaha yang sangat besar atau beberapa
perusahaan yang dikelola dan dijalankan sebagai satu perusahaan besar.6
Sementara
perusahaan adalah (i) kegiatan (pekerjaan dan sebagainya) yang diselenggarakan
dengan peralatan atau dengan cara teratur dengan tujuan mencari keuntungan
(dengan menghasilkan sesuatu, mengolah atau membuat barang-barang, berdagang,
memberikan jasa, dan sebagainya); (ii) organisasi berbadan hukum yg mengadakan
transaksi atau usaha.7
Dengan arti ini, korporasi dan perusahaan relatif bermakna
sama.
Pengertian korporasi juga dicetuskan oleh beberapa pemikir. Cornel University,
misalnya, dalam sebuah karya ilmiah menyatakan “a corporation is a legal entity
created through the laws of its state of incorporation. Individual states have the power
to promulgate laws relating to the creation, organization and dissolution of
corporations.” Korporasi merupakan subyek hukum yang dibentuk berdasarkan
peraturan perundang-undangan tentang korporasi. Individulah yang memiliki kekuatan
untuk membentuk, mengoperasikan, dan membubarkan sebuah korporasi.
5 Diakses dari laman www.dictionary.com pada 4 Juli 2013.
6 Diakses dari laman www.kamusbahasaindonesia.org pada 4 Juli 2013.
7 Ibid.
5
Di Amerika Serikat, Securities Act of 1993 mengatur bahwa korporasi adalah
subyek hukum yang yang bisa beracara di persidangan (dapat menggugat dan
digugat) dan terdapat pemisahan yang jelas antara harta kekayaan perusahaan
dengan pemegang saham. Lebih lanjut, undang-undang tersebut juga
memperbolehkan pemegang saham untuk menggugat korporasinya dan memindahkan
kepemilikan sahamnya. Status sebagai subyek hukum yang dimiliki oleh sebuah
korporasi, membuatnya tidak terpengaruh oleh meninggal dunianya pemegang
saham.8
Penjelasan di atas sebenarnya telah cukup untuk menggambarkan korporasi
dalam kedudukannya sebagai subyek hukum. Namun, seringkali terdapat kebingungan
di masyarakat membedakan antara korporasi dengan badan sejenis. Misalnya apakah
sebuah yayasan merupakan korporasi karena didirikan oleh sekumpulan orang untuk
tujuan tertentu. Ataukah sebuah korporasi hanya berkaitan dengan perusahaan yang
bersifat komersil. Oleh karena itulah, para ahli mencetuskan karakteristik yang bisa
digunakan untuk menentukan apakah suatu badan merupakan korporasi atau bukan.
Karateristik tersebut antara lain: most of which will be easily recognizable to anyone
familiar with business affairs; they are legal personality, limited liability, transferable
shares, delegated management under a board structure, and investor ownership.9
Secara lebih mendalam, karakter legal personality terdiri dari dua komponen yakni
“...there must be rules specifying to third parties the individuals who have authority to
buy and sell assets in the name of the firm, and to enter into contracts that are bonded
by those assets and must be rules specifying the procedures by which both the firm
and its counterparties can bring lawsuits on the contracts entered into in the name of
the firm.”10
Ada aturan yang secara spesifik bagi pihak dalam korporasi yang memiliki
otoritas untuk membeli dan menjual aset dengan atas nama perusahaan dan ikut
dalam kontrak. Selain itu, terdapat pengaturan khusus bahwa baik korporasi maupun
pemegang saham dapat saling mengugat di persidangan.
Sementara mengenai terbatasnya pertanggungjawaban dijelaskan bahwa limited
liability is a (strong) form of the ‘owner shielding’ that is effectively the converse of the
‘entity shielding’ described above as a component of legal personality; entity shielding
protects the assets of the firm from the creditors of the firm’s owners, while limited
8 Corporations: An Overview, diakses di http://www.law.cornell.edu/wex/corporations, pada
24 Juni 2013.
9 John Armour, Henry Hansmann, Reinier Kraakman, 2009, The Essential Elements Of Corporate
Law: What Is Corporate Law?, Center for Law,Economics, and Business Harvard University, hlm 2.
10 Ibid., hlm 7-8.
6
liability protects the assets of the firm’s owners from the firm’s creditors. Together, they
set up a regime of “asset partitioning” whereby business assets are pledged as security
to business creditors, while the personal assets of the business’s owners are reserved
for the owners’ personal creditors.11
Secara singkat, kalimat di atas menjelaskan
terdapat pemisahan harta kekayaan antara korporasi dan pemegang saham. Aset
perusahaan hanya dapat digugat oleh kreditor. Sementara personal asset/aset individu
para pemegang saham menjadi tanggung jawab pemiliknya.
Karakter selanjutnya adalah delegated management under a board structure atau
terdapat pembagian manajerial kerja di bawah pimpinan korporasi. Ada beberapa
penjelasan untuk karakter ini. First, the board is, at least as a formal matter, separates
from the operational managers of the corporation. In two-tier boards, top corporate
officers occupy the board’s second (managing) tier, but are generally absent from the
first (supervisory) tier, which is at least nominally independent from the firm’s hired
officers (i.e. from the firm’s senior managerial employees). In single-tier boards, in
contrast, hired officers may be members of, and even dominate, the board itself.12
Pertama, pimpinan korporasi dipisahkan dengan manajer operasional. Pimpinan
tertinggi (direksi) membawahi lapis kedua yakni para manajer. Meskipun mereka
bawahan dari direksi, mereka tetap memiliki independensi dibandingkan para pekerja
di bawahnya.
Second, the board of a corporation is elected—at least in substantial part—by the
firm’s shareholders. This requirement of an elected board distinguishes the corporate
form from other legal forms, such as nonprofit corporations or business trusts, that
permit or require a board structure, but do not require election of the board by the firm’s
(beneficial) owners.13
Pemimpin perusahaan dipilih oleh para pemegang saham.
Persyaratannya ditentukan oleh peraturan korporasi. Namun terdapat pengeculian di
beberapa korporasi profit maupun non profit, pemimpin tertinggi adalah pemilik
korporasi atau pemilik mayoritas saham. Pemimpin perusahaan terdiri dari beberapa
anggota yang bertugas untuk memonitor dan mengawasi keputusan-keputusan yang
dibuat. Banyak korporasi memperkenankan business planners untuk memberikan
bantuan. Untuk koporasi kecil, hanya ada satu direktur yang juga berfungsi sebagai
manajer operasional.14
11 By ‘creditors’ we mean here, broadly, all persons who have a contractual claim on the firm,
including employees, suppliers, and customers. Ibid., hlm 10.
12 Ibid., hlm 10.
13 Ibid., hlm 12.
14 Ibid., hlm 13.
7
Dengan demikian, untuk melihat dan menilai sebuah korporasi, setidaknya
dibutuhkan tiga batasan. Pertama, legal personality. Ada unsur dalam sebuah
korporasi yang memiliki otoritas mengelola aset atau membuat perjanjian. Kedua,
limited liability. Harus dipisahkan antara aset korporasi dan aset individu dalam
korporasi tersebut. Ketiga, delegated management. Terdapat struktur yang diisi oleh
masing-masing subjek yang memiliki kewenangan masing-masing.
Dalam tertib hukum indonesia, terdapat berbagai undang-undang yang
menjelaskan definisi korporasi. Berkaitan dengan tujuan penelitian ini, contoh paling
relevan adalah definisi berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 1 disebutkan bahwa Korporasi
adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan
hukum maupun bukan badan hukum. Terdapat karakteristik badan hukum dan bukan
badan hukum. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) membagi subyek
hukum menjadi dua yakni manusia pribadi (natuurlijke persoon) dan badan hukum
(rechtpersoon).
Badan hukum merupakan kumpulan manusia pribadi (natuurlijke persoon) dan
mungkin pula kumpulan dari badan hukum yang pengaturannya sesuai menurut hukum
yang berlaku, umpamanya badan hukum perseroan terbatas menurut Bab III bagian
Ketiga Buku I KUHDagang (W.v.K.=Wetboek van Koophandel).
Lebih lanjut Kansil menyarikan beberapa pandangan ahli mengenai badan
hukum:15
1. Teori fiksi oleh Friedrich Carl von Savigny, C.W. Opzoomer, dan Houwig.
Badan hukum itu pengaturannya oleh negara dan badan hukum itu sebenarnya
tidak ada, hanya orang-orang yang menghidupkan bayangannya untuk
menerangkan sesuatu dan terjadi karena manusia yang membuat berdasarkan
hukum atau dengan kata lain merupakan orang buatan hukum;
2. Teori harta karena jabatan atau teori Van Het Ambtelijk Vermogen oleh Holder
dan Binder. Teori ini menjelaskan bahwa badan hukum ialah suatu badan yang
mempunyai harga yang berdiri sendiri, yang dimiliki oleh badan hukum itu tetapi
oleh pengurusnya dan karena jabatannya, ia diserahkan tugas untuk mengurus
harta tersebut;
15 C.S.T. Kansil dan Cristhine S.T. Kansil, 2010, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang
Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, hlm 12.
8
3. Teori harta bertujuan atau Zweck Vermogen oleh A. Brinz dan E.J.J. ven der
Heyden, yang menjelaskan hanya manusia yang dapat menjadi subyek hukum
dan badan hukum adalah untuk melayani kepentingan tertentu;
4. Teori milik bersama atau Propriate Collective oleh W.L.P.A. Molengraaff dan
Marcel Planiol. Berdasarkan teori ini badan hukum merupakan harta yang tidak
dapat dibagi-bagi dari anggota-anggotanya secara bersama-sama; dan
5. Teori kenyataan atau teori peralatan atau Orgaan Theorie oleh Oto von Gierke,
yang menyatakan bahwa badan hukum bukanlah sesuatu yang fiksi, tetapi
merupakan makhluk yang sungguh-sungguh ada secara abstrak dari konstruksi
yuridis.
B. Konsep Kejahatan Korporasi (Corporate Crime)
Peter Grabosky dan John Braithwaite menyatakan, “corporate crime falls within the
domain of the white collar crime broadly defined as crime committed within the course
of one's occupation by persons of relatively high social status.”16
Kejahatan korporasi
masuk dalam kategori kejahatan kerah putih yaitu kejahatan yang dilakukan oleh orang
yang berstatus sosial tinggi. Sehingga sebelum membahas secara detail mengenai
kejahatan korporasi, perlu dibahas secara mendalam mengenai white-collar crime.
Edwin Sutherland sebagai pelopor studi tentang white-collar crime menyatakan
bahwa kejahatan kerah putih merupakan kejahatan terorganisasi karena mencakup
kegiatan formal17
dan informal18
dengan persekongkolan jahat di berbagai industri dan
profesi.19
Pandangan Sutherland ini mendapatkan tanggapan dari Ellen S. Podgor
yang menyatakan bahwa batasan yang dikemukakan oleh Sutherland konsentrasinya
pada pelaku dengan status sosial individu sehingga tidak termasuk pelanggaran
16 Peter Grabosky and John Braithwaite, Australian Institute of Criminology, Trends and Issues
in Crime and Criminal Justice Vol. 5: Corporate Crime in Australia, hlm 2.
17 Formal organization is inherent in offenses that are collusive, bribery, price fixing, bid rigging,
industry espionage, and physician free splitting are examples of formally or organized illegalities. Such
crimes are accomplished through “gentlemen’s agreement, pools..and cartels. Moreover, some others
kind of formal organization is controlling legislation, selection of administrators, and restriction of
appropriations for the enforcement of laws which may affect themselves. Edwin Sutherland, White
Collar Crime, cap. 13 sebagaimana dikutip dalam Gary S. Green, 1993, White-Collar Crime and the
Study of Embezzlement, American Academy of Political and Social Science, ANNALS, AAPSS, 525,
hlm 98-99.
18 It refers to business moralities that run counter to the law. Ibid.
19 Ibid.
9
terhadap hukum pidana. Inilah yang menyebabkan ada banyak pengertian mengenai
white-collar crime.20
Pandangan berbeda dikemukakan oleh Hartung. Ia menggunakan definisi yang
lebih sempit. “a white-collar offense is defined as a violation of law regulating business,
which is committed for a firm by the firm or its agents in the conduct of it business”.21
Kejahatan kerah putih adalah pelanggaran hukum yang berkaitan dengan bisnis yang
dilakukan oleh korporasi atau agen korporasi yang menyelenggarakan bisnis tersebut.
Meskipun terdapat perbedaan antara beberapa pandangan di atas, dapat ditarik
benang merah bahwa white-collar crime dilakukan oleh orang berstatus sosial tinggi
dengan cara yang terorganisasi di berbagai industri, profesi, maupun lingkup sempit di
dunia bisnis dengan pelaku korporasi atau agen korporasi. Agar sebuah kejahatan
dikategorisasi sebagai kejahatan sebagai white-collar crime, Gottfredson dan Travis
Hirchi menyimpulkan beberapa proposisi sebagai berikut:
1. Kejahatan white-collar merupakan kejahatan yang sebenarnya dan merupakan
pelanggaran terhadap hukum pidana;
2. Kejahatan white-collar berbeda dengan kejahatan yang dilakukan oleh
golongan kelas bawah;
3. Teori kriminologi yang menyatakan bahwa kejahatan terjadi berkaitan dengan
kemiskinan, sakit jiwa, dan kondisi sosial kumuh adalah sudah tidak tepat lagi;
4. Diperlukan sebuah teori perilaku kriminal yang akan menjelaskan kejahatan
white-collar dan kejahatan yang dilakukan oleh kelas bawah; dan
5. Sebuah hipotesis terhadap pandangan ini berkaitan dengan teori differentian
association dan social disorganization.
Giriraj Shah sebagaimana dikutip M. Arief Amrullah berpandangan, white-collar
crime dapat diklasifikasikan dalam kategori sebagai berikut:
1. Kecurangan dalam bidang perdagangan, perbankan, dan asuransi;
2. Pelanggaran terhadap ketentuan ekspor dan impor;
3. Pelanggaran terhadap ketentuan perburuhan dan lingkungan hidup;
4. Menghindari kewajiban pembayaran pajak dan penyelundupan;
5. Pemalsuan obat dan makanan;
6. Penimbunan barang dan pasar gelap; dan
20 M. Arief Amrullah, 2006, Kejahatan Korporasi: The Hunt for Mega-Profits and The Attack on
Democracy, Banyumedia, Jawa Timur, hlm 23.
21 White Collar Crime (New York: Dryden Press, 1949), hlm 9, sebagaimana dikutip oleh
Vilhelm Aubert, 1952, White-Collar Crime and Social Structure, Chicago Journals, hlm 265.
10
7. Memalsukan mata uang kertas dan mata uang logam.
Sementara Clinard dan Yeager berpandangan bahwa white-collar crime
melingkupi dua jenis kejahatan yaitu occupational crime dan corporate crime.
Occupational crime adalah kejahatan yang berhubungan dengan jabatan dan
pekerjaan, sebagian besar dilakukan oleh individu atau kelompok kecil individu dalam
hubungannya dengan pekerjaan atau jabatan. Kejahatan occupational contohnya
adalah pelanggaran hukum oleh pengusaha, politisi, dan banyak profesi lainnya.22
Sementara secara umum occupational crime is a crime committed by a person
during the course of legal employment. Some examples of occupational crimes are
misuse of an employer's property, theft of employer's property, and misuse of sensitive
information for personal gains.23
Maksudnya, occupational crime adalah kejahatan
yang dilakukan oleh seseorang terkait dengan jabatannya sebagai pegawai yang
legal/resmi, dilakukan untuk kepentingannya sendiri. Contoh dari occupational crime
adalah penyalahgunaan harta pegawai, pencurian harta pegawai dan informasi atas
keuntungan pribadi.
Guna memperjelas pemahaman mengenai occupational crime, Herberth Edelhertz
menyimpulkan empat lingkup occupational crimes terkait dengan motivasi pelakunya:24
1. Crime commited by person or individual basis, e.g., income tax evation,
bankruptcy frauds, credit purchases or taking loans with no intention to pay, and
insurance fraud. Kejahatan yang dilakukan oleh orang perseorangan, sebagai
contoh penggelapan pajak penghasilan, penipuan kebangkrutan, mengambil
kredit dan pinjaman tanpa niat membayar, dan penipuan asuransi;
2. Crime committed in the course of occupations by those operating in bussines,
government, and other establishments, in violation of their duty of loyalty to their
employer or client, e.g., bribery, kickbacks, embezzlement, and pilfering.
Kejahatan yang berkaitan dengan pengokupasian bisnis, pemerintahan, dan
institusi lain yang dilakukan dengan melanggar kewajiban dan loyalitas
pelakunya kepada atasan atau klien, sebagai contoh, menyogok, penyuapan,
penggelapan, pencurian;
3. Crime incidental to and in furtherance of business operations but not central to
business purposes, e.g., food and drug violations, misrepresentation in
22 M. Arief Amrullah, op.cit., hlm 37.
23 Diakses dari www.uslegal.com pada 9 Juli 2013.
24 Preserve Article, What Are the 5 Main Types of Occupational Crime, diakses dari
www.preservearticles.com pada 9 Juli 2013.
11
advertising and prescription fraud. Kejahatan yang terjadi pada penggelolaan
bisnis tapi tidak berkaitan dengan tujuan utama perusahaan, sebagai contoh
kejahatan pada bisnis makanan dan obat, penyelewenangan iklan dan
pelanggaran resep; dan
4. Crime as business or the central activity of a business; e.g., medical fraud
schemes, lottery fraud schemes, mutual fund fraud schemes, land and real
estate frauds, charity and and music piranting. Kejahatan bisnis yang menjadi
tujuan utama bisnis tersebut, contohnya skema medis penipuan, skema
penipuan undian, skema penipuan reksa dana, penipuan tanah dan real estate,
kegiatan amal dan peranti musik.
Pandangan Edelhertz semakin menguatkan bahwa occupational crime dilakukan
oleh orang perseorangan dengan motif pribadi untuk meraih keuntungan pribadi.
Sedangkan Corporate crime, menurut Clinard dan Yeager, adalah suatu perbuatan
yang dilakukan oleh korporasi, perbuatan yang dapat dikenai hukuman oleh negara,
tanpa memedulikan apakah dikenai sanksi administrasi, hukum perdata, ataukah
hukuman pidana.25
Sehingga berdasarkan pandangan Clinard, Yeager, dan Edelhertz, occupational
dan corporate crime dibedakan oleh pelakunya. Jika occupational crime dilakukan oleh
orang perseorangan sementara corporate crime terjadi jika korporasi yang melakukan
kejahatan. Jika mengacu pada pandangan ilmuwan tersebut, tentu terdapat
pertanyaan bagaimana jika kejahatan dilakukan oleh orang perseorangan sehingga
menimbulkan mafaat bagi korporasi. Lebih lanjut, Sjögren dan Skogh sebagaimana
dikutip oleh Giulia Mugellini, menyatakan bahwa corporate crime adalah “...those
offences committed to gain profit within an otherwise legal business...”26
Yang artinya
kejahatan korporasi adalah perbuatan kejahatan yang dilakukan untuk memperoleh
keuntungan dalam bisnis yang legal.
Atas dasar beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kejahatan
korporasi merupakan bentuk dari white-collar crime yang dilakukan oleh korporasi
secara teroganisasi dengan tujuan mengambil keuntungan demi kepentingan korporasi
tersebut.
25 M. Arief Amrullah, op.cit., hlm 39.
26 Giulia Mugellini, 2012, Crime Againts the Private Sector in latin America: Existing Data and
Future Orientations to Analyse the Victimization of Businesses, slide presentation of First
International Conference on statistical information on government, public safety, victimization and
justice UNODC-INEG.
12
Lebih lanjut, Reiss dan Biderman menjelaskan tujuan dari kejahatan kerah putih
yakni “white-collar violations are those violations of law…that involve the use of a
violator’s position of significant power, influence, or trust in the legitimate economic or
political institutional order for the purpose of illegal gain, or to commits an illegal act for
personal or organizational gain.”27
Secara ringkas kejahatan kerah putih adalah
pelanggaran terhadap hukum yang melibatkan para pemegang kekuasan yang dapat
mempengaruhi sektor ekonomi dan politik untuk memperoleh keuntungan haram atau
memberikan keuntungan bagi organisasi atau individu.
Sebagai sebuah kejahatan terorganisasi, white-collar crime, memberikan dampak
yang amat berbahaya yakni, individual economic losses, societal economic losses,
emotional consequences, physical harm, dan “positive” consequences.28
Pertama,
yang dimaksud dengan individual economic losses ialah kerugian finansial yang
dialami oleh korban (individu). Sutherland menyatakan kerugian yang ditimbulkan oleh
white-collar crime beberapa kali lipat dari kejahatan biasa. Sementara societal
economic losses ialah kerugian finasial yang dialami oleh masyarakat akibat white-
collar crime. Kerugian ini bertambah jika dikalkulasikan dengan kegagalan bisnis dan
biaya pemulihan.29
Lebih lanjut, emotional consequences yang dialami oleh korban kejahatan kerah
putih dan seluruh masyarakat yang terciderai oleh perbuatan jahat tersebut. Bentuk
dari dampak emosional antara lain munculnya stress, hancurnya kepercayaan, dan
kerusakan pada tatanan nilai masyarakat. Physical harm ialah dampak fisik yang
dirasakan oleh korban, misal sakit atau kehilangan nyawa. Sebagai contoh pada
kejahatan korporasi lingkungan masyarakat di sekitar korporasi akan terkena dampak
negatif dari perilaku korporasi tersebut.30
C. Konsep Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari tindak pidana. Tindak
pidana hanya menunjuk pada dilarangnya suatu perbuatan.31
Undang-undang hukum
pidana umumnya hanya menentukan perilaku yang dinyatakan sebagai tindak pidana
27 Reiss A.J., Jr., Biderman A.D., 1980, Data sources on white-collar law breaking, Washington
D.C, Government Printing Office, sebagaimana dikutip oleh John M. Ivancevich, Thomas N. Duening,
Jacqueline A. Gilbert, and Robert Konopaske, 2003, Deterring White-Collar Crime, Academy of
Management Executive, Vol. 17 No. 2 hlm 115
28 Section II, Understanding White-Collar Crime: Definitions, Extends, and Consequences, hlm 47.
29 Ibid., hlm 48.
30 Ibid., hlm 49.
31 Dwidja Priyatno, 2009, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi di Indonesia, CV Utomo, Bandung, hlm 30.
13
dan sanksi pidana yang diancamkan terhadap pembuatnya. Sedangkan masalah
pertanggungjawaban pidana sepertinya kurang mendapat perhatian pembentuk
undang-undang.
Meskipun harus diakui berbagai sinyalemen tentang kesalahan dan
pertanggungjawaan pidana juga tersirat dari berbagai ketentuan perundang-undangan,
tetapi dapat dikatakan masih sangat sedikit. KUHP misalnya, masalah
pertanggungjawaban pidana dihubungkan dengan alasan-alasan penghapus pidana
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 51
KUHP. Pasal 183 KUHAP juga mengamanatkan pentingnya kesalahan dalam
penjatuhan pidana terdakwa.32
Adapun mengenai pertanggungjawaban pidana, terdapat dua pandangan yang
terus berkembang, yaitu aliran monistis dan dualistis. Aliran monistis antara lain
dikemukakan oleh Simon yang berpandangan bahwa strafbar feit meliputi suatu
perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum,
dilakukan oleh orang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggungjawab atas
perbuatannya.33
Menurut aliran monisme, unsur strafbar feit meliputi unsur perbuatan atau biasa
disebut unsur objektif dan unsur pembuat atau biasa disebut subjektif. Oleh karena itu,
dicampurnya unsur perbuatan dan unsur pembuat dapat disimpulkan bahwa strafbar
feit adalah sama dengan syarat penjatuhan pidana, sehingga seolah-olah dianggap
bahwa kalau terjadi strafbar feit, maka pasti pelakunya dapat dipidana.34
Pandangan monistis tentang strafbar feit atau criminal act menentukan unsur-
unsur pertanggungjawaban pidana yang menyangkut pembuat delik yang meliputi:
1. Kemampuan bertanggungjawab;
2. Kesalahan dalam arti luas, sengaja dan/atau kealpaan; dan
3. Tidak ada alasan pemaaf. 35
Aliran kedua adalah dualistis yang dikenalkan oleh Herman Kontorowicz pada
tahun 1933. Sarjana Jerman ini menulis buku Tutund Schuld yang menentang
pendirian mengenai kesalahan (schuld) yang beliau namakan “objektive schuld”, oleh
32 Chairul Huda, 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Tiada Pertanggungjawaban
Pidana Tanpa Kesalahan: Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana, Kencana Prenada Media, Jakarta, hlm 2-3.
33 Muladi dan Dwija Priyatno, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Prenada
Media, Jakarta, hlm 63.
34 Ibid.
35 Ibid., hlm 65.
14
karena kesalahan dipandang sebagai sifat dari kelakuan. Untuk adanya
strafvoraussetzungen (syarat penjatuhan pidana terhadap pembuat) diperlukan lebih
dahulu pembuktian adanya strafbare handlung (perbuatan pidana), lalu setelah itu
dibuktikan schuld atau kesalahan subjektif pembuat.36
Pandangan dualistis ini diperkenalkan Moeljatno dalam pidato Dies Natalis VI
UGM tanggal 19 Desember 1955. Apabila suatu unsur perbuatan melawan hukum
pidana tidak terbukti, maka putusannya bebas. Namun, apabila semua unsur
perbuatan tersebut terbukti ditetapkan bahwa telah terjadi delik dan pembuat tak
langsung dapat dijatuhi pidana, sedangkan pelaku, yaitu pembuat yang melakukan
perbuatan tersebut ternyata tidak mampu bertanggungjawab dinyatakan dilepaskan
dari segala tuntutan.37
Pandangan dualistis memudahkan pembedaan kualifikasi mana
saja yang termasuk unsur perbuatan dan mana yang termasuk unsur
pertanggungjawaban.
Pada awalnya di dalam hukum pidana dikenal teori feit materiel yang menentukan
adanya kesalahan dan pertanggungjawaban pidana cukup dengan memastikan
apakah pembuat memenuhi seluruh isi rumusan tindak pidana. Pembuktian telah
dilakukannya suatu tindak pidana dipandang cukup sebagai dasar
pertanggungjawaban pidana terdakwa. Artinya, seseorang dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidana apabila dapat dibuktikan bahwa perbuatannya telah
memenuhi seluruh isi rumusan tindak pidana yang didakwakan.38
Namun, pandangan ini semakin lama tidak memuaskan sehingga terus terjadi
perubahan seperti tedapat dalam Arrest Hoge Raad 1916 yang dikenal Water en Melk
Arrest. Pada satu sisi, arrest tersebut dapat dipandang memperkenalkan alasan
penghapus kesalahan di luar undang-undang yang disebut dengan tiada kesalahan
sama sekali atau afwezigheid van alle schuld (avas). Terdakwa yang dalam kasus
tersebut didakwa melakukan tindak pidana yang rumusannya tidak memuat unsur
kesengajaan atau kealpaan, dinyatakan tidak bersalah karena tiada kesalahan sama
sekali. Padahal apabila merujuk pada ajaran feit materiel, terdakwa dalam kasus
tersebut sudah dapat dipertanggungjawabkan, karena seluruh isi rumusan tindak
pidana telah dipenuhi.39
Arrest tersebut di atas juga dapat dikatakan mensyaratkan
pertanggungjawaban pidana pada kesalahan, tidak sekedar pada dipenuhinya unsur
pidana. Pada sistem common law doktrin demikian disebut sebagai mens rea yang
36 Ibid., hlm 66.
37 Ibid., hlm. 68.
38 Chairul Huda, op.cit., hlm 3-4.
39 Ibid.
15
berasal dari adagium actus non est reus, nisi mens sit rea. Pada sistem civil law doktrin
ini disebut sebagai geen straf zonder schuld beginsel atau tiada pidana tanpa
kesalahan.
Adapun mengenai kesalahan, terkandung unsur pencelaan terhadap seseorang
yang telah melakukan tindak pidana. Jadi, orang yang bersalah melakukan perbuatan
itu berarti perbuatan itu dapat dicelakan padanya. Pencelaan di sini bukan pencelaan
berdasarkan kesusilaan, melainkan pencelaan berdasarkan hukum yang berlaku.40
Pada awalnya kesalahan dilihat dari keadaan psikologis semata. Pertama-tama,
secara sempit kesalahan dipandang sama dengan kealpaan. Dengan kata lain, istilah
kesalahan digunakan sebagai sinonim dari sifat tidak hati-hati. Kemudian pengertian
kesalahan juga dikaitkan dengan alasan penghapus pidana di luar undang-undang.
Dalam hal ini ketiadaan kesalahan sama sekali atau afwezigheid van alle schuld
(avas), dijadikan alasan penghapus pidana selain yang telah ditentukan dalam undang-
undang. Istilah kesalahan juga digunakan sebagai pengumpul kesengajaan dan
kealpaan. Dikatakan ada kesalahan, jika pada diri pembuat terdapat salah satu dari
dua bentuk kesalahan ketika melakukan tindak pidana.41
Begitu berpengaruhnya teori psikologis tentang kesalahan, sehingga tidak
mengherankan jika sampai saat ini pandangan tersebut masih mewarnai pemahaman
para ahli hukum pidana. Namun demikian, teori kesalahan psikologis ini diragukan
orang ketika timbul persoalan dalam praktik hukum yang dipicu oleh ketiadaan unsur
dengan sengaja atau karena kealpaan dalam rumusan tindak pidana. Sekalipun agak
berbeda, persoalan yang sama juga mengemuka dalam common law system. Dalam
tradisi common law system doktrin mens rea sempat diragukan.42
Menurut Smith dan Hogan, pandangan yang berpendirian bahwa mens rea harus
ada pada tiap tindak pidana hanya diikuti sampai akhir abad kesembilan belas. Setelah
masa itu doktrin mens rea tidak lagi berlaku mutlak. Penyimpangan diawali ketika
umumnya tindak pidana yang ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan
dirumuskan tanpa unsur mental. Dengan demikian, berbeda dengan common law
crime yang umumnya memuat terdiri dari actus reus dan mens rea. Penyimpangan
atas doktrin mens rea semakin kentara ketika diterapkannya strict liability terhadap
tindak pidana.43
40 Dwidja Priyatno, op.cit., hlm 74.
41 Chairul Huda, op.cit., hlm 74.
42 Ibid., hlm 75-76.
43 Ibid.
16
Strict liability biasa disebut sebagai prinsip tanggung jawab mutlak atau prinsip
tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan. Atau dengan perkataan lain
suatu prinsip tanggung jawab yang memandang kesalahan sebagai suatu yang tidak
relevan untuk dipermasalahkan apakah pada kenyataan ada atau tidak. Menurut
doktrin strict liability seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak
pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan (mens rea).44
Strict
liability atau yang sering disebut liability without fault dianggap bertentangan dengan
doktrin mens rea. Namun, sebenarnya strict liability merupakan pengecualian sebagai
pelengkap dan penyeimbang bagi asas kesalahan.
Menurut L.B. Curson, doktrin strict liability didasarkan pada alasan-alasan sebagai
berikut:
1. Adalah sangat esensial untuk menjamin dipatuhinya peraturan-peraturan
penting tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan sosial;
2. Pembuktian adanya mens rea akan menjadi sangat sulit untuk pelanggaran
yang berhubungan dengan kesejahteraan sosial itu; dan
3. Tingginya tingkat bahaya sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan yang
bersangkutan.45
Argumentasi yang hampir serupa dikemukakan pula dalam bukunya Ted
Honderich. Dikemukakan olehnya bahwa premisse (alasan) yang bisa dikemukakan
