SlideShare a Scribd company logo
OPTIKA GEOMETRI 
(PEMBIASAN CAHAYA / REFRAKSI) 
Oleh : A. Kurniawan 
Fenomena optik yang diamati sehari-hari merupakan hasil dari interaksi cahaya dan materi . Fenomena optik bisa terjadi secara alami ataupun karena perilaku manusia dengan benda-benda buatannya. Fenomena optik yang umum adalah sering oleh interaksi cahaya dari matahari atau bulan dengan atmosfer, awan, air, debu, dan partikel lainnya. Sebagai contohnya peristiwa pelangi, fatamorgana, batang yang tercelup sebagian dalam air terlihat membengkok, dasar kolam tampak dangkal, kilauan intan, pemantulan cahaya dan pembentukan bayangan oleh kaca transparan, penguraian warna pada kaca akuarium, dan lain-lain. Fenomena-fenomena optik yang telah disebutkan itu meruopakan akibat dari pembiasan cahaya. 
Pembiasan cahaya berarti pembelokan arah rambat cahaya saat melewati bidang batas dua medium yang tembus cahaya tapi berbeda indeks biasnya. Pembiasan cahaya sanga mempengaruhi penglihatan pengamat. Jika cahaya yang merambat pada suatu medium berpindah ke medium yang lain, maka pada batas kedua medium tersebut akan terjadi pembiasan atau pembelokan arah. Hal ini disebabkan karena kecepatan cahaya dalam kedua medium tersebut tidak sama. Semakin besar kerapatan suatu medium, makin kecil kecepatan cahaya yang melewatinya. 
Pembiasan cahaya tesebut tidak terjadi dengan sembarangan, melainkan mengikuti suatu hukum pembiasan cahaya. 
HUKUM PEMBIASAN CAHAYA 
Ketika seberkas cahaya bergerak dari satu medium transparan ke medium transparan lain yang berbeda jenisnya, maka berkas cahaya itu akan dibelokkan atau dibiaskan. Hukum pembiasan memberikan cara untuk memprediksi besar pembelokkan itu. Hukum pembiasan juga dikenal sebagai Hukum Snell. 
Hukum pembiasan pertama kali dinyatakan oleh Willebrord Snellius, ahli Fisika kebangsaan Belanda pada tahun 1621. Snellius melakukan eksperimen dengan melewatkan seberkas sinar pada balok kaca. 
Pembiasan cahaya melibatkan sudut yang sinar datang dan sinar dibiaskan dan garis normal pada bidang batas antara dua medium. Pertemuan ketiga titik ini dinamakan titik bias. Peristiwa pembiasan cahaya sangat tergantung pada media yang dilalui oleh cahaya. Ketergantungan ini dibuat eksplisit dalam Hukum Snell melalui indeks bias yang berupa angka yang konstan. Angka yang konstan in berbeda-beda untuk setiap medium. 
Dalam eksperimennya, Snell mengubah-ubah sudut datang (i). Dari hasil pengamatannya ternyata sudut bias (r) cahayapun berubah-ubah sesuai dengan sudut datangnya. Berdasarkan hasil eksperimennya, Snell memperoleh bahwa perbandingan sinus sudut dating terhadap sinus sudut bias sinν‘– sinν‘Ÿ cenderung memiliki nilai yang tetap. Angka tetapan inilah yang kemudian dinamakan indeks bias. Selanjutnya Snell menyatakan bahwa perbandingan sinus sudut sinar datang (i) dengan sinus sudut bias (r) dari suatu cahaya yang datang dari suatu medium ke medium lain merupakan suatu konstanta yang besarnya sama dengan perbandingan indeks bias kedua medium tersebut. HUbungan tersebut dirumuskan dalam bentuk persamaan matematis menjadi : 
sinν‘– sinν‘Ÿ = ν‘› 
Dengan : 
I = besar sudut datang 
r = besar sudut bias
n = indeks bias bahan (medium) 
Penjabaran dari Hukum Snell untuk dua medium secara umum diberikan dalam gambar berikut. 
ν‘›1ν‘ ν‘–ν‘›β‘νœƒ1 = ν‘›2sinνœƒ2 
ν‘›2 ν‘›1 = sinνœƒ1sinνœƒ2 
keterangan: 
νœƒ1 = sudut datang (i) 
νœƒ2 = sudut bias (r) 
n1 = indeks bias medium 1 
n2 = indeks bias medium 2 
Secara umum sering dituliskan sebagai berikut : 
sinν‘– sinν‘Ÿ = ν‘›2 ν‘›1 
Hukum Snell itu kemudian dikenal dengan nama hukum Snellius. Hukum Snellius tentang pembiasan ini secara lengkapnya adalah sebagai berikut : 
1. Sinar datang, sinar bias dan garis normal terletak pada satu bidang. 
2. Perbandingan sinus sudut datang dan sinus sudut bias cahaya yang memasuki bidang batas dua medium yang berbeda selalu bernilai tetap (konstan). 
Konsep hukum Snellius pertama kali dijelaskan secara matematis dengan akurat pada tahun 984 oleh Ibn Sahl dari Baghdad dalam manuskripnya On Burning Mirrors and Lenses[2][3]. Dengan konsep tersebut Ibn Sahl mampu membuat lensa yang dapat memfokuskan cahaya tanpa aberasi geometri yang dikenal sebagai kanta asperik. Manuskrip Ibn Sahl ditemukan oleh Thomas Harriot pada tahun 1602, tetapi tidak dipublikasikan walaupun ia bekerja dengan Johannes Keppler pada bidang ini. 
Hukum Snellius adalah rumus matematika yang memerikan hubungan antara sudut datang dan sudut bias pada cahaya atau gelombang lainnya yang melalui batas antara dua medium isotropik berbeda, seperti udara dan gelas. Nama hukum ini diambil dari matematikawan Belanda Willebrord Snellius, yang
merupakan salah satu penemunya. Hukum ini juga dikenal sebagai Hukum Descartes atau Hukum Pembiasan yang dalam bahasa Perancis disebut la loi de Descartes atau loi de Snell-Descartes. 
Pada tahun 1678, dalam TraitΓ© de la Lumiere, Christiaan Huygens menjelaskan hukum Snellius dari penurunan prinsip Huygens tentang sifat cahaya sebagai gelombang. Menurutnya, Hukum Snellius hanya berlaku pada medium isotropik atau "teratur" pada kondisi cahaya monokromatik yang hanya mempunyai frekuensi tunggal, yang bersifat reversible, hukum Snellius dijabarkan kembali dengan menggunakan teori muka gelombang sebagai berikut: 
Rambatan cahaya dapat digambarkan sebagai muka gelombang yang tegak lurus arah rambatan dan muka gelombang itu membelok saat menembus bidang batas medium 1 dan medium 2 seperti dipelihatkan gambar di atas. Cahaya datang dengan sudut i dan dibiaskan dengan sudut r. Cepat rambat cahaya di medium 1 adalah v1 dan di medium 2 adalah v2. Waktu yang diperlukan cahaya untuk merambat dari B ke D sama dengan waktu yang dibutuhkan dari A ke E sehingga DE menjadi muka gelombang pada medium 2. Oleh karenanya : 퐡퐷= ν‘£1 .ν‘‘ 퐴퐸= ν‘£2 .ν‘‘ Dari gambar tersebut juga dapat ditentukan secara geometris bahwa ∠ 퐴 = i dan ∠ 퐷 = r sehingga : sinν‘– = 퐡퐷 퐴퐷 = ν‘£1 ν‘‘ 퐴퐷 sinν‘Ÿ = 퐴퐸 퐴퐷 = ν‘£2 ν‘‘ 퐴퐷 Bila sin i dengan sin r kita akan peroleh :
sinν‘– sinν‘Ÿ = ν‘£1 ν‘‘ 퐴퐷 ν‘£2 ν‘‘ 퐴퐷 sinν‘– sinν‘Ÿ = ν‘£1 ν‘£2 
Dengan i = sudut datang r = sudut bias v1 = kecepatan cahaya sebelum dibiaskan v2 = kecepatan cahaya setelah dibiaskan 
Karena 
sinν‘– sinν‘Ÿ = ν‘›2 ν‘›1 
Maka : 
ν‘£1 ν‘£2 = ν‘›2 ν‘›1 
Berdasarkan persamaan gelombang, v = Ξ»f, dengan f adalah frekuensi dari gelombang dan Ξ» adalah panjang gelombang, nilai indeks bias dapat diperoleh juga dari panjang gelombang dengan ketentuan frekuensi cahaya yang melewati bidang batas antara dua medium adalah konstan. 
ν‘£1 ν‘£2 = ν‘›2 ν‘›1 
ν‘“.νœ†1 ν‘“.νœ†2 = ν‘›2 ν‘›1 
νœ†1 νœ†2 = ν‘›2 ν‘›1 
Persamaan yang dihasilkan di atas memiliki makna fisis, yaitu kecepatan cahaya dalam suatu medium berbanding terbalik dengan nilai indeks biasnya. Maksudnya, jika indeks bias semakin besar, kecepatan cahaya semakin kecil. Sebagai contoh, kecepatan cahaya dalam medium kaca lebih kecil dibandingkan dengan kecepatan cahaya ketika merambat di dalam air. Alasannya, indeks bias mutlak kaca lebih besar daripada indeks mutlak air. Selain itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa ketika gelombang merambat dari suatu medium ke medium yang lain yang indeks biasnya berbeda, panjang gelombang (Ξ») dan besar kecepatan (v) gelombang tersebut berubah, namun frekuensi (f ) gelombang tersebut tidak berubah. 
Sebagai konsekuensi dari hukum I Senllius ini, jika sinar datang dari medium kurang rapat ke medium lebih rapat (n1 < n2), maka berkas sinar akan dibiaskan mendekati garis normal. Dan jika sinar datang dari 
medium lebih rapat ke medium kurang rapat (n1 > n2), maka sinar akan dibiaskan menjauhi garis normal, 
n1 < n2
INDEKS BIAS (INDEX REFRACTION) 
Indeks bias dari sautu media optik merupakan angka yang tidak berdimensi yang menggambarkan bagaimana cahaya , atau radiasi lainnya , menyebar melalui media itu. Indeks Bias adalah nilai yang dihitung dari rasio kecepatan cahaya dalam ruang hampa dengan kecepatan cahaya dalam media kedua kepadatan yang lebih besar. Indeks bias ini sering dilambangkan dengan huruf n atau n '. Indeks bias didefinisikan dengan : ν‘›= 푐 ν‘£ Dengan c adalah kecepatan cahaya dalam vakum dan v adalah kecepatan cahaya dalam substansi. Definisi indeks bias seperti ini kadang-kadang disebut juga sebagai indeks bias mutlak. Indeks bias juga menentukan seberapa besar cahaya dibiaskan ketika memasuki suatu material. Dari persamaan gelombang diketahui bahwa v = f. . Sehingga indeks bias juga dapat dilihat sebagai faktor yang menjelaskan pengurangan kecepatan terhadap nilai-nilai vakumnya ν‘£= 푐 ν‘› dan panjang gelombang radiasi dalam medium νœ†= νœ†0 ν‘› , dengan 0 adalah panjang gelombang cahaya dalam ruang hampa. Sedangkan frekuensi cahaya tidak terpengaruh oleh indeks bias medium. Indeks bias juga menentukan jumlah cahaya yang tercermin ketika mencapai bidang batas, serta sudut kritis untuk refleksi internal total (pemantulan total) dan sudut Brewster. Konsep indeks bias secara luas digunakan dalam spektrum elektromagnetik , sinar-x, dan untuk gelombang radio . Konsep indeks bias juga dapat digunakan pada fenomena gelombang bunyi. 
Dalam mikroskop optik, indeks bias merupakan variabel penting dalam menghitung aperture numerik, yaitu ukuran cahaya pengumpulan dan menyelesaikan kekuatan tujuan. Dalam kebanyakan kasus, media pencitraan untuk mikroskopi adalah udara, tetapi tujuan tinggi perbesaran sering menggunakan minyak atau cairan yang sama antara lensa depan objektif dan spesimen untuk meningkatkan resolusi. 
Indeks bias atau indeks bias adalah perbandingan antara kecepatan cahaya (c) dalam ruang bebas (untuk semua tujuan praktis, baik udara atau vakum) dan kecepatan v dalam media tertentu 
Semakin besar indeks bias suatu medium, maka semakin besar pembelokan (pembiasan) cahaya saat memasuki atau meninggalkan medium itu. Indeks bias medium sampai pada batas tertentu tergantung pada frekuensi cahaya yang melewatinya. Untuk cahaya dengan frekuensi tinggi maka akan memiliki nilai n tertinggi. Misalnya pada kaca biasa, indeks bias untuk cahaya violet adalah sekitar satu persen
lebih besar dari infra merah. Sebagai konsekuensi dari fenomena ini maka setiap panjang gelombang akan mengalami tingkat bias yang sedikit berbeda ketika sinar heterogen yang mengandung lebih dari satu frekuensi memasuki atau meninggalkan medium. 
Indeks bias merupakan sifat fisika, yang dapat digunakan untuk menentukan dentitas dan kemurnian cairan. Pembiasan adalah pembelokan berkas cahaya dari satu medium ke medium lain yang memiliki densitas yang berbeda. Pembiasan muncul dari fakta bahwa cahaya merambat lebih lambat pada substansi yang memiliki densitas yang lebih besar. Pembiasan sangat berguna karena derajat pembiasan tergantung dari struktur senyawa. 
Indeks bisa diukur dengan alat yang disebut refraktometer, yang menentukan derajat pembiasan cahaya diantara cairan dan prisma. Indeks bias juga bergantung pada panjang gelombang dan temperatur. Panjang gelombang cahaya yang berbeda akan dibiaskan dalam jumlah yang berbeda. Hal Ini yang menjadi sebab sinar matahari dapat diuraikan menjadi spektrum warna (pelangi) oleh titik-titik air. 
