2. Madzhab ?
■ Mazhab (bahasa Arab: مذهب, madzhab) berarti jalan yang dilalui dan
dilewati, Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan
mazhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran
dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai
pedoman yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di
atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah.
Maroji: Al Madkhal Ila Dirasatil Madarisi Wal Madzahibil Fiqhiyyah, oleh DR.
Umar Sulaiman Al Asyqar
3. Ahlus Sunnah - Sunni
• Dalam Ahlus-Sunnah wal Jama'ah, ada empat
mazhab yang paling banyak diikuti. Empat mazhab
yang mereka miliki valid untuk diikuti, perbedaan
yang ada pada setiap mazhab tidak bersifat
fundamental. Sedangkan untuk Sunni dari kalangan
Salafiyah (bermanhaj Salaf), menggunakan semua
mahzab dengan dalil yang kuat sebagai pedoman
dalam menjalani ritual keagamaan dan lain-
lainnya.
4. 4 Madzhab
• Abu Hanifah - Imam Hanafi
• Imam Malik - Maliki
• Imam Syafi’i
• Imam Ahmad - Hambali
5. Abu Hanifah - Imam Hanafi
■ Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit. Kewajiban mengambil hadits
sebagai dalil dan meninggalakan pendapat-pendapat yang bertentangan
dengannya.
■ a. Bila suatu hadits itu benar maka itulah mazhabku
■ b. Tidak dibolehkan bagi seseorang untuk mengambil pendapat kami
bila tidak mengetahui darimana kami mengambilnya. Dalam sebuah
riwayat disebutkan ”Haram bagi orang yang tidak mengetahui dalilku
berfatwa dengan pendapat saya”
■ c. Apabila aku mengemukakan suatu pendapat yang bertentangan
dengan kitab Alloh dan khabar dari Rasulullah SAW, hendaknya kalian
meninggalkan pendapatku.
6. Kata Mereka…
• Abdullah ibnul Mubarok berkata, “Kalaulah Allah subhanahu wa ta’ala
tidak menolong saya melalui Abu Hanifah dan Sufyan Ats-Tsauri maka
saya hanya akan seperti orang biasa”.
• Kepada Sufyan Ats-Tsauri, ‘Wahai Abu Abdillah, orang yang paling jauh
dari perbuatan ghibah adalah Abu Hanifah, saya tidak pernah
mendengar beliau berbuat ghibah meskipun kepada musuhnya’
kemudian beliau menimpali ‘Demi Allah, dia adalah orang yang paling
berakal, dia tidak menghilangkan kebaikannya dengan perbuatan
ghibah’.”
• Imam Syafii berkata, “Barangsiapa ingin mutabahir (memiliki ilmu
seluas lautan) dalam masalah fiqih hendaklah dia belajar kepada Abu
Hanifah”
7. Imam Malik - Maliki
• Malik bin Anas bin Malik bin `Amr, al-Imam, Abu `Abd
Allah al-Humyari al-Asbahi al-Madani, ( مالك
بن
أنس ), lahir
di (Madinah pada tahun 714 (93 H), dan meninggal pada
tahun 800 (179 H)). Ia adalah pakar ilmu fikih dan hadits
8. Statement Imam Malik
• a. Sesungguhnya aku adalah manusia yang terkadang
salah dan terkadang benar, maka lihatlah pendapatku.
Apabila sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah maka
ambillah. Setiap yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan
sunnah, tinggalkan.
• b. Setiap perkataan orang boleh dipakai atau
ditinggalkan kecuali perkataan Nabi SAW.
9. Imam Syafi’i
• Abū ʿAbdullāh Muhammad bin Idrīs al-Shafiʿī atau Muhammad bin
Idris asy-Syafi`i ( محمد
بن
إدريس
الشافعي )
• (Ashkelon, Gaza, Palestina, 150 H / 767M - Fusthat, Mesir 204H /
819M) Imam Syafi'i juga tergolong kerabat dari Rasulullah, ia
termasuk dalam Bani Muththalib, yaitu keturunan dari al-
Muththalib, saudara dari Hasyim, yang merupakan kakek
Muhammad.