untuk strict liability ialah:
1. Sulitnya membuktikan pertanggungjawaban untuk tindak pidana tertentu;
2. Sangat perlunya mencegah jenis-jenis tindak pidana tertentu untuk,
menghindari adanya bahaya yang sangat luas; dan
3. Pidana yang dijatuhkan sebagai akibat dari strict liability adalah ringan.46
Strict liability dapat menjadi penyeimbang dari asas kesalahan, juga berarti
memperhatikan keseimbangan dua kepentingan yaitu kepentingan masyarakat dan
kepentingan individu. Pandangan demikian disebut monodualistis yang dalam hukum
pidana dikenal istilah daad-dader strafrecht, yaitu hukum pidana yang memperhatikan
segi objektif dari perbuatan (daad) dan juga segi subjektif dari pembuat (daader).47
44 Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit., hlm 111.
45 Ibid., hlm 112.
46 Ibid.
47 Dwidja Priyatno, op.cit., hlm 50.
17
Pada doktrin strict liability pembuatnya dapat dicela sekalipun terlepas dari
persoalan psikologis pembuat dengan tindak pidananya. Persoalannya hanya tinggal
dalam lapangan pembuktian. Strict liability merupakan pertanggungjawaban terhadap
pembuat tindak pidana yang dilakukan tanpa harus membuktikan kesalahannya.
Kesalahannya tetap ada, tetapi tidak harus dibuktikan.
Menurut teori kesalahan normatif, kesengajaan dan kealpaan hanya dipandang
sebagai pertanda adanya kesalahan dan bukan kesalahan itu sendiri. Kesalahan ada
jika kelakuan tidak sesuai dengan norma yang harus diterapkan. Kesalahan tetap
dapat dipandang ada, sekalipun tidak ditinjau lebih jauh mengenai kesengajaan atau
kealpaan pembuat tindak pidana. Sepanjang norma hukum menentukan bahwa
pembuatnya dapat dicela karena melakukan tindak pidana, maka terdapat kesalahan
pada diri pembuatnya. Apabila undang-undang menetapkan suatu tindak pidana
dipertanggungjawabkan secara strict maka pada pembuatnya tetap dipandang memiliki
kesalahan sekalipun tidak ditinjau lebih jauh apakah kesengajaan atau kealpaan yang
meliputi batinnya.48
Strict liability merupakan pertanggungjawaban terhadap pembuat tindak pidana
yang dilakukan tanpa harus membuktikan kesalahannya. Kesalahannya tetap ada,
tetapi tidak harus dibuktikan. Terdakwa dinyatakan bersalah hanya dengan
membuktikan telah dilakukannya tindak pidana. Dengan demikian, fungsi utama strict
liability adalah berkenaan dengan hukum acara dan bukan hukum pidana meteriil.
Strict liability dalam pertanggungjawaban pidana lebih merupakan persoalan
pembuktian, yaitu kesalahan dipandang ada sepanjang telah dipenuhinya unsur
delik.49
Termasuk penyimpangan asas kesalahan selain strict liability terdapat doktrin
vicarious liability, yaitu pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada sesorang
atas perbuatan orang lain. Pertanggungjawaban demikian misalnya terjadi dalam hal
perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang lain itu adalah dalam ruang lingkup
pekerjaan atau jabatan. Jadi pada umumnya terbatas pada kasus-kasus yang
menyangkut hubungan antara majikan dengan buruh, pembantu atau bawahannya.
Dengan demikian, dalam pengertian vicarious liability ini, walaupun seseorang tidak
melakukan sendiri suatu tindak pidana dan tidak mempunyai kesalahan dalam arti
biasa, ia masih dapat dipertanggungjawabkan.50
48 Chairul Huda, op.cit., hlm 86.
49 Ibid., hlm 86-87.
50 Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit., hlm 113-114.
18
Vicarious liability sebenarnya bukan merupakan konsep asli hukum pidana,
melainkan suatu konsep yang diadopsi dari bidang hukum lain. Doktrin ini juga asing
bagi civil law system, karena awalnya berkembang dari common law system. Para ahli
hukum yang memandang vicarious liability sebagai masalah pertanggungjawaban
pidana, melihat hal tersebut sebagai konsep yang bersifat eksepsional.
Pertanggungjawaban yang demikian ini oleh Ashworth dikatakan hanya dapat terjadi
jika terdapat dua keadaan.51
Pertama, apabila terdapat pendelegasian. Where a statute imposes liability on the
owner, licensee or keeper of premises or other property, the courts will make that
person vicariously liable for conduct of any one to whom management of premises has
been delegated. Dengan demikian pemilik, pengurus atau orang pemberi perintah
bertanggungjawab atas perbuatan bawahan yang bekerja untuknya atau sebatas pada
perintahnya. Leigh mengatakan, the offence is essentialy that of the servant, liability for
being ascribed to the master. Tindak pidana yang dilakukan oleh bawahan pada intinya
menjadi tanggung jawab atasannya. Dalam hal tindak pidana korporasi, maka
pertanggungjawaban dapat terjadi baik terhadap individu maupun terhadap korporasi
itu sendiri.
Kedua, dalam hal penafsiran atas perbuatannya, yaitu vicarious liability diterapkan
so long assistant is acting as agent rather than as a private individual. Dengan
demikian, sekalipun tidak ada pendelegasian, tetapi penafsiran atas fakta
perbuatannya menunjukkan bahwa pelaku berbuat bukan dalam kapasitas pribadinya.
Istilah yang populer mengenai hal ini adalah doktrin respondeat superior. Menurut
Alschuler, doktrin ini mulanya merupakan bentuk pertanggungjawaban orang Romawi
terhadap tindak pidana yang dilakukan para budaknya.
Vicarious liability ini berlaku hanya terhadap jenis tindak pidana tertentu menurut
hukum pidana Inggris, yaitu terhadap:
1. Delik yang mensyaratkan kualitas; dan
2. Delik yang mensyaratkan adanya hubungan antara buruh dan majikan.
Jika dibandingkan antara strict liability dan vicarious liability maka jelas bahwa
terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaan yang tampak bahwa baik strict liability
crimes maupun vicarious liability tidak mensyaratkan adanya mens rea atau unsur
kesalahan pada orang yang dituntut pidana. Perbedaannya pada strict liability crimes
pertanggungjawaban pidana bersifat langsung dikenakan kepada pelakunya,
51 Chairul Huda, op.cit., hlm 43.
19
sedangkan pada vicarious liability pertanggungjawaban pidana bersifat tidak
langsung.52
Pertanggungjawaban pidana yang umumnya hanya dapat terjadi jika pada diri
pembuat terdapat kesalahan, dengan vicarious liability mendapat perkecualian. Apabila
diikuti konstruksi ini, maka dalam vicarious liability seseorang dipandang
bertanggungjawab atas kesalahan orang lain. Dalam vicarious liability dikecualikan
adanya actus reus, tetapi seseorang dipertanggungjawabkan atas actus reus yang
dilakukan orang lain. Pengecualiannya bukan pada kesalahan tetapi pada
perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana tanpa adanya tindak pidana yang
dilakukan (orang dipertanggungjawabkan), tetapi tindak pidana yang dilakukan
seseorang dipertanggungjawabkan terhadap orang lain.53
Hukum Inggris menghubungkan vicarious liability dengan pertanggungjawaban
korporasi. Korporasi berbuat dengan peranan orang. Apabila orang ini melanggar
suatu ketentuan undang-undang maka menjadi pertanyaan apakah korporasi yang
dipertanggungjawabkan. Pada tahun 1944 korporasi dimungkinkan bertanggungjawab
dalam hukum pidana, baik sebagai pembuat maupun peserta untuk tiap delik,
meskipun waktu itu disyaratkan adanya mens rea dengan menggunakan asas
identifikasi. Jadi korporasi dipersamakan dengan orang pribadi berdasarkan asas
identifikasi.
Perkembangan teknologi dan industri membawa resiko besar termasuk bisa
mengakibatkan kerugian yang luas. Terlebih jika yang menjadi korban adalah
masyarakat luas akibat aktivitas dibidang perekonomian dan perdagangan yang
melibatkan badan hukum. Tantangan timbul karena sangat sulit untuk membuktikan
adanya kesalahan pada korporasi, sebab yang mempunyai kesalahan pada umumnya
yang diterima adalah orang. Demi memudahkan sistem pertanggungjawaban pidana
untuk korporasi maka terdapat penyimpangan dari asas kesalahan dengan menganut
doktrin strict liability dan vicarious liability.54
D. Konsep Stelsel Pemidanaan
Pidana memberikan nestapa kepada pembuat delik. Namun, penjatuhan pidana
yang mengakibatkan nestapa bukanlah tujuan utama dari pidana, melainkan masih
terdapat upaya melalui tindakan-tindakan. Fokus sanksi pidana tertuju pada perbuatan
pengenaan penderitaan, sehingga terarah pada upaya memberi pertolongan agar
52 Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit., hlm 114.
53 Chairul Huda, op.cit., hlm 45.
54 Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit., hlm 118-120.
20
pelaku berubah. Sedangkan sanksi tindakan bersumber ide dasar perlindungan
masyarakat, pembinaan, dan perawatan bagi terpidana.55
Hukum pidana menentukan perbuatan-perbuatan apa yang perlu diancam dengan
hukum pidana dan jenis pidana serta cara penerapannya sehingga kedudukan sanksi
sangatlah penting. Namun, penerapan hukum pidana tidak selalu berakhir dengan
penjatuhan pidana, tetapi dikenal juga asas oportunitas yang disebut pardon,
disamping dikenal juga jenis sanksi yang disebut tindakan, yang dalam hukum pidana
ekonomi sangat luas, ada tindakan tata tertib sementara yang dikenakan oleh jaksa
dan ada tindakan tata tertib yang dikenakan oleh hakim, juga ada sistem penundaan
pidana dan pidana bersyarat.56
KUHP menempatkan urutan pidana mulai dari yang
terberat menuju urutan pidana yang lebih ringan. Pasal 10 KUHP menentukan pidana
terdiri dari:
1. Pidana pokok:
a. Pidana mati
b. Pidana penjara
c. Pidana kurungan
d. Pidana denda
2. Pidana tambahan:
1. Pencabutan hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim.
Sampai saat ini, pidana mati masih tercantum dalam KUHP. Berbeda dengan
wetboek van strfafrecht Nederland yang telah menghapus pidana mati sejak 1870.
Selain dalam KUHP pidana mati juga tercantum dalam berbagai undang-undang.
Pemberlakuan pidana mati merupakan perdebatan hampir di seluruh negara di dunia.
Terdapat kelompok yang mendukung pidana mati (retensionis) juga terdapat kelompok
yang menuntut penghapusan pidana mati(abolisionis).
Dalam perkembangannya, semakin banyak negara yang menghapus pidana mati.
Secara umum Roger Hood membagi negara-negara di dunia kaitannya dengan
pemberkaluan pidana mati. Pertama, negara-negara yang menghapus pidana mati
untuk semua kejahatan. Kedua, negara-negara yang menghapus pidana mati untuk
55 Syaiful Bakhri, 2009, Perkembangan Stelsel Pidana Indonesia, Kreasi Total Media,
Yogyakarta, hlm 1-2.
56 Ibid., hlm 2-3.
21
kejahatan biasa. Ketiga, negara-negara yang menghapus pidana mati secara de facto.
Keempat, negara-negara yang mempertahankan pidana mati.57
Perdebatan menganai pidana mati sudah berlangsung sejak zaman abad ke 18.
Sedangkan penerapannya di Hindia Belanda ditujukan untuk mengatasi keadaan
khusus mengingat banyaknya gangguan ketertiban, tentu saja yang mengancam
pemerintahan kolonial. Sebagai negeri jajahan yang memiliki wilayah luas dan
keragaman penduduk, pidana mati dianggap penting untuk menjamin ketertiban
umum. Adapun dipertahankannya pidana mati di Indonesia sampai sekarang banyak
didukung oleh alasan adanya beberapa tindak pidana yang sangat membahayakan
masyarakat luas, sehingga diperlukan ancaman pidana paling berat yaitu pidana mati.
Kelompok yang menuntut penghapusan pidana mati banyak dilatarbelakangi alasan
hak hidup sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun.
Jenis pidana pokok kedua adalah pidana penjara. Pidana penjara sebagai bentuk
pencabutan kemerdekaan sudah dikenal sejak ribuan tahun lalu. Tujuan pidana
penjara awalnya menjamin pengamanan narapidana dan memberinya kesempatan
untuk rehabilitasi. Selain itu pidana ini pada masa dahulu juga digunakan sebagai
bentuk pengasingan narapidana dari masyarakat.
Seiring perkembangan zaman pidana penjara terus disesuaikan agar sejalan
dengan perikemanusiaan. Variasi pidana penjara mulai dari pidana sementara minimal
satu hari sampai penjara seumur hidup. Pidana penjara seumur hidup tercantum di
mana ada ancaman pidana mati. Terhadap pidana penjara seumur hidup muncul
banyak keberatan karena dipandang tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan yaitu
memperbaiki terpidana agar dapat kembali menjadi anggota masyarakat yang baik.
Pidana penjara seumur hidup lebih dekat kepada tujuan pemidanaan sebagai
pembalasan.
Menurut Andi Hamzah, pidana penjara disebut pidana hilang kemerdekaan, bukan
saja dalam arti sempit bahwa ia tidak merdeka bepergian, tetapi juga narapidana itu
kehilangan hak tertentu, seperti di bawah ini:58
1. Hak memilih dan dipilih;
2. Hak memangku jabatan publik;
3. Sering pula diharuskan bekerja di perusahaan tertentu;
4. Hak mendapatkan perizinan tertentu;
57 Andi Hamzah, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Perkembangannya, Sofmedia,
Jakarta, hlm 247.
58 Ibid., hlm 254-255.
22
5. Hak mengadakan asuransi hidup;
6. Hak untuk tetap dalam ikatan perkawinan, karena bisa menjadi alasan untuk
meminta perceraian;
7. Hak kawin, meskipun adakalanya seseorang kawin sementara menjalani
pidana penjara, itu merupakan keadaan luar biasa dan hanya formalitas belaka;
dan
8. Dan hak sipil lainnnya.
Banyaknya konsekuensi yang harus ditanggung oleh terpidana yang menjalani
pidana penjara dirasakan tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan untuk merehabilitasi
seseorang. Adapun pidana penjara membutuhkan pembiayaan besar melalui anggaran
negara. Sedangkan efektivitasnya dalam merehabilitasi narapaidana juga masih
banyak diragukan. Oleh karena itulah, perkembangan jenis pidana di banyak negara
khususnya pada tindak pidana yang dikategorikan ringan tidak lagi mengutamakan
pidana penjara, tetapi menggantinya dengan jenis pidana lain misalnya denda.
Selanjutnya adalah pidana kurungan. Pidana kurungan pada dasarnya mempunyai
dua fungsi, pertama sebagai custodia honesta untuk delik yang tidak menyangkut
kejahatan kesusilaan. Yaitu delik-delik kulpa dan beberapa delik dolus, seperti
perkelahian satu lawan satu dan pailit sederhana. Sedangkan fungsi kedua sebagai
custodia simplex yaitu perampasan kemerdekaan untuk pelanggaran.59
Pidana kurungan jangka waktunya lebih pendek dari pada pinda penjara sehingga
sering dipahami bahwa pidana kurungan lebih ringan dari pada pidana penjara. Selain
itu juga terlihat dari urutannya, pidana kurungan di tempatkan di bawah pidana penjara.
Pidana kurungan juga terdapat pekerjaan yang dibebankan pada terpidana, tetapi lebih
ringan dari pada pidana penjara. Pidana kurungan sering dijadikan sebagai pidana
pengganti apabila pidana denda tidak dibayar.
Jenis pidana pokok keempat adalah pidana denda. Pidana denda seringkali
dianggap bertolak belakang dengan pidana penjara. Pemikiran untuk meminimalisasi
pidana penjara sekaligus mengusulkan pidana denda untuk diutamakan. Pidana
penjara dianggap terlalu berat untuk dijalani bagi terpidana, membebani anggaran
negara, dan sering tidak dapat memenuhi tujuan pemidanaan. Sedangkan pidana
denda dianggap dapat menghindari biaya sosial yang dikeluarkan untuk memelihara
59 Syaiful Bakhri, op.cit., hlm 96.
23
penjara, menghindari penahanan yang tidak perlu, dan menghindari penyia-nyiaan
modal manusia yang tidak berguna di dalam penjara.60
Perkembangan pemikiran para ahli pidana dan ahli filsafat pemidanaan mengenai
tujuan yang harus dijadikan pedoman dalam menyelenggarakan pemidanaan
mencerminkan sikap untuk sedapat mungkin membatasi penggunaan pidana penjara.
Pidana penjara telah banyak dijadikan sebagai pangkal tolak pengkajian mengenai
tujuan pemidanaan.61
Pada zaman modern ini pidana denda banyak diterapkan terhadap tindak pidana
ringan maupun pelanggaran. Namun, arah perkembangannya pidana denda juga
banyak diterapkan pada tindak pidana yang dipandang berat, meskipun masih sering
digabungkan secara kumulatif dengan pidana penjara. Pidana denda mempunyai sifat
perdata, mirip dengan pembayaran yang diharuskan dalam perkara perdata terhadap
orang yang melakukan perbuatan yang merugikan orang lian. Perbedaannya ialah
pidana denda dibayarkan kepada negara sedangkan denda dalam perkara perdata
dibayarkan kepada pribadi atau badan hukum.62
Pemikiran untuk semakin meminimalisir pidana penjara dengan memperlunak,
memperbaiki kondisinya, bahkan sejauh mungkin diganti pidana alternatif bertolak
belakang dengan upaya menjadikan pidana denda sebagai pilihan utama, diperberat,
dan ditingkatkan ancamannya. Upaya memaksimalkan pidana denda ditandai dengan
adanaya perkembangan penemuan model-model eksekusi pidana denda. Jika pidana
denda belum dapat dibayar maka harus diangsur dan tidak boleh diganti dengan
pidana kurungan pengganti.63
Pidana denda semakin memiliki arti pada perkembangan pidana dengan
menjadikan korporasi sebagai subjek pidana. Jenis pidana yang paling tepat
diancamkan pada korporasi pelaku tindak pidana adalah denda, karena korporasi
bukanlah manusia yang dapat dipidana penjara.
Selain pidana pokok, stelsel pemidanaan mengenal pidana tambahan. Pidana
tambahan diserahkan pada hakim untuk dijatuhkan atau tidak kepada terpidana.
Seperti namanya, pidana tambahan hanya bersifat tambahan terhadap pidana pokok.
Dengan demikian, pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan sendiri tanpa pidana
pokoknya.
60 Ibid., hlm 2-3.
61 Ibid., hlm 4.
62 Andi Hamzah, op.cit., hlm 264.
63 Syaiful Bakhri, op.cit., hlm 15.
24
Ada tiga jenis pidana tambahan. Pertama, pencabutan hak tertentu. Jenis pidana
ini hanya untuk delik yang tegas ditentukan oleh undang-undang. Hak yang dicabut
seperti tercantum dalam Pasal 35 KUHP ayat (1) sebagai berikut:
1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;
2. Hak memasuki angkatan bersenjata;
3. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-
aturan umum;
4. Hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak
menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang
yang bukan anak sendiri;
5. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan
atas anak sendiri; dan
6. Hak menjalankan mata pencarian tertentu.
Kedua, pidana perampasan. Pidana perampasan merupakan pidana yang
berkaitan dengan harta benda. Terdapat dua macam barang terpidana yang dapat
dirampas, yaitu barang-barang yang diduga merupakan hasil kejahatan dan barang-
barang yang digunakan dalam kejahatan. Lengkapnya pasal 39 KUHP mengatur
tentang pidana perampasan sebagai berikut:
1. Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang
sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas;
2. Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja
atau karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan
berdasarkan hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang; dan
3. Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan
kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita.
Ketiga, pengumuman putusan hakim. Pengumuman putusan hakim hanya
dijatuhkan pada pidana tertentu sesuai ketentuan undang-undang, misalnya kejahatan
penggelapan dan kejahatan curang. Pengumuman putusan hakim merupakan bentuk
pidana tambahan yang bertujuan agar masyarakat memperhatikan atau waspada
terhadap tindak pidana tertentu.
Pengumuman putusan hakim sebagai pidana tambahan mempunyai perbedaan
dengan pengumuman dalam surat-surat kabar. Dalam pengumuman putusan hakim
25
biaya dibayar oleh terpidana. Sedangkan kesamaannya adalah keduanya sama-sama
merugikan nama baik yang diumumkan.64
E. Tindak Pidana Korupsi
Dilihat dari segi peristilahatan, kata ‘korupsi’ berasal dari bahasa latin corruptio65
atau menurut Webster Student Dictionary adalah corruptus. Selanjutnya disebutkan
bahwa corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata Latin yang lebih
tua. Dari Bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa di eropa seperti Inggris:
corruption, corrupt; Perancis: corruption; dan Belanda: corruptie (korruptie). Dapat
diduga istilah korupsi berasal dari bahasa Belanda ini yang kemudian diadopsi ke
dalam bahasa Indonesia: "korupsi".
Arti harfiah dari kata itu ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran,
dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan
yang menghina atau memfitnah. Arti kata korupsi yang telah diterima dalam
perbendaharaan kata bahasa Indonesia itu, disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia: "Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti
penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya."66
Di Malaysia terdapat juga peraturan antikorupsi. Akan tetapi di Malaysia tidak
digunakan kata ’korupsi’, melainkan kata peraturan "anti-kerakusan". Sering pula
Malaysia menggunakan istilah resuah yang tentulah berasal dari bahasa Arab (riswah).
Menurut kamus Arab-Indonesia, riswah artinya sama dengan korupsi.67
Dengan
pengertian korupsi secara harfiah itu dapatlah ditarik suatu kesimpulan, bahwa
sesungguhnya korupsi itu sebagai suatu istilah sangat luas artinya. Seperti disimpulkan
dalam Encyclopedia Americana, korupsi itu adalah suatu hal yang bermacam-ragam
artinya, bervariasi menurut waktu, tempat dan bangsa.
Dengan demikian, pendekatan yang dapat dilakukan terhadap masalah korupsi
bermacam-macam pula, dan artinya sesuai pula dari segi mana kita mendekati
masalah itu. Pendekatan sosiologis misalnya, seperti halnya yang dilakukan oleh Syed
Hussein Alatas dalam bukunya The Sociology of Corruption, akan lain artinya kalau
kita melakukan pendekatan normatif; begitu pula dengan politik ataupun ekonomi.
Misalnya Alatas, memasukkan nepotisme sebagai kelompok korupsi dalam
64 Andi Hamzah, op.cit., hlm 276.
65 Fockemma, S.J. Andreae, 1951, Rechtsgeleerd Handwoordenboek, Groningen-Djakarta:Bij J.B.
Wolter Uitgeversmaatschappij N.V sebagaimana di kutip Andi Hamzah, 1984, Korupsi di Indonesia
Masalah dan Pemecahannya, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm 7.
66 W.J.S Poerwadarminta, 1982, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hlm 524.
67 Andi Hamzah, op.cit., hlm 8.
26
klasifikasinya memasang keluarga atau teman pada posisi pemerintahan tanpa
memenuhi persyaratan untuk itu. Tentunya hal seperti ini sangat sukar dicari normanya
dalam hukum pidana di Indonesia.
Begitu pula Mubyarto menyorot korupsi dan penyuapan dari segi politik dan
ekonomi yang mengutip pendapat Smith sebagai berikut bahwa secara keseluruhan
korupsi di Indonesia muncul lebih sering sebagai masalah politik dari pada
ekonomi. Ia menyentuh keabsahan (legitimasi) pemerintah di mana generasi
muda, kaum elite terdidik dan pegawai negeri pada umumnya. Korupsi
mengurangi dukungan pada pemerintah dari kelompok elite di tingkat propinsi dan
kabupaten.68
Masih dalam perspektif ekonomi, David M. Chalmers menguraikan pengertian
korupsi sebagai tindakan manipulasi dan keputusan mengenai keuangan yang
membahayakan ekonomi dalam pernyataannya, ”financial manipulations and
decision injurious to the economy are often libeled corruption”.69
Hafidhuddin mencoba memberikan gambaran korupsi dalam perspektif ajaran
Islam. Ia menyatakan bahwa dalam Islam korupsi termasuk perbuatan fasad atau
perbuatan yang merusak tatanan kehidupan. Pengertian fasad sendiri dapat
diterjemahkan sebagai segala perbuatan yang menyebabkan hancurnya
kemaslahatan dan kemanfaatan hidup, seperti membuat teror yang membuat
orang takut, membunuh, melukai, dan mengambil atau merampas harta orang
lain.70
Menurut Mahzar, istilah korupsi secara umum berarti ”berbagai tindakan gelap
dan tidak sah untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok. Ia lalu
menambahkan bahwa dalam perkembangannya, dari beragam pengertian korupsi
terdapat penekanan yang dilakukan sejumlah ahli dalam mendefenisikan korupsi,
yakni penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan publik untuk kepentingan
pribadi”. Pengertian ini mengingatkan kita pada ungkapan Lord Acton, ”Power
tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely”. Maknanya, korupsi muncul
bilamana terjadi penyalahgunaan kekuasaan terlebih bila kekuasaan itu bersifat
absolut atau mutlak, maka korupsi akan semakin menggejala.
68 Mubyarto, Ilmu Ekonomi, Ilmu Sosial dan Keadilan, Yayasan Agro Ekonomika, Jakarta, hlm
60.
69 Jeremy Pope, 2003, Strategi memberantas Korupsi, Elemen Sistem Integritas Nasional,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm 6.
70 Mansyur Semma, 2008, Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis atas Negara, Manusia
Indonesia, dan Perilaku Politik, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm 33.
27
Berbicara tentang suatu kejahatan dari perspektif kriminologi jauh lebih luas bila
dibandingkan dengan sudut pandang hukum pidana. Kendatipun demikian antara
kriminologi dan hukum pidana ibarat dua sisi dari satu mata uang meskipun berbeda
objek dan tujuan. Ilmu hukum pidana berobjekan aturan-aturan hukum yang berkaitan
dengan pidana dan bertujuan untuk menggunakan dengan sebaik-baiknya dan seadil-
adilnya. Sedangkan kriminologi mempunyai objek orang yang melakukan kejahatan
dan bertujuan memahami mengapa seseorang berbuat kejahatan.71
Selain itu pandangan tentang suatu kejahatan dari ilmu hukum pidana hanyalah
sebatas legal definition of crime, artinya suatu perbuatan yang oleh negara telah diberi
label sebagai suatu kejahatan. Sebagaimana yang dikatakan oleh W.A. Bonger bahwa
kejahatan adalah perbuatan antisosial yang secara sadar mendapat reaksi negara
berupa pemberian derita dan kemudian sebagai reaksi terhadap rumusan-rumusan
hukum mengenai kejahatan72
.
Sedangkan kejahatan dari aspek kriminologi tidak hanya menyangkut legal
definition of crime tetapi juga menyangkut social definition of crime. Artinya, suatu
perbuatan meskipun belum diberi label oleh negara sebagai suatu kejahatan namun
oleh masyarakat telah diberi label sebagai suatu kejahatan apabila perbuatan tersebut
dianggap menyimpang dari norma atau kebiasaan masyarakat setempat.
Dalam konteks kriminologi atau ilmu tentang kejahatan, ada sembilan tipe korupsi
yaitu:
1. Political bribery adalah termasuk kekuasaan di bidang legislatif sebagai badan
pembentuk undang-undang. Secara politis badan tersebut dikendalikan oleh
suatu kepentingan karena dana yang dikeluarkan pada masa pemilihan umum
sering berkaitan dengan aktivitas perusahaan tertentu. Para pengusaha
berharap anggota yang duduk di parlemen dapat membuat aturan yang
menguntungkan mereka;
2. Political kickbacks, yaitu kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan sistem
kontrak pekerjaan borongan antara pejabat pelaksana dan pengusaha yang
memberi peluang untuk mendatangkan banyak uang bagi pihak yang
bersangkutan;
3. Election fraud adalah korupsi yang berkaitan langsung dengan kecurangan
pemilihan umum;
71 Moeljatno, 2000, Azas-Azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, hlm 13.
72 Soerjono Soekanto, Hengkie Liklikuwata, Mulyana W. Kusuma, 1981, Kriminologi Suatu
Pengantar, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm 21.
28
4. Corrupt campaign practice adalah praktek kampanye dengan menggunakan
fasilitas negara maupun uang negara oleh calon yang sedang memegang
kekuasaan negara;73
5. Discretionery corruption yaitu korupsi yang dilakukan karena ada kebebasan
dalam menentukan kebijakan;
6. Illegal corruption yakni korupsi yang dilakukan dengan mengacaukan bahasa
hukum atau interpretasi hukum. Tipe korupsi ini rentan dilakukan oleh aparat
penegak hukum, baik itu polisi, jaksa, pengacara, maupun hakim;
7. Ideological corruption ialah perpaduan antara discretionery corruption dan
illegal corruption yang dilakukan untuk tujuan kelompok;
8. Political corruption adalah penyelewengan kekuasaan atau kewenangan yang
dipercayakan kepadanya untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau
kelompok yang berkaitan dengan kekuasaan; dan
9. Mercenary corruption yaitu menyalahgunakan kekuasaan semata-mata untuk
kepentingan pribadi.
Dalam konteks hukum pidana Indonesia, tidak semua tipe korupsi yang dikenal
dalam kriminologi dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Oleh karena itu,
perbuatan apa saja yang dinyatakan sebagai korupsi mesti merujuk pada undang-
undang pemberantasan korupsi, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999
jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam Konvensi PBB mengenai antikorupsi tidak terdapat satu pasal pun yang
berkaitan dengan definisi korupsi menurut konvensi tersebut. Namun, dalam Bab III
Konvensi yang terdiri dari 11 pasal (Pasal 15 sampai dengan Pasal 25), mewajibkan
negara-negara yang menandatangani konvensi untuk mengatur sejumlah tindakan
dalam undang-undang nasional masing-masing negara yang dikualifikasikan sebagai
korupsi. Adapun tindakan tersebut sebagai berikut:
1. Bribery of national public officials atau penyuapan pejabat-pejabat publik
nasional. Inti dari tindakan tersebut adalah janji, menawarkan atau
memberikan kepada seorang pejabat publik, secara langsung atau tidak
langsung suatu keuntungan yang layak untuk pejabat itu sendiri atau untuk
orang lain atau badan hukum, agar pejabat itu bertindak atau menahan diri
dari melakukan suatu tindakan dalam melaksanakan tugas resminya.
Demikian pula tindakan permohonan atau penerimaan oleh seorang pejabat
73 Ibid., hlm 295-297.
29
publik, secara langsung atau tidak langsung suatu keuntungan yang layak
untuk pejabat itu sendiri atau untuk orang lain atau badan hukum, agar
pejabat itu bertindak atau menahan diri dari melakukan suatu tindakan dalam
melaksanakan tugas resminya;
2. Bribery of foreign public officials and officials of public international
organizations atau penyuapan pejabat-pejabat publik asing dan pejabat-
pejabat dari oraganisasi-organisasi international publik. Tindakan-tindakan
tersebut meliputi dengan sengaja menjanjikan, menawarkan atau memberikan
kepada seorang pejabat publik asing atau seorang pejabat dari suatu
organisasi internasional publik, secara langsung atau tidak langsung suatu
keuntungan yang layak untuk pejabat itu sendiri atau untuk orang lain atau
badan hukum, agar pejabat itu bertindak atau menahan diri dari melakukan
suatu tindakan dalam melaksanakan tugas resminya, guna memperoleh atau
mempertahankan bisnis atau keuntungan lain yang tidak layak berkaitan
dengan perilaku bisnis internasional. Demikian pula tindakan-ptindakan yang
meliputi sengaja memohon atau menerima oleh seorang pejabat publik asing