Apabila indeks bias akan digunakan sebagai konstanta fisik, maka hanya satu panjang gelombang cahaya saja yang dipakai, biasanya sodium D line, pada 589,3 nm. Panjang gelombang tunggal dapat diperoleh dari lampu sodium maupun cahaya putih dengan sistem prisma. Dan temperatur selalu spesifik ketika indeks bias diukur. 
Indeks bias merupakan sifat fisik yang sangat sensitif. Kecuali jika komponen sangat murni, hampir tidak mungkin untuk mendapatkan indeks bias seperti yang tercantum pada literatur. Semakin dekat indeks bias yang teramati dengan indeks bias yang tercantum pada literatur, semakin murni senyawa tersebut. 
Dalam hal struktur, indeks bias adalah fungsi dari kepolaran atom dan gugus dalam molekul. Semakin polar suatu molekul, maka indeks biasnya akan semakin tinggi. Tabel . Indeks bias mutlak beberapa zat. Medium Indeks bias mutlak Udara (1 atm, 0Β° C) Udara (1 atm, 0Β° C) Udara (1 atm, 0Β° C) Air Alkohol Gliserin Kaca kuarsa Kaca kerona Kaca flinta Intan 1,00029 1,00028 1,00026 1,33 1,36 1,47 1,46 1,52 1,65 2,42 Pada tabel terlihat bahwa tekanan dan suhu mempengaruhi indeks bias zat khususnya udara. Perbedaan itu tampak kecil saja. Dalam modul ini, bias udara sama dengan satu. INDEKS BIAS RELATIF Indeks bias relatif adalah perbandingan indeks bias dua medium yang berbeda. Indeks bias relatif medium kedua terhadap medium pertama didefinisikan sebagai perbandingan indeks bias medium kedua terhadap medium pertama. ν‘›21= ν‘›2 ν‘›1
Dengan n21 = indeks bias relatif medium kedua terhadap medium pertama n1 = indeks bias mutlak medium pertama n2 = indeks bias mutlak medium kedua 
Indeks bias relatif menggambarkan perubahan kecepatan cahaya yang melintasi dua medium yang berntuhan namun berlainan jenis. Misalkan seberkas cahaya bergerak dari udara menembus medium 1 dengan kecepatan v1 dan kemudian menembus medium 2 dengan kecepatan v2. Indeks bias medium 2 relatif terhadap medium 1dapat dijelaskan sebagai berikut : 
Ketika cahaya bergerak dari udara dengan kecepatan c masuk ke dalam medium 1 dengan kecepatan v1, maka indeks bias medium 1 terhadap udara (indeks bias mutlak) diberikan oleh ν‘›1= 푐 ν‘£1 . Ketika cahaya bergerak dari udara dengan kecepatan c masuk ke dalam medium 2 dengan kecepatan v2, maka indeks bias medium 2 terhadap udara (indeks bias mutlak) diberikan oleh ν‘›2= 푐 ν‘£2 . Maka indeks bias medium 2 relatif terhadap medium 1 adalah : ν‘›2= 푐 ν‘£2 ν‘›1= 푐 ν‘£1 ν‘›21= ν‘£1 ν‘£2 Dengan demikian indeks bias relatif antara sepasang medium adalah rasio indeks bias mutlak kedua medium mutlak. Dapat pula dikatakan bahwa indeks bias relatif merupakan rasio kepadatan optik dari dua zat. PRINSIP FERMAT PADA PEMBIASAN CAHAYA 
Prinsip Fermat 
Cahaya akan selalu mengambil waktu tempuh jarak minimal untuk berjalan dari satu titik ke sebuah titik lainya. Cahaya akan selalu mencari lintasan yang paling pendek atau waktu yang paling cepat untuk mencapai titik yang dituju. Jika medium yang dilewati cahaya homogen dan isotropik maka lintasan yang ditempuh adalah lintasan dengan waktu minimum yaitu lintasan yang paling singkat. 
Konsep seperi ini dinamakan prinsip Fermat. Prinsip Fermat atau principle of least time adalah sebuah prinsip yang mendefinisikan jarak tempuh yang terpendek dan tercepat yang dilalui oleh cahaya. Prinsip ini kadang-kadang digunakan sebagai definisi sinar, sebagai cahaya yang merambat sesuai prinsip Fermat. 
Prinsip ini merupakan penyederhanaan yang dilakukan oleh Pierre de Fermat pada tahun 1667 dari konsep-konsep serupa sebelumnya dari berbagai macam percobaan refleksi cahaya. Penurunan hukum Snellius lebih muda menggunakan prinsip Fermat. 
Kecepatan cahaya akan mengalami perubahan jika melalui medium yang berbeda. Dan perbandingan kecepatan pada dua medium tersebut adalah indeks bias relatif medium tersebut terhadap medium lainya.
Dari gamabar kita dapat menuliskan waktu yang ditempuh oleh sinar cahaya dari titik A menuju titik B yaitu ν‘‘= 푆 ν‘£ + 푆′′ ν‘£β€² 
Dengan menggunakan hubungan indeks bias ν‘›= 푐 ν‘£ ;ν‘šν‘Žν‘˜ν‘Ž ν‘£= 푐 ν‘› ν‘‘ν‘Žν‘› ν‘£β€²= 푐 ν‘›β€² 
Sehingga ν‘‘= 푆 ν‘£ + 푆′′ ν‘£β€² ν‘‘= 푆 푐 ν‘› + 푆′′ 푐 ν‘›β€² ν‘‘= 푛푆 푐 + 푛푆′′ 푐 ν‘‘= 푛푆+푛푆′′ 푐 ν‘‘= ν‘™ 푐 
Karena l adalah lintasan yang ditempuh oleh sinar dari A ke B. Maka
ν‘™=푛푆+푛푆′′ 
Pada Ξ” AFO dapat diperoleh 푆= ν‘Ž2+ν‘₯2 
Pada Ξ” BGO dapat diperoleh 푆′′= 푏2+ ν‘‘βˆ’ν‘₯ 2 
Dengan demikian lintasan yang ditempuh oleh sinar dari A ke B adalah : ν‘™=푛푆+푛푆′′ ν‘™=ν‘› ν‘Ž2+ν‘₯2 +ν‘›β€² 푏2+ ν‘‘βˆ’ν‘₯ 2 ν‘™=ν‘› ν‘Ž2+ν‘₯2 +ν‘›β€² 푏2+ ν‘‘βˆ’ν‘₯ 2 
Menurut Prinsip Fermat letak titik O harus esedemikian rupa sehingga waktu tempuh cahaya yang melewati titik ini dari A ke B adalah minimum. Dengan perkataan lain, lintasan yang ditempuh oleh cahaya dari A ke B haruslah minimum. Agar memperoleh nilai minimum maka berdasarkan metode kalkulus ν‘‘ν‘™ ν‘‘ν‘₯ =0. Maka iskan sebagai berikut :kasus ini dapat dituliskan sebagai berikut : ν‘‘ν‘™ ν‘‘ν‘₯ =0 ν‘‘ν‘™ ν‘‘ν‘₯ = ν‘‘ ν‘› ν‘Ž2+ν‘₯2 +ν‘›β€² 푏2+ ν‘‘βˆ’ν‘₯ 2 ν‘‘ν‘₯ ν‘‘ ν‘› ν‘Ž2+ν‘₯2 +ν‘›β€² 푏2+ ν‘‘βˆ’ν‘₯ 2 ν‘‘ν‘₯ =0 ν‘› 12 ν‘Ž2+ν‘₯2 βˆ’ 12 2ν‘₯ +ν‘›β€² 12 푏2+ ν‘‘βˆ’ν‘₯ 2 βˆ’ 12 2 ν‘‘βˆ’ν‘₯ βˆ’1 =0 βˆ’ν‘› 12 ν‘Ž2+ν‘₯2 βˆ’ 12 2ν‘₯ =ν‘›β€² 12 푏2+ ν‘‘βˆ’ν‘₯ 2 βˆ’ 12 2 ν‘‘βˆ’ν‘₯ βˆ’1 ν‘›ν‘₯ ν‘Ž2+ν‘₯2= ν‘›β€² ν‘‘βˆ’ν‘₯ 푏2+ ν‘‘βˆ’ν‘₯ 2 
Berdasarkan gambar dengan menggunakan trigonometri dapat ditentukan bahwa : ν‘₯ ν‘Ž2+ν‘₯2=sinν‘–
ν‘›β€² ν‘‘βˆ’ν‘₯ 푏2+ ν‘‘βˆ’ν‘₯ 2=sinν‘Ÿ 
Dengan demikian persamaan akhir yang diperoleh adalah : n sinν‘–=nβ€² sinν‘Ÿ 
Persamaan ini adalah hukum Snellius untuk pembiasan. 
Cara lain untuk menurunkan hukum Snell dengan menggunakan prinsip Fermat adalah sebagai berikut : 
Kecepatan cahaya dalam media berindeks bias n1 adalah v1 , dan kecepatan cahaya dalam media berindeks bias n2 adalah v2 .Berdasarkan definisi indeks bias mutlak, maka besar v1 dan v2 adalah : ν‘£1= 푐 ν‘›1 ν‘£2= 푐 ν‘›2 Dengan c adalah kecepatan cahaya dalam ruang hampa (udara). Jarak yang ditempuh oleh cahaya pada medium 1 adalah PO = d1 . Dan jarak yang ditempuh oleh cahaya pada medium 2 adalah OQ = d2 . Dengan berdasarkan pada persamaan gerak lurus beraturan, maka waktu yang diperlukan oleh cahaya untuk menempuh perjalanan sepanjang jarak tersebut dari P ke Q adalah : ν‘‘= ν‘‘1 ν‘£1+ ν‘‘2 ν‘£2 Menggunakan teorema Pythagoras dari Euclidean Geometri pada gambar diperoleh : ν‘‘1 ν‘£1= ν‘₯2+ ν‘Ž2 ν‘£1 ν‘‘2 ν‘£2= 푏2+ ν‘™βˆ’ν‘₯ 2 ν‘£2 Bila persamaan in disubstirusikan pada persamaan t, maka akan diperoleh : ν‘‘= ν‘₯2+ ν‘Ž2 ν‘£1+ 푏2+ ν‘™βˆ’ν‘₯ 2 ν‘£2 Untuk mendapatkan waktu minimum maka derivative t terhadap x harus sama dengan nol.
ν‘‘ν‘‘ ν‘‘ν‘₯ = 0 ν‘‘ ν‘₯2+ ν‘Ž2 ν‘£1+ 푏2+ ν‘™βˆ’ν‘₯ 2 ν‘£2 ν‘‘ν‘₯ =0 ν‘₯ ν‘£1 ν‘₯2+ ν‘Ž2+ βˆ’ ν‘™βˆ’ν‘₯ ν‘£2 푏2+ ν‘™βˆ’ν‘₯ 2 =0 Berdasarkan persamaan trigonometri pada gambar diperoleh : ν‘₯ ν‘₯2+ ν‘Ž2=sinνœƒ1 ν‘™βˆ’ν‘₯ 푏2+ ν‘™βˆ’ν‘₯ 2 = sinνœƒ2 Sehingga persamaan menjadi : sinνœƒ1 ν‘£1βˆ’ sinνœƒ2 ν‘£2=0 sinνœƒ1 ν‘£1= sinνœƒ2 ν‘£2 Apabila nilai v digantikan dengan persamaan pada indeks bias mutlak, maka persamaan akan menjadi sebagai berikut : sinνœƒ1 푐 ν‘›1= sinνœƒ2 푐 ν‘›2 ν‘›1sinνœƒ1 푐 = ν‘›2sinνœƒ2 푐 Kedua ruas kemudian dikalikan dengan c, sehingga diperoleh persamaan akhir sebagai berikut : ν‘›1sinνœƒ1= ν‘›2sinνœƒ2 POSISI SEMU AKIBAT PEMBIASAN 
Pembiasan cahaya mengakibatkan posisi semu benda yang dilihat oleh mata. Ketika cahaya merambat dari benda melalui medium pertama dan mesuk ke medium kedua tempat pengamat berada, cahay mengalami pembiasan. Sebagai akibatnya mata melihat posisi benda itu tidak pada posisi yang sebenarnya. 
Fenomena ini selalu ditemui dalam kehidupan, seperti suatu batang yang tercelup sebagian ke dalam air kolam akan nampak membengkok. Sinar yang datang dari dalam air menuju udara dibiaskan menjauhi garis normal. Seorang pengamat yang berada di luar kolam (medium uadara) akan melihat batang berada di titik yang bukan sebenarnya. Contoh lain adalah dasar kolam tampak dangkal karena sinar datang yang berasal dari dasar kolam menuju udara dibiaskan menjauhi garis normal kemudian sinar ini diterima oleh mata. Yang dilihat sebagai dasar kolam adalah bayangan dari dasar kolam tersebut, bukan dasar kolam yang sebenarnya. Fenomena lain adalah paralaks bintang. Bintang yang terlihat pada malam hari tidaklah pada posisi yang sebenarnya, karena cahaya bintang datang dari ruang vakum memasuki lapisan udara mengalami pembiasan.
Fenomena yang telah dicontohkan tersebut terjadi terjadi karena pembiasan, cahaya merambat dari medium optik yang lebih rapat ke medium optik yang kurang rapat, misalnya dari air ke udara. 
Penjelasan mengenai fenomena ini dalat diuraikab sebagai berikut : 
Gambar di atas memperlihatkan dua orang pengamat yakni pengamat A dan B. Kedua pengamat tersebut melihat sebuah benda yang berada di dalam air dengan posisi yang berbeda. Pengamat A melihat benda itu dengan membentuk sudut tertentu terhadap benda yang diamati sedangkan pengamat B tepat tegak lurus terhadap benda yang diamati. 1. Untuk pengamat A (yang membentuk sudut tertentu dengan benda) berlaku hubungan : tanν‘Ÿ= 푂푃 푆′푃 tanν‘Ÿ= 푂푃 β„Žβ€² tanν‘–= 푂푃 푆푃 tanν‘–= 푂푃 β„Ž tanν‘– tanν‘Ÿ = β„Žβ€² β„Ž Berdasarkan persamaan trigonometri : tanν‘–= sinν‘– cosν‘– tanν‘Ÿ= sinν‘Ÿ cosν‘Ÿ
tanν‘– tanν‘Ÿ = sinν‘– cosν‘– sinν‘Ÿ cosν‘Ÿ tanν‘– tanν‘Ÿ = sinν‘– cosν‘– Γ—cosν‘Ÿ sinν‘Ÿ Dengan demikian diperoleh hubungan sebagai berikut : β„Žβ€² β„Ž = sinν‘– cosν‘– Γ—cosν‘Ÿ sinν‘Ÿ β„Žβ€² β„Ž = sinν‘– sinν‘Ÿ Γ—cosν‘Ÿ cosν‘– Menurut hukum Snellius : sinν‘– sinν‘Ÿ = ν‘›2 ν‘›1 Jika persamaan ini disubstitusikan, akan diperoleh : β„Žβ€² β„Ž = ν‘›2 ν‘›1cosν‘Ÿ cosν‘– Keterangan : h' = tinggi bayangan semu yang dilihat oleh pengamat pada posisi A h = tinggi benda sesungguhnya n1 = indeks bias medium tempat benda berada ( n = indeks bias medium tempat pengamat berada i = sudut datang r = sudut bias 2. Untuk pengamat B (yang tegak lurus dengan benda yang diamati) berlaku hubungan sebagai berikut: Jika pengamat melihat secara tegak lurus (hampir tegak lurus)dengan benda, maka r sangat kecil ν‘Ÿ β‰ͺ , sehingga : sinν‘– β‰ˆtanν‘– sinν‘Ÿ β‰ˆtanν‘Ÿ Berdasarkan gambar :
tanν‘– tanν‘Ÿ = β„Žβ€² β„Ž Dan menurut hukum Snellius : sinν‘– sinν‘Ÿ = ν‘›2 ν‘›1 Dengan demikian diperoleh hubungan sebagai berikut : tanν‘– tanν‘Ÿ = sinν‘– sinν‘Ÿ β„Žβ€² β„Ž = ν‘›2 ν‘›1 Jika pengamat di udara melihat benda di dalam wadah yang berisi dua atau lebih cairan berbeda jenis (indeks bias medium yang berbeda-beda) yang tidak bercampur maka posisi semu benda dirumuskan sebagai berikut : β„Žβ€²= β„Žν‘– ν‘›ν‘– ν‘› ν‘– = β„Ž1 ν‘›1+ β„Ž2 ν‘›2+ … Persamaan-persamaan yg telah diuraikan tersebut di atas juga berlaku untuk pengamat yang berada di medium yang lebih rapat melihat benda yang diamati di medium yang kurang rapat. Seperti pengamat yangh berada di dalam air sedang memperhatikan suatu benda yang berada di udara, sehingga posisi benda terlihat lebih jauh dari yang sebenarnya. PEMBIASAN PADA KACA PLAN PARALEL Kaca plan paralel atau balok kaca adalah keping kaca tiga dimensi yang dibatasi oleh sisi-sisi yang sejajar. Sebuah kaca plan paralel atau balok kaca. Dibatasi oleh tiga pasang sisi – sisi sejajar. Kaca planparalel dapat digunakan untuk mengamati jalannya sinar yang mengalami pembiasan dan untuk menentukan indeks bias kaca tersebut.