• Saat usia 20 tahun, ke Madinah untuk berguru kepada ulama besar
saat itu, Imam Malik. 2 tahun kemudian, ke Irak, untuk berguru
pada murid-murid Imam Hanafi di sana.
• Imam Syafi`i mempunyai dua dasar berbeda untuk Mazhab Syafi'i.
Yang pertama namanya Qaulun Qadim (Awal) dan Qaulun Jadid
10. • ”Jika sebuah hadits shahih bertentangan dengan perkataanku, maka buanglah
perkataanku di belakang tembok,”
• “Kebaikan ada pada lima hal: kekayaan jiwa, menahan dari menyakiti orang
lain, mencari rizki halal, taqwa dan tsiqqah kepada Allah. Ridha manusia adalah
tujuan yang tidak mungkin dicapai, tidak ada jalan untuk selamat dari
(omongan) manusia, wajib bagimu untuk konsisten dengan hal-hal yang
bermanfaat bagimu”.
• "Ikutilah Ahli Hadits oleh kalian, karena mereka orang yang paling banyak
benarnya.”
• “Semua perkataanku yang menyelisihi hadits yang shahih maka ambillah hadits
yang shahih dan janganlah taqlid kepadaku.”
• “Semua hadits yang shahih dari Nabi shalallahu a’laihi wassalam maka itu
adalah pendapatku meski kalian tidak mendengarnya dariku.”
• “Jika kalian dapati dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi Sunnah Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wassalam maka ucapkanlah sunnah Rasulullah dan tinggalkan
11. Ahmad bin Hanbal -
Hambali
• Ahmad bin Hanbal (781 - 855 M, 164 - 241 AH)[1] (Arab
أحمد
بن
حنبل ) adalah seorang ahli hadits dan teologi Islam.
Ia lahir di Marw (saat ini bernama Mary di Turkmenistan,
utara Afganistan dan utara Iran) di kota Baghdad, Irak.
Kunyahnya Abu Abdillah lengkapnya: Ahmad bin
Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad Al Marwazi Al
Baghdadi/ Ahmad bin Muhammad bin Hanbal dikenal
juga sebagai Imam Hambali.
12. Apa katanya….?
■ a. Janganlah bertaklid kepadaku, Malik, Syafi’i, Auza’i dan tidak pula Tsuri,
ambillah dari apa yang mere
■ ka ambil. (Dalam sebuah riwayat dikatakan : Janganlah bertaklid dalam
masalah agama kepada para Imam, ikutilah apa yang dapat dari Rasulullah SAW
dan para sahabatnya. Sedangkan dari tabi’in boleh memilihnya (menolak atau
menerima).
■ b. Al-Auza’i berpendapat, Malik berpendapat, dan Abu Hanifah berpendapat.
Menurutku semuanya adalah ra’yu, sedangkan yang dapat dijadikan hujjah
dalam masalah-masalah agama adalah atsar (hadits).
■ c. Barangsiapa menolak hadits Rasulullah SAW maka ia berada di tepi
kehancuran.
13. Intinya….
• Semua Ulama Mujtahid Mutlak menyampaikan
bahwa:
• Jika ada pendapat yang berbeda dengan Al Qur’an
dan Sunnah yang shohih, tinggalkan pendapat
mereka.
• QS 4:59
15. Rukun Sholat
Rukun Sholat (Mazbah Hanafi)
Takbiratul Ihram
Berdiri
Membaca Al-Fatihah
Ruku (sunnah membaca Tasbih)
Sujud
Duduk Tasyahud Akhir
Rukun sholat (Mazhab Syafi’i)
Niat
Takbiratul Ihram
Berdiri
Membaca Al-Fatihah
Ruku (sunnah membaca tasbih)
I'tidal/Bangun dari Ruku
Sujud
Duduk antara 2 sujud
Duduk Tasyahud Akhir
Membaca Tasyahud Akhir
Membaca Sholawat Nabi
Salam
Tertib.
16. NIAT
Dalam Islam, miat merupakan faktor penentu dalam segala
aktivitas, yang membedakan sebuah aktivitas bernilai ibadah
atau tidak.
نوىمائإمرلكل نماوإ ،بالنياتعمال
أ
إلنماإ
Artinya: "Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya dan
seseorang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia
niatkan," (HR. Bukhari dan Muslim).