atau seorang pejabat dari suatu organisasi internasional publik, secara
langsung atau tidak langsung suatu keuntungan yang layak untuk pejabat itu
sendiri atau untuk orang lain atau badan hukum, agar pejabat itu bertindak
atau menahan diri dari melakukan suatu tindakan dalam melaksanakan tugas
resminya;
3. Embezzlement, misappropriation or other diversion of property by a public
official atau penggelapan, penyelewengan atau pengalihan kekayaan dengan
cara lain oleh pejabat publik. Tindakan tersebut adalah menggelapkan,
menyelewengkan atau mengalihkan dengan cara lain oleh pejabat publik
untuk keuntungan dirnya sendiri atau untuk keuntungan orang lain atau badan
lain, kekayaan, dana-dana publik atau perorangan atau sekuritas atau segala
sesuatu yang bernilai yang dipercayakan kepada pejabat publik itu
berdasarkan kedudukannya;
4. Trading in influence atau memperdagangkan pengaruh. Kualifikasi tindakan
tersebut adalah dengan sengaja menjanjikan, menawarkan atau memberikan
kepada seorang pejabat publik atau orang lain, secara langsung atau tidak
langsung, suatu keuntungan yang tidak semestinya, agar pejabat publik atau
orang itu menyalahgunakan pengaruhnya yang nyata atau yang diperkirakan
dengan maksud untuk memperoleh otoritas administrasi atau otoritas publik
30
dari negara, suatu keuntungan yang tidak semestinya. Demikian pula tindakan
memohon atau menerima dari pejabat publik atau orang lain secara langsung
atau tidak langsung, suatu keuntungan yang tidak semestinya, agar pejabat
publik atau orang itu menyalahgunakan pengaruhnya yang nyata atau yang
diperkirakan dengan maksud untuk memperoleh otoritas administrasi atau
otoritas publik dari negara, suatu keuntungan yang tidak semestinya;
5. Abuse of function atau penyalahgunaan fungsi. Kualifikasi tindakan tersebut
adalah dengan sengaja menyalahgunakan fungsi atau kedudukan dengan
melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan secara melawan hukum oleh
seorang pejabat publik dalam melaksanakan fungsinya dengan maksud untuk
memperoleh suatu keuntungan yang tidak semestinya untuk dirinya sediri
atau untuk orang lain atau badan lain;
6. Illicit enrichment atau memperkaya secara tidak sah yaitu dengan sengaja
memperkaya secara tidak sah berupa suatu kenaikan yang berarti dari aset-
aset seorang pejabat publik yang tidak dapat dijelaskan secara masuk akal
berkaitan dengan pendapatannya yang sah;
7. Bribery in the private sector atau penyuapan di sektor swasta berupa tindakan
yang menjanjikan, menawarkan atau memberikan secara langsung atau tidak
langsung suatu keuntungan yang tidak semestinya kepada seseorang yang
memimpin atau bekerja dalam suatu kapasitas untuk suatu badan di sektor
swasta, untuk dirinya sendiri atau orang lain, agar ia dengan melanggar tugas-
tugasnya, melakukan sesuatu atau menahan diri dari melakukan suatu
tindakan. Demikian pula tindakan berupa memohon atau menerima secara
langsung atau tidak langsung suatu keuntungan yang tidak semestinya yang
dilakukan oleh seseorang yang memimpin atau bekerja dalam suatu kapasitas
apapun untuk suatu badan sektor swasta, untuk dirinya sendiri atau orang
lain, agar ia secara melawan hak, melakukan sesuatu atau menahan diri
untuk melakukan sesuatu;
8. Emblezzement of property in the private sector atau penggelapan kekayaan
dalam sektor swasta yaitu tindakan dengan sengaja dalam menjalankan
kegiatan-kegiatan ekonomi, keuangan atau perdagangan, menggelapkan oleh
seseorang yang memimpin atau bekerja dalam kapasitas apapun dalam suatu
badan di sektor swasta atas suatu kekayaan, dana-dana pribadi atau
sekuritas atau segala sesuatu yang bernilai yang dipercayakan kepadanya
karena kedudukannya;
31
9. Laundering of proceeds of crime atau pencucian hasil kejahatan yaitu
tindakan dengan sengaja mengkonversi atau mentransfer kekayaan padahal
diketahuinya bahwa kekayaan tersebut merupakan hasil kejahatan dengan
maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan
itu atau membantu seseorang yang terlibat dalam melakukan kejahatan asal
untuk menghindari akibat hukum dari tindakannya. Penyembunyian atau
penyamaran sifat, sumber, lokasi, kedudukan, pergerakan atau kepemilikan
dari atau hak-hak yang sesungguhnya berkenaan dengan kekayaan,
mengetahui kekayaan tersebut merupakan hasil kejahatan;
10. Concealment atau penyembunyian yaitu tindakan dengan sengaja, setelah
dilakukannya salah satu dari kejahatan-kejahatan yang ditetapkan menurut
konvensi ini, tanpa turut serta dalam kejahatan-kejahatan tersebut; dan
11. Obstruction of justice atau perbuatan menghalang-halangi proses pengadilan
yaitu tindakan dengan sengaja menggunakan kekuatan fisik, ancaman atau
intimidasi atau janji yang menawarkan atau memberikan suatu keuntungan
yang tidak wajar untuk mendorong diberikannya kesaksian palsu atau untuk
turut campur dalam pemberian kesaksian atau dalam pengajuan bukti-bukti
dalam suatu persidangan berkenaan dengan kejahatan-kejahatan yang
ditetapkan dalam konvensi ini. Demikian pula tindakan penggunaan kekuatan
fisik, ancaman atau intimidasi untuk turut campur tangan dalam pelaksanaan
tugas-tugas resmi seorang hakim atau seorang pejabat penegak hukum
dalam hubungannya dengan kejahatan-kejahatan yang ditetapkan dalam
konvensi ini.
Hukum positif Indonesia sudah mengenal aturan pemberantasan korupsi sejak
tahun 1957. KUHP memang sudah mengategorikan beberapa perbuatan seperti
penggelapan dan kejahatan yang dilakukan penyelenggara negara. Akan tetapi, aturan
hukum yang secara tegas menyatakan korupsi sebagai kejahatan (kriminalisasi
korupsi) dimulai sejak Peraturan Penguasa Militer Angkatan Darat dan Laut Nomor
Prt/PM/06/1957 tertanggal 9 April 1957. Peraturan tersebut diterbitkan oleh Kepala Staf
Angkatan Darat selaku penguasa militer atas angkatan darat seluruh Indonesia.
Kemudian pada tahun 1960 ditetapkan UU Nomor 24/Prp/1960 tentang
Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi; tahun 1971
diterbitkan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi; tahun 1999, pasca gerakan reformasi, disahkan Undang-undang
32
Nomor 31 tahun 1999 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dua Undang-undang yang
disebutkan terakhir masih berlaku hingga saat ini.
Terhitung sejak tahun 2003, Indonesia telah menandatangani United Nations
Convention Against Corruption (UNCAC) atau Kovensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Untuk Melawan Korupsi. konvensi tersebut telah diratifikasi melalui UU Nomor 7
Tahun 2006. Posisi Indonesia sebagai salah satu negara pihak memberikan kewajiban
untuk menyesuaikan dan mengimplementasikan norma UNCAC dalam hukum positif
Indonesia. Dengan demikian, beberapa aturan mengenai tindak pidana korupsi yang
pernah terbit menandakan bahwa Indonesia mulai gencar melakukan perlawanan
memberantas korupsi.
33
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian “Pemidanaan Korporasi atas Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”
ditentukan sebagai penelitian hukum. Penelitian hukum juga menjadi bagian dari
penelitian pada umumnya. Namun demikian, penelitian hukum khusus diterapkan
kepada ilmu hukum saja.74
Ilmu hukum yang dimaksud adalah ilmu hukum dalam
kerangka hukum positif yang terdiri dari tiga bagian, (i) kajian tentang isi ketentuan
hukum positif; (ii) kajian tentang penerapan ketentuan hukum positif; dan (iii) kajian
tentang pembentukan hukum positif.75
Penelitian ini akan mengkaji isi dan penerapan
undang-undang antikorupsi dalam menjerat korporasi.
Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep
baru sebagai preskripsi untuk menyelesaikan masalah, sehingga jawaban yang
diinginkan dalam penelitian hukum bukan benar atau salah (true or false), tetapi tepat
atau tidak tepat (right, appropriate, inappropriate, or wrong).76
Dari segi data yang diperoleh, Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji77
membagi
jenis penelitian hukum menjadi dua. Pertama, penelitian yang dilakukan dengan cara
meneliti bahan pustaka atau data sekunder disebut penelitian hukum normatif atau
penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif mencakup penelitian
terhadap asas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi (vertikal dan horizontal) hukum,
perbandingan hukum, dan sejarah hukum.
Kedua, penelitian yang dilakukan dengan meneliti data dasar yang diperoleh
langsung dari lapangan (data primer atau data dasar) yang dinamakan dengan
penelitian hukum sosiologis atau penelitian hukum empiris, yang meliputi penelitian
terhadap identifikasi hukum dan efektivitas hukum.78
74 F. Sugeng Istanto, 2007 cetakan ke-1, Penelitian Hukum, CV Ganda, Yogyakarta, hlm 29.
75 Ibid., hlm 31. Bandingkan dengan Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1983, Penelitian
Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 3-4, yang membagi
disiplin hukum dalam tiga bagian, (i) ilmu tentang kaidah hukum “normwissenschaft”, yang
membahas tentang masalah perumusan kaidah hukum; (ii) ilmu tentang pengertian pokok dalam
hukum “begriffenwissenscahft”, ilmu yang menelaah masyarakat hukum, sbujek hukum, hak dan
kewajiban hukum, serta objek hukum; (iii) ilmu tentang kenyataan hukum “tatsachenwissenschaft”,
yakni ilmu tentang kenyataan hukum.
76 Peter Mahmud Marzuki, 2010 cetakan ke-6, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, hlm 35.
77 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, op.cit., hlm 13-14.
78 Bambang Sunggono, 2011 cetakan ke-12, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hlm 42.
34
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, penelitian ini ditujukan untuk mengetahui
isi dan potensi penerapan undang-undang antikorupsi untuk menjerat korporasi yang
diduga melakukan tindak pidana korupsi.
B. Cara Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini ditentukan dua jenis data, data sekunder (data normatif atau
kepustakaan) dan data primer (data empiris). Data sekunder dalam penelitian ini
diperoleh dari bahan pustaka.79
Dalam penelitian umumnya, data sekunder disebut
pula dengan data tangan kedua, yakni data yang diperoleh secara tidak langsung dari
subjek yang diteliti. Data sekunder biasanya berwujud dokumentasi atau laporan.80
Maria S.W. Soemarjono mengatakan, data sekunder dalam penelitian hukum dapat
diperoleh dari berbagai instansi, seperti, keputusan pengadilan, berbagai data statistik
yang menunjang analisis topik penelitian, berbagai dokumen resmi serta hasil
penelitian yang berbentuk laporan.81
Sedangkan Soerjono Soekanto membagi data sekunder dalam tata urut sebagai
berikut,82
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, berupa,
1) Norma dasar atau kaidah dasar;
2) Peraturan dasar;
3) Peraturan perundang-undangan;
4) Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, seperti hukum adat;
5) Yurisprudensi;
6) Traktat; dan
7) Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku.
b. Bahan hukum sekunder, yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum
primer, seperti,
1) Rancangan undang-undang;
2) Hasil penelitian; dan
3) Hasil karya dari kalangan hukum.
79 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, op.cit., hlm 12.
80 Saefuddin Azwar, 2010, Metode Penelitian, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm 91.
81 Maria S.W. Soemarjono, 1997, Pedoman Pembuatan Usul Penelitian: Sebuah Panduan Dasar,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm 28.
82 Lihat, Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, op.cit., hlm 13. Bandingkan dengan Burhan
Ashshofa, 1996 cetakan ke-1, Metode Penelitian Hukum, PT Rineka Cipta, Jakarta, hlm 103-104.
Bambang Sunggono, op.cit., hlm 113-114. Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode
Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 31-32. Peter Mahmud Marzuki, op.cit.,
hlm 141-144.
35
c. Bahan hukum tertier, bahan hukum yang memberi petunjuk atau penjelasan
terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, misalnya,
1) Kamus;
2) Ensiklopedia; dan
3) Indeks kumulatif.
Cara mencari data yang diperlukan dalam menjawab permasalahan pada
umumnya dibedakan menjadi tiga, yaitu (i) studi pustaka; (ii) studi lapangan; dan (iii)
studi laboratorium. Untuk penelitian hukum, cara mencari data dapat dilakukan dengan
studi pustaka dan studi lapangan. Studi pustaka penelitian hukum dilakukan dengan
menelusuri buku dan tulisan yang terkait dengan bidang ilmu hukum.83
Berdasarkan cara pengumpulan data tersebut, pengumpulan data sekunder dalam
penelitian ini dilakukan dengan cara studi pustaka atau studi dokumen, yakni dengan
cara mengumpulkan data sekunder—baik yang berupa bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, bahan hukum tersier—yang berkaitan dengan topik permasalahan
yang diteliti dalam penelitian ini. Data sekunder masuk dalam kerangka metode
penelitian hukum normatif.
Bahan hukum primer dalam penelitian ini yang berupa dokumen peraturan
perundang-undangan Indonesia menjadi bahan utama yang ditelaah. Dilanjutkan
dengan bahan hukum sekunder berupa karya buku dari sarjana ilmu hukum serta
karya hukum lainnya termasuk juga hasil penelitian. Selanjutnya, data empiris
didapatkan dengan cara studi lapangan dengan melakukan wawancara dan melalui
diskusi kelompok terfokus (focussed group discussion) kepada narasumber, dalam hal
ini adalah aparat penegak hukum.
C. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian untuk mendapatkan data sekunder adalah perpustakaan atau
instansi yang memuat dokumen serta laporan hasil penelitian yang terkait dengan topik
masalah yang diteliti dalam penelitian. Dalam hal ini, perpustakaan Pusat Kajian
Antikorupsi Fakultas Hukum UGM, dan perpustakaan elektronik dijadikan sebagai
lokasi penelitian untuk mendapatkan data sekunder (berupa bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier).
Sedangkan data primer diperoleh dengan cara wawancara yang menggunakan
pendekatan petunjuk umum wawancara yang berlokasi di Yogyakarta, Medan, Jakarta,
83 F Sugeng Istanto, op.cit., hlm 57.
36
dan Banjarmasin. Yogyakarta dipilih sebagai lokasi untuk mendapatkan data primer
karena di daerah ini diadakan beberapa focus group discussion (FGD) yang dilakukan
di kantor Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM sebagai bagian dari kegiatan
penelitian. Medan diambil sebagai lokasi untuk merepresentasi daerah bisnis.
Sedangkan Jakarta dimasukkan sebagai lokasi penelitian demi memperoleh informasi
dari Kejaksaan Agung dan beberapa pakar mengenai kejahatan korporasi maupun
korupsi korporasi. Terakhir, Banjarmasin ditetapkan sebagai wilayah mendapatkan
data primer sebab putusan yang menjatuhkan pidana korupsi atas korporasi pertama
kali dilakukan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin.
Seyogianya, daerah yang ditetapkan sebagai lokasi pengambilan data primer
dapat dilakukan di beberapa daerah lain. Namun, mengingat keterbatasan anggaran
penelitian, sekiranya daerah yang dipilih dalam penelitian ini (Yogyakarta, Medan,
Jakarta, dan Banjarmasin) telah dianggap representatif dalam menggali data dan
informasi terhadap penelitian pemidanaan korporasi atas tindak pidana korupsi di
Indonesia.
D. Analisis Data
Cara menganalisis data penelitian hukum sama dengan cara menganalisis data
dalam penelitian pada umumnya.84
Lexy J. Moleong85
dengan mengutip Bogdan dan
Biklen menulis, analisis data kualitatif adalah upaya bekerja dengan data,
mengorganisasikan data, memilahnya menjadi satuan yang dapat dikelola,
mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan
apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.
Analisis data adalah cara bagaimana memanfaatkan data yang terkumpul untuk
memecahkan masalah yang sudah dirumuskan dalam penelitian.86
Dalam kajian ilmu
hukum tentang isi ketentuan hukum positif dan dalam kajian ilmu hukum tentang
penerapan hukum positif, kebenaran yang diperoleh dari analisis data kebanyakan
bersifat kebenaran kualitatif, yakni kebenaran dalam arti kesesuaian dengan
penerapan kualitas tertentu yang harus dipenuhi.87
84 F Sugeng Istanto, op.cit., hlm 58.
85 Lihat, Lexy J. Moleong, 2011, Metode Penelitan Kualitatif (edisi revisi), Remaja Rosda karya,
Bandung, hlm 248. Moleong mengutip pengertian analisis data kualitatif tersebut dari Robert C.
Bogdan dan Sari Knopp Biklen, 1982, Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory
and Methods, Allyn and Bacon Inc., Boston.
86 Periksa Maria S.W. Soemardjono, op.cit, hlm 38.
87 F. Sugeng Istanto, op.cit., hlm 59-60.
37
Dalam penelitian ini, data sekunder yang diperoleh melalui studi pustaka terhadap
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier ditelaah dan
dianalisis dengan seksama untuk mendapatkan asas atau konsep yang tepat
mengenai pemidanaan korporasi atas tindak pidana korupsi di Indonesia.
Langkah yang diambil dalam menganalisi data pada penelitian ini dilakukan
dengan,
1. Menelaah dan menuliskan beberapa ketentuan mengenai pengertian korporasi
atau dengan penyebutan lain yang termuat dalam bahan hukum primer dan
sekunder yang terdiri dari,
a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
b. UU Darurat Nomor 17 Tahun 1951 tentang Penimbunan Barang;
c. UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi;
d. UU Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (sebelum diganti
dengan UU Nomor 20 Tahun 2002);
e. UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan
UU Nomor 10 Tahun 1998;
f. UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal;
g. UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;
h. UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (sebelum diganti dengan UU
35 Tahun 2009);
i. UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat;
j. UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
k. UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001;
l. UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas;
m. UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan (yang menggantikan
UU Nomor 15 Tahun 1985);
n. UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana diubah dengan
UU Nomor 45 Tahun 2009;
o. UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup;
p. UU 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (mengganti UU 22 Tahun 1997);
q. UU Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos;
38
r. UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang;
s. UU Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Pendanaan Tindak Pidana Terorisme;
t. RUU KUHP Tahun 2010; dan
u. RUU KUHAP Tahun 2012.
2. Menelaah dan menuliskan beberapa isi dari karya para sarjana ilmu hukum dan
sarjana ilmu ekonomi yang terangkum dalam buku, hasil penelitian, maupun
dokumen lainnya yang berkaitan dengan bahasan mengenai korporasi
dan/atau tindak pidana atau tindak pidana khusus yang dilakukan oleh
korporasi, sebagai unit analisis terhadap pembacaan undang-undang yang
memuat korporasi atau dengan penyebutan nama lainnya;
3. Menelaah dan menuliskan ketentuan pendukung, seperti kamus, yang memuat
pengertian tertentu untuk mencari pengertian terhadap pengertian tersebut
demi membantu memudahkan analisis terhadap karya dari para sarjana ilmu
hukum dan sarjana ilmu ekonomi yang ditelaah dan ditulis sebelumnya;
4. Menelaah dan menuliskan hasil wawancara dengan beberapa narasumber
terkait dengan penelitian; dan
5. Menyusun analisis hasil penelitian dari undang-undang serta kajian dari para
sarjana ilmu hukum dan sarjana ilmu ekonomi untuk menjawab rumusan
masalah yang sudah ditentukan dalam penelitian.
39
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pengaturan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Undang-Undang
Korporasi sebagai salah satu subjek hukum dibebani dengan tanggung jawab
hukum. Beberapa undang-undang memuat ketentuan mengenai korporasi.
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana pada dasarnya dapat
digolongkan dalam dua kategori. Pertama, korporasi sebagai subjek tindak pidana.
Akan tetapi, pertanggungjawabannya dibebankan ke anggota atau pengurus
koperasi. Kedua, korporasi sebagai subjek tindak pidana dan dapat
dipertanggungjawabkan secara langsung.88
Subjek tindak pidana korupsi tidak diatur dalam hukum pidana umum
(commune strafrecht) atau tidak diatur dalam KUHP. Dengan demikian kebijakan
legislasi yang menyangkut subjek tindak pidana korporasi tidak berlaku sebagai
subjek tindak pidana secara umum, akan tetapi terbatas dan hanya berlaku
terhadap beberapa perundangan-undangan khusus di luar KUHP.89
Kebijakan legislasi yang ditempuh saat ini, tidak memberi peluang pemidanaan
terhadap korporasi, apabila melakukan suatu tindak pidana yang diatur dalam
KUHP.90
Misalnya, dalam Pasal 392 KUHP yang menyatakan, “Seorang
pengusaha, seorang pengurus atau komisaris perseroan terbatas, maskapai andil
Indonesia atau koperasi, yang sengaja mengumumkan keadaan atau neraca yang
tidak benar, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan”
Pasal tersebut erat kaitannya dengan tindak pidana yang dapat dilakukan oleh
korporasi, akan tetapi yang dapat dipertanggungjawabkan dan dipidana adalah
pengusaha/pengurus/komisaris dan bukan korporasinya. Dengan demikian,
penetapan korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam peraturan perundang-
undangan di Indonesia membawa konsekuensi yuridis dapat tidaknya korporasi
dipertanggungjawabkan secara hukum pidana.91
Pasal 59 KUHP menguatkan
ketentuan Pasal 392 KUHP. Bagi pengurus lain yang tidak melakukan pidana,
maka tidak dapat dijatuhkan pidana terhadapnya.
88 Dwidja Priyatno, op.cit., hlm 163-165.
89 Ibid., hlm 167.
90 Ibid.
91 Ibid.
40
Selanjutnya, Pasal 398 KUHP mengatur perbuatan dan ancaman bagi
pengurus korporasi yang melakukan perbuatan tertentu tatkala korporasi dalam
keadaan pailit. Perbuatan yang diancam tersebut, misalnya,
a. membantu atau mengizinkan melakukan tindakan yang bertentangan
dengan anggaran dasar, sehingga seluruh atau sebagian besar dari
kerugian diderita oleh perseroan, maskapai atau perkumpulan;
b. memiliki maksud menangguhkan kepailitan atau penyelesaian perseroan,
maskapai atau perkumpulan, turut membantu atau mengizinkan peminjaman
uang dengan syarat-syarat yang memberatkan, padahal diketahuinya tak
dapat dicegah keadaan pailit atau penyelesaiannya;
c. jika yang bersangkutan dapat dipersalahkan tidak memenuhi kewajiban yang
diterangkan dalam pasal 6 ayat pertama Kitab Undang-undang Hukum
Dagang dan pasal 27 ayat pertama ordonansi tentang maskapai andil
Indonesia, atau bahwa buku-buku dan surat-surat yang memuat catatan-
catatan dan tulisan-tulisan yang disimpan menurut pasal tadi, tidak dapat di
perlihatkan dalam keadaan tak diubah.
Pasal 398 KUHP tidak membebankan tanggung jawab kepada korporasi,
melainkan kepada pengurusnya. Dalam Pasal 399 KUHP, hal yang sama
ditemukan bahwa pertanggungjawaban pidana dibebankan kepada pengurusnya,
misalnya,
a. Membuat pengeluaran yang tak ada, maupun tidak membukukan
pendapatan atau menarik barang sesuatu dari budel;
b. Telah melijerkan (eurureemden) barang sesuatu dengan Cuma-Cuma atau
jelas dibawah harganya;
c. Dengan sesuatu cara menguntungkan salah seorang pemiutang di waktu
kepailitan atau penyelesaian tadi tidak dapat dicegah;
d. Tidak memenuhi kewajiban mengadakan catatan menurut Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang atau Pasal 27 ayat pertama ordonasi tentang
maskapai andil di Indonesia, dan tentang menyimpan dan memperlihatkan
buku-buku, surat-surat dan tulisan-tulisan menurut pasal-pasal itu.
Pendek kata, KUHP masih menentukan bahwa yang dapat bebankan
pertanggungjawaban pidana adalah orang, bukan korporasi. Dan ketentuan ini
masih berlaku hingga saat ini.
41
2. UU Darurat Nomor 17 Tahun 1951 tentang Penimbunan Barang
Aturan hukum ini mendefinisikan badan hukum sebagai “tiap perusahaan atau
perseroan, perserikatan atau yayasan, dalam arti yang seluas-luasnya, juga jika
kedudukan sebagai badan hukum itu baik dengan jalan hukum ataupun
berdasarkan kenyataan tidak diberikan kepadanya.92
Ketentuan pembebanan
pidana dapat dijatuhkan kepada tiga elemen. Pertama, badan hukum itu sendiri.
Kedua, pengurus badan hukum. Ketiga, kedua-duanya, badan hukum dan
pengurusnya.93
3. UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi
Penyebutan korporasi diatur dalam Pasal 15 ayat (1) UU Darurat Nomor 7
Tahun 1955. “Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan atas nama suatu badan
hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan, maka tuntutan-
pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik
terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap
mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang
bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap
kedua-duanya.”
Sanksi yang dapat dikenakan terhadap korporasi adalah pidana tambahan
berupa penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan si terhukum, apabila
tindak pidana ekonomi dilakukan untuk waktu selama-lamanya satu tahun.94
Selain itu, Perampasan barang-barang tak tetap yang berwujud dan yang tidak
berwujud termasuk perusahaan si terhukum yang berasal dari tindak pidana
ekonomi.95
Serta pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau
penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat
diberikan kepada si terhukum oleh pemerintah berhubungan dengan
perusahaannya untuk waktu selama-lamanya dua tahun.96
Tindakan tata tertib, seperti menempatkan perusahaan si terhukum di bawah
pengampuan, mewajibkan pembayaran uang jaminan, mewajibkan membayar
sejumlah uang sebagai pencabutan keuntungan, mewajibkan mengerjakan apa
92 Pasal 1 huruf e UU Darurat Nomor 17 Tahun 1951.
93 Pasal 11 ayat (1) UU Darurat Nomor 17 Tahun 1951.
94 Pasal 7 ayat (1) sub b UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955.
95 Pasal 7 ayat (1) sub c jo sub d UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955.
96 Pasal 7 ayat (1) sub e UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955.
42
yang dilalikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak dan
melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat-akibat satu sama lain, semua atas
biaya si terhukum, sekadar hakim tidak menentukan lain.97
Penjatuhan pidana yang dianut dalam UU Tindak Pidana Ekonomi adalah
sistem dua jalur atau double track system. Artinya sanksi berupa pidana dan
tindakan dijatuhkan secara bersama-sama, yaitu pidana denda dan tindakan tata
tertib.98
4. UU Nomor 20 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (sebelum diganti
dengan UU Nomor 20 Tahun 2002)
Definisi korporasi tidak diatur secara eksplisit. Namun dalam undang-undang
ini, pengertian badan usaha dimasukkan dalam Pasal 1 angka 27. Badan Usaha
adalah setiap badan hukum yang dapat berbentuk Badan Usaha Milik Negara,
Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi atau swasta yang didirikan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, menjalankan jenis usaha bersifat
tetap dan terus menerus, bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.99
Pertanggungjawaban pidana dapat dikenakan kepada badan usaha atau
pengurusnya.100
Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh badan usaha, maka
pidananya berupa pidana denda dengan ketentuan paling tinggi ditambah
sepertiga.101
5. UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
UU Pasal modal mengatur bahwa pihak adalah orang perseorangan,
perusahaan, usaha bersama, asosiasi, atau kelompok yang terorganisasi.102
Sanksi yang dapat dijatuhkan bagi pihak yang melakukan pelanggaran dalam
ketentuan pasar modal berupa sanksi administratif, yakni:103
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
97 Pasal 8 ayat (1) sub a, sub b, sub c, dan sub d UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955.
98 Muladi dan Priyatno Dwidja, op.cit., hlm 166.
99 Pasal 1 ayat (27) UU Nomor 20 Tahun 2002.
100 Pasal 65 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2002.
101 Pasal 65 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2002.
102 Pasal 1 UU Nomor 8 Tahun 1995.
103 Pasal 102 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1995.
UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013
UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013
UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013
UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013
UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013
UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013
UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013
UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013
UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013
UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013
UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013
UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013
UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013
UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013
UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013
UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013
UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013
UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013
UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013
UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013
UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013
UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013
UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013
UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013
UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013
UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013
UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013
UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013
UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013
UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013
UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013
UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013
UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