Ketika seberkas sinar melewati sebuah kaca plan pararel, maka pada batas antara dua media yang transparan, cahaya sebagian dipantulkan dan sebagian dibiaskan. Salah satu bagian dari gelombang sinar tersebut akan dipantulkan, dan sebagian yang bagian lain akan dibiaskan saat melewati kaca plan paralel. Sinar yang masuk ke dalam kaca plan parallel akan mengalami pergeseran sinar. Pergeseran ini terjadi karena cahaya atau berkas sinar mengalmi 2 kali pembiasan oleh dua medium yang berbeda kerapatannya. Pembiasan pertama terjadi ketika berkas cahaya dari udara menuju kaca. Sinar yang masuk ke dalam kaca akan dibiaskan mendekati garis normal. pembiasan kedua terjadi saat berkas cahaya meninggalkan kaca menuju udara. Sinar yang keluar dari kaca menuju udara dibiaskan menjauhi garis normal. Dari gambar terlihat bahwa berkas cahaya yang masuk dengan berkas cahaya yang keluar dari kaca plan pararel merupakan garis yang sejajar. Berkas cahaya hanya mengalami pergerseran yang besar pergeseran itu dapat ditentukan secara matematis. Perhatikan gambar berikut :
Pada gambar telihat ada dua segitiga siku-siku yaitu  ACB dan  ADB. Kedua segitiga tersebut bersinggungan pada garis AB. Sehingga hubungan matematis dari kedua segitiga itu mengacu padda garis AB tersebut. Pada  ADB : sinν›Ό= 퐡퐷 퐴퐡 = ν‘‘ 퐴퐡 퐴퐡= ν‘‘ sinν›Ό Dari gambar diketahui bahwa : ν›Ό=ν‘–βˆ’ν‘Ÿ Sehingga : 퐴퐡= ν‘‘ sin ν‘–βˆ’ν‘Ÿ Pada  ACB : cosν‘Ÿ= 퐴퐢 퐴퐡 cosν‘Ÿ= ν‘‘ 퐴퐡 퐴퐡= ν‘‘ cosν‘Ÿ Dengan mensubstitusikan ini ke persamaan AB sebelumnya, akan diperoleh hubungan sebagai berikut : ν‘‘ sin ν‘–βˆ’ν‘Ÿ = ν‘‘ cosν‘Ÿ ν‘‘= ν‘‘sin ν‘–βˆ’ν‘Ÿ cosν‘Ÿ Keterangan: i = sudut datang r = sudut bias
d = tebal kaca plan paralel t = besar pergeseran sinar Persamaan terakhir yang diperoleh ini adalah persamaan untuk pergeseran sinar pada kaca plan parallel. Pembiasan pada prisma Prisma adalah suatu benda tembus cahaya (bening) terbuat dan gelas yang dibatasi oleh dua bidang datar yang membentuk sudut tertentu satu sama lain. Bidang datar ini (bidang permukaan prisma) berfungsi sebagai bidang pembias. Dan sudut yang dibentuk oleh kedua bidang pembias disebut sudut pembias atau sudut puncak prisma yang biasa diberi notasi .. Cahaya yang datang dari udara (sinar datang) menuju bidang permukaan prisma akan dibiaskan mendekati garis normal sesuai dengan hukum pembiasan Snellius. Kemudian, ketika sinar meninggalkan prisma menuju udara, sinar tersebut akan dibiaskan menjauhi garis normal, seperti gambar berikut. DEVIASI PADA PRISMA Setelah melewati prisma, cahaya mengalami deviasi (penyimpangan) yang disebut dengan sudut deviasi. Sudut deviasi dilambangkan dengan symbol  atau D, merupakan sudut yang dibentuk oleh perpotongan
dari perpanjangan sinar datang (i1) dengan perpanjangan sinar yang meninggalkan prisma (r2). Besarnya sudut deviasi yang dialami cahaya dapat diturunkan berdasarkan geometri segitiga matematis. Perhatikan gambar berikut : Perhatikan segi empat ABCE : ν›½+ ∠퐴퐡퐢= 1800 Dari  ABC tampak bahwa : ν‘Ÿ1+ ν‘–2+ ∠퐴퐡퐢=1800 Sehingga diperoleh persamaan : ν›½+ ∠퐴퐡퐢= ν‘Ÿ1+ ν‘–2+ ∠퐴퐡퐢 ν›½= ν‘Ÿ1+ ν‘–2 Perhatikan  ADC : sudut alas di A adalah : 퐴= ν‘–1βˆ’ ν‘Ÿ1 dan sudut alas di C adalah : C= ν‘Ÿ2βˆ’ ν‘–2 Berdasarkan sifat sudut luar segitiga, besar  dapat ditentukan sebagai berikut : ν›Ώ= ν‘–1βˆ’ ν‘Ÿ1+ ν‘Ÿ2βˆ’ ν‘–2 ν›Ώ= ν‘–1+ ν‘Ÿ2βˆ’ ν‘Ÿ1βˆ’ ν‘–2 ν›Ώ= ν‘–1+ ν‘Ÿ2 βˆ’ ν‘Ÿ1+ ν‘–2 ν›Ώ= ν‘–1+ ν‘Ÿ2 βˆ’ ν›½ 
Keterangan: 
 = sudut deviasi prisma
Ξ² = sudut pembias prisma 
i1 = sudut datang pertama (sinar masuk dari udara ke dalam prisma) 
r2 = sudut bias kedua (sinar keluar dari prisma menuju ke udara) 
DEVIASI MINIMUM PADA PRISMA 
Jika arah sinar datang diubah-ubah sehingga besar sudut datang 1 berubah-ubah, maka sudut deviasi pun berubah. Hasil percobaan menunjukkan bahwa hubungan besar sudut deviasi terhadap besar sudut datang sesuai dengan grafik pada gambar berikut. 
Deviasi terkecil atau deviasi minimum (m) terjadi pada saat sinar masuk simetris dengan sinar yang keluar dari prisma atau sinar yang di dalam prisma membagi prisma menjadi segitiga sama kaki sehingga sudut datang i1 sama dengan sudut bias terakhir r2. Besar sudut deviasi minimum (m) sebuah prisma dapat ditentukan sebagai berikut : 
Oleh karena i1 = r2 ; maka i2 = r1 ; sehinga 
ν›½= ν‘Ÿ1+ ν‘–2 
ν›½= ν‘Ÿ1+ ν‘Ÿ1 
ν›½= 2 ν‘Ÿ1 
ν‘Ÿ1= 12 ν›½ 
Telah diketahui sebelumnya bahwa sudut deviasi prisma ditentukan oleh persamaan berikut : 
ν›Ώ= ν‘–1+ ν‘Ÿ2 βˆ’ ν›½ 
Karena bernilai minimum maka i1 = r2 ; sehingga : 
ν›Ών‘š= ν‘–1+ ν‘–1 βˆ’ ν›½ 
ν›Ών‘š= 2 ν‘–1βˆ’ ν›½ 
Selanjutnya diperoleh : ν‘–1= 12 ν›Ών‘š+ ν›½ 
Berdasarkan hukum pembiasan Snellius maka akan berlaku pesamaan :
sinν‘–1sinν‘Ÿ1= ν‘›2 ν‘›1 
Apabila nilai i1 dan r1 disubstitusikan pada persamaan ini, maka akan diperoleh hukum Snellius pada prisma untuk deviasi minimum sebagai berikut : 
sin12 ν›Ών‘š+ ν›½ sin12 ν›½ = ν‘›2 ν‘›1 
ν‘›1sin12 ν›Ών‘š+ ν›½ =ν‘›2sin12 ν›½ 
Khusus untuk sudut pembias (sudut puncak) prisma yang kecil ( < 15°) , Persamaan deviasi minimum di atas dapat dituliskan menjadi sebagai berikut : 
Karena  kecil, maka : 
sin12 ν›½ β‰ˆ 12 ν›½ 
sin12 ν›Ών‘š+ ν›½ β‰ˆ 12 ν›Ών‘š+ ν›½ 
Sehingga : ν‘›112 ν›Ών‘š+ ν›½ =ν‘›212 ν›½ 
ν‘›1 ν›Ών‘š+ ν›½ =ν‘›2 ν›½ 
ν›Ών‘š+ ν›½ = ν‘›2 ν‘›1 ν›½ 
ν›Ών‘š+ ν›½ = ν‘›2 ν‘›1 ν›½ 
ν›Ών‘š= ν‘›2 ν‘›1 ν›½βˆ’ ν›½ 
ν›Ών‘š= ν‘›2 ν‘›1 βˆ’ 1 ν›½ 
Keterangan: Ξ΄m = sudut deviasi minimum n1 = indeks bias medium 1 n2 = indeks bias medium 2 (Prisma) Ξ² = sudut pembias prisma
Pemantulan total Peristiwa terjadinya fatamorgana seperti terlihatnya kilauan air diatas jalanan beraspal disiang hari yang terik, berkilaunya berlian, peristiwa pelangi kembar merupakan peristiwa pemantulan sempurna yang sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Proses terjadinya fatamorgana berawal dari adanya perbedaan kerapatan antara udara dingin dan udara panas. Udara dingin memiliki kerapatan lebih pekat dan lebih berat dibandingkan udara panas. Dalam kenyataannya, lapisan udara yang panas yang ada di dekat tanah terperangkap oleh lapisan udara yang lebih dingin di atasnya. Cahaya dibiaskan ke arah garis horisontal pandangan dan akhirnya berjalan ke atas karena pengaruh internal total. Berlian (diamond) adalah kristal transparan karbon murni terdiri dari atom karbon ikatan tetrahedron (allotrop karbon). Berlian terkenal karena kualitas fisiknya yang hebat, terutama kekerasannya, selain itu berlian memiliki kemampuan untuk menyebarkan cahaya. Berlian memiliki indeks bias tinggi - yang berarti mereka benar-benar bisa menekuk sinar cahaya. Sinar Jadi cahaya yang bersinar ke mereka akan tinggal di dalam berlian lebih lama.
Berlian akan berkilau ketika cahaya masukinya. Akan tetapi kecerahan cahaya berlian ini tergantung pada ketepatan pembentukan berlian. Pembentukan berlian dengan sudut yang tepat sudut akan membuat kilauan semakin tajam. Semua sisi-sisi dan sudut secara hati-hati dirancang untuk menjaga sinar yang masuk dalam waktu yang lama - dengan membuat mereka terpantul pada dinding berlian sebanyak mungkin. Pelangi kembar terjadi ketika sinar matahari (yang terdiri dari semua warna terlihat) dicegat oleh tetesan air hujan yang jatuh, beberapa cahaya dibiaskan di tetesan air, direfleksikan sekali dari permukaan dalam tetesan, dan kemudian dibiaskan keluar dari tetesan. Semua fenomena diatas dapat dijelaskan dengan prinsip pemantulan total. Pemantulan total atau total internal reflection (TIR) adalah proses pemantulan seberkas cahaya pada permukaan batas antara satu medium dengan medium yang lain yang indeks biasnya lebih kecil, jika sudut datang ke medium kedua melebihi suatu sudut kritis tertentu. Seperti cahaya merambat di dalam medium yang memiliki indeks bias yang tinggi seperti air, kaca, dan plastik masuk ke medium yang memiliki indeks bias lebih rendah seperti udara. Akibatnya gambar dengan sifat semu dan terbalik. Ketika cahaya merambat dari media optik lebih padat menuju ke media kurang optik kurangrapat, maka cahaya membias menjauhi dari garis normal. Jika sudut sinar datang secara bertahap diperbesar, maka sudut bias akan makin besar pula. Semakin besar pada sudut sinar datang, maka berkas sinar akan menyimpang semakin jauh dari garis normal. Hingga pada sudut sinar datang tertentu, berkas sinar akan dibiaskan pada bidang antar medium (pertemuan kedua medium). Pada saat ini berarti sudut sinar biassebesar 900 dan sudut sinar datang pada saat ini dinamakan sudut kritis. Jika sudut sinar datang kita perbesar lagi, maka sinar datang tidak lagi di biaskan, akan tetapi dipantulkan. Peristiwa ini yang dinamakan dengan pemantulan total atau pemantulan sempurna.
Andaikan sinar merambat dari dalam air menuju udara dengan membentuk sudut datang sudut i = ΞΈ1 , ketika mencapai permukaan sinar itu akan dibiaskan dengan sudut bias r = ΞΈ2 . Jika sudut sinar datang diperbesar sampai i = ΞΈC, maka sinar akan dibiaskan sejajar dengan permukaan air, berarti r = ΞΈ2 = 900. Karena sudut datang ΞΈC menghasilkan sudut bias 90Β°, maka ΞΈC disebut sudut batas atau sudut kritis. Jika sudut sinar datang lebih besar daripada sudut kritis ini, maka sinar akan dipantulkan seluruhnya oleh permukaan air kembali ke dalam air. Sudut kritis, iC atau ΞΈC didefinisikan sebagai sudut datang (dalam hal ini indeks bias medium lebih tinggi) yang besar sudut biasnya 900. Dengan menggunakan Hukum Snellius, besar sudut kritis suatu medium dapat ditentukan sebagai berikut : n1sini= n2sinr n1sinΞΈC= n2sin900 n1sinΞΈC= n2 sinΞΈC= n2n1 ΞΈC= sinβˆ’1 n2n1 Pemantulan Total (Total Internal Reflektion) akan terjadi untuk setiap sudut datang lebih besar dari ΞΈ c. Syarat terjadinya pemantulan sempurna yaitu sinar harus datang dari medium yang lebih rapat kemedium yang kurang rapat. Pada peristiwa pembiasan selalu ada sebagian kecil dari energi yang dipantulkan pada batas antara medium yang memiliki indeks bias yang berbeda, tetapi biasanya cukup kecil (hanya beberapa persen). Dalam kasus pemantulan total, 100% dari energi sinar akan dipantulkan. Pemantulan total dapat ditunjukkan dengan menggunakan balok setengah lingkaran dari kaca. Bentuk setengah lingkaran memastikan bahwa sinar menunjuk ke arah tengah wajah datar akan memukul permukaan melengkung di sudut kanan. Hal ini akan mencegah pembiasan pada batas udara dan kaca dari permukaan melengkung.
Jika ΞΈ < ΞΈC , sinar akan terpecah. Akan terjadi peristiwa pemantulan dan pembiasan secara bersamaan. Hal in disebabkan beberapa berkas sinar akan dipantulkan oleh bidang batas, dan sebagian yang lain akan dibiaskan. Pemantulan yang terjadi pada saat ini bukanlah pemantulan total. Jika ΞΈ > ΞΈC, seluruh sinar dipantulkan oleh bidang batas, tidak ada yang dibiaskan. Peristiwa ini dinamakan pemantulan total. Prinsip pemantulan total ini diterapkan pada alat-alat optik seperti teropong prisma, periskop, dan serat optik.