17. Pandangan Niat Perlu Dilafalkan
• Mayoritas Ulama sepakat mengenai niat merupakan bagian dari
rukun sholat.
• Namun, mereka berselisih pandang dalam prihal melafalkan niat.
Menurut sekalian penganut Mazhab Syafi’i (Syafi’i sentris),
melafalkan niat shalat hukumnya sunnah. Karena sangat
membantu terhadap kekhusyukan seseorang. Dalilnya,
menggunakan qiyas (analogi) hukum terhadap kesunnahan
melafalkan niat haji dan umrah. Dengan titik temu bahwa keduanya
(haji dan shalat) sama-sama rukun Islam.
• Sejalan dalam syarah kitab Syarh al-Yâqût an-Nafîs (hal. 133),
Habib Ahmad bin Muhammad bin Umar Asy-Syâthiriy:
• “Kami menganalogikan (hukum kesunnahan melafalkan) niat
shalat dengan niat haji, karena keduanya sama-sama rukun Islam.
Demikianlah pendapat Syafi’i sentris (syafi‘iyul madzhab).”
18. Pandangan Niat Tidak Pelru Dilafalkan
• Sementara sebagian ulama selain Syafi’iyah dalam Syarh al-Yâqût an-
Nafîs berpendapat bahwa melafalkan niat shalat itu termasuk sunnah
(tidak dianjurkan).
• Golongan ini berlandaskan pada hadist riwayat Sayidina Anas bin
Malik, sebagaimana dalam Syarh al-Yâqût an-Nafîs yang berbunyi:
• كبرأهللأإالسمعأ فلموعمربكربيوأوسلمعليههللا صلىهللا رسولخلفصليت
• Artinya, “Aku shalat di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, Abu Bakr, dan Umar, dan tiada lain yang kudengar kecuali
‘Allahu Akbar’.”
• Hadist ini menjadi dalil kuat bagi segolongan ulama yang
19. Penengah
Beberapa ulama yang menilai kasus di atas secara lebih realistis, semisal imam Hasan
bin Ammar bin Ali al-Hanafi (1069 H). Dalam kitabnya Marâqil Falah Syarh Matni Nuril
Îdhâh, ia menjelaskan:
ألمش بعضسنة بلوسلمعليههللاصلىهللارسولسنةبهيردلمسنةبالنيةألتلفظإن مشايخنامن قالفمن
ايخ
ألتابعين زمانبعدفيماألقلوبعلى ألشوأغلثرةوكألزمانإلختالف
Artinya, “Pendapat dari sebagian guru kita yang mengatakan sunnah melafalkan niat
(shalat) merupakan sebuah kesunnahan atau anjuran yang datangnya bukan dari
Rasulullah SAW, akan tetapi, merupakan anjuran mereka para guru (kepada sekalian
muridnya). Mengingat zaman yang tidak lagi sama (dengan kehidupan para tabiin) dan
banyaknya faktor yang dapat menyita kekhusyukan umat setelah para tabiin.”
20. A. Hadis yang menerangkan mengangkat tangan
sejajar dengan telinga:
1. Hadis riwayat Imam Muslim
ِثِرْيَوُحْال ِنْب ِكِلَام ْنَع
:
َّل َ
َسو ِهْيَلَع ُهللا ىََّلص ِهللا َلو ُ
سَر َّنَأ
ىَّتَح ِهْيَدَي َعَفَر َرَّبَك اَذِإ َانَك َم
َمِهِب َيِذَاحُي ىَّتَح ِهْيَدَي َعَفَر َعَكَر اَذَِإو ،ِهْيَنُذ
ُ
أ َامِهِب َيِذَاحُي
ا َنِم ُه َ
سْأَر َعَفَر اَذَِإو ،ِهْيَنُذ
ُ
أ ا
ِوعُكُّلر
َلاَقَف
:
َكِلَذ َلْثِم َلَعَف ُهَدِمَح َْنمِل ُهللا َعِم َ
س
.
مسلم رواه
Artinya : Dari Malik bin al-huwairist bahwasnya Rosulullah SAW. Ketika
bertakbir (mengawali sholat) mengangkat kedua tanganya sejajar dengan
kedua telinganya, ketika ruku’ mengangkat kedua tanganya sejajar dengan
kedua telingny, dan ketika bangun dari ruku’ beliau mengucapka “ samiAllahu
liman hamidah.” juga melakukan hal seperti itu. (HR. Muslim)
21.