More Related Content

Similar to UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

Cara Pengadilan Mengeksekusi Tindak Pidana Korupsi
Cara Pengadilan Mengeksekusi Tindak Pidana KorupsiCara Pengadilan Mengeksekusi Tindak Pidana Korupsi
Cara Pengadilan Mengeksekusi Tindak Pidana KorupsiAndrean Tan
 
Komisi anti-korupsi-di-luar-negeri
Komisi anti-korupsi-di-luar-negeriKomisi anti-korupsi-di-luar-negeri
Komisi anti-korupsi-di-luar-negeriIndra Yu
 
Desain Pencegahan Korupsi di Indonesia
Desain Pencegahan Korupsi di IndonesiaDesain Pencegahan Korupsi di Indonesia
Desain Pencegahan Korupsi di IndonesiaChabibah Nur Afida
 
Transformasi Organisasi: Peningkatan Integritas Dalam Mewujudkan Budaya Mutu
Transformasi Organisasi: Peningkatan Integritas Dalam Mewujudkan Budaya MutuTransformasi Organisasi: Peningkatan Integritas Dalam Mewujudkan Budaya Mutu
Transformasi Organisasi: Peningkatan Integritas Dalam Mewujudkan Budaya MutuTri Widodo W. UTOMO
 
BE & GG,Deny Dermawan, Prof. Dr. Hapzi Ali, CMA, Philosophical Ethics and Bus...
BE & GG,Deny Dermawan, Prof. Dr. Hapzi Ali, CMA, Philosophical Ethics and Bus...BE & GG,Deny Dermawan, Prof. Dr. Hapzi Ali, CMA, Philosophical Ethics and Bus...
BE & GG,Deny Dermawan, Prof. Dr. Hapzi Ali, CMA, Philosophical Ethics and Bus...Deny Dermawan
 
Jurnal civil penalty
Jurnal civil penaltyJurnal civil penalty
Jurnal civil penaltyKendy Puspita
 
Jurnal civil penalty
Jurnal civil penaltyJurnal civil penalty
Jurnal civil penaltyKendy Puspita
 
Review jurnal akuntansi forensik uas pp_ak kelas malam
Review jurnal akuntansi forensik uas pp_ak kelas malamReview jurnal akuntansi forensik uas pp_ak kelas malam
Review jurnal akuntansi forensik uas pp_ak kelas malamSri Apriyanti Husain
 
Review jurnal akuntansi forensik uas pp_ak kelas malam angkatan 24
Review jurnal akuntansi forensik uas pp_ak kelas malam angkatan 24Review jurnal akuntansi forensik uas pp_ak kelas malam angkatan 24
Review jurnal akuntansi forensik uas pp_ak kelas malam angkatan 24Sri Apriyanti Husain
 
Uas spp soal politik kriminal
Uas spp soal politik kriminalUas spp soal politik kriminal
Uas spp soal politik kriminalBrigita Manohara
 
Makalah pemberantasan korupsi dengan konsep kerja keras
Makalah pemberantasan korupsi dengan  konsep kerja kerasMakalah pemberantasan korupsi dengan  konsep kerja keras
Makalah pemberantasan korupsi dengan konsep kerja kerasDebyNurulSyafda
 
BE & GG. 13,Monica Rizki Lestari_Hapzi Ali,Coruption and Fraud, Universitas M...
BE & GG. 13,Monica Rizki Lestari_Hapzi Ali,Coruption and Fraud, Universitas M...BE & GG. 13,Monica Rizki Lestari_Hapzi Ali,Coruption and Fraud, Universitas M...
BE & GG. 13,Monica Rizki Lestari_Hapzi Ali,Coruption and Fraud, Universitas M...Monica Rizki Lestari
 
Kel.5_Upaya Pemberantasan Korupsi.pptx
Kel.5_Upaya Pemberantasan Korupsi.pptxKel.5_Upaya Pemberantasan Korupsi.pptx
Kel.5_Upaya Pemberantasan Korupsi.pptxSaputraTambora
 
Tugas Kelompok 1
Tugas Kelompok 1Tugas Kelompok 1
Tugas Kelompok 1harlynugrah
 
Percepatan pemberantasan korupsi
Percepatan pemberantasan korupsiPercepatan pemberantasan korupsi
Percepatan pemberantasan korupsiEko Supriyadi
 

Similar to UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013 (20)

Cara Pengadilan Mengeksekusi Tindak Pidana Korupsi
Cara Pengadilan Mengeksekusi Tindak Pidana KorupsiCara Pengadilan Mengeksekusi Tindak Pidana Korupsi
Cara Pengadilan Mengeksekusi Tindak Pidana Korupsi
 
Ratu Ramadhani.pdf
Ratu Ramadhani.pdfRatu Ramadhani.pdf
Ratu Ramadhani.pdf
 
Komisi anti-korupsi-di-luar-negeri
Komisi anti-korupsi-di-luar-negeriKomisi anti-korupsi-di-luar-negeri
Komisi anti-korupsi-di-luar-negeri
 
Desain Pencegahan Korupsi di Indonesia
Desain Pencegahan Korupsi di IndonesiaDesain Pencegahan Korupsi di Indonesia
Desain Pencegahan Korupsi di Indonesia
 
Stranas ppk ac forum ipk_iph_aksi2014_diani
Stranas ppk ac forum ipk_iph_aksi2014_dianiStranas ppk ac forum ipk_iph_aksi2014_diani
Stranas ppk ac forum ipk_iph_aksi2014_diani
 
Anti perilaku korup
Anti perilaku korupAnti perilaku korup
Anti perilaku korup
 
Penelitian Maladministrasi di Lembaga Pengadilan
Penelitian Maladministrasi di Lembaga PengadilanPenelitian Maladministrasi di Lembaga Pengadilan
Penelitian Maladministrasi di Lembaga Pengadilan
 
Transformasi Organisasi: Peningkatan Integritas Dalam Mewujudkan Budaya Mutu
Transformasi Organisasi: Peningkatan Integritas Dalam Mewujudkan Budaya MutuTransformasi Organisasi: Peningkatan Integritas Dalam Mewujudkan Budaya Mutu
Transformasi Organisasi: Peningkatan Integritas Dalam Mewujudkan Budaya Mutu
 
BE & GG,Deny Dermawan, Prof. Dr. Hapzi Ali, CMA, Philosophical Ethics and Bus...
BE & GG,Deny Dermawan, Prof. Dr. Hapzi Ali, CMA, Philosophical Ethics and Bus...BE & GG,Deny Dermawan, Prof. Dr. Hapzi Ali, CMA, Philosophical Ethics and Bus...
BE & GG,Deny Dermawan, Prof. Dr. Hapzi Ali, CMA, Philosophical Ethics and Bus...
 
Jurnal civil penalty
Jurnal civil penaltyJurnal civil penalty
Jurnal civil penalty
 
Jurnal civil penalty
Jurnal civil penaltyJurnal civil penalty
Jurnal civil penalty
 
Review jurnal akuntansi forensik uas pp_ak kelas malam
Review jurnal akuntansi forensik uas pp_ak kelas malamReview jurnal akuntansi forensik uas pp_ak kelas malam
Review jurnal akuntansi forensik uas pp_ak kelas malam
 
Review jurnal akuntansi forensik uas pp_ak kelas malam angkatan 24
Review jurnal akuntansi forensik uas pp_ak kelas malam angkatan 24Review jurnal akuntansi forensik uas pp_ak kelas malam angkatan 24
Review jurnal akuntansi forensik uas pp_ak kelas malam angkatan 24
 
Uas spp soal politik kriminal
Uas spp soal politik kriminalUas spp soal politik kriminal
Uas spp soal politik kriminal
 
Makalah pemberantasan korupsi dengan konsep kerja keras
Makalah pemberantasan korupsi dengan  konsep kerja kerasMakalah pemberantasan korupsi dengan  konsep kerja keras
Makalah pemberantasan korupsi dengan konsep kerja keras
 
UNCAC-Final draft policy paper illicit enrichment
UNCAC-Final draft policy paper illicit enrichmentUNCAC-Final draft policy paper illicit enrichment
UNCAC-Final draft policy paper illicit enrichment
 
BE & GG. 13,Monica Rizki Lestari_Hapzi Ali,Coruption and Fraud, Universitas M...
BE & GG. 13,Monica Rizki Lestari_Hapzi Ali,Coruption and Fraud, Universitas M...BE & GG. 13,Monica Rizki Lestari_Hapzi Ali,Coruption and Fraud, Universitas M...
BE & GG. 13,Monica Rizki Lestari_Hapzi Ali,Coruption and Fraud, Universitas M...
 
Kel.5_Upaya Pemberantasan Korupsi.pptx
Kel.5_Upaya Pemberantasan Korupsi.pptxKel.5_Upaya Pemberantasan Korupsi.pptx
Kel.5_Upaya Pemberantasan Korupsi.pptx
 
Tugas Kelompok 1
Tugas Kelompok 1Tugas Kelompok 1
Tugas Kelompok 1
 
Percepatan pemberantasan korupsi
Percepatan pemberantasan korupsiPercepatan pemberantasan korupsi
Percepatan pemberantasan korupsi
 

More from Indonesia Anti Corruption Forum

Notulensi hasil PSC INDA 03 Anti Corruption, Bappenas, 1 Sept. 2014
Notulensi hasil PSC INDA 03 Anti Corruption, Bappenas, 1 Sept. 2014Notulensi hasil PSC INDA 03 Anti Corruption, Bappenas, 1 Sept. 2014
Notulensi hasil PSC INDA 03 Anti Corruption, Bappenas, 1 Sept. 2014Indonesia Anti Corruption Forum
 
Uu nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan t
Uu nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tUu nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan t
Uu nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tIndonesia Anti Corruption Forum
 
Uu nomor 7 tahun 2006 tentang pengesahan konvensi pbb antiko
Uu nomor 7 tahun 2006 tentang pengesahan konvensi pbb antikoUu nomor 7 tahun 2006 tentang pengesahan konvensi pbb antiko
Uu nomor 7 tahun 2006 tentang pengesahan konvensi pbb antikoIndonesia Anti Corruption Forum
 

More from Indonesia Anti Corruption Forum (20)

IACF GTC: Tanggung jawab korporasi (Albertina Ho)
IACF GTC: Tanggung jawab korporasi (Albertina Ho)IACF GTC: Tanggung jawab korporasi (Albertina Ho)
IACF GTC: Tanggung jawab korporasi (Albertina Ho)
 
IACF GTC: Menakar pertanggungjawaban korporasi
IACF GTC: Menakar pertanggungjawaban korporasiIACF GTC: Menakar pertanggungjawaban korporasi
IACF GTC: Menakar pertanggungjawaban korporasi
 
Korupsi korporasi
Korupsi korporasiKorupsi korporasi
Korupsi korporasi
 
IACF-GTC; Menutup Ruang Korupsi PBJ by IAPI
IACF-GTC; Menutup Ruang Korupsi PBJ by IAPIIACF-GTC; Menutup Ruang Korupsi PBJ by IAPI
IACF-GTC; Menutup Ruang Korupsi PBJ by IAPI
 
IACF-GTC; Menutup Ruang Korupsi PBJ
IACF-GTC; Menutup Ruang Korupsi PBJIACF-GTC; Menutup Ruang Korupsi PBJ
IACF-GTC; Menutup Ruang Korupsi PBJ
 
SPAK 2013 Editan Terakhir
SPAK 2013 Editan TerakhirSPAK 2013 Editan Terakhir
SPAK 2013 Editan Terakhir
 
Buku ipak bps2013
Buku ipak bps2013Buku ipak bps2013
Buku ipak bps2013
 
Release launch ipak_2013
Release launch ipak_2013Release launch ipak_2013
Release launch ipak_2013
 
Notulensi hasil PSC INDA 03 Anti Corruption, Bappenas, 1 Sept. 2014
Notulensi hasil PSC INDA 03 Anti Corruption, Bappenas, 1 Sept. 2014Notulensi hasil PSC INDA 03 Anti Corruption, Bappenas, 1 Sept. 2014
Notulensi hasil PSC INDA 03 Anti Corruption, Bappenas, 1 Sept. 2014
 
Reformasi Regulasi di Korea
Reformasi Regulasi di KoreaReformasi Regulasi di Korea
Reformasi Regulasi di Korea
 
E book-uncac-gap-analysis-3
E book-uncac-gap-analysis-3E book-uncac-gap-analysis-3
E book-uncac-gap-analysis-3
 
Uu nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan t
Uu nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tUu nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan t
Uu nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan t
 
Uu nomor 7 tahun 2006 tentang pengesahan konvensi pbb antiko
Uu nomor 7 tahun 2006 tentang pengesahan konvensi pbb antikoUu nomor 7 tahun 2006 tentang pengesahan konvensi pbb antiko
Uu nomor 7 tahun 2006 tentang pengesahan konvensi pbb antiko
 