More Related Content

What's hot

indeks miller
indeks millerindeks miller
indeks miller
Alfu Nei NeiRa
Β 
Difraksi, partikel dalam kotak dan prinsip ketaktentuan
Difraksi, partikel dalam kotak dan prinsip ketaktentuanDifraksi, partikel dalam kotak dan prinsip ketaktentuan
Difraksi, partikel dalam kotak dan prinsip ketaktentuan
SMA Negeri 9 KERINCI
Β 
Fisika inti diktat
Fisika inti diktatFisika inti diktat
Fisika inti diktat
Kevin Maulana
Β 
Penurunan rumus pemantulan
Penurunan rumus pemantulanPenurunan rumus pemantulan
Penurunan rumus pemantulan
nooraisy22
Β 
MODUL FISIKA KUANTUM
MODUL FISIKA KUANTUMMODUL FISIKA KUANTUM
MODUL FISIKA KUANTUM
Nurin Nurhasanah
Β 
Sifat partikel dan gelombang
Sifat partikel dan gelombangSifat partikel dan gelombang
Sifat partikel dan gelombang
SMA Negeri 9 KERINCI
Β 
Pemanfaatan gelombang elektromagnetik dalam bidang kesehatan
Pemanfaatan gelombang elektromagnetik dalam bidang kesehatanPemanfaatan gelombang elektromagnetik dalam bidang kesehatan
Pemanfaatan gelombang elektromagnetik dalam bidang kesehatanOperator Warnet Vast Raha
Β 
Ppt gelombang
Ppt gelombangPpt gelombang
Ppt gelombangRaa Yu
Β 
Laporan fisika dasar resonansi bunyi dari gelombang suara (edit)
Laporan fisika dasar resonansi bunyi dari gelombang suara (edit)Laporan fisika dasar resonansi bunyi dari gelombang suara (edit)
Laporan fisika dasar resonansi bunyi dari gelombang suara (edit)
Erliana Amalia Diandra
Β 
Massa jenis zat cair
Massa jenis zat cairMassa jenis zat cair
Massa jenis zat cair
KLOTILDAJENIRITA
Β 
2 b 59_utut muhammad_laporan_medan magnet dan induksi magnet
2 b 59_utut muhammad_laporan_medan magnet dan induksi magnet2 b 59_utut muhammad_laporan_medan magnet dan induksi magnet
2 b 59_utut muhammad_laporan_medan magnet dan induksi magnet
umammuhammad27
Β 
Contoh Soal Persamaan Schrodinger dan penyelesaiannya
Contoh Soal Persamaan Schrodinger dan penyelesaiannyaContoh Soal Persamaan Schrodinger dan penyelesaiannya
Contoh Soal Persamaan Schrodinger dan penyelesaiannya
AyuShaleha
Β 
Fisika kuantum
Fisika kuantumFisika kuantum
Fisika kuantumHana Dango
Β 
Model-model Energi dalam Zat Padat
Model-model Energi dalam Zat PadatModel-model Energi dalam Zat Padat
Model-model Energi dalam Zat PadatRisdawati Hutabarat
Β 
Makalah osilator harmonik
Makalah osilator harmonikMakalah osilator harmonik
Makalah osilator harmonik
bestricabebest
Β 
Kegagalan Fisika Klasik menjelaskan Mekanika Kuantum
Kegagalan Fisika Klasik menjelaskan Mekanika KuantumKegagalan Fisika Klasik menjelaskan Mekanika Kuantum
Kegagalan Fisika Klasik menjelaskan Mekanika Kuantum
Adli Sone
Β 
teori Bohr tentang Atom Hidrogen
teori Bohr tentang Atom Hidrogenteori Bohr tentang Atom Hidrogen
teori Bohr tentang Atom Hidrogen
Khotim U
Β 
Laporan Resmi Percobaan Spektrometer
Laporan Resmi Percobaan SpektrometerLaporan Resmi Percobaan Spektrometer
Laporan Resmi Percobaan SpektrometerLatifatul Hidayah
Β 
Laporan Fisika Dasar Hukum Joule (L2)
Laporan Fisika Dasar Hukum Joule (L2)Laporan Fisika Dasar Hukum Joule (L2)
Laporan Fisika Dasar Hukum Joule (L2)
Universitas Gadjah Mada
Β 
Laporan Fisdas Resonansi
Laporan Fisdas ResonansiLaporan Fisdas Resonansi
Laporan Fisdas Resonansi
Widya arsy
Β 

What's hot (20)

indeks miller
indeks millerindeks miller
indeks miller
Β 
Difraksi, partikel dalam kotak dan prinsip ketaktentuan
Difraksi, partikel dalam kotak dan prinsip ketaktentuanDifraksi, partikel dalam kotak dan prinsip ketaktentuan
Difraksi, partikel dalam kotak dan prinsip ketaktentuan
Β 
Fisika inti diktat
Fisika inti diktatFisika inti diktat
Fisika inti diktat
Β 
Penurunan rumus pemantulan
Penurunan rumus pemantulanPenurunan rumus pemantulan
Penurunan rumus pemantulan
Β 
MODUL FISIKA KUANTUM
MODUL FISIKA KUANTUMMODUL FISIKA KUANTUM
MODUL FISIKA KUANTUM
Β 
Sifat partikel dan gelombang
Sifat partikel dan gelombangSifat partikel dan gelombang
Sifat partikel dan gelombang
Β 
Pemanfaatan gelombang elektromagnetik dalam bidang kesehatan
Pemanfaatan gelombang elektromagnetik dalam bidang kesehatanPemanfaatan gelombang elektromagnetik dalam bidang kesehatan
Pemanfaatan gelombang elektromagnetik dalam bidang kesehatan
Β 
Ppt gelombang
Ppt gelombangPpt gelombang
Ppt gelombang
Β 
Laporan fisika dasar resonansi bunyi dari gelombang suara (edit)
Laporan fisika dasar resonansi bunyi dari gelombang suara (edit)Laporan fisika dasar resonansi bunyi dari gelombang suara (edit)
Laporan fisika dasar resonansi bunyi dari gelombang suara (edit)
Β 
Massa jenis zat cair
Massa jenis zat cairMassa jenis zat cair
Massa jenis zat cair
Β 
2 b 59_utut muhammad_laporan_medan magnet dan induksi magnet
2 b 59_utut muhammad_laporan_medan magnet dan induksi magnet2 b 59_utut muhammad_laporan_medan magnet dan induksi magnet
2 b 59_utut muhammad_laporan_medan magnet dan induksi magnet
Β 
Contoh Soal Persamaan Schrodinger dan penyelesaiannya
Contoh Soal Persamaan Schrodinger dan penyelesaiannyaContoh Soal Persamaan Schrodinger dan penyelesaiannya
Contoh Soal Persamaan Schrodinger dan penyelesaiannya
Β 
Fisika kuantum
Fisika kuantumFisika kuantum
Fisika kuantum
Β 
Model-model Energi dalam Zat Padat
Model-model Energi dalam Zat PadatModel-model Energi dalam Zat Padat
Model-model Energi dalam Zat Padat
Β 
Makalah osilator harmonik
Makalah osilator harmonikMakalah osilator harmonik
Makalah osilator harmonik
Β 
Kegagalan Fisika Klasik menjelaskan Mekanika Kuantum
Kegagalan Fisika Klasik menjelaskan Mekanika KuantumKegagalan Fisika Klasik menjelaskan Mekanika Kuantum
Kegagalan Fisika Klasik menjelaskan Mekanika Kuantum
Β 
teori Bohr tentang Atom Hidrogen
teori Bohr tentang Atom Hidrogenteori Bohr tentang Atom Hidrogen
teori Bohr tentang Atom Hidrogen
Β 
Laporan Resmi Percobaan Spektrometer
Laporan Resmi Percobaan SpektrometerLaporan Resmi Percobaan Spektrometer
Laporan Resmi Percobaan Spektrometer
Β 
Laporan Fisika Dasar Hukum Joule (L2)
Laporan Fisika Dasar Hukum Joule (L2)Laporan Fisika Dasar Hukum Joule (L2)
Laporan Fisika Dasar Hukum Joule (L2)
Β 
Laporan Fisdas Resonansi
Laporan Fisdas ResonansiLaporan Fisdas Resonansi
Laporan Fisdas Resonansi
Β 

Similar to Refraksi Cahaya

Materi Gelombang Cahaya.pptx
Materi Gelombang Cahaya.pptxMateri Gelombang Cahaya.pptx
Materi Gelombang Cahaya.pptx
ssuser286a3e
Β 
Bab 3 cahaya KELAS XII
Bab 3 cahaya KELAS XII Bab 3 cahaya KELAS XII
Bab 3 cahaya KELAS XII
SMA NEGERI 1 WATAMPONE
Β 
Eksperimen Fisika "Indeks Bias Gelas dan Akrilik"
Eksperimen Fisika "Indeks Bias Gelas dan Akrilik"Eksperimen Fisika "Indeks Bias Gelas dan Akrilik"
Eksperimen Fisika "Indeks Bias Gelas dan Akrilik"
Nurfaizatul Jannah
Β 
gelombang cahaya dan bunyi
gelombang cahaya dan bunyigelombang cahaya dan bunyi
gelombang cahaya dan bunyiFaizatur Rokhmah
Β 
24 sifat gel-cahaya
24 sifat gel-cahaya24 sifat gel-cahaya
24 sifat gel-cahaya
Thiyo Elisabeth
Β 
Laporan Praktikum Fisika Dasar II Awal tentang Indeks Bias
Laporan Praktikum Fisika Dasar II Awal tentang Indeks BiasLaporan Praktikum Fisika Dasar II Awal tentang Indeks Bias
Laporan Praktikum Fisika Dasar II Awal tentang Indeks Bias
Lydia Nurkumalawati
Β 
Optika geometri SMA fisika unnes
Optika geometri SMA fisika unnesOptika geometri SMA fisika unnes
Optika geometri SMA fisika unnes
Ajeng Rizki Rahmawati
Β 
Elektrofisika i
Elektrofisika  iElektrofisika  i
Elektrofisika i
Basid Baidowi Fisio
Β 
sifat-sifat gelombang
sifat-sifat gelombangsifat-sifat gelombang
sifat-sifat gelombang
Agnes Ervinda Ginting
Β 
Persentasi Cahaya Dan Optik
Persentasi Cahaya Dan OptikPersentasi Cahaya Dan Optik
Persentasi Cahaya Dan Optikguest3ae858
Β 
Persentasi
PersentasiPersentasi
Persentasiguest3ae858
Β 
Optical instrumentation system
Optical instrumentation systemOptical instrumentation system
Optical instrumentation system
ayu bekti
Β 
O1 interferometer michelson
O1 interferometer michelsonO1 interferometer michelson
O1 interferometer michelson
Miftachul Nur Afifah
Β 
Pw point physic
Pw point physicPw point physic
Pw point physic
Kristalina Dewi
Β 
Gejala Gelombang
Gejala GelombangGejala Gelombang
Gejala Gelombang
Reynes E. Tekay
Β 
cahaya sebagai gelombang
cahaya sebagai gelombangcahaya sebagai gelombang
cahaya sebagai gelombang
AyuAulia32
Β 
ppt ipa kel 3.pptx
ppt ipa kel 3.pptxppt ipa kel 3.pptx
ppt ipa kel 3.pptx
AlulAlul3
Β 
Gelombang Cahaya
Gelombang CahayaGelombang Cahaya
Gelombang Cahaya
prihase
Β 
Fisika praktikum plan paralel
Fisika praktikum plan paralelFisika praktikum plan paralel
Fisika praktikum plan paralel
Ridho Pasopati
Β 

Similar to Refraksi Cahaya (20)

Materi Gelombang Cahaya.pptx
Materi Gelombang Cahaya.pptxMateri Gelombang Cahaya.pptx
Materi Gelombang Cahaya.pptx
Β 
Bab 3 cahaya KELAS XII
Bab 3 cahaya KELAS XII Bab 3 cahaya KELAS XII
Bab 3 cahaya KELAS XII
Β 
Eksperimen Fisika "Indeks Bias Gelas dan Akrilik"
Eksperimen Fisika "Indeks Bias Gelas dan Akrilik"Eksperimen Fisika "Indeks Bias Gelas dan Akrilik"
Eksperimen Fisika "Indeks Bias Gelas dan Akrilik"
Β 
gelombang cahaya dan bunyi
gelombang cahaya dan bunyigelombang cahaya dan bunyi
gelombang cahaya dan bunyi
Β 
24 sifat gel-cahaya
24 sifat gel-cahaya24 sifat gel-cahaya
24 sifat gel-cahaya
Β 
Laporan Praktikum Fisika Dasar II Awal tentang Indeks Bias
Laporan Praktikum Fisika Dasar II Awal tentang Indeks BiasLaporan Praktikum Fisika Dasar II Awal tentang Indeks Bias
Laporan Praktikum Fisika Dasar II Awal tentang Indeks Bias
Β 
Optika geometri SMA fisika unnes
Optika geometri SMA fisika unnesOptika geometri SMA fisika unnes
Optika geometri SMA fisika unnes
Β 
Elektrofisika i
Elektrofisika  iElektrofisika  i
Elektrofisika i
Β 
sifat-sifat gelombang
sifat-sifat gelombangsifat-sifat gelombang
sifat-sifat gelombang
Β 
Persentasi Cahaya Dan Optik
Persentasi Cahaya Dan OptikPersentasi Cahaya Dan Optik
Persentasi Cahaya Dan Optik
Β 
Persentasi
PersentasiPersentasi
Persentasi
Β 
Optical instrumentation system
Optical instrumentation systemOptical instrumentation system
Optical instrumentation system
Β 
O1 interferometer michelson
O1 interferometer michelsonO1 interferometer michelson
O1 interferometer michelson
Β 
Pw point physic
Pw point physicPw point physic
Pw point physic
Β 
Gejala Gelombang
Gejala GelombangGejala Gelombang
Gejala Gelombang
Β 
cahaya sebagai gelombang
cahaya sebagai gelombangcahaya sebagai gelombang
cahaya sebagai gelombang
Β 
ppt ipa kel 3.pptx
ppt ipa kel 3.pptxppt ipa kel 3.pptx
ppt ipa kel 3.pptx
Β 
Gelombang Cahaya
Gelombang CahayaGelombang Cahaya
Gelombang Cahaya
Β 
Cahaya dan alat optik
Cahaya dan alat optikCahaya dan alat optik
Cahaya dan alat optik
Β 
Fisika praktikum plan paralel
Fisika praktikum plan paralelFisika praktikum plan paralel
Fisika praktikum plan paralel
Β 

More from Puspawijaya Putra

Tugas merangkum pada pembelajarn fisika
Tugas merangkum pada pembelajarn fisikaTugas merangkum pada pembelajarn fisika
Tugas merangkum pada pembelajarn fisika
Puspawijaya Putra
Β 
Prinsip Kerja Anemometer Mangkuk
Prinsip Kerja Anemometer MangkukPrinsip Kerja Anemometer Mangkuk
Prinsip Kerja Anemometer Mangkuk
Puspawijaya Putra
Β 
Prinsip Kerja Anemometer Mangkuk
Prinsip Kerja Anemometer MangkukPrinsip Kerja Anemometer Mangkuk
Prinsip Kerja Anemometer Mangkuk
Puspawijaya Putra
Β 
Karakteristik Awan
Karakteristik AwanKarakteristik Awan
Karakteristik Awan
Puspawijaya Putra
Β 
Refraksi Oleh Permukaan Lengkung dan Lensa
Refraksi  Oleh Permukaan Lengkung dan LensaRefraksi  Oleh Permukaan Lengkung dan Lensa
Refraksi Oleh Permukaan Lengkung dan Lensa
Puspawijaya Putra
Β 
Peran kepala sekolah dalam meningkatkan kualitas sekolah
Peran kepala sekolah dalam meningkatkan kualitas sekolahPeran kepala sekolah dalam meningkatkan kualitas sekolah
Peran kepala sekolah dalam meningkatkan kualitas sekolah
Puspawijaya Putra
Β 
Fungsi Pengawasan Dalam Meningkatkan Mutu Sekolah
Fungsi Pengawasan Dalam Meningkatkan Mutu SekolahFungsi Pengawasan Dalam Meningkatkan Mutu Sekolah
Fungsi Pengawasan Dalam Meningkatkan Mutu Sekolah
Puspawijaya Putra
Β 
Fungsi Pengawasan Dalam Meningkatkan Mutu Sekolah
Fungsi Pengawasan Dalam Meningkatkan Mutu SekolahFungsi Pengawasan Dalam Meningkatkan Mutu Sekolah
Fungsi Pengawasan Dalam Meningkatkan Mutu SekolahPuspawijaya Putra
Β 
Pemanfatan Sampah Kota Sebagai Sumber Energi Alternatif
Pemanfatan Sampah Kota Sebagai Sumber Energi AlternatifPemanfatan Sampah Kota Sebagai Sumber Energi Alternatif
Pemanfatan Sampah Kota Sebagai Sumber Energi Alternatif
Puspawijaya Putra
Β 
PROSES PENCAHAYAAN PADA LAMPU TL
PROSES PENCAHAYAAN PADA LAMPU TLPROSES PENCAHAYAAN PADA LAMPU TL
PROSES PENCAHAYAAN PADA LAMPU TL
Puspawijaya Putra
Β 