22. Takbiratul Ihram
• “Kunci shalat adalah bersuci, dan yang mengharamkannya (dari perbuatan
sesuatu selain perbuatan-perbuatan shalat) adalah takbir, dan penghalalnya
adalah salam.”
• Maliki dan Hambali : kalimat takbiratul ihram adalah “Allah Akbar” (Allah
Maha Besar) tidak boleh menggunakan kata-kata lainnya.
• Syafi’i : boleh mengganti “Allahu Akbar” dengan ”Allahu Al-Akbar”, ditambah
dengan alif dan lam pada kata “Akbar”.
• Hanafi : boleh dengan kata-kata lain yang sesuai atau sama artinya dengan
kata-kata tersebut, seperti “Allah Al-A’dzam” dan “Allahu Al-Ajall” (Allah Yang
Maha Agung dan Allah Yang Maha Mulia). (Mughniyah; 2001)
23. Khilaf Ulama
• Syafi’i, Maliki dan Hambali sepakat bahwa mengucapkannya dalam bahasa
Arab adalah wajib, walaupun orang yang shalat itu adalah orang ajam (bukan
orang Arab).
• Hanafi : Sah mengucapkannya dengan bahasa apa saja, walau yang
bersangkutan bisa bahasa Arab.
• Semua ulama mazhab sepakat : syarat takbiratul ihram adalah semua yang
disyaratkan dalam shalat. Kalau bisa melakukannya dengan berdiri; dan dalam
mengucapkan kata “Allahu Akbar” itu harus didengar sendiri, baik terdengar
secara keras oleh dirinya, atau dengan perkiraan jika ia tuli.
24. Qiyam : Berdiri
• Semua ulama mazhab sepakat bahwa berdiri dalam
shalat fardhu itu wajib sejak mulai dari takbiratul
ihram sampai ruku’, harus tegap, bila tidak mampu ia
boleh shalat dengan duduk. Bila tidak mampu duduk,
ia boleh shalat dengan miring pada bagian kanan,
seperti letak orang yang meninggal di liang lahat,
menghadapi kiblat di hadapan badannya, menurut
kesepakatan semua ulama mazhab selain Hanafi.
Hanafi berpendapat : siapa yang tidak bisa duduk, ia
boleh shalat terlentang dan menghadap kiblat dengan
dua kakinya sehingga isyaratnya dalam ruku’ dan
sujud tetap menghadap kiblat.
25. Hambali ia boleh shalat terlentang dan kepalanya menghadap ke
kiblat. Bila tidak mampu juga, ia harus mengisyaratkan dengan
kepalanya atau dengan kelopak matanya.
• Hanafi : bila sampai pada tingkat ini tetapi tidak mampu, maka
gugurlah perintah shalat baginya, hanya ia harus
melaksanakannya (meng-qadha’-nya) bila telah sembuh dan
hilang sesuatu yang menghalanginya.
• Maliki : bila sampai seperti ini, maka gugur perintah shalat
terhadapnya dan tidak diwajibkan meng-qadha’-nya.
• Syafi’i dan Hambali : shalat itu tidaklah gugur dalam keadaan apa
pun. Maka bila tidak mampu mengisyaratkan dengan kelopak
matanya (kedipan mata), maka ia harus shalat dengan hatinya
dan menggerakkan lisannya dengan dzikir dan membacanya. Bila
juga tidak mampu untuk menggerakkan lisannya, maka ia harus
menggambarkan tentang melakukan shalat di dalam hatinya
26. Bacaan - Hanafi
• Hanafi : membaca Al-Fatihah dalam shalat fardhu tidak diharuskan,
dan membaca bacaan apa saja dari Al-Quran itu boleh, berdasarkan Al-
Quran surat Muzammil ayat 20 :”Bacalah apa yang mudah bagimu dari
Al-Quran,” (Bidayatul Mujtahid, Jilid I, halaman 122, dan Mizanul
Sya’rani, dalam bab shifatus shalah).