Uu nomor 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik
Uu nomor 25 tahun 2009 tentang pelayanan publikUu nomor 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik
Uu nomor 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik
 
Uu nomor 10 tahun 1998 tentang perbankan
Uu nomor 10 tahun 1998 tentang perbankanUu nomor 10 tahun 1998 tentang perbankan
Uu nomor 10 tahun 1998 tentang perbankan
 
Uncac indonesia
Uncac indonesiaUncac indonesia
Uncac indonesia
 
Uu nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan korupsi
Uu nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan korupsiUu nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan korupsi
Uu nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan korupsi
 
Se no 9 12 dpnp tentang pelaksanaan gcg bagi bank umum
Se no 9 12 dpnp tentang pelaksanaan gcg bagi bank umumSe no 9 12 dpnp tentang pelaksanaan gcg bagi bank umum
Se no 9 12 dpnp tentang pelaksanaan gcg bagi bank umum
 
Uu nomor 15 tahun 2002 tentang tppu
Uu nomor 15 tahun 2002 tentang tppuUu nomor 15 tahun 2002 tentang tppu
Uu nomor 15 tahun 2002 tentang tppu
 
Peraturan presiden nomor 35 tahun 2011
Peraturan presiden nomor 35 tahun 2011Peraturan presiden nomor 35 tahun 2011
Peraturan presiden nomor 35 tahun 2011
 

Recently uploaded

PENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptx
PENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptxPENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptx
PENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptxmuhammadarsyad77
 
materi hukum bisnis hukum persaingan usaha
materi hukum bisnis hukum persaingan usahamateri hukum bisnis hukum persaingan usaha
materi hukum bisnis hukum persaingan usahayunitahatmayantihafi
 
UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdf
UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdfUU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdf
UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdfSumardi Arahbani
 
2. MACAM MACAM KORBAN.ppt Materi Kuliah Hukum Viktimologi
2. MACAM MACAM KORBAN.ppt Materi Kuliah Hukum Viktimologi2. MACAM MACAM KORBAN.ppt Materi Kuliah Hukum Viktimologi
2. MACAM MACAM KORBAN.ppt Materi Kuliah Hukum ViktimologiSaktaPrwt
 
1. TTT - AKKP (Pindaan 2022) dan AKJ (Pemansuhan 2022) (1A) (1).pptx
1. TTT - AKKP (Pindaan 2022) dan AKJ (Pemansuhan 2022) (1A) (1).pptx1. TTT - AKKP (Pindaan 2022) dan AKJ (Pemansuhan 2022) (1A) (1).pptx
1. TTT - AKKP (Pindaan 2022) dan AKJ (Pemansuhan 2022) (1A) (1).pptxmohamadhafiz651
 
BUKU FAKTA SEJARAH :Pangeran Heru Arianataredja (keturunan Sultan Sepuh III S...
BUKU FAKTA SEJARAH :Pangeran Heru Arianataredja (keturunan Sultan Sepuh III S...BUKU FAKTA SEJARAH :Pangeran Heru Arianataredja (keturunan Sultan Sepuh III S...
BUKU FAKTA SEJARAH :Pangeran Heru Arianataredja (keturunan Sultan Sepuh III S...Indra Wardhana
 
HAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKI
HAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKIHAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKI
HAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKIdillaayuna
 
BENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHAN
BENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHANBENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHAN
BENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHANharri34
 
interpretasi literal and purposive .pptx
interpretasi literal and purposive .pptxinterpretasi literal and purposive .pptx
interpretasi literal and purposive .pptxekahariansyah96
 
pdf-makalah-manusia-nilai-moral-hukum.docx
pdf-makalah-manusia-nilai-moral-hukum.docxpdf-makalah-manusia-nilai-moral-hukum.docx
pdf-makalah-manusia-nilai-moral-hukum.docxINTANAMALINURAWALIA
 

Recently uploaded (10)

PENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptx
PENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptxPENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptx
PENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptx
 
materi hukum bisnis hukum persaingan usaha
materi hukum bisnis hukum persaingan usahamateri hukum bisnis hukum persaingan usaha
materi hukum bisnis hukum persaingan usaha
 
UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdf
UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdfUU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdf
UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdf
 
2. MACAM MACAM KORBAN.ppt Materi Kuliah Hukum Viktimologi
2. MACAM MACAM KORBAN.ppt Materi Kuliah Hukum Viktimologi2. MACAM MACAM KORBAN.ppt Materi Kuliah Hukum Viktimologi
2. MACAM MACAM KORBAN.ppt Materi Kuliah Hukum Viktimologi
 
1. TTT - AKKP (Pindaan 2022) dan AKJ (Pemansuhan 2022) (1A) (1).pptx
1. TTT - AKKP (Pindaan 2022) dan AKJ (Pemansuhan 2022) (1A) (1).pptx1. TTT - AKKP (Pindaan 2022) dan AKJ (Pemansuhan 2022) (1A) (1).pptx
1. TTT - AKKP (Pindaan 2022) dan AKJ (Pemansuhan 2022) (1A) (1).pptx
 
BUKU FAKTA SEJARAH :Pangeran Heru Arianataredja (keturunan Sultan Sepuh III S...
BUKU FAKTA SEJARAH :Pangeran Heru Arianataredja (keturunan Sultan Sepuh III S...BUKU FAKTA SEJARAH :Pangeran Heru Arianataredja (keturunan Sultan Sepuh III S...
BUKU FAKTA SEJARAH :Pangeran Heru Arianataredja (keturunan Sultan Sepuh III S...
 
HAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKI
HAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKIHAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKI
HAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKI
 
BENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHAN
BENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHANBENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHAN
BENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHAN
 
interpretasi literal and purposive .pptx
interpretasi literal and purposive .pptxinterpretasi literal and purposive .pptx
interpretasi literal and purposive .pptx
 
pdf-makalah-manusia-nilai-moral-hukum.docx
pdf-makalah-manusia-nilai-moral-hukum.docxpdf-makalah-manusia-nilai-moral-hukum.docx
pdf-makalah-manusia-nilai-moral-hukum.docx
 

UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

  • 1. LAPORAN PENELITIAN PEMIDANAAN KORPORASI ATAS TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA Oleh Hifdzil Alim Fariz Fachryan Laras Susanti Zaenur Rohman Oce Madril Hasrul Halili Zainal Arifin Mochtar PUSAT KAJIAN ANTIKORUPSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2013
  • 2. i KATA PENGANTAR Pembicaraan mengenai penelitian pemidanaan korporasi atas tindak pidana korupsi dilakukan sejak 2011. Rencana ini mengemuka setelah mencermati pemeriksaan beberapa tindak pidana korupsi yang melibatkan perusahaan. Meski disebut dalam berkas putusan mengenai dugaan keterlibatan perusahaan dalam tindak pidana korupsi, namun aparat penegak hukum belum begitu yakin untuk melakukan penuntutan terhadapnya. Padahal, undang-undang tindak pidana korupsi telah mengatur sedemikian rupa perihal penjeratan terhadap korporasi. Ketidakyakinan aparat penegak hukum dalam menuntut perusahaan, mungkin saja disebabkan oleh terma perusahaan yang tidak disebut sama sekali dalam undang-undang tindak pidana korupsi. Namun demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi berkembang pesat. Pada tahun 2011, Pengadilan Tipikor Banjarmasin menjatuhkan vonis bersalah kepada sebuah perusahaan atas tindak pidana korupsi yang dilakukannya. Putusan pada pengadilan tingkat pertama ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Kalimantan Selatan melalui majelis hakim banding. Perusahaan—yang tidak disebut dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi—ternyata dapat dipidana. Majelis hakim menggunakan terma korporasi untuk mengidentifikasi perusahaan tersebut. Dengan adanya putusan pengadilan pada tingkat pertama dan banding, semakin menguatkan bahwa sebenarnya terma perusahaan sesuai dengan terma korporasi seperti yang dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Atas putusan ini, keinginan untuk mengadakan penelitian mengenai pemidanaan korporasi atas tindak pidana korupsi semakin menguat. Keinginan untuk melakukan penelitian ini baru bersambut pada 2013. Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK) ternyata memiliki keresahan yang tidak jauh berbeda untuk dapat memidanakan, tidak hanya perusahaan, namun juga korporasi dalam bentuknya yang lain, yang diduga terlibat dalam tindak pidana korupsi. Kemudian, keinginan penelitian ini mendapat dukungan dari United Nation on Drugs and Crimes (UNODC). Akhirnya, rencana penelitian yang mengembang sejak 2011 baru dapat dilaksanakan pada pertengahan 2013. Kegiatan dalam penelitian ini dilaksanakan oleh tim peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta (PUKAT FH UGM), yang terdiri dari saudara Hifdzil Alim, Fariz Fachryan, Laras Susanti, Zaenur Rohman, Oce Madril,
  • 3. ii Hasrul Halili, dan Zainal Arifin Mochtar. Untuk teknis administrasi, tim peneliti dibantu oleh tim administrasi serta keuangan yang terdiri dari saudara Sriyatun dan Nurvita Budi Rovani. Dengan selesainya kegiatan dari penelitian ini, puji syukur dihaturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkah hidup yang telah diberikan. Kemudian, rasa terima kasih tak lupa disampaikan kepada tim peneliti dan tim administrasi serta keuangan PUKAT FH UGM yang telah menyelesaikan penelitian ini. Selanjutnya, rasa terima kasih juga diucapkan kepada UNODC atas dukungannya dalam penelitian ini. Sebagai sebuah kajian, hasil penelitian ini tidak menutup kemungkinan untuk mendapatkan kritik dan tambahan informasi. Dengan harapan penelitian ini dapat menjadi salah satu bahan bagi aparat penegak hukum agar mulai berani merumuskan dan menjerat korporasi dalam tindak pidana korupsi.[] Yogyakarta, 30 September 2013 Ketua Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM
  • 4. iii DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ...................................................................................... i DAFTAR ISI ................................................................................................... iii DAFTAR TABEL ............................................................................................ iv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ................................................................... 1 B. Rumusan Masalah .............................................................. 2 C. Tujuan Penelitian ................................................................ 2 D. Kegunaan Penelitian .......................................................... 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Korporasi ............................................................... 4 B. Konsep Kejahatan Korporasi .............................................. 8 C. Konsep Pertanggungjawaban Pidana ................................ 12 D. Konsep Stelsel Pemidanaan .............................................. 19 E. Tindak Pidana Korupsi ....................................................... 25 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian .................................................................. 33 B. Cara Pengumpulan Data .................................................... 34 C. Lokasi Penelitian ................................................................ 35 D. Analisis Data ....................................................................... 36 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pengaturan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Undang-Undang ................................................................. 39 B. Pengalaman Pemidanaan Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi ................................................................... 58 C. Rumusan Ideal Pemidanaan Korporasi atas Tindak Pidana Korupsi ................................................................... 63 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ......................................................................... 70 B. Saran .................................................................................. 71 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 73 LAMPIRAN ..................................................................................................... 76
  • 5. iv DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1 Korporasi dan Ancaman Pidana ................................................... 50 Tabel 2 Pengelompokan Penyebutan Korporasi ....................................... 54 Tabel 3 Ancaman/Sanksi/Tindakan untuk Korporasi ................................. 57
  • 6. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana korupsi di Indonesia merambah banyak sektor serta menjerat banyak aktor. Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada— selanjutnya ditulis PUKAT Korupsi—mencatat, pada tengah tahun pertama 2013 (Januari-Juli) misalnya, korupsi ada di sektor penerimaan negara dan/atau daerah; pertanian, kehutanan, perkebunan, dan/atau perikanan; pekerjaan umum; keolahrgaan dan pendidikan; penegakan hukum; kesejahteraan sosial; BUMN dan/atau BUMD; ESDM; departemen luar negeri; komunikasi dan informatika; kesehatan; proyek pengadaan barang dan jasa; legislatif; perdagangan dan perindustrian; keuangan dan/atau perbankan; serta keagamaan.1 Dari banyak sektor tersebut, aktor korupsi bermunculan dari banyak kalangan. Ada pemerintah pusat; pemerintah daerah; legislatif pusat; legislatif daerah; pejabat BUMN; kalangan swasta; kepala daerah; pegawai sekolah; aparat penegak hukum; pegawai perguruan tinggi; menteri anggota KPUD; duta besar; unsur partai politik; dan pejabat negara.2 Dari banyak aktor korupsi yang terjerat tindak pidana korupsi, tampaknya ada satu aktor yang sementara ini belum banyak dijerat oleh hukum, yakni korporasi. Dalam beberapa tindak pidana korupsi, dugaan keterlibatan korporasi tak dapat dimungkiri. Contohnya, dalam kasus korupsi pengadaan vaksin flu burung pada 2008-2011, PT Anugerah Nusantara diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp 692,3 miliar.3 Pada kasus lain, misalnya, tindak pidana korupsi pengadaan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada 2008, PT Alfindo Nuratama Perkasa diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp 2,72 miliar.4 Angka kerugian tersebut diperoleh dari nilai proyek sebesar Rp 8 miliar yang disubkontrakkan oleh PT Alfindo Nuratama Perkasa kepada PT Sundaya Indonesia yang hanya dibayarkan sebesar Rp 5,28 miliar. Dua contoh kasus di atas mengetengahkan keterlibatan korporasi dalam tindak pidana korupsi. Akan tetapi, sampai saat ini, belum ada informasi yang mengatakan 1 Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM, 2013, Trend Corruption Report Tengah Tahun Pertama 2013, hlm 4. 2 Ibid., hlm 3. 3 Koran Tempo, 19 Juni 2012. 4 Suara Merdeka, 20 Oktober 2011.
  • 7. 2 rencana pemeriksaan dan pemidanaan terhadap korporasi tersebut. Padahal, korporasi memegang peranan penting dalam terlaksananya sebuah tindak pidana korupsi. B. Rumusan Masalah Tindakan korporasi dalam tindak pidana korupsi semestinya dapat dikenakan pertanggungjawaban. Namun sebelum mengarah ke pertanggungjawaban korporasi atas tindak pidana korupsi, ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab demi mendapatkan dasar akademik untuk meminta pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana korupsi. Adapun pertanyaan tersebut sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pengaturan tanggung jawab korporasi yang pernah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang di Indonesia? 2. Bagaimanakah praktik pertanggungjawaban korporasi atas tindak pidana korupsi di Indonesia? 3. Bagaimanakah rumusan alternatif bagi pertanggungjawaban korporasi atas tindak pidana korupsi di Indonesia? C. Tujuan Penelitian Penelitian bertema “Pertanggungjawaban Korporasi atas Tindak Pidana Korupsi di Indonesia” memiliki tujuan untuk: 1. Mengetahui dan memahami pengaturan tanggung jawab korporasi dalam peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang yang pernah diterapkan di Indonesia; 2. Mengetahui dan memahami praktik pertanggungjawaban korporasi atas tindak pidana yang pernah terjadi di Indonesia; dan 3. Menghasilkan rumusan alternatif mengenai pengaturan dan praktik untuk meminta pertanggungjawaban korporasi atas tindak pidana korupsi yang dilakukan di Indonesia. D. Kegunaan Penelitian Dari hasil penelitian dan pembahasan penelitian ini diharapkan dapat memberi hasil guna kepada: 1. Aparat penegak hukum, sebagai bahan dan referensi alternatif untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, peradilan, dan eksekusi
  • 8. 3 terhadap dugaan keterlibatan korporasi dalam tindak pidana korupsi di Indonesia; dan 2. Ilmu pengetahuan, sebagai bagian menambah bahan bacaan dan referensi atas kajian mengenai pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana korupsi di Indonesia.
  • 9. 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Korporasi Ada berbagai jenis pengertian korporasi. Kata korporasi berasal dari Bahasa Latin corporatus, yang diadopsi ke dalam Bahasa Inggris corporate. Corporate is relating to a large company or group: airlines are very keen on their corporate identity. Lebih lanjut disebutkan kaitannya dengan status hukum, corporate is authorized to act as a single entity and recognized as such in law: local authorities, like other corporate bodies, may reduce capital spending the rules set by the corporate organization of or shared by all the members of a group; the service emphasizes the corporate responsibility of the congregation.5 Artinya, korporasi adalah subyek hukum yang sahamnya disebar kepada para anggotanya. Korporasi beroperasi untuk bertanggung jawab atas tujuan didirikannya korporasi tersebut. Di Indonesia, tidak jarang orang menyamakan korporasi dengan perusahaan. Pandangan tersebut tidak dapat disalahkan sepenuhnya meski tentu saja terdapat perbedaan antara keduanya. Korporasi bermakna (i) badan usaha yang sah; badan hukum; (ii) perusahaan atau badan usaha yang sangat besar atau beberapa perusahaan yang dikelola dan dijalankan sebagai satu perusahaan besar.6 Sementara perusahaan adalah (i) kegiatan (pekerjaan dan sebagainya) yang diselenggarakan dengan peralatan atau dengan cara teratur dengan tujuan mencari keuntungan (dengan menghasilkan sesuatu, mengolah atau membuat barang-barang, berdagang, memberikan jasa, dan sebagainya); (ii) organisasi berbadan hukum yg mengadakan transaksi atau usaha.7 Dengan arti ini, korporasi dan perusahaan relatif bermakna sama. Pengertian korporasi juga dicetuskan oleh beberapa pemikir. Cornel University, misalnya, dalam sebuah karya ilmiah menyatakan “a corporation is a legal entity created through the laws of its state of incorporation. Individual states have the power to promulgate laws relating to the creation, organization and dissolution of corporations.” Korporasi merupakan subyek hukum yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan tentang korporasi. Individulah yang memiliki kekuatan untuk membentuk, mengoperasikan, dan membubarkan sebuah korporasi. 5 Diakses dari laman www.dictionary.com pada 4 Juli 2013. 6 Diakses dari laman www.kamusbahasaindonesia.org pada 4 Juli 2013. 7 Ibid.
  • 10. 5 Di Amerika Serikat, Securities Act of 1993 mengatur bahwa korporasi adalah subyek hukum yang yang bisa beracara di persidangan (dapat menggugat dan digugat) dan terdapat pemisahan yang jelas antara harta kekayaan perusahaan dengan pemegang saham. Lebih lanjut, undang-undang tersebut juga memperbolehkan pemegang saham untuk menggugat korporasinya dan memindahkan kepemilikan sahamnya. Status sebagai subyek hukum yang dimiliki oleh sebuah korporasi, membuatnya tidak terpengaruh oleh meninggal dunianya pemegang saham.8 Penjelasan di atas sebenarnya telah cukup untuk menggambarkan korporasi dalam kedudukannya sebagai subyek hukum. Namun, seringkali terdapat kebingungan di masyarakat membedakan antara korporasi dengan badan sejenis. Misalnya apakah sebuah yayasan merupakan korporasi karena didirikan oleh sekumpulan orang untuk tujuan tertentu. Ataukah sebuah korporasi hanya berkaitan dengan perusahaan yang bersifat komersil. Oleh karena itulah, para ahli mencetuskan karakteristik yang bisa digunakan untuk menentukan apakah suatu badan merupakan korporasi atau bukan. Karateristik tersebut antara lain: most of which will be easily recognizable to anyone familiar with business affairs; they are legal personality, limited liability, transferable shares, delegated management under a board structure, and investor ownership.9 Secara lebih mendalam, karakter legal personality terdiri dari dua komponen yakni “...there must be rules specifying to third parties the individuals who have authority to buy and sell assets in the name of the firm, and to enter into contracts that are bonded by those assets and must be rules specifying the procedures by which both the firm and its counterparties can bring lawsuits on the contracts entered into in the name of the firm.”10 Ada aturan yang secara spesifik bagi pihak dalam korporasi yang memiliki otoritas untuk membeli dan menjual aset dengan atas nama perusahaan dan ikut dalam kontrak. Selain itu, terdapat pengaturan khusus bahwa baik korporasi maupun pemegang saham dapat saling mengugat di persidangan. Sementara mengenai terbatasnya pertanggungjawaban dijelaskan bahwa limited liability is a (strong) form of the ‘owner shielding’ that is effectively the converse of the ‘entity shielding’ described above as a component of legal personality; entity shielding protects the assets of the firm from the creditors of the firm’s owners, while limited 8 Corporations: An Overview, diakses di http://www.law.cornell.edu/wex/corporations, pada 24 Juni 2013. 9 John Armour, Henry Hansmann, Reinier Kraakman, 2009, The Essential Elements Of Corporate Law: What Is Corporate Law?, Center for Law,Economics, and Business Harvard University, hlm 2. 10 Ibid., hlm 7-8.
  • 11. 6 liability protects the assets of the firm’s owners from the firm’s creditors. Together, they set up a regime of “asset partitioning” whereby business assets are pledged as security to business creditors, while the personal assets of the business’s owners are reserved for the owners’ personal creditors.11 Secara singkat, kalimat di atas menjelaskan terdapat pemisahan harta kekayaan antara korporasi dan pemegang saham. Aset perusahaan hanya dapat digugat oleh kreditor. Sementara personal asset/aset individu para pemegang saham menjadi tanggung jawab pemiliknya. Karakter selanjutnya adalah delegated management under a board structure atau terdapat pembagian manajerial kerja di bawah pimpinan korporasi. Ada beberapa penjelasan untuk karakter ini. First, the board is, at least as a formal matter, separates from the operational managers of the corporation. In two-tier boards, top corporate officers occupy the board’s second (managing) tier, but are generally absent from the first (supervisory) tier, which is at least nominally independent from the firm’s hired officers (i.e. from the firm’s senior managerial employees). In single-tier boards, in contrast, hired officers may be members of, and even dominate, the board itself.12 Pertama, pimpinan korporasi dipisahkan dengan manajer operasional. Pimpinan tertinggi (direksi) membawahi lapis kedua yakni para manajer. Meskipun mereka bawahan dari direksi, mereka tetap memiliki independensi dibandingkan para pekerja di bawahnya. Second, the board of a corporation is elected—at least in substantial part—by the firm’s shareholders. This requirement of an elected board distinguishes the corporate form from other legal forms, such as nonprofit corporations or business trusts, that permit or require a board structure, but do not require election of the board by the firm’s (beneficial) owners.13 Pemimpin perusahaan dipilih oleh para pemegang saham. Persyaratannya ditentukan oleh peraturan korporasi. Namun terdapat pengeculian di beberapa korporasi profit maupun non profit, pemimpin tertinggi adalah pemilik korporasi atau pemilik mayoritas saham. Pemimpin perusahaan terdiri dari beberapa anggota yang bertugas untuk memonitor dan mengawasi keputusan-keputusan yang dibuat. Banyak korporasi memperkenankan business planners untuk memberikan bantuan. Untuk koporasi kecil, hanya ada satu direktur yang juga berfungsi sebagai manajer operasional.14 11 By ‘creditors’ we mean here, broadly, all persons who have a contractual claim on the firm, including employees, suppliers, and customers. Ibid., hlm 10. 12 Ibid., hlm 10. 13 Ibid., hlm 12. 14 Ibid., hlm 13.
  • 12. 7 Dengan demikian, untuk melihat dan menilai sebuah korporasi, setidaknya dibutuhkan tiga batasan. Pertama, legal personality. Ada unsur dalam sebuah korporasi yang memiliki otoritas mengelola aset atau membuat perjanjian. Kedua, limited liability. Harus dipisahkan antara aset korporasi dan aset individu dalam korporasi tersebut. Ketiga, delegated management. Terdapat struktur yang diisi oleh masing-masing subjek yang memiliki kewenangan masing-masing. Dalam tertib hukum indonesia, terdapat berbagai undang-undang yang menjelaskan definisi korporasi. Berkaitan dengan tujuan penelitian ini, contoh paling relevan adalah definisi berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 1 disebutkan bahwa Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Terdapat karakteristik badan hukum dan bukan badan hukum. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) membagi subyek hukum menjadi dua yakni manusia pribadi (natuurlijke persoon) dan badan hukum (rechtpersoon). Badan hukum merupakan kumpulan manusia pribadi (natuurlijke persoon) dan mungkin pula kumpulan dari badan hukum yang pengaturannya sesuai menurut hukum yang berlaku, umpamanya badan hukum perseroan terbatas menurut Bab III bagian Ketiga Buku I KUHDagang (W.v.K.=Wetboek van Koophandel). Lebih lanjut Kansil menyarikan beberapa pandangan ahli mengenai badan hukum:15 1. Teori fiksi oleh Friedrich Carl von Savigny, C.W. Opzoomer, dan Houwig. Badan hukum itu pengaturannya oleh negara dan badan hukum itu sebenarnya tidak ada, hanya orang-orang yang menghidupkan bayangannya untuk menerangkan sesuatu dan terjadi karena manusia yang membuat berdasarkan hukum atau dengan kata lain merupakan orang buatan hukum; 2. Teori harta karena jabatan atau teori Van Het Ambtelijk Vermogen oleh Holder dan Binder. Teori ini menjelaskan bahwa badan hukum ialah suatu badan yang mempunyai harga yang berdiri sendiri, yang dimiliki oleh badan hukum itu tetapi oleh pengurusnya dan karena jabatannya, ia diserahkan tugas untuk mengurus harta tersebut; 15 C.S.T. Kansil dan Cristhine S.T. Kansil, 2010, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, hlm 12.
  • 13. 8 3. Teori harta bertujuan atau Zweck Vermogen oleh A. Brinz dan E.J.J. ven der Heyden, yang menjelaskan hanya manusia yang dapat menjadi subyek hukum dan badan hukum adalah untuk melayani kepentingan tertentu; 4. Teori milik bersama atau Propriate Collective oleh W.L.P.A. Molengraaff dan Marcel Planiol. Berdasarkan teori ini badan hukum merupakan harta yang tidak dapat dibagi-bagi dari anggota-anggotanya secara bersama-sama; dan 5. Teori kenyataan atau teori peralatan atau Orgaan Theorie oleh Oto von Gierke, yang menyatakan bahwa badan hukum bukanlah sesuatu yang fiksi, tetapi merupakan makhluk yang sungguh-sungguh ada secara abstrak dari konstruksi yuridis. B. Konsep Kejahatan Korporasi (Corporate Crime) Peter Grabosky dan John Braithwaite menyatakan, “corporate crime falls within the domain of the white collar crime broadly defined as crime committed within the course of one's occupation by persons of relatively high social status.”16 Kejahatan korporasi masuk dalam kategori kejahatan kerah putih yaitu kejahatan yang dilakukan oleh orang yang berstatus sosial tinggi. Sehingga sebelum membahas secara detail mengenai kejahatan korporasi, perlu dibahas secara mendalam mengenai white-collar crime. Edwin Sutherland sebagai pelopor studi tentang white-collar crime menyatakan bahwa kejahatan kerah putih merupakan kejahatan terorganisasi karena mencakup kegiatan formal17 dan informal18 dengan persekongkolan jahat di berbagai industri dan profesi.19 Pandangan Sutherland ini mendapatkan tanggapan dari Ellen S. Podgor yang menyatakan bahwa batasan yang dikemukakan oleh Sutherland konsentrasinya pada pelaku dengan status sosial individu sehingga tidak termasuk pelanggaran 16 Peter Grabosky and John Braithwaite, Australian Institute of Criminology, Trends and Issues in Crime and Criminal Justice Vol. 5: Corporate Crime in Australia, hlm 2. 17 Formal organization is inherent in offenses that are collusive, bribery, price fixing, bid rigging, industry espionage, and physician free splitting are examples of formally or organized illegalities. Such crimes are accomplished through “gentlemen’s agreement, pools..and cartels. Moreover, some others kind of formal organization is controlling legislation, selection of administrators, and restriction of appropriations for the enforcement of laws which may affect themselves. Edwin Sutherland, White Collar Crime, cap. 13 sebagaimana dikutip dalam Gary S. Green, 1993, White-Collar Crime and the Study of Embezzlement, American Academy of Political and Social Science, ANNALS, AAPSS, 525, hlm 98-99. 18 It refers to business moralities that run counter to the law. Ibid. 19 Ibid.
  • 14. 9 terhadap hukum pidana. Inilah yang menyebabkan ada banyak pengertian mengenai white-collar crime.20 Pandangan berbeda dikemukakan oleh Hartung. Ia menggunakan definisi yang lebih sempit. “a white-collar offense is defined as a violation of law regulating business, which is committed for a firm by the firm or its agents in the conduct of it business”.21 Kejahatan kerah putih adalah pelanggaran hukum yang berkaitan dengan bisnis yang dilakukan oleh korporasi atau agen korporasi yang menyelenggarakan bisnis tersebut. Meskipun terdapat perbedaan antara beberapa pandangan di atas, dapat ditarik benang merah bahwa white-collar crime dilakukan oleh orang berstatus sosial tinggi dengan cara yang terorganisasi di berbagai industri, profesi, maupun lingkup sempit di dunia bisnis dengan pelaku korporasi atau agen korporasi. Agar sebuah kejahatan dikategorisasi sebagai kejahatan sebagai white-collar crime, Gottfredson dan Travis Hirchi menyimpulkan beberapa proposisi sebagai berikut: 1. Kejahatan white-collar merupakan kejahatan yang sebenarnya dan merupakan pelanggaran terhadap hukum pidana; 2. Kejahatan white-collar berbeda dengan kejahatan yang dilakukan oleh golongan kelas bawah; 3. Teori kriminologi yang menyatakan bahwa kejahatan terjadi berkaitan dengan kemiskinan, sakit jiwa, dan kondisi sosial kumuh adalah sudah tidak tepat lagi; 4. Diperlukan sebuah teori perilaku kriminal yang akan menjelaskan kejahatan white-collar dan kejahatan yang dilakukan oleh kelas bawah; dan 5. Sebuah hipotesis terhadap pandangan ini berkaitan dengan teori differentian association dan social disorganization. Giriraj Shah sebagaimana dikutip M. Arief Amrullah berpandangan, white-collar crime dapat diklasifikasikan dalam kategori sebagai berikut: 1. Kecurangan dalam bidang perdagangan, perbankan, dan asuransi; 2. Pelanggaran terhadap ketentuan ekspor dan impor; 3. Pelanggaran terhadap ketentuan perburuhan dan lingkungan hidup; 4. Menghindari kewajiban pembayaran pajak dan penyelundupan; 5. Pemalsuan obat dan makanan; 6. Penimbunan barang dan pasar gelap; dan 20 M. Arief Amrullah, 2006, Kejahatan Korporasi: The Hunt for Mega-Profits and The Attack on Democracy, Banyumedia, Jawa Timur, hlm 23. 21 White Collar Crime (New York: Dryden Press, 1949), hlm 9, sebagaimana dikutip oleh Vilhelm Aubert, 1952, White-Collar Crime and Social Structure, Chicago Journals, hlm 265.
  • 15. 10 7. Memalsukan mata uang kertas dan mata uang logam. Sementara Clinard dan Yeager berpandangan bahwa white-collar crime melingkupi dua jenis kejahatan yaitu occupational crime dan corporate crime. Occupational crime adalah kejahatan yang berhubungan dengan jabatan dan pekerjaan, sebagian besar dilakukan oleh individu atau kelompok kecil individu dalam hubungannya dengan pekerjaan atau jabatan. Kejahatan occupational contohnya adalah pelanggaran hukum oleh pengusaha, politisi, dan banyak profesi lainnya.22 Sementara secara umum occupational crime is a crime committed by a person during the course of legal employment. Some examples of occupational crimes are misuse of an employer's property, theft of employer's property, and misuse of sensitive information for personal gains.23 Maksudnya, occupational crime adalah kejahatan yang dilakukan oleh seseorang terkait dengan jabatannya sebagai pegawai yang legal/resmi, dilakukan untuk kepentingannya sendiri. Contoh dari occupational crime adalah penyalahgunaan harta pegawai, pencurian harta pegawai dan informasi atas keuntungan pribadi. Guna memperjelas pemahaman mengenai occupational crime, Herberth Edelhertz menyimpulkan empat lingkup occupational crimes terkait dengan motivasi pelakunya:24 1. Crime commited by person or individual basis, e.g., income tax evation, bankruptcy frauds, credit purchases or taking loans with no intention to pay, and insurance fraud. Kejahatan yang dilakukan oleh orang perseorangan, sebagai contoh penggelapan pajak penghasilan, penipuan kebangkrutan, mengambil kredit dan pinjaman tanpa niat membayar, dan penipuan asuransi; 2. Crime committed in the course of occupations by those operating in bussines, government, and other establishments, in violation of their duty of loyalty to their employer or client, e.g., bribery, kickbacks, embezzlement, and pilfering. Kejahatan yang berkaitan dengan pengokupasian bisnis, pemerintahan, dan institusi lain yang dilakukan dengan melanggar kewajiban dan loyalitas pelakunya kepada atasan atau klien, sebagai contoh, menyogok, penyuapan, penggelapan, pencurian; 3. Crime incidental to and in furtherance of business operations but not central to business purposes, e.g., food and drug violations, misrepresentation in 22 M. Arief Amrullah, op.cit., hlm 37. 23 Diakses dari www.uslegal.com pada 9 Juli 2013. 24 Preserve Article, What Are the 5 Main Types of Occupational Crime, diakses dari www.preservearticles.com pada 9 Juli 2013.
  • 16. 11 advertising and prescription fraud. Kejahatan yang terjadi pada penggelolaan bisnis tapi tidak berkaitan dengan tujuan utama perusahaan, sebagai contoh kejahatan pada bisnis makanan dan obat, penyelewenangan iklan dan pelanggaran resep; dan 4. Crime as business or the central activity of a business; e.g., medical fraud schemes, lottery fraud schemes, mutual fund fraud schemes, land and real estate frauds, charity and and music piranting. Kejahatan bisnis yang menjadi tujuan utama bisnis tersebut, contohnya skema medis penipuan, skema penipuan undian, skema penipuan reksa dana, penipuan tanah dan real estate, kegiatan amal dan peranti musik. Pandangan Edelhertz semakin menguatkan bahwa occupational crime dilakukan oleh orang perseorangan dengan motif pribadi untuk meraih keuntungan pribadi. Sedangkan Corporate crime, menurut Clinard dan Yeager, adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh korporasi, perbuatan yang dapat dikenai hukuman oleh negara, tanpa memedulikan apakah dikenai sanksi administrasi, hukum perdata, ataukah hukuman pidana.25 Sehingga berdasarkan pandangan Clinard, Yeager, dan Edelhertz, occupational dan corporate crime dibedakan oleh pelakunya. Jika occupational crime dilakukan oleh orang perseorangan sementara corporate crime terjadi jika korporasi yang melakukan kejahatan. Jika mengacu pada pandangan ilmuwan tersebut, tentu terdapat pertanyaan bagaimana jika kejahatan dilakukan oleh orang perseorangan sehingga menimbulkan mafaat bagi korporasi. Lebih lanjut, Sjögren dan Skogh sebagaimana dikutip oleh Giulia Mugellini, menyatakan bahwa corporate crime adalah “...those offences committed to gain profit within an otherwise legal business...”26 Yang artinya kejahatan korporasi adalah perbuatan kejahatan yang dilakukan untuk memperoleh keuntungan dalam bisnis yang legal. Atas dasar beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kejahatan korporasi merupakan bentuk dari white-collar crime yang dilakukan oleh korporasi secara teroganisasi dengan tujuan mengambil keuntungan demi kepentingan korporasi tersebut. 25 M. Arief Amrullah, op.cit., hlm 39. 26 Giulia Mugellini, 2012, Crime Againts the Private Sector in latin America: Existing Data and Future Orientations to Analyse the Victimization of Businesses, slide presentation of First International Conference on statistical information on government, public safety, victimization and justice UNODC-INEG.
  • 17. 12 Lebih lanjut, Reiss dan Biderman menjelaskan tujuan dari kejahatan kerah putih yakni “white-collar violations are those violations of law…that involve the use of a violator’s position of significant power, influence, or trust in the legitimate economic or political institutional order for the purpose of illegal gain, or to commits an illegal act for personal or organizational gain.”27 Secara ringkas kejahatan kerah putih adalah pelanggaran terhadap hukum yang melibatkan para pemegang kekuasan yang dapat mempengaruhi sektor ekonomi dan politik untuk memperoleh keuntungan haram atau memberikan keuntungan bagi organisasi atau individu. Sebagai sebuah kejahatan terorganisasi, white-collar crime, memberikan dampak yang amat berbahaya yakni, individual economic losses, societal economic losses, emotional consequences, physical harm, dan “positive” consequences.28 Pertama, yang dimaksud dengan individual economic losses ialah kerugian finansial yang dialami oleh korban (individu). Sutherland menyatakan kerugian yang ditimbulkan oleh white-collar crime beberapa kali lipat dari kejahatan biasa. Sementara societal economic losses ialah kerugian finasial yang dialami oleh masyarakat akibat white- collar crime. Kerugian ini bertambah jika dikalkulasikan dengan kegagalan bisnis dan biaya pemulihan.29 Lebih lanjut, emotional consequences yang dialami oleh korban kejahatan kerah putih dan seluruh masyarakat yang terciderai oleh perbuatan jahat tersebut. Bentuk dari dampak emosional antara lain munculnya stress, hancurnya kepercayaan, dan kerusakan pada tatanan nilai masyarakat. Physical harm ialah dampak fisik yang dirasakan oleh korban, misal sakit atau kehilangan nyawa. Sebagai contoh pada kejahatan korporasi lingkungan masyarakat di sekitar korporasi akan terkena dampak negatif dari perilaku korporasi tersebut.30 C. Konsep Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari tindak pidana. Tindak pidana hanya menunjuk pada dilarangnya suatu perbuatan.31 Undang-undang hukum pidana umumnya hanya menentukan perilaku yang dinyatakan sebagai tindak pidana 27 Reiss A.J., Jr., Biderman A.D., 1980, Data sources on white-collar law breaking, Washington D.C, Government Printing Office, sebagaimana dikutip oleh John M. Ivancevich, Thomas N. Duening, Jacqueline A. Gilbert, and Robert Konopaske, 2003, Deterring White-Collar Crime, Academy of Management Executive, Vol. 17 No. 2 hlm 115 28 Section II, Understanding White-Collar Crime: Definitions, Extends, and Consequences, hlm 47. 29 Ibid., hlm 48. 30 Ibid., hlm 49. 31 Dwidja Priyatno, 2009, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, CV Utomo, Bandung, hlm 30.