More from Puspawijaya Putra (10)

Tugas merangkum pada pembelajarn fisika
Tugas merangkum pada pembelajarn fisikaTugas merangkum pada pembelajarn fisika
Tugas merangkum pada pembelajarn fisika
Β 
Prinsip Kerja Anemometer Mangkuk
Prinsip Kerja Anemometer MangkukPrinsip Kerja Anemometer Mangkuk
Prinsip Kerja Anemometer Mangkuk
Β 
Prinsip Kerja Anemometer Mangkuk
Prinsip Kerja Anemometer MangkukPrinsip Kerja Anemometer Mangkuk
Prinsip Kerja Anemometer Mangkuk
Β 
Karakteristik Awan
Karakteristik AwanKarakteristik Awan
Karakteristik Awan
Β 
Refraksi Oleh Permukaan Lengkung dan Lensa
Refraksi  Oleh Permukaan Lengkung dan LensaRefraksi  Oleh Permukaan Lengkung dan Lensa
Refraksi Oleh Permukaan Lengkung dan Lensa
Β 
Peran kepala sekolah dalam meningkatkan kualitas sekolah
Peran kepala sekolah dalam meningkatkan kualitas sekolahPeran kepala sekolah dalam meningkatkan kualitas sekolah
Peran kepala sekolah dalam meningkatkan kualitas sekolah
Β 
Fungsi Pengawasan Dalam Meningkatkan Mutu Sekolah
Fungsi Pengawasan Dalam Meningkatkan Mutu SekolahFungsi Pengawasan Dalam Meningkatkan Mutu Sekolah
Fungsi Pengawasan Dalam Meningkatkan Mutu Sekolah
Β 
Fungsi Pengawasan Dalam Meningkatkan Mutu Sekolah
Fungsi Pengawasan Dalam Meningkatkan Mutu SekolahFungsi Pengawasan Dalam Meningkatkan Mutu Sekolah
Fungsi Pengawasan Dalam Meningkatkan Mutu Sekolah
Β 
Pemanfatan Sampah Kota Sebagai Sumber Energi Alternatif
Pemanfatan Sampah Kota Sebagai Sumber Energi AlternatifPemanfatan Sampah Kota Sebagai Sumber Energi Alternatif
Pemanfatan Sampah Kota Sebagai Sumber Energi Alternatif
Β 
PROSES PENCAHAYAAN PADA LAMPU TL
PROSES PENCAHAYAAN PADA LAMPU TLPROSES PENCAHAYAAN PADA LAMPU TL
PROSES PENCAHAYAAN PADA LAMPU TL
Β 

Recently uploaded

Modul Ajar PAI dan Budi Pekerti Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
Modul Ajar PAI dan Budi Pekerti Kelas 2 Fase A Kurikulum MerdekaModul Ajar PAI dan Budi Pekerti Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
Modul Ajar PAI dan Budi Pekerti Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
Fathan Emran
Β 
RHK Jabatan Kep Sekolah dan Bukti Dukung.pdf
RHK Jabatan Kep Sekolah dan Bukti Dukung.pdfRHK Jabatan Kep Sekolah dan Bukti Dukung.pdf
RHK Jabatan Kep Sekolah dan Bukti Dukung.pdf
asyi1
Β 
Form B1 Rubrik Observasi Presentasi Visi Misi -1.docx
Form B1 Rubrik Observasi Presentasi Visi Misi -1.docxForm B1 Rubrik Observasi Presentasi Visi Misi -1.docx
Form B1 Rubrik Observasi Presentasi Visi Misi -1.docx
EkoPutuKromo
Β 
LK 1 - 5T Keputusan Berdampak PERMATA BUNDA.pdf
LK 1 - 5T Keputusan Berdampak PERMATA BUNDA.pdfLK 1 - 5T Keputusan Berdampak PERMATA BUNDA.pdf
LK 1 - 5T Keputusan Berdampak PERMATA BUNDA.pdf
UditGheozi2
Β 
KOMITMEN MENULIS DI BLOG KBMN PB PGRI.ppt
KOMITMEN MENULIS DI BLOG KBMN PB PGRI.pptKOMITMEN MENULIS DI BLOG KBMN PB PGRI.ppt
KOMITMEN MENULIS DI BLOG KBMN PB PGRI.ppt
Dedi Dwitagama
Β 
PI 2 - Ratna Haryanti, S. Pd..pptx Visi misi dan prakarsa perubahan pendidika...
PI 2 - Ratna Haryanti, S. Pd..pptx Visi misi dan prakarsa perubahan pendidika...PI 2 - Ratna Haryanti, S. Pd..pptx Visi misi dan prakarsa perubahan pendidika...
PI 2 - Ratna Haryanti, S. Pd..pptx Visi misi dan prakarsa perubahan pendidika...
agusmulyadi08
Β 
Laporan Kegiatan Pramuka Tugas Tambahan PMM.pdf
Laporan Kegiatan Pramuka Tugas Tambahan PMM.pdfLaporan Kegiatan Pramuka Tugas Tambahan PMM.pdf
Laporan Kegiatan Pramuka Tugas Tambahan PMM.pdf
UmyHasna1
Β 
Patofisiologi Sistem Endokrin hormon pada sistem endokrin
Patofisiologi Sistem Endokrin hormon pada sistem endokrinPatofisiologi Sistem Endokrin hormon pada sistem endokrin
Patofisiologi Sistem Endokrin hormon pada sistem endokrin
rohman85
Β 
SOAL SBDP KELAS 3 SEMESTER GENAP TAHUN PELAJARAN 2023 2024
SOAL SBDP KELAS 3 SEMESTER GENAP TAHUN PELAJARAN 2023 2024SOAL SBDP KELAS 3 SEMESTER GENAP TAHUN PELAJARAN 2023 2024
SOAL SBDP KELAS 3 SEMESTER GENAP TAHUN PELAJARAN 2023 2024
ozijaya
Β 
INSTRUMEN PENILAIAN PRAKTIK KINERJA KS Dok Rating Observasi (1).docx
INSTRUMEN PENILAIAN PRAKTIK KINERJA KS Dok Rating Observasi (1).docxINSTRUMEN PENILAIAN PRAKTIK KINERJA KS Dok Rating Observasi (1).docx
INSTRUMEN PENILAIAN PRAKTIK KINERJA KS Dok Rating Observasi (1).docx
lindaagina84
Β 
Karakteristik Manusia Komunikan dalam Bingkai Psikologi Komunikasi
Karakteristik Manusia Komunikan dalam Bingkai Psikologi KomunikasiKarakteristik Manusia Komunikan dalam Bingkai Psikologi Komunikasi
Karakteristik Manusia Komunikan dalam Bingkai Psikologi Komunikasi
AdePutraTunggali
Β 
Tugas Mandiri 1.4.a.4.3 Keyakinan Kelas.pdf
Tugas Mandiri 1.4.a.4.3 Keyakinan Kelas.pdfTugas Mandiri 1.4.a.4.3 Keyakinan Kelas.pdf
Tugas Mandiri 1.4.a.4.3 Keyakinan Kelas.pdf
muhammadRifai732845
Β 
NUMERASI KOMPETENSI PENDIDIK TAHAP CAKAP DAN MAHIR.pdf
NUMERASI KOMPETENSI PENDIDIK TAHAP CAKAP DAN MAHIR.pdfNUMERASI KOMPETENSI PENDIDIK TAHAP CAKAP DAN MAHIR.pdf
NUMERASI KOMPETENSI PENDIDIK TAHAP CAKAP DAN MAHIR.pdf
DataSupriatna
Β 
SOAL SHB PKN SEMESTER GENAP TAHUN 2023-2024.docx
SOAL SHB PKN SEMESTER GENAP TAHUN 2023-2024.docxSOAL SHB PKN SEMESTER GENAP TAHUN 2023-2024.docx
SOAL SHB PKN SEMESTER GENAP TAHUN 2023-2024.docx
MuhammadBagusAprilia1
Β 
Form B8 Rubrik Refleksi Program Pengembangan Kompetensi Guru -1.docx
Form B8 Rubrik Refleksi Program Pengembangan Kompetensi Guru -1.docxForm B8 Rubrik Refleksi Program Pengembangan Kompetensi Guru -1.docx
Form B8 Rubrik Refleksi Program Pengembangan Kompetensi Guru -1.docx
EkoPutuKromo
Β 
0. PPT Juknis PPDB TK-SD -SMP 2024-2025 Cilacap.pptx
0. PPT Juknis PPDB TK-SD -SMP 2024-2025 Cilacap.pptx0. PPT Juknis PPDB TK-SD -SMP 2024-2025 Cilacap.pptx
0. PPT Juknis PPDB TK-SD -SMP 2024-2025 Cilacap.pptx
Indah106914
Β 
tugas modul 1.4 Koneksi Antar Materi (1).pptx
tugas  modul 1.4 Koneksi Antar Materi (1).pptxtugas  modul 1.4 Koneksi Antar Materi (1).pptx
tugas modul 1.4 Koneksi Antar Materi (1).pptx
d2spdpnd9185
Β 
ppt landasan pendidikan pai 9 revisi.pdf
ppt landasan pendidikan pai 9 revisi.pdfppt landasan pendidikan pai 9 revisi.pdf
ppt landasan pendidikan pai 9 revisi.pdf
setiatinambunan
Β 
Bab 3 Sejarah Kerajaan Hindu-Buddha.pptx
Bab 3 Sejarah Kerajaan Hindu-Buddha.pptxBab 3 Sejarah Kerajaan Hindu-Buddha.pptx
Bab 3 Sejarah Kerajaan Hindu-Buddha.pptx
nawasenamerta
Β 
PENGUMUMAN PPDB SMPN 4 PONOROGO TAHUN 2024.pdf
PENGUMUMAN PPDB SMPN 4 PONOROGO TAHUN 2024.pdfPENGUMUMAN PPDB SMPN 4 PONOROGO TAHUN 2024.pdf
PENGUMUMAN PPDB SMPN 4 PONOROGO TAHUN 2024.pdf
smp4prg
Β 

Recently uploaded (20)

Modul Ajar PAI dan Budi Pekerti Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
Modul Ajar PAI dan Budi Pekerti Kelas 2 Fase A Kurikulum MerdekaModul Ajar PAI dan Budi Pekerti Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
Modul Ajar PAI dan Budi Pekerti Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
Β 
RHK Jabatan Kep Sekolah dan Bukti Dukung.pdf
RHK Jabatan Kep Sekolah dan Bukti Dukung.pdfRHK Jabatan Kep Sekolah dan Bukti Dukung.pdf
RHK Jabatan Kep Sekolah dan Bukti Dukung.pdf
Β 
Form B1 Rubrik Observasi Presentasi Visi Misi -1.docx
Form B1 Rubrik Observasi Presentasi Visi Misi -1.docxForm B1 Rubrik Observasi Presentasi Visi Misi -1.docx
Form B1 Rubrik Observasi Presentasi Visi Misi -1.docx
Β 
LK 1 - 5T Keputusan Berdampak PERMATA BUNDA.pdf
LK 1 - 5T Keputusan Berdampak PERMATA BUNDA.pdfLK 1 - 5T Keputusan Berdampak PERMATA BUNDA.pdf
LK 1 - 5T Keputusan Berdampak PERMATA BUNDA.pdf
Β 
KOMITMEN MENULIS DI BLOG KBMN PB PGRI.ppt
KOMITMEN MENULIS DI BLOG KBMN PB PGRI.pptKOMITMEN MENULIS DI BLOG KBMN PB PGRI.ppt
KOMITMEN MENULIS DI BLOG KBMN PB PGRI.ppt
Β 
PI 2 - Ratna Haryanti, S. Pd..pptx Visi misi dan prakarsa perubahan pendidika...
PI 2 - Ratna Haryanti, S. Pd..pptx Visi misi dan prakarsa perubahan pendidika...PI 2 - Ratna Haryanti, S. Pd..pptx Visi misi dan prakarsa perubahan pendidika...
PI 2 - Ratna Haryanti, S. Pd..pptx Visi misi dan prakarsa perubahan pendidika...
Β 
Laporan Kegiatan Pramuka Tugas Tambahan PMM.pdf
Laporan Kegiatan Pramuka Tugas Tambahan PMM.pdfLaporan Kegiatan Pramuka Tugas Tambahan PMM.pdf
Laporan Kegiatan Pramuka Tugas Tambahan PMM.pdf
Β 
Patofisiologi Sistem Endokrin hormon pada sistem endokrin
Patofisiologi Sistem Endokrin hormon pada sistem endokrinPatofisiologi Sistem Endokrin hormon pada sistem endokrin
Patofisiologi Sistem Endokrin hormon pada sistem endokrin
Β 
SOAL SBDP KELAS 3 SEMESTER GENAP TAHUN PELAJARAN 2023 2024
SOAL SBDP KELAS 3 SEMESTER GENAP TAHUN PELAJARAN 2023 2024SOAL SBDP KELAS 3 SEMESTER GENAP TAHUN PELAJARAN 2023 2024
SOAL SBDP KELAS 3 SEMESTER GENAP TAHUN PELAJARAN 2023 2024
Β 
INSTRUMEN PENILAIAN PRAKTIK KINERJA KS Dok Rating Observasi (1).docx
INSTRUMEN PENILAIAN PRAKTIK KINERJA KS Dok Rating Observasi (1).docxINSTRUMEN PENILAIAN PRAKTIK KINERJA KS Dok Rating Observasi (1).docx
INSTRUMEN PENILAIAN PRAKTIK KINERJA KS Dok Rating Observasi (1).docx
Β 
Karakteristik Manusia Komunikan dalam Bingkai Psikologi Komunikasi
Karakteristik Manusia Komunikan dalam Bingkai Psikologi KomunikasiKarakteristik Manusia Komunikan dalam Bingkai Psikologi Komunikasi
Karakteristik Manusia Komunikan dalam Bingkai Psikologi Komunikasi
Β 
Tugas Mandiri 1.4.a.4.3 Keyakinan Kelas.pdf
Tugas Mandiri 1.4.a.4.3 Keyakinan Kelas.pdfTugas Mandiri 1.4.a.4.3 Keyakinan Kelas.pdf
Tugas Mandiri 1.4.a.4.3 Keyakinan Kelas.pdf
Β 
NUMERASI KOMPETENSI PENDIDIK TAHAP CAKAP DAN MAHIR.pdf
NUMERASI KOMPETENSI PENDIDIK TAHAP CAKAP DAN MAHIR.pdfNUMERASI KOMPETENSI PENDIDIK TAHAP CAKAP DAN MAHIR.pdf
NUMERASI KOMPETENSI PENDIDIK TAHAP CAKAP DAN MAHIR.pdf
Β 
SOAL SHB PKN SEMESTER GENAP TAHUN 2023-2024.docx
SOAL SHB PKN SEMESTER GENAP TAHUN 2023-2024.docxSOAL SHB PKN SEMESTER GENAP TAHUN 2023-2024.docx
SOAL SHB PKN SEMESTER GENAP TAHUN 2023-2024.docx
Β 
Form B8 Rubrik Refleksi Program Pengembangan Kompetensi Guru -1.docx
Form B8 Rubrik Refleksi Program Pengembangan Kompetensi Guru -1.docxForm B8 Rubrik Refleksi Program Pengembangan Kompetensi Guru -1.docx
Form B8 Rubrik Refleksi Program Pengembangan Kompetensi Guru -1.docx
Β 
0. PPT Juknis PPDB TK-SD -SMP 2024-2025 Cilacap.pptx
0. PPT Juknis PPDB TK-SD -SMP 2024-2025 Cilacap.pptx0. PPT Juknis PPDB TK-SD -SMP 2024-2025 Cilacap.pptx
0. PPT Juknis PPDB TK-SD -SMP 2024-2025 Cilacap.pptx
Β 
tugas modul 1.4 Koneksi Antar Materi (1).pptx
tugas  modul 1.4 Koneksi Antar Materi (1).pptxtugas  modul 1.4 Koneksi Antar Materi (1).pptx
tugas modul 1.4 Koneksi Antar Materi (1).pptx
Β 
ppt landasan pendidikan pai 9 revisi.pdf
ppt landasan pendidikan pai 9 revisi.pdfppt landasan pendidikan pai 9 revisi.pdf
ppt landasan pendidikan pai 9 revisi.pdf
Β 
Bab 3 Sejarah Kerajaan Hindu-Buddha.pptx
Bab 3 Sejarah Kerajaan Hindu-Buddha.pptxBab 3 Sejarah Kerajaan Hindu-Buddha.pptx
Bab 3 Sejarah Kerajaan Hindu-Buddha.pptx
Β 
PENGUMUMAN PPDB SMPN 4 PONOROGO TAHUN 2024.pdf
PENGUMUMAN PPDB SMPN 4 PONOROGO TAHUN 2024.pdfPENGUMUMAN PPDB SMPN 4 PONOROGO TAHUN 2024.pdf
PENGUMUMAN PPDB SMPN 4 PONOROGO TAHUN 2024.pdf
Β 