• Boleh meninggalkan basmalah, karena ia tidak termasuk bagian dari
surat. Dan tidak disunnahkan membacanya dengan keras atau pelan.
Orang yang shalat sendiri ia boleh memilih apakah mau didengar
sendiri (membaca dengan perlahan) atau mau didengar oleh orang lain
(membaca dengan keras), dan bila suka membaca dengan sembunyi-
sembunyi, bacalah dengannya. Dalam shalat itu tidak ada qunut
kecuali pada shalat witir. Sedangkan menyilangkan dua tangan adalah
sunnah bukan wajib. Bagi lelaki adalah lebih utama bila meletakkan
telapak tangannya yang kanan di atas belakang telapak tangan yang
kiri di bawah pusarnya, sedangkan bagi wanita yang lebih utama
adalah meletakkan dua tangannya di atas dadanya.
27. Bacaan - Maliki
• Membaca Al-Fatihah itu harus pada setiap rakaat, tak
ada bedanya, baik pada rakaat-rakaat pertama maupun
pada rakaat-rakaat terakhir, baik pada shalat fardhu
maupun shalat sunnah, sebagaimana pendapat Syafi’i,
dan disunnahkan membaca surat Al-Quran setelah Al-
Fatihah pada dua rakaat yang pertama. Basmalah bukan
termasuk bagian dari surat, bahkan disunnahkan untuk
ditinggalkan. Disunnahkan menyaringkan bacaan pad
shalat subuh dan dua rakaat pertama pada shalat
maghrib dan isya’, serta qunut pada shalat subuh saja.
Sedangkan menyilangkan kedua tangan adalah boleh,
tetapi disunnahkan untuk mengulurkan dua tangan pada
28. Bacaan - Syafi’i
• Membaca Al-Fatihah adalah wajib pada setiap rakaat tidak ada
bedanya, baik pada dua rakaat pertama maupun pada dua
rakaat terakhir, baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah.
Basmalah itu merupakan bagian dari surat, yang tidak boleh
ditinggalkan dalam keadaan apa pun. Dan harus dibaca dengan
suara keras pada shalat subuh, dan dua rakaat pertama pada
shalat maghrib dan isya’, selain rakaat tersebut harus dibaca
dengan pelan. Pad shlat subuh disunnahkan membaca qunut
setelah mengangkat kepalanya dari ruku’ pad rakaat kedua
sebagaimana juga disunnahkan membaca surat Al-Quran setelah
membaca Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama saja.
Sedangkan menyilangkan dua tangan bukanlah wajib, hanya
disunnahkan bagi lelaki dan wanita. Dan yang paling utama
adalah meletakkan telapak tangannya yang kanan di belakang
29. Bacaan - Hambali
• Wajib membaca Al-Fatihah pada setiap rakaat, dan
sesudahnya disunnahkan membaca surat Al-Quran pada
dua rakaat yang pertama. Dan pada shalat subuh, serta
dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’
disunnahkan membacanya dengan nyaring. Basmalah
merupakan bagian dari surat, tetapi cara membacanya
harus pelan-pelan dan tidak boleh dengan keras. Qunut
hanya pada shalat witir bukan pada shalat-shalat
lainnya. Sedangkan menyilangkan dua tangan
disunahkan bagi lelaki dan wanita, hanya yang paling
utama adalah meletakkan telapak tangannya yang
kanan pada belakang telapak tangannya yang kiri, dan
meletakkan di bawah pusar.
30. Lafadz Aamiin
• Empat mazhab menyatakan bahwa membaca amin adalah sunnah, berdasarkan
hadits Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda : (Mughniyah; 2001)
• ”kalau ingin mengucapkan Ghairil maghdzubi ’alaihim waladzdzaallin, maka
kalian harus mengucapkan amin.”
31. Ruku
• Semua ulama mazhab sepakat bahwa ruku’ adalah wajib di dalam shalat.
Namun mereka berbeda pendapat tentang wajib atau tidaknya ber-
thuma’ninah di dalam ruku’, yakni ketika ruku’ semua anggota badan harus
diam, tidak bergerak.
32. Bacaan Ruku
• Hanafi : yang diwajibkan hanya semata-mata membungkukkan badan dengan lurus, dan tidak wajib thuma’ninah.