  • 18. 13 dan sanksi pidana yang diancamkan terhadap pembuatnya. Sedangkan masalah pertanggungjawaban pidana sepertinya kurang mendapat perhatian pembentuk undang-undang. Meskipun harus diakui berbagai sinyalemen tentang kesalahan dan pertanggungjawaan pidana juga tersirat dari berbagai ketentuan perundang-undangan, tetapi dapat dikatakan masih sangat sedikit. KUHP misalnya, masalah pertanggungjawaban pidana dihubungkan dengan alasan-alasan penghapus pidana sebagaimana ditentukan dalam Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 51 KUHP. Pasal 183 KUHAP juga mengamanatkan pentingnya kesalahan dalam penjatuhan pidana terdakwa.32 Adapun mengenai pertanggungjawaban pidana, terdapat dua pandangan yang terus berkembang, yaitu aliran monistis dan dualistis. Aliran monistis antara lain dikemukakan oleh Simon yang berpandangan bahwa strafbar feit meliputi suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh orang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggungjawab atas perbuatannya.33 Menurut aliran monisme, unsur strafbar feit meliputi unsur perbuatan atau biasa disebut unsur objektif dan unsur pembuat atau biasa disebut subjektif. Oleh karena itu, dicampurnya unsur perbuatan dan unsur pembuat dapat disimpulkan bahwa strafbar feit adalah sama dengan syarat penjatuhan pidana, sehingga seolah-olah dianggap bahwa kalau terjadi strafbar feit, maka pasti pelakunya dapat dipidana.34 Pandangan monistis tentang strafbar feit atau criminal act menentukan unsur- unsur pertanggungjawaban pidana yang menyangkut pembuat delik yang meliputi: 1. Kemampuan bertanggungjawab; 2. Kesalahan dalam arti luas, sengaja dan/atau kealpaan; dan 3. Tidak ada alasan pemaaf. 35 Aliran kedua adalah dualistis yang dikenalkan oleh Herman Kontorowicz pada tahun 1933. Sarjana Jerman ini menulis buku Tutund Schuld yang menentang pendirian mengenai kesalahan (schuld) yang beliau namakan “objektive schuld”, oleh 32 Chairul Huda, 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan: Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Kencana Prenada Media, Jakarta, hlm 2-3. 33 Muladi dan Dwija Priyatno, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Prenada Media, Jakarta, hlm 63. 34 Ibid. 35 Ibid., hlm 65.
  • 19. 14 karena kesalahan dipandang sebagai sifat dari kelakuan. Untuk adanya strafvoraussetzungen (syarat penjatuhan pidana terhadap pembuat) diperlukan lebih dahulu pembuktian adanya strafbare handlung (perbuatan pidana), lalu setelah itu dibuktikan schuld atau kesalahan subjektif pembuat.36 Pandangan dualistis ini diperkenalkan Moeljatno dalam pidato Dies Natalis VI UGM tanggal 19 Desember 1955. Apabila suatu unsur perbuatan melawan hukum pidana tidak terbukti, maka putusannya bebas. Namun, apabila semua unsur perbuatan tersebut terbukti ditetapkan bahwa telah terjadi delik dan pembuat tak langsung dapat dijatuhi pidana, sedangkan pelaku, yaitu pembuat yang melakukan perbuatan tersebut ternyata tidak mampu bertanggungjawab dinyatakan dilepaskan dari segala tuntutan.37 Pandangan dualistis memudahkan pembedaan kualifikasi mana saja yang termasuk unsur perbuatan dan mana yang termasuk unsur pertanggungjawaban. Pada awalnya di dalam hukum pidana dikenal teori feit materiel yang menentukan adanya kesalahan dan pertanggungjawaban pidana cukup dengan memastikan apakah pembuat memenuhi seluruh isi rumusan tindak pidana. Pembuktian telah dilakukannya suatu tindak pidana dipandang cukup sebagai dasar pertanggungjawaban pidana terdakwa. Artinya, seseorang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana apabila dapat dibuktikan bahwa perbuatannya telah memenuhi seluruh isi rumusan tindak pidana yang didakwakan.38 Namun, pandangan ini semakin lama tidak memuaskan sehingga terus terjadi perubahan seperti tedapat dalam Arrest Hoge Raad 1916 yang dikenal Water en Melk Arrest. Pada satu sisi, arrest tersebut dapat dipandang memperkenalkan alasan penghapus kesalahan di luar undang-undang yang disebut dengan tiada kesalahan sama sekali atau afwezigheid van alle schuld (avas). Terdakwa yang dalam kasus tersebut didakwa melakukan tindak pidana yang rumusannya tidak memuat unsur kesengajaan atau kealpaan, dinyatakan tidak bersalah karena tiada kesalahan sama sekali. Padahal apabila merujuk pada ajaran feit materiel, terdakwa dalam kasus tersebut sudah dapat dipertanggungjawabkan, karena seluruh isi rumusan tindak pidana telah dipenuhi.39 Arrest tersebut di atas juga dapat dikatakan mensyaratkan pertanggungjawaban pidana pada kesalahan, tidak sekedar pada dipenuhinya unsur pidana. Pada sistem common law doktrin demikian disebut sebagai mens rea yang 36 Ibid., hlm 66. 37 Ibid., hlm. 68. 38 Chairul Huda, op.cit., hlm 3-4. 39 Ibid.
  • 20. 15 berasal dari adagium actus non est reus, nisi mens sit rea. Pada sistem civil law doktrin ini disebut sebagai geen straf zonder schuld beginsel atau tiada pidana tanpa kesalahan. Adapun mengenai kesalahan, terkandung unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Jadi, orang yang bersalah melakukan perbuatan itu berarti perbuatan itu dapat dicelakan padanya. Pencelaan di sini bukan pencelaan berdasarkan kesusilaan, melainkan pencelaan berdasarkan hukum yang berlaku.40 Pada awalnya kesalahan dilihat dari keadaan psikologis semata. Pertama-tama, secara sempit kesalahan dipandang sama dengan kealpaan. Dengan kata lain, istilah kesalahan digunakan sebagai sinonim dari sifat tidak hati-hati. Kemudian pengertian kesalahan juga dikaitkan dengan alasan penghapus pidana di luar undang-undang. Dalam hal ini ketiadaan kesalahan sama sekali atau afwezigheid van alle schuld (avas), dijadikan alasan penghapus pidana selain yang telah ditentukan dalam undang- undang. Istilah kesalahan juga digunakan sebagai pengumpul kesengajaan dan kealpaan. Dikatakan ada kesalahan, jika pada diri pembuat terdapat salah satu dari dua bentuk kesalahan ketika melakukan tindak pidana.41 Begitu berpengaruhnya teori psikologis tentang kesalahan, sehingga tidak mengherankan jika sampai saat ini pandangan tersebut masih mewarnai pemahaman para ahli hukum pidana. Namun demikian, teori kesalahan psikologis ini diragukan orang ketika timbul persoalan dalam praktik hukum yang dipicu oleh ketiadaan unsur dengan sengaja atau karena kealpaan dalam rumusan tindak pidana. Sekalipun agak berbeda, persoalan yang sama juga mengemuka dalam common law system. Dalam tradisi common law system doktrin mens rea sempat diragukan.42 Menurut Smith dan Hogan, pandangan yang berpendirian bahwa mens rea harus ada pada tiap tindak pidana hanya diikuti sampai akhir abad kesembilan belas. Setelah masa itu doktrin mens rea tidak lagi berlaku mutlak. Penyimpangan diawali ketika umumnya tindak pidana yang ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan dirumuskan tanpa unsur mental. Dengan demikian, berbeda dengan common law crime yang umumnya memuat terdiri dari actus reus dan mens rea. Penyimpangan atas doktrin mens rea semakin kentara ketika diterapkannya strict liability terhadap tindak pidana.43 40 Dwidja Priyatno, op.cit., hlm 74. 41 Chairul Huda, op.cit., hlm 74. 42 Ibid., hlm 75-76. 43 Ibid.
  • 21. 16 Strict liability biasa disebut sebagai prinsip tanggung jawab mutlak atau prinsip tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan. Atau dengan perkataan lain suatu prinsip tanggung jawab yang memandang kesalahan sebagai suatu yang tidak relevan untuk dipermasalahkan apakah pada kenyataan ada atau tidak. Menurut doktrin strict liability seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan (mens rea).44 Strict liability atau yang sering disebut liability without fault dianggap bertentangan dengan doktrin mens rea. Namun, sebenarnya strict liability merupakan pengecualian sebagai pelengkap dan penyeimbang bagi asas kesalahan. Menurut L.B. Curson, doktrin strict liability didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut: 1. Adalah sangat esensial untuk menjamin dipatuhinya peraturan-peraturan penting tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan sosial; 2. Pembuktian adanya mens rea akan menjadi sangat sulit untuk pelanggaran yang berhubungan dengan kesejahteraan sosial itu; dan 3. Tingginya tingkat bahaya sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan yang bersangkutan.45 Argumentasi yang hampir serupa dikemukakan pula dalam bukunya Ted Honderich. Dikemukakan olehnya bahwa premisse (alasan) yang bisa dikemukakan untuk strict liability ialah: 1. Sulitnya membuktikan pertanggungjawaban untuk tindak pidana tertentu; 2. Sangat perlunya mencegah jenis-jenis tindak pidana tertentu untuk, menghindari adanya bahaya yang sangat luas; dan 3. Pidana yang dijatuhkan sebagai akibat dari strict liability adalah ringan.46 Strict liability dapat menjadi penyeimbang dari asas kesalahan, juga berarti memperhatikan keseimbangan dua kepentingan yaitu kepentingan masyarakat dan kepentingan individu. Pandangan demikian disebut monodualistis yang dalam hukum pidana dikenal istilah daad-dader strafrecht, yaitu hukum pidana yang memperhatikan segi objektif dari perbuatan (daad) dan juga segi subjektif dari pembuat (daader).47 44 Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit., hlm 111. 45 Ibid., hlm 112. 46 Ibid. 47 Dwidja Priyatno, op.cit., hlm 50.
  • 22. 17 Pada doktrin strict liability pembuatnya dapat dicela sekalipun terlepas dari persoalan psikologis pembuat dengan tindak pidananya. Persoalannya hanya tinggal dalam lapangan pembuktian. Strict liability merupakan pertanggungjawaban terhadap pembuat tindak pidana yang dilakukan tanpa harus membuktikan kesalahannya. Kesalahannya tetap ada, tetapi tidak harus dibuktikan. Menurut teori kesalahan normatif, kesengajaan dan kealpaan hanya dipandang sebagai pertanda adanya kesalahan dan bukan kesalahan itu sendiri. Kesalahan ada jika kelakuan tidak sesuai dengan norma yang harus diterapkan. Kesalahan tetap dapat dipandang ada, sekalipun tidak ditinjau lebih jauh mengenai kesengajaan atau kealpaan pembuat tindak pidana. Sepanjang norma hukum menentukan bahwa pembuatnya dapat dicela karena melakukan tindak pidana, maka terdapat kesalahan pada diri pembuatnya. Apabila undang-undang menetapkan suatu tindak pidana dipertanggungjawabkan secara strict maka pada pembuatnya tetap dipandang memiliki kesalahan sekalipun tidak ditinjau lebih jauh apakah kesengajaan atau kealpaan yang meliputi batinnya.48 Strict liability merupakan pertanggungjawaban terhadap pembuat tindak pidana yang dilakukan tanpa harus membuktikan kesalahannya. Kesalahannya tetap ada, tetapi tidak harus dibuktikan. Terdakwa dinyatakan bersalah hanya dengan membuktikan telah dilakukannya tindak pidana. Dengan demikian, fungsi utama strict liability adalah berkenaan dengan hukum acara dan bukan hukum pidana meteriil. Strict liability dalam pertanggungjawaban pidana lebih merupakan persoalan pembuktian, yaitu kesalahan dipandang ada sepanjang telah dipenuhinya unsur delik.49 Termasuk penyimpangan asas kesalahan selain strict liability terdapat doktrin vicarious liability, yaitu pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada sesorang atas perbuatan orang lain. Pertanggungjawaban demikian misalnya terjadi dalam hal perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang lain itu adalah dalam ruang lingkup pekerjaan atau jabatan. Jadi pada umumnya terbatas pada kasus-kasus yang menyangkut hubungan antara majikan dengan buruh, pembantu atau bawahannya. Dengan demikian, dalam pengertian vicarious liability ini, walaupun seseorang tidak melakukan sendiri suatu tindak pidana dan tidak mempunyai kesalahan dalam arti biasa, ia masih dapat dipertanggungjawabkan.50 48 Chairul Huda, op.cit., hlm 86. 49 Ibid., hlm 86-87. 50 Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit., hlm 113-114.
  • 23. 18 Vicarious liability sebenarnya bukan merupakan konsep asli hukum pidana, melainkan suatu konsep yang diadopsi dari bidang hukum lain. Doktrin ini juga asing bagi civil law system, karena awalnya berkembang dari common law system. Para ahli hukum yang memandang vicarious liability sebagai masalah pertanggungjawaban pidana, melihat hal tersebut sebagai konsep yang bersifat eksepsional. Pertanggungjawaban yang demikian ini oleh Ashworth dikatakan hanya dapat terjadi jika terdapat dua keadaan.51 Pertama, apabila terdapat pendelegasian. Where a statute imposes liability on the owner, licensee or keeper of premises or other property, the courts will make that person vicariously liable for conduct of any one to whom management of premises has been delegated. Dengan demikian pemilik, pengurus atau orang pemberi perintah bertanggungjawab atas perbuatan bawahan yang bekerja untuknya atau sebatas pada perintahnya. Leigh mengatakan, the offence is essentialy that of the servant, liability for being ascribed to the master. Tindak pidana yang dilakukan oleh bawahan pada intinya menjadi tanggung jawab atasannya. Dalam hal tindak pidana korporasi, maka pertanggungjawaban dapat terjadi baik terhadap individu maupun terhadap korporasi itu sendiri. Kedua, dalam hal penafsiran atas perbuatannya, yaitu vicarious liability diterapkan so long assistant is acting as agent rather than as a private individual. Dengan demikian, sekalipun tidak ada pendelegasian, tetapi penafsiran atas fakta perbuatannya menunjukkan bahwa pelaku berbuat bukan dalam kapasitas pribadinya. Istilah yang populer mengenai hal ini adalah doktrin respondeat superior. Menurut Alschuler, doktrin ini mulanya merupakan bentuk pertanggungjawaban orang Romawi terhadap tindak pidana yang dilakukan para budaknya. Vicarious liability ini berlaku hanya terhadap jenis tindak pidana tertentu menurut hukum pidana Inggris, yaitu terhadap: 1. Delik yang mensyaratkan kualitas; dan 2. Delik yang mensyaratkan adanya hubungan antara buruh dan majikan. Jika dibandingkan antara strict liability dan vicarious liability maka jelas bahwa terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaan yang tampak bahwa baik strict liability crimes maupun vicarious liability tidak mensyaratkan adanya mens rea atau unsur kesalahan pada orang yang dituntut pidana. Perbedaannya pada strict liability crimes pertanggungjawaban pidana bersifat langsung dikenakan kepada pelakunya, 51 Chairul Huda, op.cit., hlm 43.
  • 24. 19 sedangkan pada vicarious liability pertanggungjawaban pidana bersifat tidak langsung.52 Pertanggungjawaban pidana yang umumnya hanya dapat terjadi jika pada diri pembuat terdapat kesalahan, dengan vicarious liability mendapat perkecualian. Apabila diikuti konstruksi ini, maka dalam vicarious liability seseorang dipandang bertanggungjawab atas kesalahan orang lain. Dalam vicarious liability dikecualikan adanya actus reus, tetapi seseorang dipertanggungjawabkan atas actus reus yang dilakukan orang lain. Pengecualiannya bukan pada kesalahan tetapi pada perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana tanpa adanya tindak pidana yang dilakukan (orang dipertanggungjawabkan), tetapi tindak pidana yang dilakukan seseorang dipertanggungjawabkan terhadap orang lain.53 Hukum Inggris menghubungkan vicarious liability dengan pertanggungjawaban korporasi. Korporasi berbuat dengan peranan orang. Apabila orang ini melanggar suatu ketentuan undang-undang maka menjadi pertanyaan apakah korporasi yang dipertanggungjawabkan. Pada tahun 1944 korporasi dimungkinkan bertanggungjawab dalam hukum pidana, baik sebagai pembuat maupun peserta untuk tiap delik, meskipun waktu itu disyaratkan adanya mens rea dengan menggunakan asas identifikasi. Jadi korporasi dipersamakan dengan orang pribadi berdasarkan asas identifikasi. Perkembangan teknologi dan industri membawa resiko besar termasuk bisa mengakibatkan kerugian yang luas. Terlebih jika yang menjadi korban adalah masyarakat luas akibat aktivitas dibidang perekonomian dan perdagangan yang melibatkan badan hukum. Tantangan timbul karena sangat sulit untuk membuktikan adanya kesalahan pada korporasi, sebab yang mempunyai kesalahan pada umumnya yang diterima adalah orang. Demi memudahkan sistem pertanggungjawaban pidana untuk korporasi maka terdapat penyimpangan dari asas kesalahan dengan menganut doktrin strict liability dan vicarious liability.54 D. Konsep Stelsel Pemidanaan Pidana memberikan nestapa kepada pembuat delik. Namun, penjatuhan pidana yang mengakibatkan nestapa bukanlah tujuan utama dari pidana, melainkan masih terdapat upaya melalui tindakan-tindakan. Fokus sanksi pidana tertuju pada perbuatan pengenaan penderitaan, sehingga terarah pada upaya memberi pertolongan agar 52 Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit., hlm 114. 53 Chairul Huda, op.cit., hlm 45. 54 Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit., hlm 118-120.
  • 25. 20 pelaku berubah. Sedangkan sanksi tindakan bersumber ide dasar perlindungan masyarakat, pembinaan, dan perawatan bagi terpidana.55 Hukum pidana menentukan perbuatan-perbuatan apa yang perlu diancam dengan hukum pidana dan jenis pidana serta cara penerapannya sehingga kedudukan sanksi sangatlah penting. Namun, penerapan hukum pidana tidak selalu berakhir dengan penjatuhan pidana, tetapi dikenal juga asas oportunitas yang disebut pardon, disamping dikenal juga jenis sanksi yang disebut tindakan, yang dalam hukum pidana ekonomi sangat luas, ada tindakan tata tertib sementara yang dikenakan oleh jaksa dan ada tindakan tata tertib yang dikenakan oleh hakim, juga ada sistem penundaan pidana dan pidana bersyarat.56 KUHP menempatkan urutan pidana mulai dari yang terberat menuju urutan pidana yang lebih ringan. Pasal 10 KUHP menentukan pidana terdiri dari: 1. Pidana pokok: a. Pidana mati b. Pidana penjara c. Pidana kurungan d. Pidana denda 2. Pidana tambahan: 1. Pencabutan hak tertentu 2. Perampasan barang-barang tertentu 3. Pengumuman putusan hakim. Sampai saat ini, pidana mati masih tercantum dalam KUHP. Berbeda dengan wetboek van strfafrecht Nederland yang telah menghapus pidana mati sejak 1870. Selain dalam KUHP pidana mati juga tercantum dalam berbagai undang-undang. Pemberlakuan pidana mati merupakan perdebatan hampir di seluruh negara di dunia. Terdapat kelompok yang mendukung pidana mati (retensionis) juga terdapat kelompok yang menuntut penghapusan pidana mati(abolisionis). Dalam perkembangannya, semakin banyak negara yang menghapus pidana mati. Secara umum Roger Hood membagi negara-negara di dunia kaitannya dengan pemberkaluan pidana mati. Pertama, negara-negara yang menghapus pidana mati untuk semua kejahatan. Kedua, negara-negara yang menghapus pidana mati untuk 55 Syaiful Bakhri, 2009, Perkembangan Stelsel Pidana Indonesia, Kreasi Total Media, Yogyakarta, hlm 1-2. 56 Ibid., hlm 2-3.
  • 26. 21 kejahatan biasa. Ketiga, negara-negara yang menghapus pidana mati secara de facto. Keempat, negara-negara yang mempertahankan pidana mati.57 Perdebatan menganai pidana mati sudah berlangsung sejak zaman abad ke 18. Sedangkan penerapannya di Hindia Belanda ditujukan untuk mengatasi keadaan khusus mengingat banyaknya gangguan ketertiban, tentu saja yang mengancam pemerintahan kolonial. Sebagai negeri jajahan yang memiliki wilayah luas dan keragaman penduduk, pidana mati dianggap penting untuk menjamin ketertiban umum. Adapun dipertahankannya pidana mati di Indonesia sampai sekarang banyak didukung oleh alasan adanya beberapa tindak pidana yang sangat membahayakan masyarakat luas, sehingga diperlukan ancaman pidana paling berat yaitu pidana mati. Kelompok yang menuntut penghapusan pidana mati banyak dilatarbelakangi alasan hak hidup sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Jenis pidana pokok kedua adalah pidana penjara. Pidana penjara sebagai bentuk pencabutan kemerdekaan sudah dikenal sejak ribuan tahun lalu. Tujuan pidana penjara awalnya menjamin pengamanan narapidana dan memberinya kesempatan untuk rehabilitasi. Selain itu pidana ini pada masa dahulu juga digunakan sebagai bentuk pengasingan narapidana dari masyarakat. Seiring perkembangan zaman pidana penjara terus disesuaikan agar sejalan dengan perikemanusiaan. Variasi pidana penjara mulai dari pidana sementara minimal satu hari sampai penjara seumur hidup. Pidana penjara seumur hidup tercantum di mana ada ancaman pidana mati. Terhadap pidana penjara seumur hidup muncul banyak keberatan karena dipandang tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan yaitu memperbaiki terpidana agar dapat kembali menjadi anggota masyarakat yang baik. Pidana penjara seumur hidup lebih dekat kepada tujuan pemidanaan sebagai pembalasan. Menurut Andi Hamzah, pidana penjara disebut pidana hilang kemerdekaan, bukan saja dalam arti sempit bahwa ia tidak merdeka bepergian, tetapi juga narapidana itu kehilangan hak tertentu, seperti di bawah ini:58 1. Hak memilih dan dipilih; 2. Hak memangku jabatan publik; 3. Sering pula diharuskan bekerja di perusahaan tertentu; 4. Hak mendapatkan perizinan tertentu; 57 Andi Hamzah, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Perkembangannya, Sofmedia, Jakarta, hlm 247. 58 Ibid., hlm 254-255.
  • 27. 22 5. Hak mengadakan asuransi hidup; 6. Hak untuk tetap dalam ikatan perkawinan, karena bisa menjadi alasan untuk meminta perceraian; 7. Hak kawin, meskipun adakalanya seseorang kawin sementara menjalani pidana penjara, itu merupakan keadaan luar biasa dan hanya formalitas belaka; dan 8. Dan hak sipil lainnnya. Banyaknya konsekuensi yang harus ditanggung oleh terpidana yang menjalani pidana penjara dirasakan tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan untuk merehabilitasi seseorang. Adapun pidana penjara membutuhkan pembiayaan besar melalui anggaran negara. Sedangkan efektivitasnya dalam merehabilitasi narapaidana juga masih banyak diragukan. Oleh karena itulah, perkembangan jenis pidana di banyak negara khususnya pada tindak pidana yang dikategorikan ringan tidak lagi mengutamakan pidana penjara, tetapi menggantinya dengan jenis pidana lain misalnya denda. Selanjutnya adalah pidana kurungan. Pidana kurungan pada dasarnya mempunyai dua fungsi, pertama sebagai custodia honesta untuk delik yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan. Yaitu delik-delik kulpa dan beberapa delik dolus, seperti perkelahian satu lawan satu dan pailit sederhana. Sedangkan fungsi kedua sebagai custodia simplex yaitu perampasan kemerdekaan untuk pelanggaran.59 Pidana kurungan jangka waktunya lebih pendek dari pada pinda penjara sehingga sering dipahami bahwa pidana kurungan lebih ringan dari pada pidana penjara. Selain itu juga terlihat dari urutannya, pidana kurungan di tempatkan di bawah pidana penjara. Pidana kurungan juga terdapat pekerjaan yang dibebankan pada terpidana, tetapi lebih ringan dari pada pidana penjara. Pidana kurungan sering dijadikan sebagai pidana pengganti apabila pidana denda tidak dibayar. Jenis pidana pokok keempat adalah pidana denda. Pidana denda seringkali dianggap bertolak belakang dengan pidana penjara. Pemikiran untuk meminimalisasi pidana penjara sekaligus mengusulkan pidana denda untuk diutamakan. Pidana penjara dianggap terlalu berat untuk dijalani bagi terpidana, membebani anggaran negara, dan sering tidak dapat memenuhi tujuan pemidanaan. Sedangkan pidana denda dianggap dapat menghindari biaya sosial yang dikeluarkan untuk memelihara 59 Syaiful Bakhri, op.cit., hlm 96.
  • 28. 23 penjara, menghindari penahanan yang tidak perlu, dan menghindari penyia-nyiaan modal manusia yang tidak berguna di dalam penjara.60 Perkembangan pemikiran para ahli pidana dan ahli filsafat pemidanaan mengenai tujuan yang harus dijadikan pedoman dalam menyelenggarakan pemidanaan mencerminkan sikap untuk sedapat mungkin membatasi penggunaan pidana penjara. Pidana penjara telah banyak dijadikan sebagai pangkal tolak pengkajian mengenai tujuan pemidanaan.61 Pada zaman modern ini pidana denda banyak diterapkan terhadap tindak pidana ringan maupun pelanggaran. Namun, arah perkembangannya pidana denda juga banyak diterapkan pada tindak pidana yang dipandang berat, meskipun masih sering digabungkan secara kumulatif dengan pidana penjara. Pidana denda mempunyai sifat perdata, mirip dengan pembayaran yang diharuskan dalam perkara perdata terhadap orang yang melakukan perbuatan yang merugikan orang lian. Perbedaannya ialah pidana denda dibayarkan kepada negara sedangkan denda dalam perkara perdata dibayarkan kepada pribadi atau badan hukum.62 Pemikiran untuk semakin meminimalisir pidana penjara dengan memperlunak, memperbaiki kondisinya, bahkan sejauh mungkin diganti pidana alternatif bertolak belakang dengan upaya menjadikan pidana denda sebagai pilihan utama, diperberat, dan ditingkatkan ancamannya. Upaya memaksimalkan pidana denda ditandai dengan adanaya perkembangan penemuan model-model eksekusi pidana denda. Jika pidana denda belum dapat dibayar maka harus diangsur dan tidak boleh diganti dengan pidana kurungan pengganti.63 Pidana denda semakin memiliki arti pada perkembangan pidana dengan menjadikan korporasi sebagai subjek pidana. Jenis pidana yang paling tepat diancamkan pada korporasi pelaku tindak pidana adalah denda, karena korporasi bukanlah manusia yang dapat dipidana penjara. Selain pidana pokok, stelsel pemidanaan mengenal pidana tambahan. Pidana tambahan diserahkan pada hakim untuk dijatuhkan atau tidak kepada terpidana. Seperti namanya, pidana tambahan hanya bersifat tambahan terhadap pidana pokok. Dengan demikian, pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan sendiri tanpa pidana pokoknya. 60 Ibid., hlm 2-3. 61 Ibid., hlm 4. 62 Andi Hamzah, op.cit., hlm 264. 63 Syaiful Bakhri, op.cit., hlm 15.
  • 29. 24 Ada tiga jenis pidana tambahan. Pertama, pencabutan hak tertentu. Jenis pidana ini hanya untuk delik yang tegas ditentukan oleh undang-undang. Hak yang dicabut seperti tercantum dalam Pasal 35 KUHP ayat (1) sebagai berikut: 1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu; 2. Hak memasuki angkatan bersenjata; 3. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan- aturan umum; 4. Hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri; 5. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri; dan 6. Hak menjalankan mata pencarian tertentu. Kedua, pidana perampasan. Pidana perampasan merupakan pidana yang berkaitan dengan harta benda. Terdapat dua macam barang terpidana yang dapat dirampas, yaitu barang-barang yang diduga merupakan hasil kejahatan dan barang- barang yang digunakan dalam kejahatan. Lengkapnya pasal 39 KUHP mengatur tentang pidana perampasan sebagai berikut: 1. Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas; 2. Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang; dan 3. Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita. Ketiga, pengumuman putusan hakim. Pengumuman putusan hakim hanya dijatuhkan pada pidana tertentu sesuai ketentuan undang-undang, misalnya kejahatan penggelapan dan kejahatan curang. Pengumuman putusan hakim merupakan bentuk pidana tambahan yang bertujuan agar masyarakat memperhatikan atau waspada terhadap tindak pidana tertentu. Pengumuman putusan hakim sebagai pidana tambahan mempunyai perbedaan dengan pengumuman dalam surat-surat kabar. Dalam pengumuman putusan hakim
  • 30. 25 biaya dibayar oleh terpidana. Sedangkan kesamaannya adalah keduanya sama-sama merugikan nama baik yang diumumkan.64 E. Tindak Pidana Korupsi Dilihat dari segi peristilahatan, kata ‘korupsi’ berasal dari bahasa latin corruptio65 atau menurut Webster Student Dictionary adalah corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua. Dari Bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa di eropa seperti Inggris: corruption, corrupt; Perancis: corruption; dan Belanda: corruptie (korruptie). Dapat diduga istilah korupsi berasal dari bahasa Belanda ini yang kemudian diadopsi ke dalam bahasa Indonesia: "korupsi". Arti harfiah dari kata itu ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Arti kata korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia itu, disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia: "Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya."66 Di Malaysia terdapat juga peraturan antikorupsi. Akan tetapi di Malaysia tidak digunakan kata ’korupsi’, melainkan kata peraturan "anti-kerakusan". Sering pula Malaysia menggunakan istilah resuah yang tentulah berasal dari bahasa Arab (riswah). Menurut kamus Arab-Indonesia, riswah artinya sama dengan korupsi.67 Dengan pengertian korupsi secara harfiah itu dapatlah ditarik suatu kesimpulan, bahwa sesungguhnya korupsi itu sebagai suatu istilah sangat luas artinya. Seperti disimpulkan dalam Encyclopedia Americana, korupsi itu adalah suatu hal yang bermacam-ragam artinya, bervariasi menurut waktu, tempat dan bangsa. Dengan demikian, pendekatan yang dapat dilakukan terhadap masalah korupsi bermacam-macam pula, dan artinya sesuai pula dari segi mana kita mendekati masalah itu. Pendekatan sosiologis misalnya, seperti halnya yang dilakukan oleh Syed Hussein Alatas dalam bukunya The Sociology of Corruption, akan lain artinya kalau kita melakukan pendekatan normatif; begitu pula dengan politik ataupun ekonomi. Misalnya Alatas, memasukkan nepotisme sebagai kelompok korupsi dalam 64 Andi Hamzah, op.cit., hlm 276. 65 Fockemma, S.J. Andreae, 1951, Rechtsgeleerd Handwoordenboek, Groningen-Djakarta:Bij J.B. Wolter Uitgeversmaatschappij N.V sebagaimana di kutip Andi Hamzah, 1984, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm 7. 66 W.J.S Poerwadarminta, 1982, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hlm 524. 67 Andi Hamzah, op.cit., hlm 8.
  • 31. 26 klasifikasinya memasang keluarga atau teman pada posisi pemerintahan tanpa memenuhi persyaratan untuk itu. Tentunya hal seperti ini sangat sukar dicari normanya dalam hukum pidana di Indonesia. Begitu pula Mubyarto menyorot korupsi dan penyuapan dari segi politik dan ekonomi yang mengutip pendapat Smith sebagai berikut bahwa secara keseluruhan korupsi di Indonesia muncul lebih sering sebagai masalah politik dari pada ekonomi. Ia menyentuh keabsahan (legitimasi) pemerintah di mana generasi muda, kaum elite terdidik dan pegawai negeri pada umumnya. Korupsi mengurangi dukungan pada pemerintah dari kelompok elite di tingkat propinsi dan kabupaten.68 Masih dalam perspektif ekonomi, David M. Chalmers menguraikan pengertian korupsi sebagai tindakan manipulasi dan keputusan mengenai keuangan yang membahayakan ekonomi dalam pernyataannya, ”financial manipulations and decision injurious to the economy are often libeled corruption”.69 Hafidhuddin mencoba memberikan gambaran korupsi dalam perspektif ajaran Islam. Ia menyatakan bahwa dalam Islam korupsi termasuk perbuatan fasad atau perbuatan yang merusak tatanan kehidupan. Pengertian fasad sendiri dapat diterjemahkan sebagai segala perbuatan yang menyebabkan hancurnya kemaslahatan dan kemanfaatan hidup, seperti membuat teror yang membuat orang takut, membunuh, melukai, dan mengambil atau merampas harta orang lain.70 Menurut Mahzar, istilah korupsi secara umum berarti ”berbagai tindakan gelap dan tidak sah untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok. Ia lalu menambahkan bahwa dalam perkembangannya, dari beragam pengertian korupsi terdapat penekanan yang dilakukan sejumlah ahli dalam mendefenisikan korupsi, yakni penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan publik untuk kepentingan pribadi”. Pengertian ini mengingatkan kita pada ungkapan Lord Acton, ”Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely”. Maknanya, korupsi muncul bilamana terjadi penyalahgunaan kekuasaan terlebih bila kekuasaan itu bersifat absolut atau mutlak, maka korupsi akan semakin menggejala. 68 Mubyarto, Ilmu Ekonomi, Ilmu Sosial dan Keadilan, Yayasan Agro Ekonomika, Jakarta, hlm 60. 69 Jeremy Pope, 2003, Strategi memberantas Korupsi, Elemen Sistem Integritas Nasional, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm 6. 70 Mansyur Semma, 2008, Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis atas Negara, Manusia Indonesia, dan Perilaku Politik, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm 33.