Refraksi Cahaya

  • 1. OPTIKA GEOMETRI (PEMBIASAN CAHAYA / REFRAKSI) Oleh : A. Kurniawan Fenomena optik yang diamati sehari-hari merupakan hasil dari interaksi cahaya dan materi . Fenomena optik bisa terjadi secara alami ataupun karena perilaku manusia dengan benda-benda buatannya. Fenomena optik yang umum adalah sering oleh interaksi cahaya dari matahari atau bulan dengan atmosfer, awan, air, debu, dan partikel lainnya. Sebagai contohnya peristiwa pelangi, fatamorgana, batang yang tercelup sebagian dalam air terlihat membengkok, dasar kolam tampak dangkal, kilauan intan, pemantulan cahaya dan pembentukan bayangan oleh kaca transparan, penguraian warna pada kaca akuarium, dan lain-lain. Fenomena-fenomena optik yang telah disebutkan itu meruopakan akibat dari pembiasan cahaya. Pembiasan cahaya berarti pembelokan arah rambat cahaya saat melewati bidang batas dua medium yang tembus cahaya tapi berbeda indeks biasnya. Pembiasan cahaya sanga mempengaruhi penglihatan pengamat. Jika cahaya yang merambat pada suatu medium berpindah ke medium yang lain, maka pada batas kedua medium tersebut akan terjadi pembiasan atau pembelokan arah. Hal ini disebabkan karena kecepatan cahaya dalam kedua medium tersebut tidak sama. Semakin besar kerapatan suatu medium, makin kecil kecepatan cahaya yang melewatinya. Pembiasan cahaya tesebut tidak terjadi dengan sembarangan, melainkan mengikuti suatu hukum pembiasan cahaya. HUKUM PEMBIASAN CAHAYA Ketika seberkas cahaya bergerak dari satu medium transparan ke medium transparan lain yang berbeda jenisnya, maka berkas cahaya itu akan dibelokkan atau dibiaskan. Hukum pembiasan memberikan cara untuk memprediksi besar pembelokkan itu. Hukum pembiasan juga dikenal sebagai Hukum Snell. Hukum pembiasan pertama kali dinyatakan oleh Willebrord Snellius, ahli Fisika kebangsaan Belanda pada tahun 1621. Snellius melakukan eksperimen dengan melewatkan seberkas sinar pada balok kaca. Pembiasan cahaya melibatkan sudut yang sinar datang dan sinar dibiaskan dan garis normal pada bidang batas antara dua medium. Pertemuan ketiga titik ini dinamakan titik bias. Peristiwa pembiasan cahaya sangat tergantung pada media yang dilalui oleh cahaya. Ketergantungan ini dibuat eksplisit dalam Hukum Snell melalui indeks bias yang berupa angka yang konstan. Angka yang konstan in berbeda-beda untuk setiap medium. Dalam eksperimennya, Snell mengubah-ubah sudut datang (i). Dari hasil pengamatannya ternyata sudut bias (r) cahayapun berubah-ubah sesuai dengan sudut datangnya. Berdasarkan hasil eksperimennya, Snell memperoleh bahwa perbandingan sinus sudut dating terhadap sinus sudut bias sinν‘– sinν‘Ÿ cenderung memiliki nilai yang tetap. Angka tetapan inilah yang kemudian dinamakan indeks bias. Selanjutnya Snell menyatakan bahwa perbandingan sinus sudut sinar datang (i) dengan sinus sudut bias (r) dari suatu cahaya yang datang dari suatu medium ke medium lain merupakan suatu konstanta yang besarnya sama dengan perbandingan indeks bias kedua medium tersebut. HUbungan tersebut dirumuskan dalam bentuk persamaan matematis menjadi : sinν‘– sinν‘Ÿ = ν‘› Dengan : I = besar sudut datang r = besar sudut bias
  • 2. n = indeks bias bahan (medium) Penjabaran dari Hukum Snell untuk dua medium secara umum diberikan dalam gambar berikut. ν‘›1ν‘ ν‘–ν‘›β‘νœƒ1 = ν‘›2sinνœƒ2 ν‘›2 ν‘›1 = sinνœƒ1sinνœƒ2 keterangan: νœƒ1 = sudut datang (i) νœƒ2 = sudut bias (r) n1 = indeks bias medium 1 n2 = indeks bias medium 2 Secara umum sering dituliskan sebagai berikut : sinν‘– sinν‘Ÿ = ν‘›2 ν‘›1 Hukum Snell itu kemudian dikenal dengan nama hukum Snellius. Hukum Snellius tentang pembiasan ini secara lengkapnya adalah sebagai berikut : 1. Sinar datang, sinar bias dan garis normal terletak pada satu bidang. 2. Perbandingan sinus sudut datang dan sinus sudut bias cahaya yang memasuki bidang batas dua medium yang berbeda selalu bernilai tetap (konstan). Konsep hukum Snellius pertama kali dijelaskan secara matematis dengan akurat pada tahun 984 oleh Ibn Sahl dari Baghdad dalam manuskripnya On Burning Mirrors and Lenses[2][3]. Dengan konsep tersebut Ibn Sahl mampu membuat lensa yang dapat memfokuskan cahaya tanpa aberasi geometri yang dikenal sebagai kanta asperik. Manuskrip Ibn Sahl ditemukan oleh Thomas Harriot pada tahun 1602, tetapi tidak dipublikasikan walaupun ia bekerja dengan Johannes Keppler pada bidang ini. Hukum Snellius adalah rumus matematika yang memerikan hubungan antara sudut datang dan sudut bias pada cahaya atau gelombang lainnya yang melalui batas antara dua medium isotropik berbeda, seperti udara dan gelas. Nama hukum ini diambil dari matematikawan Belanda Willebrord Snellius, yang
  • 3. merupakan salah satu penemunya. Hukum ini juga dikenal sebagai Hukum Descartes atau Hukum Pembiasan yang dalam bahasa Perancis disebut la loi de Descartes atau loi de Snell-Descartes. Pada tahun 1678, dalam TraitΓ© de la Lumiere, Christiaan Huygens menjelaskan hukum Snellius dari penurunan prinsip Huygens tentang sifat cahaya sebagai gelombang. Menurutnya, Hukum Snellius hanya berlaku pada medium isotropik atau "teratur" pada kondisi cahaya monokromatik yang hanya mempunyai frekuensi tunggal, yang bersifat reversible, hukum Snellius dijabarkan kembali dengan menggunakan teori muka gelombang sebagai berikut: Rambatan cahaya dapat digambarkan sebagai muka gelombang yang tegak lurus arah rambatan dan muka gelombang itu membelok saat menembus bidang batas medium 1 dan medium 2 seperti dipelihatkan gambar di atas. Cahaya datang dengan sudut i dan dibiaskan dengan sudut r. Cepat rambat cahaya di medium 1 adalah v1 dan di medium 2 adalah v2. Waktu yang diperlukan cahaya untuk merambat dari B ke D sama dengan waktu yang dibutuhkan dari A ke E sehingga DE menjadi muka gelombang pada medium 2. Oleh karenanya : 퐡퐷= ν‘£1 .ν‘‘ 퐴퐸= ν‘£2 .ν‘‘ Dari gambar tersebut juga dapat ditentukan secara geometris bahwa ∠ 퐴 = i dan ∠ 퐷 = r sehingga : sinν‘– = 퐡퐷 퐴퐷 = ν‘£1 ν‘‘ 퐴퐷 sinν‘Ÿ = 퐴퐸 퐴퐷 = ν‘£2 ν‘‘ 퐴퐷 Bila sin i dengan sin r kita akan peroleh :
  • 4. sinν‘– sinν‘Ÿ = ν‘£1 ν‘‘ 퐴퐷 ν‘£2 ν‘‘ 퐴퐷 sinν‘– sinν‘Ÿ = ν‘£1 ν‘£2 Dengan i = sudut datang r = sudut bias v1 = kecepatan cahaya sebelum dibiaskan v2 = kecepatan cahaya setelah dibiaskan Karena sinν‘– sinν‘Ÿ = ν‘›2 ν‘›1 Maka : ν‘£1 ν‘£2 = ν‘›2 ν‘›1 Berdasarkan persamaan gelombang, v = Ξ»f, dengan f adalah frekuensi dari gelombang dan Ξ» adalah panjang gelombang, nilai indeks bias dapat diperoleh juga dari panjang gelombang dengan ketentuan frekuensi cahaya yang melewati bidang batas antara dua medium adalah konstan. ν‘£1 ν‘£2 = ν‘›2 ν‘›1 ν‘“.νœ†1 ν‘“.νœ†2 = ν‘›2 ν‘›1 νœ†1 νœ†2 = ν‘›2 ν‘›1 Persamaan yang dihasilkan di atas memiliki makna fisis, yaitu kecepatan cahaya dalam suatu medium berbanding terbalik dengan nilai indeks biasnya. Maksudnya, jika indeks bias semakin besar, kecepatan cahaya semakin kecil. Sebagai contoh, kecepatan cahaya dalam medium kaca lebih kecil dibandingkan dengan kecepatan cahaya ketika merambat di dalam air. Alasannya, indeks bias mutlak kaca lebih besar daripada indeks mutlak air. Selain itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa ketika gelombang merambat dari suatu medium ke medium yang lain yang indeks biasnya berbeda, panjang gelombang (Ξ») dan besar kecepatan (v) gelombang tersebut berubah, namun frekuensi (f ) gelombang tersebut tidak berubah. Sebagai konsekuensi dari hukum I Senllius ini, jika sinar datang dari medium kurang rapat ke medium lebih rapat (n1 < n2), maka berkas sinar akan dibiaskan mendekati garis normal. Dan jika sinar datang dari medium lebih rapat ke medium kurang rapat (n1 > n2), maka sinar akan dibiaskan menjauhi garis normal, n1 < n2
  • 5. INDEKS BIAS (INDEX REFRACTION) Indeks bias dari sautu media optik merupakan angka yang tidak berdimensi yang menggambarkan bagaimana cahaya , atau radiasi lainnya , menyebar melalui media itu. Indeks Bias adalah nilai yang dihitung dari rasio kecepatan cahaya dalam ruang hampa dengan kecepatan cahaya dalam media kedua kepadatan yang lebih besar. Indeks bias ini sering dilambangkan dengan huruf n atau n '. Indeks bias didefinisikan dengan : ν‘›= 푐 ν‘£ Dengan c adalah kecepatan cahaya dalam vakum dan v adalah kecepatan cahaya dalam substansi. Definisi indeks bias seperti ini kadang-kadang disebut juga sebagai indeks bias mutlak. Indeks bias juga menentukan seberapa besar cahaya dibiaskan ketika memasuki suatu material. Dari persamaan gelombang diketahui bahwa v = f. . Sehingga indeks bias juga dapat dilihat sebagai faktor yang menjelaskan pengurangan kecepatan terhadap nilai-nilai vakumnya ν‘£= 푐 ν‘› dan panjang gelombang radiasi dalam medium νœ†= νœ†0 ν‘› , dengan 0 adalah panjang gelombang cahaya dalam ruang hampa. Sedangkan frekuensi cahaya tidak terpengaruh oleh indeks bias medium. Indeks bias juga menentukan jumlah cahaya yang tercermin ketika mencapai bidang batas, serta sudut kritis untuk refleksi internal total (pemantulan total) dan sudut Brewster. Konsep indeks bias secara luas digunakan dalam spektrum elektromagnetik , sinar-x, dan untuk gelombang radio . Konsep indeks bias juga dapat digunakan pada fenomena gelombang bunyi. Dalam mikroskop optik, indeks bias merupakan variabel penting dalam menghitung aperture numerik, yaitu ukuran cahaya pengumpulan dan menyelesaikan kekuatan tujuan. Dalam kebanyakan kasus, media pencitraan untuk mikroskopi adalah udara, tetapi tujuan tinggi perbesaran sering menggunakan minyak atau cairan yang sama antara lensa depan objektif dan spesimen untuk meningkatkan resolusi. Indeks bias atau indeks bias adalah perbandingan antara kecepatan cahaya (c) dalam ruang bebas (untuk semua tujuan praktis, baik udara atau vakum) dan kecepatan v dalam media tertentu Semakin besar indeks bias suatu medium, maka semakin besar pembelokan (pembiasan) cahaya saat memasuki atau meninggalkan medium itu. Indeks bias medium sampai pada batas tertentu tergantung pada frekuensi cahaya yang melewatinya. Untuk cahaya dengan frekuensi tinggi maka akan memiliki nilai n tertinggi. Misalnya pada kaca biasa, indeks bias untuk cahaya violet adalah sekitar satu persen