Mazhab-mazhab yang lain : wajib membungkuk sampai dua telapak tangan orang yang shalat itu berada pada dua
lututnya dan juga diwajibkan ber-thuma’ninah dan diam (tidak bergerak) ketika ruku’. (Mughniyah; 2001)
• Syafi’i, Hanafi, dan Maliki : tidak wajib berdzikir ketika shalat, hanya disunnahkan saja mengucapkan :
(Mughniyah; 2001)
• Subhaana rabbiyal ’adziim
• ”Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung”
• Hambali : membaca tasbih ketika ruku’ adalah wajib. (Mughniyah; 2001)Kalimatnya menurut Hambali :
• Subhaana rabbiyal ’adziim
• ”Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung”
33. I’tidal
• Hanafi : tidak wajib mengangkat kepala dari ruku’ yakni i’tidal (dalam keadaan
berdiri). (Mughniyah; 2001) Dibolehkan untuk langsung sujud, namun hal itu makruh.
Mazhab-mazhab yang lain : wajib mengangkat kepalanya dan ber-i’tidal, serta
disunnahkan membaca tasmi’, yaitu mengucapkan :
• Sami’allahuliman hamidah
• ”Allah mendengar orang yang memuji-Nya”
• Sujud : semua ulama mazhab sepakat bahwa sujud itu wajib dilakukan dua kali pada
setipa rakaat. Mereka berbeda pendapat tentang batasnya. (Mughniyah; 2001)
• Maliki, Syafi’i, dan Hanafi : yang wajib (menempel) hanya dahi, sedangkan yang
lain-lainnya adalah sunnah.
34. Sujud
• Hambali : yang diwajibkan itu semua anggota yang tujuh
(dahi, dua telapak tangan, dua lutut, dan ibu jari dua
kaki) secara sempurna. Bahkan Hambali menambahi
hidung, sehingga menjadi delapan. (Mughniyah; 2001)
• Perbedaan juga terjadi pada tasbih dan thuma’ninah di
dalam sujud, sebagaimana dalam ruku’. Maka mazhab
yang mewajibkannya di dalam ruku’ juga mewajibkannya
di dalam sujud. Hanafi : tidak diwajibkan duduk di antara
dua sujud itu. Mazhab-mazhab yang lain : wajib duduk di
antara dua sujud
35. Tahiyat
• Tahiyyat : tahiyyat di dalam shalat dibagi menjadi dua bagian :
pertama yaitu tahiyyat yang terjadi setelah dua rakaat
pertama dari shalat maghrib, isya’, dzuhur, dan ashar dan
tidak diakhiri dengan salam. Yang kedua adalah tahiyyat yang
diakhiri dengan salam, baik pada shalat yang dua rakaat, tiga,
atau empat rakaat
• Hambali : tahiyyat pertama itu wajib. Mazhab-mazhab lain :
hanya sunnah.
• Syafi’i, dan Hambali : tahiyyat terakhir adalah wajib. Maliki
dan Hanafi : hanya sunnah, bukan wajib.
36. Lafadz Tahiyat - Hanafi
• Kalimat (lafadz) tahiyyat menurut Hanafi : Attahiyatu lillahi washolawaatu
waththoyyibaatu wassalaamu ’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi
wabarakaatuhAssalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin Asyhadu
anlaa ilaaha illallah Wa asyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
40. Salam
• Syafi’i, Maliki, dan Hambali : mengucapkan salam adalah
wajib. Hanafi : tidak wajib. (Bidayatul Mujtahid, Jilid I,
halaman 126).
• Menurut empat mazhab, kalimatnya sama yaitu :
• Assalaamu’alaikum warahmatullaah
• Hambali : wajib mengucapkan salam dua kali, sedangakan
yang lain hanya mencukupkan satu kali saja yang wajib.
41. Bagaimana Sifat Sholat
Nabi?
• Begitu banyak perbedaan yang ada pada bab shalat
• Ilmu yang didapat oleh Ulama belum sepenuhnya, karena
kendala demografis dan teknologi Informasi, kini tidak ada
kendala untuk mencari data yang lengkap.
• www.shameela.net ada 30.000 kitab yang ditranskrip digital
• Next Modul - Sifat Sholat Nabi