  • 32. 27 Berbicara tentang suatu kejahatan dari perspektif kriminologi jauh lebih luas bila dibandingkan dengan sudut pandang hukum pidana. Kendatipun demikian antara kriminologi dan hukum pidana ibarat dua sisi dari satu mata uang meskipun berbeda objek dan tujuan. Ilmu hukum pidana berobjekan aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan pidana dan bertujuan untuk menggunakan dengan sebaik-baiknya dan seadil- adilnya. Sedangkan kriminologi mempunyai objek orang yang melakukan kejahatan dan bertujuan memahami mengapa seseorang berbuat kejahatan.71 Selain itu pandangan tentang suatu kejahatan dari ilmu hukum pidana hanyalah sebatas legal definition of crime, artinya suatu perbuatan yang oleh negara telah diberi label sebagai suatu kejahatan. Sebagaimana yang dikatakan oleh W.A. Bonger bahwa kejahatan adalah perbuatan antisosial yang secara sadar mendapat reaksi negara berupa pemberian derita dan kemudian sebagai reaksi terhadap rumusan-rumusan hukum mengenai kejahatan72 . Sedangkan kejahatan dari aspek kriminologi tidak hanya menyangkut legal definition of crime tetapi juga menyangkut social definition of crime. Artinya, suatu perbuatan meskipun belum diberi label oleh negara sebagai suatu kejahatan namun oleh masyarakat telah diberi label sebagai suatu kejahatan apabila perbuatan tersebut dianggap menyimpang dari norma atau kebiasaan masyarakat setempat. Dalam konteks kriminologi atau ilmu tentang kejahatan, ada sembilan tipe korupsi yaitu: 1. Political bribery adalah termasuk kekuasaan di bidang legislatif sebagai badan pembentuk undang-undang. Secara politis badan tersebut dikendalikan oleh suatu kepentingan karena dana yang dikeluarkan pada masa pemilihan umum sering berkaitan dengan aktivitas perusahaan tertentu. Para pengusaha berharap anggota yang duduk di parlemen dapat membuat aturan yang menguntungkan mereka; 2. Political kickbacks, yaitu kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan sistem kontrak pekerjaan borongan antara pejabat pelaksana dan pengusaha yang memberi peluang untuk mendatangkan banyak uang bagi pihak yang bersangkutan; 3. Election fraud adalah korupsi yang berkaitan langsung dengan kecurangan pemilihan umum; 71 Moeljatno, 2000, Azas-Azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, hlm 13. 72 Soerjono Soekanto, Hengkie Liklikuwata, Mulyana W. Kusuma, 1981, Kriminologi Suatu Pengantar, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm 21.
  • 33. 28 4. Corrupt campaign practice adalah praktek kampanye dengan menggunakan fasilitas negara maupun uang negara oleh calon yang sedang memegang kekuasaan negara;73 5. Discretionery corruption yaitu korupsi yang dilakukan karena ada kebebasan dalam menentukan kebijakan; 6. Illegal corruption yakni korupsi yang dilakukan dengan mengacaukan bahasa hukum atau interpretasi hukum. Tipe korupsi ini rentan dilakukan oleh aparat penegak hukum, baik itu polisi, jaksa, pengacara, maupun hakim; 7. Ideological corruption ialah perpaduan antara discretionery corruption dan illegal corruption yang dilakukan untuk tujuan kelompok; 8. Political corruption adalah penyelewengan kekuasaan atau kewenangan yang dipercayakan kepadanya untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok yang berkaitan dengan kekuasaan; dan 9. Mercenary corruption yaitu menyalahgunakan kekuasaan semata-mata untuk kepentingan pribadi. Dalam konteks hukum pidana Indonesia, tidak semua tipe korupsi yang dikenal dalam kriminologi dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, perbuatan apa saja yang dinyatakan sebagai korupsi mesti merujuk pada undang- undang pemberantasan korupsi, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Konvensi PBB mengenai antikorupsi tidak terdapat satu pasal pun yang berkaitan dengan definisi korupsi menurut konvensi tersebut. Namun, dalam Bab III Konvensi yang terdiri dari 11 pasal (Pasal 15 sampai dengan Pasal 25), mewajibkan negara-negara yang menandatangani konvensi untuk mengatur sejumlah tindakan dalam undang-undang nasional masing-masing negara yang dikualifikasikan sebagai korupsi. Adapun tindakan tersebut sebagai berikut: 1. Bribery of national public officials atau penyuapan pejabat-pejabat publik nasional. Inti dari tindakan tersebut adalah janji, menawarkan atau memberikan kepada seorang pejabat publik, secara langsung atau tidak langsung suatu keuntungan yang layak untuk pejabat itu sendiri atau untuk orang lain atau badan hukum, agar pejabat itu bertindak atau menahan diri dari melakukan suatu tindakan dalam melaksanakan tugas resminya. Demikian pula tindakan permohonan atau penerimaan oleh seorang pejabat 73 Ibid., hlm 295-297.
  • 34. 29 publik, secara langsung atau tidak langsung suatu keuntungan yang layak untuk pejabat itu sendiri atau untuk orang lain atau badan hukum, agar pejabat itu bertindak atau menahan diri dari melakukan suatu tindakan dalam melaksanakan tugas resminya; 2. Bribery of foreign public officials and officials of public international organizations atau penyuapan pejabat-pejabat publik asing dan pejabat- pejabat dari oraganisasi-organisasi international publik. Tindakan-tindakan tersebut meliputi dengan sengaja menjanjikan, menawarkan atau memberikan kepada seorang pejabat publik asing atau seorang pejabat dari suatu organisasi internasional publik, secara langsung atau tidak langsung suatu keuntungan yang layak untuk pejabat itu sendiri atau untuk orang lain atau badan hukum, agar pejabat itu bertindak atau menahan diri dari melakukan suatu tindakan dalam melaksanakan tugas resminya, guna memperoleh atau mempertahankan bisnis atau keuntungan lain yang tidak layak berkaitan dengan perilaku bisnis internasional. Demikian pula tindakan-ptindakan yang meliputi sengaja memohon atau menerima oleh seorang pejabat publik asing atau seorang pejabat dari suatu organisasi internasional publik, secara langsung atau tidak langsung suatu keuntungan yang layak untuk pejabat itu sendiri atau untuk orang lain atau badan hukum, agar pejabat itu bertindak atau menahan diri dari melakukan suatu tindakan dalam melaksanakan tugas resminya; 3. Embezzlement, misappropriation or other diversion of property by a public official atau penggelapan, penyelewengan atau pengalihan kekayaan dengan cara lain oleh pejabat publik. Tindakan tersebut adalah menggelapkan, menyelewengkan atau mengalihkan dengan cara lain oleh pejabat publik untuk keuntungan dirnya sendiri atau untuk keuntungan orang lain atau badan lain, kekayaan, dana-dana publik atau perorangan atau sekuritas atau segala sesuatu yang bernilai yang dipercayakan kepada pejabat publik itu berdasarkan kedudukannya; 4. Trading in influence atau memperdagangkan pengaruh. Kualifikasi tindakan tersebut adalah dengan sengaja menjanjikan, menawarkan atau memberikan kepada seorang pejabat publik atau orang lain, secara langsung atau tidak langsung, suatu keuntungan yang tidak semestinya, agar pejabat publik atau orang itu menyalahgunakan pengaruhnya yang nyata atau yang diperkirakan dengan maksud untuk memperoleh otoritas administrasi atau otoritas publik
  • 35. 30 dari negara, suatu keuntungan yang tidak semestinya. Demikian pula tindakan memohon atau menerima dari pejabat publik atau orang lain secara langsung atau tidak langsung, suatu keuntungan yang tidak semestinya, agar pejabat publik atau orang itu menyalahgunakan pengaruhnya yang nyata atau yang diperkirakan dengan maksud untuk memperoleh otoritas administrasi atau otoritas publik dari negara, suatu keuntungan yang tidak semestinya; 5. Abuse of function atau penyalahgunaan fungsi. Kualifikasi tindakan tersebut adalah dengan sengaja menyalahgunakan fungsi atau kedudukan dengan melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan secara melawan hukum oleh seorang pejabat publik dalam melaksanakan fungsinya dengan maksud untuk memperoleh suatu keuntungan yang tidak semestinya untuk dirinya sediri atau untuk orang lain atau badan lain; 6. Illicit enrichment atau memperkaya secara tidak sah yaitu dengan sengaja memperkaya secara tidak sah berupa suatu kenaikan yang berarti dari aset- aset seorang pejabat publik yang tidak dapat dijelaskan secara masuk akal berkaitan dengan pendapatannya yang sah; 7. Bribery in the private sector atau penyuapan di sektor swasta berupa tindakan yang menjanjikan, menawarkan atau memberikan secara langsung atau tidak langsung suatu keuntungan yang tidak semestinya kepada seseorang yang memimpin atau bekerja dalam suatu kapasitas untuk suatu badan di sektor swasta, untuk dirinya sendiri atau orang lain, agar ia dengan melanggar tugas- tugasnya, melakukan sesuatu atau menahan diri dari melakukan suatu tindakan. Demikian pula tindakan berupa memohon atau menerima secara langsung atau tidak langsung suatu keuntungan yang tidak semestinya yang dilakukan oleh seseorang yang memimpin atau bekerja dalam suatu kapasitas apapun untuk suatu badan sektor swasta, untuk dirinya sendiri atau orang lain, agar ia secara melawan hak, melakukan sesuatu atau menahan diri untuk melakukan sesuatu; 8. Emblezzement of property in the private sector atau penggelapan kekayaan dalam sektor swasta yaitu tindakan dengan sengaja dalam menjalankan kegiatan-kegiatan ekonomi, keuangan atau perdagangan, menggelapkan oleh seseorang yang memimpin atau bekerja dalam kapasitas apapun dalam suatu badan di sektor swasta atas suatu kekayaan, dana-dana pribadi atau sekuritas atau segala sesuatu yang bernilai yang dipercayakan kepadanya karena kedudukannya;
  • 36. 31 9. Laundering of proceeds of crime atau pencucian hasil kejahatan yaitu tindakan dengan sengaja mengkonversi atau mentransfer kekayaan padahal diketahuinya bahwa kekayaan tersebut merupakan hasil kejahatan dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan itu atau membantu seseorang yang terlibat dalam melakukan kejahatan asal untuk menghindari akibat hukum dari tindakannya. Penyembunyian atau penyamaran sifat, sumber, lokasi, kedudukan, pergerakan atau kepemilikan dari atau hak-hak yang sesungguhnya berkenaan dengan kekayaan, mengetahui kekayaan tersebut merupakan hasil kejahatan; 10. Concealment atau penyembunyian yaitu tindakan dengan sengaja, setelah dilakukannya salah satu dari kejahatan-kejahatan yang ditetapkan menurut konvensi ini, tanpa turut serta dalam kejahatan-kejahatan tersebut; dan 11. Obstruction of justice atau perbuatan menghalang-halangi proses pengadilan yaitu tindakan dengan sengaja menggunakan kekuatan fisik, ancaman atau intimidasi atau janji yang menawarkan atau memberikan suatu keuntungan yang tidak wajar untuk mendorong diberikannya kesaksian palsu atau untuk turut campur dalam pemberian kesaksian atau dalam pengajuan bukti-bukti dalam suatu persidangan berkenaan dengan kejahatan-kejahatan yang ditetapkan dalam konvensi ini. Demikian pula tindakan penggunaan kekuatan fisik, ancaman atau intimidasi untuk turut campur tangan dalam pelaksanaan tugas-tugas resmi seorang hakim atau seorang pejabat penegak hukum dalam hubungannya dengan kejahatan-kejahatan yang ditetapkan dalam konvensi ini. Hukum positif Indonesia sudah mengenal aturan pemberantasan korupsi sejak tahun 1957. KUHP memang sudah mengategorikan beberapa perbuatan seperti penggelapan dan kejahatan yang dilakukan penyelenggara negara. Akan tetapi, aturan hukum yang secara tegas menyatakan korupsi sebagai kejahatan (kriminalisasi korupsi) dimulai sejak Peraturan Penguasa Militer Angkatan Darat dan Laut Nomor Prt/PM/06/1957 tertanggal 9 April 1957. Peraturan tersebut diterbitkan oleh Kepala Staf Angkatan Darat selaku penguasa militer atas angkatan darat seluruh Indonesia. Kemudian pada tahun 1960 ditetapkan UU Nomor 24/Prp/1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi; tahun 1971 diterbitkan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; tahun 1999, pasca gerakan reformasi, disahkan Undang-undang
  • 37. 32 Nomor 31 tahun 1999 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dua Undang-undang yang disebutkan terakhir masih berlaku hingga saat ini. Terhitung sejak tahun 2003, Indonesia telah menandatangani United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) atau Kovensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Untuk Melawan Korupsi. konvensi tersebut telah diratifikasi melalui UU Nomor 7 Tahun 2006. Posisi Indonesia sebagai salah satu negara pihak memberikan kewajiban untuk menyesuaikan dan mengimplementasikan norma UNCAC dalam hukum positif Indonesia. Dengan demikian, beberapa aturan mengenai tindak pidana korupsi yang pernah terbit menandakan bahwa Indonesia mulai gencar melakukan perlawanan memberantas korupsi.
  • 38. 33 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian “Pemidanaan Korporasi atas Tindak Pidana Korupsi di Indonesia” ditentukan sebagai penelitian hukum. Penelitian hukum juga menjadi bagian dari penelitian pada umumnya. Namun demikian, penelitian hukum khusus diterapkan kepada ilmu hukum saja.74 Ilmu hukum yang dimaksud adalah ilmu hukum dalam kerangka hukum positif yang terdiri dari tiga bagian, (i) kajian tentang isi ketentuan hukum positif; (ii) kajian tentang penerapan ketentuan hukum positif; dan (iii) kajian tentang pembentukan hukum positif.75 Penelitian ini akan mengkaji isi dan penerapan undang-undang antikorupsi dalam menjerat korporasi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi untuk menyelesaikan masalah, sehingga jawaban yang diinginkan dalam penelitian hukum bukan benar atau salah (true or false), tetapi tepat atau tidak tepat (right, appropriate, inappropriate, or wrong).76 Dari segi data yang diperoleh, Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji77 membagi jenis penelitian hukum menjadi dua. Pertama, penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder disebut penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif mencakup penelitian terhadap asas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi (vertikal dan horizontal) hukum, perbandingan hukum, dan sejarah hukum. Kedua, penelitian yang dilakukan dengan meneliti data dasar yang diperoleh langsung dari lapangan (data primer atau data dasar) yang dinamakan dengan penelitian hukum sosiologis atau penelitian hukum empiris, yang meliputi penelitian terhadap identifikasi hukum dan efektivitas hukum.78 74 F. Sugeng Istanto, 2007 cetakan ke-1, Penelitian Hukum, CV Ganda, Yogyakarta, hlm 29. 75 Ibid., hlm 31. Bandingkan dengan Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1983, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 3-4, yang membagi disiplin hukum dalam tiga bagian, (i) ilmu tentang kaidah hukum “normwissenschaft”, yang membahas tentang masalah perumusan kaidah hukum; (ii) ilmu tentang pengertian pokok dalam hukum “begriffenwissenscahft”, ilmu yang menelaah masyarakat hukum, sbujek hukum, hak dan kewajiban hukum, serta objek hukum; (iii) ilmu tentang kenyataan hukum “tatsachenwissenschaft”, yakni ilmu tentang kenyataan hukum. 76 Peter Mahmud Marzuki, 2010 cetakan ke-6, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm 35. 77 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, op.cit., hlm 13-14. 78 Bambang Sunggono, 2011 cetakan ke-12, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 42.
  • 39. 34 Sebagaimana disebutkan sebelumnya, penelitian ini ditujukan untuk mengetahui isi dan potensi penerapan undang-undang antikorupsi untuk menjerat korporasi yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. B. Cara Pengumpulan Data Dalam penelitian ini ditentukan dua jenis data, data sekunder (data normatif atau kepustakaan) dan data primer (data empiris). Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari bahan pustaka.79 Dalam penelitian umumnya, data sekunder disebut pula dengan data tangan kedua, yakni data yang diperoleh secara tidak langsung dari subjek yang diteliti. Data sekunder biasanya berwujud dokumentasi atau laporan.80 Maria S.W. Soemarjono mengatakan, data sekunder dalam penelitian hukum dapat diperoleh dari berbagai instansi, seperti, keputusan pengadilan, berbagai data statistik yang menunjang analisis topik penelitian, berbagai dokumen resmi serta hasil penelitian yang berbentuk laporan.81 Sedangkan Soerjono Soekanto membagi data sekunder dalam tata urut sebagai berikut,82 a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, berupa, 1) Norma dasar atau kaidah dasar; 2) Peraturan dasar; 3) Peraturan perundang-undangan; 4) Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, seperti hukum adat; 5) Yurisprudensi; 6) Traktat; dan 7) Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku. b. Bahan hukum sekunder, yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti, 1) Rancangan undang-undang; 2) Hasil penelitian; dan 3) Hasil karya dari kalangan hukum. 79 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, op.cit., hlm 12. 80 Saefuddin Azwar, 2010, Metode Penelitian, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm 91. 81 Maria S.W. Soemarjono, 1997, Pedoman Pembuatan Usul Penelitian: Sebuah Panduan Dasar, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm 28. 82 Lihat, Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, op.cit., hlm 13. Bandingkan dengan Burhan Ashshofa, 1996 cetakan ke-1, Metode Penelitian Hukum, PT Rineka Cipta, Jakarta, hlm 103-104. Bambang Sunggono, op.cit., hlm 113-114. Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 31-32. Peter Mahmud Marzuki, op.cit., hlm 141-144.
  • 40. 35 c. Bahan hukum tertier, bahan hukum yang memberi petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, misalnya, 1) Kamus; 2) Ensiklopedia; dan 3) Indeks kumulatif. Cara mencari data yang diperlukan dalam menjawab permasalahan pada umumnya dibedakan menjadi tiga, yaitu (i) studi pustaka; (ii) studi lapangan; dan (iii) studi laboratorium. Untuk penelitian hukum, cara mencari data dapat dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Studi pustaka penelitian hukum dilakukan dengan menelusuri buku dan tulisan yang terkait dengan bidang ilmu hukum.83 Berdasarkan cara pengumpulan data tersebut, pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi pustaka atau studi dokumen, yakni dengan cara mengumpulkan data sekunder—baik yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier—yang berkaitan dengan topik permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini. Data sekunder masuk dalam kerangka metode penelitian hukum normatif. Bahan hukum primer dalam penelitian ini yang berupa dokumen peraturan perundang-undangan Indonesia menjadi bahan utama yang ditelaah. Dilanjutkan dengan bahan hukum sekunder berupa karya buku dari sarjana ilmu hukum serta karya hukum lainnya termasuk juga hasil penelitian. Selanjutnya, data empiris didapatkan dengan cara studi lapangan dengan melakukan wawancara dan melalui diskusi kelompok terfokus (focussed group discussion) kepada narasumber, dalam hal ini adalah aparat penegak hukum. C. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian untuk mendapatkan data sekunder adalah perpustakaan atau instansi yang memuat dokumen serta laporan hasil penelitian yang terkait dengan topik masalah yang diteliti dalam penelitian. Dalam hal ini, perpustakaan Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM, dan perpustakaan elektronik dijadikan sebagai lokasi penelitian untuk mendapatkan data sekunder (berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier). Sedangkan data primer diperoleh dengan cara wawancara yang menggunakan pendekatan petunjuk umum wawancara yang berlokasi di Yogyakarta, Medan, Jakarta, 83 F Sugeng Istanto, op.cit., hlm 57.
  • 41. 36 dan Banjarmasin. Yogyakarta dipilih sebagai lokasi untuk mendapatkan data primer karena di daerah ini diadakan beberapa focus group discussion (FGD) yang dilakukan di kantor Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM sebagai bagian dari kegiatan penelitian. Medan diambil sebagai lokasi untuk merepresentasi daerah bisnis. Sedangkan Jakarta dimasukkan sebagai lokasi penelitian demi memperoleh informasi dari Kejaksaan Agung dan beberapa pakar mengenai kejahatan korporasi maupun korupsi korporasi. Terakhir, Banjarmasin ditetapkan sebagai wilayah mendapatkan data primer sebab putusan yang menjatuhkan pidana korupsi atas korporasi pertama kali dilakukan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin. Seyogianya, daerah yang ditetapkan sebagai lokasi pengambilan data primer dapat dilakukan di beberapa daerah lain. Namun, mengingat keterbatasan anggaran penelitian, sekiranya daerah yang dipilih dalam penelitian ini (Yogyakarta, Medan, Jakarta, dan Banjarmasin) telah dianggap representatif dalam menggali data dan informasi terhadap penelitian pemidanaan korporasi atas tindak pidana korupsi di Indonesia. D. Analisis Data Cara menganalisis data penelitian hukum sama dengan cara menganalisis data dalam penelitian pada umumnya.84 Lexy J. Moleong85 dengan mengutip Bogdan dan Biklen menulis, analisis data kualitatif adalah upaya bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. Analisis data adalah cara bagaimana memanfaatkan data yang terkumpul untuk memecahkan masalah yang sudah dirumuskan dalam penelitian.86 Dalam kajian ilmu hukum tentang isi ketentuan hukum positif dan dalam kajian ilmu hukum tentang penerapan hukum positif, kebenaran yang diperoleh dari analisis data kebanyakan bersifat kebenaran kualitatif, yakni kebenaran dalam arti kesesuaian dengan penerapan kualitas tertentu yang harus dipenuhi.87 84 F Sugeng Istanto, op.cit., hlm 58. 85 Lihat, Lexy J. Moleong, 2011, Metode Penelitan Kualitatif (edisi revisi), Remaja Rosda karya, Bandung, hlm 248. Moleong mengutip pengertian analisis data kualitatif tersebut dari Robert C. Bogdan dan Sari Knopp Biklen, 1982, Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods, Allyn and Bacon Inc., Boston. 86 Periksa Maria S.W. Soemardjono, op.cit, hlm 38. 87 F. Sugeng Istanto, op.cit., hlm 59-60.
  • 42. 37 Dalam penelitian ini, data sekunder yang diperoleh melalui studi pustaka terhadap bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier ditelaah dan dianalisis dengan seksama untuk mendapatkan asas atau konsep yang tepat mengenai pemidanaan korporasi atas tindak pidana korupsi di Indonesia. Langkah yang diambil dalam menganalisi data pada penelitian ini dilakukan dengan, 1. Menelaah dan menuliskan beberapa ketentuan mengenai pengertian korporasi atau dengan penyebutan lain yang termuat dalam bahan hukum primer dan sekunder yang terdiri dari, a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; b. UU Darurat Nomor 17 Tahun 1951 tentang Penimbunan Barang; c. UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi; d. UU Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (sebelum diganti dengan UU Nomor 20 Tahun 2002); e. UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 1998; f. UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal; g. UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika; h. UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (sebelum diganti dengan UU 35 Tahun 2009); i. UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat; j. UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; k. UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001; l. UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas; m. UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan (yang menggantikan UU Nomor 15 Tahun 1985); n. UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana diubah dengan UU Nomor 45 Tahun 2009; o. UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; p. UU 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (mengganti UU 22 Tahun 1997); q. UU Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos;
  • 43. 38 r. UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang; s. UU Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pendanaan Tindak Pidana Terorisme; t. RUU KUHP Tahun 2010; dan u. RUU KUHAP Tahun 2012. 2. Menelaah dan menuliskan beberapa isi dari karya para sarjana ilmu hukum dan sarjana ilmu ekonomi yang terangkum dalam buku, hasil penelitian, maupun dokumen lainnya yang berkaitan dengan bahasan mengenai korporasi dan/atau tindak pidana atau tindak pidana khusus yang dilakukan oleh korporasi, sebagai unit analisis terhadap pembacaan undang-undang yang memuat korporasi atau dengan penyebutan nama lainnya; 3. Menelaah dan menuliskan ketentuan pendukung, seperti kamus, yang memuat pengertian tertentu untuk mencari pengertian terhadap pengertian tersebut demi membantu memudahkan analisis terhadap karya dari para sarjana ilmu hukum dan sarjana ilmu ekonomi yang ditelaah dan ditulis sebelumnya; 4. Menelaah dan menuliskan hasil wawancara dengan beberapa narasumber terkait dengan penelitian; dan 5. Menyusun analisis hasil penelitian dari undang-undang serta kajian dari para sarjana ilmu hukum dan sarjana ilmu ekonomi untuk menjawab rumusan masalah yang sudah ditentukan dalam penelitian.
  • 44. 39 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pengaturan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Undang-Undang Korporasi sebagai salah satu subjek hukum dibebani dengan tanggung jawab hukum. Beberapa undang-undang memuat ketentuan mengenai korporasi. 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana pada dasarnya dapat digolongkan dalam dua kategori. Pertama, korporasi sebagai subjek tindak pidana. Akan tetapi, pertanggungjawabannya dibebankan ke anggota atau pengurus koperasi. Kedua, korporasi sebagai subjek tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan secara langsung.88 Subjek tindak pidana korupsi tidak diatur dalam hukum pidana umum (commune strafrecht) atau tidak diatur dalam KUHP. Dengan demikian kebijakan legislasi yang menyangkut subjek tindak pidana korporasi tidak berlaku sebagai subjek tindak pidana secara umum, akan tetapi terbatas dan hanya berlaku terhadap beberapa perundangan-undangan khusus di luar KUHP.89 Kebijakan legislasi yang ditempuh saat ini, tidak memberi peluang pemidanaan terhadap korporasi, apabila melakukan suatu tindak pidana yang diatur dalam KUHP.90 Misalnya, dalam Pasal 392 KUHP yang menyatakan, “Seorang pengusaha, seorang pengurus atau komisaris perseroan terbatas, maskapai andil Indonesia atau koperasi, yang sengaja mengumumkan keadaan atau neraca yang tidak benar, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan” Pasal tersebut erat kaitannya dengan tindak pidana yang dapat dilakukan oleh korporasi, akan tetapi yang dapat dipertanggungjawabkan dan dipidana adalah pengusaha/pengurus/komisaris dan bukan korporasinya. Dengan demikian, penetapan korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam peraturan perundang- undangan di Indonesia membawa konsekuensi yuridis dapat tidaknya korporasi dipertanggungjawabkan secara hukum pidana.91 Pasal 59 KUHP menguatkan ketentuan Pasal 392 KUHP. Bagi pengurus lain yang tidak melakukan pidana, maka tidak dapat dijatuhkan pidana terhadapnya. 88 Dwidja Priyatno, op.cit., hlm 163-165. 89 Ibid., hlm 167. 90 Ibid. 91 Ibid.
  • 45. 40 Selanjutnya, Pasal 398 KUHP mengatur perbuatan dan ancaman bagi pengurus korporasi yang melakukan perbuatan tertentu tatkala korporasi dalam keadaan pailit. Perbuatan yang diancam tersebut, misalnya, a. membantu atau mengizinkan melakukan tindakan yang bertentangan dengan anggaran dasar, sehingga seluruh atau sebagian besar dari kerugian diderita oleh perseroan, maskapai atau perkumpulan; b. memiliki maksud menangguhkan kepailitan atau penyelesaian perseroan, maskapai atau perkumpulan, turut membantu atau mengizinkan peminjaman uang dengan syarat-syarat yang memberatkan, padahal diketahuinya tak dapat dicegah keadaan pailit atau penyelesaiannya; c. jika yang bersangkutan dapat dipersalahkan tidak memenuhi kewajiban yang diterangkan dalam pasal 6 ayat pertama Kitab Undang-undang Hukum Dagang dan pasal 27 ayat pertama ordonansi tentang maskapai andil Indonesia, atau bahwa buku-buku dan surat-surat yang memuat catatan- catatan dan tulisan-tulisan yang disimpan menurut pasal tadi, tidak dapat di perlihatkan dalam keadaan tak diubah. Pasal 398 KUHP tidak membebankan tanggung jawab kepada korporasi, melainkan kepada pengurusnya. Dalam Pasal 399 KUHP, hal yang sama ditemukan bahwa pertanggungjawaban pidana dibebankan kepada pengurusnya, misalnya, a. Membuat pengeluaran yang tak ada, maupun tidak membukukan pendapatan atau menarik barang sesuatu dari budel; b. Telah melijerkan (eurureemden) barang sesuatu dengan Cuma-Cuma atau jelas dibawah harganya; c. Dengan sesuatu cara menguntungkan salah seorang pemiutang di waktu kepailitan atau penyelesaian tadi tidak dapat dicegah; d. Tidak memenuhi kewajiban mengadakan catatan menurut Kitab Undang- Undang Hukum Dagang atau Pasal 27 ayat pertama ordonasi tentang maskapai andil di Indonesia, dan tentang menyimpan dan memperlihatkan buku-buku, surat-surat dan tulisan-tulisan menurut pasal-pasal itu. Pendek kata, KUHP masih menentukan bahwa yang dapat bebankan pertanggungjawaban pidana adalah orang, bukan korporasi. Dan ketentuan ini masih berlaku hingga saat ini.
  • 46. 41 2. UU Darurat Nomor 17 Tahun 1951 tentang Penimbunan Barang Aturan hukum ini mendefinisikan badan hukum sebagai “tiap perusahaan atau perseroan, perserikatan atau yayasan, dalam arti yang seluas-luasnya, juga jika kedudukan sebagai badan hukum itu baik dengan jalan hukum ataupun berdasarkan kenyataan tidak diberikan kepadanya.92 Ketentuan pembebanan pidana dapat dijatuhkan kepada tiga elemen. Pertama, badan hukum itu sendiri. Kedua, pengurus badan hukum. Ketiga, kedua-duanya, badan hukum dan pengurusnya.93 3. UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi Penyebutan korporasi diatur dalam Pasal 15 ayat (1) UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955. “Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan, maka tuntutan- pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap kedua-duanya.” Sanksi yang dapat dikenakan terhadap korporasi adalah pidana tambahan berupa penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan si terhukum, apabila tindak pidana ekonomi dilakukan untuk waktu selama-lamanya satu tahun.94 Selain itu, Perampasan barang-barang tak tetap yang berwujud dan yang tidak berwujud termasuk perusahaan si terhukum yang berasal dari tindak pidana ekonomi.95 Serta pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan kepada si terhukum oleh pemerintah berhubungan dengan perusahaannya untuk waktu selama-lamanya dua tahun.96 Tindakan tata tertib, seperti menempatkan perusahaan si terhukum di bawah pengampuan, mewajibkan pembayaran uang jaminan, mewajibkan membayar sejumlah uang sebagai pencabutan keuntungan, mewajibkan mengerjakan apa 92 Pasal 1 huruf e UU Darurat Nomor 17 Tahun 1951. 93 Pasal 11 ayat (1) UU Darurat Nomor 17 Tahun 1951. 94 Pasal 7 ayat (1) sub b UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955. 95 Pasal 7 ayat (1) sub c jo sub d UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955. 96 Pasal 7 ayat (1) sub e UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955.
  • 47. 42 yang dilalikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak dan melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat-akibat satu sama lain, semua atas biaya si terhukum, sekadar hakim tidak menentukan lain.97 Penjatuhan pidana yang dianut dalam UU Tindak Pidana Ekonomi adalah sistem dua jalur atau double track system. Artinya sanksi berupa pidana dan tindakan dijatuhkan secara bersama-sama, yaitu pidana denda dan tindakan tata tertib.98 4. UU Nomor 20 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (sebelum diganti dengan UU Nomor 20 Tahun 2002) Definisi korporasi tidak diatur secara eksplisit. Namun dalam undang-undang ini, pengertian badan usaha dimasukkan dalam Pasal 1 angka 27. Badan Usaha adalah setiap badan hukum yang dapat berbentuk Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi atau swasta yang didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, menjalankan jenis usaha bersifat tetap dan terus menerus, bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.99 Pertanggungjawaban pidana dapat dikenakan kepada badan usaha atau pengurusnya.100 Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh badan usaha, maka pidananya berupa pidana denda dengan ketentuan paling tinggi ditambah sepertiga.101 5. UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal UU Pasal modal mengatur bahwa pihak adalah orang perseorangan, perusahaan, usaha bersama, asosiasi, atau kelompok yang terorganisasi.102 Sanksi yang dapat dijatuhkan bagi pihak yang melakukan pelanggaran dalam ketentuan pasar modal berupa sanksi administratif, yakni:103 a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; 97 Pasal 8 ayat (1) sub a, sub b, sub c, dan sub d UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955. 98 Muladi dan Priyatno Dwidja, op.cit., hlm 166. 99 Pasal 1 ayat (27) UU Nomor 20 Tahun 2002. 100 Pasal 65 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2002. 101 Pasal 65 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2002. 102 Pasal 1 UU Nomor 8 Tahun 1995. 103 Pasal 102 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1995.