  • 6. lebih besar dari infra merah. Sebagai konsekuensi dari fenomena ini maka setiap panjang gelombang akan mengalami tingkat bias yang sedikit berbeda ketika sinar heterogen yang mengandung lebih dari satu frekuensi memasuki atau meninggalkan medium. Indeks bias merupakan sifat fisika, yang dapat digunakan untuk menentukan dentitas dan kemurnian cairan. Pembiasan adalah pembelokan berkas cahaya dari satu medium ke medium lain yang memiliki densitas yang berbeda. Pembiasan muncul dari fakta bahwa cahaya merambat lebih lambat pada substansi yang memiliki densitas yang lebih besar. Pembiasan sangat berguna karena derajat pembiasan tergantung dari struktur senyawa. Indeks bisa diukur dengan alat yang disebut refraktometer, yang menentukan derajat pembiasan cahaya diantara cairan dan prisma. Indeks bias juga bergantung pada panjang gelombang dan temperatur. Panjang gelombang cahaya yang berbeda akan dibiaskan dalam jumlah yang berbeda. Hal Ini yang menjadi sebab sinar matahari dapat diuraikan menjadi spektrum warna (pelangi) oleh titik-titik air. Apabila indeks bias akan digunakan sebagai konstanta fisik, maka hanya satu panjang gelombang cahaya saja yang dipakai, biasanya sodium D line, pada 589,3 nm. Panjang gelombang tunggal dapat diperoleh dari lampu sodium maupun cahaya putih dengan sistem prisma. Dan temperatur selalu spesifik ketika indeks bias diukur. Indeks bias merupakan sifat fisik yang sangat sensitif. Kecuali jika komponen sangat murni, hampir tidak mungkin untuk mendapatkan indeks bias seperti yang tercantum pada literatur. Semakin dekat indeks bias yang teramati dengan indeks bias yang tercantum pada literatur, semakin murni senyawa tersebut. Dalam hal struktur, indeks bias adalah fungsi dari kepolaran atom dan gugus dalam molekul. Semakin polar suatu molekul, maka indeks biasnya akan semakin tinggi. Tabel . Indeks bias mutlak beberapa zat. Medium Indeks bias mutlak Udara (1 atm, 0Β° C) Udara (1 atm, 0Β° C) Udara (1 atm, 0Β° C) Air Alkohol Gliserin Kaca kuarsa Kaca kerona Kaca flinta Intan 1,00029 1,00028 1,00026 1,33 1,36 1,47 1,46 1,52 1,65 2,42 Pada tabel terlihat bahwa tekanan dan suhu mempengaruhi indeks bias zat khususnya udara. Perbedaan itu tampak kecil saja. Dalam modul ini, bias udara sama dengan satu. INDEKS BIAS RELATIF Indeks bias relatif adalah perbandingan indeks bias dua medium yang berbeda. Indeks bias relatif medium kedua terhadap medium pertama didefinisikan sebagai perbandingan indeks bias medium kedua terhadap medium pertama. ν‘›21= ν‘›2 ν‘›1
  • 7. Dengan n21 = indeks bias relatif medium kedua terhadap medium pertama n1 = indeks bias mutlak medium pertama n2 = indeks bias mutlak medium kedua Indeks bias relatif menggambarkan perubahan kecepatan cahaya yang melintasi dua medium yang berntuhan namun berlainan jenis. Misalkan seberkas cahaya bergerak dari udara menembus medium 1 dengan kecepatan v1 dan kemudian menembus medium 2 dengan kecepatan v2. Indeks bias medium 2 relatif terhadap medium 1dapat dijelaskan sebagai berikut : Ketika cahaya bergerak dari udara dengan kecepatan c masuk ke dalam medium 1 dengan kecepatan v1, maka indeks bias medium 1 terhadap udara (indeks bias mutlak) diberikan oleh ν‘›1= 푐 ν‘£1 . Ketika cahaya bergerak dari udara dengan kecepatan c masuk ke dalam medium 2 dengan kecepatan v2, maka indeks bias medium 2 terhadap udara (indeks bias mutlak) diberikan oleh ν‘›2= 푐 ν‘£2 . Maka indeks bias medium 2 relatif terhadap medium 1 adalah : ν‘›2= 푐 ν‘£2 ν‘›1= 푐 ν‘£1 ν‘›21= ν‘£1 ν‘£2 Dengan demikian indeks bias relatif antara sepasang medium adalah rasio indeks bias mutlak kedua medium mutlak. Dapat pula dikatakan bahwa indeks bias relatif merupakan rasio kepadatan optik dari dua zat. PRINSIP FERMAT PADA PEMBIASAN CAHAYA Prinsip Fermat Cahaya akan selalu mengambil waktu tempuh jarak minimal untuk berjalan dari satu titik ke sebuah titik lainya. Cahaya akan selalu mencari lintasan yang paling pendek atau waktu yang paling cepat untuk mencapai titik yang dituju. Jika medium yang dilewati cahaya homogen dan isotropik maka lintasan yang ditempuh adalah lintasan dengan waktu minimum yaitu lintasan yang paling singkat. Konsep seperi ini dinamakan prinsip Fermat. Prinsip Fermat atau principle of least time adalah sebuah prinsip yang mendefinisikan jarak tempuh yang terpendek dan tercepat yang dilalui oleh cahaya. Prinsip ini kadang-kadang digunakan sebagai definisi sinar, sebagai cahaya yang merambat sesuai prinsip Fermat. Prinsip ini merupakan penyederhanaan yang dilakukan oleh Pierre de Fermat pada tahun 1667 dari konsep-konsep serupa sebelumnya dari berbagai macam percobaan refleksi cahaya. Penurunan hukum Snellius lebih muda menggunakan prinsip Fermat. Kecepatan cahaya akan mengalami perubahan jika melalui medium yang berbeda. Dan perbandingan kecepatan pada dua medium tersebut adalah indeks bias relatif medium tersebut terhadap medium lainya.
  • 8. Dari gamabar kita dapat menuliskan waktu yang ditempuh oleh sinar cahaya dari titik A menuju titik B yaitu ν‘‘= 푆 ν‘£ + 푆′′ ν‘£β€² Dengan menggunakan hubungan indeks bias ν‘›= 푐 ν‘£ ;ν‘šν‘Žν‘˜ν‘Ž ν‘£= 푐 ν‘› ν‘‘ν‘Žν‘› ν‘£β€²= 푐 ν‘›β€² Sehingga ν‘‘= 푆 ν‘£ + 푆′′ ν‘£β€² ν‘‘= 푆 푐 ν‘› + 푆′′ 푐 ν‘›β€² ν‘‘= 푛푆 푐 + 푛푆′′ 푐 ν‘‘= 푛푆+푛푆′′ 푐 ν‘‘= ν‘™ 푐 Karena l adalah lintasan yang ditempuh oleh sinar dari A ke B. Maka
  • 9. ν‘™=푛푆+푛푆′′ Pada Ξ” AFO dapat diperoleh 푆= ν‘Ž2+ν‘₯2 Pada Ξ” BGO dapat diperoleh 푆′′= 푏2+ ν‘‘βˆ’ν‘₯ 2 Dengan demikian lintasan yang ditempuh oleh sinar dari A ke B adalah : ν‘™=푛푆+푛푆′′ ν‘™=ν‘› ν‘Ž2+ν‘₯2 +ν‘›β€² 푏2+ ν‘‘βˆ’ν‘₯ 2 ν‘™=ν‘› ν‘Ž2+ν‘₯2 +ν‘›β€² 푏2+ ν‘‘βˆ’ν‘₯ 2 Menurut Prinsip Fermat letak titik O harus esedemikian rupa sehingga waktu tempuh cahaya yang melewati titik ini dari A ke B adalah minimum. Dengan perkataan lain, lintasan yang ditempuh oleh cahaya dari A ke B haruslah minimum. Agar memperoleh nilai minimum maka berdasarkan metode kalkulus ν‘‘ν‘™ ν‘‘ν‘₯ =0. Maka iskan sebagai berikut :kasus ini dapat dituliskan sebagai berikut : ν‘‘ν‘™ ν‘‘ν‘₯ =0 ν‘‘ν‘™ ν‘‘ν‘₯ = ν‘‘ ν‘› ν‘Ž2+ν‘₯2 +ν‘›β€² 푏2+ ν‘‘βˆ’ν‘₯ 2 ν‘‘ν‘₯ ν‘‘ ν‘› ν‘Ž2+ν‘₯2 +ν‘›β€² 푏2+ ν‘‘βˆ’ν‘₯ 2 ν‘‘ν‘₯ =0 ν‘› 12 ν‘Ž2+ν‘₯2 βˆ’ 12 2ν‘₯ +ν‘›β€² 12 푏2+ ν‘‘βˆ’ν‘₯ 2 βˆ’ 12 2 ν‘‘βˆ’ν‘₯ βˆ’1 =0 βˆ’ν‘› 12 ν‘Ž2+ν‘₯2 βˆ’ 12 2ν‘₯ =ν‘›β€² 12 푏2+ ν‘‘βˆ’ν‘₯ 2 βˆ’ 12 2 ν‘‘βˆ’ν‘₯ βˆ’1 ν‘›ν‘₯ ν‘Ž2+ν‘₯2= ν‘›β€² ν‘‘βˆ’ν‘₯ 푏2+ ν‘‘βˆ’ν‘₯ 2 Berdasarkan gambar dengan menggunakan trigonometri dapat ditentukan bahwa : ν‘₯ ν‘Ž2+ν‘₯2=sinν‘–
  • 10. ν‘›β€² ν‘‘βˆ’ν‘₯ 푏2+ ν‘‘βˆ’ν‘₯ 2=sinν‘Ÿ Dengan demikian persamaan akhir yang diperoleh adalah : n sinν‘–=nβ€² sinν‘Ÿ Persamaan ini adalah hukum Snellius untuk pembiasan. Cara lain untuk menurunkan hukum Snell dengan menggunakan prinsip Fermat adalah sebagai berikut : Kecepatan cahaya dalam media berindeks bias n1 adalah v1 , dan kecepatan cahaya dalam media berindeks bias n2 adalah v2 .Berdasarkan definisi indeks bias mutlak, maka besar v1 dan v2 adalah : ν‘£1= 푐 ν‘›1 ν‘£2= 푐 ν‘›2 Dengan c adalah kecepatan cahaya dalam ruang hampa (udara). Jarak yang ditempuh oleh cahaya pada medium 1 adalah PO = d1 . Dan jarak yang ditempuh oleh cahaya pada medium 2 adalah OQ = d2 . Dengan berdasarkan pada persamaan gerak lurus beraturan, maka waktu yang diperlukan oleh cahaya untuk menempuh perjalanan sepanjang jarak tersebut dari P ke Q adalah : ν‘‘= ν‘‘1 ν‘£1+ ν‘‘2 ν‘£2 Menggunakan teorema Pythagoras dari Euclidean Geometri pada gambar diperoleh : ν‘‘1 ν‘£1= ν‘₯2+ ν‘Ž2 ν‘£1 ν‘‘2 ν‘£2= 푏2+ ν‘™βˆ’ν‘₯ 2 ν‘£2 Bila persamaan in disubstirusikan pada persamaan t, maka akan diperoleh : ν‘‘= ν‘₯2+ ν‘Ž2 ν‘£1+ 푏2+ ν‘™βˆ’ν‘₯ 2 ν‘£2 Untuk mendapatkan waktu minimum maka derivative t terhadap x harus sama dengan nol.
  • 11. ν‘‘ν‘‘ ν‘‘ν‘₯ = 0 ν‘‘ ν‘₯2+ ν‘Ž2 ν‘£1+ 푏2+ ν‘™βˆ’ν‘₯ 2 ν‘£2 ν‘‘ν‘₯ =0 ν‘₯ ν‘£1 ν‘₯2+ ν‘Ž2+ βˆ’ ν‘™βˆ’ν‘₯ ν‘£2 푏2+ ν‘™βˆ’ν‘₯ 2 =0 Berdasarkan persamaan trigonometri pada gambar diperoleh : ν‘₯ ν‘₯2+ ν‘Ž2=sinνœƒ1 ν‘™βˆ’ν‘₯ 푏2+ ν‘™βˆ’ν‘₯ 2 = sinνœƒ2 Sehingga persamaan menjadi : sinνœƒ1 ν‘£1βˆ’ sinνœƒ2 ν‘£2=0 sinνœƒ1 ν‘£1= sinνœƒ2 ν‘£2 Apabila nilai v digantikan dengan persamaan pada indeks bias mutlak, maka persamaan akan menjadi sebagai berikut : sinνœƒ1 푐 ν‘›1= sinνœƒ2 푐 ν‘›2 ν‘›1sinνœƒ1 푐 = ν‘›2sinνœƒ2 푐 Kedua ruas kemudian dikalikan dengan c, sehingga diperoleh persamaan akhir sebagai berikut : ν‘›1sinνœƒ1= ν‘›2sinνœƒ2 POSISI SEMU AKIBAT PEMBIASAN Pembiasan cahaya mengakibatkan posisi semu benda yang dilihat oleh mata. Ketika cahaya merambat dari benda melalui medium pertama dan mesuk ke medium kedua tempat pengamat berada, cahay mengalami pembiasan. Sebagai akibatnya mata melihat posisi benda itu tidak pada posisi yang sebenarnya. Fenomena ini selalu ditemui dalam kehidupan, seperti suatu batang yang tercelup sebagian ke dalam air kolam akan nampak membengkok. Sinar yang datang dari dalam air menuju udara dibiaskan menjauhi garis normal. Seorang pengamat yang berada di luar kolam (medium uadara) akan melihat batang berada di titik yang bukan sebenarnya. Contoh lain adalah dasar kolam tampak dangkal karena sinar datang yang berasal dari dasar kolam menuju udara dibiaskan menjauhi garis normal kemudian sinar ini diterima oleh mata. Yang dilihat sebagai dasar kolam adalah bayangan dari dasar kolam tersebut, bukan dasar kolam yang sebenarnya. Fenomena lain adalah paralaks bintang. Bintang yang terlihat pada malam hari tidaklah pada posisi yang sebenarnya, karena cahaya bintang datang dari ruang vakum memasuki lapisan udara mengalami pembiasan.
  • 12. Fenomena yang telah dicontohkan tersebut terjadi terjadi karena pembiasan, cahaya merambat dari medium optik yang lebih rapat ke medium optik yang kurang rapat, misalnya dari air ke udara. Penjelasan mengenai fenomena ini dalat diuraikab sebagai berikut : Gambar di atas memperlihatkan dua orang pengamat yakni pengamat A dan B. Kedua pengamat tersebut melihat sebuah benda yang berada di dalam air dengan posisi yang berbeda. Pengamat A melihat benda itu dengan membentuk sudut tertentu terhadap benda yang diamati sedangkan pengamat B tepat tegak lurus terhadap benda yang diamati. 1. Untuk pengamat A (yang membentuk sudut tertentu dengan benda) berlaku hubungan : tanν‘Ÿ= 푂푃 푆′푃 tanν‘Ÿ= 푂푃 β„Žβ€² tanν‘–= 푂푃 푆푃 tanν‘–= 푂푃 β„Ž tanν‘– tanν‘Ÿ = β„Žβ€² β„Ž Berdasarkan persamaan trigonometri : tanν‘–= sinν‘– cosν‘– tanν‘Ÿ= sinν‘Ÿ cosν‘Ÿ
  • 13. tanν‘– tanν‘Ÿ = sinν‘– cosν‘– sinν‘Ÿ cosν‘Ÿ tanν‘– tanν‘Ÿ = sinν‘– cosν‘– Γ—cosν‘Ÿ sinν‘Ÿ Dengan demikian diperoleh hubungan sebagai berikut : β„Žβ€² β„Ž = sinν‘– cosν‘– Γ—cosν‘Ÿ sinν‘Ÿ β„Žβ€² β„Ž = sinν‘– sinν‘Ÿ Γ—cosν‘Ÿ cosν‘– Menurut hukum Snellius : sinν‘– sinν‘Ÿ = ν‘›2 ν‘›1 Jika persamaan ini disubstitusikan, akan diperoleh : β„Žβ€² β„Ž = ν‘›2 ν‘›1cosν‘Ÿ cosν‘– Keterangan : h' = tinggi bayangan semu yang dilihat oleh pengamat pada posisi A h = tinggi benda sesungguhnya n1 = indeks bias medium tempat benda berada ( n = indeks bias medium tempat pengamat berada i = sudut datang r = sudut bias 2. Untuk pengamat B (yang tegak lurus dengan benda yang diamati) berlaku hubungan sebagai berikut: Jika pengamat melihat secara tegak lurus (hampir tegak lurus)dengan benda, maka r sangat kecil ν‘Ÿ β‰ͺ , sehingga : sinν‘– β‰ˆtanν‘– sinν‘Ÿ β‰ˆtanν‘Ÿ Berdasarkan gambar :
  • 14. tanν‘– tanν‘Ÿ = β„Žβ€² β„Ž Dan menurut hukum Snellius : sinν‘– sinν‘Ÿ = ν‘›2 ν‘›1 Dengan demikian diperoleh hubungan sebagai berikut : tanν‘– tanν‘Ÿ = sinν‘– sinν‘Ÿ β„Žβ€² β„Ž = ν‘›2 ν‘›1 Jika pengamat di udara melihat benda di dalam wadah yang berisi dua atau lebih cairan berbeda jenis (indeks bias medium yang berbeda-beda) yang tidak bercampur maka posisi semu benda dirumuskan sebagai berikut : β„Žβ€²= β„Žν‘– ν‘›ν‘– ν‘› ν‘– = β„Ž1 ν‘›1+ β„Ž2 ν‘›2+ … Persamaan-persamaan yg telah diuraikan tersebut di atas juga berlaku untuk pengamat yang berada di medium yang lebih rapat melihat benda yang diamati di medium yang kurang rapat. Seperti pengamat yangh berada di dalam air sedang memperhatikan suatu benda yang berada di udara, sehingga posisi benda terlihat lebih jauh dari yang sebenarnya. PEMBIASAN PADA KACA PLAN PARALEL Kaca plan paralel atau balok kaca adalah keping kaca tiga dimensi yang dibatasi oleh sisi-sisi yang sejajar. Sebuah kaca plan paralel atau balok kaca. Dibatasi oleh tiga pasang sisi – sisi sejajar. Kaca planparalel dapat digunakan untuk mengamati jalannya sinar yang mengalami pembiasan dan untuk menentukan indeks bias kaca tersebut.
  • 15. Ketika seberkas sinar melewati sebuah kaca plan pararel, maka pada batas antara dua media yang transparan, cahaya sebagian dipantulkan dan sebagian dibiaskan. Salah satu bagian dari gelombang sinar tersebut akan dipantulkan, dan sebagian yang bagian lain akan dibiaskan saat melewati kaca plan paralel. Sinar yang masuk ke dalam kaca plan parallel akan mengalami pergeseran sinar. Pergeseran ini terjadi karena cahaya atau berkas sinar mengalmi 2 kali pembiasan oleh dua medium yang berbeda kerapatannya. Pembiasan pertama terjadi ketika berkas cahaya dari udara menuju kaca. Sinar yang masuk ke dalam kaca akan dibiaskan mendekati garis normal. pembiasan kedua terjadi saat berkas cahaya meninggalkan kaca menuju udara. Sinar yang keluar dari kaca menuju udara dibiaskan menjauhi garis normal. Dari gambar terlihat bahwa berkas cahaya yang masuk dengan berkas cahaya yang keluar dari kaca plan pararel merupakan garis yang sejajar. Berkas cahaya hanya mengalami pergerseran yang besar pergeseran itu dapat ditentukan secara matematis. Perhatikan gambar berikut :
  • 16. Pada gambar telihat ada dua segitiga siku-siku yaitu  ACB dan  ADB. Kedua segitiga tersebut bersinggungan pada garis AB. Sehingga hubungan matematis dari kedua segitiga itu mengacu padda garis AB tersebut. Pada  ADB : sinν›Ό= 퐡퐷 퐴퐡 = ν‘‘ 퐴퐡 퐴퐡= ν‘‘ sinν›Ό Dari gambar diketahui bahwa : ν›Ό=ν‘–βˆ’ν‘Ÿ Sehingga : 퐴퐡= ν‘‘ sin ν‘–βˆ’ν‘Ÿ Pada  ACB : cosν‘Ÿ= 퐴퐢 퐴퐡 cosν‘Ÿ= ν‘‘ 퐴퐡 퐴퐡= ν‘‘ cosν‘Ÿ Dengan mensubstitusikan ini ke persamaan AB sebelumnya, akan diperoleh hubungan sebagai berikut : ν‘‘ sin ν‘–βˆ’ν‘Ÿ = ν‘‘ cosν‘Ÿ ν‘‘= ν‘‘sin ν‘–βˆ’ν‘Ÿ cosν‘Ÿ Keterangan: i = sudut datang r = sudut bias
  • 17. d = tebal kaca plan paralel t = besar pergeseran sinar Persamaan terakhir yang diperoleh ini adalah persamaan untuk pergeseran sinar pada kaca plan parallel. Pembiasan pada prisma Prisma adalah suatu benda tembus cahaya (bening) terbuat dan gelas yang dibatasi oleh dua bidang datar yang membentuk sudut tertentu satu sama lain. Bidang datar ini (bidang permukaan prisma) berfungsi sebagai bidang pembias. Dan sudut yang dibentuk oleh kedua bidang pembias disebut sudut pembias atau sudut puncak prisma yang biasa diberi notasi .. Cahaya yang datang dari udara (sinar datang) menuju bidang permukaan prisma akan dibiaskan mendekati garis normal sesuai dengan hukum pembiasan Snellius. Kemudian, ketika sinar meninggalkan prisma menuju udara, sinar tersebut akan dibiaskan menjauhi garis normal, seperti gambar berikut. DEVIASI PADA PRISMA Setelah melewati prisma, cahaya mengalami deviasi (penyimpangan) yang disebut dengan sudut deviasi. Sudut deviasi dilambangkan dengan symbol  atau D, merupakan sudut yang dibentuk oleh perpotongan
  • 18. dari perpanjangan sinar datang (i1) dengan perpanjangan sinar yang meninggalkan prisma (r2). Besarnya sudut deviasi yang dialami cahaya dapat diturunkan berdasarkan geometri segitiga matematis. Perhatikan gambar berikut : Perhatikan segi empat ABCE : ν›½+ ∠퐴퐡퐢= 1800 Dari  ABC tampak bahwa : ν‘Ÿ1+ ν‘–2+ ∠퐴퐡퐢=1800 Sehingga diperoleh persamaan : ν›½+ ∠퐴퐡퐢= ν‘Ÿ1+ ν‘–2+ ∠퐴퐡퐢 ν›½= ν‘Ÿ1+ ν‘–2 Perhatikan  ADC : sudut alas di A adalah : 퐴= ν‘–1βˆ’ ν‘Ÿ1 dan sudut alas di C adalah : C= ν‘Ÿ2βˆ’ ν‘–2 Berdasarkan sifat sudut luar segitiga, besar  dapat ditentukan sebagai berikut : ν›Ώ= ν‘–1βˆ’ ν‘Ÿ1+ ν‘Ÿ2βˆ’ ν‘–2 ν›Ώ= ν‘–1+ ν‘Ÿ2βˆ’ ν‘Ÿ1βˆ’ ν‘–2 ν›Ώ= ν‘–1+ ν‘Ÿ2 βˆ’ ν‘Ÿ1+ ν‘–2 ν›Ώ= ν‘–1+ ν‘Ÿ2 βˆ’ ν›½ Keterangan:  = sudut deviasi prisma
  • 19. Ξ² = sudut pembias prisma i1 = sudut datang pertama (sinar masuk dari udara ke dalam prisma) r2 = sudut bias kedua (sinar keluar dari prisma menuju ke udara) DEVIASI MINIMUM PADA PRISMA Jika arah sinar datang diubah-ubah sehingga besar sudut datang 1 berubah-ubah, maka sudut deviasi pun berubah. Hasil percobaan menunjukkan bahwa hubungan besar sudut deviasi terhadap besar sudut datang sesuai dengan grafik pada gambar berikut. Deviasi terkecil atau deviasi minimum (m) terjadi pada saat sinar masuk simetris dengan sinar yang keluar dari prisma atau sinar yang di dalam prisma membagi prisma menjadi segitiga sama kaki sehingga sudut datang i1 sama dengan sudut bias terakhir r2. Besar sudut deviasi minimum (m) sebuah prisma dapat ditentukan sebagai berikut : Oleh karena i1 = r2 ; maka i2 = r1 ; sehinga ν›½= ν‘Ÿ1+ ν‘–2 ν›½= ν‘Ÿ1+ ν‘Ÿ1 ν›½= 2 ν‘Ÿ1 ν‘Ÿ1= 12 ν›½ Telah diketahui sebelumnya bahwa sudut deviasi prisma ditentukan oleh persamaan berikut : ν›Ώ= ν‘–1+ ν‘Ÿ2 βˆ’ ν›½ Karena bernilai minimum maka i1 = r2 ; sehingga : ν›Ών‘š= ν‘–1+ ν‘–1 βˆ’ ν›½ ν›Ών‘š= 2 ν‘–1βˆ’ ν›½ Selanjutnya diperoleh : ν‘–1= 12 ν›Ών‘š+ ν›½ Berdasarkan hukum pembiasan Snellius maka akan berlaku pesamaan :
  • 20. sinν‘–1sinν‘Ÿ1= ν‘›2 ν‘›1 Apabila nilai i1 dan r1 disubstitusikan pada persamaan ini, maka akan diperoleh hukum Snellius pada prisma untuk deviasi minimum sebagai berikut : sin12 ν›Ών‘š+ ν›½ sin12 ν›½ = ν‘›2 ν‘›1 ν‘›1sin12 ν›Ών‘š+ ν›½ =ν‘›2sin12 ν›½ Khusus untuk sudut pembias (sudut puncak) prisma yang kecil ( < 15Β°) , Persamaan deviasi minimum di atas dapat dituliskan menjadi sebagai berikut : Karena  kecil, maka : sin12 ν›½ β‰ˆ 12 ν›½ sin12 ν›Ών‘š+ ν›½ β‰ˆ 12 ν›Ών‘š+ ν›½ Sehingga : ν‘›112 ν›Ών‘š+ ν›½ =ν‘›212 ν›½ ν‘›1 ν›Ών‘š+ ν›½ =ν‘›2 ν›½ ν›Ών‘š+ ν›½ = ν‘›2 ν‘›1 ν›½ ν›Ών‘š+ ν›½ = ν‘›2 ν‘›1 ν›½ ν›Ών‘š= ν‘›2 ν‘›1 ν›½βˆ’ ν›½ ν›Ών‘š= ν‘›2 ν‘›1 βˆ’ 1 ν›½ Keterangan: Ξ΄m = sudut deviasi minimum n1 = indeks bias medium 1 n2 = indeks bias medium 2 (Prisma) Ξ² = sudut pembias prisma
  • 21. Pemantulan total Peristiwa terjadinya fatamorgana seperti terlihatnya kilauan air diatas jalanan beraspal disiang hari yang terik, berkilaunya berlian, peristiwa pelangi kembar merupakan peristiwa pemantulan sempurna yang sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Proses terjadinya fatamorgana berawal dari adanya perbedaan kerapatan antara udara dingin dan udara panas. Udara dingin memiliki kerapatan lebih pekat dan lebih berat dibandingkan udara panas. Dalam kenyataannya, lapisan udara yang panas yang ada di dekat tanah terperangkap oleh lapisan udara yang lebih dingin di atasnya. Cahaya dibiaskan ke arah garis horisontal pandangan dan akhirnya berjalan ke atas karena pengaruh internal total. Berlian (diamond) adalah kristal transparan karbon murni terdiri dari atom karbon ikatan tetrahedron (allotrop karbon). Berlian terkenal karena kualitas fisiknya yang hebat, terutama kekerasannya, selain itu berlian memiliki kemampuan untuk menyebarkan cahaya. Berlian memiliki indeks bias tinggi - yang berarti mereka benar-benar bisa menekuk sinar cahaya. Sinar Jadi cahaya yang bersinar ke mereka akan tinggal di dalam berlian lebih lama.
  • 22. Berlian akan berkilau ketika cahaya masukinya. Akan tetapi kecerahan cahaya berlian ini tergantung pada ketepatan pembentukan berlian. Pembentukan berlian dengan sudut yang tepat sudut akan membuat kilauan semakin tajam. Semua sisi-sisi dan sudut secara hati-hati dirancang untuk menjaga sinar yang masuk dalam waktu yang lama - dengan membuat mereka terpantul pada dinding berlian sebanyak mungkin. Pelangi kembar terjadi ketika sinar matahari (yang terdiri dari semua warna terlihat) dicegat oleh tetesan air hujan yang jatuh, beberapa cahaya dibiaskan di tetesan air, direfleksikan sekali dari permukaan dalam tetesan, dan kemudian dibiaskan keluar dari tetesan. Semua fenomena diatas dapat dijelaskan dengan prinsip pemantulan total. Pemantulan total atau total internal reflection (TIR) adalah proses pemantulan seberkas cahaya pada permukaan batas antara satu medium dengan medium yang lain yang indeks biasnya lebih kecil, jika sudut datang ke medium kedua melebihi suatu sudut kritis tertentu. Seperti cahaya merambat di dalam medium yang memiliki indeks bias yang tinggi seperti air, kaca, dan plastik masuk ke medium yang memiliki indeks bias lebih rendah seperti udara. Akibatnya gambar dengan sifat semu dan terbalik. Ketika cahaya merambat dari media optik lebih padat menuju ke media kurang optik kurangrapat, maka cahaya membias menjauhi dari garis normal. Jika sudut sinar datang secara bertahap diperbesar, maka sudut bias akan makin besar pula. Semakin besar pada sudut sinar datang, maka berkas sinar akan menyimpang semakin jauh dari garis normal. Hingga pada sudut sinar datang tertentu, berkas sinar akan dibiaskan pada bidang antar medium (pertemuan kedua medium). Pada saat ini berarti sudut sinar biassebesar 900 dan sudut sinar datang pada saat ini dinamakan sudut kritis. Jika sudut sinar datang kita perbesar lagi, maka sinar datang tidak lagi di biaskan, akan tetapi dipantulkan. Peristiwa ini yang dinamakan dengan pemantulan total atau pemantulan sempurna.
  • 23. Andaikan sinar merambat dari dalam air menuju udara dengan membentuk sudut datang sudut i = ΞΈ1 , ketika mencapai permukaan sinar itu akan dibiaskan dengan sudut bias r = ΞΈ2 . Jika sudut sinar datang diperbesar sampai i = ΞΈC, maka sinar akan dibiaskan sejajar dengan permukaan air, berarti r = ΞΈ2 = 900. Karena sudut datang ΞΈC menghasilkan sudut bias 90Β°, maka ΞΈC disebut sudut batas atau sudut kritis. Jika sudut sinar datang lebih besar daripada sudut kritis ini, maka sinar akan dipantulkan seluruhnya oleh permukaan air kembali ke dalam air. Sudut kritis, iC atau ΞΈC didefinisikan sebagai sudut datang (dalam hal ini indeks bias medium lebih tinggi) yang besar sudut biasnya 900. Dengan menggunakan Hukum Snellius, besar sudut kritis suatu medium dapat ditentukan sebagai berikut : n1sini= n2sinr n1sinΞΈC= n2sin900 n1sinΞΈC= n2 sinΞΈC= n2n1 ΞΈC= sinβˆ’1 n2n1 Pemantulan Total (Total Internal Reflektion) akan terjadi untuk setiap sudut datang lebih besar dari ΞΈ c. Syarat terjadinya pemantulan sempurna yaitu sinar harus datang dari medium yang lebih rapat kemedium yang kurang rapat. Pada peristiwa pembiasan selalu ada sebagian kecil dari energi yang dipantulkan pada batas antara medium yang memiliki indeks bias yang berbeda, tetapi biasanya cukup kecil (hanya beberapa persen). Dalam kasus pemantulan total, 100% dari energi sinar akan dipantulkan. Pemantulan total dapat ditunjukkan dengan menggunakan balok setengah lingkaran dari kaca. Bentuk setengah lingkaran memastikan bahwa sinar menunjuk ke arah tengah wajah datar akan memukul permukaan melengkung di sudut kanan. Hal ini akan mencegah pembiasan pada batas udara dan kaca dari permukaan melengkung.
  • 24. Jika ΞΈ < ΞΈC , sinar akan terpecah. Akan terjadi peristiwa pemantulan dan pembiasan secara bersamaan. Hal in disebabkan beberapa berkas sinar akan dipantulkan oleh bidang batas, dan sebagian yang lain akan dibiaskan. Pemantulan yang terjadi pada saat ini bukanlah pemantulan total. Jika ΞΈ > ΞΈC, seluruh sinar dipantulkan oleh bidang batas, tidak ada yang dibiaskan. Peristiwa ini dinamakan pemantulan total. Prinsip pemantulan total ini diterapkan pada alat-alat optik seperti teropong prisma, periskop, dan serat optik.